Antologi Lokakarya 2022

Page 1

Yang
2022
Yang Liris dan
Naratif LOKAKARYA KEPENULISAN BULAN BAHASA PBSI UNY

Yang Liris Yang Naratif dan

Kumpulan Puisi

Bulan
UNY 2022
Bahasa PBSI

Yang Liris dan Yang Naratif

© Bulan Bahasa PBSI UNY 2022

Penulis : Peserta Lokakarya Kepenulisan 2022

Penata Letak : Rengga Fitrianingsih Ashetria Noviska Ramadhani

Hak cipta karya puisi menjadi tanggung jawab masing-masing pencipta.

Yang Liris dan Yang Naratif

Pada hari ketika saya diminta mengisi kegiatan lokarkarya penulisan puisi ini—yang pesertanya sebagian besar mahasiswa angkatan baru, saya memilih dua tipe puisi. Dari sekian banyak tipe yang ada—sebagai menu utama, yakni liris dan naratif. Konsep berpikir yang melandasinya sederhana.

Puisi liris merupakan puisi yang akrab dengan umat manusia. Kehadirannya yang dekat dengan perasaan manusia, akibat diciptakan melalui pendekatan ekspresi emosi personal dan kesan mendalam (momen puitik) dalam kesan-kesan kehidupan, membuat sumber inpirasinya mudah ditemui dalam diri peserta. Perbedaan perasaan dan pikiran individu dan lingkungan sosial tiap peserta akan memberikan pengalaman personal yang diharapkan beragam. Ketika mengamati hasilnya, setelah praktik dan bimbingan langsung, sebelum dilanjutkan secara mandiri di tempat masing-masing, terdapat beberapa karakteristik utama dari karya puisi liris yang dihasilkan. Dari sisi kelebihannya, peserta terbukti mampu menulis puisi mengikuti panduan tahap-tahap dan contoh yang telah diberikan. Keresahan bahwa menulis puisi itu sulit dan memerlukan bakat yang besar—dapat dipatahkan. Kenyataannya, menulis puisi dapat dipelajari. Poin penting adalah cara mempelajarinya. Dari segi hasil, beberapa puisi berhasil menunjukkan adanya kemampuan penulisnya untuk mulai mengalirkan kata, frasa,

4

klausa, imaji, dan impresi tanpa “pemaksaan”. Dengan ukuran usia yang rata-rata baru masuk kuliah, beberapa karya dapat menandai kelak akan menjadi kabar baik jika penulisnya terus mengasah diri dalam metode yang tepat, sehingga kemampuannya terus bekembang. Dari sisi kelemahannya, terlihat dengan jelas “jejak-jejak” bacaan puitik yang sebelumnya dimiliki oleh para peserta. Beberapa puisi ditulis seperti lirik lagu yang memaksakan rima dan irama dan beberapa yang lain ditulis terlalu “berlebihan” hingga kekuatan emosinya menjadi “pudar” dan berakhir menjadi “akrobat kata-kata”. Hal-hal tersebut dapat diperbaiki dengan berlatih menulis dan memperbanyak bacaan tentang puisi liris dari berbagai penyair: baik dari dalam maupun dari luar negeri. Menu berikutnya yakni puisi naratif. Apabila berlatih menulis puisi liris berarti melatih kepekaan dan ekspresi emosi dengan “musikalitas-bahasa”, maka berlatih menulis puisi naratif melatih kemampuan menata logika dan membangun momen dramatik-puitik dalam puisi tanpa kehilangan unsur dasar dasar puisi berupa “keindahan berbahasa”. Pada penerapannya kelak, tipe-tipe ini dapat melebur, atau berbagi tempat, atau pun menyendiri. Peleburan misalnya pada liris yang naratif, atau liris yang dramatik, dan sebagainya. Sebagai dasar, penguasaan setiap tipe menjadi penting bagi seorang penyair pembelajar. Kemampuan menangkap momen puitik dari peristiwa seperti dari cerita sejarah adalah latihan utama bagi penulisan puisi naratif. Para penyair-penyair terdahulu banyak yang menempa diri dengan “mempuisikan” kisah-kisah dari masa lalu.

