1
Salam Redaksi Menghadapi situasi pandemi COVID-19 dan tantangan pemanasan global yang urung jua selesai, kewaspadaan manusia terhadap alam hendaknya harus berkembang. Seni menjadi salah satu ruang dimana eksplorasi manusia terhadap keresahan tersebut dapat disalurkan dan diekspresikan dalam berbagai terapan medium yang terangkum dalam aliran seni ekologi. Dalam edisi kesepuluh ini, Majala h ART EFFECT hadir dengan tema besar “Seni Ekologi”. Bahasan tersebut dirasa relevan dengan kondisi hubungan timbal balik antara manusia dan alam yang kian hari kian bergerak kearah destruktif. Hadirnya Majalah ART EFFECT #10 diharapkan mampu memberi sumbangsih perspektif tentang bagaimana alam harus dilestarikan, dan perjalanan bentuk-bentuk eksplorasi manusia kepada alam dengan perantara seni. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca Majalah ART EFFECT #10. Redaksi [ae]
2
3
DAFTAR ISI
PUNGGAWA ART EFFECT #10 Pelindung Muhammad Sholahuddin, S.Sn., M.T. Pembina Francisca Sherly Taju, S.Sn., M.Sn. Pemimpin Umum Neo Kaspara Widiastuti/ Film & Televisi 2016 Sekretaris Florentina Krisanti/ Musik 2016 Bendahara Citra Conde Sistyoayu/ Seni Murni 2016 Pemimpin Redaksi Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017 Redaktur Pelaksana Art Effect David Ganap/ Tata Kelola Seni 2014 Citra Conde Sistyoayu/ Seni Murni 2016 Kepala Divisi Ilustrasi Gozi Afdoli/ Seni Murni 2016 Kepala Divisi Fotografi Gozi Afdoli/ Seni Murni 2016 Kepala Divisi Layout Arina Haq L./ Desain Komunikasi Visual 2017 Redaktur Miftachul Arifin/ Televisi dan Film 2015 Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017 Florentina Krisanti/ Musik 2016 Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016 Citra Conde Sistyoayu/ Seni Murni 2016 Gozi Afdoli/ Seni Murni 2016 Syahrul Zidane Assidiq/ Fotografi 2019 Isanatungga Banuputri/ Tata Kelola Seni 2019 Savira Dwirahmawati/ Desain Produk 2019 Wahyu Ramadhan/ DKV 2019 Siti Malihatussa’diyyah/ Tata Kelola Seni 2019 Usnul Hotimah/ Seni Kriya 2019 Tri Pamungkas Aji/ Fotografi 2019 Faiqotul Mustabsyiroh/ Batik dan Fashion 2019 Desi Sofianti/ Seni Murni 2019 Lydia Stefina F. P. / Desain Komunikasi Visual 2019 Ventie Athiya Aziza/ Batik dan Fashion 2019
4
Ilustrasi Gozi Afdoli/ Seni Murni 2016 Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017 Citra Conde Sistyoayu/ Seni Murni 2016 Muhammad Abi Hamzah/ Seni Murni 2019 Desi Sofianti/ Seni Murni 2019 Nadya Aurora S./ Desain Komunikasi Visual 2019 Yusup Maulana Ramdani/ Seni Murni 2019 Fotografi Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017 Layout Arina Haq L./ Desain Komunikasi Visual 2017 Tri Pamungkas Aji/ Fotografi 2019 Ventie Athiya/ Batik dan Fashion 2019 Editor Miftachul Arifin/ Televisi dan Film 2015 Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017 Florentina Krisanti/ Musik 2016 Neo Kaspara Widiastuti/ Film & Televisi 2016 Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016 Distributor dan Percetakan Arina Haq / Desain Komunikasi Visual 2017 Neo Kaspara Widiastuti/ Film & Televisi 2016
Kontributor Prof. M. Dwi Marianto, M.F.A., Ph.D. Dr. Widya Poerwoko Sugada, M. Sn. (Yaya) I Wayan Sujana (Suklu) Tara Loretta Muhammad Sulthoni (Konde) Komunitas Gumi Bamboo Cover: Abbas
UKM Pers Mahasiswa Pressisi Gedung Student Center Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jl. Parangtritis KM 6,5, Sewon, Bantul, D.I.Y 55188 Indonesia CP: +62 812 - 2948 - 3043 Web: lpmpressisi.com Facebook: LPM Pressisi Instagram: @lpmpressisi Email: isipressisi@gmail.com Line: @xkx2666m
LAPORAN UTAMA 6 Eco Art: Alat Rehabilitasi Alam 10 Seni Memaknai Ekologi
RETROSPEKTIF 12 Memancing Keingintahuan terhadap Molekul melalui Alphabet Moles dalam Art Bali 2019
BUAH PIKIR 20 Pentingnya Aksi dan Relasi dalam Eco-Art
REMBUG SENI 24 Ruas Bambu Nusa Eco-Art Education Centre
SIBAK TRADISI
28 Merawat Srandul Melestarikan Warisan Budaya Jogja
MEMORIA 32 Eco-Art Jembatan dari “Lisan” Tuhan
WISUDAWAN 38 GELAR KARYA 40 Galeri Event
POTRAIT 42 Muhammad Sulthoni: Berawal dari Kepedulian
RUPA GAYA 46 Sustainable ala Mahasiswa Seni
GEROMBOL SENI 50 Komunitas “Gumi Bamboo” Berdayakan Wanita Lokal
LAPORAN UTAMA
Oleh Id’dha Parta Driasmara / Film dan Televisi 2017
Alam
S
epanjang eksistensinya, manusia akan selalu memanfaatkan alam dengan berbagai cara dan motif. Menilik fakta beberapa dekade belakangan, patut disayangkan hubungan tersebut menyebabkan kondisi alam di banyak tempat mengalami kerusakan. Usaha-usaha untuk mengatasi kerusakan alam sudah banyak dilakukan dalam berbagai metode. Namun, upaya tersebut akan sia-sia jika sudut pandang manusia terhadap alam tidak diperbaiki. Oleh karenanya, diperlukan medium yang bisa memberikan pemahaman terkait pemulihan alam memberikan pemahaman terkait pemulihan alam dengan metode induksi yang bersifat global dan mampu mempengaruhi aspek emosi manusia secara mendalam. Seni, sebagai alat komunikator estetika dan medium propaganda mampu menjadi senjata yang jitu untuk membenahi pola pikir dan kebudayaan manusia yang bergerak keranah destruktif tersebut. Dalam dunia seni, aliran ilmu yang merujuk pada pemulihan, pelestarian, dan keberlangsungan kehidupan alam dikenal sebagai eco-art. Eco-art atau seni ekologi secara umum berfokus pada hubungan timbal balik manusia dengan lingkungannya.
66
Secara teoritis, seni ekologi adalah abstrak yang ditujukan kepada karya yang selalu mengangkat isu-isu saintifik dalam hal permasalahan alam. Dalam perkembangannya, hal tersebut mengerucut kepada proses kreatif yang muncul sebagai reaksi atas fenomena kerusakan alam tertentu. Gagasan yang dibentuk dalam seni ekologi mencakup banyak media terapan seperti seni lukis, pertunjukan, fotografi, dan bentuk kesenian lain yang biasa menjadi bahan konsumsi penikmat seni dewasa ini. Pesan yang terkandung dalam karya-karya seni ekologi banyak ditujukan untuk mendidik masyarakat terkait isuisu lingkungan, alternatif solusinya, dan menumbuhkan rasa menghargai terhadap alam. Produk-produk eco-art memiliki visi yang sama, yakni memperbaiki parameter masyarakat dalam memaknai kesadaran lingkungan supaya tumbuh ke arah perbaikan. Seni ekologi memaknai kesadaran lingkungan dengan menyediakan perspektif mawas terhadap kelangsungan lingkungan hidup pada aspek fisik, biologis, maupun budaya melalui berbagai macam bentuk karya atau kultur aktivitas yang dapat dilakukan oleh manusia.
Sedikit menilik ke belakang, runtutan perkembangan sejarah seni ekologi tidak bisa dipisahkan dari krisis yang terjadi secara masif di seluruh dunia setelah Perang Dunia II usai. Susanne Darabas, seorang peneliti sejarah dan seni Eropa menerangkan sejarah tersebut dalam penelitiannya yang bertajuk A Short History of Environtment Art. Ketika Perang Dunia II usai, seni secara umum mengalami kelahiran baru dengan munculnya aliran seni ekspresionisme abstrak yang berpusat di Amerika Serikat. Setelahnya, objek-objek seni lahir dengan bawaan dominasi pemaknaan dan kandungan nilai yang prinsipil dan subjektif. Pada era ini, seniman yang bergerak dengan aliran tersebut mulai merespons kerusakan alam seiring pemulihan lingkungan yang terjadi setelah Perang Dunia II. Memasuki era industrialisasi di mana lingkungan tidak lagi menjadi objek penting yang harus diperhatikan seperti seharusnya, kini eco-art tengah dibicarakan banyak kalangan, utamanya para pegiat seni dan aktivis lingkungan. Tahun 2017 lalu, gerakan ini tercermin salah satunya pada bentuk demonstrasi penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali yang dilakukan oleh para aktivis dan seniman. Hal itu dilakukan melalui aksi dan poster-poster pergerakan yang dibuat secara reguler. Melihat contoh tersebut, tentu eco-art kini memiliki urgensi
Ilustrasi Id’dha Parta Driasmara/ Film & Televisi 2017
Eco-Art: Alat Rehabilitasi
7
yang besar terhadap kelestarian alam yang kita huni bersama. Agar dapat menuju pencapaian itu, diperlukan pemahaman yang benar bagi seniman maupun masyarakat untuk akhirnya bisa berkolaborasi bersama melakukan rehabilitasi alam melalui medium eco-art.
