


© Bulan Bahasa PBSI UNY 2022
Penulis : Peserta Lokakarya Kepenulisan 2022
Penata Letak : Rengga Fitrianingsih Ashetria Noviska Ramadhani
Hak cipta karya puisi menjadi tanggung jawab masing-masing pencipta.
Pada hari ketika saya diminta mengisi kegiatan lokarkarya penulisan puisi ini—yang pesertanya sebagian besar mahasiswa angkatan baru, saya memilih dua tipe puisi. Dari sekian banyak tipe yang ada—sebagai menu utama, yakni liris dan naratif. Konsep berpikir yang melandasinya sederhana.
Puisi liris merupakan puisi yang akrab dengan umat manusia. Kehadirannya yang dekat dengan perasaan manusia, akibat diciptakan melalui pendekatan ekspresi emosi personal dan kesan mendalam (momen puitik) dalam kesan-kesan kehidupan, membuat sumber inpirasinya mudah ditemui dalam diri peserta. Perbedaan perasaan dan pikiran individu dan lingkungan sosial tiap peserta akan memberikan pengalaman personal yang diharapkan beragam. Ketika mengamati hasilnya, setelah praktik dan bimbingan langsung, sebelum dilanjutkan secara mandiri di tempat masing-masing, terdapat beberapa karakteristik utama dari karya puisi liris yang dihasilkan. Dari sisi kelebihannya, peserta terbukti mampu menulis puisi mengikuti panduan tahap-tahap dan contoh yang telah diberikan. Keresahan bahwa menulis puisi itu sulit dan memerlukan bakat yang besar—dapat dipatahkan. Kenyataannya, menulis puisi dapat dipelajari. Poin penting adalah cara mempelajarinya. Dari segi hasil, beberapa puisi berhasil menunjukkan adanya kemampuan penulisnya untuk mulai mengalirkan kata, frasa,
klausa, imaji, dan impresi tanpa “pemaksaan”. Dengan ukuran usia yang rata-rata baru masuk kuliah, beberapa karya dapat menandai kelak akan menjadi kabar baik jika penulisnya terus mengasah diri dalam metode yang tepat, sehingga kemampuannya terus bekembang. Dari sisi kelemahannya, terlihat dengan jelas “jejak-jejak” bacaan puitik yang sebelumnya dimiliki oleh para peserta. Beberapa puisi ditulis seperti lirik lagu yang memaksakan rima dan irama dan beberapa yang lain ditulis terlalu “berlebihan” hingga kekuatan emosinya menjadi “pudar” dan berakhir menjadi “akrobat kata-kata”. Hal-hal tersebut dapat diperbaiki dengan berlatih menulis dan memperbanyak bacaan tentang puisi liris dari berbagai penyair: baik dari dalam maupun dari luar negeri. Menu berikutnya yakni puisi naratif. Apabila berlatih menulis puisi liris berarti melatih kepekaan dan ekspresi emosi dengan “musikalitas-bahasa”, maka berlatih menulis puisi naratif melatih kemampuan menata logika dan membangun momen dramatik-puitik dalam puisi tanpa kehilangan unsur dasar dasar puisi berupa “keindahan berbahasa”. Pada penerapannya kelak, tipe-tipe ini dapat melebur, atau berbagi tempat, atau pun menyendiri. Peleburan misalnya pada liris yang naratif, atau liris yang dramatik, dan sebagainya. Sebagai dasar, penguasaan setiap tipe menjadi penting bagi seorang penyair pembelajar. Kemampuan menangkap momen puitik dari peristiwa seperti dari cerita sejarah adalah latihan utama bagi penulisan puisi naratif. Para penyair-penyair terdahulu banyak yang menempa diri dengan “mempuisikan” kisah-kisah dari masa lalu.
Dari hasil pelatihan, dengan waktu yang terbatas satu kali
pertemuan, terdapat beberapa karakteristik puisi yang dihasilkan. Kelebihan yang didapat yakni beragamnya tema puisi naratif yang ditulis mengikuti petunjuk agar mempuisikan legenda atau cerita rakyat yang terkenal. Sebagian besar menggarap berdasarkan latar belakang atau asal daerah setiap peserta. Uraian-uraiannya naratifnya, pada beberapa puisi, mulai bisa melepaskan diri dari prosa fiksi. Kelemahannya, karena sebagian besar baru berlatih pertama menulisnya, terlalu dekat karakteristiknya dengan contoh yang diberikan. Seiring berjalannya waktu, apabila terus diasah, kecenderungan ini bisa perlahan lepas sehingga penyair pemula akan menemukan “suaranya sendiri” dalam menulis puisi naratif. Kemampuan mengolah emosi tokoh dalam puisi naratif yang artinya memerlukan perangkat dari puisi liris, serta kemampuan menempatkan sudut pandang baru atau penafsiran baru terhadap perisitiwa lampau akan membantu perkembangan penyair pemula dalam menulis puisi tipe naratif. Dalam hal ini, lagi-lagi, luasnya bacaan dan ketekunan dalam berlatih menjadi dua poin yang tak terpisahkan. Setelah pelatihan berakhir, beberapa waktu kemudian saya diberi kabar menggembirakan bahwa karya-karya peserta akan dibukukan dan saya diminta memberi pengantar singkat. Maka, inilah yang dapat saya tuliskan. Selamat atas terbitnya kumpulan puisi ini dan terus berkarya!
