RECHT 5

Page 1

Vol.05 | September 2019

recht PROGRESIF | ANALITIS | KONKRIT

Perlukah Revisi KUHP?

Beberapa pasal yang terdapat dalam Revisi KUHP ini menimbulkan polemik di masyarakat

KPK, dilemahkan? Dengan disahkannya UU KPK membuat sejumlah elemen masyarakat bergejolak

Karhutla, Salah siapa?

Polemik Kebakaran Hutan di Indonesia tak usut menemui titik temu


KATA KITA

Pertama-tama ingin saya sampaikan terima kasih

yang

sebesar-besarnya

kepada

setiap anggota LPKH 2019, yang sampai detik

ini

bersama-sama

mewujudkan

budaya sehat di lingkungan kampus FH Trisakti.

Harapan

besar

saya

dengan

adanya budaya seperti ini dapat ikut bersama-sama kepada

setiap

memberikan isu

sumbangsih

hukum

supaya

menghasilkan kebijakan yang berkeadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pada edisi ini kami mengangkat tiga isu hukum yang lagi hangat yaitu Revisi KUHP, Revisi UU KPK, serta terkait karhulta di Riau. Semoga para pembaca senang dan

Kalvin Dewantara Ketua Umum LPKH 2019

puas

terhadap

membaca!

produk

kami,

selamat


EDISI SEPTEMBER 2019

Contents 04

Profil Dosen

19

Intan Nevia Cahyana

05

Artikel I

Artikel II KPK, Dilemahkan? Dengan disahkannya UU KPK membuat sejumlah elemen masyarakat bergejolak

13

Artikel III KARHUTLA, Salah Siapa? Polemik Kebakaran Hutan di Indonesia tak usut menemui titik temu

29 Ruang Apresiasi

Film "Miracle in Cell No.7

21

Ruang Alumni Fery Monang Sihite SH.,MH (Direktur Jendral Keimigrasian)

Perlukah Revisi KUHP? Beberapa pasal yang terdapat dalam Revisi KUHP ini menimbulkan polemik di masyarakat

10

Ruang Resensi

Ruang Apresiasi dihadirkan untuk mengapresiasi kepada setiap anggota LPKH Yang telah aktif dalam kegiatan-kegiatan LPKH

LP KH

Together We Can! 23

Ruang Kampus Spesial Aksi Dikebiri, Reformasi Dikorupsi Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa di seluruh penjuru indonesia membuat suasana menjadi genting

29 Ruang Kampus Kegiatan Rapat Kerja dan pengesahan anggota baru LPKH

"Selamat Membaca! Semoga menikmati!"

Divisi Jurnalistik

"Kitab UU Hukum Pidana diciptakan untuk mengatur hukum publik, bukan sebaliknya"

Hadyan Falah

Ketua Divisi Jurnalistik

Divisi Jurnalistik +62 81331559674 Lpkhtrisakti@yahoo.com Lpkhtrisakti.wixsite.com Disclaimer: Semua artikel ataupun tulisan yang terkait diatas dan terdapat di majalah ini merupakan tanggung-jawab penuh penulis dari setiap artikel . Apabila ada kritik dan saran bisa langsung hubungi Biro Jurnalistik yang alamatnya terdapat di samping.

Jl. Kyai Tapa No.1 Grogol, Jakarta 11450


Ruang Dosen RUANG Â DOSEN

Dr. Intan Nevia Cahyani S.H., M.H Oleh: Amelia Savitri*

Dosen berparas cantik yang lahir pada 12 April 1978 ini adalah alumni Fakultas Hukum Uiversitas Trisakti. Beliau menjadi wisudawan terbaik pada S1, S2, dan S3 di Fakultas Hukum pada tiap tahun kelulusan beliau. Oleh karena itu, saat kelulusan S1 beliau diminta berpidato saat yudisium. Beliau sempat terharu karena telah berhasil mencapai keinginan dari awal hingga akhir dan memiliki prinsip tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan apapun.

Beliau mulai bekerja di Rektorat Universitas Trisakti sebagai Asisten dari Asisten Wakil Rektor 3. Pada tahun 2001, beliau mengajar mata kuliah Hukum Perkawinan, Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Perdata membantu Pak Sanusi, dan Hukum Agraria bersama dengan Pak Sunaryo. Saat masa kuliah, beliau juga aktif dalam SKI, Badan Eksekutif Mahasiswa dalam Bidang 1 tentang Penalaran Ilmiah. Beliau juga aktif dalam kegiatan non-akademik, diantaranya bergabung dengan : Staff Divisi Pusat Data dan Penelitian di Indonesia Corruption Watch, yang dipimpin Pak Teten Masduki, Staf Kepresidenan pada masa sekarang. Di ICW beliau belajar mengenai pola modus korupsi di Mahkamah Agung, dan pernah mewawancarai Hakim agung Prof. Asikin mengenai Kasus Kedungombo. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum bersama Pak Bambang Widjojanto, Kelompok Hamidah.

04

Studi

Trisakti

(KST)

Indonesia

dengan

Wanda

*) FH Trisakti 2017


Ruang Artikel

PENTINGKAH RUU KUHP ?

Oleh: Azizah Arfah, Ananda Elsa Faramadina*

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu produk hukum kolonial. KUHP mulai diberlakukan sejak adanya UU No. 1 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa KUHP tidak hanya diberlakukan untuk wilayah Jawa dan Madura saja., melainkan, KUHP diberlakukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan umur 73 tahun, KUHP dianggap ketinggalan zaman dan mengandung nilai – nilai liberalis yang identik dengan semangat kolonial. Sejak diberlakukannya KUHP, Bangsa Indonesia telah melakukan tujuh kali percobaan untuk merevisi dan merancang KUHP dimulai sejak tahun 1968, 1971, 1981, 1982, 1992, 2004, dan 2013. Namun, seluruh upaya tersebut selalu menemui kegagalan. Sudah 30 tahun RKUHP tidak disahkan. Hingga pada akhirnya santer terdengar beberapa waktu terakhir muncul polemik RUU KUHP yang kembali mencuat ke publik. RUU KUHP yang targetnya disahkan pada tanggal 24 September 2019 mengandung banyak rumusan pasal kontroversial yang mengundang banyak pertanyaan serta menuai kritik tajam dari segala penjuru. Adapun pasal – pasal kontroversial yang disoroti sebagai berikut : 1. Aborsi: Aborsi diatur dalam Pasal 470 s.d. Pasal 472 RKUHP. Dalam Pasal 470 ayat (1) RUU KUHP menyatakan bahwa “Setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal 4 tahun.” Rumusan pasal tersebut kontroversial mengingat bahwa wanita yang menggugurkan (aborsi) janinnya dapat dipidana meskipun janin yang ia kandung adalah akibat dari pemerkosaan. Dalam hal ini, wanita semakin terdiskriminasi, sebab perumusan tersebut tidak mencantumkan pengecualian terhadap korban pemerkosaan. Anggota Komisi III DPR RI, Teuku Taufiqulhadi, mengatakan bahwa DPR akan menambahkan pengecualian mengenai kondisi darurat medis untuk melakukan aborsi. Namun, tidak untuk korban pemerkosaan. Pendapat Teuku Taufiqulhadi ini didasari oleh hukum islam yang menyatakan bahwa dalam waktu 40 hari, janin yang berada dalam kandungan seorang wanita tidak boleh digugurkan lagi. Hal ini menuai kritik, seharusnya, perumus KUHP meneliti kembali apakah batasan 6 minggu atau 40 hari itu sudah cukup memberikan perlindungan bagi korban pemerkosaan. Sebab, banyak korban pemerkosaan yang tidak mengetahui dirinya hamil selepas 40 hari atau terlambat bertindak karena takut melapor. Batasan waktu untuk melakukan aborsi seharusnya dilakukan berdasarkan penelitian yang valid. Rumusan tentang pengguguran ini kontradiktif dengan Undang – Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bahwa aborsi dilarang. Namun, terdapat pengecualian untuk korban pemerkosaan dan ibu dalam keadaan gawat darurat. Rumusan pasal ini jelas bertentangan pula dengan Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005. Pasal 471 ayat (1) RKUHP tentang kriminalisasi setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya. Rumusan ini dinilai terlalu diskriminatif terhadap korban pemerkosaan. RUU KUHP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban pemerkosaan, sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tidak dimuat.