Ciri utama pembentuk karya eco-art yakni tema persuasi yang tersirat untuk mengajak suatu kelompok masyarakat memiliki kesadaran akan kelestarian alam, kesadaran akan kelestarian alam, dan diikuti oleh penularan standing position atas fenomena yang diangkat dalam karya. Selain itu, karya eco-art juga menyajikan tanda tanya mengenai sebuah fenomena alam, dan memberikan suguhan pemikiran kontemplatif atas fenomena tersebut yang disajikan dalam kias metaphor. Ringkasnya, karya eco-art berisi stimulan potensi pemikiran ataupun dialog sosio-kultural yang bisa diadopsi oleh siapapun penghayat alam secara khusus, dan kelangsungan hidup manusia secara umum.
Tidak diragukan lagi, bahwa seni memiliki kemampuan untuk mempengaruhi manusia, bahkan kelompok masyarakat. Namun dalam praktiknya, seni harus memiliki koridor pengkaryaan. Pengkaryaan dalam objek-objek seni ekologi menuntut adanya kepekaan dan inovasi untuk bisa memaksimalkan pengutaraan kandungan nilai yang disematkan dalam karya. Dengan kata lain, produk eco-art harus mewakili pemikiran subjektif seniman atas fenomena alam tertentu, namun juga harus mempertimbangkan bagaimana pesan yang dikandung dapat terekspos oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan proses pemaknaan yang baik untuk mampu membaca karya eco-art sebagai sebuah medium pembawa ajakan, dan bukanlah potongan karya bersifat entertaintment semata.
Tidak salah kemudian jika dikatakan bahwa seni ekologi merupakan alat yang berfungsi memperbaiki kelestarian alam dan kehidupan manusia. Rehabilitasi alam tersebut dapat tercapai melalui proses mengilhami dan menelaah relasi antara keduanya. Dalam sisi tertentu, eco-art mampu mengaktivasi sudut kemanusiaan. Hal tersebut adalah satu wujud fungsi seni ekologi yang tentu dapat sama-sama diimani demi kehidupan yang tetap lestari dan lebih baik dimasa mendatang. [ae]
Ilustrasi Citra Conde Sistyoayu/ Seni Murni 2016
8
9
LAPORAN UTAMA
E K O LO GI
L
ingkungan dan seni merupakan sebuah keniscayaan dengan kepentingan-kepentingan yang melingkupi dan menandai kehidupan manusia. Keduanya saling memiliki kehendak atas segala pilihan yang terjadi pada realitas. Dunia eco-art atau seni ekologi menganut seni murni dan terapan, dengan sudut pandang dari seni yang pada dasarnya adalah saling berlintas batas. Dalam praktiknya, lingkungan dan seni memiliki upaya untuk bertindak berdasarkan hal-hal yang sudah berlaku. Memahami ekologi dan seni, memahami pula persoalan pada kehidupan sehari-hari, bagaimana seni memaknai ekologi, dan bagaimana ekologi diaktualisasi dalam seni.
Oleh Karina Devi Saraswati/ Desain Produk 2016
Ia hanya hidup dalam dunia batinnya sendiri, tidak menyentuh masyarakat, dan tidak memberi solusi. Secara ekologis, seni berproses sebagai medium dengan berbagai asumsi dan landasannya. Sedangkan lewat kacamata seni, lingkungan memiliki kodrat dibandingkan dengan faktualnya. Eco-art ibarat ilmuwan
Widya Poerwoko Soegarda atau biasa dipanggil Yaya, selaku pendiri Ruas Bambu Nusa sekaligus penggagas dan redaksi majalah D’EcoArt mengatakan, orang-orang agrarislah yang menyubsidi orang kota melalui bercocok tanam. Semenjak Yaya memutuskan untuk hidup berdampingan dengan masyarakat di desa, dirinya merasa perlu berpengetahuan cukup. Tanpa pengetahuan, seniman tidak bisa membumi.
yang tumbuh bersama masyarakat, lalu mengajak untuk memahami alam kemudian saling mengatasi persoalannya melalui proses kreatif. Seni ini sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan di tempat spesifik di mana karya tersebut diciptakan. Seniman menempati posisi sebagai cendekiawan, dengan pengaruh besar untuk mengajak publik berpikir sekaligus terjun dalam kondisi lingkungan yang dilanda permasalahan. Seniman juga mengambil peran kultural untuk terlibat dalam mengurangi krisis ekologis baik akibat pemanasan global, pencemaran laut, maupun tindakan ekspansi alam.
contoh instalasi yang merespons isu ekologis berupa penambangan pasir di sana. Hadirnya seni instalasi seperti yang dilakukan Yaya selain dalam estetika, bertujuan mengedukasi publik mengenai peran alam bagi kehidupan manusia. Semua kembali pada kesadaran para seniman mengenai keinginannya untuk terlibat dalam isu lingkungan, sebagaimana keterlibatan terhadap masalah ekologis merupakan tanggung jawab sosio-kultural. [ae]
Selain mendidik dan melibatkan masyarakat setempat untuk memahami isu lingkungan, eco-art juga memberikan solusi alternatif. Hal ini merupakan ciri dari kerja kreatif para senimannya. Seni ekologi merupakan karya kreatif yang melibatkan dua belah pihak, yakni seniman dan komunitas masyarakat. Hubungan ini dapat menumbuhkan implikasi positif bagi masyarakat mengenai kesadaran akan sebuah nilai manusia sebagai makhluk berakal di tengah krisis lingkungan. Seperti yang dilakukan Yaya bagi masyarakat di kawasan lereng Gunung Merapi, ia menciptakan Integrated Space Design guna mempertahankan keberlanjutan hidup masyarakat setempat akibat penambangan pasir liar, sekaligus menyelesaikan disertasinya. Bagi Yaya, respect terhadap lingkungan merupakan cara untuk menolong diri sendiri. Integrated Space Design sebagai
Ilustrasi Desi Sofianti/ Seni Murni 2019
SENI M E M A K N A I
Ilustrasi Yusup Maulana Ramdani/ Seni Murni 2019
10
11
RETROSPEKTIF
Memancing Keingintahuan terhadap Molekul melalui Alphabet Moles dalam Art Bali 2 019 Oleh I Wayan Sujana (Su k lu)
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa membicarakan soal Ekologi dan Kultur Agraris, erat kaitannya dengan “mengenang”. Hal ini pun dilakukan oleh seorang seniman berdarah Bali, I Wayan Sujana Suklu, melalui karya instalasi berjudul Alphabet Moles. Instalasi yang menjadi karya utama atau commisioner work dalam pameran tahunan Art Bali 2019 ini memanfaatkan bambu sebagai mediumnya. Sang seniman, menggagas konsep molekul dan mengolah rangkaianrangkaian bambu untuk mengejawantahkan konsep tersebut. Bambu-bambu tersebut disusun sedemikian rupa, untuk merepresentasikan bentuk-bentuk lain dari implementasi keberadaan molekul pembentuk semesta dan makhluk hidup. Seperti deskripsi atau caption yang diberikan oleh Suklu pada karyanya, Molekul membentuk semesta dan makhluk hidup. Molekul beralih rupa menjadi alfabet di setiap tubuh-tubuh makhluk. Menjadi padat, cair, ringan menembus ruang dan waktu fisik serta mental spiritual Alfabet Moles, sebentuk
12
rupa dikendalikan gagasan tentang sinyal-sinyal memori yang ingin bicara tentang kesatuan manusia. Karya ini pun memosisikan diri menjadi interaktif, dapat dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai wahana bermain. Mereka dapat memanjatnya dan berjalan-jalan melintasi satu sisi ke sisi lain. Selain itu, Alphabet Moles pun menjadi arsip yang membawa konsep mengenai memori atau ingatan makhluk hidup (khususnya manusia) atas komponen penyusun terkecil masingmasing yang telah ada sejak miliaran tahun lamanya, yakni molekul. Namun, Suklu tidak ingin dipandang sebagai seniman Eco Art. Ia menolak penggunaan istilah tersebut, karena merupakan pendatang baru, sementara kebiasaan memanfaatkan apa yang dikandung oleh alam atau lingkungan sekitar telah ada sejak lama, khususnya relasi antara bambu dan masyarakat. Menurutnya, kultur agraris telah membudaya dan mengakar kuat dalam kearifan lokal masyarakat setempat, jauh sebelum istilah, ilmu, maupun definisi dari
Eco Art itu tertulis dan digaungkan oleh keilmuan barat. “Kalau saya berangkatnya justru tidak berdasarkan keilmuan barat. Mereka dengan sangat pintar membrainding, Eco Art, Barok Art, yang macam-macam. Saya justru berangkat dari tradisi di Bali menggunakan bambu itu. Pemakaiannya pun sangat luas, meliputi batang, daun, ranting, untuk upacara, adat istiadat, acara-acara keagamaan, semua terpakai kalau di Bali. Bambu pun memiliki banyak nama dan jenis. Setiap jenis juga memiliki fungsi yang berbeda-beda. Dari situlah saya justru tertarik mengangkat bambu. Ketika belakangan dianggap karya saya ini Eco Art, itu terserah mereka. Padahal kesadaran saya justru dipengaruhi dari kearifan tradisi yang begitu dekat dan akrab, karena saya tinggal di desa.” Momentum yang membuat Suklu hingga akhirnya memutuskan untuk mulai melirik bambu, adalah kesadarannya terhadap kombinasi antara kebutuhan estetik dan psikologis dalam proses seni. “Dari tahun 97 saya menyadari bahwa 13
diketahui manakala mengunjungi kediamannya di Klungkung, Gianyar, Bali. Ia pun menyenangi proses-proses penjamahan bahan-bahan atau medium-medium baru (lintas batas), hingga dapat berinteraksi dengan baik, serta mampu terhubung dan saling memahami antar seniman-karya-bahan.