Elegi Februari 11
Persinggahan 13
Risau 14
Menara Berseru 15
Di Antara Pilihan 16
Terbalas 17 Pintu 18 Gajah Uwong 19 Lepas 20 Bencana 21 Rintikan Awan Runtuh 22
Sapaan Bulan pada Anak Bajang 23
Sendiri 25
Riuh dalam Sepi 26
Ia Merana 27 Wasesa 28
Menjamu Pertemuan 29
Ditawan Pengabdian 30
Asmara Rahwana 31
Pada Semesta Lainnya 33
Upacara Menghitung Kematian 34
Dada ini Menjemput Keabadian 35
Tuhan Membaca Story WA 36
Unta Ajaib 37
Lentera Menyinari Bakatku yang Terpendam 38
Seandainya 39
Gadis di Tahun 2022 40
Sepi dalam Ramai 42
Hilang Tempat Berpulang 43
Nama Setelah Lara 44
Di Kamarku 45
Keabadian 46 Siang Merah 47
Malam Sendu 48
Sempurna 50
Rintihan Kesendirian 51
Buto Ijo Menagih Janji 52
Berlalu 53
Tentang Rasa Ingin 54
Berulang Tak Terulang 56 Nihil 57 Swara 58 Sepotong Pagi 59
Perjalanan Kata 60
Kita runyam menutup luka Karam diperas kalap-terdiam Diseret deret pertanyaan yang meriuh Yang berarak dalam ingatan Tentang masa lampau yang dihisap waktu Meruncing rancau menantang Merekah kalut mengalap pelik Meranum berguguran kenangan Menjerat delusiku
Rungauku sudah kebal Ditemani anggur merah menyegarkan Namun juga memabukkan Tapi kasih, Diksimu jauh lebih memabukkan, bukan? Semuanya sarat akan rindu
Beberapa syair kata dieja Kekal di bibir, jadi kenang dalam bayang Hanya keras terasa nan hampa Jiwaku meleleh Hatiku terpereh-pereh Sudah terlalu pekat Terlalu menyeruak Hadirkan sebuah sungkawa Geram merasuki jiwa
Biar kenangan lambaikan tangan
Pada titimangsa ini
Sayang...
Jika kamu ada waktu Mari bertemu Akan aku tuntaskan perkara dirimu
Menarik dengan keras ke dunia nyata
Padahal hanya fantasi belaka
Yang dirangkai agar hati terluka
Mempermainkan hati yang berbeda
Membelitkan banyak hati dalam nelangsa
Mencabik sampai tak berupa
Mempertaruhkan sebuah rasa
Menaruh harapan berujung nestapa awang semesta
Pada mereka yang terlalu mendamba
Kau, adalah perompak yang menjarah
Ku berdiri menapak jalan terjal ini
Pada siapa kuharus bertanya
Bertanya mengapa semua ini terjadi
Merana, hanya itulah yang kurasa
Angin menerpa wajahku, dingin
Langit, apa kau tau perasaanku?
Pohon, apa kau mengetahui dukaku?
Dan kau daun, apa kau mengerti keluhku ini?
Aku ini kulit terakhir yang terlama dalam legenda sebuah menara yang berbicara. Mereka teriak saat mati menara itu menara terakhir yang berdiri kokoh; kakinya kuat mengakar dalam tanah; atapnya menjadi tempat awan-awan tersangkut. ala ia berseru, lapisan mana yang tidak riang?
