MABRUK EDISI FEBRUARI - APRIL 2019

Page 1


Rubrik Spesial:

Cerita Keluarga Рrаkаtа

Alhamdulillahirobbilalamin, pada penghujung kepengurusan, KMIS periode 2018/2019 Divisi Syiar dan Media KMIS menghadirkan edisi ke-4 Majalah Bulanan Rutin KMIS (MABRUK), yang sekaligus menjadi edisi terakhir di kepengurusan ini. MABRUK edisi-4 kali ini hadir dengan tema "Baiti Jannati, Rumahku Surgaku", yang didedikasikan dari dan untuk seluruh warga KMIS. "Baiti Jannati, Rumahku Surgaku", sebuah surga didunia yang hadir dalam sebuah rumah yang pasti ingin diwujudkan bagi rumah tangga muslim tak terkecuali para keluarga yang sedang tinggal di perantauan Jepang. Walaupun jauh dari lingkungan yang ideal untuk membiasakan nuansa islami dalam lingkungan keluarga, para keluarga muslim yang tinggal di jepang tak pernah kehabisan ide dan justru lebih gigih untuk tetap memberikan hak pendidikan dan lingkungan islami pada seluruh anggota keluarganya. Banyak tantangan yang dihadapi, pasti. Usaha yang luar biasa yang membutuhkan banyak energi dan menguras pikiran harus dicurahkan demi menggapai mimpi tersebut, dengan niatan lurus untuk mencari ridho Allah SWT. Kisah-kisah heroik para keluarga muslim di Sendai Jepang terdokumentasikan dalam MABRUK edisi ini untuk memberikan inspirasi kepada setiap muslim khususnya yang sedang tinggal di perantauan. Akhir kata, redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga majalah MABRUK bisa dihadirkan di tengah-tengah kita khususnya warga muslim Indonesia di Sendai, dan Jepang pada umumnya. Redaksi secara khusus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para kontributor yang sudah berkenan berbagi cerita untuk diangkat di MABRUK. Semoga karya yang kecil ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Selamat membaca! Salam hangat dari tim redaksi


Dаftаr

Ѕuѕunаn

Rеdаkѕі Pemimpin Redaksi Vempi Satriya Adi Hendrawan Editor Alfiyandy Hariansyah Alwan A. D. Atika Nur Rochmah Farah Wirasenjaya M. Insan Kamil Ghifari Redaksi Farah Wirasenjaya Angga Hermawan Layout dan Ilustrasi Vempi Satriya Adi Hendrawan Yan Fahmi Swastiraras Angga Hermawan

ӏѕі

4

Kabar KMIS

6

Cerita Keluarga The Limits of Your Language Mean The Limits of Your World

9

Allah Saja Percaya Kita Bisa, Kenapa Kita Menyerah?

13 14 17

Suka Duka di Sendai

21 22

Suka Duka Berkeluarga di Sendai Keseruan Mengasuh Anak sambil Kuliah Merantau Pengalaman Berkeluarga di Sendaii Kenangan & Tantangan 4 Tahun Hidup Merantau

24 29 31 34 35 38

Kuliah ke Luar Negeri Bersama Keluarga? InsyaAllah Bisa!

42

Menghidupkan Cahaya Islam di Hati Anakanak

48 50 52

Hikmah Hidup di Rantau Sendai: Ekspektasi vs Reality Jepang & Ketetapan-Nya Sendai, Keluarga & Rencana Terbaik Allah Renjana Dari Negeri-Sakura

Segala Kesulitan Pasti Ada Kemudahan Sebuah Pembelajaran Sosok


Mabit Tohoku Winter 2018

M

abit (Malam Bina Iman dan Taqwa) merupakan kegiatan di mana para penuntut ilmu berkumpul dan bermalam di tempat ibadah untuk mendengarkan ilmu yang disampaikan oleh seorang Ustadz atau Mu’allim melalui serangkaian agenda dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahuu wa Ta’ala. Kegiatan Mabit Tohoku Winter adalah sebuah agenda tahunan dari KMIS (Keluarga Muslim Indonesia di Sendai) yang diselenggarakan khusus untuk wilayah sekitar Tohoku pada libur musim dingin, yang biasanya bertempat di Masjid Sendai selama sehari semalam. Narasumber untuk agenda ini adalah Ustadz/Mu’allim yang diundang khusus dari Indonesia untuk kemudian berdakwah di beberapa wilayah di Jepang.


Kegiatan ini berlangsung pada 28-29 Desember 2018, dimulai dari selepas shalat Jumat. Mengundang Ustadz Hartanto, Ketua Yayasan Rumah Tajwid Indonesia, Mabit Tohoku Winter 2018 bertemakan “Di bawah naungan Al-Qur’an” dengan tagline “Musim dingin, tak hanya raga, hati pun butuh kehangatan. Menghangatkan hati dengan Al-Qur’an!” Tema ini diangkat mengingat pentingnya mempelajari dan mengaplikasikan ilmu Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan di Jepang. Berdasarkan absensi, sekitar 60 peserta berpartisipasi dalam kegiatan ini, baik itu teman-teman pelajar dan kenshusei dari Sendai, Ishinomaki, bahkan Yamagata. Peserta tampak antusias mengikuti rangkaian acara yang meliputi kajian, shalat berjamaah, quiz Kahoot berhadiah, games, coffee break, hingga shalat malam berjamaah. Walaupun begitu, peserta sempat jatuh bangun untuk mempertahankan semangatnya, apalagi seusai shalat Subuh. Konsumsi disediakan tiga kali selama acara plus dengan bermacam snack ringan di sela-sela acara: sup ayam, nasi lemak, kare daging Nan Tandoori, ayam goreng, dan aneka kue-kue. Kegiatan ini tak lepas dari support yang diberikan oleh Kyodai Remittance dan PKPU Tohoku selaku sponsor acara. Tak lupa, kebaikan dan keikhlasan teman-teman, ibu-ibu di kemuslimahan.[] “Kesucian hati dan jasad merupakan salah satu dari syarat-syarat agar dapat mengambil manfaat dari Al-Qur’an” (Ust Hartanto, Ketua Yayasan Rumah Tajwid Indonesia)


Setelah 6 bulan mempelajari bahasa Jepang, sekarang sedikitbanyak sayapun sudah mulai bisa menjalin komunikasi dengan orang-orang lokal sekitar. Saya merasa ketika saya bisa berkomunikasi dengan mereka, keramahan mereka meningkat pesat."


The Limits ofYour Language Mean The Limits ofYour World B

erkesempatan menemani suami yang sedang melanjutkan sekolah di Jepang, tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi saya. Satu tahun sudah saya dan Dhafir, anak kami, menemani suami tinggal di Sendai. Awal tiba di Sendai cukup membuat saya takjub dengan kebersihan dan kepatuhan masyarakatnya. Awalnya, ketika masih di Indonesia saya sempat berpikir bahwa mungkin masyarakat negara maju akan cenderung egois, tidak seramah orang Indonesia yang mana terkenal ramah meski terhadap orang asing sekalipun. Namun, ternyata pemikiran saya itu terpatahkan. Hal ini bermula ketika kami berada di dalam bus, banyak obaachan atau ojiisan yg hampir selalu menyapa saya maupun Dhafir. Bahkan diantara mereka tidak segan-segan membagi minuman atau permennya. Pengalaman lainnya adalah dengan sesama penghuni apartemen yang mayoritas merupakan nihonjin. Setiap kali bertemu, mereka slalu menyapa dg mengucapkan “konnichiwa...� hal ini yang akhirnya menyadarkan saya bahwa sebenarnya masyarakat Jepang juga ramah dengan cara mereka.


Setelah 6 bulan berada di Jepang, akhirnya saya menyadari satu hal, yaitu penghambat utama dalam melakukan aktivitas terutama di tempat umum adalah kendala bahasa. Hal ini dikarenakan hampir seluruh peralatan rumah tangga terutama elektronik dan bahan masak di supermarket menggunakan huruf hiragana, katakana serta kanji. Ditambah lagi, masyarakat Jepang tidak semuanya fasih berbahasa Inggris, bahkan tidak jarang saya menemui orang yang buru-buru menghindar ketika saya bertanya menggunakan bahasa Inggris. Saya pun akhirnya berpikir bahwa jika saya ingin lebih nyaman tinggal disini maka mau tidak mau saya harus mempelajari bahasa Jepang, minimal saya bisa membaca hiragana, katakana dan menggunakan kalimat kalimat sederhana sehari hari. Berbekal keinginan ini, saya pun mulai mencari tahu dimana saya bisa kursus berbahasa Jepang. Setelah bertanya kepada beberapa teman dari Indonesia, akhirnya saya mendaftar di salah satu tempat kursus yg direkomendasikan. Tidak disangka ternyata biaya kursus di sini tergolong murah melihat pengajarnya adalah nihonjin, karena kursus bahasa asing di Indonesia dengan native speaker dari negara yang bersangkutan pasti dipatok mahal. Singkat cerita dari kursus yang saya ikuti, saya kembali takjub dengan cara belajar mereka, terutama loyalitas sensei dalam mengajar dan menghargai waktu. Kami memulai kegiatan belajar dari jam 10 pagi sampai jam 11.30

siang. Tepat waktu dalam memulai pelajaran sudah pasti terjadi, bahkan ketika terjadi molor dalam pelajaran yang mana pelajaran harus selesai melebihi waktu yang seharusnya, sensei selalu meminta maaf dan meminta persetujuan kami apakah boleh mengambil waktu kami untuk melanjutkan pelajarannya atau tidak. Tentu hal ini membuat saya kaget sekaligus kagum. Mungkin kebiasaan masyarakat jepang yang selalu menghargai waktu bermula dari lingkungan pendidikannya yang juga sangat menghargai waktu. Sehingga hal ini terbawa hingga mereka dewasa. Sungguh ini merupakan pelajaran yang sangat berharga yang saya dapatkan di sini. Setelah 6 bulan mempelajari bahasa Jepang, sekarang sedikit-banyak sayapun sudah mulai bisa menjalin komunikasi dengan orang-orang lokal sekitar. Saya merasa ketika saya bisa berkomunikasi dengan mereka, keramahan mereka meningkat pesat. Yang awalnya mereka hanya menyapa Dhafir sekedar berkata “kawaii desune...� hingga sekarang berlanjut menanyakan umur, sudah berapa tahun di Jepang dll. yang menurut saya itu menunjukkan bahwa mereka cukup antusias dengan kehadiran warga asing. Alhamdulillah, semakin lama saya disini, semakin saya merasakan keramahan masyarakat sekitar. Semoga pengalaman tinggal di negara ini dapat bermanfaat bagi kehidupan kami nantinya ketika kembali ke tanah air.[]


Allah Saja Percaya Kita Bisa, Kenapa Kita Menyerah? D

i sini, saya hanya ingin berbagi sekelumit cerita yang, semoga, ada hikmah yang bisa didapat. Saya adalah seorang ibu muda dengan bayi yang usianya belum genap 3 bulan (setidaknya sampai tulisan ini ditulis). Meski masih sangat singkat peran ini saya dapatkan, ternyata sudah ratusan pelajaran saya dapatkan. Satu dari sekian hal adalah tentang dia akan datang di waktu yang paling tepat dan Allah saja percaya kita bisa kenapa kita menyerah? Pelajaran klasik yang, saya yakin, setiap dari kita pernah mendapatkannya pada peristiwa apapun di dalam hidup. Kali ini, kasus saya sangat berkaitan dengan titipan berharga dari Yang Maha Kuasa untuk keluarga kami. Ya, seorang anak yang tangisnya menjadi haru satu rumah dan tawanya pun membahagiakan satu rumah.

Saya bahkan termotivasi untuk datang pagi ke kampus sambil berjalan pagi mengejar jadwal bus kampus yang paling pagi. “Ibu hamil harus banyak jalan,� kata orang tua. Jadi, sekali dayung dua peran terjalani. Alhamdulillah."


Berawal dari kegelisahan saya mengenai kesiapan saya menjadi seorang ibu, bersamaan dengan tanggung jawab lain yang masih banyak keteteran; di awal pernikahan, dengan penuh perhitungan dan kepasrahan, akhirnya saya dan suami mengikhlaskan kapan saja anak itu datang, insyaAllah kami terima. Toh, teorinya mengatakan dia memang akan datang di waktu yang paling tepat. Biasanya, praktik tidak akan semudah teorinya. Indeed! Dan kabar itu datang tepat sembilan bulan sebelum perkiraan sidang akhir master saya dijadwalkan. Ya, kabar kehamilan yang entah saya tetapkan sebagai anugerah atau musibah kala itu. Awalnya, saya rasa saya cukup siap. Namun, rasa itu kian memudar dan berubah menjadi kebimbangan. Saat itu, saya sedang melakukan riset untuk mendapatkan gelar master dan, dalam bayangan saya, semua akan berjalan tidak mudah. Segala macam pikiran kalau ini terjadi, kalau itu tidak terjadi, dan seandainya ini itu bercampur aduk dalam ragu. Senyum getir saya beradu dengan senyum bahagia suami. “Titipan itu telah datang!” Ucapnya. Bahagia tentu ada, tetapi kegelisahan untuk menjawab semua pertanyaan bagaimana pun tak kalah nyata di benak saya.

Kami pulang dari klinik membawa kabar kehamilan 5 minggu. Kami mencoba mengabari keluarga besar dan meminta doa. Semua doa dan petuah pun membanjiri kami. Akan tetapi, entah mengapa masih ada ragu di hati saya. Meskipun saya sadar, dengan keraguan ini apa yang bisa saya lakukan? Nothing! Waktu demi waktu, saya coba siapkan diri dan bertanya ke sana sini untuk mencari ilmu tentang hal ini. Bagaimana me-manage dua peran bersamaan, membagi waktu agar semua bisa tetap melaju, dan bagaimana, tentunya, menjadi ibu baru. Dua minggu berselang, ini waktunya kami harus kembali ke klinik menyapa si calon buah hati untuk yang pertama kali. “Saya siap!” Kata hati saya mantap. Kali ini, saya datang dengan penuh harap. “Hmm, bayinya masih belum terlihat walaupun sudah 7 minggu. Ada kemungkinan janinnya tidak akan tumbuh yang nantinya bisa teraborsi normal sendiri ...” Deng! Kaget saya mendengar kata aborsi dari dokter ini. Segala perasaan sungguh bercampur aduk di hati saya.


Setelah mengurus administrasi, kami pun pulang berjalan kaki. Sambil berjalan, ada beberapa menit kami saling diam sampai akhirnya air mata saya terjatuh juga. “Loh kenapa? Kan masih kemungkinan. Minggu depan masih mungkin liat bayinya kok!” Kata pak suami mencoba menenangkan. “Iya tahu. Tapi sedih. Apa karena aslinya aku belum siap, ya?” “Jangan bilang gitu. Berdoa aja dulu.” Seminggu kemudian, kami periksa lagi dan hasilnya masih sama. Bayinya belum ada. “Belum bisa terlihat, ya? Kemungkinan akan teraborsi alami.” “Aborsi alami itu apa?” Tanyaku. “Kandungannya nanti luruh sendiri. Kamu akan merasakan seperti saat period kamu. Nanti kalau kamu mengalami heavy bleeding, kamu datang lagi ya ke sini!” Setelah didiagnosis bahwa janin tidak akan tumbuh, benar saja, pada suatu malam, tibatiba saya merasakan sakit luar biasa yang hingga saat ini pun masih bisa terbayangkan. Proses keguguran yang ternyata benar-benar menyakitkan dan membuat saya berpikir bagaimana luar biasanya melahirkan, “Segini saja sakit sekali, apalagi melahirkan!” Dari peristiwa itu, saya belajar bagaimana agar lebih berlapang dada dengan takdir yang telah ditetapkan. Meskipun sedih dan sakit, mungkin ini adalah jawaban dari keraguan yang sempat hinggap di dalam diri saya. Ini memang belum waktunya. Laa tahzan! Alhamdulillah juga, saya dikaruniai suami, keluarga, dan teman-teman yang baik; yang selalu mengingatkan untuk bersyukur dan bersabar. Life must go on!

Beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, alhamdulillah, saya dinyatakan hamil lagi. Kali ini saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Saya mantapkan hati bahwa memang ini saatnya dan saya harus siap. Nyatanya, kehamilan kali ini saya jalani bersama riset tugas akhir dan semua tetap berjalan lancar. Ketakutan yang pernah saya pikirkan bahwa saya tidak akan sanggup mengerjakan keduanya salah besar. Justru saya sangat menikmati hari-hari menyusun thesis dalam keadaan hamil. Saya bahkan termotivasi untuk datang pagi ke kampus sambil berjalan pagi mengejar jadwal bus kampus yang paling pagi. “Ibu hamil harus banyak jalan,” kata orang tua. Jadi, sekali dayung dua peran terjalani. Alhamdulillah. Pada akhir tahun lalu, alhamdulillah, bayi kami lahir dengan sehat dan menggemaskan. Waktu yang tepat karena dia datang di penghujung tahun ajaran. Ya, setidaknya, saya ada libur beberapa bulan sebelum kembali belajar; dan memang inilah waktu yang tepat. Setelah itu, kami harus menjalani hari-hari baru merawat bayi dan menjadi orang tua muda. Sepanjang malam harus terjaga. Memberikan hak ASI kepada bayi yang tidak semudah yang dilihat. Setelah 9 bulan mengandung, awalnya saya pikir titik paling sulit adalah saat persalinan. Namun, ternyata merawat anak lebih lagi beratnya.[] “Doakan kami sanggup mengemban peran jadi orang tua yaa,” kata saya pada seorang tamu yang menjenguk. “Ya pasti sanggup. Ini udah dikasih sama Allah artinya Allah percaya kalian memang sudah sanggup.”


