Lampungpost edisi 8 september 2013

Page 21

CMYK

±

CMYK

±

±

sastra mINGGU, 8 sEPTEMBER 2013 LAMPUNG POST

21

CERPEN MASHDAR ZAINAL

±

±

Dan Burung-Burung pun Pulang ke Sarangnya SEBELUM kau menembakkan matamu ke arah langit yang hampir matang di sebelah barat, sekawanan burung telah terlebih dahulu terbang melintas dan menghilang di kejauhan. Langit begitu tenang, hingga kita mengira bahwa pada saats a at te r te nt u l a n g i t p u n d a pat meng­h eningkan cipta untuk kesedihan yang mengendap di bumi. Dan warna jingga—senja i t u , mu n g k i n m e n g i n g a t k a n kita pada langit-langit di atas perkampungan kita beberapa malam lalu. Kita semua tahu, senja begini, burung-burung pun pulang ke sarang mereka. Jika di waktu yang sama manusia tak bisa pulang ke rumah mereka, apakah berarti burung-burung yang tak pernah kita lihat senyumnya itu lebih bahagia? Sepertinya, iya, burung-burung itu tak pernah merasa punya beban meski bisa saja tiba-tiba sebuah senapan telah terbidik dan sebuah peluru siap bersarang di kepalanya. Ketika baru saja kita memb aya n g k a n ke b a h a g i a a n b u rung-burung, lekas-lekas kau berkata, “Aku ingin terbang ke langit seperti mereka.” S e m e nt a r a l a n g i t s e m a k i n merah, dan kita mulai bertanyatanya, apakah sekarang sudah m a su k wa k t u m a g h r i b ? J i k a melihat ke arah matahari yang terbenam, mungkin sebentar lagi akan magrib. Dan mulai beberapa hari lalu, kita telah menandai waktu sembahyang hanya lewat tinggi matahari, karena beberapa malam silam, masjid-masjid beserta musala di kampung kita telah hangus oleh api orang-orang suci. Rumahrumah dan fasilitas umum juga ditanami api yang menari-nari. Beberapa orang, jika mer eka tak berhasil melarikan diri, mungkin juga akan hangus se­ perti dikremasi. “Burung-burung terbang ha­ nya dengan kawanan mereka, s e p e r t i j u g a i k a n - i k a n ya n g berenang hanya dengan jenis mereka sen­d iri. Apakah manusia juga begitu?” kau seperti bertanya pada langit. Dan suatu saat—yang tak akan kita ketahui, mungkin langit akan menjawab dengan caranya sendiri. “Manusia tentu tidak sama dengan binatang, mereka punya akal dan punya hati,” kata-kata itu terdengar seperti ceramah agama, dan aku tahu, beberapa malam lalu—ketika orang-orang suci itu menanam api di perkampungan kita, ceramah itu tidak berlaku. “Tapi beberapa malam lalu, kita melihat, orang-orang suci itu seperti kawanan harimau yang menyerang kawanan rusa, dan seolah-olah mereka melakukannya karena telah mendapat restu paling kudus.” Matamu masih tertembak ke arah langit yang telah matang di sebelah barat. Kerudungmu ya n g h i t a m b e r k i b a r - k i b a r, seakan-akan kau akan berbela su n g k awa u nt u k s e l a m a nya , seumur hidupmu. “Kehilangan tempat tinggal dan keluarga mungkin adalah sesuatu yang sulit, tapi seharus­ nya kita masih bersyukur ka­ rena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anakanak kecil dari pangkuan ibu-

±

±

±

sajak-sajak sunardi k.s. Kita Temukan Keindahan ketika angin menghempas tirai jendela di sana kita saksikan tarian mulai menerobos kamarmu atas nama keindahan di sana kita temukan kenyamanan yang mulai terasakan ranting-ranting yang hampir kering tumbuh tunas ketika angin menghempas mempertegas indahnya tarian di sana masih kita temukan sebenarnya keindahan ketika angin masih bisa kita rasakan apalagi yang perlu kita ragukan tak perlu ada kecemasan sebab angin yang mengajari keculasan masih menyapa

Yang Sering Kita Anggap Sepele yang sering kita anggap sepele tumbuh pohon kemungkinan berdaun lebat merepotkan berton-ton beban tersangga sempoyongan di mana buah akar cemas pada angin ganas tumbuh benih kelalaian di rimbun hutan betapa akar keruwetan

±

yang sering kali kita anggap sepele mari kita ambil umpama tempe ternyata betapa sulit sebenarnya mempererat kedelai demi kedelai yang seringkali kita anggap sepele dari piaraan cinta dewasa kita seringkali salah duga menjadi duka merata