Dari hasil pelatihan, dengan waktu yang terbatas satu kali

5

pertemuan, terdapat beberapa karakteristik puisi yang dihasilkan. Kelebihan yang didapat yakni beragamnya tema puisi naratif yang ditulis mengikuti petunjuk agar mempuisikan legenda atau cerita rakyat yang terkenal. Sebagian besar menggarap berdasarkan latar belakang atau asal daerah setiap peserta. Uraian-uraiannya naratifnya, pada beberapa puisi, mulai bisa melepaskan diri dari prosa fiksi. Kelemahannya, karena sebagian besar baru berlatih pertama menulisnya, terlalu dekat karakteristiknya dengan contoh yang diberikan. Seiring berjalannya waktu, apabila terus diasah, kecenderungan ini bisa perlahan lepas sehingga penyair pemula akan menemukan “suaranya sendiri” dalam menulis puisi naratif. Kemampuan mengolah emosi tokoh dalam puisi naratif yang artinya memerlukan perangkat dari puisi liris, serta kemampuan menempatkan sudut pandang baru atau penafsiran baru terhadap perisitiwa lampau akan membantu perkembangan penyair pemula dalam menulis puisi tipe naratif. Dalam hal ini, lagi-lagi, luasnya bacaan dan ketekunan dalam berlatih menjadi dua poin yang tak terpisahkan. Setelah pelatihan berakhir, beberapa waktu kemudian saya diberi kabar menggembirakan bahwa karya-karya peserta akan dibukukan dan saya diminta memberi pengantar singkat. Maka, inilah yang dapat saya tuliskan. Selamat atas terbitnya kumpulan puisi ini dan terus berkarya!

(2022) 6

Elegi Februari 11

Persinggahan 13

Risau 14

Menara Berseru 15

Di Antara Pilihan 16

Terbalas 17 Pintu 18 Gajah Uwong 19 Lepas 20 Bencana 21 Rintikan Awan Runtuh 22

Sapaan Bulan pada Anak Bajang 23

Sendiri 25

Riuh dalam Sepi 26

Ia Merana 27 Wasesa 28

DAFTAR ISI
7

Menjamu Pertemuan 29

Ditawan Pengabdian 30

Asmara Rahwana 31

Pada Semesta Lainnya 33

Upacara Menghitung Kematian 34

Dada ini Menjemput Keabadian 35

Tuhan Membaca Story WA 36

Unta Ajaib 37

Lentera Menyinari Bakatku yang Terpendam 38

Seandainya 39

Gadis di Tahun 2022 40

Sepi dalam Ramai 42

Hilang Tempat Berpulang 43

Nama Setelah Lara 44

Di Kamarku 45

Keabadian 46 Siang Merah 47

Malam Sendu 48

8

Sempurna 50

Rintihan Kesendirian 51

Buto Ijo Menagih Janji 52

Berlalu 53

Tentang Rasa Ingin 54

Berulang Tak Terulang 56 Nihil 57 Swara 58 Sepotong Pagi 59

Perjalanan Kata 60

Ke Mana Perginya? 49
9

Elegi Februari

(Aidha Nur Utami)

Kita runyam menutup luka Karam diperas kalap-terdiam Diseret deret pertanyaan yang meriuh Yang berarak dalam ingatan Tentang masa lampau yang dihisap waktu Meruncing rancau menantang Merekah kalut mengalap pelik Meranum berguguran kenangan Menjerat delusiku

Rungauku sudah kebal Ditemani anggur merah menyegarkan Namun juga memabukkan Tapi kasih, Diksimu jauh lebih memabukkan, bukan? Semuanya sarat akan rindu

Beberapa syair kata dieja Kekal di bibir, jadi kenang dalam bayang Hanya keras terasa nan hampa Jiwaku meleleh Hatiku terpereh-pereh Sudah terlalu pekat Terlalu menyeruak Hadirkan sebuah sungkawa Geram merasuki jiwa

11

Biar rintik hujan mendekap mesra

Biar kenangan lambaikan tangan

Pada titimangsa ini

Sayang...

Jika kamu ada waktu Mari bertemu Akan aku tuntaskan perkara dirimu

12

Persinggahan

(Aidha Nur Utami)

Menarik dengan keras ke dunia nyata

Padahal hanya fantasi belaka

Yang dirangkai agar hati terluka

Mempermainkan hati yang berbeda

Membelitkan banyak hati dalam nelangsa

Mencabik sampai tak berupa

Mempertaruhkan sebuah rasa

Menaruh harapan berujung nestapa awang semesta

putus

Pada mereka yang terlalu mendamba

Kau, adalah perompak yang menjarah

13

Risau

(Aninda Dwi Haryati)

Ku berdiri menapak jalan terjal ini

Pada siapa kuharus bertanya

Bertanya mengapa semua ini terjadi

Merana, hanya itulah yang kurasa

Angin menerpa wajahku, dingin

Langit, apa kau tau perasaanku?

Pohon, apa kau mengetahui dukaku?

Dan kau daun, apa kau mengerti keluhku ini?

14

Menara Berseru

(Aryo Dwi Pangga)

Aku ini kulit terakhir yang terlama dalam legenda sebuah menara yang berbicara. Mereka teriak saat mati menara itu menara terakhir yang berdiri kokoh; kakinya kuat mengakar dalam tanah; atapnya menjadi tempat awan-awan tersangkut. ala ia berseru, lapisan mana yang tidak riang?

ajuku kolot, lalu hadir, mencari. Namun, bauku teramat harum Aku gencar ingin menemuinya

eribu tahun tak kunjung temu bersama angin yang merayu kerongkongan kering, ia menjerit; legendanya semakin terbang aku terlambat, tak paham sarat