Deg! Ini yang saya seringkali lupa. Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kesanggupannya kan? Jika memang dua amanah datang dipercayakan pada kita, ya memang berarti kitalah orang yang tepat untuk dua amanah tersebut. Namun, apakah menjalaninya mudah? Tentu tidak, tapi Allah percaya kita bisa mengapa kita tidak? Dan bukankah jalan menuju surga itu penuh ujian dan tidak mudah? Laa taiasuu! Janganlah berputus asa. Hadiah yang besar menunggu di depan. Percayalah!

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orangorang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.� (QS. Al-Ankabut [29]: 2-3)


Suka Duka di Sendai S

aya dan keluarga sudah merantau di Sendai kurang lebih 10 bulan. Alhamdulillah dengan merantau ini, kami sekeluarga mendapatkan banyak hikmah, terutama dapat kumpul dengan keluarga secara full team. Anak saya bisa ketemu ayahnya se-

tiap hari. Selain itu, kami juga mendapatkan pengalaman baru tinggal di negara orang untuk beberapa tahun, belajar adat istiadat serta kebiasaan orang disini. Di sini, kami mendapati banyak keluarga Indonesia yang sudah kami anggap seperti saudara sendiri. Sedangkan di kota saya di Indonesia, orangorangnya sudah mulai individualis antar sesama tetangga. Ditambah lagi, orang-orang Jepang kalau menolong orang lain tidak tanggung-tanggung baiknya, sehingga terkadang membuat yang meminta tolong menjadi sungkan sendiri. Akan tetapi, dalam menjalani kehidupan di sini pun banyak tantangannya. Khususnya bahasa, karena saya tidak bisa bahasa Jepang sama sekali. Hal yang paling sulit adalah ketika ingin menghafalkan arah ke suatu tempat karena tempat yang bisa dibuat patokan arah biasanya ditulis dengan karakter Jepang. Hal yang menarik selama saya tinggal di Jepang adalah di sini anak saya dapat tunjangan yang besarnya cukup besar. Untuk pengobatan pun tidak dipungut biaya, meskipun harus berobat di klinik yang bagus.[]


Suka Duka K Berkeluarga di Sendai

Kehidupan awal

etika pertama kali datang ke Sendai, saya merasa sangat antusias. Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kehidupan baru bersama suami sangat saya nantikan. Terlepas dari itu, saya juga sempat merasa kesulitan beradaptasi karena perbedaan pola hidup di Sendai dan kehidupan saya sebelumnya, ditambah adanya peran tambahan sebagai istri (saat itu pernikahan saya baru memasuki usia 1 bulan). Perlu waktu untuk membiasakan diri dengan perbedaan bahan makanan, harga-harga, dan juga lingkungan. Tantangan terbesar yang saya rasakan terkait dengan makanan. Saya tidak terlalu bisa memasak dan ketersediaan makanan halal cukup terbatas jadi saya tidak bisa sering membeli makanan jadi di luar. Sebelumnya, saat di Indonesia saya tidak terlalu banyak berpikir soal halal tidaknya makanan, asalkan bukan babi dan darah, saya berpikir semua makanan itu halal. Sejak di Sendai, saya jadi lebih memperhatikan halal tidaknya makanan, ketika pulang ke Indonesia juga jadi lebih berhati-hati dalam memilih tempat makan. Di Sendai, saya banyak belajar tentang komposisi dalam makanan, apa saja yang sebaiknya dihindari dan apa saja yang boleh dikonsumsi. Di kota asal saya di Indonesia, transportasi umum sangat beragam dan hampir ada setiap saat, tetapi di Sendai tidak. Sepeda-pun menjadi pilihan utama untuk berkendara di dalam kota Sendai mengingat biaya transportasi umum juga cukup tinggi. Untuk seseorang yang jarang berolahraga seperti saya, berkendara dengan sepeda dan keharusan untuk berjalan ke tempat pemberhentian bus/stasiun kereta pada awalnya cukup menyulitkan. Tetapi lama kelamaan, saya merasa jauh lebih kuat dan sehat dibandingkan dengan saya yang dulu jarang melakukan aktivitas fisik.


Kehamilan dan perawatan anak

Di tahun 2016, saya diberkahi Allah untuk mengandung putra pertama saya. Saat itu, saya benar-benar awam dengan apa yang harus saya lakukan dan apa saja persiapan yang perlu dilakukan untuk menyambut sang buah hati. Di awal kehamilan, saya memeriksakan kandungan ke sebuah klinik kecil. Dokter di klinik merekomendasikan saya untuk melanjutkan pemeriksaan kehamilan di Tohoku University Hospital memasuki minggu ke-14 kehamilan saya. Selama melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit, saya merasa sangat terbantu dengan sesi konsultasi bersama suster. Suster menjelaskan apa saja yang harus saya perhatikan, contohnya tentang makanan yang harus dikonsumsi dan apa saja keluhan yang saya rasakan terkait kehamilan, termasuk bagaimana cara menanganinya. Meskipun agak kesulitan dengan istilah bahasa Jepang yang digunakan, sesi konsultasi tersebut menjadi waktu pembelajaran saya untuk menambah kosakata bahasa Jepang. Rumah sakit memiliki jasa penerjemah untuk menemani pasien-pasien yang kurang lancar berbahasa Jepang, tetapi pasien harus membuat janji terlebih dahulu jika ingin menggunakan jasa penerjemah tersebut. Rumah sakit juga memberikan buku panduan yang memuat informasi tentang persiapan persalinan dan apa saja pemeriksaan yang perlu dilalui selama kehamilan (misalnya tes darah atau screening penyakit tertentu), dilengkapi dengan rincian jadwalnya. Rumah sakit memiliki program-program pelatihan yang terstruktur dan bebas biaya. Tidak hanya di rumah sakit, beberapa sentra komunitas dan pemerintah daerah juga menyelenggarakan program serupa. Suami saya pun sempat mengikuti sesi pelatihan persiapan persalinan dan persiapan menjadi ayah sebagai bekal untuk mendukung saya selama kehamilan, saat persalinan, dan pasca melahirkan.

Pasca melahirkan

Di Sendai, saya merasa kesehatan ibu dan bayi sangat diperhatikan. Rumah sakit dan pemerintah daerah menentukan jadwal pemeriksaan dan konsultasi lanjutan pasca melahirkan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan ibu dan bayi, bahkan ada kunjungan ke rumah untuk melihat kondisi lingkungan tempat tinggal, apakah sudah cukup baik dan sesuai untuk tumbuh kembang anak. Ketika usia bayi memasuki 4 bulan, pemerintah daerah memberikan penyuluhan tentang makanan pendamping ASI dan pertumbuhan gigi bayi, bagaimana cara perawatan yang baik. Biaya untuk pemeriksaan dan tindakan medis untuk anak dapat dikatakan sangat minim (bahkan gratis). Ketika menginjak usia 1 tahun, anak saya didiagnosis memiliki spinal lipoma dan harus melalui operasi untuk mencegah kemunculan gejala kerusakan sistem saraf bagian bawah di masa mendatang. Saya sangat bersyukur telah diberikan kesempatan untuk ikhtiar oleh Allah tanpa harus memikirkan besarnya biaya operasi karena adanya program asuransi kesehatan nasional dan program bantuan dari pemerintah kota Sendai. Di Sendai banyak terdapat fasilitas bermain untuk anak-anak, kebersihannya pun sangat terjaga. Saya seringkali mengunjungi taman dan daerah pinggir sungai untuk mengajak anak saya bermain. Menurut saya, lingkungan di kota Sendai cukup baik untuk perkembangan anak. Hal yang membuat saya sedikit gusar pasca melahirkan adalah jauhnya saya dari orang tua. Meskipun orang tua saya sempat berkunjung sekitar 3 minggu untuk membantu saya mengurus bayi saya yang baru lahir, saya merasa waktu tersebut tidak cukup untuk mempersiapkan saya mandiri dalam mengurus bayi, ditambah lagi dengan kondisi pemulihan saya yang cukup lama karena mengalami pendarahan yang cukup


parah ketika persalinan. Alhamdulillah, kerjasama dan dukungan dari suami saya membuat saya terus optimis. Saya dan suami berbagi tugas: bergantian mengurus bayi, mengerjakan urusan rumah tangga, dan berbelanja. Kehadiran teman-teman Indonesia juga sangat membantu saya melalui berbagai kesulitan dan kekhawatiran yang saya rasakan.

Kepulangan

Perihal kepulangan ke Indonesia adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Saya kesulitan untuk mengosongkan apato karena banyaknya barang yang tertumpuk. Saya memiliki kebiasaan buruk untuk membeli barang murah dan menyimpan barangbarang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Banyak barang yang saya berikan kepada orang lain, tetapi banyak juga barang pada akhirnya terbuang menjadi sampah. Sampah yang saya buang ketika hari terakhir saya di apato mencapai 10 kantung! Karena tidak sempat memesan jasa penjemputan sampah jumlah besar, saya meminta bantuan tetangga dan beberapa teman lainnya untuk membuang sampah-sampah tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan untuk membantu dalam pengosongan barangbarang ketika akan pulang: menghibahkannya, menggunakan jasa recycle shop, dan melakukan proses pembuangan melalui jalur pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa belum tentu recycle shop mau membeli barang bekas yang ditawarkan, apalagi jika barang tersebut sudah tua dan/atau tidak memiliki merk Jepang. Seseorang (dari negara lain) membatalkan pengambilan kulkas saya tepat sehari sebelum hari terakhir saya di apato, dan karena terdesak dengan waktu, saya terpaksa menawarkan kulkas saya kepada recycle shop. Pada akhirnya

saya harus membayar 5000 yen agar recycle shop mau mengambil kulkas saya yang sebenarnya masih berada dalam kondisi sangat baik, hanya saja cukup tua. Dari pengalaman ini, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga untuk mengurangi perilaku konsumtif. Perencanaan yang matang dan rencana alternatif juga diperlukan untuk mengurangi biaya pembuangan sampah dan mengurangi tekanan yang dirasakan saat persiapan kepulangan. ** Selama 4.5 tahun kehidupan saya di Sendai, banyak kesulitan yang saya hadapi dan banyak hal yang sempat membuat saya terkaget-kaget, tetapi semuanya adalah pengalaman yang tak ternilai bagi saya. Ritme kehidupan yang lebih tenang dibandingkan kehidupan saya di Indonesia memberikan saya kesempatan untuk banyak bersyukur dan berbenah kehidupan. Menurut saya, kota Sendai memiliki alam dan lingkungan yang baik, khususnya untuk perkembangan anak. Satu hal yang ingin saya tekankan adalah, kerjasama dan dukungan seluruh anggota keluarga sangat penting dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan yang muncul. Selain itu, jangan sungkan untuk bertanya kepada temanteman lain yang mungkin saja dapat memberi masukan dan bantuan tidak terduga untuk permasalahan yang sedang dihadapi.[] Alhamdulillah, kerjasama dan dukungan dari suami saya membuat saya terus optimis. Saya dan suami berbagi tugas: bergantian mengurus bayi, mengerjakan urusan rumah tangga, dan berbelanja. Kehadiran teman-teman Indonesia juga sangat membantu saya melalui berbagai kesulitan dan kekhawatiran yang saya rasakan."


Keseruan Mengasuh Anak sambil Kuliah Merantau Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

P

ada edisi kali ini, Mabruk untuk pertama kalinya memasukkan topik keluarga dan pendidikan anak di Sendai. Suatu kehormatan bagi saya untuk berbagi cerita tentang keseruan mengasuh anak sambil kuliah. Membahas masalah anak memang selalu menarik bagi setiap insan, terutama bagi para orang tua maupun yang berencana menjadi orang tua. Mungkin ada beberapa pembaca yang akan kurang setuju dengan pendapat saya. Berikut saya menyampaikan mengapa mengasuh anak lebih utama bagi orang tua dibandingkan dengan studinya; sehingga bukan kuliah sambil mengasuh anak tetapi mengasuh anak sambil kuliah. Anak merupakan salah satu titipan Allah yang paling berharga. Akan tetapi, tidak sedikit orang tua yang lupa akan hal ini sehingga menjadikannya nomor kesekian setelah kepentingan dunia yang lain. Dengan zaman yang semakin berkembang, semakin sulit juga menjaga amanah dari Allah Swt. yang berupa anak. Akan tetapi, begitu sempurnanya Alquran sebagai panduan. Di dalamnya, sudah diingatkan oleh Allah Swt.

bahwa anak memiliki beberapa sifat dasar/tabiat. Anak sebagai perhiasan, “Harta dan anak merupakan perhiasan kehidupan di dunia,” (QS. Al-Kahfi: 46); anak sebagai penyejuk jiwa, “... wahai Tuhan kami, anugerahilah kami isteri dan anak yang menjadi penyejuk jiwa,” (QS. Al-Furqan: 74); anak sebagai ujian atau cobaan, “Ketahuilah bahwasannya harta benda dan anak-anakmu adalah ujian/cobaan,” (QS. Al-Anfal: 28); dan anak sebagai musuh, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh di antara isteri dan anakanakmu bisa jadi musuh,” (QS. At-Taghabun: 14). Sifat-sifat dasar yang ada pada anak biasanya akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan peran orang tua dan lingkungan anak tersebut. Orang tua harus ekstra hatihati, teliti, sabar dan memiliki strategi yang tepat dalam mendidik anak-anaknya. Strategi yang tepat untuk setiap anak akan berbeda karena sifat dasar anak juga berbeda. Banyak orang mengibaratkan anak terlahir bagaikan kertas putih kosong bersih. Akan tetapi, saya lebih setuju dengan sebuah pendapat bahwa anak terlahir bagaikan kertas berwarna tertentu (putih, merah, biru, kuning, hijau, dll.), kosong dan bersih.


Dengan demikian, pemilihan warna tinta dan coretan yang diisikan pada kertas tersebut harus tepat sehingga bisa menjadi karya yang indah dan menyejukkan hati. Berbicara tentang mendidik anak, sebagai seorang muslim, tentu kita ingin selalu mengisi anak kita dengan pendidikan yang seimbang antara pendidikan agama dan pendidikan umum: sains, sosial, seni, budaya dan lain-lain. Bagi umat Islam yang tinggal di negara minoritas muslim, tidak mudah untuk mendidik anak apalagi sebagai single parent. Anak akan berpisah dengan orang tua sekitar 9-11 jam per hari karena ditinggal kerja/kuliah. Jika kita perkirakan tidur malam anak sekitar 8-10 jam, dalam sehari kita

..., saya lebih setuju dengan sebuah pendapat bahwa anak terlahir bagaikan kertas berwarna tertentu (putih, merah, biru, kuning, hijau, dll.), kosong dan bersih. Dengan demikian, pemilihan warna tinta dan coretan yang diisikan pada kertas tersebut harus tepat sehingga bisa menjadi karya yang indah dan menyejukkan hati."

hanya bisa berinteraksi dengan anak selama 3-7 jam. Untuk single parent, waktu tersebut akan berkurang lagi untuk kegiatan masak, bersih-bersih, cuci baju, dan lain-lain. Bisa dibayangkan bagaimana singkatnya pertemuan kita dengan amanah Allah yang sangat besar ini. Cukupkah waktu yang kita alokasikan untuk anak kita? Jika dihitung secara matematis, sangat jelas tidak cukup apalagi mengingat besarnya tanggung jawab kita akan anak terhadap Allah Swt. Dengan demikian, kita membutuhkan strategi yang tepat untuk menyiasati ini semua. Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya sebagai single parent dengan anak laki-laki berusia 6 tahun.


Di saat-saat yang sulit itulah, Allah Swt. mengirimkan pertolongan..."

