Koran Madura

Page 15

OPINI

15

KAMIS 18 APRIL 2013 NO.0099 | TAHUN II

Pacu Politik Ala-Profetik

salam songkem Politik Uang

Oleh: Mahfudz Fauzi | Aktivis Banser NU Cabang Undaan Kudus

D

i Indonesia, pemilu identik dengan money politic (politik uang). Politik uang dianggap salah satu strategi pemenangan paling ampuh dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. Sebenarnya politik uang bukanlah cara yang dibenarkan, namun money politic tersebut masih sering menjadi tontonan setiap kali ada penyelenggaraan pesta demokrasi di negara ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seorang pengajar Pengantar Ilmu Politik di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Sukron Ramadhon menegaskan politik uang menjadi gaya perpolitikan di Indonesia. Pernyataan tersebut sejatinya sebuah realitas yang terintegrasikan dalam politik praktis dalam even penyelenggaraan pemilihan di tingkat paling bawah hingga atas, baik pilkades, pilbup, pilgub, pileg, pilpres, dan juga pemilihan lain di berbagai segemen kehidupan. Seperti yang terjadi dalam pelaksanaan pilkades serempak di 25 desa di Kabupaten Pamekasan baru-baru ini, ditengarai diwarnai dengan politik uang yang dilakukan oleh oknum calon kepala desa, baik yang kalah maupun yang menang. Politik uang juga diprediksi akan menjadi tren politis pasangan yang maju dalam pilgub Jatim pada bulan Agustus mendatang. Masing-masing pasangan cagub-wagub potensial melakukan tren politik kotor tersebut. Tidak hanya itu, bahkan dalam pileg dan pilpres tahun 2014, juga berpotensi terjadi money politic. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan pemilu pada tahuntahun sebelumnya, praktek money molitic cenderung terjadi pada setiap pilkada. Tahun 2013 dan 2013 mendatang merupakan tahun-tahun penyelenggaraan pesta demokrasi, maka selama itu pula perlu diwaspadai adanya politik uang yang dilakukan oleh para pasangan calon kades, cabup-wabup, cagub-wagub, caleg, capres-wapres, dan lainnya. Dugaan adanya praktek politik uang dalam setiap ada pelaksanaan pilkada terungkap dalam sengketa pilkada yang ditangani komisioner. Namun setiap gugatan pilkada terkait politik uang dapat dikabulkan, sebab politik uang tidask dapat dibuktikan dengan perolehan suara. Politik uang juga tidak dapat dijadikan alas an pembatalan pilkada apabila terjadi secara sporadis. Akan tetapi, menurut Mahfud MD, politik uang juga bisa dijadikan alasan pembatalan pilkada apabila pelanggaran politik uang itu sudah dilakukan secara sistematis, massif, dan terstruktur seperti telah melibatkan aparat pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat dalam pelanggaran politik uang tersebut. Apabila disebutkan contohnya, selama ini, gugatan kasus pilkada terkait politik uang yang sudah dikabulkan di antaranya sengketa pilkada Kota Surabaya, Pilkada Kotawaringin Barat, Pilkada Bangli, pilkada Konawe Selatan, pilkada Lamongan, pilkada Tangerang Selatan, dan pilkada lain. Solusi yang perlu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya praktek politik uang dengan cara mengaudit para calon yang maju dalam pesta demokrasi tersebut. Dalam hal ini, peranan panwas sangat menentukan dalam pelaksanaan audit tersebut. Selain itu, juga dianggap perlu adanya peraturan yang ketat dalam UU Penyelenggaraan Pemilu tentang politik uang, agar penggunaan praktek money politik tersebut tak terjadi lagi dalam pesta demokrasi di tanah air ini.