Pemakaian konstruksi knock down pada pembuatan rumah bambu (gubug) pun diterapkan pada konstruksi Alphabet Moles. “Di situ tiba-tiba ada Quantum Life, kesadaran yang memberikan saya ide dan gagasan tertentu. Berdasarkan itu akhirnya saya mainkan, kombinasi antara keseharian, mencoba menelisiknya, kemudian menemukan hal-hal yang konstruktif, tapi bisa dikembangkan, tidak hanya mentok di satu titik. Saya pun orang yang suka usil melihat, mengamati, kemudian mencoba meng-create sesuatu, mengeksplor, membuat, bereksperimen terkait dengan pembuatan instalasi itu.” Sejarah mencatat, sejumlah karya seniman selain Alphabet Moles tidak hanya mengangkat berbagai problem lingkungan, tapi juga mengampanyekan kultur agraris, kearifan lokal, serta berupaya mendekatkan (mengembalikan) karya-karyanya kepada masyarakat. Sebut saja karya-karya dalam pameran tunggal ‘Panji, Antara Tubuh Dan Bayangan’; ‘Intermingle Art Project, Light Perterrent’ pada 2017; ISI Denpasar bertajuk ‘Intermingle Art Project, Art Fashion’ tahun 2017; serta pameran ‘Sayap dan Waktu’ di Komaneka Fine Art Gallery pada 2016. Kemudian Pameran bersama skala nasional dan internasional: ‘Kontraksi: Pascatradisionalisme” di Galeri Nasional Indonesia April 2019; ‘Balinesse Masters: Aesthetic DNA Trajectories of Balinese Visual Art’ Mei 2019 di ABBC Building; ‘Drawing and Communication’ di Okinawa Prefectural University of Arts, Jepang 2019; dan ‘The Garden’ di The Amerika Club, Singapura. Melalui pengalamannya telah malang-melintang dengan beragammacam karya, Suklu memanfaatkan kayu, batu, fiber, bambu, hingga kaca sebagai medium, bahan atau materi. Jejak-jejak ini masih dapat
14
Alphabet Moles / I Wayan Sujana (Suklu)
Alphabet Moles / I Wayan Sujana (Suklu)
kebutuhan estetik dan psikologis. Sementara kebutuhan psikologis ini ternyata terus berkembang. Pertama-tama dulu saya ingin jadi pelukis. Ketika sudah menjalani profesi sebagai pelukis, saya merasa ada kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi. Mulailah saya mencoba ke tiga dimensi, seperti patung. Kemudian karena patung mentok pada titik itu, saya mencoba meng-create bambu. Bambu ini momentumnya justru ketika saya menyadari dan melihat saat petani membuat rumah dari bambu.”
“Saya suka sekali memanfaatkan barang-barang bekas. Merasa tertantang untuk meng-create mereka menjadi sesuatu. Kayak kacakaca bekas yang saya beli untuk nanti jadi lukisan kaca. Satu, kita me-reduce kaca. Kalau tidak di-reduce, dia akan menjadi sampah. Satu sisi, karena memang kita punya tugas untuk meng-create mereka menjadi sesuatu yang berguna, bahkan bernilai art. Mungkin itu sudah kodratnya seniman. Setiap teman-teman seniman pasti punya keunikan dalam melihat lingkungan dan mensiasatinya. Kebetulan saya memang ada dan sangat getol di titik itu.” Speculative memories yang menjadi tema besar dalam Art Bali 2019 pun dapat pula dikaitkan erat dengan pespektif kuantum dan spekulasi-spekulasi yang ditawarkan oleh Suklu mengenai relasi molekul, alfabet, dan makhluk hidup, yang dengan cara lain, juga bisa dianggap sebagai perspektif lain untuk berbicara mengenai kultur agragis, alam, lingkungan hidup, atau kearifan lokal. Ia pun berangkat dari ruang-ruang kuantum dan molekul yang sangat kecil, serta menyimpan beragam macam memori (baik-buruk). Sebagaimana Seni Lingkungan Hidup (Enviromental Art), bahwa “suatu pemandangan tidak ada dalam keberadaannya sendiri, karena penampilan pemandangan itu akan berubah setiap saat, dipengaruhi atmosfer sekeliling yang membuat lanskap tersebut hidup dan memberikan nilai pada subjek-subjek itu (oleh Claude Monet, tokoh Impresionisme)”. Definisi ini sangat sesuai dengan implementasi dan pemanfaatan Alphabet Moles sebagai commissioner work kepada para pengunjung. Ia menjadi semacam wahana yang bisa dinaiki, duduki, dan lintasi dari sisi ke sisi. Kaitan antara lahirnya Alphabet Moles dengan deskripsi atau caption-nya mengenai molekul, berhubungan dengan riset dan latar belakang sang seniman. “Saya sedang riset tentang Quantum Life
15
“Kita sadar dengan materi yang paling kecil itu molekul, itu yang dihidupkan. Dengan saya menyebut Alfabet Moles aja orang sudah penasaran. Orang-orang akan membaca tentang molekul, ada persenyawaan, ion, macam-macam. Mereka akan belajar dan menggali pengetahuan itu. Itu tujuan saya. Jadi dengan saya memunculkan itu, tematik itu, orang akan menengok dan mempelajari hal itu. Ketika saya itu angkat, orang akan membaca ulang dan mengingat lagi memorimemori itu. Mereka akan terangsang untuk ingin tahu, mencari tahu, akhirnya mengetahui dan memahami.” Sang seniman membuat konstruksi Alfabet Moles dengan melibatkan lingkaran-lingkaran yang secara umum menjadi ikon dari molekul. Dirinya mengakui, pemakaian ikon dan bahasa tersebut sebagai pancingan untuk mengungkapkan persoalan molekul menjadi satu bentuk karya, Alfabet Moles. Kendati demikian, baginya, terserah masyarakat akan memahami ataupun menginterpretasinya seperti apa, karena masing-masing pasti punya pengetahuan dan kemampuan menangkap sendiri-sendiri, tidak bisa dipaksakan dengan persepsi yang sama sesuai dengan persepsi pembuat karya. Maknanya pun
16
“Pada instalasi yang saya buat di situ, sengaja saya membuat semacam jalan, bisa naik dan mengalami itu. Rata-rata, kalau bulebule begitu senang mereka yang seperti itu. Anak-anak apalagi, pasti mereka naik.” Salah satu statement-nya, dikutip dari NusaBali.com, tertanggal 22 Desember 2019, menerangkan prosesnya dalam membuat karya yang diawali oleh satu bidang atau bentuk tunggal, khusus, atau tertentu, lalu merespons bentuk tunggal tersebut. Ia mengakui, hasil akhir karya buatannya akan menjadi apa, sangat tergantung konteks suasana saat itu (proses penciptaannya), lingkungan apa yang memengaruhi, dan memori apa yang ia ingat. I Wayan Sujana ‘Suklu’ merespons tema pameran dengan mengeksplorasi ingatan personal atas memori kultur agraris, menggunakan bambu sebagai mediumnya. “Saya memang menghendaki, karena temanya Speculative Memory. Dari mediumnya (bambu) saja sudah, orang akan teringat dan merasa cocok, terkait dengan Agraris Culture. Apalagi dibuatkan konsep atau ide-ide tertentu, jadi lengkaplah saya ambil itu, bambu sebagai medium.”
Alphabet Moles / I Wayan Sujana (Suklu)
Menurutnya, terjadi semacam reaksi kimia antara masyarakat yang beraktivitas dengan karyanya. Mental orang-orang sehat yang terpresser oleh tugas, sudah hilang ketika melakukan aktivitas seni. Molekul, kuantum, energi, gelombang, memori-memori itu akan bisa muncul lagi ketika dia memang dipancing untuk keluar.
dikembalikan ke publik.
Alphabet Moles / I Wayan Sujana (Suklu)
Speculative Memori. S-3 saya pun temanya mobile artlab, lab yang berpindah-pindah, dan menekankan pada membangun peristiwa, mengajak masyarakat aktif masuk ke lab itu. Saya pun sedang secara khusus dan intens, berbicara tentang kebutuhan masyarakat, ketika ada aktivitas seni, kita sampai mengajak dan melibatkan mereka dalam aktivitas seni kita.”
