Policy Brief - Formulasi Kebijakan Akses Keadilan bagi Pekerja Migran Indonesia di Daerah Asal

Page 1

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Disusun oleh: Program Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM)

Yayasan Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan (INFEST) Yogyakarta

Jl. Warungboto UH IV/734 Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta 55164 Telepon: 0274-417004 Fax: 0274-417004 Email: office@infest.or.id

Formulasi kebijakan akses keadilan bagi PMI di daerah asal dan negara tujuan dan Rekomendasi Layanan Publik Publik untuk Penanganan Sengketa Pekerja Migran Indonesia di Daerah Asal dan Negara Tujuan

1. Pendahuluan Kertas kerja ini berisi tentang kebijakan akses keadilan dan tantangannya bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di daerah asal dan negara tujuan. Untuk mengurai itu, sebelumnya kita definisikan satu persatu arti kebijakan, akses dan keadilan. Selanjutnya akan dijelaskan tentang norma, kebijakan dan cara mendapatkan keadilan. Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Sedangkan keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil. Kebijakan, termasuk keadilan dalam konteks Pekerja Migran Indonesia (PMI), telah diatur dalam Undang Undang No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU PPMI mengatur hak dan kewajiban PMI dan anggota keluarganya. Selain itu mengatur bisnis proses, aktor, syarat, ketentuan dan larangan dalam menjalankannya. UU PPMI ini juga dengan gamblang menentukan syarat negara penempatan yang menjadi tujuan PMI. Lebih lanjut UU PPMI juga secara tegas mengatur peran pemerintah mulai dari pemerintah desa, kabupaten, provinsi, pusat dan perwakilan di luar negeri. Secara norma, UU PPMI sudah lebih maju dibandingkan dengan Undang Undang sebelumnya yaitu Undang Undang No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Kemajuan itu bisa dilihat dari semangat pelindungannya. Jika di dalam UU PPTKILN lebih banyak

mengatur bisnis proses, UU PPMI lebih banyak mengatur sisi pelindungan. Selain itu UU PPMI juga mengurangi peran swasta, serta membagi tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. UU PPMI membagi pelindungan PMI sesuai dengan fasenya, yaitu sebelum bekerja, pada saat bekerja dan setelah bekerja. Pada fase-fase tersebut, tugas dan tanggung jawab pemerintah sangat jelas. UU PPMI memandatkan pembentukan aturan turunan dalam pelaksanaannya. Dalam pembentukan aturan pelaksana terdapat kendala, sehingga sampai pada batas 2 tahun yang ditentukan belum semuanya berhasil diterbitkan. Kendala tersebut antara lain kepentingan kementerian dan lembaga serta kehendak politik dari pemerintah pusat.

Pelbagai regulasi untuk pelindungan pekerja migran Indonesia tersebut hingga saat ini belum menunjukkan hasil signifikan. Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2020 Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan), dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan mengalami kenaikan hingga 8 kali lipat. Begitu pula dengan kekerasan terhadap Pekerja Migran Indonesia, naik dari 141 kasus naik menjadi 398 kasus. Berdasar Catahu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2020, selama sepuluh tahun terakhir kasus pekerja migran lebih banyak dialami oleh perempuan, yakni 1.915 kasus (61,79%), dan 1.184 kasus (38,21%) dialami laki-laki. Data kasus INFEST Yogyakarta dalam kurun 2019-2020 juga menunjukkan ketidakadilan yang dialami perempuan lebih banyak (70%) dibandingkan laki-laki (30%) dari total 77 kasus. Kertas kerja ini bertujuan yang pertama adalah menjelaskan duduk persoalan dan terobosan solusi agar akses keadilan bagi PMI dapat terlaksana dengan baik tanpa mengindahkan kualitas layanan berbasis gender karena kekhasan PMI yang mayoritas adalah perempuan. Tujuan kedua adalah mengidentifikasi peluang tantangan pelindungan PMI di daerah asal dan negara tujuan berdasarkan tren pelanggaran hak yang dialami oleh PMI.