Keputusan membawa anak untuk ikut tinggal bersama saya di Sendai merupakan keputusan yang berat tetapi ringan buat saya. Berat untuk membayangkan menjadi seorang mahasiswa dan bapak single parent (pendapat umum atau memang sudah kodrat bahwa seorang ibu lebih bisa multitasking dibandingkan dengan seorang bapak). Namun, bagi saya, ringan jika mengingat pertanggungjawaban di Hari Akhir kelak atas amanah ini. Dengan demikian, ketika bundanya berangkat studi ke luar negeri dan tidak bisa membawa anak, langsung saja saya putuskan untuk menjemput anak, meskipun dia bisa tinggal bersama kakek dan neneknya. Ketika pertama kali sampai di Sendai (20 September 2018), awalnya saya berpikir bahwa masuk daycare di Jepang semudah di Indonesia; yaitu tinggal mendatangi kantor daycare untuk daftar dan bisa langsung masuk keesokan harinya (sejak usia 2,5 bulan, anak saya sudah berpengalaman di 6 daycare yang berbeda dengan durasi yang berbeda mulai dari 1 hari hingga paling lama sekitar 6 bulan). Pendaftaran daycare di sini, minimal dari satu bulan sebelum masuk. Keadaan ini sangat berat buat saya yang penelitiannya di laboratorium eksperimen (lab basah) menjalankan long-term reactor yang setiap hari harus di kontrol. Sebelumnya, reaktor tersebut sudah saya tinggal dan saya titipkan kepada teman lab selama sekitar 3 minggu untuk menjemput anak. Terdapat masalah pada reaktor, yaitu terjadinya penurunan performa sehingga harus diperbaiki, diawali dengan menguji sampel selama saya tinggalkan ke Indonesia dan dua minggu untuk mengurus administrasi anak. Singkat cerita, saat itu saya tidak bisa bekerja di lab dengan baik karena anak belum bisa masuk daycare. Di saat-saat yang sulit itulah, Allah Swt. mengirimkan pertolongan melalui keluarga teman (yang semoga selalu mendapatkan rahmat Allah Swt.). Ada keluarga teman yang dengan ikhlas bersedia membantu mengasuh anak saya ketika saya bekerja di lab. Karena saat itu pekerjaan menumpuk, maka pekerjaan tidak akan bisa selesai jika saya hanya bekerja 8-9 jam per hari. Di sisi lain, saya juga tidak enak karena merepotkan teman dengan menitipkan anak terlalu lama. Maka dari itu, saya menyiasatinya dengan berangkat ke kampus setelah salat subuh (sekitar pukul 5 ), bekerja di lab hingga sekitar pukul 9.


Kemudian, saya pulang untuk menyiapkan sarapan, bekal anak, dan mengantarkan anak ke rumah teman. Saya berangkat kerja di lab lagi hingga sekitar pukul 18. Saat jemput anak, saya ngobrol sebentar dan anak sangat sering diajak makan malam bersama sebelum kami pulang. Saat sampai rumah, saya sudah sangat lelah karena aktivitas berat seharian. Akan tetapi, saya tidak bisa langsung istirahat karena anak saya tidurnya sering larut malam, sekitar pukul 23 -24 (dampak dari bangun pagi terlambat). Rutinitas ini berlangsung sekitar satu bulan. Bulan berikutnya (November 2018), waktu kerja di lab menjadi lebih teratur karena anak sudah bisa masuk hoikuen (nursery school). Saya mengantarkan anak sekitar pukul 8-9 dan dijemput sekitar pukul 18. Mulai saat itulah pendidikan anak saya mulai saya tata, sambil terus belajar bagaimana cara mendidik anak yang baik. Saya belajar dengan membaca artikel, melihat video, dan bertanya serta berdiskusi dengan teman-teman di Sendai yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih dalam mendidik anak di Sendai. Ketika kita hidup di negara yang memiliki banyak perbedaan dengan Indonesia, selain memikirkan pendidikan anak saat di Jepang, kita juga harus mempersiapkan anak supaya siap menerima pendidikan di Indonesia ketika kembali kelak. Kurikulum di Indonesia sangat berbeda dibandingkan dengan kurikulum di Jepang maupun negara maju yang lain, khususnya untuk pendidikan anak usia dini hingga SD. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke Jepang, saya membeli buku SD kelas satu untuk anak saya, tetapi hanya buku matematika. Menurut saya, kemampuan dasar yang diperlukan bagi anak adalah matematika, bahasa, kreativitas,

komunikasi, dan sikap. Dari beberapa kemampuan tersebut, yang bisa didapatkan di sekolahan Jepang adalah kreativitas, komunikasi, dan sikap. Sedangkan pelajaran matematika, meskipun cara pengajaran di Jepang sangat baik dan mendalam secara konsep, isinya lebih rendah untuk level kelas yang sama. Dengan demikian, anak perlu diberikan pelajaran tambahan di rumah atau bisa juga diikutkan lembaga bimbingan belajar. Untuk bahasa Inggris, bisa dipelajari melalui nonton film anak-anak atau saat anak main game. Mengajak anak untuk belajar tentu tidak mudah apalagi belajar matematika. Untuk masalah ini, saya lakukan dengan menyelipkannya di saat-saat bermain atau kegiatan lain yang bisa mengajak anak berhitung bersama, misalnya saat membeli sesuatu, menimbang barang, dan lain-lain. Selain itu, anak juga saya ajak belajar dan mengerjakan soal yang ada di buku kelas satu. Untuk memotivasinya supaya mau belajar, setiap berhasil mengerjakan soal, maka saya berikan koin hadiah atau bonus waktu selama 2-3 menit per soal yang berhasil dikerjakan untuk nonton film, cerita anakanak, atau main game. Hal ini saya lakukan karena kami sudah terlanjur salah mengenalkan anak kepada tablet sehingga dia suka main tablet sejak sebelum ke Jepang. Demikian tadi cerita singkat saya tentang pengalaman saya selama sekitar 6 bulan terakhir di Sendai. Namun, jangan lupa bahwa pendidikan akhlak anak adalah yang paling utama. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Saya memohon maaf jika ada kesalahan dalam tulisan ini. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.[]


Pengalaman Berkeluarga di Sendai K

ali pertama menginjakkan kaki di Sendai pada tahun 2009, saat itu hanya berdua dengan suami. Tidak terasa saat ini adalah perjalanan tahun kesepuluh saya berada di Sendai. Sendai, sebuah kota yang sangat nyaman ditinggali. Selain kemudahan untuk akses ke manamana, juga masyarakatnya sudah makin terbuka dengan orang asing. Jika ingat saat awal datang sebagai orang asing di Sendai, kesan pertama secara umum masyarakat Sendai belum terlalu familiar dengan orang asing. Semakin lama jumlah orang asing di Sendai pun meningkat, maka suasana saat ini terasa lebih terbuka bagi atas kebera daan orang asing di sini.

Proses adaptasi tinggal di negara baru sebagai keluarga muda ada suka dan duka. Secara pribadi, sebagai IRT di negeri asing, lebih banyak berada di rumah, dan saat itu belum mengenal siapa pun. Baik teman-teman Indonesia maupun teman-teman negara lain, maka membutuhkan proses adaptasi yang lebih banyak. Saya merasakan sangat terbantu dengan adanya KMIS yang sangat kekeluargaan. Di sanalah bisa mengenal warga lainnya. KMIS yang sangat kekeluargaan ini terasa tidak ada batas dan rasa sungkan ketika saling membutuhkan bantuan. Semua warga bisa membaur, ringan membantu, sehingga menjadikan suasana menjadi tidak merasa asing sebagai warga baru di sini. Selain itu, karena informasi tentang halal dan haram, tempat makan halal dan sebagainya saat itu baru sekedar saling diinfokan secara lisan, belum banyak website maupun fanpage yang menginfokan produk halal dan haram, jadi mengandalkan kekuatan komunitas KMIS. Tantangan menjadi berbeda ketika sudah memiliki anak usia sekolah. Jika dulu hanya memikirkan diri sendiri dan pasangan yang tentunya lebih sederhana karena sejak awal sudah berbekal pengetahuan Islam dari Indonesia, lain cerita ketika sudah memiliki anak usia sekolah. Kedua putra kami lahir dan besar di Sendai. Bisa dikatakan belum memiliki `kenangan hidup` dalam masyarakat mayoritas muslim. Mengenalkan salat, puasa, halal dan haram hanya dari rumah dan TPA. Selebihnya, situasi di sekolah Jepang tidak ada hal-hal demikian. Mengenalkan dan mengajarkan Islam kepada anakanak menjadi hal yang lebih berat daripada ketika sudah ada bekal pengetahuan anak-anak pernah tinggal di Indonesia. Sebagai contoh: mengajarkan konsep makanan halal dan haram, jika di rumah maka orangtua bisa menjaganya. Namun, ketika di sekolah (anak-anak usia TK) hanya usaha mereka sendiri untuk menahan diri tidak ikut memakan `snack/jajanan` bersama teman-temannya. Ini baru soal makanan. Belum lagi urusan salat dan lain-lain. Meski masih usia TK tentu lebih mudah ketika beramai-ramai dengan teman-temannya belajar salat bersama dibandingkan belajar sendirian. Demikian yang kami rasakan sebagai keluarga di Sendai. Alhamdulillah lebih banyak sukanya daripada duka. Namun tantangan menjadi lebih berat ketika anak mulai besar dan masuk usia sekolah. Semoga para orangtua bisa menjaga keistikamahan dalam berislam dan dimudahkan dalam mendidik keluarga Islami di tengah masyarakat minoritas muslim.[]


Kenangan & Tantangan 4 Tahun Hidup Merantau Bismillahirahmanirahim

A

lhamdulillah 4 tahun sudah saya lalui. Suka duka sudah pasti ada, kalau saya diminta menceritakan semua perjalanan ini bisa jadi berbuku-buku nanti. Tapi saya coba menceritakan beberapa hal yang mungkin bisa berguna buat para pembaca. Setelah menikah dan memiliki 2 anak, tahun 2014 saya diminta sekolah S3 oleh tempat saya bekerja. Seijin suami dan keluarga, saya yang awalnya ragu akhirnya memantapkan hati untuk berangkat. Mungkin ada yang bertanya, kenapa saya sempat ragu untuk mengambil kesempatan ini? Karena saat itu saya hanya berpikir, buat apa saya sekolah lagi. Kodrat saya sebagai

wanita kan hanya mengurus suami dan anak-anak, kerja pun sebatas untuk bersosialisasi. Jadi untuk apa saya sekolah lagi? Apa yang mau saya kejar? Akan tetapi semua keraguan itu pun hilang setelah suami berhasil meyakinkan saya untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya April 2015 saya berangkat. Sedih? PASTI. Saya meninggalkan dua anak usia 4 tahun dan 7 bulan. Gila kan?? Tidak sedikit suara sumbang sampai di telinga saya, untungnya saya termasuk orang yang bodo amat dengan sekitar, jadi ya di senyumin saja. Seminggu lamanya sejak saya sampai di Jepang, setiap pagi saya telepon suami


sambil menangis minta pulang. Hingga dia berkata “Sudah ga usah nangis terus, nangis ya ga bakal bikin kamu pulang. Dinikmati saja, inget niatnya kan demi anak-anak.”, disitu saya menjadi kuat, dan alhamdulillah cukup seminggu saja nangis-nangisnya. Tapi apa setelah itu saya tidak pernah menangis? Ya pasti masih jawabannya, bukan hanya perkara pingin pulang, tapi ternyata banyak hal lain yangg bikin galau. Anak sakit lah, ortu sakit lah, masalah dengan suami/ortu lah, sampai masalah ART (Asisten Rumah Tangga) yang minta berhenti kerja. Banyak ternyata tantangan yang harus saya hadapi kalau dibandingin dengan deadline sensei sih galaunya nggak ada apaapanya. Jadi ternyata long distance marriage (LDM) itu nggak mudah. Padahal kuncinya sama saja dengan yang nggak LDM-an, sesederhana komunikasi, percaya dan ikhlas. Simple tapi aplikasinya tidak semudah itu ternyata. Akan tetapi dari 4 tahun ini Allah mengajarkan saya dan suami agar tetap kuat menghadapi setiap rindu yang melanda atau komunikasi yang terkadang terkendala sinyal. Juga latihan sabar dan pasrah serta ikhlas dengan semua yang sudah di tetapkan Allah. Ini sih yg paling berat buat saya apalagi kalau masalah lab dan rumah kadang datangnya bersamaan. Duh gustiiii!! Ini yang sering membuat kondisi mental down dan kalau sudah begini ternyata hanya Allah lah tempat berkeluh kesah. Selama 4 tahun ini saya menyibukkan diri dengan banyak hal, mulai ikut gym, main board game, jalan-jalan, ke salon, berkumpul dengan teman-teman, baca novel dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa membuat saya bahagia atau lupa sesaat dengan segala kerinduan terhadap keluarga. Pokoknya setelah ngelab, harus ada kegiatan lagi agar ketika sampai rumah sudah lelah

dan tinggal tidur. Karena kalau tidak, nanti di rumah pikirannya jadi kemana-mana dan bisa bikin baper karena ingat anak-anak. Saya menyebutnya “me time”. Menurut saya ini penting untuk setiap wanita terutama seorang istri/ibu. Kenapa penting? Karena dengan kita melakukan sesuatu yang kita senangi, emosi/hati kita akan lebih bahagia/positif dan hal ini penting buat kita saat mengasuh anak atau ketemu suami. Jadi luangkan waktu untuk melakukan “me time”, agar emosi kita bisa ter-charge lagi, jadi kalau kita bahagia kita akan sangat mudah menyalurkan energi positif itu kepada anak-anak atau suami kita. Karena menurut saya kalau kita sendiri nggak bahagia, gimana bisa kita membahagiakan orang lain. Buat semua yang sedang berkelana jauh dari orang tua, baik sudah menikah atau belum, baik yang di sini berkumpul dengan keluarga atau tidak, saya yakin semua punya tantangannya masing-masing. Nikmati saja prosesnya, kalau memang butuh teman untuk bicara jangan ragu mencarinya, yakinlah bahwa semua badai ini pasti berakhir dan pasti ada akhir yang indah. Buat para wanita yang masih single atau berkeluarga kalau kalian ada kesempatan untuk belajar, jangan ragu untuk diambil (selama suami dan keluarga merestui). Niatkan ini untuk keluarga, insyaAllah Allah menghitung ini sebagai ibadah. Karena menurut saya, kita sebagai wanita adalah madrasah pertama bagi anak-anak kita, jadi kita harus pintar, cerdas dan tangkas. Karena kalau wanita hanya cantik saja, ya apa bedanya kita sama boneka Barbie. Ini sedikit pengalaman selama 4 tahun yang bisa saya share. Semoga bisa bermanfaat dan mohon maaf apabila ada halhal yang tidak berkenan.[]


Hikmah Hidup di Rantau


Bismillahirrahmaanirrahiim

pun jadi ikut terpacu mencari resep dan menyodorkan ke ibunya. “Mama, bikin ini ma, Mama... aku pengen martabak telor adik dapet resep dari buku adik”. ya...”, “Aku pengen roti yang kaya ke“Mama, aku cobain resep yang ini ya”, kata marin ya, Ma...”, Bagaikan restoran, begitulah si sulung. sibuknya bagian dapur kami. Terima order, Sekarang, alhamdulillah semua terbiasa eksekusi orderan, tapi tidak mengeluarkan dengan alat dapur, dari yang awalnya gak bill tagihan. bisa jadi tahu dan bisa. Hal ini mungkin sama kejadiannya di setiap dapur keluarga muslim yang tinggal di Jepang, khususnya Sendai. Sedikitnya toko dan restoran yang menyediakan makanan halal Dulu, di Indonesia, makanan tidak habis, membuat kami memilih belajar membuatnya masukin kulkas sampai lupa. Di Jepang, sendiri. Menyajikan makanan halal dan kami belajar untuk tidak menyisakan thoyib untuk keluarga memang memberikan makanan. Semua anggota keluarga berlatih kelegaan tersendiri. Tidak seperti dulu se- untuk tidak berlebihan dan menghabiskan waktu di Indonesia, tatkala anak lapar, ibu terlebih dahulu makanan apa yang ada. Tertak sempat masak, maka pilihan jajan diluar lihat sepele, tapi disitulah kami belajar betul sangat terbuka lebar. Menunggu tukang mengendalikan nafsu. Kalau dulu anak-anak bakso, mie ayam, atau tukang nasi goreng belum habis satu makanan, sudah ingin yang lewat juga bisa menjadi alternatif. yang lain lagi, kalau sekarang alhamdulillah, Repot ya, apa-apa bikin sendiri? Ya, tentu mereka mengatur sendiri makanan mana akan terasa repot bila belum terbiasa. Semua yang ingin dimakan dihabiskan dulu. itu kembali kepada bagaimana kita menyikapinya. Namun yang pasti, banyak pelajaran yang bisa kami petik. Apakah Kalau dulu, di Indonesia soal makan bukan hikmahnya? Mari kita baca ulasan berikut, menjadi perhatian. Memang dari awal kami cekidot sudah menanamkan pentingnya label dan makanan halal kepada anak-anak, jadi urusan makan tinggal bismillah, lalu hap aja Di Indonesia punya peralatan masak lah. Semenjak tinggal di Jepang, banyak ilmu lengkap, tapi nongkrong aja di lemari. Mau yang didapat salah satunya, mendoakan bikin macem-macem kue merasa lama dan makanan agar menjadi lebih berkah ketika hasilnya belum tentu seenak yang tinggal dimakan. Kadang merasa menyesal, kenapa beli. Kalau di Jepang, tiap hari ada saja resep dulu melewatkan berbagai makanan tanpa yang ditonton di youtube, bahkan sampai didoakan sedikitpun. Tahunya hanya bismilsubscribe channel-channel memasak. Yang lah sebelum makan, tidak tahu kalau seorbelajar memasak juga bukan hanya saya ang ibu punya kesempatan lebih dengan sendiri sebagai ibu, tapi juga suami dan berdoa sesuka hati sambil memasak. Peneanak-anak. Kalau mampir ke rumah kami, litian membuktikan bahwa molekul air saja maka bisa ditemukan kumpulan resep berubah ketika diperdengarkan ayat-ayat dengan tulisan berbeda, yang satu punya Allah. Ternyata begitu pula masakan yang saya, dan satu lagi punya suami. Anak-anak dimasak seorang ibu, masakannya bisa

2.Dari yang suka mubadzir menjadi lebih menghargai

3.Menikmati doa

1.Dari yang gak bisa jadi bisa


menjadi sama saja dengan ibu lain akan tetapi dapat berbeda dengan adanya doa dalam setiap suapan yang memasuki tubuh anggota keluarga. Ingin anaknya nurut, keluarganya sehat, yaa didoakan saja sambil masak, semoga masakan ini menyehatkan keluarga, menjadi sumber tenaga untuk berbuat kebaikan, anak-anak menjadi tambah terang dalam berpikir dan doa-doa kebaikan lainnya. Ketika menyadari memasak ada konten ibadah di dalamnya, maka memasak jadi lebih enjoy dan membuat ketagihan. Begitulah kira-kira beberapa hikmah dalam bidang perdapuran ala rantau. Masih banyak hikmah yang didapat ketika kita terus mensyukurinya. Karena Allah selalu menjanjikan itu dalam Quran. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ibrahim ayat 7 , Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." Hal seru apalagi sih yang terasa berbeda ketika hidup di Jepang bagi sebuah keluarga? Ada yang tau? Yup, soal transportasi. Jika di Indonesia, dapat naik motor atau naik mobil sendiri sesuai kebutuhan dan bisa pergi sekeluarga dengan hemat. Berbeda hal dengan hidup di Jepang. Untuk membeli mobil, mungkin setiap keluarga bisa memilikinya, karena harga mobil bekas di Jepang ini relatif terjangkau. Namun persoalan tidak berhenti di situ. Butuh waktu dan biaya untuk membuat SIM mobil Jepang. Tidak seperti SIM motor yang cenderung lebih simple. Belum lagi biaya tambahan uji kelayakan mobil juga lahan parkir tiap bulan. Kalau sudah begitu, akhirnya banyak keluarga yang memilih bersahaja dengan sepedanya. Yuk kita baca ulasan hikmah dari nikmatnya

bertransportasi di Jepang.