Kita Seringkali Sembunyi

n FERIAL

nya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa de­ ngan cara yang mereka anggap salah.” Suaramu masih saja berlompatan seperti rancauan bayi tak tak pernah tahu cara terbaik untuk tidak menyukai sesuatu. Kita kehilangan tempat tinggal. D a n k au ke h i l a n g a n ke l u a r gamu. Setelah beberapa malam lalu, kampung kita tinggalah puing-puing yang mengepulkan asap. Beberapa dari kita terpisah de­n gan sanak saudara. Kita begitu panik dan tak sempat memikirkan apapun selain nyawa kita yang sudah seperti danging cincang yang tercerai berai dan siap ditusuk dan dibakar matang se­p erti satai. Barangkali keluargamu terdampar di pengungsian entah, seperti kita yang juga terdampar di pengungsian entah. Dan kita mendengar, bahwa para aparat yang orang- orang yang peduli itu telah berjanji akan mengembalikan kita kepada keluarga kita masing-masing. “Mengapa mobil jemputannya belum datang?” langit sudah mulai gelap, hingga pandang­ anmu ke ketinggian terhalang oleh warna hitam.

CMYK

Mungkin saja mobil-mobil yang akan menjeput kita dan membawa kita ke tempat pengungsian yang baru juga telah dibakar di tengah jalan. Bukankah mereka juga telah memblokir mobil sukarelawan yang membawa bahan makanan untuk kita? “Sepertinya sudah magrib, sebaiknya kita sembahyang, dan mungkin mobil itu akan datang usai kita sembahyang.” Langit sudah sempurna gelap. Kau tak perlu memandangnya berlama-lama. Karena, tanpa memandangnya pun kegelapan akan kita temui di mana-mana. Lepas sudah. Di tempat pengungsian ini, kita sembahyang t a np a s a j a d a h . O r a n g - o r a n g s e m b a hya n g t a n p a s a j a d a h . Dan malam yang dingin pun segera turun setelah isya mengge l i at k a n t u b u h - t u b u h ya n g kepayahan. “Mobil jemputan itu tak akan datang, dan kita semua akan m e m b e k u d i r u a n g a n t a np a din­d ing ini,” mukena putih yang kau kenakan kau lipat kembali. Seperti melipat kedamaian yang hanya sejenak dan mengembalikannya pada kerudung hitam yang abadi. Kukatakan padamu, bahwa ruangan tanpa dinding ini bisa saja menjadi lebih buruk, jika kita tak bisa mengendalikan pikiran-

±

pikiran buruk yang terus membayang setelah kejadian mengerikan beberapa malam lalu itu. Dan kau pun terdiam, memilih merebahkan tubuh di atas lantai-lantai yang tiba-tiba menjelma menjadi balok es pa­ling dingin. M a l a m b e l u m l a g i s a mp a i puncaknya. Dan kemah peng­ ungsian ini telah menjadi sepi. Akan senantiasa sepi. Selepas sembahyang isya, orang-orang lebih memilih berzikir dalam tidur mereka yang berimpit-impit se­p erti mayat yang dijajarkan karena kematian massal. Me ­ reka, kita, memang sudah serupa mayat yang tak terurus, bergelimpangan dan tenggelam dalam pikiran kita masing-masing. Dan ketika malam berjalan de­ ngan sangat lambat, seperti gelapnya, seperti juga dinginnya, aku melihatmu bangkit di antara puluhan mayat yang lelap itu. Kau pergi menuju pancuran air dan sembahyang tengah malam dengan tubuh gemetar, dengan pundak berguncang. Mungkin karena di­ ngin. Selepas itu lampu penerangan yang redup di barak pengungsian tiba-tiba mati. Di langit yang serba kelam itu aku seperti melihat tubuhmu melayang-layang, gamis dan kerudung hitammu berkibar-kibar, mengecil di ketinggian, serupa kawanan burung yang terlambat pulang ke sarangnya.***

ketika siang ke mana sesungguhnya bintangbintang pikiranku tak bisa menjangkau terbang mengapa malu pada terang cahaya matahari seringkali ditakuti kita pun seringkali sembunyi tanpa disadari apakah langit semata milik awan gampang berganti rupa beriringan tetapi mendung sesungguhnya lebih menguasai kita seringkali kerepotan meski pun hujan belum tiba ke mana kita bisa tertunda ketika siang ke mana pula sesungguhnya bulan yang seringkali menjadi dambaan terhadap matahari kita seringkali sembunyi tanpa disadari

Petasan yang gampang meledak seringkali disukai petasan itu contohnya meski pun yang semula indah tak akan bisa kembali disatukan dan orang-orang menyulut petasan segera meninggalkan menyelinap di antara kerumunan gelegar petasan apakah kesenangan atau kebanggaan karena orang-orang terkejut dengan wajah-wajah kecut yang gampang meledak seringkali digemari suara-suara itu melambung ke udara menyulut angkara

Sunardi K.S., lahir di Jepara, menulis berbahasa Indonesia dan Jawa di berbagai media cetak. Antologi puisi berbahasa Jawa tunggalnya berjudul Wegah Dadi Semar 2012.

CMYK

±

±


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.