*) AA: LPKH 2018 AE: LPKH 2017

05


RUU KUHP harus memuat jaminan bahwa tidak ada pemidanaan bagi aborsi yang dilakukan atas indikasi medis dan untuk korban pemerkosaan serta semua aspeknya, baik aspek pengobatan, perbuatan aborsi, dsb. Rumusan yang ada dinilai terlalu mengancam korban pemerkosaan yang melakukan pengguguran kandungan. Dengan adanya rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa rumusan tersebut secara tidak langsung mendukung Masyarakat Indonesia untuk meningkatkan perkawinan dini bila kebanyakan dari korban pemerkosaan yang ada masih di bawah umur serta meningkatkan angka kelahiran. Padahal di negara – negara maju, mereka menekan agar angka kelahiran tidak tinggi. Sementara lain, rumusan tersebut juga mengundang korban pemerkosaan yang belum siap mentalnya untuk melakukan perkawinan dini karena sudah hamil ataupun terpaksa melakukan pengguguran secara ilegal (tidak aman).

2. Hukuman Koruptor Lebih Ringan Hal ini diatur dalam Pasal 604, Pasal 605, dan Pasal 607 RUU KUHP. Rumusan – rumusan tersebut dianggap tidak mengadopsi pengaturan khusus dalam UU Tipikor, khususnya, Pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan. Dalam rancangan tersebut juga tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Selain itu, rumusan pasal yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP dinilai terlalu longgar, memberi celah yang besar, dan melindungi kepentingan – kepentingan yang dapat merugikan negara dan rakyat. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui perbandingan sebagai berikut :

UU TIPIKOR

RUU KUHP

Pasal 2 : Pidana penjara minimal 4 tahun Pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,-

Pasal 604 : Pidana penjara minimal 2 tahun Pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (Kategori II)

Pasal 3 : Pidana penjara paling singkat 1 tahun Pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,-

Pasal 605 : Pidana penjara paling singkat 2 tahun Pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (Kategori II)

Pasal 11 : Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun Pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling banyak Rp 250.000.000,-

Pasal 607: Pidana penjara paling lama 3 tahun Pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,(Kategori IV)

Berdasarkan perbandingan di atas, RUU KUHP dianggap memberikan keleluasaan dan kelonggaran hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi nantinya. Hal ini dapat menyebabkan indeks korupsi di Indonesia semakin tinggi dan marak terjadi, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi negara. Rumusan – rumusan yang ada tidak boleh membatasi dan melemahkan KPK.

06


3. Penghinaan Terhadap Presiden Penghinaan terhadap presiden diatur dalam Pasal 218, Pasal 219, Pasal 223, dan Pasal 224 RUU KUHP. Pasal 218 ayat (1) RUU KUHP berbunyi : “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat dari Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” Rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan secara detail sehingga muncul pertanyaan mengenai seperti apa ukuran kehormatan atau harkat dan martabat? Sejauh mana tindakan yang dapat dikatakan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden? Ukuran kehormatan atau harkat dan martabat tiap individu berbeda – beda atau dengan kata lain ukurannya relatif dan tak sama. Rumusan ini dianggap pula sebagai rumusan yang mengekang kebebasan berpendapat serta tidak relevan untuk masyarakat demokratis yang notabennya adalah keterbukaan dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Selain itu, sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi mucul lagi di dalam RUU KUHP.

4. Gelandangan Pasal 432 RUU KUHP berbunyi : “Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau ditempat umum yang menganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.” Adapun pengklasifikasian pidana denda dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 79 yang membagi menjadi 8 kategori pidana denda. Kategori I yakni denda Rp 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah). Mengenai rumusan dari pasal tersebut dinilai kontradiktif dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Pun, dalam rumusan tersebut tidak menjelaskan definisi gelandangan itu sendiri serta tidak menjelaskan kegiatan seperti apa yang dinilai dapat mengganggu ketertiban umum. Penjeratan pidana terhadap gelandangan tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, mengatakan bahwa rumusan Pasal 432 RUU KUHP ini dinilai mengadopsi pemikiran orang Belanda yang menganggap bahwa gelandangan adalah orang yang tak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Ada baiknya pula, pengaturan hukum mengenai gelandangan dibahas terpisah seperti dimuat dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai aturan administrasi. Pun, tak boleh ada pemidanaan bagi gelandangan ataupun masyarakat yang memberikan uang. 5. Makar Pasal 167 RUU KUHP berbunyi : “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.” Definisi makar itu sendiri tidak sesuai dengan asal kata makar yakni “Aanslag” yang artinya serangan. RUU KUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberantas kebebasan berekspresi dan berpendapat.