1.Menghargai waktu

Jadwal transportasi umum di Jepang hampir semuanya tepat waktu. Ketika sedikit saja terlambat, maka kita harus menunggu kendaraan selanjutnya. Ya kalau jarak tunggunya hanya hitungan menit mungkin tidak mengapa, tetapi akan jadi bermasalah ketika jarak tunggunya lebih dari satu jam. Hal inilah yang tertanam pada seluruh anggota keluarga. Setiap rencana bepergian, anakanak wajib tahu kapan waktu bis atau kereta yang akan dinaiki. Hal ini secara tidak langsung juga melatih anak dalam kemandirian dan kepekaan terhadap waktu. Mereka jadi tahu apa yang harus disiapkan untuk sebuah perjalanan.

2.Bercerita dan menasehati dalam perjalanan

Di Indonesia, ayah atau ibu sibuk menyetir, harus konsentrasi dengan lalu lintas di depannya, perjalanan terkadang menjadi membosankan bagi anak-anak. Inilah nikmatnya naik transportasi umum di jepang, ada pak supir yang memimpin perjalanan, kita semua tinggal duduk manis menikmati perjalaanan. Ayah dan ibu pun bisa membersamai anak-anak secara penuh selama perjalanan. Dalam buku Cara Nabi Mendidik Anak, dijelaskan bahwa ada waktuwaktu yang baik untuk memberikan nasihat kepada anak, seperi apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw. Ada 3 pilihan waktu, yang salah satunya adalah saat berjalanjalan atau di atas kendaraan. Hal ini menjadi poin tambah ketika menaiki transportasi umum, alhamdulillah.

3.Karena mahal jadi lebih kreatif

Bagi seorang single akan lebih mudah berpetualang menjelajah negeri Jepang.


Berbeda halnya dengan sebuah keluarga, yang harus menghitung biaya transportasi dikalikan ada berapa kepala yang akan berangkat. Hal ini tidak membuat surut langkah kami. Ketika belum sampai langkah kami ke suatu tempat yang diingini, maka doa saja yang jadi tumpuan, semoga Allah mengijinkan dan meridai langkah kami sampai ke tempat itu. Selain doa, maka kami akan mencari keseruan lainnya tanpa banyak mengeluarkan biaya transportasi. Misal saja bersepeda santai bersama pergi ke sungai, di sungai kami main air sepuasnya saat musim panas. Mencari bukit untuk bisa seluncuran saat salju turun, tanpa harus ke ski resort. Menjelajah taman-taman yang dipenuhi sakura, dan menikmati indahnya bunga sakura. Kami mencoba menanamkan kepada anak-anak, bahwa inti dari perjalanan adalah kita bisa lebih merasakan ke-Mahabesar-an Allah yang menggenggam langit dan bumi, juga kebersamaan dalam keluarga. Jadi, janganlah menjadi masalah ketika tidak bisa pergi ke suatu tempat, tapi jadikanlah masalah ketika kepergian kita itu kosong tanpa meyertakan Allah di dalamnya, hanya diperbudak nafsu saja untuk sampai ke tempat tujuan. Mengenai sarana transportasi keluarga apakah nyaman di Jepang atau di Indonesia, secara manusiawi akan menjawab lebih nyaman di Indonesia karena alhamdulillah selalu dapat bepergian dengan kendaraan pribadi tanpa harus lelah mengayuh atau kehujananan seperti di Jepang. Tapi tahukah pembaca sekalian, bahwa dari gowesan itulah ternyata yang makin memperbesar rasa ketergantungan diri kepada Allah. Dari gowesan itulah dzikir-dzikir keluar karena merasa tak mampunya diri menghadapi tanjakan atau terjangan angin saat badai. Benar bila dibilang kenyamanan melalaikan diri kita dari Tuhan, kenyamanan saat

menyetir malah melupakan kalimat zikir yang seharusnya lebih deras mengalir. Selanjutnya, apalagi yang menarik dari sebuah kehidupan keluarga di Jepang? Yup, kita ulas bahasan terakhir untuk kali ini, yaitu tentang salat. Ada apa dengan salat? Sudah umum bila di Jepang para muslim menggelar sajadah di manapun saat waktu salat datang. Sedang berbelanja di pusat kota, maka segera mencari kamar pas atau tangga darurat untuk bisa salat disana. Atau mungkin sedang di taman, maka segera mencari tempat yang kira-kira bersih dari kotoran anjing. Mudah bukan? Yup, alhamdulillah mudah untuk kita orang dewasa, kira-kira kalau anak-anak bagaimana ya? Anak-anak ada rentang usia dimana mereka mulai malu salat di depan umum. Saat usia kurang dari 9 tahun, mungkin masih main-main salatnya, terhadap lingkungan pun masih kurang peduli. Namun, lambat laun mereka menjadi lebih dewasa, pola berpikir pun terpengaruh oleh lingkungan. Saat si sulung enggan salat karena malu dilihat orang di tempat umum, hal itu pun menjadi PR bagi kami orangtuanya. Pertama, kami tidak serta merta menyalahkan dan menyuruh salat. Saat itu kami lebih berdamai dengan menyuruhnya tetap salat dengan cara yang ia suka. Waktu terus berjalan, dan kami pun selalu memasukkan input positif kenapa kita tidak perlu malu salat di tempat umum. Perlu dimengerti bahwa tempat umum yang kami maksud adalah tetaplah tempat sepi yang tidak banyak orang berlalu lalang, juga bersih secara kasat mata. Namanya anak-anak, bila ada orang yang lewat 2 atau 3 orang tetaplah malu. Seiring berjalannya waktu dan tentu atas kehendak Allah juga yang telah membukakakan hati anak-anak, salat di tempat


umum saat ini bukan lagi menjadi hal yang harus dihindari karena malu. Karena untuk apa malu kepada manusia sedangkan kita ke Allah malah tidak malu ketika tidak salat. Mending menahan malu sebentar daripada kehilangan cinta Allah. Hal lain berkenaan tentang salat di Jepang adalah, anak-anak sedari kecil belajar salat hanyalah dari kedua orang tuanya. Bila di Indonesia anak-anak diajarkan salat beserta bacaannya bukan hanya dari rumah, namun juga dari sekolah dan masjid di sekitarnya. Beda lagi di Jepang, dimana orangtua tidak bisa melimpahkan tanggungjawab mengajari salat utuh dari A sampai Z kepada orang lain. Kalau anaknya ingin bisa salat, ya tekun lah sebagai guru privatnya, hal ini kami alami untuk anak kedua dan ketiga, dimana usianya adalah usia belajar salat. Bila dulu merasakan enaknya anak pertama dididik di sekolah islam, sehingga tak terasa ia sudah bisa salat mandiri dan benar tanpa kami bersusah payah. Nah, sekarang giliran anak kedua dan ketiga yang diamanahi Allah untuk benar-benar diajari dengan jerih payah kami sendiri. Pengalaman ini menjadikan kami lebih melek tugas sebagai ayah ibu yang sebenarnya. Mulai dari menguatkan tauhid, keyakinan akan adanya Allah, lalu mengajarkan salat, berperilaku islami, dan seterusnya yang kesemuanya itu dulu kami lewati karena merasa di sekolah pasti diajari. Saat ini tak bisa lagi berleha-leha dan berpangku tangan seperti dulu. Ketika anak tidak sadar salat, maka kembalikan lagi kepada orangtuanya. Mau minta bantuan kepada siapa? Tentu saja tidak ada, ini Jepang pemirsa, anak bisa salat karena diajari orang tua dan kuasa Allah yang Maha Memegang Hati anak-anak. Jadi, inilah PR besar dan terpenting bagi kami selama hidup di Jepang, menanamkan ketauhidan kepada anak sedini mungkin agar saat ia tumbuh, ia

menjadi pribadi muslim yang kuat di tengahtengan lingkunganyang tidak islami. Begitulah gambaran kehidupan keluarga muslim di Jepang, khususnya keluarga kami. Setiap kejadian memiliki hikmah agar menjadi pengalaman suka tanpa menjadi pengalaman duka. Hidup di jepang bagi kami adalah sarana belajar dari Allah yang sangat berarti. Semoga langkah kita ke Jepang bukanlah langkah sia-sia hanya berisikan nafsu karena sekedar ingin di aku lulusan Jepang, naudzubillah. Jadikanlah diri kita semakin merasa kecil tak berdaya tanpa pertolongan Allah, dengan begitu rasa ketergantungan kita kepada Allah-pun semakin besar. Semoga putra putri keluarga muslim di Jepang dikuatkan imannya, dan selalu dalam lindungan Allah. Bagi orangtuanya juga diberi kesabaran dan keistikamahan dalam mendidik anak-anak agar tak keluar dari koridor islam. Pada akhirnya, semua yang kita lakukan semoga mendapat rida Allah dan diterima sebagai pemberat timbangan amal kebaikan untuk masuk surga. Amin.[]

Jadi, inilah PR besar dan terpenting bagi kami selama hidup di Jepang, menanamkan ketauhidan kepada anak sedini mungkin agar saat ia tumbuh, ia menjadi pribadi muslim yang kuat di tengah-tengan lingkunganyang tidak islami."


Sendai: Ekspektasi

vs Reality S

endai dan Bandung itu berbeda. Saya begitu terpukau dengan perbedaan dan new experience yang ditawarkan oleh kota berjuluk City of Trees ini sejak pertama kali saya datang ke Sendai. Dimulai dari hal yang amat dasar yaitu perbedaan bahasa hingga yang sangat advanced seperti pengaplikasian iptek. Nah kabar buruknya, sepertinya saya terjangkit oleh hukum kelembaman atau lebih dikenal dengan hukum inersia. Hukum kelembaman adalah kecenderungan semua benda fisik untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya (Hukum Newton I). Maka ya, tubuh saya ini seakan menolak terhadap segala perubahan yang terpampang di depan mata. Pertama, saya mengalami culture shock karena adanya perbedaan bahasa. Saya

sedih ketika saya masuk ke convenience store dan merasa ‘tersesat’ karena tidak bisa membaca huruf kanji yang meliuk-liuk. Saya bingung ketika pergi dan harus mencari informasi ke penduduk sekitar padahal mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Dan lebih buruknya lagi adalah saya merasa susah memahami ucapan sensei karena aksen Bahasa Inggrisnya yang unik! Okay, saya merasa frustasi. Perbedaan kedua yang tidak kalah mencolok adalah kultur keagamaan. Saya adalah seorang muslimah yang wajib menegakkan shalat 5 waktu setiap hari. Namun, di sini alangkah sulitnya mencari tempat shalat. Maka dimulailah hari-hari dimana saya terpaksa harus mencari tempat shalat di lokasi yang tidak wajar. Pada titik ini hukum


kelembaman kembali menggelegak dalam diri saya. Saya awalnya jengah harus shalat di trotoar, di bordes tangga dan ruang ganti pakaian di mall. Tetapi apa yang bisa saya lakukan? Sementara memang mushala tidak tersedia dan mau tidak mau saya harus bisa beradaptasi dengan keadaan seperti ini. Sungguh, ini membuat saya semakin frustasi selama di Sendai. Sekelumit kisah di atas rasanya sudah cukup membuat saya lelah. Namun, hal yang paling membuat frustasi adalah rasa sepi ketika membutuhkan keluarga untuk menguatkan diri. Ditambah lagi saya adalah pengantin baru, yang baru menikah 2 minggu ketika tiba di Sendai. Saya harus meninggalkan suami yang bekerja di Indonesia sehingga mau tidak mau kami harus menjalani status LDM (long distance marriage). Rumit rupanya menjalani hubungan jarak jauh tingkat internasional seperti ini terutama karena adanya perbedaan zona waktu. Satusatunya hal yang bisa dilakukan hanyalah satu: bersabar. Rasanya tidak adil jika dalam tulisan ini hanya membahas duka yang saya alami selama di Sendai. Tentu saja saya memiliki banyak hal yang menyenangkan di kota ini. Hal yang tidak pernah saya ekspektasikan adalah kekeluargaan yang begitu hangat. Sungguh tidak terpikirkan ternyata Sendai memiliki banyak komunitas baik komunitas Indonesia (KMIS dan PPIS) maupun komunitas internasional (TUFSA) yang erat dan saling peduli. Keberadaan komunitas ini seolah menjadi oase yang melegakan bagi saya. Saya mendapatkan kekuatan sehingga dapat keluar dari berbagai rasa frustasi setelah sharing dengan saudara setanah air yang membantu saya dalam proses adaptasi. Hal yang tidak terpikirkan adalah kemurahhatian sesama orang Indonesia untuk memberikan barang-barang yang masih

bisa dipakai. Saya sempat kaget ketika setibanya disini saya langsung ditawari oleh teman-teman “Apa kamu butuh coat winter? Rice cooker? Setrika?� bahkan sebelum saya sempat memintanya! Alhamdulillah ‘alaa kuli haal, saya beruntung bertemu teman-teman di Sendai. Atas segala bantuan yang terulur pada saya, saya ucapkan jazakumullahu khairan katsiraan. Akhirnya, bercerita tentang Sendai adalah sebuah mimpi yang terwujud yaitu berhasil mendapatkan beasiswa dan studi di Jepang. Bercerita tentang Sendai adalah tentang untaian kisah manis yang telah dilalui bersama saudara baru yang menginspirasi dan saling menguatkan. Dan bercerita tentang Sendai juga merupakan sebuah proses pendewasaan yang luar biasa, tentang jauhnya jarak terbentang antara saya dan orang-orang tercinta di tanah air serta tentang banyaknya perbedaan sosial budaya yang indah. Terimakasih Sendai atas segala suka, suka, suka, dan duka yang telah diberikan. Tentu saja, lebih banyak suka dibandingkan dukanya![]

Tentu saja saya memiliki banyak hal yang menyenangkan di kota ini. Hal yang tidak pernah saya ekspektasikan adalah kekeluargaan yang begitu hangat."


Jepang & KetetapanNya

S

akura, samurai, salju, modern, disiplin, dan high tech, mungkin menjadi beberapa hal yang kerap terlintas di benak kita ketika mendengar kata Jepang. Negeri yang terlihat begitu sempurna. Keamanan yang terjamin, masyarakat yang tertib, sistem yang sangat teratur, lingkungan yang super

bersih, teknologi tinggi dan berbagai hal positif lain yang bisa kita temukan di Jepang terasa begitu luar biasa. Hal tentang Jepang terasa begitu indah. Mungkin karena kita terbiasa dengan kondisi yang berbeda di tanah air. Namun apakah Jepang benar-benar luar biasa? Tentu Jepang luar biasa. Jika tidak, sudah dapat dipastikan tidak akan ada banyak mahasiswa internasional yang memutuskan untuk menempuh pendidikan lanjut di sini. Tidak hanya dari negara berkembang yang secara teknologi dan keilmuan di bawah Jepang, seperti negara kita, melainkan juga dari negara-negara maju yang mungkin setara atau lebih baik dari jepang, seperti Amerika atau beberapa negara di Eropa. Namun tentu saja dibalik pemandangan yang begitu terlihat indah, Jepang bukanlah negara yang sempurna. Terutama dimata seorang muslim. Terbiasa dengan kehidupan di negeri tercinta menyebabkan pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, culture shock tentu begitu terasa. Jam kerja yang jauh melebihi standard dari institusi asal, lingkungan yang terasa begitu sunyi meski saat matahari masih terlihat begitu perkasa, dan orangorang yang tenggelam dalam kesibukan dunianya, terasa begitu asing. Tidak ada sapa ramah menjurus ke “kepo� dari tetangga, tidak ada tawa canda riuh riang anak-anak bermain di sore hari, tidak ada obrolan santai penuh perhatian dengan rekan kerja, dan entah sudah berapa purnama tanpa sahut menyahut suara azan, serta ketiadaan lainnya. Negeri ini terasa begitu hitam putih, monochrome, hampir tanpa warna. Kehidupan terasa membosankan, begitu ajeg mengikuti rutinitas, tanpa pergolakan, dan tanpa kejutan. Rasanya begitu sangat mudah merindukan kembali ke negeri tercinta.


