CMYK
SELASA, 10 SEPTEMBER 2013
Agus Suprayoga
INSPIRASI
LAMPUNG POST
CMYK
Saya ingin ukiran Lampung dapat dikenal dunia, seperti kain tapis. Untuk itu, dibutuhkan peran besar pemerintah daerah mempromosikan ukiran berornamen Lampung.
15
AGUS SUPRAYOGA
Sangat Mencintai Lampung KECINTAANNYA pada seni dan budaya Lampung membawa ayah dua anak ini bertekad mengembangkan ukiran Lampung dalam bentuk sovenir, hiasan dinding, bahkan mebel.
D
ia bahkan membangun rumah adat berornamen Lampung di tempat usaha sekaligus tempat tinggalnya, di Jalan Imam Bonjol No. 48, Langkapura, Bandar Lampung, sebagai bentuk kecintaannya pada Lampung. “Paling tidak, rumah adat ini bisa dijadikan pusat informasi mengenai seni, budaya, kerajinan, dan pariwisata Lampung. Rumah ini juga akan saya buatkan perpustakaan agar pengunjung yang datang ke sini bisa mendapatkan informasi tentang Lampung dari beberapa buku yang sudah saya kumpulkan,” kata Agus Suprayoga kepada Lampung Post, Sabtu (7-9). Lulusan SMK Negeri 5 Bandar Lampung ini mengisahkan sejak kecil dia memang tertarik dengan seni dan budaya Lampung. Ayahnya yang bekerja sebagai tukang kayu turut membentuk minat dan kemampuannya dalam dunia seni ukir. Namun, Agus tidak ingin meniru ukiran-ukiran yang sudah dikenal selama ini, baik dari Bali ataupun Jepara, Jawa Tengah. Dia pun memiliki niat untuk membuat ukiran Lampung. Sayangnya, waktu itu dia belum
mendapatkan banyak informasi soal ukiran Lampung, baik dari literatur maupun peninggalan seni budaya yang terkait ukiran Lampung. Usai menyelesaikan sekolah menengahnya, Agus pun memulai petualangannya belajar seni ukiran di Jepara. Hampir setahun dia mempelajari seluk beluk ilmu dasar ukiran. Pulang ke Bandar Lampung, Agus pun memantapkan tekad membuka usaha ukiran Lampung. Dia pun mulai menjelajah beberapa daerah di Lampung yang masih menyisakan peninggalan seni dan budaya dan kerajinan Lampung. Dia memburu berbagai tapis kuno yang memiliki desain khas Lampung yang dianggapnya unik dan etnik. “Ya, saya seperti kolektor barangbarang antik, mencari beragam motif tapis yang sudah berumur tua, bahkan lebih dari 100 tahun. Tujuannya, saya ingin mempelajari motif ornamen Lampung yang bisa dijadikan ukiran,” kata dia. Guna memperdalam ilmu tentang ukiran Lampung, Agus pun menemui beberapa tokoh Lampung, seperti Mawardi Harirama dan Marwansyah Warganegara, guna
mengetahui filosofi motif Lampung yang ada di kain tapis. “Kain-kain tapis tua yang saya dapatkan saya tebus dengan harga cukup mahal. Tapi demi mengembangkan ukiran Lampung, saya relakan semua. Karena saya ingin membuat tonggak sejarah ukiran Lampung untuk generasi yang akan datang,” kata dia. Peraih Penghargaan UKM dalam Produktivitas 2008 dari Gubernur Lampung (waktu itu dijabat Syamsurya Ryacudu) itu akhirnya memberanikan diri membuka usaha ukiran berarnomen Lampung. Saat membuka usaha, Agus pun mengakui kalau ukiran yang dihasilkan dikira banyak orang adalah ukiran Jepara yang dimodifikasi. Namun, perlahan tapi pasti, Agus pun berupaya memperkenalkan karya seni ukiran khas Lampung itu ke masyarakat luas. “Saya bersyukur, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memberi perhatian besar kepada saya dalam mengembangkan ukiran Lampung. Bahkan, beliau juga memesan beberapa mebel khas Lampung dari saya. Dan, sangat men-
dorong saya untuk terus mengembangkan ukiran Lampung,” kata dia. Agus pun membeli sebidang tanah dan merekrut sekitar 20 karyawan untuk mengembangkan usaha ukiran Lampungnya. Bahkan, sampai saat ini, sekalipun tidak ada pesanan, dia tetap memproduksi usaha ukiran Lampung walau kini jumlah pekerjanya berkurang. “Seperti membangun rumah adat Lampung ini, saya ingin terus berkarya mengembangkan ukiran Lampung agar semakin dikenal masyarakat,” kata dia. (LUKMAN HAKIM/ S2)
LAMPUNG POST/IKHSAN DWI SAPUTRO
Perlu Peran Pemerintah Daerah
LAMPUNG POST/IKHSAN DWI SAPUTRO
MOTIF TAPIS. Agus Suprayoga menunjukkan kain tapis tua yang dia dapatkan dari berbagai daerah di Lampung. Motif-motif kain tapis itu dijadikan motif ukiran yang dia kembangkan saat ini.