Dirinya pun sempat menyampaikan, bahwa Alphabet Moles dalam Art Bali tersebut baru dasar dan lama-kelamaan akan roboh. Ia menunggu siapapun untuk meresponsnya. “Ini pasti akan roboh lama-kelamaan. Instalasi ini baru dasar, dia akan bisa berkembang terus. Ketika ada orang yang tertarik, apakah itu dari Bali Collection yang di situ atau yang lain, buat lagi. (lebih masuk atau menjamah area lain dalam Bali Collection). Tidak hanya di (gedung) Art Bali. Di situ kan banyak, halaman-halaman, buat yang kecil, buat lagi yang besar. Maksud saya sebetulnya begitu. Kalau
17
didekatkan ke masyarakat, lalu mereka paham, persentasenya akan menjadi cukup besar. Dampaknya juga nanti kembali lagi ke seniman.
Alphabet Moles / I Wayan Sujana (Suklu)
lagi perkembangan dari ini (Alfabet Moles). Karena kan itu hampir 3 bulan 4 bulan. Tapi yang berkembang ke arah Bali Collection belum. Mungkin mereka juga belum siap untuk berkomunikasi. Adapun yang tertarik, tapi tidak ekspresif pada saat itu.”
18
Dikutip dari bentarabudayabali.wordpress.com tertannggal 1 Juni 2011, sebagai upaya menjadikan karya seni rupa agar tidak berjarak dengan publik, metode partisipan dan interaksi atau relational aesthetics dianggap paling memungkinkan bagi karya seni untuk hadir secara komunikatif dan berdampak sosial. Perupa I Wayan Sujana Suklu meyakini metode itu dapat mendorong adanya partisipasi dan interaksi yang lebih hangat antara objek karya dengan publik atau apresiator. Suklu membagikan pengalaman seniman maupun pendidiknya, perihal pentingnya para kreator melakukan eksperimentasi berdasarkan metode tersebut.
“Mereka (masyarakat) pengin butuh seni atau apa, pasti ke seniman. Saking dia tidak paham tentang karya seni, banyak orangorang kaya tidak membeli karya, karena mereka tidak paham. Cuma, di situ ada perputaran uang yang cukup. Itu kan sayang sekali. Kalau memang karena mereka mengerti, bagus. Masa depan seniman semakin oke sekali. Memang harus dirintis dulu dari sekarang, ada proseslah. Mendekatkan seni pada publik, kemudian publik apreciate, mulailah ada kolektor-kolektor baru. Walaupun tujuannya sebetulnya pendidikan. Jadi dengan mendidik masyarakat mengerti tentang seni, mereka pasti apreciate. Soal nanti mereka berani investasi, membeli dan mengoleksi, itu dampak saja. Dan itu pasti.” [ae]
Sebagai proses dan persiapan dalam pembuatan karya Alphabet Moles, Suklu belajar tentang konstruksi melalui komunikasi lintas profesi dengan teman-teman arsitek maupun melihat konstruksi bangunan, untuk diterapkan pada karyanya. Apabila dapat disimpulkan, Alfabet Moles menghadirkan dua bentuk hubungan. Dia (Alfabet Moles) menghubungkan molekul dengan makhluk hidup, dia juga menghubungkan makhluk hidup itu supaya berinteraksi dengan dirinya sendiri sebagai karya. “Makanya saya buat interaksi begitu. Paling enggak, terserah mereka merasakan apa. Paling enggak dapat swafotolah.” Sang seniman ingin selalu mendekatkan kesenian dengan masyarakat. Dirinya ingin masyarakat dilibatkan. Sebab bila kesenian itu terlalu eksklusif, dia akan menjadi semakin kapital, terbatas di Wide-cube, dan hanya dinikmati dalam lingkaran-lingkaran itu. Sementara masyarakat umum tidak akan paham. Namun, jika
19
BUAH PIKIR
“Adanya pohon tidak hanya untuk manusia, tetapi juga hewan dan makhluk hidup di sekitarnya.”
PENTINGNYA AKSI DAN RELASI DALAM ECO-ART
S Oleh Florentina Krisanti / Musik 2016
20
eiring dengan semakin banyaknya isu lingkungan yang digaungkan lewat aktivisme, kini eco-art bisa dibilang menjadi perhatian dunia. Namun apakah karya seni yang mengangkat isu lingkungan sudah bisa disebut sebagai eco-art? Bagaimana eco-art bisa muncul dan menjadi sesuatu yang penting di dunia seni?
Dwi Maryanto, dosen Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta, berpendapat bahwa eco-art muncul karena menurutnya pemikiran bahwa ‘seni untuk keindahan’ terasa sudah ketinggalan zaman. Baginya, daripada seni hanya dibuat untuk tujuan keindahan, lebih baik seni digunakan untuk meningkatkan kesadaran individu akan lingkungan. Dwi merasa masalah lingkungan yang ada di Indonesia, terutama di Yogyakarta, sudah amat sangat parah sehingga tidak bisa dibiarkan begitu saja. Berbagai masalah lingkungan inilah yang membuat Dwi mengajukan adanya mata kuliah eco-art di Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta. “Seni itu kan punya peran strategis. Nah kalau seni cuma untuk ‘seni’, itu gak ada gunanya. Jadi seni bisa berperan menggalang kesadaran, bahwa penting secara bersama-sama maupun individual untuk ikut melestarikan ekosistem, dan juga dalam pelestarian lingkungan,” tuturnya. Dwi mencontohkan karya eco-art dari beberapa seniman yang tidak hanya merawat lingkungan, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup banyak orang. Salah satunya adalah seorang seniman dari Boyolali yang rajin melakukan penghijauan sejak tahun 2000.
Ia merasa tindakan yang dilakukannya adalah aktivitas seni, karena baginya pegunungan yang gersang merupakan sebuah kanvas.Kanvas tersebut tidak perlu diisi dengan cat air atau cat minyak, tetapi digantikan dengan pohon-pohon. Ia juga banyak membuat plakat-plakat peringatan di sekitar hutan supaya masyarakat tidak menebang pohon sembarangan. Usahanya berbuah manis karena daerahnya yang gersang kini telah hijau kembali, bahkan muncul mata air baru sehingga masyarakat tidak perlu bergantung pada PDAM. Bahkan usahanya pun didukung oleh perusahaan besar, misalnya lewat dana corporate social responsibility (CSR) dari PT Pertamina. Adanya eco-art ini tidak hanya mempengaruhi seni murni saja, tetapi juga bidang yang lain, misalnya desain. Dwi mengatakan bahwa berkat pengaruh ecoart, beberapa perusahaan mulai membuat standar baru yang disesuaikan dengan lingkungan. Misalnya, jika kita akan membuat produk dari kayu, maka kita harus tahu jenis kayunya, dari mana asal kayu tersebut, dan apakah kayu itu diambil dari lingkungan yang berkelanjutan atau tidak.
21
Menurut Dwi, eco art seharusnya bisa menjadi kritik bagi kebijakan pembangunan yang tidak menghargai lingkungan. Ia mencontohkan pada tahun 2017, Pemerintah Daerah Bantul menebang 500 pohon yang berusia 20 tahun untuk membuat divider jalan hanya selebar 1,5 meter. Akibatnya, terjadi banjir bandang dan makin diperparah dengan adanya badai cempaka saat itu. Terkait dengan hal ini, Dwi pernah mewawancarai salah satu pekerja yang terlibat. Pekerja tersebut mengatakan bahwa ia juga sedih atas hal ini, tetapi ia hanya bisa menuruti kemauan atasan. Bahkan juga disampaikan bahwa ia tidak tahu tindak lanjut dari penebangan tersebut, misalnya kayu dari penebangan pohon itu akan dibawa ke mana dan dijadikan apa. Dwi juga mengkritik pembangunan rumah makan Bale Raos yang terletak di Selatan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu, bagian
rumah makan Bale Raos dibangun dengan menebang pohon-pohon. “Itu hanya untuk membuat lahan parkir udah nebang pohon yang (usianya) puluhan tahun. Sumbernya airnya dari situ kan pada kering. Karena kalau ada pohon, air akan naik. Kalau nggak ada, udah,” keluhnya. Kebijakan seperti itu muncul karena pemerintah dan pemangku kepentingan yang bersikap masa bodoh dan menganggap kerusakan lingkungan hanyalah mitos belaka. Mereka justru lebih suka mengurusi hal-hal lain seperti agama, daripada hal yang lebih mendesak semacam persoalan lingkungan. Berbagai kisah dan pendapat di atas menunjukkan bahwa aksi dan relasi pada akhirnya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari eco-art. Jika kita mencari pengertian eco-art, kata yang sering muncul bukanlah yang terkesan pasif seperti ‘genre’ atau ‘objek’, tetapi yang bersifat aktif seperti
‘pergerakan’ atau ‘praktik’. Bisa dibilang, eco-art dapat memberikan manfaat pada lingkungan jika sungguh-sungguh memiliki aksi yang nyata. Dwi juga membenarkanbahwa yang terpenting dalam eco-art adalah aksi. Selain aksi konkret, salah satu hal yang penting dalam ecoart adalah relasi; baik relasi antar sesama manusia maupun relasi antara manusia dengan lingkungan. Dwi mencontohkan pohon sebagai cosmic antenna, yang menjadi penghubung antara manusia dengan alam. Adanya pohon tidak hanya untuk manusia, tetapi juga hewan dan makhluk hidup di sekitarnya. Tanpa pohon, cuaca tidak hanya terasa panas, tetapi juga membuat emosi manusia ikut ‘panas’ juga, sehingga mereka mudah bertengkar dengan orang lain. Pentingnya aksi dan relasi inilah yang membuat eco-art tidak hanya menjadi suatu praktik berkarya yang unik, tetapi juga berguna bagi ekosistem. [ae]
Ilustrasi Gozi Afdoli/ Seni Murni 2016
22
23
Ruas Bambu Nusa
Presentasi EcoArt kepada menteri perhubungan Budi Karya. Relevansi antara EcoArt dengan Eco Literacy serta kemandirian ekonomi desa (pak mentri yang pake baju putih maskeran)
REMBUG SENI
Eco-Art Education Centre
Syahrul Zidane Assidiq | Fotografi 2019 Isanatungga Banuputri | Tata Kelola Seni 2019
M
embahas mengenai seni memang tidak akan ada habisnya. Pelaku seni memang selalu punya sejuta ide. Namun, dibalik riuhnya berkesenian kita kadang lupa dengan kondisi alam yang hari demi hari mengalami kerusakan alam. Melihat kondisi lingkungan yang demikian, seorang pelaku seni hadir memberikan makna baru lewat karya dan dengan rendah hati mau berbagi ilmu mengenai seni ekologi yang menyadarkan kita agar tetap menjaga lingkungan. Berada di kaki gunung Merapi tepatnya di Desa Suradadi, Wukirsari, Cangkringan, dan Sleman terdapat sebuah pusat pendidikan khusus seni ekologi atau nama kerennya ecological art dengan nama Ruas Bambu Nusa. Selain sebagai tempat education centre, Ruas Bambu Nusa ini juga merupakan rumah bagi seniman bernama Widya Poerwoko
24
Sugada berkarya. Seniman yang akrab Yaya ini sudah beberapa kali membuat karya instalasi berbahan bambu. Terhitung sejak tahun 2017, sudah ada enam karya yang selesai dikerjakan. Karya-karya tersebut terhimpun dalam seri “ Gelar, Gulur, Ngelar Jagad” yang terdiri atas Orok, Sigar Penggalih, Mendem Kahanan, Suwung, Mo Limo, dan Lawang Awangen. Seluruh karyanya terinspirasi dari spiritualismenya dalam ajaran Taoism.