Setidaknya itu yang saya dan suami rasakan selama mejalani hidup di Sendai. Bersama buah hati kami yang terlahir disini, tidak mudah menjalankan kehidupan “normal� menurut definisi kami di sini. Harapan kami untuk membangun rumah tangga dengan Allah dan Rasulullah sebagai sebaikbaik petunjuk terasa cukup berat. Setidaknya itu yang saya rasakan sebagai mahasiswa, istri sekaligus ibu di waktu yang sama.

Namun, tenggelam dalam rasa bersalah tidak akan pernah mampu merubah apapun. Berusaha berdamai dengan keadaan menjadi prioritas kami." Terpaksa menitipkan putra tercinta di hoikuen, dibawah pendidikan orang-orang yang tidak mengenal Allah menjadi keputusan terberat kami selama di Sendai. Sebagai ibu, begitu dalam dan mengakar rasa bersalah itu. Madrasah utama putranya sibuk memperdalam keilmuan dunia nya sendiri. Terasa seperti menomor-duakan suami dan buah hati. Namun, tenggelam dalam rasa bersalah tidak akan pernah mampu merubah apapun. Berusaha berdamai dengan keadaan menjadi prioritas kami. Alhamdulillah kebanyakan sensei di hoikuen begitu terbuka. Mereka menerima masukan dan keinginan kita sebagai orang tua. Sehingga meminimalisir pengaruh, etika dan budaya yang tidak sesuai dengan ketentuan kita sebagai muslim. Seperti dalam kasus putra kami yang ketika di rumah masih terlihat kurang terbiasa menggunakan tangan kanan nya untuk makan, dia menggunakan kedua tangan atau terkadang tangan kiri untuk makan. Tentu saat bersama, kami bisa secara langsung

mengingatkan dan menamkan nilai bahwa makan harus menggunakan tangan kanan. Namun ketika di hoikuen, tentu sensei tidak akan menganggap makan dengan tangan kanan adalah suatu keharusan dan membiarkan perilaku yang sama berlanjut. Namun ketika kami mengkomunikasikan kepada sensei di hoikuen bahwa makan dengan tangan kanan adalah kultur kami, maka sensei pun menyanggupi untuk menanamkan nilai yang sama pada putra kami sehingga putra kami tidak mengalami kebingungan. Begitupun dengan beberapa perayaan di Jepang yang tidak sesuai dengan tuntunan islam, seperti ikut merayakan natal dan tahun baru, perayaan Tanabata dengan menuliskan harapan pada Tanzatsu dan menggantungkannya di pohon bambu (Sasa), Setsubun menjelang musim semi dan perayaan lainnya. Kami berusaha sebaik mungkin mengkomunikasikan kepada Sensei bahwa putra kami tidak mengikuti perayaan tersebut, dan Sensei dengan terbuka mau menerima. Dengan segala keterbatasan kami, kami berusaha menyampaikan keinginan dan harapan kami demi pendidikan buah hati. Dibalik baik buruknya, berada disini tentu sudah menjadi ketetapan Allah atau mungkin adalah jawaban dari doa-doa. Mampu mengenyam pendidikan di negeri dengan pendidikan kelas dunia ini tentu juga menjadi anugerah yang wajib disyukuri. Entah berapa banyak orang yang juga menginginkan berada di posisi kita namun Allah tidak berkehendak. Sebagai penutup, ada sebuah hadits yang begitu membekas dalam hati kami, terasa bagai oase di tengah padang kegalauan hati.[].


Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku pernah dibonceng di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.’” [HR. at-Tirmidzi]


di sekolah. Menanyakan apakah sholatnya ada yang tinggal, apakah ada PR, sudah mengaji, sudah belajar membaca, adalah pertanyaan wajib ketika kami melakukan video call. Saya juga masih berkomunikasi dengan gurunya di sekolah. Juga mengingatkan pengasuhnya untuk terus mengingatkan anak saya sholat pada waktunya, karena tidak bisa setiap saat waktunya sholat saya telepon dia. Jika di tanya sedih, PASTI! Apalagi mendengar rengekan anak saya “Ibun kapan pulang”, “Ibun aku mau peluk Ibun”, “Ibun aku kangen” membuat hati tersayat-sayat dan saya hanya bisa berdoa memohon agar Allah SWT selalu memberi perlindungan dan aya tinggal di kebahagiaan buat anak saya. Alhamdulillah, Jepang tidak gambar-gambar yang dia hadiahi untuk saya seperti keluarga-ke- ketika pulang ke Indonesia serta video-video luarga lain yang diberi yang dia buat selalu menjadi obatnya. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, kesempatan oleh Alsaya mendapat proyek penelitian di Indonelah untuk tinggal bersama. Pekerjaan sia sehingga hampir setiap musim bahkan suami yang tidak lebih saya bisa pulang ke Indonesia untuk memungkinkan untuk melakukan penelitian. Alhamdulillah saya tinggal bersama di juga mendapatkan sensei yang begitu baik Jepang (Sendai tepatnya), membuat kami selalu mengijinkan bahkan menyarankan harus bisa bertahan dengan Long Distance setiap pulang ke Indonesia untuk mengunMarriage (LDM). Hal paling berat adalah jungi keluarga. Dan ketika pulang ke Interpisah jauh dengan anak yang pada saat doensia inilah saatnya saya menghabiskan itu masih 4 tahun, umur yang masih sangat fulltime dengan anak. Saya yakin ini rencana Allah yang terbaik, membutuhkan sosok Ibu di sampingnya. Merasa bersalah, ya sangat! Namun restu saya bisa berkonsentrasi penuh untuk dari suami, orang tua bahkan anak yang ter- sekolah dan penelitian saya. Ditambah lagi lihat tegar dan tersenyum tanpa ada raut anak saya sekarang lebih mandiri dibandsedih di mukanya ketika mengantar saya ingkan teman-teman seusianya. Di umur 5 pergi ke negeri Sakura ini lah yang membuat tahun dia sudah bisa melakukan hampir saya kuat dan terus meneruskan langkah ke semuanya sendiri, sudah bisa bikin sarapan sendiri, bahkan pas pulang ke Indonesia Sendai. Meskipun terpisah, saya tidak ingin peran saya lihat dia cuci piring bukan hanya seorang ibu hilang sama sekali. Saya tetap bekasnya sendiri tapi yang ada di tempat menjaga komunikasi dengan anak saya, cuci piring dia cuci semua. Mungkin jika hampir setiap malam mendengarkan cerita saya membersamainya ketika itu, dia tidak anak saya tentang kesehariannya termasuk akan semandiri seperti sekarang.[]

Sendai Keluarga & Rencana Terbaik Allah S


Renjana Dari NegeriSakura Merantaulah… Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang) Merantaulah… Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni Merantaulah… Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang) (Sumber: Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hlm. 39)

K

eindahan syair Imam asy-Syafi’i tersebut sangat menyentuh hati, menggetarkan rasa, sekaligus menjadi motivasi kuat bagi siapa saja yang saat ini berada di perantauan. Tinggal di tempat yang jauh dari tanah kelahiran—berbeda kota apalagi berbeda negara—juga jauh dari keluarga bukanlah hal yang mudah, terutama bagi orang Indonesia. Pergi merantau, dalam konteks dan kepentingan apapun, merupakan perjuangan yang memerlukan tekad yang kuat dan keistiqomahan, sebab berpisah bukanlah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Namun jika kita tafakuri, peristiwa merentang jarak antara kita dan keluarga, saudara, kerabat, serta sahabat dapat dimaknai sebagai wujud ketidakabadian dalam kehidupan ini. Pramoedya Ananta Toer pernah menggambarkan dalam salah satu novelnya bahwa hidup bukan seperti pasar malam: orang-orang datang dan pergi bersamasama, melainkan kita lahir sendiri-sendiri dan kembali pun sendiri-sendiri. Pada saat kita diharuskan ataupun memilih hidup terpisah untuk sementara waktu dengan keluarga, tentu akan mengalami berbagai pengalaman baik


suka maupun duka. Perbedaan jarak dan waktu, akan memberikan keterbatasan pada kita untuk melakukan komunikasi dan silaturahim secara langsung dengan keluarga. Walaupun dengan kecanggihan di zaman serba modern ini, tampaknya mudah sekali untuk dapat sekadar ngobrol atau bertegur sapa dengan keluarga yang jauh. Akan tetapi, pada kenyataannya ada saja kendala yang dihadapi. Misalnya seperti kita saat ini, tinggal di Sendai, walaupun perbedaan waktu dengan Indonesia bagian barat hanya dua jam, kadangkala menemui kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan keluarga. Entah karena keluarga di Indonesia sedang sibuk pada saat kita menelepon atau sebaliknya, kegiatan kita di kampus / laboratorium yang membuat kita tidak dapat mengangkat telepon pada saat keluarga kita menghubungi. Salah satu strategi yang mungkin dapat dilakukan adalah mencoba mengetahui kegiatan-kegiatan keluarga kita di tanah air atau sebaliknya memberitahukan kegiatan kita kepada keluarga sehingga kita mendapatkan kesesuaian waktu untuk saling berkirim kabar. Memiliki jadwal di hari dan jam tertentu untuk menghubungi keluarga di tanah air, merupakan strategi lain sehingga silaturahim kita dengan keluarga tetap bisa terjaga. Saat kita berkomunikasi dengan keluarga bukan hanya sekadar melepas rasa rindu kepada orang-orang terkasih, melainkan juga membentangkan kerinduan pada tanah air dan kampung halaman, misalnya rindu mendengar suara azan dan shalat berjamaah. Apalagi saat tiba bulan Ramadhan, tentu suasana di Sendai,

Jepang sangat berbeda dengan suasana religiusitas di Indonesia. Saat berangkat merantau ke Sendai untuk menuntut ilmu, kita memohon restu dan berpamitan kepada kedua orang tua dan keluarga. Di saat itulah kadang terlintas bahwa saat itu mungkin saja menjadi saat-saat terkahir kita dapat memandang, memeluk, dan mencium mereka. Apakah pernah ada rasa berat di hati saat akan meninggalkannya? Karena kita tahu tidak ada satupun yang mengetahui rahasia kelahiran, rezeki, dan kematian. Sudahkah kita mengikhlaskan semua yang kita tinggalkan? Dalam suasana seperti inilah perpisahan itu menjadi ujian yang sangat berat. Di kala berada jauh dari keluarga, keikhlasan menjadi kata yang sangat penting dan sangat berarti, sebuah kata yang sepertinya mudah untuk diucapkan, namun sering kali sulit untuk dilaksanakan. Keikhlasan untuk menerima hal yang baik dan menggembirakan akan jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan keihklasan menerima hal yang dianggap buruk dan di luar kehendak/keinginan kita. Rasa ikhlas terhadap segala sesuatu yang kita tinggalkan di tanah air, rasa ikhlas dan kesiapan mental untuk menerima hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Keikhlasan untuk kehilangan jabatan, harta, benda, terlebih keikhlasan untuk kehilangan anggota keluarga yang kita sayangi, kakek, nenek, ayah, ibu, kakak, adik, suami, istri ataupun anak. Kerelaan hati saat kita tidak dapat mengurus orang tua, suami ataupun anak kita yang sedang sakit. Berlapang dada

Ruang dan waktu yang berjarak ini pada suatu saat akan mendekat kembali. Kerinduan yang mendalam pun akan mencair seiring dengan selesainya waktu pengembaraan.


menerima kabar kehilangan orang yang kita sayangi untuk selamanya. Berserah diri saat kita tidak mampu memandikan, mengafani dan menyalatkan orang yang kita cintai saat mereka kembali kepada Yang Mahakuasa. Keikhlasan saat kita hanya dapat berziarah dan mendapati nisan dari kakek, nenek, ayah, ibu, kakak, adik, suami, istri maupun anak kita. Keikhlasan untuk menerima semua ketetapan-Nya di saat kita di perantauan, serta dapat menerima segala kehendak-Nya dengan penuh rasa sabar, tetap menjadikan salat sebagai penolong untuk meraih kebaikan di dunia maupun akhirat.

...Keikhlasan menjadi kata yang sangat penting dan sangat berarti, sebuah kata yang sepertinya mudah untuk diucapkan, namun sering kali sulit untuk dilaksanakan.

entang jarak dengan keluarga dan tanah air tercinta untuk menuntut ilmu merupakan sebuah keniscayaan manakala ingin mencapai sebuah tujuan. Terlebih kita niatkan sebagai bagian dari ibadah. Kita harus yakin bahwa orang-orang yang kita tinggalkan juga memiliki keikhlasan yang sama. Mereka harus merasakan buah dari perjuangan kita, sebab mereka selalu berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan kita. Ruang dan waktu yang berjarak ini pada suatu saat akan mendekat kembali. Kerinduan yang mendalam pun akan mencair seiring dengan selesainya waktu pengembaraan. Ketika berkumpul kembali itulah keberadaan kita harus bermanfaat bagi mereka. Bahagiakan mereka dengan kehadiran kita, sebab itulah wujud syukur kita atas segala nikmat yang telah dicurahkanNya. Wallahu’alam bisshowab.[]

1 [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Do’a bi Dhahril Ghaib 2/89. Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-Bir bab Doaul Walidain 8/98-99. Sunan Ibnu Majah, kitab Doa 2/348 No. 3908. Musnad Ahmad 2/478. Dihasankan AlAlbani dalam Silsilah Shahihah No. 596].

Terlepas dari sulitnya tinggal berjauhan dengan keluarga, di saat kita tak memiliki kuasa untuk menjaga dan mengurus mereka, maka berserah diri serta menitipkan penjagaan dan pemeliharaan keluarga kita keRujukan: pada Rabb ‘Azza wa Jalla merupakan https://kisahmuslim.com/4262-motivasisebaik-baiknya pilihan. Di samping itu, merantau-dari-imam-asy-syafii.html menjadikan momentum merantau sebagai https://almanhaj.or.id/97-orang-orangwahana untuk mendoakan orang-orang yang yang-dikabulkan-doanya.html kita cintai dan mencintai kita karena doa-doa seorang musafir merupakan salah satu doa yang InsyaAllah akan terkabul. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan; doa orang yang teraniyaya; doa seorang musafir; dan doa orang tua terhadap anaknya” . Kita tidak bisa memungkiri bahwa mer-


Kuliah ke Luar Negeri Bersama Keluarga? InsyaAllah Bisa!

“

Dhiya-kun suhunya 37.7 0C, tolong jemput dari houikuen sekarang juga ya,� telpon salah satu sensei hoikuen (daycare) anak kedua kami, Dhiya-kun. Kami berdua, yang saat itu sedang bertugas ke luar kota, harus segera pulang untuk menjemput si bocah. Peraturan di daycare milik Pemerintah Jepang memang sangat ketat. Jika suhu anak mencapai 37.5 0C, maka anak harus segera dijemput, tidak peduli orang tua sesibuk apapun. Beberapa kali kami harus bergantian skip kegiatan kampus karena Dhiya-kun sakit: saat baru berangkat field trip ke luar kota, saat istri atau saya ada seminar lab, saat istri harus jikken (experiment), dan lain-lain. Itulah salah satu tantangan bagi pasangan yang sama-sama bersekolah; manajemen waktu dan menjaga keseimbangan antara kuliah dan keluarga. Meskipun demikian, sejak awal kami memang sudah bertekad untuk bersama-sama membawa anak-anak ke manapun kami bersekolah dan bekerja.

Memilih lokasi kuliah yang tepat untuk keluarga

Saat dahulu merencanakan kuliah ke luar negeri, dua hal yang menjadi prinsip kami

adalah kuliah bareng-bareng dan membawa anak-anak. Kami berusaha mencari negara yang tepat untuk dapat melaksanakan prinsip kami tersebut. Pada awalnya, kami mengincar Australia karena dekat dan berbahasa pengantar Inggris. Setelah browsing dan konsultasi ke dosen, kami mencoret Australia dari daftar target. Alasannya, kami harus membayar penuh untuk sekolah milik pemerintah sekalipun dan membayar daycare selepas sekolah. Kemudian istri menyarankan kuliah di Jepang yang SD nya gratis dan daycare pemerintahnya amat sangat murah. Pada saat hampir bersamaan, seorang rekan yang sedang studi di Jepang menginformasikan tawaran menarik. Tohoku University di Sendai membuka program International Environmental Leadership Program (IELP) untuk kuliah S2 dan S3 selama total 5 tahun. Beasiswa Monbukagakugusho (MEXT) disediakan bagi 6 orang terpilih. Singkat kata, setelah melalui serangkaian seleksi administrasi dan wawancara, alhamdulillah kami berdua dapat lulus dan mendapatkan beasiswa. Saya berangkat dengan beasiswa MEXT, sedangkan istri dengan beasiswa dari kantor kami.