DALAM mengembangkan usaha seni ukiran khas Lampung, Agus Suprayoga menggunakan bahan baku lokal sebagai menegaskan identitas kelampungan. Kayu jati yang dia gunakan berasal dari Tegineneng, Pesawaran. Bahkan, karyawan yang dia pekerjakan pun berasal dari penduduk Lampung sendiri. “Memang ada satu teman yang saya bawa dari Pu-
lau Jawa. Dia yang banyak memberikan masukan kepada pekerja lain dalam hal ukiran,” kata Agus. Saat ini Agus memproduksi kerajinan di workshop yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 48, Langkapura, Bandar Lampung. Sedang kan untuk memasarkan hasil-hasil produksi kerajinannya, Agus membuka ruang pamer di Jalan Sultan Agung No. 35, Way
Halim, dan Jalan Antara No. 20A, Tanjungkarang Barat. Sekalipun usahanya sudah cukup maju dan berkembang, Agus mengaku masih belum puas. Dia ingin ukiran Lampung benar-benar dikenal di dunia internasional dan menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. “Ya, saya ingin ukiran Lampung go international seperti tapis. Untuk itu, memang dibutuhkan peran besar dari pemerintah daerah dalam mempromosikannya. Misalnya, dengan membawa hasil kerajinan ukiran berarnomen Lampung pada pameran-pameran dalam dan luar negeri,” kata dia. Untuk itu, Agus berharap pemerintah benar-benar memperhatikan pengembangan usaha seperti ini. Misalnya, dinas-dinas terkait membantu perajin dalam hal pengemasan dan pemasaran. “Ini sangat penting karena ukiran Lampung ini akan menambah khazanah budaya Lampung yang sudah ada,” kata dia. Agus mengakui usahanya dalam mengembangkan usa-
Mengutamakan Pendidikan di Sekolah ha ukiran Lampung memang penuh jalan berliku. Beruntung, sejak di bangku SMK, dia sudah mendapatkan ilmu tentang seni ukir. Namun, dia baru melihat seni ukir yang ada di Lampung didominasi dari motif Jawa. Sedangkan ukiran Lampung baru sebatas siger dan patung gajah. Untuk meningkatkan pengetahuannya, pria kelahiran Gedungwani, Lampung Timur, 10 April 1979, usai lulus sekolah pada 1997 berguru ke Jepara selama kurang lebih enam bulan. Dari sini, pengetahuan dan kemampuannya dalam bidang seni ukir semakin terasah tajam. Setahun kemudian, dia menjadi pekerja magang di sebuah usaha furnitur. Selepas magang, dia memberanikan diri membuka usaha sendiri di rumah orang tuanya yang terletak di Jalan Antara, Bandar Lampung. Padahal waktu memulai usaha saat itu, Indonesia dalam kondisi krisis. Tapi, Agus bertekad terus melangkah hingga saat ini. (LUKMAN HAKIM/S3)
AGUS Suprayoga mengaku dia bukan berasal dari orang berada. Ekonomi yang sulit saat masa kecilnya tidak menyurutkan kedua orang tuanya untuk terus memberikan pendidikan yang layak kepada dia dan saudarasaudaranya yang lain. Saat baru kelas II SD, Agus dibawa hijrah dari Lampung Timur ke Bandar Lampung oleh kedua orang tuanya. Ayahnya, Sigit Dwi Admadi, yang berasal dari Jawa adalah seorang tukang kayu. Sedangkan ibunya, Idawati, adalah ibu rumah tangga biasa yang sangat menginginkan anak-anaknya sekolah dengan baik. Agus kecil pun dipindahkan ke SDN 6 Sukajawa, Tanjungkarang Barat. Lulus pada 1991, dia pun melanjutkan di SMP Negeri 7 Bandar Lampung dan lulus pada 1994. Usai lulus SMP, Agus melanjutkan pendidikannya ke SMK Negeri 5 Bandar Lampung dan lulus 1997. Agus mengatakan dia dimasukkan ke SMK dengan tujuan agar bisa cepat bekerja. Semula, dia ingin masuk ke STM Negeri (SMKN 2) Tanjungkarang. Namun, karena tidak diterima dan melihat kakaknya sudah lebih dulu sekolah di SMKN 5, Agus pun memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah itu. “Kedua orang tua saya memang
sangat menginginkan kami menjadi pengusaha dan dapat sekolah setinggi-tingginya. Atas dasar itu, kedua orang tua saya membawa semua anak-anaknya pindah ke Bandar Lampung dan kami pun menyelesaikan pendidikan di sini,” kata suami dari Yulidawati itu. Agus juga menuturkan dia sangat mengingat betul pesan ayahnya agar bisa menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi banyak orang. Selain itu, jangan pernah meninggalkan pendidikan agar hidup ke depan menjadi lebih baik. Karena bagi orang tuanya, orang yang tidak memiliki ilmu tidak akan dapat hidup lebih baik dan sejahtera. Agus juga mengakui bakat seni ukirnya memang dari ayahnya yang bekerja sebagai tukang kayu. Namun, kecintaannya dengan seni budaya Lampung terpengaruh dengan motif hasil kerajinan khas Lampung yang dinilainya sangat indah. Pada 2007, Agus menyunting Yulidawati, teman SD-nya yang saat ini telah memberinya dua anak. “Namun, anak-anak saya tidak harus mengikuti jejak saya. Saya akan mengusahakan mereka dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin,” kata dia. (LUKMAN HAKIM/S3)
BIODATA Nama Kelahiran Pekerjaan Pendidikan Istri Anak
Ayah Ibu Penghargaan
: : : : : :
Agus Suprayoga Gedungwani, Lamtim, 10 April 1979 Pengusaha Mebel, Perajin Ukiran Lampung SMK Negeri 5 Bandar Lampung Yulidawati 1. M. Faturrahman (5) 2. Fawwaz Nadira : Sigit Dwi Admadi : Idawati : UKM Produktivitas 2008 dari Gubernur Lampung
CMYK
CMYK