ajuku kolot, lalu hadir, mencari. Namun, bauku teramat harum Aku gencar ingin menemuinya
eribu tahun tak kunjung temu bersama angin yang merayu kerongkongan kering, ia menjerit; legendanya semakin terbang aku terlambat, tak paham sarat
sutra putih suci mengibar tinggi jauh sekecil bintang di langit malam sendiri, berdiri dalam kesunyian sepi lama sudah tertanam dalam jiwa dan pikiran sejatinya sulit untuk menahan harap jadi haru sukacita jadi suka duka sebab Tuhan berkata yang lain
kencangnya angin bertiup tuk bertegur sapa menyelinap masuk ke dalam raga aku, pernah menjadi sosok awan yang cerah dalam kehangatan pernah menjadi payung untuk berteduh dalam kehampaan tapi bukan sekedar itu, kini dipaksa berubah untuk serta menjadi hujan hujan yang akhirnya melebur, melebur pada pipiku sendiri
kini kau, membuatku berjuang, hingga kau sendiri yang membuatku patah menunggu seperti orang gila seperti yang kau inginkan semua kini terpecahkan oleh Tuhan untukku dalam dua pilihan, bertahan atau melepaskanmu
(Ashetria Noviska Ramadhani)
Maung putih konon gagah rupawan Terendus-endus lesu pergi ke hutan menjelma sebagai Matengg tapi sial tujuh turunan menggerung ilat, tertusuk tulang habuan melangkah maju bagai potret bahadur Jlamprong menyokong maung putih kian ilat terlepas dan bebas dari penderitaan ajal
Rumah itu kosong
Suram, mencekam
Hanya mentari yang terlihat hidupnya
Memberi nyawa lewat celah tanpa kata
Layar itu masih menyala
Berisi hidupku Hidupku pada waktu yang akan tiba
(Dwi Citra Annisa Utami)
Gajah patuh itu telah keluar dari istananya
Berjalan berdampingan dengan sang abdi
Menuju hilir terkutuk
Menuju hilir yang terlupa
Daun terbang terlepas
Menyusul angin menari bebas
Jatuh terhempas
Menerjang tanah
Hai jiwa yang terlepas
Pergi kemana gerangan engkau
Rintihan pilu terdengar di mana-mana Suara-suara menyayat hati bak pisau tajam merobek sanubari
Gonjang-ganjing dunia menggetarkan jiwa Menyangsikan fenomena yang terjadi
(Fauziah Atya Yumna)
Awan mulai runtuh sore itu
Membelai ujung daun yang melambai rapi
Rintik air mengarai tanpa malu
Menghirau ocehan manusia lupa diri
Tak percaya apa yang terlukis pada mata
Tak ingin percaya sungguh tak ingin
Tak yakin apa yang terdendang dalam telinga
Tak ingin yakin sungguh tak ingin
Kau yang sungguh kuindahkan
Namun tak lain hanya sebatas batu
Keberadaanmu selalu kuharapkan
Tapi kau sungguh tak peduli
(Fauziah Atya Yumna)
“Ibu, tidakkah bulan itu sangat indah?” Tanya Anak
Itulah kalimat yang bulan dengar setiap malam. Sudah tidak heran lagi Anak Bajang itu memang sangat mengagumi bulan. “Ibu, aku ingin bertemu Bulan, kenapa malam ini tidak muncul Ibu?”
Tanya Anak Bajang sebelum tidur pada malam berintik hujan kala itu. Ibu hanya diam dan mulai mengorok teratur. Ah tandanya Ibu sudah tidur. Lalu Anak Bajang pun mulai tertidur.
Anak Bajang tersenyum gembira dalam tidurnya, bulan mendatangi dan menyapanya. “Wahai Anak Bajang, apakah kau merindukanku malam ini? “Tentu saja bulan yang indah.”
Sepanjang tidurnya ia tersenyum dan tak berhenti mengagumi bulan, hingga keesokannya ia pun tersadar. Ia hanya bermimpi.