sebagai pusat edukasi merupakan upaya beliau untuk mendapatkan kembali kesadaran diri. Warisan segala bentuk kreasi seni sejak zaman nenek moyang yang telah dipelajari dan dipahami lalu dikembangkan, tidak akan jauh dari konteks budaya dan lingkungan. Ecological art hadir sebagai ide untuk mempromosikan kembali pengetahuan dasar tentang bagaimana memahami pentingnya kelestarian ekosistem.
Seni Ekologi merupakan salah satu jenis seni yang yang berwawasan lingkungan. Dari dulu hingga sekarang seni tak dapat jauh dari lingkungan. Menyadari bahwa lingkungan yang saat ini makin rusak oleh tangan-tangan manusia tak bertanggung jawab, laku seni yang dilakukan oleh Yaya dimaksudkan sebagai usaha mengembalikan koherensi antara sistem nilai manusia dan pandangannya mengenai alam. Ruang Bambu Nusa
Sama seperti karya-karya instalasi Widya Poerwoko Sugada, edukasi tentang seni ekologi (disini Yaya menyebutnya eco-literatur) juga terinspirasi dari ajaran spiritualisme Taoism. Toaism sendiri merupakan aliran yang mengajarkan tentang keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan alam. Ajaran Taoism yang dimaksud adalah Tao yang bermakna awal, Ying dan Yang artinya dua keseimbangan, Sam Po artinya tiga
perpaduan, Su Sie artinya empat kiblat, Ngo Heng artinya lima elemen, Liok Hap artinya tiga perpaduan dan penggunaan, Cit Sek artinya tujuh warna/rasa, Pat kwa artinya delapan potongan/Rumusan, dan Kiu Tao artinya sembilan malapetaka/ keberuntungan. Sembilan ajaran Taoism ini merupakan visualisasi dari Dasar Falsafah Bentang Alam (The Tao of Silat), ia merupakan representasi dari aspek spiritualitas manusia yang terdiri dari sembilan bagian. Taoism bukan sekedar ilmu bela diri saja, namun juga ilmu untuk menyadari bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta. Kepada penulis, Yaya mengutarakan langsung pengetahuan tersebut yang ingin ia sampaikan kepada teman-teman apabila datang untuk belajar seni ekologi di Ruas Bambu Nusa. Yaya juga menyampaikan jika seni ekologi itu seharusnya tidak 25
Kunjungan Mahasiswa Seni pertunjukan ISI Jogja. Presentasi Konsep Dasar Eco Art sebagai Ruang Interaksi antar Manusia, Manusia dengan Lingkungan dan Manusia dengan Alam. (ini foto pak widya pake baju kuning bersama kerumunan)
merusak lingkungan. Bukan seperti ingin cepat panen beras, lantas memakai pupuk kimia agar mempercepat proses. Seni ekologi akan menunggu dan membiarkan alam berproses seperti apa adanya. Yaya menerangkan alasan dirinya berkreasi menggunakan bambu, karena bambu merupakan tanaman asli di daerah tempat tinggalnya, bambu juga punya karakteristik yang unik. Karena manusia merupakan bagian dari ekosistem alam, jadi sudah menjadi
26
kewajiban kita untuk mencintai alam. Kurang lebih itulah yang ingin disampaikan seniman ecological art. Widya Poerwoko Sugada melalui Ruas Bambu Nusa. Kepada penulis Yaya juga menceritakan pendirian Ruas Bambu Nusa Eco Art Education Centre bermula dari kecemasan beliau terhadap pembangunan yang hari demi hari tak kunjung ramah lingkungan. Karena hal itu, Yaya termotivasi untuk mengedukasi warga tentang kesadaran lingkungan. Menurut beliau seharusnya masyarakat harus lebih menghargai apa
Foto/Dok.Drias Pressisi
yang telah ada bukannya mereka cipta alam seenaknya karena pada dasarnya alam telah menyediakan semua kebutuhan manusia, manusia hanya tinggal merawat dan menunggu kerja alam. Nanti kasihan generasi anak cucu kalian jika alam sudah rusak, SDA (Sumber Daya Alam) habis karena dieksploitasi generasi sebelumnya. Kepada masyarakat Yaya selalu menyampaikan bahwa eco-literatur adalah saat manusia sadar bahwa ia harus menjaga alam untuk
keberlangsungan kehidupan selanjutnya. Karena ekosistem alam itu never ending system. Jika sudah mengetahui itu maka tercapailah maksud dari pedirian Eco Art Education ini. Di akhir wawancara Yaya menyampaikan harapannya pada masyarakat dan seniman muda supaya jeli dan berpandangan luas dalam melihat potensi disekitar. [ae]
27
SIBAK TRADISI
D
Merawat Srandul Melestarikan Warisan Budaya Jogja Oleh : Usnul Khotimah | Batik dan Fashion 2019
aerah Istimewa Yogyakarta, sebuah provinsi di Indonesia yang sarat akan nilainilai kebudayaan. Tetap mempertahankan kesultanan atau kemonarkian dalam menjalankan pemerintahan, menjadi poin penting mengapa kesenian dan kebudayaan di lingkungan Yogyakarta menjadi beragam.
adat,dan spiritual yang tinggi. Tidak menutup kemungkinan satu persatu kebudayaan kian terkikis.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Yogyakarta menjadi kota kesenian dan kebudayaan. Banyaknya kesenian yang lahir dari kehidupan masyarakat Yogyakarta, ditambah perkembangan era digital yang pesat, semakin menggerus kebudayaan yang ada diantara kalangan anak muda. Seperti terjadi adanya gap yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan teknologi antara kesenian dan anak muda itu sendiri, Program pemerintah daerah pun sebenarnya mendukung adanya pelestarian budaya dengan diadadakannya pentas-pentas kesenian melalui dana keistimewaan. Harapannya kesenian tersebut
28
Srandul Suketeki Pentaskan ‘Demang Katendang’ di Tembi Rumah Budaya. https://www.researchgate.net/figure/Gambar-1-Seni-pertunjukan-tradisional-Srandul-Sumber-Tembi-News-2013-Srandul_ fig1_320753771
semakin melebur dengan anak muda, Karena dengan berbagai keistimewaannya namun juga beriringan dengan berbagai kendala yang harus dihadapi, apalagi jika kita merenungkan mengenai masa pelestarian budaya yang masih kuat terjaga atau malah hilang tertelan usia.