15

(Ashetria Noviska Ramadhani)

sutra putih suci mengibar tinggi jauh sekecil bintang di langit malam sendiri, berdiri dalam kesunyian sepi lama sudah tertanam dalam jiwa dan pikiran sejatinya sulit untuk menahan harap jadi haru sukacita jadi suka duka sebab Tuhan berkata yang lain

kencangnya angin bertiup tuk bertegur sapa menyelinap masuk ke dalam raga aku, pernah menjadi sosok awan yang cerah dalam kehangatan pernah menjadi payung untuk berteduh dalam kehampaan tapi bukan sekedar itu, kini dipaksa berubah untuk serta menjadi hujan hujan yang akhirnya melebur, melebur pada pipiku sendiri

kini kau, membuatku berjuang, hingga kau sendiri yang membuatku patah menunggu seperti orang gila seperti yang kau inginkan semua kini terpecahkan oleh Tuhan untukku dalam dua pilihan, bertahan atau melepaskanmu

16

Terbalas

(Ashetria Noviska Ramadhani)

Maung putih konon gagah rupawan Terendus-endus lesu pergi ke hutan menjelma sebagai Matengg tapi sial tujuh turunan menggerung ilat, tertusuk tulang habuan melangkah maju bagai potret bahadur Jlamprong menyokong maung putih kian ilat terlepas dan bebas dari penderitaan ajal

17

Pintu (Dwi Citra Annisa Utami)

Rumah itu kosong

Suram, mencekam

Hanya mentari yang terlihat hidupnya

Memberi nyawa lewat celah tanpa kata

Layar itu masih menyala

Berisi hidupku Hidupku pada waktu yang akan tiba

18

Gajah Uwong

(Dwi Citra Annisa Utami)

Gajah patuh itu telah keluar dari istananya

Berjalan berdampingan dengan sang abdi

Menuju hilir terkutuk

Menuju hilir yang terlupa

19

Lepas (Dwinia Suci)

Daun terbang terlepas

Menyusul angin menari bebas

Jatuh terhempas

Menerjang tanah

Hai jiwa yang terlepas

Pergi kemana gerangan engkau

20

Bencana (Dwinia Suci)

Rintihan pilu terdengar di mana-mana Suara-suara menyayat hati bak pisau tajam merobek sanubari

Gonjang-ganjing dunia menggetarkan jiwa Menyangsikan fenomena yang terjadi

21

Rintikan Awan Runtuh

(Fauziah Atya Yumna)

Awan mulai runtuh sore itu

Membelai ujung daun yang melambai rapi

Rintik air mengarai tanpa malu

Menghirau ocehan manusia lupa diri

Tak percaya apa yang terlukis pada mata

Tak ingin percaya sungguh tak ingin

Tak yakin apa yang terdendang dalam telinga

Tak ingin yakin sungguh tak ingin

Kau yang sungguh kuindahkan

Namun tak lain hanya sebatas batu

Keberadaanmu selalu kuharapkan

Tapi kau sungguh tak peduli

22

Sapaan Bulan Pada Anak Bajang

(Fauziah Atya Yumna)

“Ibu, tidakkah bulan itu sangat indah?” Tanya Anak

Itulah kalimat yang bulan dengar setiap malam. Sudah tidak heran lagi Anak Bajang itu memang sangat mengagumi bulan. “Ibu, aku ingin bertemu Bulan, kenapa malam ini tidak muncul Ibu?”

Tanya Anak Bajang sebelum tidur pada malam berintik hujan kala itu. Ibu hanya diam dan mulai mengorok teratur. Ah tandanya Ibu sudah tidur. Lalu Anak Bajang pun mulai tertidur.

Anak Bajang tersenyum gembira dalam tidurnya, bulan mendatangi dan menyapanya. “Wahai Anak Bajang, apakah kau merindukanku malam ini? “Tentu saja bulan yang indah.”

23

Sepanjang tidurnya ia tersenyum dan tak berhenti mengagumi bulan, hingga keesokannya ia pun tersadar. Ia hanya bermimpi.

24

Sendiri

(Friska Anintia)

Cahaya jalanan mulai menyapa

Menerangi langkah yang mulai goyah

Kerlip bintang samar terlihat

Namun, purnama kian memikat

Bersama dingin yang mulai memeluk

Membelaiku dengan lembut

Di sini, aku kembali sendiri

Di tengah hiruk pikuk kehidupan ini

Hanya waktu yang berjalan bersamaku

Hanya sunyi yang menemaniku

Ketika lukaku masih melepuh

Berbalut perih yang belum sembuh

25

Riuh dalam Sepi

(Ghiovita Fatika Putri)

Samar-samar kudengar rintihan pilu

Menyayat hati tanpa belas kasihan

Tanpa rasa yang menyayangimu

Tanpa dekapan menimpamu

Sejenak kuberhenti berkhayal

Meninggalkan luka yang tak akan memudar

Dan riuhan angin yang seakan muncul

Menghempaskan penyesalan yang terdalam

Pukulan tanpa nada yang seakan membuncah

Mencari kepastian yang terpendam

Dengan campur tangan Tuhan

Kutadahkan semua angan-angan

Telah kusadari Itu hanyalah pikiran liar di kepalaku

Bersemayam

Membelenggu keadaan

26

Ia Merana

(Hanifah Luthfiana)