(Friska Anintia)
Cahaya jalanan mulai menyapa
Menerangi langkah yang mulai goyah
Kerlip bintang samar terlihat
Namun, purnama kian memikat
Bersama dingin yang mulai memeluk
Membelaiku dengan lembut
Di sini, aku kembali sendiri
Di tengah hiruk pikuk kehidupan ini
Hanya waktu yang berjalan bersamaku
Hanya sunyi yang menemaniku
Ketika lukaku masih melepuh
Berbalut perih yang belum sembuh
Samar-samar kudengar rintihan pilu
Menyayat hati tanpa belas kasihan
Tanpa rasa yang menyayangimu
Tanpa dekapan menimpamu
Sejenak kuberhenti berkhayal
Meninggalkan luka yang tak akan memudar
Dan riuhan angin yang seakan muncul
Menghempaskan penyesalan yang terdalam
Pukulan tanpa nada yang seakan membuncah
Mencari kepastian yang terpendam
Dengan campur tangan Tuhan
Kutadahkan semua angan-angan
Telah kusadari Itu hanyalah pikiran liar di kepalaku
Bersemayam
Membelenggu keadaan
Sejak udara mengiring lara
Seolah tahu kesedihan
Pada laut tanpa ada tempat berteduh
Harapan dan keputusasaan
Matahari yang menyisakan keheningan malam
Ia menghitung
Pada masa yang lewat begitu saja
Ia habis dengan ketiadaan
Ia merana, dengan asa yang menggelora
Rasa rindu merayap masuk
Ia menunggu, pada cerita yang belum tuntas
Pada usia yang terus menetas
(Hanifah Luthfiana)
Kala Tumapel menuntut ibu suri
Arah angin sejarah menunjuk seorang brahmani Pada dedes pakuwon menanti Arok yang dipenuhi dendam Ametung yang menantang “Dedes, tak ada kelicikan dalam cinta ini.” Matahari membakar kemurkaan Air yang tak bisa memadamkan dendam Ibu raja-raja Jawa itu, terseret arus cinta dan pertarungan pria Sejarah milik yang berkuasa
Angin yang membakar debu Mencetak tapak kaki menyapa bebatuan Berlari membubung hati berbunga Disambutnya senyum kasturi merekah Menjamu pertemuan
Degup yang meronta Merunduk tak kuasa menatap senja Orang-orang ramai bercerita Aku dan diriku tersembunyi jauh
Debar-debar hati mengalun tersipu Enggan menatap jauh Mengharap rindu menderu Hati yang gaduh suaramu teramat merdu
Menjamu pertemuan
Bercerita melamar nasib sang pemuda Derai-derai waktu cemburu membara Mendamba hasrat yang lebih tabah Seolah jamuan bercerai lama-lama
Jiwa-jiwa yang rapuh kaki mulai melepuh Siang yang panas namun hatiku bagai senja Kita kemudian terlelap dalam waktu Harap yang sempit buai-buai
(Irodatul Hasanah)
Di Klindungan tenteram desanya Perjalanan panjang bergelut cerita Karenanya terpesona putri cantik kerajaan mataram Teruslah berlari sampai kau kehausan
“Maafkan Tuan saya terpaksa mengganggu ketenangan, Tuan.”
Endang Sukarni ragu-ragu bercerita Meneteslah air suci mencipta manusia sejati Terhuyung-huyung permaisuri bersusah hati
Generasi baru tibalah di pangkuan Sayang nian tak sesuai harapan meliuk-liuk sisik ikan Jaka Baru tersingkir lonceng-lonceng berbunyi bergantilah Baru Klinting Ibunda mengusir permaisuri hilang hati
Pergilah bertapa jauh dari ibunda mengharap ridhonya Tersenyumlah Baru Klinting terpujilah jiwanya menyisa sebatang lidi menancap di tanah Desas-desus masyarakat menyemai terheran-heran kokohnya sebatang lidi ditanam
“Tercabutlah, tercabutlah, nyawa kalian taruhannya. Mandilah esok tiada surut sumber kehidupan.”
(Linda Rizkika Sekarsari)
“Tuhan, mengapa engkau curahkan rasa terlarang ini?”
“Mengapa engkau bangun megah asmara ini padanya?” Kepada yang terkasih Yaitu Shinta Itulah yang dikatakan Rahwana kepada penciptanya, pada malam itu. Genderang gejolak asmara dan otak yang kian bergemuruh. Layaknya jantung yang berpacu kencang.
Ia bingung akan pikirnya. Ia tahu ini salah, ini terlarang. “Tapi mengapa engkau bangun megah asmara maglihai cinta ini?” “Mengapa tak percaya dengan perasaan ini?”
Mengharapkan sang Dewi Shinta untuk bersedia menjadi pendamping sehidup semati.
Beratus-ratus kali meyakinkan diri bahwa cinta memang milik semua makhluk ciptaan Tuhan bukan?
Jadi, di mana letak kesalahan manakala hati menjatuhkan pilihan pada sang dewi pujaan hati?
Hingga kubiarkan sang Dewi Shinta kembali dengan utuh Kubiarkan diri ini larut dalam kubangan kepedihan dan penyesalan tak berpenghujung
Jadi kukatakan kepadamu, sekali lagi, Sebenarnya dakulah sang pemenang itu, dakulah sang pejuang gigih yang rela menyongsong kematian dengan sepenuh−kerinduan (Rahwana).
Riuh. Ricuh. Tak Acuh
“Siapa kita berhak memutuskan pelabuhan mana bagi tiap-tiap cinta di jiwa manusia?”