Kesenian yang mulai ditinggalkan ini tak lama pasti lenyap jika terus menerus kita tinggalkan. Lantaran banyaknya kesenian yang ada, bahkan untuk sekarang ini sudah jarang bisa kita temukan di yogyakarta. Daerah yang dikenal dengan kota pelajar, serta memiliki keutamaan kesenian,
Jika kita membicarakan tentang adat dan kebudayaan, terdapat salah satu kesenian tradisional yogyakarta yang hampir menghilang. Kesenian srandul, yang belum diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menciptakan. kesenian asli masyarakat Yogyakarta yang hampir tidak kita jumpai untuk sekarang ini, namun bukan berarti tidak ada. Srandul Atau pating srendul, menurut salah satu sumber Yang memiliki arti campur aduk, kesenian Ini di lakukan secara berkelompok yang pemainnya terdiri dari pria dan wanita yang terdiri dari 6 sebagai pemusik dan 9 lainnya menjadi pemain. Pemeran kesenian ini dimainkan oleh pria dan wanita, tetapi juga bisa dimainkan oleh pria saja dengan pria mengggantikan peran wanita dengan mengenakan kostum masyarakat pedesaan seperti kehidupan sehari-hari yang dipadu padankan dengan make up realis dan properti pendukung lainnya termasuk obor sebagai penerangan sederhana dan juga alat musik yang dimainkan. 29
Srandul Suketeki Pentaskan ‘Demang Katendang’ di Tembi Rumah Budaya. Sumber: koranbernas.com
Di dalam penyajian srandul, kita temukan doa yang dipanjatkan didalam adegan diawal pertunjukkan dimana pemain sambil mengelilingi oncor/ obor sambil menyebut “Gusti Allah, Gusti Allah, kami semua mohon ampun, semoga Allah memberi karunia, Ya Allah, semoga memberi ampun, Allah yang telah memberi agama”. Do’a ini bukan hanya sebagai pengisi didalam pementasan, namun juga ditujukan agar kegiatan berjalan dengan lancar tanpa halangan suatu apapun. Setelah itu dilanjutkan dengan tembang kinanthi dari serat
30
wedhatama, yang berisi tentang ajaran budi luhur. Memang pada mulanya, Srandul sering dipentaskan dalam acara pernikahan, namun jika dilihat di masa sekarang ini, bahkan jarang ada kesenian yang ditampilkan pada acara pernikahan. Selain karena membutuhkan biaya yang lebih ditambah memang dari kalangan anak muda kurang tahu akan adanya Srandul. Bahkan untuk mencari siapa pelaku kesenian Srandul di lingkungan
Yogyakarta sendiri bukan perkara mudah, karena memang jarang dipentaskan. Justru, Srandul lebih populer di kota sebelah, Wonogiri dan Klaten. Srandul sebagai kesenian rakyat yang sarat akan nilai luhur memang sebaiknya diwariskaan ke generasi mendatang.
mungkin suatu kesenian itu bisa hilang. Pasalnya Yogyakarta bisa dibilang sebagai episentrum kesenian, apa yang lahir akan tetap dikenang. Anak muda membaur dengan kesenian itu sendiri, bahkan Srandul juga masuk dalam kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa.
Bukan hal yang tidak mungkin suatu kesenian itu menghilang, memang karena tidak ada yang memainkannya, jikapun ada yang memainkannya namun tidak ada yang menontonnya sama saja. Namun jika kita mengingat kembali tentang Yogyakarta sendiri rasanya tidak
Mungkin sebenarnya bukan hilang, namun distribusi informasinya saja yang kurang meluas. Tetap akan ada orang yang terus memainkan kesenian Srandul hanya saja berapa jumlahnya yang menjadi pertanyaan. [ae] 31
MEMORIA
Eco-Art
Jembatan Dari “Li san” Tu ha n Oleh Ventie Athiya A./ Batik dan Fashion 2019 Wahyu Ramadhan/ Desain Komunikasi Visual 2019
“Ketika pohon terakhir sudah ditebang,
Ilustrasi Nadya Aurora Sekartaji/ Desain Komunikasi Visual 2019
K
erusakan lingkungan merupakan isu yang tidak asing serta sangat memprihatinkan saat ini, Seperti layaknya pemanasan global dan pencemaran terhadap lingkungan. Eksploitasi alam yang tidak terkontrol dan berbagai macam hal negatif lainnya yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bumi saat ini, terutama di Indonesia. Pada tahun 2015, United Nations Environment Programme (UNEP), bagian sektor PBB yang menangani permasalahan program lingkungan, menyatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara pengahasil sampah dan emisi buangan terbanyak ke-2 dunia setelah negara Cina kemudian disusul oleh Filipina sebagai peringkat ke-3. Dari isu kali ini, Bapak Dwi Maryanto pun turut mengutarakan pendapat beliau terhadap keadaan yang semakin “gelap” ini, Bapak Dwi Maryanto adalah dosen dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan aktifis sosial yang kerap mengambil andil dalam menyuarakan pelestarian alam di Kota Yogyakarta. Bentuk kepedulian beliau terhadap lingkungan salah satunya menjadi pelopor gerakan eco art di Yogyakarta. Menurut Dwi Maryanto, eco art adalah wujud representasi dari keprihatinan atau wujud empati kita terhadap ekosistem lingkungan sekitar, Hal tersebut bertujuan agar masyarakat sadar dan turut menjaga keseimbangan ekosistem disekitar mereka. Alasan dari kemunculan eco art ini merupakan wujud dari kesadaran bahwa setiap harinya krisis lingkungan semakin berkembang.
ketika sungai terakhir sudah tercemar dan ketika ikan yang terakhir sudah ditangkap, pada saat itu, baru Manusia akan tersadar bahwa uang tak bisa kita makan”.
32
33
Tindakan yang dianggap kurang memikirkan dampak lingkungan seperti membuang sampah di sungai, menjadi masalah serius yang dapat mengancam keberlangsungan lingkungan hidup. Sudah menjadi permasalahan umum di Indonesia, pasalnya masih banyak masyarakat yang tingkat kepeduliannya terhadap lingkungan sangat minim. Tak heran jika masih banyak ditemui sungai-sungai di Indonesia yang penuh dengan sampah, bahkan beberapa diantaranya tercemar dengan limbah. Jika
sayangnya, kepedulian mereka terhadap ciptaan-Nya sangat sedikit. Kita sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya harus saling memuliakan satu sama lain. Entah di mana mereka tinggal, baik di sungai, laut, hutan, tanah, kita yang diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dan diberi akal sehat harus mau menjaga kelestarian tempat tinggalnya. Bagaimanapun tempat tinggal mereka adalah tempat tinggal kita juga. Teguh Ostentrik yang merupakan seorang seniman kelahiran jakarta, membuat suatu karya yang mungangkat tentang terumbu
34
sungai tercemar dapat dipastikan laut pun ikut tercemar, karena sungai bermuara di lautan. Jika yang dibawa setiap harinya adalah sampah dan limbah, hal tersebut akan berdampak serius terhadap keberlangsungan ekosistem laut di Indonesia. Padahal di Indonesia sendiri kekayaan alam bawah lautnya sangat menakjubkan indah. Eco art atau seni ekologi juga memiliki kaitan dengan sisi kereligiusan seseorang. Banyak orang mengaku beribadah yaitu dengan memuliakan Sang Maha Pencipta. Tapi
karang. Karya tersebut terispirasi ketika beliau sedang berlibur di Senggigi, Lombok pada tahun 1984. Beliau terkagum melihat keindahan terumbu karang dan kehidupan lainnya di bawah laut saat bersnorkeling. Kekayaan alam warna-warni dan begitu mempesona dari terumbu karang itu kemudian memberinya inspirasi untuk membuat karya seri baru yang diberi nama Alam Bawah Air. Kemudian pada tahun 2014, beliau di undang sebuah resort di Senggigi, Lombok untuk suatu program. Dari hal tersebut beliau berpikir untuk
Domus Piramidis Dogong/ Hotdetik.com
membuat sesuatu karya yang ditujukan untuk negeri ini. Beliau berkata “Seniman itu adalah binatang yang kadang-kadang bisa berpikir. Saya bukan dekorator, saya tidak mau melukis, atau membuat patung untuk mendekorasi hotel anda. Tetapi saya ingin membuat sesuatu bagi negeri ini, Indonesia” dikutip ketika Pak Teguh tampil di program LeksiKon ARTJOG MMXIX. Kemudian beliau bersama teman-temannya serta anak sulungnya pergi ke tempat yang dulu beliau datangi untuk snorkeling, betapa terkejutnya
beliau melihat dasar laut yang sunyi kosong seperti gurun pasir. Kemudian Pak Teguh memutuskan untuk membuat ARTificial reef (terumbu karang buatan) yang bertujuan untuk mencoba mengembalikan fungsi biologi ekosistem terumbu karang. Beliau mendapat informasi bawasanya 50 tahun terakhir terumbu karang di Indonesia itu rusak, dan para ilmuwan meramalkan pada tahun 2050 jika kita tidak berbuat apapun terumbu karang seluruhnya akan lenyap. Tidak banyak yang mengetahui peran dari keberlangsungannya turumbu karang
35
di kehidupan kita. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang Oseanografi, Terumbu karang memiliki peran besar yaitu menjadi penyumbang oksigen terbesar di dunia sebesar 70%, hal ini adalah bentuk produksi dari proses fotosintesisnya selama di laut. Dari urgensi tersebut terbentuklah sebuah yayasan yang berfokus terhadap terumbu karang di Indonesia, yayasan tesebut bernama Yayasan Terumbu Rupa. Selain membuat Yayasan Terumbu Rupa, beberapa karya lama pribadi beliau seperti kerangkai besi yang tidak terpakai lagi pun ia korbankan untuk di tenggelamkan ke dasar laut agar dijadikan tempat budidaya terumbu karang. Sudah ada beberapa karyanya yang ditenggelamkan ke laut seperti Domus Longus atau rumah panjang di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Domus Piramidis
36
Dogong atau rumah piramida dugong di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, Domus Sepiae atau rumah cumi-cumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Domus Musculi atau rumah siput di Kepulauan Seribu. Tujuan lain eco art adalah sebagai himbauan kepada masyarakat untuk lebih menghargai dan melindungi lingkungan sekitarnya, dengan cara menjadi pengingat jika lingkungan rusak atau hancur semua di dalamnya pun pasti ikut terkena dampaknya. Pepatah Indian Kuno mengatakan “Ketika pohon terakhir sudah ditebang, ketika sungai terakhir sudah tercemar dan ketika ikan yang terakhir sudah ditangkap, pada saat itu, baru Manusia akan tersadar bahwa uang tak bisa kita makan”. Manusia membutuhkan pohon, air, udara, ikan, binatang dan lain lainnya, sedangkan mereka semua tidak butuh manusia. Peran manusia yang jelas terlihat saat ini hanyalah sebatas merusak ekosistem alam. [ae]
Yayasan Terumbu Rupa/ Yayasanlosari.org
37
New Arrivals
Demis� ioner
38
Adi Ardiyansyah
Adinda Lisa Irmanti
Arami Kasih
Anindra Yudha Utami
Bio Andaru
Iwang Yudita Fajar
Lu’lu Farhatul Amaniyah
Osvaldo Jimkelly Lameng
Riani Pajle Disi Silaban
Sandra Wahyuningtyas
Sefthian Fahis Satay
Serena Grabielle Situmeang
39
GELAR KARYA
Galeri Event Id’dha Parta Driasmara | Film & Televisi 2017 Citra Conde | Seni Murni 2016
Foto/Dok.Pribadi
Pameran Seni Lukis – Meskipun ditengah suasana pandemi, tugas akhir bertajuk “Problematika Bahari pada Terumbu Karang” karya Lambertus Adwin Priyagung, mahasiswa Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 2014 diselenggarakan secara offline di Galeri Fajar Sidik ISI Yogyakarta pada 3-6 November 2020. Sejumlah 20 karya yang di pamerkan berlatarbelakang dari pengalaman Adwin mengamati kerusakan terumbu karang. Isu terumbu karang menjadi fokus Adwin dalam tugas akhirnya lantaran didasari oleh rasa empatinya terhadap kehidupan terumbu karang yang mudah rusak karena suhu air di zaman sekarang.