Adaptasi

Alhamdulillah, di bulan April 2015, DhiyaAwal musim gugur 2014, kami tiba di Je- kun mengikuti daycare pemerintah yang pang, 10 hari sebelum hari pertama fall sangat jauh lebih murah daripada daycare semester dimulai. Alhamdulillaah kami dapat swasta. Rusyda-chan pun mulai masuk SD berangkat bersama-sama, dengan bantuan kelas 1 dan main di jidoukan (taman bersupervisor (profesor) istri saya yang dengan main) setelah pulang sekolah. Salah satu hal senang hati membuatkan Certificate of Eli- yang menarik tentang daycare di Jepang gibility (CoE) untuk kedua anak kami. Arig- adalah kemandirian yang ditanamkan sejak atou gozaimasu, Sensei. Sebenarnya strategi dini. Lucu juga saat melihat anak-anak usia membawa keluarga dari pertama datang ini 2 tahun mengangkat kursi makan sendirian. tidak umum, karena biasanya keluarga Setelah siap, mereka akan mengenakan menyusul di kemudian hari, setelah orang celemek dan makan sendiri. Selang betuanya dapat beradaptasi dengan baik. berapa saat, satu-dua anak mengangkat Namun, saya berkeyakinan, jatuh bangun tanganya sambil berteriak “okawari kudasai� proses adaptasi dan cultural shock ini adalah (tolong tambah lagi). Setelah selesai makan, salah satu mekanisme pembelajaran bagi mereka kembali membereskan ruangan. kami dan anak-anak. PR pertama kami adalah mencari daycare, Jadwal kuliah di awal semester cukup untuk Dhiya-kun, dan TK, untuk Rusydachan, yang baik dan terjangkau. Alhamdulil- padat, kelas dimulai pukul 08.50 dan biaslah atas bantuan kawan Sendai, kami anya berakhir pukul 17.50. Belum lagi jika mendapatkan daycare swasta (Koguma) dan harus seminar lab (zemi) yang kadang-kaTK swasta (Higashi Nibancho) yang jarak dang selesai pukul 19.00. Meskipun tidak antar keduanya hanya 650 m. Di belakang setiap hari ada kuliah, namun mahasiswa hari, kami mendapatkan informasi bahwa TK perlu datang ke kampus dari pagi sampai sore mengerjakan Higashi Nibancho ini research. Kultur adalah salah satu TK perkuliahan di Jetertua di Jepang. Bapang mirip dengan hasa pengantarnya? sistem kerja kantorTentu dalam bahasa an. Setiap mahasJepang. Kabar baiknya iswa mempunyai adalah, anak-anak meja sendiri, di lab adalah pembelajar yang dipimpin oleh bahasa yang sangat Professor atau Ascepat. Mereka masih sociate Professor. berada dalam masa Pagi hari adalah pekanya sehingga waktu yang sangat mudah untuk belajar hectic bagi kami. Kami bersepakat untuk bahasa. Berbeda dengan orang dewasa yang masa pekanya sudah lewat, tidak akan membagi tugas; saya memasak dan mudah belajar bahasa lain, apalagi meng- menyiapkan bekal, sedangkan istri menganti bahasa yang sudah dinuranikannya gurus anak-anak dan membereskan rumah. Di Jakarta, pekerjaan ini biasa dilakukan oleh dengan bahasa lain.

Manajemen Waktu

Alhamdulillah, pihak sekolah Rusyda-chan dapat memahami situasi ini. Di awal masuk sekolah, istri mengajarkan teknis berwudhu di wastafel sekolah dan salat di ruangan yang disediakan senseinya Rusydachan."


asisten rumah tangga. Selama di sini, saya belum menemukan ada rumah tangga yang menggunakan jasa asisten/pembantu. Dengan berbagai pertimbangan, saya bertugas mengantar Rusyda-chan ke SD nya yang berjarak 200 m dari rumah, kemudian bersepeda ke kampus. Sedangkan istri mengantar Dhiya-kun ke daycare yang berjarak 3 km dengan sepeda atau bus bila dingin/hujan. Jarak dari rumah kami ke kampus adalah 5 km. Di Jakarta saya terbiasa menggunakan sepeda ke stasiun. Jarak 5 km tersebut masih "genjotable". Di sini, sepeda dapat digunakan saat cuaca cukup hangat, tidak bersalju, dan tidak turun hujan. Saat akhir musim gugur sampai awal musim semi, kami menggunakan transportasi umum sehingga waktu tempuh lebih lama dan harus berangkat lebih awal. Hal lebih seru lainnya adalah saat istri harus research ke Kalimantan dan Bandung selama 3 minggu. Sebenarnya istri sudah menawarkan untuk membawa 1 anak untuk tinggal bersama neneknya sementara ia ke Kalimantan. Namun, saya khawatir kehadiran anak justru akan merepotkan istri yang jadwalnya di Indonesia sangat ketat. Akhirnya, saya dan kedua anak berada di Sendai dan alhamdulillah semua baik-baik saja. Membagi waktu agar seimbang antara pendidikan anak, mengurus rumah, kebutuhan pribadi, serta tuntutan kuliah adalah tantangan bagi kami. Kalau membaca referensi manajemen waktu, jawabannya mudah; planning dan organizing. Namun, orang tua pasti mafhum bahwa planning sebaik apa-

pun dapat kandas seketika. Bagaimana mungkin seorang balita dan anak TK disuruh memahami urgensi mengejar bus pagi, jadwal deadline ayahnya, experiment ibunya, dan seminar kedua orang tuanya? Skill utama yang harus ditingkatkan oleh para ortu, apalagi yang sama-sama kuliah seperti kami, adalah: saling bekerja sama, kemampuan berimprovisasi, dan tetap bersikap tenang menjelang deadline sekalipun, selain itu sabar tentu saja. Tantangan untuk mengurus dan mendidik anak ini tidak lebih ringan dari kuliah kami sekalipun. Halhal terkait kuliah dan research, (contoh: tugas, report, presentasi, experiment, submit paper) memiliki sistem yang lengkap dan jelas. Semua ada schedule, deadline, dan guidance yang sudah baku sehingga mudah diikuti. Namun, sulit bagi orang tua untuk menjalankan 100% guidance mengurus anak dengan sempurna. Kami bersyukur mendapatkan supervisor yang memahami kondisi kami karena tidak semua supervisor memiliki sense of family. Beberapa waktu yang lalu, seorang senpai (senior) yang sudah lulus menceritakan kalau dia justru dimarahi oleh supervisornya setelah menceritakan istrinya baru melahirkan. “Anda datang kesini untuk tambah pengetahuan, bukan tambah anak,� begitu alasan si supervisor. Hal lain yang mungkin menjadi ringan bagi kami adalah perbedaan research field antara saya dan istri. Saya mempelajari energy-environmental economy yang tidak perlu experiment. Sedangkan istri mempelajari

Skill utama yang harus ditingkatkan oleh para ortu, apalagi yang sama-sama kuliah seperti kami, adalah: saling bekerja sama, kemampuan berimprovisasi, dan tetap bersikap tenang menjelang deadline sekalipun, selain itu sabar tentu saja."


environmental risk assessment yang minoritas muslim seharusnya tidak menjadi memerlukan experiment. Bila istri harus ex- masalah bukan? periment dan anak sakit, maka saya bisa skip pergi ke lab dan tetap bisa melakukan research di apato. Kami bersyukur, selain pengetahuan, ada banyak sekali hikmah yang didapat dengan membawa serta anak-anak. Selama di JeTantangan terbesar lainnya adalah pen- pang, kami merasakan kuatnya ikatan perdidikan agama untuk anak-anak. Di Indone- saudaraan dengan rekan setanah air. Kami sia, pekerjan ini sebagian dapat sangat terbatu dengan rekan yang bersedia didelegasikan ke sekolah atau TPQ. Selain dititipi anak-anak saat mereka sakit, itu, menuntun seorang anak berusia 7 tahun sedangkan kami harus masuk kuliah. agar senantiasa konsisten salat saat sendiri Walaupun sama-sama beraktivitas seharian tidaklah mudah. Di kelasnya, hanya dia se- di luar rumah baik di Indonesia maupun di orang yang muslim. Alhamdulillah, pihak Jepang, namun, saat ini kami merasa lebih sekolah Rusyda-chan dapat memahami dekat dengan mereka. situasi ini. Di awal masuk sekolah, istri Sistem dan kultur di Jepang sangat mengajarkan teknis berwudhu di wastafel memungkinkan bagi orang tua untuk samasekolah dan salat di ruangan yang dise- sama bekerja dan tidak memiliki asisten diakan senseinya Rusyda-chan. rumah tangga. Tidak pernah ada yang Sebagai salah satu upaya untuk membully istri yang kuliah, “Anak kok dititip menghadirkan lingkungan dan pendidikan ke daycare?� atau terlibat pro-kontra Islam, kami bersama rekan dari Malaysia semacam working mom vs stay at home membuat program TPQ. Peserta dan gurun- mom. Sejak awal menikah, kami berkeyakya dari Indonesia dan Malaysia. Salah satu inan bahwa studi, pekerjaan, dan keluarga keunikan program ini adalah digunakannya 3 bukanlah hal-hal yang harus diperbahasa pengantar sekaligus: Bahasa In- tentangkan. Saya pun sangat mendukung donesia, Malaysia, dan Jepang. Beberapa istri untuk berkarya dan melanjutkan kuliah. anak yang sedari kecil sudah di Jepang agak Sama-sama bersekolah dan membawa kesulitan memahami bahasa asalnya. anak ke luar negeri memerlukan effort yang Kami memahami, peran orang tua, ter- sangat besar. Salah satu kuncinya adalah utama ayah, sangat penting dalam pen- berbagi peran dan tugas. Kami masih harus didikan anak-anak. Bukankah di dalam Al banyak berlatih menjaga keseimbangan Qur’an terdapat 17 dialog antara orang tua antara kuliah dan pendidikan anak. Tidak dengan anak? Bahkan 14 ayat merupakan mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Berdialog antara ayah dan anaknya, 2 ayat ant- sama kesulitan ada kemudahan.[] ara ibu dan anaknya, serta 1 ayat tidak dijelaskan apakah ayah/ibu. Pesan ini menyiratkan tanggung jawab mendidik anak bukan hanya kewajiban ibu, tapi justru lebih banyak adalah kewajiban ayah. Karena pendidikan anak adalah tanggung jawab ayah dan ibunya, keberadaan kita di negeri

Hikmah yang Mendalam

Pendidikan Agama


Menghidupkan Cahaya Islam di Hati Anak- anak T

epat 4 tahun yang lalu, saat bunga sakura masih bersembunyi di balik kelopaknya dan udara kota Sendai masih cukup dingin, saya menuntun langkah kecilnya menuju halte bus sekolah terdekat yang berjarak sekitar 300 meter dari asrama universitas tempat tinggal kami saat itu. Mengenakan smock (seragam sekolah) lengkap dengan topi biru muda dan tas selempang kuning khas sekolah Aramaki Youchien, tangan kirinya membawa tas buku dan tas wakutsu (sepatu indoor), sedang tangan kanannya menggenggam tangan saya. Senyum lebar dan celotehnya pagi itu menandakan suasana hatinya yang riang. Hari itu adalah hari yang telah ditunggu-tunggu Aira, putri kecil saya, setelah 4 bulan menanyakan kapan ia bisa bersekolah. Dengan mantap Aira masuk bus sekolah, bergabung dengan sensei dan teman-teman barunya yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Saat itu, Aira sama sekali belum bisa bicara menggunakan bahasa Jepang. Hanya saja, sebelum menyusul Ayah nya yang sedang mengikuti program Ph.D di Tohoku Daigaku, Aira sudah bisa mengucapkan beberapa aisatsu (kalimat sapaan) dan angka dalam bahasa Jepang. Sengaja saya ajarkan supaya Aira tidak merasa asing dengan bahasa barunya nanti. Di usianya yang baru genap 3 tahun,

saya sangat surprised Aira mau berangkat sendiri ke sekolah. Alhamdulillah, ternyata Aira bisa beradaptasi dengan cepat tanpa harus mengalami culture shock, pikir saya saat itu. Menjelang sore, sekitar pukul 3, saya menjemput Aira di tempat yang sama. Selama perjalanan menuju rumah, Aira terlihat murung, mukanya ditekuk ke dalam, diam, tidak ada satu kata pun meluncur dari bibir mungilnya. Saya mulai menduga-duga apa yang terjadi selama Aira di Sekolah. Sesampainya di rumah, setelah Aira ganti baju dan menikmati kue yang telah saya siapkan di meja makan, saya mencoba membuka percakapan. �Aira, gimana tadi di sekolah yang baru? Senang?� Sepi, tidak ada jawaban. “Aira sudah kenal dengan teman-teman dan sensei di kelas?� Belum juga ada jawaban. Ini sangat tidak biasa. Karena sebelumnya, ketika masih di Jogja, Aira sudah pernah bersekolah walaupun hanya sebentar dan sekedar bermain. Setiap pulang dari sekolah, Aira akan membawa banyak oleh-oleh cerita. Saya beranjak dari tempat duduk dan berusaha lebih mendekat. Mukanya masih cemberut dan tidak ingin bicara. Saya tinggalkan Aira


sendiri di meja makan. Mungkin Aira butuh waktu untuk menenangkan diri. Tidak lama Aira menyusul saya ke dapur dan memeluk dari belakang. Sambil menangis, Aira mencurahkan perasaannya saat itu. Saya matikan kran air dan sedikit berjongkok supaya mata saya sejajar dengan matanya. “Bunda, Aira ngga mau sekolah di Jepang. Aira mau sekolah di Jogja aja.” “Kenapa sayang?” Saya mencoba tetap tenang. “Aira ngga suka, bunda.” “Oh… Aira ngga suka sekolah di Jepang ya… Apa yang Aira ngga suka?” Aira tidak menjawab. Dari gerak tubuhnya, Aira terlihat bingung menyampaikan apa yang dirasakannya saat itu. Saya mencoba menebak. “Aira ngga suka karna Aira ngga bisa ngobrol dengan teman-teman baru Aira ya?” “Iya bunda, Aira ngga tahu teman-teman ngomong apa. Bu guru disini juga ngga kaya bu guru di Taman Bahagia (Sekolah PAUD Aira di Jogja). Aira ngga tahu bu guru cerita apa.” “Bunda paham perasaan Aira. Sedih ya, kalau kita ngga bisa ngobrol dengan teman. Aira tahu ngga? Guru dan teman-teman Aira disini orang Jepang, jadi mereka bicara dengan bahasa Jepang. Tapi mereka tahu kalau Aira orang Indonesia dan belum bisa bahasa Jepang. Kalau Aira diajak ngobrol dengan mereka, Aira jawab dengan Bahasa Indonesia aja, ngga apa-apa. Atau Aira bisa sapa mereka dengan bahasa Jepang yang Aira bisa. Insyaallah, nanti lama kelamaan Aira juga bisa ngobrol pakai bahasa Jepang. Jangan khawatir Aira, bunda juga belum bisa bahasa Jepang, kita belajar sama-sama ya. Bunda percaya Aira bisa,” ujar saya meyakinkan Aira. Saya baru menyadari kalau Aira mengalami language shock. Language shock merupakan

tantangan untuk memahami dan berkomunikasi dalam bahasa kedua di lingkungan yang tidak dikenal, dan kebingungan tentang norma-norma perilaku dalam lingkungan budaya baru. Sebelum bersekolah di Jepang, Aira sudah lancar berbicara dengan Bahasa Indonesia. Sehingga bahasa menjadi satu alat untuk mengekspresikan diri dan mengomunikasikan maksud bagi Aira. Ketika kebutuhan itu terhambat, Aira menjadi tidak nyaman dengan lingkungan baru nya. Namun, anak-anak belajar lebih cepat dari orang dewasa. Didukung oleh sensei dan teman-teman kelas Aira yang selalu menyemangati dan menyapa Aira setiap pagi dengan Bahasa Indonesia “Selamat pagi Aira!” atau ketika saya berkunjung ke sekolah, mereka akan menyambut dengan ceria “Selamat pagi Aira chan no okaasan!“. Sederhana, tapi bagi kami sangat berarti. Kata mereka supaya Aira semangat pergi ke sekolah dan tidak merasa sendirian. Begitu pula tetangga Jepang kami yang sangat baik menghadiahkan beberapa buku anak-anak berbahasa Jepang untuk Aira. Alhamdulillah, dalam kurun waktu 2 bulan Aira dapat mengatasi masalah ini. Masya Allah. Tabarakallaah. Tinggal di negara yang memiliki budaya berbeda dengan kampung halaman tentu bukan hal yang mudah. Sepenggal cerita di atas barulah permulaan dari perjalanan kami menapaki negeri matahari terbit. Bukan tanpa alasan kami memilih Jepang untuk melanjutkan studi S3 suami. Dengan pertimbangan membawa anak yang masih balita, kami berusaha mencari lingkungan yang kondusif untuk membesarkan anak-anak. Jepang dikenal sebagai salah satu negara yang ramah terhadap pendatang, termasuk muslim karena prinsip hidup mereka tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain,