Dia, Sangkuriang
Anak paling gila di semesta kita, nyalak matanya tegas ia tak akan goyah Tak ada alasan, tak ada penjelasan Cintanya sudi tak sudi dipupuskan “Kita tak bisa, depan jurang samping tebing.” Sumbi menangis
Wanita paling merana, membesarkan anak gila yg mem buatnya juga merasa gila
Keduanya diam, tak ada ujungnya Ataukah, memang hanya diam yg menjadi jawab
Oh Sumbi, sungguh pun orang paling durjana tiada yg dapat menyaingi kerisauan hatimu
Oh Sumbi, Oh..
(Nanda Amala)
Asap lilin meliuk-liuk menirukan tarian paling elok sang penari Diiringi ritmis merdu tetes hujan yang jatuh memeluk bumi
Roti-roti dan lain-lainnya tersusun rapi, mengiringi senyum gadis manis tak bertepi Sungguh pun, hari itu, akan aku gadaikan seluruh hari terbaik yg aku miliki
Meniup asap, memotong roti Bongkahan emas berjejer rapi dalam balutan kain diatas meja persegi, “Ayo, bersama kita buka!” aba-aba Ibu menyerui. Hari itu, sungguh pun aku ikhlaskan segala-galanya yang aku miliki Hari itu, satu kali lagi upacara menghitung kematian kurayakan dengan happy
Ombak berdansa dengan karang, puluhan sepatu masuk menggeram. Rasa tenang menghilang, ditelan keramaian mesiu yang beterbangan. Kapal itu, tenggelam sendirian menapak pada lautan yang mulai terguncang nestapa datang beriringan memeluk sukma yang berang. Demi Tuhan kami bersumpah, tiada tangan yang menjamah barang sejengkal pun tak pernah. Meski kapal itu tenggelam sendirian dada ini tetap menjemput keabadian dada ini bersolek dengan berlian dan kepeng di tangan. Dada-dada pembawa kehidupan, kini berjalan menjemput keabadian. Suara kami pun sahut-sahutan, melahirkan alunan biola malam. Dansa di pesta pora kami sajikan di bawah lampu milik alam. Sedetik kemudian, kami terlukis dalam buku usang.
Pax Neerlandica, telah membawa kami ke pangkuan Tuhan.
aku mengeluh pada hujan yang tak kunjung terang bajuku basah, sepatuku bau sampah langit, tolonglah bersudah aku bosan mencium dinginnya rintik, menghitung detik demi detik menunggu air kembali naik aku berbisik, pada setan kecil di ujung bilik “Gusti, tolong jangan hujan tiap hari.” Lalu, untaian sinyal menerbangkan pesan pada Tuhan yang rebahan ha.ha.ha aku rasa Tuhan pun sudah paham samar-samar tawa penghuni langit menciumi tengkukku dan... sewaktu kemudian, surya dengan gagah menyapa atap kehidupan Hai Tuhan, agaknya kau membaca story wa-ku semalam
(Nuur Atikah)
Tertatih dengan naungan bersinar dalam kejolak sendu
Menjadi sorotan hanyut dalam nestapa
Pohon pohon menyapaku dengan senyuman
Menuntunku pada keajaiban dunia
Mengikat sebuah dimensi waktu Sepeda bagaikan ruang yang menghantarkanku pada impian
Jatuh bangun kulewati dengan unta ajaib yang kumiliki
Tertatih sana-sini dalam sentuhan semangat menggelora Menyapa dengan impian yang kutekatkan Menjadi sebuah bijaksa dengan talenta
Olahan roda berputar menjadi sorotan mata Menjadi talenta alami memakan sebuah gejolak sendu
Kehidupan yang menyorot pada tujuan alami
Mendewasakanku pada impian yang kutekadkan
Lentera Menyinari Bakatku yang Terpendam (Nuur Atikah)
Semerbak indah dalam naungan mempesona
Menyoroti pagi dalam sebuah kegelisahan yang nestama
Entah ke mana bakatku ini
Hingga isak tangis pun datang mengeluh padaku Lentera bersinar yang meghiburku dalam sendu
Keesokan harinya kebangkitan semangat dalam hidup
Menjelma pada api yang menyala menaungi sebuah gejolak sendu
Suasana biru mewarnai kehidupan jiwa yang ada Batinku menaungi suri pada talenta keajaiban
Kehidupan pasti ada keajaiban yang menggelora
Pasti ada bakat yang ada dalam diri
Menaungi dalam sebuah talenta
Kekuatan ilmiah pada sebuah kinerja ajaib
Sehingga sebuah keberhasilan muncul dalam nestapa
(Regina Selfiana Kalami)
seandainya aku punya sayap akan kuterbang menuju rumah seandainya aku pintu keluar masuk akan kulewati tanpa pamit seandainya tak ada rindu akan kulewati tanpa tangis seandainya tak ada lelah akan kulewati tanpa berhenti seandainya fajar tak berganti arah hatiku tak leluntuhan di balik dinding kamar aroma masakkan yang tak sama membuat rasa yang berbeda seandainya pilot memutar balik arah akan ku katakan tak ingin pergi
(Regina selfiana kalami)
Suatu hari di tahun 1945 bendera berkibar dengan rasa semangat yang tak memandang perbedaan. ”Apapun warna kulitmu, apapun agamamu, kita Indonesia!” Pertumpahan darah, Sebuah pedang kecil, sebuah senjata tanpa peluru berjuang tanpa makan, tanpa minum, tidur pun tak nyenyak.