UN Berakhir Hari Ini

M

enarik sekali jika menyoal tentang hiruk-pikuk potret roda perjalanan politik negeri. Namun, akan lebih menarik jika dikaji lebih mendalam dan meluas serta dicarikan langkah konkrit untuk mengatasi problematika tersebut. Pasalnya, realita di lapangan memang politik negeri kian menggelitik. Diakui, berbagai elemen mengamini fenomena tersebut. Sebab, semenjak era lengsernya Soeharto hingga sekarang, perubahan signifikan belum kunjung ditemui. Justru saksi bisu yang berbicara secara jujur, bagaimana kondisi perpolitikan negeri. Mulai dari tindak korupsi, manipulasi, diskriminasi, dan eksploitasi. Karena itu, wajar jika potret Indonesia sedemikian rupa. Negara dengan wilayah luas, jumlah penduduk banyak, dan kondisi alamnya yang sebegitu apik, namun sayang untuk masalah kemaslahatan masih bertaraf rendah. Dengan berbagai alasan, untuk problematika kemiskinan negeri memang belum kunjung ditemui jawabannya. Langkah rekonstrusi merupakan sebuah keniscayaan, yaitu mewujudkan politik bersih yang berbaur pengabdian. Artinya, sembari memainkan perannya sebagai politisi, rasa pengabdian terhadap bangsa, negara, dan agama tentu tak terlupakan. Jadi, antara berbangsa, bernegara, dan beragama saling bersinergi membentuk kekuatan suci menjalankan perpolitikan negeri dengan baik.

P

elaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA/sederajad sudah dilangsungkan mulai Senin lalu dan berakhir hari Kamis (18/4). Semua peserta UN boleh bangga sambil berharapharap cemas menunggu hari kelulusan. Namun pelaksanaan UN tahun ini tidak hanya menimbulkan kecemasan pada peserta UN, melainkan membuat Mendikbud M. Nuh tak bisa tidur nyenyak. Penyelenggaraan UN yang tidak bisa dilaksanakan serentak secara nasional rupanya terus menyudutkan M. Nuh. Berbagai pihak mengecam dan menuntut M. Nuh harus bertanggungjawab atas permasalahan UN yang mengakibatkan 11 provinsi tak dapat melaksanakan UN pada hari yang sama. Selain masalah keterlambatan pengiriman logistik naskah soal UN ke 11 provinsi, M. Nuh juga dianggap telah gagal memimpin pendidikan di Indonesia. Sebab dalam kepemimpinan M. Nuh, pendidikan di Indonesia bukannya berjalan maju, namun yang terjadi justeru stagnan bahkan cenderung menimbulkan gejolak dan ketakutan bagi pelaksana pendidikan. Sebagai contohnya, dalam kepemimpinan M. Nuh, Kemendikbud merubah pola UN yang sebelumnya 5 paket menjadi 20 paket berkode. Dalam pelaksanaannya bukannya beres seperti yang diucapkan M. Nuh, melainkan justeru menimbulkan kepanikan bagi peserta UN. Tidak hanya itu, UN dengan pola berkode juga membuat penyelenggara dan pelaku pendidikan dengan instansi yang menangani pendidikan di bawah kendali Mendikbud jadi pontang-panting membekali peserta UN. Selain itu, pelaksanaan UN dengan pola berkode yang dilakukan M. Nuh menghabiskan biaya sebesar Rp 600 miliar, ditengarai terjadi penyelewengan. Sehingga berbagai pihak mendesak presiden SBY agar memanggil Mendikbud M. Nuh, juga KPK diminta menyelidiki dugaan korupsi dalam pelaksanaan UN 2013. Bahkan, ada yang menekan UN tak perlu dilanjutkan lagi pada tahun-tahun yang akan datang dan M. Nuh agar mundur sebelum dipecat oleh Presiden. Memang, masih terjadi pro-kontra terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Masing-masing pihak, yang pro maupun yang kontra memiliki argumentasi sendiri. Terlepas dari perbedaan pro-kontra tersebut, mengkambinghitamkan Mendikbud dalam masalah carut-marutnya pelaksanaan UN dan pendidikan di Negara ini sejatinya bukanlah hal yang bijak. Tidak seharusnya masalah UN yang melibatkan berbagai pihak itu ditudingkan sebagai suatu kesalahan M. Nuh seorang. Apalagi sampai mendesak M. Nuh harus mengundurkan diri atau dilengserkan dari Mendikbud. Hal itu sangat membesar-besarkan masalah UN dan menyuburkan budaya saling menyalahkan yang tidak seharusnya terjadi karena tidak dapat menyelesaikan masalah. Semua pihak semestinya berfikir jernih dan menyadari saat ini yang dibutuhkan adalah cara menyelesaikan masalah UN yang setiap tahun selalu menimbulkan ketidakpuasan rakyat Indonesia. Bila itu yang terjadi, siapa pun yang menjadi Mendikbud, bila UN terus dipertahankan maka selama itu akan muncul perlawanan. Oleh karena itu, kiranya untuk tahun-tahun selanjutnya, UN memang sudah seharusnya dihentikan karena tidak dikehendaki mayoritas rakyat, terutama pelaku pendidikan di Indonesia.