Sejak udara mengiring lara

Seolah tahu kesedihan

Pada laut tanpa ada tempat berteduh

Harapan dan keputusasaan

Matahari yang menyisakan keheningan malam

Ia menghitung

Pada masa yang lewat begitu saja

Ia habis dengan ketiadaan

Ia merana, dengan asa yang menggelora

Rasa rindu merayap masuk

Ia menunggu, pada cerita yang belum tuntas

Pada usia yang terus menetas

27

Wasesa

(Hanifah Luthfiana)

Kala Tumapel menuntut ibu suri

Arah angin sejarah menunjuk seorang brahmani Pada dedes pakuwon menanti Arok yang dipenuhi dendam Ametung yang menantang “Dedes, tak ada kelicikan dalam cinta ini.” Matahari membakar kemurkaan Air yang tak bisa memadamkan dendam Ibu raja-raja Jawa itu, terseret arus cinta dan pertarungan pria Sejarah milik yang berkuasa

28

Menjamu Pertemuan

(Irodatul Hasanah)

Angin yang membakar debu Mencetak tapak kaki menyapa bebatuan Berlari membubung hati berbunga Disambutnya senyum kasturi merekah Menjamu pertemuan

Degup yang meronta Merunduk tak kuasa menatap senja Orang-orang ramai bercerita Aku dan diriku tersembunyi jauh

Debar-debar hati mengalun tersipu Enggan menatap jauh Mengharap rindu menderu Hati yang gaduh suaramu teramat merdu

Menjamu pertemuan

Bercerita melamar nasib sang pemuda Derai-derai waktu cemburu membara Mendamba hasrat yang lebih tabah Seolah jamuan bercerai lama-lama

Jiwa-jiwa yang rapuh kaki mulai melepuh Siang yang panas namun hatiku bagai senja Kita kemudian terlelap dalam waktu Harap yang sempit buai-buai

29

Ditawan Pengabdian

(Irodatul Hasanah)

Di Klindungan tenteram desanya Perjalanan panjang bergelut cerita Karenanya terpesona putri cantik kerajaan mataram Teruslah berlari sampai kau kehausan

“Maafkan Tuan saya terpaksa mengganggu ketenangan, Tuan.”

Endang Sukarni ragu-ragu bercerita Meneteslah air suci mencipta manusia sejati Terhuyung-huyung permaisuri bersusah hati

Generasi baru tibalah di pangkuan Sayang nian tak sesuai harapan meliuk-liuk sisik ikan Jaka Baru tersingkir lonceng-lonceng berbunyi bergantilah Baru Klinting Ibunda mengusir permaisuri hilang hati

Pergilah bertapa jauh dari ibunda mengharap ridhonya Tersenyumlah Baru Klinting terpujilah jiwanya menyisa sebatang lidi menancap di tanah Desas-desus masyarakat menyemai terheran-heran kokohnya sebatang lidi ditanam

“Tercabutlah, tercabutlah, nyawa kalian taruhannya. Mandilah esok tiada surut sumber kehidupan.”

30

Asmara Rahwana

(Linda Rizkika Sekarsari)

“Tuhan, mengapa engkau curahkan rasa terlarang ini?”

“Mengapa engkau bangun megah asmara ini padanya?” Kepada yang terkasih Yaitu Shinta Itulah yang dikatakan Rahwana kepada penciptanya, pada malam itu. Genderang gejolak asmara dan otak yang kian bergemuruh. Layaknya jantung yang berpacu kencang.

Ia bingung akan pikirnya. Ia tahu ini salah, ini terlarang. “Tapi mengapa engkau bangun megah asmara maglihai cinta ini?” “Mengapa tak percaya dengan perasaan ini?”

Mengharapkan sang Dewi Shinta untuk bersedia menjadi pendamping sehidup semati.

31

Beratus-ratus kali meyakinkan diri bahwa cinta memang milik semua makhluk ciptaan Tuhan bukan?

Jadi, di mana letak kesalahan manakala hati menjatuhkan pilihan pada sang dewi pujaan hati?

Hingga kubiarkan sang Dewi Shinta kembali dengan utuh Kubiarkan diri ini larut dalam kubangan kepedihan dan penyesalan tak berpenghujung

Jadi kukatakan kepadamu, sekali lagi, Sebenarnya dakulah sang pemenang itu, dakulah sang pejuang gigih yang rela menyongsong kematian dengan sepenuh−kerinduan (Rahwana).

32

Pada Semesta Lainnya (Nanda Amala)

Riuh. Ricuh. Tak Acuh

“Siapa kita berhak memutuskan pelabuhan mana bagi tiap-tiap cinta di jiwa manusia?”