Semuanya telah usai. Kabar kebebasan telah tersebar di mana-mana. “MERDEKA!” MERDEKA!”
Banyak air mata kebahagiaan membanjiri jalanan Menghapus bekas darah, membasahi baju. Menghilangkan noda darah. “NAMUN” suara kepahitan seorang gadis mulai membeku.
Mengapa? 2022 semua perjuangan para “PAHLAWAN” hilang begitu saja tanpa ada perjuangan tanpa ada pertumpahan darah apa sebabnya dan apa penyebabnya gadis itu sendiri pun merenung.
Jika tak ada para “PAHLAWAN” ini bagaimana nasibku di tahun 2022? bisa sebahagia ini dan bisa senyaman ini? jika memb yangkan “PAHLAWAN” ini masih hidup, mereka akan mengatakan sia-sia perjuangan kita.
Sepi dalam Ramai (Qois Mustaghfiri Asyrofi)
Rumah yang biasanya kesepian
Polos seakan tak punya beban
Saat ini ramai oleh banyak orang
Ditemani pula oleh tenda dan bendera putih
Masih kujaga senyuman ini
Senyumku berkata dia tak akan pergi
Sekelilingku ramai namun tetap terasa sepi
Hanya senyum ini yang menemaniku
Melodi mobil putih mulai terdengar
Bersama cahaya merah yang menyala
Perlahan mendekat ke arahku
Menyerahkan tubuh yang dibungkus kain putih
Senyum yang katanya tak akan pergi
Kini dipaksa pergi oleh tangis
Kulihat tubuhnya yang diam
Seakan mengabaikanku yang berteriak memanggil namanya
Runtuhnya langit pagi ini seakan-akan berbicara akan ada sesuatu yang bermakna kelam Lama ku terjongkok di dalam jamban tua tak kunjung datang sebuah jawaban Aku mengerti, ketika getar langkah datang mendekat suara wanita paruh baya, lembut sedikit ragu Isak tangis, dan jerit yang menyambut mengantarkan jawaban yang kutunggu Jiwaku runtuh, bumi dan lututku saling menyentuh Telapak kaki yang istimewa kini telah tiada Tempatku berpulang dikala rapuh Kini hilang meninggalkan duka.
“Di sini surut, bagaimana bisa aku memandikannya? Untuk berendam saja sudah tak bisa. Sebaiknya aku membawanya ke hilir kali,”
Pikir Ki Kerti sepintas lalu tanpa mengingat pesan dari iparnya. Di hilir yang luas dan air yang deras, tak sadar seperti tanggul yang jebol air menerjang. Hanyut tenggelam dirinya dan Kyai Dwipangga hilang ke selatan.
“Kali Gajah Wong,” Ucap Sultan Agung dengan nada yang berat, menahan duka atas apa yang terjadi. Seperti hanyut kabar itu, Hingga kini hanya nama yang mengenang duka atas peristiwa. Duka yang mengenang gajah dan orang.
(Rengga Fitrianingsih)
Rembulan mengintip celah jendela Mendengar kabar angin subuh yang bertiup tipis Suratnya datang dengan menggigil Di sudut ruangan hatiku beku
Malam tak lagi jadi panjang Jangkrik hilang ditelan fajar. Lalu kupu-kupu bersolek di atap-atap rumah. Seperti aku
Teratai yang malu-malu terganti amarilis yang percaya diri
Dinding kamar tuli dan meradang Memutus benang-benang merah. Dari jari yang pernah menutup atap-atap rumah. Juga lubang-lubang kesepian yang akan kembali kita telan.
(Rengga Fitrianingsih)
“Sebab racun akan luruh bersama asmaraku yang membara liar.”
Tidur Julia dua hari lalu dikira mati membeku.