A

Namun, yang menjadi momok batu penghadang adalah tindak korupsi, bahkan telah legal menjadi bahaya laten. Jika ditela’ah secara mendalam memang sebuah ironi. Walaupun demokrasi adalah sistem yang dicanangkan, justru korupsi seakan di anak rajakan. Bagaimana bukan, untuk masalah korupsi saja telah ada badan khusus yang bertugas menanganinya. Seandainya, korupsi tiada pasti badan khusus Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pun juga tiada. Alhasil, secara tidak langsung pula negara lebih mengehemat biaya. Dan dana dapat diprioritaskan terhadap pembangunan dan pengembangan negara. Baik dari sektor, pendidikan, sandang-pangan, pertanian, infrastruktur, pertahanan ataupun lainnya. Oleh karena itu, memperbaiki gaya dan cara berpolitik harus direalisasikan. Disadari, eksistensi politik dalam tataran kebangsaan memang sangat urgen, tanpa terkecuali dalam segi kehidupan sosial. Sebab, politik merupakan akar kata dari bahasa Yunani Polis yang berarti kota, yang secara umum kota merupakan sebuah sentral peradaban. Dengan demikian, politik merupakan seni pengaturan yang sangat vital terhadap tatanan peradaban, baik dalam lingkup negara atau dunia demi terbinanya kemaslahatan bersama. Dengan demikian, dapat ditarik benang merahnya bahwa eksistensi politik memang benar-benar penting. Walaupun toh banyak yang menghujat bahwa politik itu munafik. Paradigma tersebut memang keliru, yang buruk bukan lah politiknya, namun politisinya. Yang secara realita konkret di Indonesia sangat memilukan. Bagaimana bukan, toh juga banyak para politisi yang mahir dalam hal keagamaan dan ilmu pengetahuan. Namun sayang, yang bertindak amoral pun juga tak sedikit. Terbukti, di Kemenag yang merupakan markas para ulama’, justru melakukan tidak amoral dalam hal pengadaan al-Qur’an tahun lalu. Di kubu lain juga tak jauh berbeda, karena itu “Salahkah jika Ulama’ Berpolitik?” jawabannya tentu sahsah saja. Asalkan berkriteria ideal

dan profetik. Toh jika tidak beriman pun diberi lampu hijau untuk berpolitik, asal ideal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, yang lebih mengedepankan sikap adil. Politik Ala-Profetik Untuk menjawab problematika tersebut, usaha internalisasi politik dengan faham profetik cukup mumpuni. Seperti yang diketahui, bahwa hal ini tentu tak lepas dari sifat kenabian, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang telah sukses memajukan bangsa dan agamanya dengan tempo yang sangat singkat.

Dr. Asnawi merumuskan faham profetik, yang merupakan amunisi ampuh nabi. Pertama, dari segi kejujuran (Shidiq). Yang lebih menitik beratkan sikap Authentique (Keselarasan antara ucapan dan tindakan) Artinya, seorang politisi seyogyanya dapat melaksanakan apa yang dibicarakan. Maka sangat tepat jika Michael Hart menempatkan Nabi sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia. Sebab telah terbukti Track recordnya masih eksis hingga sekarang, al-Quran dan as-Sunnah, dan yang tak kalah penting adalah sistem atau metode yang dijalankan oleh beliau (Profetik). Dr. Asnawi merumuskan faham profetik, yang merupakan amunisi ampuh nabi. Pertama, dari segi kejujuran (Shidiq). Yang lebih menitik beratkan sikap Authentique (Keselarasan antara ucapan dan tindakan) Artinya, seorang politisi seyogyanya dapat melaksanakan apa yang dibicarakan. Kedua, dapat dipercaya (Aman-