07


6. Hukuman Mati Hukuman mati sendiri diatur dalam Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 RUU KUHP. Hukuman mati sendiri dinilai tidak ideal. Contoh di Cina yakni menerapkan hukuman mati untuk para koruptor. Apakah dengan diterapkannya hukuman mati menjadikan indeks korupsi menurun atau bahkan tak ada lagi kasus korupsi? Tidak, korupsi tetap saja menjadi kasus yang mesti dibasmi sekalipun Cina telah menerapkan hukuman mati, namun realitanya masih ada yang melakukan korupsi. Hukuman mati bukanlah hukuman yang efektif dan ideal untuk menurunkan indeks korupsi yang ada. Hukuman mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati. Selain itu, Indonesia sepatutnya tidak menerapkan hukuman mati seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan bahwa : “(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Bangsa Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak manusiawi. Berdasarkan Stufenbau Theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang, dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Apabila RUU KUHP yang akan disahkan dalam waktu dekat masih memuat hukuman mati, maka RUU KUHP telah menyimpang dan kontradiktif dari UUD 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi. Itu artinya, apabila disahkan, maka Bangsa Indonesia tidak melaksanakan amanat Undang – Undang Dasar 1945. 7. Contempt Of Court Contempt Of Court sendiri diatur dalam Pasal 281 – 282 RUU KUHP. Dimana rumusan pasal tersebut dinilai berpotensi untuk mengekang kebebasan berpendapat serta kebebasan pers. Hal ini kontradiktif dengan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, kebebasan berpendapat juga dijamin dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB. 8. Penghinaan Terhadap Agama Pasal 304 RUU KUHP menyatakan bahwa : “Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.” Dalam rumusan tersebut tidak menyebutkan secara jelas definisi permusuhan dan penodaan serta perbuatan atau menyatakan perasaan seperti apa yang dapat dikategorikan bersifat permusuhan atau penodaan. Hal ini menimbulkan multitafsir serta harus dihapus karena tidak memenuhi standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian dan hanya melindungi agama yang dianut di Indonesia. 9. Pelanggaran HAM Berat Pelanggaran HAM Berat diatur dalam Pasal 599 yang menyebutkan frasa Genosida dan Pasal 600 RUU KUHP yang menyebutkan tindak pidana kemanusiaan. Asas Retroaktif dalam pelanggaran HAM berat tidak diatur dalam buku 1 RUU KUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat dalam pengaturan UU No. 26 Tahun 2000. Adapun frasa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RUU KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk dilakukannya penuntutan yang efektif.

08


10. Living Law Living law diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 598, dan Pasal 618 RKUHP mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang – undang ini.” Rumusan tersebut menuai pertanyaan sekaligus kritikan. Banyak yang mempertanyakan definisi dan batasan jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebab, rumusan ini dapat menimbulkan potensi terjadinya kesewenang – wenangan yang dilakukan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum bisa saja mengkriminalisasi warga karena telah melanggar “Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat”. Selain itu, rumusan tersebut mengandung penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas karena frasa ‘hukum yang hidup di masyarakat’ multitafsir. Anggota Komisi III DPR RI, Teuku Taufiqulhadi, mengatakan yang disebut dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat adalah hukum adat disuatu tempat. Hukum adat itu dianggap sah, dianggap sebagai penyelesaian hukum pidana umum yang berlaku. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Riri Khariroh, beranggapan bahwa banyak hukum adat yang isinya mendiskriminasi perempuan. Jangan sampai perempuan rentan untuk didiskriminasi. Peraturan adat yang akan diacu harus lebih spesifik diatur dalam RUU Masyarakat Adat, bukan dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh maisng – masing daerah. Pada dasarnya rumusan pasal tersebut masih harus dibenahi, mengingat Indonesia adalah negara majemuk dengan keberagaman suku dan adat di dalamnya. Rumusan ini juga berpotensi menjadikan aparat penegak hukum serta pemerintah bersikap otoriter.

Rumusan dalam RUU KUHP dinilai terlalu menguntungkan dan melindungi kepentingan para pejabat negeri ini. RUU KUHP terlalu menguntungkan dan memberikan keleluasaan serta efek yang kurang berdampak bagi para pemangku kekuasaan yang melakukan tindak pidana, terutama tindak pidana korupsi. Terutama pasal – pasal kontroversial yang dianggap melemahkan dan membatasi ruang gerak KPK. RUU KUHP terlalu memasuki ruang privat warga negara. Seolah rumusan – rumusannya membatasi hak dan ruang gerak warga negara serta melanggar dan mencampuri hak konstitusional warga negara. Padahal bila ditilik dari pengertian hukum pidana itu sendiri ialah hukum yang mengatur hubungan negara dengan warga negaranya atau dalam artian secara publik saja. Dengan kata lain, hukum pidana mengatur kepentingan secara umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hubungan ranah privat. RUU KUHP yang akan disahkan dalam waktu dekat dinilai terlalu tergesa – gesa dan gegabah. Seharusnya sistem dan praktek hukum di negeri ini dibenahi terlebih dahulu sembari merumuskan revisi KUHP yang tepat dan sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia. Sebab, RUU KUHP masih jauh dari kata sempurna dan layak untuk diterapkan di negeri ini. Hal ini memicu para pihak dari berbagai kalangan yang mempertanyakan alasan DPR terburu – buru dalam mengesahkan aturan tersebut.

09


Ruang Artikel

KPK, Dilemahkan? Oleh Noval Hakiki*

1. Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi Terbentuknya komisi pemberantasan korupsi membawa angin segar bagi rakyat melepas belenggu dari korupsi yang merajalela sebelum terjadinya reformasi. KPK merupakan lembaga warisan di era Presiden BJ Habibi dan yang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Usaha penguatan pemberantasan korupsi pada awal - awal berdirinya lembaga ini terus dilakukan oleh presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) namun langkah ini terhentikan oleh judicial review di mahkamah agung dan akhirnya TGPTPK dibubarkan. Dengan ini semangat untuk memberantas korupsi di negara mengalami kemunduran karena rakyat tidak puas dengan kepemimpinan yang bisa mendukung pemberantasan korupsi. Megawati Soekarno Putri pun memegang tahta kepemimpinan berbagai kasus menguap ke permukaan dan berakhir dengan cerita tidak memuaskan di masyarakat khususnya dengan banyaknya kasus dalam BUMN dan BULOG yang mencederai kepemimpinan era ini. Di tengah rendahnya rasa percaya rakyat, sebuah terobosan yang diberikan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) merupakan langkah yang melahirkan KPK.

KPK SUDAH TERCIPTA TETAPI KORUPSI TETAP MEMBUDAYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai panjinya sebagai seseorang yang memiliki hasrat yang besar untuk memberantas korupsi dengan meyakinkan rakyat bahwa komitmen memberantas korupsi dalam pemerintahannya dengan mengatakan “SAYA SENDIRI YANG AKAN MEMIMPIN”.Langkah awal yang dilakukan SBY dengan menerbitkan Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan dikeluarkan nya Rencana Aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN), SBY diuntungkan dengan sudah disahkannya undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi, pengadilan tindak pidana korupsi, dan dukungan internasional dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional. Tetapi hal itu tidak membuat korupsi di Indonesia lenyap, banyak kasus-kasus yang bermunculan pada era SBY, usaha pelemahan KPK pernah terjadi di masa ini bergejolak sebuah langkah yang membuat masyarakat bahwa SBY menyembunyikan kasus besar dalam pemerintahannya, usaha pelemahan KPK dengan usaha memasukkan sejumlah “orang-orang” ke dalam KPK pun patut diduga pernah terjadi di era ini.Jokowi sebagai pemimpin selanjutnya membawa KPK diharapkan mebawa warna baru terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia tetapi, korupsi pun masih terjadi juga di era ini, dari mulai didalam pemerintahan nya sendiri sampai instansi-instansi terkait. Pemotongan sejumlah kebijakan yang awalnya dimilki oleh KPK, dikira akan melemahkah dan berdampak buruk terhadap kinerjanya. Proses pembentukan undang-undang diatur dalam UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan selain itu proses pembentukan UU yang diatur dalam undang-undang 17 tahun 2014 majelis permusyawaran rakyat, dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Berdasarkan undang-undang No 12/2011, undang undang no 17 tahun 2014: 1. RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden. 2. Rancangan dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, penggaungan komisi atau alat perlengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau dwan perwakilan daerah. 3. RUU tersebut kemudian disusun dalam proses legislasi nasional (prolegnas) oleh badan legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun, serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah di urutkan prioritas pembahasannya. 4. RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (proglegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya. 5. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatam Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.