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 1


2. Kerangka konsep akses keadilan yang responsif gender

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Pemerintah kemudian mengadopsi pasal-pasal dalam konvensi CEDAW menjadi UU Nomor 7 tahun 1984 dan bersepakat untuk mencegah segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan sesuai amanat UU tersebut.

Indonesia telah menetapkan UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Kebijakan ini dinilai sebagai tonggak sejarah dalam upaya pemberantasan perdagangan orang di Indonesia, di mana PMI sangat rentan menjadi korban TPPO. Berdasarkan unsur di dalam UU ini telah menguatkan dugaan bahwa PMI yang bermasalah di negara tujuan, dapat diduga bahwa PMI tersebut menjadi korban TPPO karena umumnya PMI telah mengalami rangkaian kejahatan pada proses, cara dan tujuan untuk dieksploitasi. Akan tetapi, hal ini perlu pembuktian melalui proses penyidikan dan persidangan. International Labour Organization (ILO) mengidentifikasi bahwa hak-hak tercakup dalam CEDAW yang relevan untuk pekerja migran diantaranya adalah: penghapusan bentuk diskriminasi berdasarkan gender, kebebasan bergerak, hak memperoleh perlakuan sama di depan hukum, hak untuk berserikat, hak untuk bekerja, hak memperoleh kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki, hak memperoleh jaminan sosial, hak atas cuti yang ditanggung, hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Selanjutnya, pemerintah Indonesia juga meratifikasi International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families. Indonesia sebenarnya telah menandatangani konvensi ini pada 2004, namun baru diadopsi menjadi sebuah undang-undang pada tahun 2012. Konvensi tersebut diadopsi pemerintah dan terwujud dalam UU Nomor 6 tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Lewat UU tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi pada semua pekerja migran dan anggota keluarganya tanpa membedakan ras, suku, jenis kelamin, agama dan kepercayaan yang dianut. Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak pekerja migran dan seluruh keluarganya baik yang memiliki dokumen maupun yang tidak memiliki dokumen. Ratifikasi konvensi ini berdampak pada kewajiban pemerintah untuk melakukan harmonisasi hukum nasional, terutama terkait dengan pelindungan pekerja migran Indonesia dan keluarganya.

Telah diratifikasinya konvensi ILO 1990 tentang perlindungan pekerja migran dan keluarganya dan berbagai faktor pendorong lain, membuat pemerintah kemudian merevisi UU 39 tahun 2004 tentang PPTKILN menjadi UU 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Perubahan-perubahan signifikan dalam UU PPMI terkait dengan tata kelola migrasi tenaga kerja, terutama dengan adanya penguatan peran negara, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga peran pemerintah di tingkat daerah, mulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota hingga ke Desa. Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 2

Bila dirinci, bentuk-bentuk pelindungan PMI dalam UU 18 tahun 2017 sebagai berikut: 1.

2.

3.

4. 5.

6. 7.

8.

Bentuk pelindungan berdasarkan hak PMI dan anggota keluarganya; Bentuk pelindungan berdasarkan pada siklus migrasi ketenagakerjaan, yaitu : a. fase pelindungan sebelum bekerja; b. saat bekerja; dan c. setelah bekerja; Bentuk pelindungan berdasarkan pada tugas dan tanggung jawab layanan pelindungan yang ditugaskan kepada struktur pemerintah, yaitu: a. pemerintah desa; b. pemerintah kabupaten/kota; c. pemerintah provinsi, pemerintah pusat; dan d. perwakilan pemerintah di luar negeri; Bentuk pelindungan berdasarkan tugas dan tanggung jawab kementerian dan lembaga, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI); Bentuk pelindungan yang ditugaskan kepada diplomat dan atase ketenagakerjaa; Bentuk pelindungan berdasarkan pada bidang yaitu pelindungan hukum, sosial dan ekonomi; Bentuk pelindungan berdasarkan fungsi pelaksana penempatan, dalam hal ini misalnya Perusahaan Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sebagai penyelesai sengketa, selain dari fungsi utamanya yaitu sebagai perusahaan pelaksana penempatan; Bentuk pelindungan melalui mekanisme sanksi kepada P3MI, yaitu teguran, skorsing dan pencabutan izin. Selain itu juga mengatur penyelesaian sengketa melalui mekanisme deposito P3MI;