ah). Sikap ini memang sangat penting dalam pribadi politisi. Yaitu Credible (sifat kompetennya, sifat, kepribadian, kebiasaan, dapat dipercaya oleh bawahannya). Di sisi lain ada Capable (yang lebih condong ke urusan visi, misi dan strategi), dan tak lupa adalah kredibilitas. Ketiga, menyampaikan (Thablig). Dalam kepribadian ini, yang harus menonjol adalah sifat keterbukaannya atau transparan terhadap masyarakat, terlebih berjiwa heroic sehingga tak canggung dalam merealisasikan Amar ma’ruf nahi mungkar. Alhasil, sistem demokrasi tetap terjaga nilai kesakralannya. Keempat, ulet dan cerdas (Fathonah). Irasional jika politisi atau birokrat negara tidak mempunyai kapasitas pemikiran diatas rata-rata. Namun, di sisi lain, ia dituntut untuk membawa perubahan. Artinya, disamping Smart tentu harus Visioner. Jadi ada bukti riil atas usahanya, bukan hanya buaian retorika semata. Metode Blusukan Jokowi Siapa sangka seorang Jokowi yang semula dari Solo mampu hijrah ke Jakarta. Dalam hal ini hukum kausalitas oleh Aristotheles berlaku. Ada akibat pasti tak lepas dari sebab. Salah satu metode yang diusung adalah “Blusukan”. Nah, karena itu rasional jika sifat profetik dibenturkan dengan metode blusukan sebagai usaha internalisasi terhadap para politisi negara. Sebab, dengan blusukan proses internalisasi akan terjadi secara hikmat, Humanismenya nampak, usaha riil dengan wujud terjun lapangan langsung, dan menyatu dengan lingkungan dan alam terlebih kepada masyarakat, yang pada hakikatnya sedang mendamba pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Oleh karena itu, sebagai wujud usaha hijrah dari ketertinggalan ke kehidupan yang layak, berawal dari kesadaran diri sendiri. Sebab, jika pemimpin atau politisinya ideal, namun masyarakat berbuat sesuka hati tanpa aturan, justru kehancuranlah hadiah yang akan diterima. Jadi antara politisi atau pemimpin dengan masyarakat harus bersinergi, Wallahu a’lam bi al-shawab =

Pendidikan Tanpa Kekerasan Oleh: Abdur Rahman, S.Pd.I | Sarjana Pendidikan, tinggal di Sumenep

A

khir-akhir ini, kalau kita amati, budaya kekerasan seakan sudah menjadi hal lazim di tengah masyarakat. Tidak terkecuali di lingkungan pendidikan (baca: sekolah/kampus). Fenomena ini dapat dilihat betapa kekerasan sudah menjadi bagian cerita hidup keseharian masyarakat, baik yang ditampilkan oleh media cetak maupun elektronik. Tidak menutup kemungkinan di antara kekerasan yang terjadi, tanpa disadari kita telah menjadi salah satu pelaku bahkan korban kekerasan. kekerasan di dunia pendidikan terjadi dalam berbagai bentuk, baik yang terjadi antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, atau masyarakat dengan sekolah dalam bentuk tawuran, perkelahian, pemukulan, dan penganiayaan maupun tindak kekerasan lainnya. Fenomena kekerasan dalam pendidikan muncul akibat dari pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Kesatu, buruknya sistem dan kebijakan pen-

didikan yang berlaku. Kedua, lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Ketiga, refleksi dari perkembangan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga mengharuskan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Keempat, latar belakang sosial ekonomi pelaku (Abd. Assegaf dkk., 2002). Dari pernyataan di atas, mengingatkan kepada kita begitu kompleksnya akar kekerasan tersebut yang menandakan bahwa budaya kekerasan dalam pendidikan tidak boleh dianggap enteng. Karena dengan menyepelekannya akan berakibat fatal terhadap hasil atau output proses pembelajaran. Disadari atau tidak, maraknya tindak kekerasan di masyarakat sekarang ini juga merupakan hasil pendidikan yang ada pada masa lalu. Menghapus Kekerasan Sumber daya pengajar yang lemah telah mengakibatkan proses pembelajaran yang buruk. Perilaku kekerasan terhadap siswa, seperti mencubit, menampar, memukul pakai mistar, menjemur di lapangan, dan bentuk-bentuk sanksi lainnya dalam pembelajaran merupakan praktik klasik yang masih diterapkan oleh sebagian guru sekarang ini dalam menerapkan sanksi terhadap muridnya yang dianggap ’’nakal’’. Tindakan kekerasan dalam pendidikan sebenarnya tidak akan terjadi jika guru dapat memahami secara mendalam tentang karakteristik serta mengembangkan kemampuan siswa dengan meng-

gunakan metode dan pendekatan yang tepat dalam pembelajaran. Menurut Mulyasa, profesionalisme guru merupakan paduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spritual yang secara kafah membentuk kompetensi standar profesi guru yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi, dan profesionalisme (Wigonggo Among A., 2009).