P Foto/Dok.Drias Pressisi
Pentas Tari – Pementasan tugas akhir ujian seleksi dua Jurusan Tari Institut Seni (ISI) Indonesia Yogyakarta berjudul “Tompel” karya koreografer Nonin Elyane Putri telah terselenggara pada 6 Maret 2020 di Stage Tari, ISI Yogyakarta. Pentas tersebut merupakan salah satu syarat untuk memenuhi Tugas Akhir Jurusan Tari.
Foto/Dok.Pribadi
40
ameran dan penayangan seni media rekam Jalan Menuju Media Kreatif (JMMK) #12 dengan mengangkat tema “Media Kreatif di Tengah Pandemi” dilakukan secara online sehingga dapat diakses dan dilihat oleh berbagai kalangan masyarakat melalui laman galeripandeng. isi.ac.id naungan Falkutas Media Rekam (FSMR), Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pameran virtual tersebut diselenggarakan pada 23 Oktober-23 November 2020 yang bertepatan dengan 26 tahun kelahiran FSMR ISI Yogyakarta. JMMK merupakan pameran dan penayangan karya fotografi, film, televisi, serta animasi yang diselenggarakan setiap tahun sebagai sebuah bentuk aktualisasi dari proses pendidikan, pengkaryaan seni di bidang seni media rekam. Acara ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008 di Yogyakarta oleh FSMR sebagai perayaan hari ulang tahun setiap tanggal
23 Oktober sebelum kemudian diadakan di Jember, Bandung, Jakarta, dan Denpasar pada tahun 2011-2014 karena pihak penyelenggara event ingin mengenalkan kegiatan ini dibeberapa kota dan menjalin kerja sama dengan seniman-seniman dikota tersebut dan sekitarnya. Pada tahun 2015 pameran ini FSMR memutuskan kembali mengadakannya di Yogyakarta, karena pihak penyelenggara ingin menjadi tuan rumah bagi para tamu-tamu seniman yang ikut berpartisipasi dalam pameran. Sejumlah 111 karya yang dipamerkan dengan rincian 45 karya fotografi, 35 karya film dan TV, 31 karya animasi dan karya-karya yang terpilih pada tahun ini mendapatkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Karya JMMK tersebut merupakan karya-karya dari seluruh civitas akademika baik dari dosen, mahasiswa, alumni, seniman, dan karya tamu dari perguruan tinggi negeri seni maupun perguruan tinggi luar negeri. [ae] 41
POTRAIT
Muhammad Sulthoni
Berawal dari Kepedulian Oleh : Siti Malihatussa’diyyah/ Tata Kelola Seni 2019 Savira Dwirahmawati/ Desain Produk 2019
42
43
I
su tentang sampah sudah menjadi permasalahan yang serius di seluruh dunia bahkan di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa di tempat wisata seperti di pegunungan dan sungai banyak sekali ditemukan sampah plastik baik itu berasal dari bawaan para pendaki ataupun warga sekitar tempat tersebut. Terutama untuk sampah plastik memiliki daya tahan jauh lebih lama yang menyebabkan sulit hancur dengan sendirinya, bahkan hingga puluhan tahun masih dalam bentuk aslinya. Hal ini menggerakan hati Pak Thoni Konde sebagai seorang pegiat alam dan lingkungan untuk memanfaatkan sampah plastik tersebut. Pemanfatan sampah ini pada awalnya ia lakukan sendiri melalui bentuk-bentuk wayang. Menurutnya dengan membuat suatu pertunjukan yang dapat disaksikan oleh banyak orang dapat mengedukasi pentingnya menjaga lingkungan dan alam. Kegiatan Pak Konde pun mendapat respons positif dari warga sekitar dan orang luar. Beberapa orang yang juga concern
44
terhadap lingkungan, mereka berasal dari beragam latar belakang tidak diharuskan dari basic seni. Para anggota komunitas ini mulai dari ibu rumah tangga, guru Bahasa Inggris, seniman, seorang freelance. Dua di antara mereka adalah mahasiswa jurusan karawitan Institut Seni Indonesia Surakarta yang berasal dari Finlandia dan Amerika juga ikut membantu kegiatan ini. Mahasiswa yang berasal dari Amerika tersebut, awalnya seorang pemain musik genre metal yang pada saat menempuh pendidikan S1 dan S2 ia beralih ke alat musik klasik. Kemudian, karena di Amerika banyak ditemukan komunitas pemain gamelan yang anggotanya berasal dari berbagai suku, ras ataupun budaya, maka pada saat menempuh S3 ia membuat kelompok perpaduan alat musik gamelan dengan musik metal. Atas rasa ketertarikannya terhadap alat musik terutama gamelan jawa, ia pun akhirnya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia yang mengikutsertakan 600 orang dari luar negeri. Program beasiswa ini memberikan kesempatan untuk belajar budaya dan bahasa di Indonesia selama 1 tahun. Hal tersebut membuat ia menghabiskan waktunya di Indonesia setiap tiga bulan, yaitu pada saat libur musim panas. Ketika menampilkan pertunjukan wayang sampah, mereka sering membawakan tema cerita tentang himbauan untuk menjaga lingkungan ataupun
mengkreasikan barang yang sudah tidak terpakai. Dengan maksud agar terhindar dari berbagai kemungkinan bencana yang disebabkan oleh sampah. Tahun-tahun pertama, Pak Konde dan para rekannya menampilkan wayang sampah tersebut masih dengan iringan alat musik tradisional untuk wayang pada umumnya. Kemudian, ia mendapatkan saran dari warga untuk membuat alat musik yang juga terbuat dari sampah. Oleh karena itu, pada tahun 2014 Pak Konde dan para rekannya sedikit demi sedikit membuat kreasi alat musik pengiring pertunjukan wayang tersebut dari barang yang sudah tidak terpakai. Misalnya, potongan kaca dapat mereka ubah menjadi gamelan, potongan pipa paralon, botol bekas hingga tabung gas LPG dan banyak barang lainnya yang dapat dikreasikan menjadi alat-alat musik untuk mengiringi pertunjukan wayang tersebut. Bahkan dari suara nadanya pun mereka atur sedemikian rupa, agar persis nadanya dengan alat musik aslinya. Pak konde dalam melakukan setting berbagai alat musik tersebut dibantu oleh orang-orang yang juga peduli akan lingkungan dengan basic dari seni musik. Barang-barang tersebut mereka dapatkan dari para kolektif, di tempat rongsokan, ataupun berasal dari barang milik warga yang sudah tidak berguna. Usaha komunitas Wayang Sampah ini tidak hanya untuk menampilkan wayang saja tetapi juga ia melakukan suatu kegiatan edukasi ke berbagai kalangan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, bahkan sampai taraf perguruan tinggi.