Dia, Sangkuriang

Anak paling gila di semesta kita, nyalak matanya tegas ia tak akan goyah Tak ada alasan, tak ada penjelasan Cintanya sudi tak sudi dipupuskan “Kita tak bisa, depan jurang samping tebing.” Sumbi menangis

Wanita paling merana, membesarkan anak gila yg mem buatnya juga merasa gila

Keduanya diam, tak ada ujungnya Ataukah, memang hanya diam yg menjadi jawab

Oh Sumbi, sungguh pun orang paling durjana tiada yg dapat menyaingi kerisauan hatimu

Oh Sumbi, Oh..

33

Upacara Menghitung Kematian

(Nanda Amala)

Asap lilin meliuk-liuk menirukan tarian paling elok sang penari Diiringi ritmis merdu tetes hujan yang jatuh memeluk bumi

Roti-roti dan lain-lainnya tersusun rapi, mengiringi senyum gadis manis tak bertepi Sungguh pun, hari itu, akan aku gadaikan seluruh hari terbaik yg aku miliki

Meniup asap, memotong roti Bongkahan emas berjejer rapi dalam balutan kain diatas meja persegi, “Ayo, bersama kita buka!” aba-aba Ibu menyerui. Hari itu, sungguh pun aku ikhlaskan segala-galanya yang aku miliki Hari itu, satu kali lagi upacara menghitung kematian kurayakan dengan happy

34

Dada ini Menjemput Keabadian (Nila Anjum Al-Azkia)

Ombak berdansa dengan karang, puluhan sepatu masuk menggeram. Rasa tenang menghilang, ditelan keramaian mesiu yang beterbangan. Kapal itu, tenggelam sendirian menapak pada lautan yang mulai terguncang nestapa datang beriringan memeluk sukma yang berang. Demi Tuhan kami bersumpah, tiada tangan yang menjamah barang sejengkal pun tak pernah. Meski kapal itu tenggelam sendirian dada ini tetap menjemput keabadian dada ini bersolek dengan berlian dan kepeng di tangan. Dada-dada pembawa kehidupan, kini berjalan menjemput keabadian. Suara kami pun sahut-sahutan, melahirkan alunan biola malam. Dansa di pesta pora kami sajikan di bawah lampu milik alam. Sedetik kemudian, kami terlukis dalam buku usang.

Pax Neerlandica, telah membawa kami ke pangkuan Tuhan.

35

Tuhan Membaca Story WA

(Nila Anjum Al-Azkia)

aku mengeluh pada hujan yang tak kunjung terang bajuku basah, sepatuku bau sampah langit, tolonglah bersudah aku bosan mencium dinginnya rintik, menghitung detik demi detik menunggu air kembali naik aku berbisik, pada setan kecil di ujung bilik “Gusti, tolong jangan hujan tiap hari.” Lalu, untaian sinyal menerbangkan pesan pada Tuhan yang rebahan ha.ha.ha aku rasa Tuhan pun sudah paham samar-samar tawa penghuni langit menciumi tengkukku dan... sewaktu kemudian, surya dengan gagah menyapa atap kehidupan Hai Tuhan, agaknya kau membaca story wa-ku semalam

36

Unta Ajaib

(Nuur Atikah)

Tertatih dengan naungan bersinar dalam kejolak sendu

Menjadi sorotan hanyut dalam nestapa

Pohon pohon menyapaku dengan senyuman

Menuntunku pada keajaiban dunia

Mengikat sebuah dimensi waktu Sepeda bagaikan ruang yang menghantarkanku pada impian

Jatuh bangun kulewati dengan unta ajaib yang kumiliki

Tertatih sana-sini dalam sentuhan semangat menggelora Menyapa dengan impian yang kutekatkan Menjadi sebuah bijaksa dengan talenta

Olahan roda berputar menjadi sorotan mata Menjadi talenta alami memakan sebuah gejolak sendu

Kehidupan yang menyorot pada tujuan alami

Mendewasakanku pada impian yang kutekadkan

37

Lentera Menyinari Bakatku yang Terpendam (Nuur Atikah)

Semerbak indah dalam naungan mempesona

Menyoroti pagi dalam sebuah kegelisahan yang nestama

Entah ke mana bakatku ini

Hingga isak tangis pun datang mengeluh padaku Lentera bersinar yang meghiburku dalam sendu

Keesokan harinya kebangkitan semangat dalam hidup

Menjelma pada api yang menyala menaungi sebuah gejolak sendu

Suasana biru mewarnai kehidupan jiwa yang ada Batinku menaungi suri pada talenta keajaiban

Kehidupan pasti ada keajaiban yang menggelora

Pasti ada bakat yang ada dalam diri

Menaungi dalam sebuah talenta

Kekuatan ilmiah pada sebuah kinerja ajaib

Sehingga sebuah keberhasilan muncul dalam nestapa

38

Seandainya

(Regina Selfiana Kalami)

seandainya aku punya sayap akan kuterbang menuju rumah seandainya aku pintu keluar masuk akan kulewati tanpa pamit seandainya tak ada rindu akan kulewati tanpa tangis seandainya tak ada lelah akan kulewati tanpa berhenti seandainya fajar tak berganti arah hatiku tak leluntuhan di balik dinding kamar aroma masakkan yang tak sama membuat rasa yang berbeda seandainya pilot memutar balik arah akan ku katakan tak ingin pergi

39

Gadis di Tahun 2022

(Regina selfiana kalami)

Suatu hari di tahun 1945 bendera berkibar dengan rasa semangat yang tak memandang perbedaan. ”Apapun warna kulitmu, apapun agamamu, kita Indonesia!” Pertumpahan darah, Sebuah pedang kecil, sebuah senjata tanpa peluru berjuang tanpa makan, tanpa minum, tidur pun tak nyenyak.