termasuk dalam hal keyakinan dan cara berpakaian. Tentunya ini sangat memudahkan kami untuk dapat tetap mempraktikan syariat islam. Selain itu, di Jepang, anak-anak mendapatkan privilege berupa kesehatan dan pendidikan yang baik. Anakanak berusia 0-3 tahun digratiskan biaya kesehatannya dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Anak-anak berusia 3-6 tahun hanya perlu membayar 0-500 yen untuk cek kesehatan dan juga masih mendapat tunjangan setiap bulan. Biaya sekolah pun tidak perlu dibayar penuh. Ketika Aira masih di Youchien (Taman Kanak-kanak), kami mendapat pengembalian sekitar 80% dari uang sekolah yang sudah kami bayarkan tiap bulannya di penghujung tahun. Transportasi umum juga demikian, anak-anak yang belum berusia sekolah dasar bebas naik transportasi umum apa saja tanpa dipungut biaya. Budaya disiplin, lingkungan yang bersih, sehat, aman serta selalu memprioritaskan anak-anak dan lansia di lingkungan publik membuat kami merasa nyaman. Tour dari satu koen ke koen (taman) lainnya, dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya, dari satu jidoukan ke jidoukan (taman bermain) lainnya, dan dari satu desa ke desa lainnya merupakan aktivitas yang selalu kami rindukan. Namun, sejujurnya ada satu hal yang kami risaukan yaitu aqidah. Bagaimana cara memberikan pemahaman mengenai aqidah yang benar kepada anak-anak, sedangkan lingkungan disekitarnya justru bertolak belakang dengan apa yang kami yakini. Terutama saya, sebagai ibu, yang memiliki amanah di rumah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa salam “Seorang wanita adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga serta anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Muslim). Bukan

hanya sebagai manager rumah tangga, saya bertanggung jawab atas anak-anak saya, mulai dari apa yang mereka makan, ibadah mereka, dan juga melindungi mereka dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dulu, sebelum berangkat ke Jepang, saya tidak terlalu mempedulikan bahan makanan yang kami sekeluarga konsumsi. Karena berada di Indonesia yang mayoritas muslim, saya menganggap semua makanan halal dimakan, kecuali yang jelas-jelas bertuliskan babi atau alkohol. Sesampainya di Jepang, saya baru mengetahui bahwa banyak bahan makanan yang tidak bisa dikonsumsi karena berasal dari hewan yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat, mengandung unsur babi/hewan darat yang tidak halal, dan bahan yang berasal dari turunan alkohol atau sake dan lainnya. Sebagai seorang chef di rumah, saya merasa sangat bertanggung jawab atas apa yang dimakan oleh suami dan anak-anak. Jangan sampai karena kealpaan saya, doa mereka tertolak dan amal salehnya terpengaruhi karena darah dan daging mereka tercampur dengan yang haram. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang se-


orang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015) Dari situlah saya mulai mempelajari kanjikanji bahan makanan yang tidak boleh dikonsumsi. Setiap akan membeli suatu produk makanan, saya baca komposisi/ingredients (Genzairyo)-nya terlebih dahulu. Begitu juga dengan bentō makan siang Aira. Karena di sekolah hanya Aira satu-satu nya murid yang beragama islam, pihak sekolah tidak bisa menyediakan menu halal. Saya pun setiap hari harus menyiapkan bekal untuk Aira. Beberapa ibu Jepang merasa kasihan karena saya harus bersusah payah setiap pagi, “taihen ne,” kata mereka. Namun bagi saya, menyiapkan bento untuk si kecil merupakan hal yang menyenangkan. Selain bisa menyiapkan makanan sehat yang dijamin kehalalannya insyaallah, dalam setiap masakan ibu juga selalu terselip doa; supaya melalui makanan ini, Allah memberikan anak-anak kesehatan, pemahaman yang faqih, dan penjagaan iman. Bentō dalam budaya jepang juga menjadi alat komunikasi bagi ibu dan anak. Bentō messeji (bentō message) namanya. Seperti cerita dari Sou. Saat itu, ia harus pindah sekolah mengikuti ayahnya yang pindah kerja. Seperti kebanyakan orang/anak kecil, hari pertama di tempat baru tentunya selalu menjadi momok. Siang itu, ketika Sou membuka bentō nya, ternyata di atas nasi putih tertulis kalimat “ganbatte ne, Sou!” (semangat ya, Sou!), yang juga dibuat dari nori.

Tentu saja ini membuat Sou terharu karena awalnya Sou berpikir orang tuanya tidak peduli dengan perasaan Sou yang campur aduk menjalani hari pertama di tempat baru (dari Majalah 1000 Guru 2011, Sri Ayu Anggraini). Sampai sekarang pun, saya seringkali menyelipkan sebuah pesan untuk Aira di dalam bentōnya; seperti ungkapan sayang dan semangat supaya Aira lebih bersemangat menjalani hari-harinya di sekolah. Tak lupa, saya juga menyertakan catatan kecil di Renrakuchou (buku penghubung orang tua dan sensei), bahan makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Aira karena anak-anak juga mendapat oyatsu (snack) dari sekolah di waktu tertentu. Apakah Aira tidak pernah protes jika makananannya berbeda dengan temantemannya? Tentu saja pernah, bahkan sering diawal-awal. Kenapa Aira tidak boleh makan babi, sedangkan teman-teman nya boleh? Kenapa biskuit dari teman Aira tidak boleh dimakan? Kenapa makanan Aira berbeda dari teman-teman, dan yang lainnya? Saya berusaha menjelaskan bahwa Aira seorang muslim sedangkan teman-teman nya bukan. Allah telah memerintahkan, bahwa muslim yang taat harus mematuhi perintah Allah, salah satunya adalah hanya memakan makanan yang halal dan thoyib, supaya apa yang kita makan menjadi berkah dan Allah mengabulkan doa-doa kita. Allah sayang dengan hambanya yang taat. Ketaatan kita akan diganti dengan surgaNya. Namun, kita tetap harus menghargai teman-teman yang lain sebagaimana mereka juga menghormati keyakinan kita. Alhamdulillah, atas ijin Allah Ta’ala, Allah memberikan Aira pemahaman. Setiap kali Aira mendapat oyatsu dari sensei maupun temannya, makanan tersebut tidak langsung dimakan. Ia bawa pulang dan diberikan ke


saya untuk dibacakan komposisinya apakah boleh dimakan atau tidak. Saya berikan pengertian jika makanan itu halal, Aira boleh memakannya. Tapi jika makanan itu mengandung unsur yang haram, makanan itu harus dibuang dan saya akan menggantinya dengan makanan lain yang boleh dimakan. Tentu saja, Aira sangat gembira dan dengan senang hati menerima penjelasan saya. Pun demikian, ketika kami berbelanja ke supermarket atau kombini, Aira selalu menanyakan apakah makanan yang ia pilih halal dan aman untuk dimakan. Kami bersama-sama memilah dan berusaha untuk berhati-hati dalam hal makanan. Alhamdulillah. Justru di negeri dengan mayoritas penduduk beragama Shinto inilah, Allah memberi kemudahan kepada kami untuk mengajarkan kepada anak-anak pentingnya memakan makanan yang halal. Menyediakan lingkungan yang baik merupakan salah satu bentuk ikhtiar kami untuk melahirkan muslim yang sholih, karena tujuan terbesar setiap muslim bukanlah dunia, melainkan surgaNya Allah. Kami terus berdoa supaya Allah selalu menjaga kami dan anak-anak dimanapun kami berada. Termasuk ketika kami mencari apato (apartemen) dikarenakan asrama yang kami tempati saat itu sudah hampir habis masa sewanya. Sungguh Allah Maha Baik, sebelum masa sewa asrama habis, Allah memberi kami rezeki berupa tempat tinggal yang lokasinya dekat dengan asrama kampus sebelumnya, dimana di daerah tersebut banyak bermukim warga Indonesia dan warga muslim dari negara lain. Dekat dengan halal store dan halal restaurant yang pemiliknya adalah perantara dari oyaasan (pemilik apato) kami. Dan yang pasti, apato kami dilalui oleh bus sekolah Aramaki Youchien dan mobil jemputan milik warga Jepang dan juga Malaysia yang setiap waktu subuh dan isya

selalu istikamah menjemput warga muslim di sekitar asrama universitas dan apato untuk pergi ke Masjid Sendai. Apato kami juga masuk ke dalam wilayah Kunimi ShĹ?gakkĹ? (SD Kunimi) yang dikenal menyediakan tempat salat serta makanan halal untuk murid yang beragama islam. Saat bulan Ramadhan, anak-anak yang berpuasa juga dikumpulkan di ruang internasional ketika jam makan siang. Sehingga setelah lulus dari youchien, Aira bisa bersekolah di Kunimi ShĹ?gakkĹ?. Kami beruntung bisa tinggal disana. Banyak kemudahan yang Allah berikan kepada keluarga kami dalam menjalankan rutinitas ibadah. Aira lebih mudah mengikuti kelas TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) yang diselenggarakan di asrama universitas oleh mahasiswa/mahasiswi Indonesia juga ibuibu Indonesia yang tinggal di Sendai. Pesertanya bukan hanya anak-anak Indonesia saja, tetapi juga anak-anak Malaysia dan bahkan dari Mesir dan Nigeria pun pernah ikut bergabung. Sampai akhirnya, saya pun diberi kesempatan untuk mengajar TPA, karena saat itu para pengajar sebelumnya sudah menyelesaikan studinya di Tohoku Daigaku dan kembali ke Indonesia. Setiap pulang sekolah, Aira dan teman-temannya beramai-ramai pergi mengaji 3 kali dalam sepekan. Persis seperti rutinitas anak-anak di Indonesia yang pergi mengaji ke masjidmasjid selepas asar. Suasana inilah yang saya harapkan untuk anak-anak. Bukan hanya sekedar pergi ke TPA untuk belajar AlQuran dan menghapal surat-surat pendek, tetapi juga supaya mereka merasakan cahaya islam dan semangat beribadah yang saling ditularkan oleh teman-temannya sesama muslim; saling menguatkan satu sama lain bahwa mereka disini tidak sendiri, banyak teman-teman yang juga memiliki aqidah yang sama. Ketika ada perayaan


agama lain di sekolah, seperti menerima hadiah natal dari santa clause, Aira tidak bisa menerima jika Aira tidak ikut masuk ke dalam barisan. Aira mengerti jika itu bukan bagian dari Islam. Senseinya pun sangat membantu dengan memberikan hadiah lain kepada Aira di luar perayaan tersebut. Dan dari temannya pula-lah Aira semangat mengenakan hijab ke sekolah. Dari sini, mereka paham, menjadi berbeda karena Allah tidaklah menakutkan. Karena semua manusia itu sama, yang membedakan di hadapan Allah hanyalah iman dan takwa nya. Karena Allah Ar-Rahim, maha penyayang kepada hambanya yang beriman. Maka, berlomba-lombalah mendapatkan kasih sayangNya. Saya dan suami pun selalu membawa serta anak-anak menghadiri majelis-majelis ta’lim supaya mereka terbiasa duduk di dalam majelis; berkumpul dengan orang-orang yang saleh dan menyimak kalam Allah. Dan tentu saja pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan adalah saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Sejak subuh, kami telah bersiapsiap mengenakan pakaian takwa, bergabung bersama dengan muslim negara lain dari berbagai daerah di Sendai dan sekitarnya untuk melaksanakan salat id di Masjid Sendai. Karena jarak masjid tidak terlalu jauh dari apato, kami memilih mengendarai sepeda listrik dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Saat itu, Allah telah mengamanahi lagi seorang gadis kecil kepada kami. Dua gadis cilik dengan penuh semangat menaiki sepeda listrik Yamaha ungu, memakai helm pengaman, dan menautkan seatbelt ke badan mereka. Aira membonceng di belakang dan si kecil Inara, yang baru berusia 18 bulan, duduk di boncengan depan. Saya mengayuh sepeda sambil mengumandangkan takbir, kemudian diikuti dengan sautan anak-anak. Begitu terus sepanjang jalan sampai akhirnya kami tiba di Masjid

Sendai. Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat. Semoga Allah selalu menjaga cahaya iman di hati anak-anak di belahan bumi manapun mereka berada. Allah jadikan mereka anak yang saleh, yang selalu mendirikan salat dan menjadi penyejuk mata bagi kami, orang tuanya. Semoga Allah jadikan ikhtiar kami di dunia sebagai anak tangga yang menuntun kami ke surgaNya. Aamiin. Allahumma Aamiin. Perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni, yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain, akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).[] Mengenang Sendai, Bumi Allah yang ‘Subur’ Yogyakarta, 10 Maret 2019


Segala Kesulitan Pasti Ada Kemudahan P

ernah suatu ketika saya berangan-angan untuk dapat merasakan bagaimana berkeluarga di negara orang. Saya terinspirasi dari cerita kakak tingkat dan para dosen yang membawa serta keluarganya untuk menempuh studi di luar negeri. Terlihat menarik dan menantang, pikir saya waktu itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tahun 2018 lalu, Allah memberikan saya rezeki untuk bisa merasakan asam manis pahitnya hidup sekaligus berkeluarga di negeri matahari terbit. Tidak sulit bagi saya untuk beradaptasi saat awal-awal berada di Jepang, karena sedari kecil tokoh kartun Jepang begitu lekat dengan saya. Pun demikian ketika kuliah, dosen pembimbing saya merupakan lulusan universitas di Nagoya. Sejujurnya, saya sangat menikmati masa adaptasi tersebut. Saya mulai mencari kegiatan menarik yang bisa dilakukan. Beberapa kegiatan yang bisa

dilakukan di rumah dan tempat-tempat penting yang ingin dikunjungi juga telah dicari. Daftar kegiatan telah disusun rapi namun semua berubah ketika saya tahu bahwa saya hamil. Seluruh rencana harus diatur ulang dan dikondisikan dengan keadaan saya yang hamil waktu itu. Mulai dari sinilah fase hidup-di-luar-negeri-yangmenantang dimulai. Kendala yang paling terlihat adalah soal kultur dan bahasa. Saya perlu beberapa waktu untuk beradaptasi dengan kultur Nihonjin yang tertib, mandiri, dan taat aturan. Awalnya agak kagok, namun lambat laun saya mulai terbiasa dan justru merasa aneh kalo saya juga tidak tertib. Kendala bahasalah yang paling mendasar karena itulah yang menjembatani komunikasi antar personal. Saya lebih banyak menggunakan bahasa isyarat ataupun google translate untuk


berkomunikasi. Karena, kenyataanya kemampuan Nihonggo saya hanya buih di lautan, hehe. Di luar dugaan, awal masa kehamilan merupakan hal terberat bagi saya, terutama karena jauh dari keluarga dan tanah air. Pada saat itu, saya hanya bisa makan roti dan buah. Bahkan saya tak bisa memakan masakan yang saya masak sendiri sehingga hanya bisa memakan masakan orang lain. Ingin sekali rasanya mencicipi siomay, batagor, sate, dan mie ayam abang-abang pinggir jalan di Indonesia. Namun mau dikata apa, hal itu hanyalah angan-angan belaka. Walaupun banyak sekali makanan dan roti yang dijual di Jepang, akan tetapi tidak semua itu pun bisa dimakan. Keterbatasan bahasa dan informasi karena baru saja tiba di Jepang membuat saya hanya makan yang itu-itu saja. asa rindu dengan keluarga acap kali menghampiri karena di sini semuanya dituntut serba mandiri dan sendiri. Alhamdulillah, fasilitas kesehatan di Jepang super lengkap dengan pelayanan yang sangat professional, ditambah dengan asuransi kesehatan yang sangat memudahkan ketika berobat. Dari awal kehamilan hingga melahirkan, saya mendapatkan fasilitas pelayanan terbaik. Seperti hal nya di tiap jadwal checkup di Trimester 2, selalu ada USG 4D, padahal jenis USG seperti ini tidak ada di kota kelahiran saya. Ada teman saya yang waktu itu tengah hamil, harus berkunjung ke kota sebelah demi mendapatkan hasil USG 4D dengan biaya yang, tentu saja, tidak murah. Hal ini adalah salah satu kelebihan yang sangat saya syukuri selama di

Jepang. Selain itu, perawatan pasca melahirkan pun juga sangat nyaman dan professional. Keluhan sedikit saja langsung ditangani oleh dokter secepat mungkin. Pernah suatu ketika, saya ke rumah sakit pukul 1 dini hari. Begitu datang, saya segera dilayani dan ditangani oleh dokter yang berkompeten. Penanganannya sangat menakjubkan dan memuaskan, Smembuat saya sendiri geleng-geleng kepala.

Saya sampai di Sendai menjelang bulan Ramadhan, lantas dalam tempo yang singkat, saya dapat merasakan begitu dekatnya persaudaraan dan kekeluargaan di Sendai.