10

*) NH: LPKH 2018


Selanjutnya RUU ditindak lanjuti dengan dua tingkat pembicaraan: 1. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. 2. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahsan dalam inventaris masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi 3. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna, yang berisi: a. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. 4. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. 5. RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja 6. Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. 7. RUU yang telah dapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkandalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Kemanakah Arah Perjuangan Rakyat? Pelemahan kpk sudah tampak terlihat dalam sebuah draf RUU KPK yang disusun oleh DPR, hal tersebut sangat tampak kalau lembaga ini sebagai aksesoris belaka karena sifatnya yang sangat tidak mandiri dan pertanyaannya bagaimana arah perjuangan rakyat untuk menghadapi akibat dari pelemahan KPK ini? Perjuangan rakyat saat ini mencuat kembali ke permukaan, hak ini akibat dari kepemimpinan yang oligarki yang timbul akibat kesenjangan ekonomi sumber daya material yang dimiliki oleh oligark dapat secara fleksibel digunakan untuk membajak sumber daya kekuasaan yang lain, mulai dari hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan koersi, dan kekuatan mobilisasi. Inilah yang dilami oleh indonesia, demokrasi yang di idam-idamkan oleh Indonesia terasa seperti mimpi di siang bolong karena antara kekuasaan saling dukung satu sama lain yang membuat perjuangan rakyat sia-sia karena KPK dipilih oleh sebuah lembaga yang saling mendukung mengharapkan berhasil menyeleksi seorang pemimpin yang “Radikal� dari kekuasaan kolektif dalam hal ini rakyat disarankan untuk membuat perjuangan untuk menghadapi sistem dari pembentukan antara oposisi dan yang mendukung pemerintahan dan untuk melakukan perjuangan rakyat bisa melalui mempengaruhi executive review (PRESIDEN) dan legislative review (DPR) adalah salah satu mekanisme yang dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam konstitusi pasal 5 (1) dan 20 ayat (1) secara singkat legislative review dan executive review adalah proses pembentukan undang-undang biasa baik untuk membentuk yang baru maupun untuk merubah undang-undang yang ada. Judicial review adalah salah satu jalan yang dapat di tempuh akademisi untuk menghadapi pelemahan KPK, dapat dikatakan bahwa judicial review adalah suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada pelaksanaan kehakiman yang di tunjuk konstitusi (mahkamah agung dan mahkamah konstitusi) untuk melakukan peninjauan kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum.

11


INDEPEDENSI KPK TERANCAM KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari kekuasaan manapun KPK dijadikan pemerintah pusat Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap indepedensi pegawai yang menangani kasus korupsi di intansi pemerintahan

PEMBENTUKAN DEWAN PENGAWAS DIPILIH OLEH DPR DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK tetapi juga memilih dewan pengawas Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin dewan pengawas, seperti penyadapan penggeledahan dan penyitaan

PENUNTUTAN PERKARA KORUPSI HARUS KOORDINASI DENGAN KEJAKSAAN AGUNG KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam melakukan penuntutan korupsi: Hal ini beresiko mereduksi indepedensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara. PERKARA YANG MENDAPAT PERHATIAN MASYARAKAT TIDAK LAGI MENJADI KRITERIA Ketentuan yang sebelumnya diatur dalam pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum yaitu mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat padahal, pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi meresahkan dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.

12

PENYADAPAN DIPERSULIT DAN DIBATASI Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari dewan pengawas, sementara itu, dewan pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya Selama melakukan penyadapan seringkali menjadi sasaran ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari pengujian undangundang sampai upaya revisi UU KPK Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup, sehingga bukti penyadapan sangat berpengaruh dalam membongkar kasus korupsi Penyadapan diberikan batas watu 3 bulan, padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, sulit untuk melakukan penyelidikan dalam waktu yang relatif singkatv Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan SUMBER PENYIDIK DAN PENYIDIK DIBATASI Penyidik KPK hanya berasal dari polri sedangkan penyidik KPK berasal dari polri dan PPNS Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption commission di Timor Leste dan lembaga antikorupsi di Sierra Leonev Selama di proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kpk sudah berjalan efektif dengan proses pengrekrutan yang terbuka yang berasal dari berbagai sumber KEWENANGAN PENGAMBILALIHAN PERKARA DIPENUNTUTAN DIPANGKAS Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikanv KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di pasal 9 UU KPK KEWEWENANGAN STRATEGIS PADA PROSES PENUNTUTAN DIHILANGKAN Pelarangan keluar negeri Meminta keterangan perbankan Menghentikan transaksi keuangan terkait korupsi Meminta bantuan polri dan Interpol


KARHUTLA, Salah Siapa? Oleh: Annisa Nur Fauziah, Azizah Arfah*

Kebakaran hutan dan lahan bukan kali ini saja terjadi. Bila ditilik dari sejarah terjadinya karhutla sendiri bermula sejak tahun 1997. Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang paling parah terjadi yakni pada tahun 2015 dimana kerugian negara mencapai 221 Triliun Rupiah. Kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya kian terjadi. Adapun lima provinsi di Indonesia mengalami kebakaran hutan antara lain adalah Riau, Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Berdasarkan hasil pengamatan BMKG (13/9/2019) tercatat titik panas pada tanggal 12 September 2019 terjadi dibeberapa wilayah antara lain : 1.865 titik di Kalimantan, 412 titik di Semenanjung Malaysia, 216 titik Sarawak – Sabah, dan 1.231 titik di Sumatera.

Sementara menurut pantauan Satelit NASA pada tanggal 12 – 14 September 2019, titik kabut asap semakin banyak dan pekat di Kalimantan. Tak hanya itu, menurut Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura atau NEA (National Environtmental Agency) masih terdapat 1.300 titik panas yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Kerugian negara akibat kebakaran hutan ditahun 2019 ini telah menembus angka 66,6 Triliun Rupiah.