Namun bentuk-bentuk pelindungan itu semua belum dapat sepenuhnya dilaksanakan karena terkendala aturan pelaksana yang belum semuanya diterbitkan. Hingga saat ini pemerintah baru berhasil menerbitkan 9 aturan pelaksana dari 13 simplifikasi aturan pelaksana yang dimandatkan oleh Pasal 91 UU PPMI. Pemerintah masih punya tanggungan untuk menerbitkan 4 aturan pelaksana. Adapun 9 aturan pelaksana yang sudah diterbitkan yaitu: 1.

2.

3.

4. 5.

6. 7. 8. 9.

Peraturan Pemerintah No 10 tahun 2020 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh BP2MI; Peraturan Presiden No 90 tahun 2019 tentang Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 18 tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 09 tahun 2019 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 10 tahun 2019 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 17 tahun 2019 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 7 tahun 2020 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No 1 tahun 2020 tentang Standar, Penandatanganan dan Verifikasi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia; dan Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No 9 tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia.


3. Temuan

3.1. Tren kasus di negara asal

3.1.1 Percaloan

UU PPMI mengatur adanya pemberian informasi dan sosialisasi bagi Calon PMI yang kebanyakan berasal dari desa. Persoalannya cara pemberian informasi dan sosialisasi bagi PMI hingga saat ini belum memadai. Meskipun saat ini sudah ada aplikasi Jobs Infojobsinfo.bp2mi.go.id yang yang dikembangkan oleh BP2MI, atau Sisnaker dan Jendela PMI yang dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, sayangnya aplikasi ini belum tersosialisasikan dengan baik. Selain itu, aplikasi tersebut juga masih terdapat kelemahan. Kelemahan itu misalnya didapati dalam pengoperasian aplikasi yang kurang mudah bagi pekerja migran. Aplikasi ini juga tidak menjadi alat kerja bersama oleh seluruh petugas layanan dari tingkat desa hingga luar negeri. Situasi ini mengakibatkan praktik percaloan masih tetap marak di berbagai daerah kantong pekerja migran. Para Calon PMI masih mendapatkan informasi lowongan kerja, syarat, tahapan dan kondisi kerja dari para calo yang menjadi kepanjangan tangan Perusahaan Pelaksana Pekerja Migran Indonesia (P3MI) atau sindikat penempatan PMI tidak prosedural.

Dalam penyediaan informasi migrasi tenaga kerja, INFEST pada tahun 2013 menginisiasi pantau PJTKI. Portal ini berfungsi sebagai penyediaan informasi alternatif bagi calon PMI untuk mengidentifikasi profil perusahaan perekrutan, klarifikasi kepada perusahaan perekrutan, dan testimoni dari PMI yang telah mendapatkan layanan dari perusahaan perekrutan tertentu. Hasil kajian ini disampaikan oleh Ibad dan Muthahari (2018) yang menyebutkan bahwa, pertama, metodologi dalam pemantauan dan pengawasan praktik perekrutan yang dilakukan pemerintah belum menjawab kebutuhan PMI. Kedua ialah akuntabilitas dan transparansi dalam pemantauan dan pengawasan yang disediakan oleh pemerintah pada saat proses ketersediaan lowongan dan perekrutan, sehingga menimbulkan celah peran calo untuk mengisi kesenjangan informasi tersebut. Ketiga yakni minimnya partisipasi pengguna yang dalam hal ini adalah PMI dalam pengawasan perekrutan. Keempat adalah sumber daya manusia pemerintah yang terbatas untuk melakukan pemantauan dan pengawasan perekrutan.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Serikat Buruh Migran Indonesia, tahun 2020 merupakan tahun yang paling mengerikan selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Catatan tersebut yaitu data penempatan tidak prosedural lebih banyak dibanding dengan penempatan prosedural. Persentase penempatan tidak prosedural mencapai 74,75%, sementara penempatan yang prosedural hanya 24,26%. Catahu juga menjelaskan keterhubungan proses tidak prosedural dengan pelaku penempatannya yaitu 45% dilakukan oleh orang perseorangan, 44% dilakukan oleh P3MI dan sisanya 12% dilakukan oleh Perusahaan Perekrut Pelaut Perikanan.