Ketika berada di Sendai-lah, saya belajar bahwa persaudaraan karena iman itu begitu indah. Saya sampai di Sendai menjelang bulan Ramadhan, lantas dalam tempo yang singkat, saya dapat merasakan begitu dekatnya persaudaraan dan kekeluargaan di Sendai. Para mbak-mbak-tachi dan tetangga yang baik hati banyak sekali membantu saya beradaptasi. Bel pintu rumah seringkali berbunyi hanya untuk diantarkan makanan. Saya takjub! Terlebih lagi, begitu banyaknya fasilitas kegiatan di KMIS. Hal ini memudahkan dan memotivasi saya, yang masih anak bawang ini, untuk belajar ilmu agama lebih dalam lagi. Alhamdulillah, terlepas dari kesulitan yang saya alami selama di Jepang, ternyata Allah memberikan lebih banyak kemudahan dan menolong saya melalui mbak-mbak-tachi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Semoga Allah melindungi dan melimpahkan keberkahanNya kepada kita semua. Aamiin.[]


Sebuah Pembelajaran

Bismillahirrahmanirrahim..

Menjadi mahasiswa aktif dari anak SMA dulu pun butuh proses, ternyata merubah aktivi hari kesekian setelah menikah yang itas menjadi di rumah saja membutuhkan belum genap sebulan. Di hari kesekian waktu. Semakin hari semakin mensyukuri setelah tinggal di Sendai yang rasanya belum nikmat di Indonesia ada mbak yang memgenap dua pekan. Dari rutinitas singlelillah bantu membersihkan rumah, mencuci baju, alias jomblo pengendara sepeda motor, ma- dan banyak lainnya. Bismillah, saya mulai hasiswa kura-kura (kuliah-rapat, kuliah- belajar satu-satu. rapat) menjadi istri yang keseharian di Hingga di suatu sore yang cukup dingin rumah, banyak hal yang perlu disesuaikan. kala itu, tepatnya pertengahan Januari 2017.

D


Saya mau mencuci baju dengan mesin cuci. Saya pergi ke dapur, masukkan pakaian kotor, pasang selang keran, tabur deterjen dan pewangi, lalu pencet tombol nyala di mesin cuci. Lalu saya tinggal ke kamar. Saya merasa mulai terbiasa dengan aktivitas bebenah rumah. Selang

setengah jam, saya tersadar sambil lihat pintu kamar yang sengaja saya tutup supaya udara dingin tidak masuk. “eh.. selang air mesin cuci nya udah betul belum ya?!” panik karena letak mesin cuci yang ada di dapur, selang air nya mesti diarahin ke kamar mandi. Saya langsung buka pintu kamar, dan… lantai dapur sudah banjir air dari mesin cuci. Saya cek jam, sekitar 3 jam lagi suami pulang. “ini harus segera tuntas!” Tanpa pikir panjang, saya ambil lap kain dan dorong air yang menggenang secepat dan sebanyak mungkin ke kamar mandi. Air sudah habis, lantai kayu di dapur kemudian saya lap lagi supaya tidak lengket bekas deterjen. Alhamdulillah beres sejam setelahnya. Tinggal tunggu lantai mengering. Saya sampai tidak ingat kalau saat itu udara dan air nya sangat dingin. Urusan lantai dapur beres, saya istirahat di kamar. Tidak lama saya balik ke kamar, apato bel saya bunyi. Saya fikir siapa yang mau bertamu ke rumah, soalnya saya belum banyak kenal orang. Setelah intip ke pintu, yang saya liat wajah wanita jepang yang sudah usia lanjut. “Oh mungkin mau kenalan? Mau minta tolong??” Segera saya buka pintu rumah. Wanita ini ramah menyapa.. kemudian di menit setelah nya saya blank karena tidak faham apa yang wanita ini omongin. “Ada yang bisa saya bantu..?” Dengan bingung saya

tanya balik pakai bahasa inggris. Lalu dijawab nya “showa.. mizu..” haa? Itu apa artinya? Shower? Kamar mandi maksudnya? Kenapa kamar mandi saya? Kira-kira sepuluh menit bicara tanpa saling faham maksudnya apa. Datanglah laki-laki dari lantai bawah bicara dengan wanita ini. Tidak lama wanita ini pamit. Saya rasa hari ini seperti naik rollercoster. Panik, deg-degan, bingung, dan bengong dialami kurang dari dua jam. Setelah tutup pintu rasanya sangat melelahkan.. Tibalah suami pulang, saya sambut dari dapur dan cerita soal mesin cuci tadi sore. Tidak disangka respon suami ternyata santai aja sampai saya cerita soal wanita yang ngebel pintu rumah. “Oh.. pantesan salim san tadi telfon katanya suruh cek kamar mandi kita. Ada air yang bocor ga. Soalnya tetangga bawah ketetesan air di dapurnya.” Deg! Tetangga bawah?! “Trus aku bilang, ya nanti dirumah di cek.” Jadi...... yang tadi dateng itu penghuni apato dibawah saya. Malu dan merasa bersalah sekali, rasanya mau turun kebawah dan minta maaf. Eh tapi ga jadi karena belum bisa bahasa jepang. Seharian itu rasanya sampai tidur kebawa rasa malu dan bersalah nya. Meski suami keliatan santai seperti tidak ada masalah.[]


Keluarga M.Akita Indianto

“Berkeluarga di negeri orang tuh susah ngga sih?” “Kayaknya ribet ya kalau bawa keluarga di negeri orang?” “Duh mau sekolah di luar negeri tapi keluarga gimana yaa?”

M

ungkin pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan hal yang sering kita tanyakan ketika akan tinggal di luar negeri dalam waktu lama. Apakah kita ingin memboyong serta keluarga atau tidak? Nah, kali ini tim Mabruk mendapat kesempatan untuk mewawancarai salah satu keluarga Indonesia yang keren banget dan sudah cukup lama tinggal di Sendai lho! Penasaran kan siapa? Yap, di rubrik Sosok kali ini, keluarga dari Mohammad Akita Indianto (Mas Indi) dan Riska Shabrina (Mbak Riska) akan berbagi tips dan trik bagaimana mereka menjalin kehidupan berkeluarga di Jepang.


Menurut Mas Indi dan Mbak Riska, setiap keluarga pasti punya ceritanya masingmasing. Untuk kasus pasangan yang datang ke Sendai di tahun 2015 ini, Mas Indi datang 4 bulan lebih dahulu dari Mbak Riska. Hal ini dikarenakan beliau harus mempersiapkan diri untuk ujian masuk, sebelum menjadi student di Departemen Mechanical System Engineering, Tohoku University. Awal cerita, saat Mas Indi mendaftar kuliah di Tohoku University, beliau masih belum menikah alias single. Akan tetapi, beliau mendapat nasihat dari seorang ustaz untuk menikah sebelum berangkat ke Jepang. Singkat cerita, akhirnya beliau melakukan persiapan pernikahan sampai akhirnya menikah pada bulan September 2014. Beliau menikahi seorang dara cantik nan salihah yang saat ini sedang menjalankan aktivitasnya sebagai istri, ibu, dan juga magister student di Departemen Functional Brain Imaging, Tohoku University. Dan di tengah euforia tahun baru, dengan agak berat hati Mas Indi harus berangkat ke Jepang meninggalkan keluarga yang baru dijalankannya selama tiga bulan. Pada saat tim Mabruk menanyakan apa saja persiapan Mas Indi dan Mbak Riska sebelum berangkat ke Sendai, dengan jujur Mas Indi menjawab bahwa yang lebih banyak mempersiapkan keberangkatan adalah istrinya. Kala itu, yang beliau pikirkan hanyalah ujian dan ujian. Jadilah sang istri tercinta yang lebih detil untuk mempersiapkannya (mohon para single-lillah untuk bersabar ya! :D). Berdasarkan paparan dari Mbak Riska, hal pertama yang dipikirkan adalah seperti apa kehidupan di Sendai agar beliau dapat menyesuaikan persiapannya. Dikarenakan ini pertama kalinya beliau akan tinggal di negeri orang dalam waktu yang tidak singkat, maka Mbak Riska memulai dengan mencari informasi dengan bertanya

kepada kerabat-kerabat perihal apa saja hal yang perlu dibawa dari Indonesia untuk tinggal di sana seperti obat-obatan, bahan makanan, pakaian muslim, dan juga dokumen-dokumen penting. Mas Indi juga menambahkan, mereka membuat daftar orang yang akan dikunjungi untuk bersilaturahmi dan meminta doa restu sebelum berangkat seperti keluarga, guru, ustaz, dan temanteman. Hidup di Jepang sebagai pengantin baru, diakui pasangan ini sebagai hal yang menantang. Jauh dari sanak keluarga, khususnya orang tua, merupakan faktor utama (tantangan hidup) sehingga segala sesuatunya harus dipelajari sendiri seperti mengatur keuangan, mengatur kehidupan di rumah sendiri, dan lain sebagainya. Hal ini cukup berbeda dengan apa yang mereka rasakan selama 3 bulan tinggal bersama di Indonesia dimana segala hal masih ada yang membantu dalam memenuhi segala kebutuhan. Menurut pasangan yang sudah 4 tahun di Sendai ini, target-target dari suami dan istri juga sangat penting untuk disusun bersama dalam membina keluarga. Hal ini dibutuhkan untuk menyinkronkan keinginan baik suami maupun istri. “Alhamdulillah sebagian target kami sudah tercapai dan sebagiannya lagi masih diperjuangkan.,� ujar Mas Indi. Kehadiran buah hati pertama mereka, Ryouta, juga melengkapi kebahagiaan pasangan ini dan memotivasi keduanya untuk terus belajar dalam membina keluarga. Membina keluarga di Jepang, ditambah dengan kehadiran Ryouta yang kini berumur 3 tahun, diakui sebagai sebuah anugerah bagi keluarga kecil ini. “Alhamdulillah Allah sedang menempa kami untuk hidup mandiri dan berani mengambil keputusan dari berbagai pertimbangan. Mungkin salah satu hikmahnya adalah kami jadi bisa mengenal satu sama lain dan sedikit banyak juga


mempertimbangkan sesuatu dengan melihat bagaimana Ryouta.,� jelas Mbak Riska. Dari segi ekonomi, biaya hidup di Jepang, khususnya bagi sebuah keluarga, bisa tergolong cukup mahal dibandingkan dengan biaya hidup di Indonesia. Meskipun setiap keluarga memiliki pos-pos pengeluaran dan pemasukan yang beragam, Mbak Riska menekankan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah regulasi dan pengawasan yang teliti mengenai keuangan. Kuncinya adalah berhemat pada pos yang dapat dihemat. Contohnya adalah pos makanan. Karena makanan halal tidak begitu mudah untuk didapatkan, Mbak Riska lebih memilih untuk memasak sendiri. Selain lebih terjamin kualitas dan kehalalannya, hal ini juga membantu mereka untuk lebih menekan biaya hidup. Mbak Riska juga memberikan tips untuk para ibu dalam mengatur menu makanan agar lebih efektif, efisien, dan tetap disukai oleh anggota keluarga. “Saya membuat 5 jenis menu lauk untuk kemudian disimpan di dalam freezer. Setiap harinya kami hanya tinggal menghangatkan, menggoreng, atau memberi kuah baik untuk makan malam maupun untuk bento. Kalau sayuran tinggal dipotong-potong lalu disiram dressing alhamdulillah sudah enak sekali!� Mbak Riska menambahkan pos pengeluaran yang tidak kalah penting adalah pos kesehatan. Memiliki asuransi di Jepang sangat penting terlebih lagi jika sudah memiliki anak. Karena imun anak belum stabil, maka anak akan sangat mudah terserang penyakit. Asuransi ini sangat

membantu. Kita tidak perlu berpikir biaya lagi ketika ada yang sakit atau butuh perawatan tambahan. Hal ini terbukti ketika Mbak RIska sempat cabut gigi dan Ryouta cek alergi. Alhamdulillah, biaya yang perlu dikeluarkan tidaklah besar karena adanya asuransi. Selain makanan dan kesehatan pengeluaran-pengerluaran lainnya yang perlu diperhatikan adalah sewa apato (baca: apartemen), listrik, gas, air, dan lain-lain. Terkait dukungan pemerintah Jepang, keduanya mengaku bahwa pemerintah sangat mendukung setiap penduduk berkeluarga. Sebagai contoh adalah adanya kupon kehamilan yang bisa dimanfaatkan oleh orang asing sekalipun. Manfaat ini sangat dirasakan oleh Mbak Riska. Selama masa kehamilan, beliau mendapat keringanan biaya untuk setiap kontrol kehamilan dengan menggunakan kupon kehamilan ini. Selain itu, pemerintah juga memberikan dana bantuan melahirkan serta fasilitas berobat gratis bagi anak-anak usia di bawah tiga tahun. Bahkan, bagi anak-anak usia tiga tahun ke atas pun biaya kesehatan sangatlah terjangkau karena adanya asuransi. Saat ditanya tentang pandangan masyarakat Jepang mengenai keluarga, keduanya mengamati bahwa orang Jepang akan menikah ketika mereka sudah merasa berada di level sukses. Sukses di sini berarti sudah memiliki pekerjaan yang stabil, tempat tinggal, dan kendaraan. Mbak Riska dan Mas Indi mengaku bahwa teman-teman lab mereka cukup terkejut ketika mengetahui bahwa mereka sudah menikah dan memiliki

Menurut pasangan yang sudah 4 tahun di Sendai ini, target-target dari suami dan istri juga sangat penting untuk disusun bersama dalam membina keluarga. Hal ini dibutuhkan untuk menyinkronkan keinginan baik suami maupun istri."


anak. “Kunci utamanya adalah bagaimana kita tetap berperilaku baik di lab dan lakukan yang terbaik untuk penelitian kita.,” tambah pasangan ini. Keluarga yang berencana kembali ke tanah air pada tahun 2021 ini juga tentu saja merasakan suka duka selama menjalani kehidupan keluarga di sini. Menurut mereka Sendai merupakan kota yang sangat cocok dan nyaman untuk belajar. Kotanya tidak terlalu padat seperti Tokyo tetapi pusat kotanya sudah sangat maju. Warga Indonesia-nya juga terhitung banyak, sehingga keduanya tidak terlalu merasa asing meskipun berada di negeri orang. Di tambah lagi, kekeluargaan masyarakat Indonesia di Sendai ini cukup erat. Banyak sekali agenda yang diadakan untuk bersilaturahmi sesama orang Indonesia. Meskipun begitu, ada pula pengalaman duka yang sempat mereka rasakan selama tinggal di sini. Salah satu yang tidak terlupakan adalah ketika apato tempat tinggal mereka harus direnovasi total (baca: dirobohkan). “Kami sudah sangat nyaman tinggal di apato kami. Suatu ketika, kami diberitahu Fudosan (baca: makelar real estate) bahwa apato kami akan dirobohkan dan kami harus segera pindah. Sedih sih, karena kami diberi tetangga-tetangga yang baik. Banyak sekali pengalaman yang kami dapatkan di sana. Sempat ada yang meninggal di apato kamar lain, sempat juga air keran membeku karena winter yang terlalu dingin, dan lain-lain. Akan tetapi sekarang kami hanya bisa melihat kobelco dan traktor-traktor merobohkan apato kami. Sesekali kami menyengaja untuk berhenti dan mengambil gambar di apato (lama) kami yang sedang di bangun ulang itu.,” jelas Mbak Riska dan Mas Indi. Sebelum mengakhiri perbincangan dengan tim Mabruk, pasangan ini juga memberikan tips dalam menjalani kehidupan keluarga di

Sendai. Menurut mereka, hal yang penting adalah komunikasi. Karena semua urusan akan dikerjakan berdua, maka apa yang mau dikerjakan harus dikomunikasikan oleh satu sama lain. Jangan lupa juga untuk senantiasa berdoa kepada Allah Swt. agar senantiasa dibimbing dan diistikamahkan dalam menjalankan perintah agama yang, masyaallah, berat sekali tantangannya. Sebagai keluarga, kita harus bisa saling mengingatkan dalam kebaikan. Sehingga, apabila ada salah satu dari kita lalai, pasangan kita bisa mengingatkan kita untuk senantiasa selalu berada di jalan-Nya. Tidak lupa pasangan ini juga memohon doa dari warga Sendai agar keluarganya selalu berada di jalan Allah Swt. “Mudahmudahan Allah Swt. senantiasa membimbing kami agar dapat menjadi pembina keluarga yang baik,” jelas Mas Indi. Mari kita sama-sama aminkan dan doakan juga yang terbaik untuk keluarga-keluarga lainnya, baik di Sendai, Jepang, Indonesia, dan seluruh dunia. Mari kita doakan juga bagi para single-lillah untuk segera dipertemukan dengan setengah agamanya. Aamiiin! Nah, alhamdulillah kita dapat banyak sekali pelajaran dari keluarga Mas Indi dan Mbak Riska ya. Semoga Sosok edisi kali ini bermanfaat bagi semuanya. Terima kasih, dan jangan lupa tunggu kami di rubrik Sosok edisi selanjutnya yaaa!.[] “Alhamdulillah, Allah sedang menempa kami untuk hidup mandiri dan berani mengambil keputusan dari berbagai pertimbangan. Mungkin salah satu hikmahnya adalah kami jadi bisa mengenal satu sama lain” -Indi dan Riska



Orang yang berakhlak mulia akan menjadi orang yang paling dicintai dan paling dekat kedudukannya dengan Rasulullah SAW pada Hari Akhir.

“Maukah kuberitahukan orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada Hari Kiamat?” Orang-orang terdiam, lalu beliau mengulang dua atau tiga kali, hingga mereka berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu yang paling baik akhlaknya.” (Bukhari, al-Adab, 272)



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.