*) ANF,AA: LPKH 2018

13


Selain itu, kerugian lain yang ditimbulkan seperti kualitas udara menurun dan banyak provinsi yang ditetapkan statusnya menjadi darurat. Angka pencemaran Riau dan Jambi telah memasuki kisaran 190, seementara Kalimantan sendiri angka pencemaran dan kualitas udaranya sudah sangat buruk memasuki angka 500 yang mana statusnya sangat berbahaya dengan radius pandang hanya satu meter. Dampak lain akibat kebakaran hutan ini adalah aktivitas warga terganggu, dimana warga kekurangan bahan pangan akibat seluruh masyarakatnya mengungsi. Selain itu, aktivitas penerbangan juga terganggu akibat kabut asap. Garuda Indonesia sendiri telah membatalkan 15 jadwal penerbangan akibat kabut asap yang ditimbulkan. Maskapai lain pun melakukan hal yang sama. Dampak dan kerugian yang ditimbulkan tak berhenti sampai disitu, negara terus mengalami kerugian akibat kurangnya ekspor kayu maupun non-kayu yang menyebabkan devisa negara sulit untuk bertambah dan mengalami peningkatan. Begitupun dengan flora dan fauna yang kehilangan habitatnya. Hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat harus kandas akibat kebakaran hutan dan lahan belasan ribu hektare. Kebakaran hutan yang marak terjadi setiap tahunnya tidak hanya diakibatkan karena musim kemarau dan cuaca kering (El Nino) saja. Melainkan, terdapat ulah manusia baik itu individu maupun korporasi yang menjadi dalang dan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan membakar hutan dan lahan yang dianggap mudah dan aman. Namun, sejak 2015 – 2018, banyak korporasi yang lolos seleksi dari kebakaran hutan yang terjadi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi karhutla yang kian parah terjadi, antara lain sebagai berikut :

1. Menurunkan Pasukan Plh Kapusdatin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyebut bahwa pihaknya menurunkan lebih dari 9.000 personel untuk membantu memadamkan api di kebakaran hutan, baik yang ada di Sumatera maupun Kalimantan. Masing – masing provinsi yang banyak terjadi karhutla diterjunkan 1.512 personel, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Masing – masing pasukan tersebut terdiri atas 1.000 anggota TNI dan 200 anggota POLRI. Tak hanya itu, anggota BPDB dan partisipasi masyarakat juga turut dikerahkan untuk mempercepat upaya pemadaman yang dilakukan. 2. Water Bombing Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 14 September 2019terdapat 32 helikopter yang dioperasikan untuk mengguyurkan air di titik

14


titik api. Wilayah pengoperasian diantaranya Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Upaya water bombing ini sendiri kurang lebih menggunakan 259.594.494 liter air. 1. Teknologi Modifikasi Cuaca Upaya terakhir dilakukan pemerintah melalui instansi terkait juga telah mengupayakan hujan buatan atau Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan menyemai awan menggunakan garam. Kendati telah diusahakan upaya ini, harus menemui kegagalan akibat minimnya awan di atas lokasi kebakaran hutan dan lahan, paling tidak membutuhkan awan minimal 80%. LANTAS KELALAIAN SIAPA? Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menyebabkan 1 juta orang menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) Tidak hanya negara yang dirugikan tetapi masyarakat secara luas terkena dampaknya. Terhitung sejak 22 September 2019, 500 warga Kalimantan menggugat Pemerintah. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi bukanlah bencana dari Tuhan, melainkan kelalaian pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah yang dinilai lalai dalam upaya perencanaan dan pencegahan. Selama ini, upaya pemerintah dalam mengatasi karhutla hanya sebatas penanggulangan dan penegakan hukum saja. Sedangkan pencegahan dan pengawasan masih sangat minim dilakukan. Padahal sudah jelas tercantum pada Pasal 4 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi : Perencanaan, Pemanfataan, Pengendalian, Pemeliharaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum. Dimana ruang lingkup tersebut menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat, Menteri, Pemerintah Daerah yang berperan dan bertanggung jawab besar atas hal – hal tersebut. Dalam penelitian audit kepatuhan karhutla yang disusun ICEL (2017), dijumpai temuan belum adanya pengawasan periodik dan intensif, data pencegahan dan pengawasan yang tidak transparan, serta belum adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). Evaluasi perizinan juga tidak pernah dilakukan. Bahkan perizinan di bidang lingkungan seringkali dianggap menghambat investasi dan hendak dipangkas. Hal ini tampak jelas dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 mengenai Online Single Submission (PP OSS) di mana dikenal adanya Izin Lingkungan hanya berdasarkan komitmen semata. Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Pengembangan Program ICEL secara khusus menyoroti keseriusan pemerintah dalam menangani isu karhutla. “Karhutla 2019 menunjukkan ketidakcakapan Jokowi dalam menangani masalah ini.

15


Perlu dicatat, periode pertama pemerintahan Jokowi dibuka dan ditutup dengan karhutla. Dengan segala hormat kepada tim yang sudah bekerja di lapangan, masalah ini adalah tanggung jawab utama presiden. Pasca karhutla 2015, Presiden membuat Inpres No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Tetapi Inpres tersebut tidak dijalankan dan diawasi dengan serius. Dari hasil sengketa informasi antara ICEL dengan Kemenkopolhukam tahun 2018, terungkap bahwa tidak pernah ada laporan pelaksanaan Inpres tersebut, sehingga pelaksanaan pengendalian karhutla yang diamanatkan Inpres 11/2015 patut dipertanyakan."Adapun dalam amar Putusan Sengketa Informasi Nomor 001/1/KIP-PS-A/2017 yang disebutkan Raynaldo, Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenkopolhukam selaku Termohon untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres No. 11 Tahun 2015 dan memberikannya kepada Pemohon sebagai informasi publik yang terbuka untuk umum. Kemudian terhadap Putusan CLS Palangkaraya yang isinya adalah pelaksanaan kewajiban hukum saja pun, Presiden masih mau mengajukan PK. Seandainya dari tingkat banding Presiden tidak PK, maka kebijakan dan sistem pengendalian karhutla berdasarkan putusan tersebut sudah tersedia. Terakhir yang perlu diingat, sebagian dari isi putusan tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.” tutup Raynaldo. Juru Kampanye Green Peace, Arie Rompas, menyampaikan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla yang terjadi sejak 1997 ini dipicu kelalaian pemerintah. Pemerintah dinilai melakukan pembiaran terhadap pelaku pembakaran lahan gambut. Akibatnya sejak 1997, karhutla terjadi di sejumlah wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. “Dalam konteks Indonesia, saya kira penting melihat negara menjadi pelaku pembiaran terhadap kelalaian yang terjadi atas kebakaran hutan dan lahan," Hal ini pun senada dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberikan izin – izin diwilayah Hutan Tanaman Industri Berdasarkan Putusan MA tentang Kebakaran Hutan dan Lahan, Presiden dinilai bersalah dan melanggar serta dijatuhi hukuman. Terdapat beragam hukuman yang harus dilakukan Presiden Jokowi. Hukuman-hukuman itu antara lain: Menerbitkan Peraturan

pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat yaitu:

16


penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat yaitu: Peraturan Pemerintah tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan Hidup; Peraturan Pemerintah tentang baku mutu lingkungan, yang meliputi: baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; Peraturan Pemerintah tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup; Peraturan Pemerintah tentang analisis risiko lingkungan hidup; Peraturan Pemerintah tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup; Membuat tim gabungan dimana fungsinya adalah : Melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah; Melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran; Membuat roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan Segera mengambil tindakan :

Mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Propinsi Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi Korban Asap; Memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah provinsi Kalimantan Tengah membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di Provinsi Kalimantan Tengah; Membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antispasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap; Menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar;

17


Membuat Membuat Peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah ProvinsiKalimantan Tengah; Kebijakan standart peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;

Melakukan:

Mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya; Mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah; Mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang be perusahaan - perusahaan yang lahannya terbakar; Mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan Sehingga dalam hal ini, masyarakat yang dirugikan serta organisasi yang mengatasnamakan lingkungan hidup dapat menggugat pemerintah dengan prosedur yang telah ditentukan. Pemerintah sendiri mengakui bahwa ini menjadi kelalaian pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan yang minim. Seharusnya juga pemerintah membeberkan individu ataupun korporasi yang bersalah ke muka publik baik yang melakukan kebakaran hutan dan lahan sejak 2015 lalu hingga kini. Pemerintah bukan hanya harus menindak tegas terhadap oknum oknum yang menyebabkan kerugian kepada negara dan masyarakat luas, tetapi, pemerintah juga harus memikirkan dan menyusun strategi untuk melakukan perencanaan dan penanggulangan terhadap maraknya kebakaran hutan yang terjadi yang disorot mata dunia. Sebab, kabut asap yang ada juga hinggap di Kalimantan Timur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai ibu kota RI.

18


Ruang Resensi

Film "Miracle in Cell No.7" Oleh: Anastasya Putri Cantika* Genre : Drama Sutradara : Lee Hwan-kyung Pemain : Ryu Seung-ryong, Park Shin-hye, Kal So-won, Jung Jin-young, Oh Dal-su, Park Won-sang, Kim Jung-tae, Jung Man-shik, Kim Gi-cheon Tanggal rilis : 23 Januari 2013 Durasi : 127 menit

Lee Yong Goo adalah seorang laki-laki berusia 40 tahunan

tetapi

memiliki

keterbatasan

mental

yang

menyebabkannya tidak bisa fasih dalam berbicara. Ye Sung adalah anak satu-satunya yang dimiliki oleh Lee Yong Goo dan

ia

amat

menyayangi

putrinya

itu.

Mesikpun

memiliki

keterbatasan, Lee Yong Goo akan melakukan hal apa saja demi kebahagiaan putrinya, Ye Sung, yang masih berusia 6 tahun.Tapi Ye Sung adalah putri yang mandiri dan cerdas sehingga mereka menjadi

iya

jarang

yang amat

semula

me

repost

tkan

ayahnya.

baik-baik

saja

mendadak

menyedihkan

semenjak

Lee

kehidupan berubah

Yong

Goo

dipenjara.

Peristiwa memilukan hati tersebut diawali saat Ye Sung yang sangat menyukai Sailor Moon dan ia meninginkan tas yang dijual di sebuah toko, namun saat itu Lee Yong Goo belum memiliki uang. Tetapi sayang, saat sudah akan mendapatkan tas tersebut, tas itu justru sudah dibeli oleh seorang anak perempuan dan ayahnya yang merupakan seorang Komisaris Jenderal Polisi. Ayah gadis tersebut tega memukuli Yong Goo yang sudah memohon dengan sopan untuk tidak membeli tas tersebut. Tak hanya sampai disitu perjuangan Yong Goo.

Ternyata anak Komisaris Jenderal Polisi adalah anak yang baik. Ji Yeong menunjukkan toko lain yang juga menjual tas yang sama dengan yang ia beli. Namun naas, saat diperjalanan, Ji Yeong terpleset dan meninggal dunia. Disinilah awal mula cobaan hidup di keluarga Yong Goo. Yong Goo terlibat kasus dengan tuduhan melakukan penculikan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan.Akhirnya Yong Goo pun dimasukkan ke sel penjara no. 7 yang memiliki tingkat keamanan tinggi. Para penghuni tahu penyebab Yong Go masuk sehingga mereka bersikap tidak baik dengan Yong Goo karena dianggap kasus yang fatal. Bahkan sipir pun ikut bersikap tidak baik pada Yong Goo.

*)LPKH 2019

19


Ruang Resensi

Akan tetapi, banyak insiden yang menbuktikan bahwa Yong Goo adalah pria yang jujur, baik dan suka menolong. Akhirnya para narapidana sel no. 7 dan sipir membantu mengabulkan permintaan Yong Goo untuk bertemu putrinya. Narapidana di sel ini berupaya membantu Lee Yong Goo untuk membuktikan bahwa ia tak besalah di persidangan, mereka pun berlatih terus menerus. Hingga tibalah saat hari-H persidangan dimulai. Hari ketika semua menunggu kebebasan Lee Yong Goo yang tidak bersalah.

Namun alangkah mengejutkannya ketika hari persidangan, Yong Goo justru mengakui semua tuduhan dan ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Rasa sayang Yong Goo yang begitu besar terhadap anaknya, membuatnya mengakui semua tuduhan yang diajukan terhadapnya. Hingga Lee Yong Goo dijatuhi hukuman mati atas tuduhan yang sama sekali tidak diperbuatnya. Ye Sung yang telah tumbuh dewasa pun bersahabat baik dengan narapidana di sel 7 itu, dan akhirnya dapat membuktikan bahwa ayahnya Lee Yong Goo tidaklah bersalah, walaupun Lee Yong Goo telah meninggal dunia.Namun alangkah mengejutkannya ketika hari persidangan, Yong Goo justru mengakui semua tuduhan dan ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Rasa sayang Yong Goo yang begitu besar terhadap anaknya, membuatnya mengakui semua tuduhan yang diajukan terhadapnya. Hingga Lee Yong Goo dijatuhi hukuman mati atas tuduhan yang sama sekali tidak diperbuatnya. Ye Sung yang telah tumbuh dewasa pun bersahabat baik dengan narapidana di sel 7 itu, dan akhirnya dapat membuktikan bahwa ayahnya Lee Yong Goo tidaklah bersalah, walaupun Lee Yong Goo telah meninggal dunia.