Kesengsaraan menggerayang dari kaki yang berpeluk tubuh dingin Roma. Rambut Julia, mengurai pada wajah beraroma kesetiaan. Sebab itu ia biarkan tidurnya berumur panjang.
“Roma dan Julia telah tiada; cinta mereka abadi di tangan dewa!”
Esoknya mereka ditempatkan di runi. Penuh dengan bungabunga dan lambang-lambang kesetiaan—kesatuan—keabadian. Ratu yang marah lalu berdiam diri di singgasana.
“Cintakulah yang paling abadi. Mengapa kau mencintai pemuda yang membuatmu mangkat? Mengapa, cinta? mengapa cinta memutus kasih ibu pada anaknya?”
(Rizki Amalia Putri Hidayat)
Lalu lalang kaki tergesa untuk berteduh
Melindungi diri dalam ruang beratap
Padahal satu tetes hujan pun tak ada
Langit kala itu pekat, bukan sorot sinar yang tampak
“Segera masuk, Nak,” tegas Ibu kepada putra sulungnya
“Sayangi matamu yang indah.
Matahari yang ramah sedang marah siang ini.”
“Apakah matahari bisa merenggut kenikmatan melihatku, Ibu?”
“Lekaslah masuk sebelum terlambat.”
Tak ada orang satu pun bahkan dari sudut mana pun.
(Rizki Amalia Putri Hidayat)
Hembus angin menyelinap mengusap tubuhku
Kala itu malam sedang bahagia kiranya
Menunjukkan garis senyum lewat jajaran bintang yang bertabur
Lain denganku yang terkungkung dalam selimut bulu
Di sela malam indah telingaku ingin muntah
Di sela malam indah mataku ingin meruah
Di sela malam indah mulutku ingin bertuah
Seperti dialog angin yang membuat daun mengangguk di rantingnya
Aku dengan aksaku sepakat
Bertahan meski tak tahan
Mengalir meski tak jalan
Setelah mendengar hiruk pikuk yang didengar Hingga telingaku mual
(Salasatul Ramadhinta Putri)
Roda yang menggerus kerikil jalanan Langit yang seolah mengiringi langkah hilang arah Dengan angin malam yang turut memeluk jiwa yang resah
Malam itu, lampu-lampu menyilaukan mata memandang Meraup sejuta atensi dari dalam diri yang renta ini Ah, kenyataan itu, benarkah terjadi?
Diri yang masih haus akan atensi, mencoba membiarkan orang itu pergi Pergi ke tempat yang entah di mana muaranya Ke tempat yang damai, sepertinya.
(Salasatul Ramadhinta Putri)
Monster itu sejatinya menakutkan, bukan? Tapi, lama-lama mengapa bisa tumbuh cinta? Jatuh hati dengan monster, ah yang benar saja.
Namun, konon katanya, terlepas dari apapun itu, cinta tak pernah memandang baik dan buruknya. Wujud nyata datang dari perempuan itu yang mencintai sosok monster menakutkan.
“Aku mencintaimu tanpa tapi,” begitu katanya. Ah cinta yang indah, melengkapi yang kurang, dan memangkas yang kelebihan. Cinta itulah yang menutupi segala kekurangan diri. Cinta itulah yang menyempurnakan aku dan kamu, jadi kita.
(Salma Najihah)
Entah mengapa ombak laut begitu tenang
Sunyi senyap sang surya menghilang
Kicau burung memekik kesendirian
Merasuk sang bayu dalam kegelisahan
Bulan lalu kita mengakhiri kisah panjang
Cengkerama dan guyonan kian menghilang
Tahukah kamu duhai kawanku
Diri ini ragu untuk sekadar bertemu
Jauh kupandang kita berseberang Hanya doa yang kian melintang
Berat hasrat kuingin berjumpa
Rindu membuncah dalam dada
Desir angin kian mendayu
Menggugah sadar lamunanku
Lambai tanganmu hilang dipandang
Oh Tuhan, ini sudah siang
(Salma Najihah)
“Tujuh belas tahun lalu aku memanggilmu Timun Mas.” Kalimat sederhana yang merasuk kalbu Kepedihan menggelayuti hati sang Ibunda Yang tak kuasa menahan isak tangisnya
Takdir memang berjalan sedemikian rupa. Janji yang terucap tak dapat diingkari oleh sang Ibu. yang bertaruh dengan Buto Ijo. Isak tangis melepas perawan tujuh belas tahun menghujami batin Timun Mas.
“Pergilah, bawalah bekal ini!”