Dalam mengatasi kekerasan dalam pendidikan, sudah saatnya dilakukan penyegaran paradigma berpikir pengelolaan pendidikan dengan mengevaluasi secara mendasar sistem pendidikan di Indonesia.

Selain itu, sangat padatnya materi dalam kurikulum serta sistem pendidikan yang masih berorientasi terhadap aspek koginitif dengan mengejar hasil belajar berupa angka-angka (baca: diberlakukannya ujian nasional). Siswa harus dibebani dengan mengikuti pelajaran tambahan berupa les privat, try out, dll. Secara psikologis, kebijakan ujian nasional (UN) akan

menambah beban. Wajar jika akibat yang terjadi adalah merebaknya ’’kefrustrasian” siswa jika tak mampu lulus dan meraih nilai yang baik dari UN. Dalam mengatasi kekerasan dalam pendidikan, sudah saatnya dilakukan penyegaran paradigma berpikir pengelolaan pendidikan dengan mengevaluasi secara mendasar sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah aspek kognitif yang diukur melaui UN sebagai satu-satunya alat ukur kualitas pendidikan. Perlu dipertimbangkan aspek lain, yakni sosial dan spiritual (Hadisuyono, 2009). Kemudian opsi lain adalah menjalankan model pembelajaran yang humanistik sebagaimana yang diungkapkan oleh Abd. Assegaf dkk. Antara lain: pertama, humanizing of the class room. Pendidikan ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah; mengenali konsep dan identitas diri dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran; serta perubahan tidak terbatas hanya pada substansi materi saja, tetapi juga pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi. Akhirnya, sudah sepatutnya budaya kekerasan dalam pendidikan harus dijauhi bahkan dihapuskan, baik oleh guru kepada siswa maupun siswa dengan siswa yang lain. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah untuk ’’memanusiakan manusia”. Jangan sampai pada suatu saat masyarakat akan berkata sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Ivan Illich, ’’Sekolah telah mati.” =

Pemimpin Redaksi Abrari, Wakil Pemimpin Redaksi Zeinul Ubbadi, Redaktur Ahli M. Husein, Redaktur Pelaksana Abdur Rahem, Sekretaris Redaksi Benazir Nafilah, Tata Letak Didik Fatlurrahman, Novemri Habib Hamisi, Design Grafis Ach. Sunandar, M. Farizal Amir, Ahmed David (non aktif), Website M. Kamil Akhyari Sumenep Hayat (Kepala) Syah A. Latief, Syamsuni, Junaidi Pamekasan G. Mujtaba (Kepala), Taufiq Rahman, Muhammad Fauzi, Faqih Amyal, Sampang Mahardika Surya Abriyanto (Kepala), Iyam Z, Ryan H, Junaidi Bangkalan Moh. Ridwan (Plt. Kepala), Doni Harianto, Surabaya Hana Diman (Kepala), Ari Armadianto, I Komang Aries Dharmawan, Sidoarjo Yuyun, Probolinggo Pujianto, M. Hisbullah Huda, Agus Purwoko, Jakarta Gatti (Kepala), Satya, Cahyono, Willy Manajer Pemasaran Moh. Rasul, Accounting Ekskutif Deddy Prihantono, Husnan (Sumenep), Mohammad Muslim, (Pamekasan) Siti Farida, (Sampang), Taufiq (Bangkalan), Kontributor Sugianto (Bondowoso) FL. Wati (Bali) Anwar Anggasoeta (Yogyakarta) Ahmad Sahidah (Malaysia), Penerbit PT. Koran Madura, Komisaris Rasul Djunaidi, Direktur Utama Abrari, Direktur Keuangan Fety Fathiyah, Alamat Redaksi Jl. Adirasa 07 Kolor Sumenep, email koranmadura@ymail.com, opini.koranmadura@gmail.com, Telepon/Fax (0328) 6770024, No. Rekening BRI 009501000029560, NPWP 316503077608000 http://www.koranmadura.com/ | Wartawan Koran Madura dibekali ID Card (kartu pengenal) dan tidak diperkenankan menerima imbalan berupa apapun dari narasumber


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.