20


Ruang Alumni RUANG ALUMNI

Fery Monang Sihite SH.,MH Oleh: Diandra Rahmadiany*

Beberapa berhasil yang

waktu

lalu,

tim Jurnalistik

mewawancarai

merupakan

Universitas

Bapak

salah

Trisakti.

satu

Kini,

LPKH

Ferry

alumni

Beliau

FH

Usakti

Monang

Sihite

Fakultas

menjabat

Hukum

sebagai

Direktur Intelijen Keimigrasian pada Direktorat Jenderal lmigras

yang

pernah

juga

sebelumnya

menjabat

sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Medan, Sumatera

Utara.

keimigrasian,

Sebelum

Beliau

berkecimpung

lulus

dari

di

Fakultas

dunia Hukum

Universitas Trisakti dengan gelar sarjana hukum muda. Beliau menuturkan bahwa dirinya butuh waktu sekitar enam tahun untuk mendapatkan gelar sarjana hukum muda itu.

Saat

masih

hukum,

menjadi

Beliau

membuat buku yang

rajin materi

kemudian

tersebut

Beliau

seorang

mahasiswa

mengadakan kuliah

diperbanyak lakukan

atau

mentoring,

semacam

atau

untuk

fakultas

diktat,

difotokopi.

memenuhi

Hal

kebutuhan

finansialnya selama menjadi mahasiswa. Saat itu, Pak

Setelah mendapat gelar sarjana hukum muda, Beliau mencoba

Ferry adalah seorang mahasiswa yang hidup bersama

untuk

orang

baik.

Kehakiman

yang

baik,

Maha Esa, tuturnya, Beliau diterima sebagai pegawai negeri

mahasiswa

yang

sipil Departemen Kehakiman bagian Imigrasi Medan, Sumatera

tuanya

Namun, tidak manja

dengan

keadaan

membuat atau

keadaan

finansial

Pak

terlalu

Ferry

finansial

orang

tuanya

menjadi

bergantung

kepada

yang

orang

tua.

Utara.

melamar

sebagai

bagian

Tak

pegawai

Imigrasi.

hanya

Puji

menjadi

negeri

syukur

sipil

kepada

pegawai

negeri

Departemen Tuhan

sipil,

Yang

Beliau

menjadi

melanjutkan pendidikannya dan mengikuti ujian di salah satu

seorang yang mandiri dan giat bekerja. Nasihat yang

universitas swasta di Medan untuk mendapatkan gelar sarjana

diberikan Ayahnya, Beliau selalu tanamkan hingga saat

hukum. Tidak berhenti sebagai seseorang yang bergelar sarjana

ini. Pada saat mendekati tingkat akhir kuliah untuk

hukum,

memperoleh

Universitas

Ayahnya

selalu

gelar

memutuskan yang

tadi,

menasihatinya

untuk namun

sarjana tidak

muda

lagi

Beliau

agar

selalu

hukum,

mencari

melamar

Departemen Kehakiman bagian Imigrasi .

*) LPKH 2018

uang

Beliau seperti

pekerjaan

di

Tidak

Beliau

melanjutkan

Padjajaran

butuh

waktu

pendidikan

dengan

lama

strata

mengikuti program

untuk

menyelesaikan

duanya

di

beasiswa. pendidkan

strata duanya tersebut sehingga Beliau mendapat rekomendasi untuk melanjutkan pendidkan strata tiga, namun Ia menolak.

21


LPKH | RECHT MAGAZINE

Disebabkan karena factor orang tua,Ferry memilih jalannya untuk berkecimpung di dunia hukum. Kebetulan, orang tua beliau merupakan petugas imigrasi yang pada saat itu Keimigrasian di bawah Departemen Kehakiman. Menurutnya, potret pertama yang Beliau lihat adalah orang tua, karena baginya, segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan awalnya berangkat dari rumah. Ayahnya merupakan salah satu sosok yang paling Beliau idolakan. Baginya, sosok Ayahnya adalah seseorang yang disiplin, tertib, dan bertanggung jawab. Karena alasan itulah, Pak Ferry memiliki keinginan yang kuat untuk belajar di fakultas hukum dan berkecimpung di dunia hukum. Awalnya, Pak Ferry tidak memiliki bayangan untuk meneruskan pekerjaan Ayahnya tersebut sebagai petugas imigrasi, tetapi Beliau bertekad untuk menjadi seorang pegawai negeri

sipil.

Keberhasilan

yang

ditorehkan

Ayahnya

merupakan

factor

pendorong

yang

kuat

bagi

Pak

Ferry

dalam

mewujudkan cita-citanya. Menurut Beliau, perjalanan kariernya sampai saat ini merupakan anugerah yang dihasilkan dari kerja kerasnya. Beliau meyakini bahwa , apapun yang kita lakukan, jika hal itu dilakukan dengan bekerja keras dan dibarengi dengan penyerahan diri (red:berdoa) serta menyerahkan diri kepada Tuhan atau Allah, pasti sesuatu yang kita inginkan

tersebut

akan

terwujud.

Tuhan

itu

punya

rencana,

namun

rencana

Tuhan itu

harus

di

wujudkan,

harus

di

aktualisasikan dengan bekerja keras. Karena tanpa kerja keras, apapun yang kita cita-citakan tidak akan tercapai, tuturnya.

22


ARTIKEL KHUSUS

AKSI DIKEBIRI, REFORMASI DIKORUPSI

Oleh: Kalvin Dewantara*

23-24 September 2019 menjadi saksi bagi seluruh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, dimana mahasiswa sedang menyuarakan aspirasi atas dasar kondisi bangsa yang tidak baik-baik saja, kebijakan akhir-akhir ini yang injustice, membuat resah masyarakat khususnya mahasiswa mulai dari pengesahan UU KPK yang secara substansi dinilai melemahkan KPK itu sendiri, Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang identik dengan negara lebih mengatur urusanurusan privat warga negaranya dibanding urusan publik, lalu Revisi UU Pertanahan yang belum menjawab persoalan agraria di Indonesia, RUU Permasyarakatan yang memberikan hak kepada narapidana untuk melakukan “liburan” dari lapas, serta kebakaran hutan yang tak usut selesai.

Selasa 24 September 2019, terik matahari menyinari puluhan ribu mahasiswa yang turun aksi di depan Gedung MPR/DPR Jakarta dengan membawa keresahan-keresahan yang dihasilkan atas produk-produk yang telah dan akan disahkan oleh pemerintah.

Hal-hal diatas yang membuat masyarakat khususnya mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Makasar dan kotakota lain menyuarakan pendapatnya di muka umum pada tanggal 23 dan 24 September 2019, dengan membawa jargon “Reformasi Dikorupsi”

*) LPKH 2016

23


Bukan zamannya lagi mahasiswa untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi mahasiswa harus ikut mewarnai perubahan tersebut yaitu untuk menjadikan masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai seorang terpelajar dan bagian masyarakat, maka mahasiswa memiliki peran yang kompleks yaitu sebagai Social Control. Dengan fungsi tersebut, tentu saja tidak dapat dipungkiri bagaimana peran besar yang diemban mahasiswa untuk mewujudkan perubahan bangsa. Ide dan pemikiran cerdas seorang mahasiswa mampu merubah paradigma yang berkembang dalam suatu kelompok dan menjadikannya terarah sesuai kepentingan bersama.