Semuanya telah usai. Kabar kebebasan telah tersebar di mana-mana. “MERDEKA!” MERDEKA!”

Banyak air mata kebahagiaan membanjiri jalanan Menghapus bekas darah, membasahi baju. Menghilangkan noda darah. “NAMUN” suara kepahitan seorang gadis mulai membeku.

40

Mengapa? 2022 semua perjuangan para “PAHLAWAN” hilang begitu saja tanpa ada perjuangan tanpa ada pertumpahan darah apa sebabnya dan apa penyebabnya gadis itu sendiri pun merenung.

Jika tak ada para “PAHLAWAN” ini bagaimana nasibku di tahun 2022? bisa sebahagia ini dan bisa senyaman ini? jika memb yangkan “PAHLAWAN” ini masih hidup, mereka akan mengatakan sia-sia perjuangan kita.

41

Sepi dalam Ramai (Qois Mustaghfiri Asyrofi)

Rumah yang biasanya kesepian

Polos seakan tak punya beban

Saat ini ramai oleh banyak orang

Ditemani pula oleh tenda dan bendera putih

Masih kujaga senyuman ini

Senyumku berkata dia tak akan pergi

Sekelilingku ramai namun tetap terasa sepi

Hanya senyum ini yang menemaniku

Melodi mobil putih mulai terdengar

Bersama cahaya merah yang menyala

Perlahan mendekat ke arahku

Menyerahkan tubuh yang dibungkus kain putih

Senyum yang katanya tak akan pergi

Kini dipaksa pergi oleh tangis

Kulihat tubuhnya yang diam

Seakan mengabaikanku yang berteriak memanggil namanya

42

Hilang Tempat Berpulang

Runtuhnya langit pagi ini seakan-akan berbicara akan ada sesuatu yang bermakna kelam Lama ku terjongkok di dalam jamban tua tak kunjung datang sebuah jawaban Aku mengerti, ketika getar langkah datang mendekat suara wanita paruh baya, lembut sedikit ragu Isak tangis, dan jerit yang menyambut mengantarkan jawaban yang kutunggu Jiwaku runtuh, bumi dan lututku saling menyentuh Telapak kaki yang istimewa kini telah tiada Tempatku berpulang dikala rapuh Kini hilang meninggalkan duka.

43

Nama Setelah Lara

“Di sini surut, bagaimana bisa aku memandikannya? Untuk berendam saja sudah tak bisa. Sebaiknya aku membawanya ke hilir kali,”

Pikir Ki Kerti sepintas lalu tanpa mengingat pesan dari iparnya. Di hilir yang luas dan air yang deras, tak sadar seperti tanggul yang jebol air menerjang. Hanyut tenggelam dirinya dan Kyai Dwipangga hilang ke selatan.

“Kali Gajah Wong,” Ucap Sultan Agung dengan nada yang berat, menahan duka atas apa yang terjadi. Seperti hanyut kabar itu, Hingga kini hanya nama yang mengenang duka atas peristiwa. Duka yang mengenang gajah dan orang.

44

Di Kamarku

(Rengga Fitrianingsih)

Rembulan mengintip celah jendela Mendengar kabar angin subuh yang bertiup tipis Suratnya datang dengan menggigil Di sudut ruangan hatiku beku

Malam tak lagi jadi panjang Jangkrik hilang ditelan fajar. Lalu kupu-kupu bersolek di atap-atap rumah. Seperti aku

Teratai yang malu-malu terganti amarilis yang percaya diri

Dinding kamar tuli dan meradang Memutus benang-benang merah. Dari jari yang pernah menutup atap-atap rumah. Juga lubang-lubang kesepian yang akan kembali kita telan.

45

Keabadian

(Rengga Fitrianingsih)

“Sebab racun akan luruh bersama asmaraku yang membara liar.”

Tidur Julia dua hari lalu dikira mati membeku.

Kesengsaraan menggerayang dari kaki yang berpeluk tubuh dingin Roma. Rambut Julia, mengurai pada wajah beraroma kesetiaan. Sebab itu ia biarkan tidurnya berumur panjang.

“Roma dan Julia telah tiada; cinta mereka abadi di tangan dewa!”

Esoknya mereka ditempatkan di runi. Penuh dengan bungabunga dan lambang-lambang kesetiaan—kesatuan—keabadian. Ratu yang marah lalu berdiam diri di singgasana.