Hasil kegiatan dari pak Konde dan para rekannya mendapatkan respons yang positif dari warga sekitar dan para pelajar. Mereka menjadi sadar terhadap pentingnya menjaga lingkungan dengan cara mengolah sampah menjadi suatu barang yang memiliki nilai seni. Contoh pihak yang telah mempraktikkan edukasi yaitu beberapa para pelajar membuat kreasi yang berasal dari botol bekas untuk di sekolahnya. Ada pula ibu-ibu dari warga sekitar yang akhirnya sampai sekarang aktif menjadi pembuat kerajinan dari bahan plastik, setelah mengikuti workshop yang diadakan oleh Wayang Sampah tersebut. Sesuai dengan tagline yang telah digaungkan oleh Wayang Sampah yaitu “Berbudaya Jaga Lingkungan”. Menurut Denok seorang guru Bahasa inggris yang juga ikut dalam kegiatan ini, ia memiliki harapan untuk Wayang Sampah ini agar sampah bisa lebih dimanfaatkan menjadi suatu karya, dapat terus ‘sesrawungan’, dan jika ke depannya ternyata dapat eksis dalam berkesenian itu menjadi suatu bonus. Jadi harapan dari komunitas Wayang Sampah ini selain dapat menanggulangi sampah yang ada yaitu juga mengedukasi orang lain agar dapat memanfaatkan sampah karena kegiatan ini bisa menjadi hobi, suatu mata pencaharian, dan kegiatan positif lainnya, serta kunci dari terselenggaranya kegiatan ini yaitu konsisten yang terus-menerus. [ae]
45
RUPA GAYA
ala
Suistainable Mahasiswa Seni Faiqotul Mustabsyiroh | Batik dan Fashion 2019 Desi Sofianti | Seni Murni 2019
A
pa itu sutainable? Kemudian apa hubungannya dengan seni? Sustainable atau dalam Bahasa Indonesia adalah keberlanjutan, yaitu kata yang merujuk pada kegiatan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Menjaga keseimbangan ekologi merupakan tanggung jawab semua pihak, dan tanggung jawab itu sama besarnya. Kemudian apa yang membedakan antara mahasiswa seni atau bukan jika tanggung jawabnya sama? Peran setiap pihak tentunya berbeda sesuai kemampuan dan pengaruh masingmasing, begitu juga anak seni. Lalu seperti apa peran mereka dalam sustainable ini? Tara Loretta, seorang desainer muda yang masih aktif menjadi mahasiswa Program Study Batik and Fashion Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Menurutnya peran anak seni dalam bidang fashion sangatlah besar, didukung dengan tampilan mereka yang memang lain daripada tampilan remaja pada umumnya. Hal tersebut sering dirasakan Tara dari pendapat orang-orang di sekitarnya.”Nggak tau kenapa, misalnya nih aku ketemu temen-temenku dari UPN,
46
47
sekitarnya.”Nggak tau kenapa, misalnya nih aku ketemu temen-temenku dari UPN, UGM, atau UNY, mereka langsung bilang anak seni ya gayanya kayak gini,” ucapnya sambil menunjuk pakaiannya. Ungkapan-ungkapan tersebut membuat finalis miss bantul tersebut menyadari satu hal bahwa keunikan fashion anak seni ini bisa atau bahkan sering dijadikan kiblat fashionnya remaja. “Anak seni kan suka gaya yang nyentrik, dan memang fashion mereka lebih maju duluan. Malah kayaknya mereka yang menciptakan fashion itu. Dan makin kesini muncul istilah hypebeast yang sebenernya ngikutin gayanya anak seni,” Pengaruh inilah yang dimanfaatkan Tara untuk menyerukan gaya hidup sustainable. Melalui karya-karyanya ia mencoba mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan ekologi. Baru-baru ini ia membuat fashion dengan tema terumbu karang dan pink beach. Ia juga menggunakan sutra viscose sebagai bahan pembuatan karyanya. “kain viscose itu emang kain yang ramah lingkungan, dan kedepannya dengan aku ngangkat tema ini biar kita bener-bener sadar akan cinta lingkungan,” Ungkap Tara saat wawancara dengan penuh semangat. [ae]
Dokumentasi panitia Bantul Juoss 2020, 22 Februari 2020, acara malam puncak pemilihan Miss Bantul.
Dokumentasi panitia fashion paradise, 13 oktober 2019 lomba fashion paradise 2019
48
49
GEROMBOLAN SENI
Juli mengawalinya pada tahun 2016
Komunitas “Gumi Bamboo” Berdayakan Wanita Lokal
masalah tersebut dan menemukan bahwa
sebagai platform kampanye bernama
mendaur ulang bukanlah satu-satunya
Gumi Project. Kampanye ini mencoba
solusi. Mereka harus memulai dari
untuk membuat produk kerajinan dengan
dasar yaitu mengubah kebiasaan dalam
mendaur ulang sampah plastik. Mereka
menggunakan plastik sekali pakai.
juga mengadakan sebuah festival di akhir proyek mengampanyekan pengolahan sampah plastik yang baik, tetapi menemukan bahwa usaha tersebut tidak membantu meningkatkan kesadaran dari para peserta.
Gumi Bamboo lahir pada tahun 2017, seiring dengan usaha mereka mencoba untuk hidup minim sampah dengan memfasilitasi orang lain untuk melakukan hal yang sama sesederhana memutuskan untuk memberdayakan wanita setempat
Pada akhir festival Gumi Project
. Gumi Bamboo menggunakan potensi
menemukan tumpukan sampah plastik
lokal seperti mereka untuk membuat
dari peserta dan akhirnya kampanye
produk sehari-hari yang bebas dari plastik
ini dihentikan untuk sementara. Gumi
dengan semangat bebas sampah plastik
Bamboo mendiskusikan solusi dari
menjadi visi Gumi Bamboo.
G
umi bamboo adalah bisnis sosial yang terlahir karena ke khawatiran kami tentang pengelolaan sampah plastik di Lombok, Indonesia. Gumi bamboo digerakkan gerakkan oleh Juli (penggemar tanaman bambu dan aktivis anak), Ibu Mahuni (pemimpin wanita dari komunitas lokal) dan Pak Bah (pengrajin bambu yang bertalenta).
Oleh Lydia Stefina Feblora P
Foto https://b-m.facebook.com/GUMIbambu/photos/a.114376
50 50
51
Pada tahun 2017, mereka bertemu
Gumi Bamboo mencoba perlahan–
dengan Ibu Mahuni dan Pak Bah di sebuah
lahan untuk tidak hanya melakukan
desa kecil di Lombok Tengah. Di sana
pemberdayaan secara ekonomi. Gumi
mereka menemukan banyak wanita –
Bamboo juga meningkatkan kapasitas
wanita disana bekerja sebagai penambang
tenaga kerja dengan keterampilan
batu dan Tenaga Kerja Wanita (TKW).
kepemimpinan serta memperkenalkan
Oleh karena itu, mereka mencoba untuk
perspektif yang lebih besar. Sejauh
membuka alternatif lain agar para wanita
ini, mereka telah melakukan kegiatan
itu mendapatkan mata pencaharian yang
menganyam, pembuatan batu bata ramah
lebih baik.
lingkungan juga kegiatan diskusi. Masih
Juli menggunakan bambu karena secara pribadi sangat mencintai tanaman bambu. Pertumbuhan cepat tanaman ini menjadikannya salah satu bahan berkelanjutan di bumi? Secara khusus,
sedikit orang-orang lokal yang mengikuti kegiatannya, namun Gumi Bamboo tahu bahwa mereka akan melakukan lebih banyak hal secara konsisten dan sistem yang berkembang.
melalui produksi sedotan bambu. Gumi
Pada tahun 2018, langkah demi
Bamboo mencoba memanfaatkan bambu
langkah Gumi Bamboo telah membuat
jenis kecil untuk mengurangi penggunaan
prestasi kecil dan besar dimana
sedotan. Kemudian mereka sepakat
komunitasnya bersyukur untuk setiap
mendaur ulang sampah bukanlah satu –
dukungan telah diberikan kepada mereka.
satunya solusi.
Pada tahun ini Gumi Bamboo telah
Sebagai bisnis sosial, tujuannya tak sekadar mengatasi masalah lingkungan, tapi juga persoalan sosial. Gumi Bamboo
meningkatkan kapasitas produksi dua kali lipat dari tahun lalu dan mereka juga memiliki lebih banyak wanita setempat yang bergabung dengan komunitas ini. Semakin banyak produk dikembangkan juga lebih banyak restoran kafe lokal bergabung dalam kampanye bebas plastik. Mereka juga mendapatkan rekognisi dari beberapa elemen seperti platform kampanye lain, komunitas, LSM atau bahkan pemerintah lokal.
menemukan tidak semua wanita terutama di daerah pedesaan dapat mandiri secara ekonomi juga berdaya. Gumi Bamboo percaya pada potensi mereka menjadi agen perubahan yang sempurna karena menemukan situasi tersebut terutama di lokasi tempat produksi Gumi Bamboo berada. Berawal dari skala yang kecil seperti keluarga mereka sendiri lalu menyebar ke skala yang lebih besar.
52
Pada tahun ini, Gumi Bamboo berharap dapat memotivasi lebih banyak orang untuk hidup minim sampah. Mereka juga dapat membantu memberdayakan lebih banyak wanita di daerah pedesaan. Mereka berharap Gumi Bamboo dapat terus berkembang selangkah demi selangkah secara berkelanjutan berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar. [ae]
53
WAJAH DEMOKRASI KALA PANDEMI
54
55
56
57
58
59
60