Maka komplekslah peran mahasiswa itu sebagai pembelajar sekaligus pemberdaya yang ditopang dalam peran sosial control. Hingga suatu saat nanti, mahasiswa memang benar-benar mampu memberikan kontribusi yang jelas kepada masyarakat serta mampu membangun kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia tercinta. Kontribusi mahasiswa kepada bangsa pun banyak sekali bentuknya. Prestasi akademik dan non-akademik akan lebih bermakna bagi masyarakat Indonesia (Puariesthaufani, 2011).

Social control memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi- strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyusaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. Seseorang mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan seseorang. Seseorang menjadi kriminal ketika kekuatan- kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang. Sistem keyakinanlah yang membimbing apa yang dilakukan orangorang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli dengan bentuk keyakinan yang dipilih. Setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melanggar hukum (Hirschi, 1969).


berangkat dari kajian yang telah penulis paparkan sebelumnya dengan lebih membahas peran mahasiswa yang difokuskan pada peran social control, maka penulis bisa memberikan kesimpulan bahwa adalah benar ketika mahasiswa ikut turun aktif dalam mengawal, mengontrol serta mengawasi pemerintah sebagai bentuk ikut berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dengan kata lain mahasiswa juga sebagai penopang demokrasi dalam suatu bangsa supaya dalam setiap memberikan kebijakankebijakannya pemerintah baik eksekutif maupun legislatif akan menghasilkan kebijakan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam Mahasiswa! Salam Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! (KD/2016)

25


"IDEALISME ADALAH KEMEWAHAN TERAKHIR YANG HANYA DIMLIKI OLEH PEMUDA" TAN MALAKA


Telah Dilaksanakan Rapat Kerja dan Pengesahan Anggota Baru LPKH 2019 Liputan Oleh: Divisi Jurnalistik

Khusus Ruang Kampus

Komunitas yang didirikan pada tanggal 12 Februari 2019, akhirnya mengadakan rapat kerja pertama serta pengesahan anggota baru LPKH 2019. Rapat yang diselenggarakan oleh Divisi Hubungan Masyarakat ini dihadiri lengkap seluruh anggota LPKH baik Badan Pengurus Harian maupun Anggota Baru. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 7 September 2019 yang bertempat di Gloria Suites Hotel, Jakarta Barat.

Enam Puluh Mahasiswa yang juga merupakan anggota LPKH ikut dalam meramaikan kegiatan yang memiliki tema "membangun bangsa dengan nalar kritis", Tidak hanya dihadiri oleh para anggota namun kegiatan ini juga dihadiri oleh Perwakilan dari kampus yakni Ibu Intan Nevia yang juga merupakan asisten wakil dekan III bidang kemahasiswaan FH Universitas Trisakti, Ketua IKA FH USAKTI Rivai Kusumanegara serta Ketua BEM FH USAKTI Muhammad Syarif.

Tujuan kegiatan ini tidak hanya mempertumakan para anggota LPKH namun juga menentukan program kerja selama satu periode, emperkenalkan visi dan misi setiap divisi yang ada di LPKH kepada para anggota baru serta mempererat tali silahturahmi antar anggota LPKH.

"Kalian memilih kendaraan yang tepat yaitu LPKH" -Dr. Intan Nevia Cahyana SH.MH

27


Galeri Foto-foto Kegiatan Rapat Kerja LPKH 2019

Together we can LPKH

28


Ruang Apresiasi LPKH

APRESIASI DIVISI DAN ANGGOTA TERBAIK BULAN SEPTEMBER 2019

Divisi Terbaik: Divisi Kajian

Ketua: Abdul Aziz Wakil Ketua: Afif Assegaf Anggota: Chinta Marlina, Angela Farrah, Doni Prakasa, Haris Anugrah, Fayadh Ayyasi, Dhika Chandra, Dimas Adhi, Hafizh Arkan, Rafee Alpasha, Fauzan Ridho, Andri Suwandi, Yofarrel, Garuda, Fauzan Raisal Misri

Anggota Terbaik:

Naufal Sudharmawan Divisi Jurnalistik

29


KEPENGURUSAN LEMBAGA PENELITIAN DAN KAJIAN HUKUM 2019-2020 Ketua Umum Kalvin Dewantara

Wakil Ketua Umum IM. Dhidat Irsyad

Sekretaris Umum Andhiani Susanty

Bendahara Umum Amanda Syifa Clarissa

Divisi Penelitian Ketua: Natalleyo Arya Wakil Ketua: Khrisdianto Risyad Anggota: M. Ilham Rezkianto, Giovannie Manasye, Cika Zulyani, Dewwas Saputra, Annisa Diva, Rizki Faturrahman, Raidatus Safira, Faris Mahardika

Bidang Kajian Ketua: Abdul Aziz Wakil Ketua: Afif Assegaf Anggota: Chinta Marlina, Angela Farrah, Doni Prakasa, Haris Anugrah, Fayadh Ayyasi, Dhika Chandra, Dimas Adhi, Hafizh Arkan, Rafee Alpasha, Fauzan Ridho, Andri Suwandi, Yofarrel, Garuda, Fauzan Raisal Misri

Biro Penulisan dan Literasi Ketua: M. Pasha Arifin Wakil Ketua: Farida Mukhlisah Anggota: Azizah Arfah, Anastasya Putri, Noval Hakiki, Ahmad Sabirin, Annisa Nur Fauziah, Ananda Elsa

Biro Jurnalistik Ketua: Hadyan A Falah, Wakil Ketua: Diandra Rahmadiany, Anggota:Syamsul Mu'in, Suryo Atmojo, Syahdan Sabillah, Faris Afdil Akrema, Dafa Hilmi, Zahra Salsabillah, Devy Ota, Naufal Sudharmawan

Biro Hubungan Masyarakat Ketua: Amel Savitri Wakil Ketua: Hana Hanifah Anggota: Michele Emmanuela Rumondang, Rafi Aryo, Nabila Rahmania, Pandya Dimas Prasetyo, Phoebe Eugenia, I'zaz Alhady, Abdullah Rafi, Aurellia Afrah, Alysha Azalia, Daffa Fikri


HUMAS

Ruang Kampus Tongkronganmu, Komunitasmu, Ormawamu mau diliput di kolom "ruang Kampus" silahkan kirim permintaan liputan ke: Lpkhtrisakti@yahoo.com

Terima kasih kami haturkan kepada setiap perusahaan, kantor hukum, dan lain-lain yang telah memberikan donasi dalam bantuan pencetakan majalah dari edisi ke edisi. Berikut kami lampirkan Sponsored majalah dari edisi ke edisi:


Sponsored by :

Diterbitkan oleh: Lembaga Penelitian dan Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti : Lpkh.Trisakti


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.