“Cintakulah yang paling abadi. Mengapa kau mencintai pemuda yang membuatmu mangkat? Mengapa, cinta? mengapa cinta memutus kasih ibu pada anaknya?”

46

Siang Merah

(Rizki Amalia Putri Hidayat)

Lalu lalang kaki tergesa untuk berteduh

Melindungi diri dalam ruang beratap

Padahal satu tetes hujan pun tak ada

Langit kala itu pekat, bukan sorot sinar yang tampak

“Segera masuk, Nak,” tegas Ibu kepada putra sulungnya

“Sayangi matamu yang indah.

Matahari yang ramah sedang marah siang ini.”

“Apakah matahari bisa merenggut kenikmatan melihatku, Ibu?”

“Lekaslah masuk sebelum terlambat.”

Tak ada orang satu pun bahkan dari sudut mana pun.

47

Malam Sendu

(Rizki Amalia Putri Hidayat)

Hembus angin menyelinap mengusap tubuhku

Kala itu malam sedang bahagia kiranya

Menunjukkan garis senyum lewat jajaran bintang yang bertabur

Lain denganku yang terkungkung dalam selimut bulu

Di sela malam indah telingaku ingin muntah

Di sela malam indah mataku ingin meruah

Di sela malam indah mulutku ingin bertuah

Seperti dialog angin yang membuat daun mengangguk di rantingnya

Aku dengan aksaku sepakat

Bertahan meski tak tahan

Mengalir meski tak jalan

Setelah mendengar hiruk pikuk yang didengar Hingga telingaku mual

48

Ke Mana Perginya?

(Salasatul Ramadhinta Putri)

Roda yang menggerus kerikil jalanan Langit yang seolah mengiringi langkah hilang arah Dengan angin malam yang turut memeluk jiwa yang resah

Malam itu, lampu-lampu menyilaukan mata memandang Meraup sejuta atensi dari dalam diri yang renta ini Ah, kenyataan itu, benarkah terjadi?

Diri yang masih haus akan atensi, mencoba membiarkan orang itu pergi Pergi ke tempat yang entah di mana muaranya Ke tempat yang damai, sepertinya.

49

Sempurna

(Salasatul Ramadhinta Putri)

Monster itu sejatinya menakutkan, bukan? Tapi, lama-lama mengapa bisa tumbuh cinta? Jatuh hati dengan monster, ah yang benar saja.

Namun, konon katanya, terlepas dari apapun itu, cinta tak pernah memandang baik dan buruknya. Wujud nyata datang dari perempuan itu yang mencintai sosok monster menakutkan.

“Aku mencintaimu tanpa tapi,” begitu katanya. Ah cinta yang indah, melengkapi yang kurang, dan memangkas yang kelebihan. Cinta itulah yang menutupi segala kekurangan diri. Cinta itulah yang menyempurnakan aku dan kamu, jadi kita.

50

Rintihan Kesendirian

(Salma Najihah)

Entah mengapa ombak laut begitu tenang

Sunyi senyap sang surya menghilang

Kicau burung memekik kesendirian

Merasuk sang bayu dalam kegelisahan

Bulan lalu kita mengakhiri kisah panjang

Cengkerama dan guyonan kian menghilang

Tahukah kamu duhai kawanku

Diri ini ragu untuk sekadar bertemu

Jauh kupandang kita berseberang Hanya doa yang kian melintang

Berat hasrat kuingin berjumpa

Rindu membuncah dalam dada

Desir angin kian mendayu

Menggugah sadar lamunanku

Lambai tanganmu hilang dipandang

Oh Tuhan, ini sudah siang

51

Buto Ijo Menagih Janji

(Salma Najihah)

“Tujuh belas tahun lalu aku memanggilmu Timun Mas.” Kalimat sederhana yang merasuk kalbu Kepedihan menggelayuti hati sang Ibunda Yang tak kuasa menahan isak tangisnya

Takdir memang berjalan sedemikian rupa. Janji yang terucap tak dapat diingkari oleh sang Ibu. yang bertaruh dengan Buto Ijo. Isak tangis melepas perawan tujuh belas tahun menghujami batin Timun Mas.

“Pergilah, bawalah bekal ini!”

Teriak sang ibu sembari berdoa untuk putrinya Memaksa lari putri yang dicintainya Hingga kembali dalam pelukannya

52

Berlalu

(Tundra Alif Juliant)

Seekor lebah merindukan setangkai bunga matahari

Tatkala malam sunyi berganti huru-hara pagi

Ruang berlabuh setengah populasi berakhir runtuh

Tertimpa dahan kayu terkemas tangguh

Dekap menyeringai begitu aman

Kecup manis begitu nyaman

Selintas sirna dari peradaban

Jejak pun tak terdefinisikan

Lebah dengan bunga

Pena dengan tinta

Hubungan sejuta makna

Walau akhirnya akan binasa

Tak ada yang benar benar menetap

Sekalipun rasa telah tertuang resap

Ada yang rela menahan rindu tak terbalaskan

Lantaran kata temu adalah ketidakmungkinan

53

Tentang Rasa Ingin

(Tundra Alif Juliant)

“Aku bersedia menerimamu dengan satu syarat.”