Teriak sang ibu sembari berdoa untuk putrinya Memaksa lari putri yang dicintainya Hingga kembali dalam pelukannya
(Tundra Alif Juliant)
Seekor lebah merindukan setangkai bunga matahari
Tatkala malam sunyi berganti huru-hara pagi
Ruang berlabuh setengah populasi berakhir runtuh
Tertimpa dahan kayu terkemas tangguh
Dekap menyeringai begitu aman
Kecup manis begitu nyaman
Selintas sirna dari peradaban
Jejak pun tak terdefinisikan
Lebah dengan bunga
Pena dengan tinta
Hubungan sejuta makna
Walau akhirnya akan binasa
Tak ada yang benar benar menetap
Sekalipun rasa telah tertuang resap
Ada yang rela menahan rindu tak terbalaskan
Lantaran kata temu adalah ketidakmungkinan
(Tundra Alif Juliant)
“Aku bersedia menerimamu dengan satu syarat.”
Ucap seorang putri kerajaan prambanan kepada pemimpin kejam tak terkalahkan. bengis, sadis, tiada belas kasihan menghiasi suasana kala itu. Lantaran dipaksa menikahi pembunuh Ayahnya.
“Apapun yang kamu minta, pasti akan kuberikan.”
Balas dengan tegas menampar kenyataan bahwa segala hal dapat diusahakan. Seribu candi dalam satu malam bagaikan mimpi yang tak akan jadi kenyataan. Matahari terbit tanda usainya perjuangan, hanya ada kekecewaan. 999 candi terbangun gagah. Namun, tumbang dalam pertempuran pertaruhan, di mana satu candi yang kurang?
“Aku tak pernah kalah. Apa pun yang aku inginkan, pasti akan kudapatkan. Jika aku mau seribu candi, maka aku akan mendapatkannya,” Jadilah ia sebagai candi yang keseribu.
Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu yang membawa canda penuh candu seperti alunan melodi lagu
Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu yang diam membisu meramu tanda tanya di kepalaku
Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu Ia menatapku lekat memunculkan harap agar waktu berjalan lambat
Satu hari aku bertemu Lelaki dengan seruling bambu
(Yanuba Astna Salsabila)
Riak tak bersuara
Pelan menuju tepi Terdorong oleh desir angin Lembut membelai sang tirta
Gugur sudah dedaunan Bersama senda gurau tawa menggelegar Mengapa kau tergelak? Semua tidak ada yang jenaka
Kilau kristal terpantul dari bola matamu Senyum teduh terukir di wajahmu Benarkah bahagia?
Suara lembut menggema Memasuki indra pendengaranku
Ah, kau berbicara Begitu indah, segalanya “Hidupku ini nihil.”
Terkecuali ucapanmu.
“Diam?”
Raut wajah wanitaku itu semakin mendung. Jawaban yang didapat hanya diam merenung. Aku hanya diam membisu, memandang dengan penuh teka-teki.
“Tidak bersuara lagi. Memang sudah hina aku dimatamu, kan?”
Amarah sudah tak terbendung layak magma dalam kandung bumi. Hancur lebur sudah rasa yang digenggam. Deru nafas di ruang hening itu saling bersautan dengan suara kincir yang berputar.
Kurengkuh wanitaku dalam dekapan. Kecil dan ringkih seperti hewan kecil. Wanitaku. Wanitaku. Selembut awan di langit.
“Berbahagialah. Kini kulepas.”
Harap pesan itu dapat dimengerti olehnya. Kekasihku. Pesan tanpa suara. Kulepas. Wanitaku. Awan di langit. Serta suaraku. Wanitaku. Wanitaku. Wanitaku. Kini bukan lagi bagian hidup pria tanpa swara.
Butir air sisa hujan semalam Berjalan di atas tulang daun Angin menuntunnya Jatuh ke tanah
Anak burung pipit, Mengintip pagi dari sarang jerami Udara dingin, Mentari berkelambu kabut
Anak rantau Berkenalan dengan mentari Menghangatkan kampung halaman Yang dingin dalam tubuhnya
(Zain Fauzan Nauval)
Kata per kata Lepas dari puisiku
Mereka mengemas rindu Dalam kalimat sederhana Mencuri bunga yang mekar Agar Aromanya menghiasi jalan tempat kau berjuang
Di tengah Jalan, Kata kehabisan kosa kata kecantikanmu belum lah ada dalam kamus bahasa sepenuhnya Puisiku, masih mencari diksi Untuk kecantikan yang bisa meredupkan purnama
Katapun berpendar Dalam sepotong pagi Yang Jatuh di depan matamu Duhai Adinda Puisi Kehidupan, yang tak pernah habis kubaca