Ucap seorang putri kerajaan prambanan kepada pemimpin kejam tak terkalahkan. bengis, sadis, tiada belas kasihan menghiasi suasana kala itu. Lantaran dipaksa menikahi pembunuh Ayahnya.

“Apapun yang kamu minta, pasti akan kuberikan.”

Balas dengan tegas menampar kenyataan bahwa segala hal dapat diusahakan. Seribu candi dalam satu malam bagaikan mimpi yang tak akan jadi kenyataan. Matahari terbit tanda usainya perjuangan, hanya ada kekecewaan. 999 candi terbangun gagah. Namun, tumbang dalam pertempuran pertaruhan, di mana satu candi yang kurang?

54

“Aku tak pernah kalah. Apa pun yang aku inginkan, pasti akan kudapatkan. Jika aku mau seribu candi, maka aku akan mendapatkannya,” Jadilah ia sebagai candi yang keseribu.

55

Berulang Tak Terulang

(Veda Nurita)

Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu yang membawa canda penuh candu seperti alunan melodi lagu

Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu yang diam membisu meramu tanda tanya di kepalaku

Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu Ia menatapku lekat memunculkan harap agar waktu berjalan lambat

Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu

56

Nihil

(Yanuba Astna Salsabila)

Riak tak bersuara

Pelan menuju tepi Terdorong oleh desir angin Lembut membelai sang tirta

Gugur sudah dedaunan Bersama senda gurau tawa menggelegar Mengapa kau tergelak? Semua tidak ada yang jenaka

Kilau kristal terpantul dari bola matamu Senyum teduh terukir di wajahmu Benarkah bahagia?

Suara lembut menggema Memasuki indra pendengaranku

Ah, kau berbicara Begitu indah, segalanya “Hidupku ini nihil.”

Terkecuali ucapanmu.

57

“Diam?”

Raut wajah wanitaku itu semakin mendung. Jawaban yang didapat hanya diam merenung. Aku hanya diam membisu, memandang dengan penuh teka-teki.

“Tidak bersuara lagi. Memang sudah hina aku dimatamu, kan?”

Amarah sudah tak terbendung layak magma dalam kandung bumi. Hancur lebur sudah rasa yang digenggam. Deru nafas di ruang hening itu saling bersautan dengan suara kincir yang berputar.

Kurengkuh wanitaku dalam dekapan. Kecil dan ringkih seperti hewan kecil. Wanitaku. Wanitaku. Selembut awan di langit.

“Berbahagialah. Kini kulepas.”

Harap pesan itu dapat dimengerti olehnya. Kekasihku. Pesan tanpa suara. Kulepas. Wanitaku. Awan di langit. Serta suaraku. Wanitaku. Wanitaku. Wanitaku. Kini bukan lagi bagian hidup pria tanpa swara.

Swara
58

Sepotong Pagi

(Zain Fauzan Nauval)

Butir air sisa hujan semalam Berjalan di atas tulang daun Angin menuntunnya Jatuh ke tanah

Anak burung pipit, Mengintip pagi dari sarang jerami Udara dingin, Mentari berkelambu kabut

Anak rantau Berkenalan dengan mentari Menghangatkan kampung halaman Yang dingin dalam tubuhnya

59

Perjalanan Kata

(Zain Fauzan Nauval)

Kata per kata Lepas dari puisiku

Mereka mengemas rindu Dalam kalimat sederhana Mencuri bunga yang mekar Agar Aromanya menghiasi jalan tempat kau berjuang

Di tengah Jalan, Kata kehabisan kosa kata kecantikanmu belum lah ada dalam kamus bahasa sepenuhnya Puisiku, masih mencari diksi Untuk kecantikan yang bisa meredupkan purnama

Katapun berpendar Dalam sepotong pagi Yang Jatuh di depan matamu Duhai Adinda Puisi Kehidupan, yang tak pernah habis kubaca

60
Aidha Nur Utami I Aninda Dwi Haryati I Aryo Dwi Pangga I Ashetria Noviska I Dwi Citra Annisa I Dwinia Suci I Fauziyah Atya Yumna I Friska Anintia I Ghiovita Fatika Putri I Hanifah Luthfiana I Irodatul Hasanah I Linda Rizkika I Nanda Amala I Nila Anjum I Nuur Atikah I Regina Selfiana I Qois Mustaghfiri I Raphael Paskhalis Tarigan I Rengga Fitrianingsih I Rizki Amalia I Salasatul Ramadhinta I Salma Najihah I Tundra Alif Juliant I Veda Nurita I Yanuba Astna Salsabila I Zain Fauzan Nauval Yang Liris dan Yang Naratif Di sini, aku kembali sendiri. Di tengah hiruk pikuk kehidupan ini - Friska Anintia - Antologi Puisi -

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.