3.1.2 Penipuan

Minimnya akses informasi tentang lowongan kerja yang valid dari pemerintah berdampak pada maraknya kasus penipuan dengan modus penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Penipuan itu tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan, bahkan dilakukan oleh orang yang telah menjadi kepala cabang P3MI yang memiliki Surat Izin Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).

Menurut data yang dihimpun oleh INFEST, yang selama ini bersamasama komunitas pekerja migran Indonesia (KOPI) berkolaborasi pendampingan kasus sejak 2018 - 2020, terdapat 5 kasus penipuan yang dialami oleh PMI. Adapun modus yang dilakukan oleh pelaku yakni melalui media sosial. Kasus penipuan online dengan cara imingiming produk investasi yang menjanjikan nilai berlipat ganda jika PMI telah menyetor sejumlah dana. Meski demikian, penipuan online yang menjanjikan penempatan kerja ke negara-negara Eropa juga masih dijumpai pada kasus yang telah ditangani oleh INFEST. Hal ini berarti pelaku menyasar PMI aktif di luar negeri. Berdasarkan pengalaman INFEST dalam proses pendampingan kasus telah mengalami beberapa tantangan dalam upaya akses keadilan bagi PMI korban penipuan. Pertama adalah terbatas bukti pendukung yang dimiliki PMI korban. Korban terkadang hanya berbekal rekaman komunikasi melalui pesan singkat. Sebenarnya hal ini bisa ditelusuri keberadaan terduga pelaku untuk dilakukan pemanggilan dan penyidikan oleh penyidik. Namun, karena lemahnya penegakkan hukum oleh kepolisian merupakan tantangan ke dua dalam upaya akses keadilan pada kasus-kasus penipuan PMI. 3.1.3 Penempatan ke negara terlarang

Pada tahun 2015 Kementerian Ketenagakerjaan melalui Kepmenaker No 260 tahun 2015, telah melarang dan menghentikan penempatan PRT di 19 negara Timur Tengah. Salah satu alasan penghentian dan pelarangan itu karena banyaknya kasus yang dialami oleh PMI. Namun demikian kebijakan pelarangan tersebut tidak berdampak pada berhentinya bisnis perekrutan ke Timur Tengah, malah justru sebaliknya, yakni makin tingginya permintaan kerja ke negaranegara tersebut. Bahkan, beberapa oknum penempatan tidak prosedural menerapkan uang jasa yang lebih besar kepada calon yang berhasil merekrut calon PMI. Bagi pelaku perekrutan, kebijakan ini justru sangat menguntungkan. Nilai keuntungannya tetap besar bahkan setelah dikurangi setoran kepada oknum petugas imigrasi, aparat penegak hukum dan pihak bandara. Perekrutan berjalan mulus karena Kedutaan Arab Saudi di Jakarta tetap mengeluarkan visa ziarah untuk CPMI. Selain itu kebijakan di negaranya bisa tetap bisa menerbitkan iqomah sebagai bukti PMI tersebut legal secara hukum.

Maraknya kasus penempatan ke negara terlarang, mengakibatkan Menteri Ketenagakerjaan mengkaji ulang kebijakan tersebut. Pada tahun 2018 Kemenaker membuka keran penempatan dengan menerbitkan aturan baru yaitu Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) ke Arab Saudi (Kepmenaker No 291 tahun 2018). Kebijakan ini menyaratkan penempatan dapat dilakukan hanya kepada majikan berbadan hukum atau perusahaan. Di lapangan, kebijakan ini

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 3


dimanfaatkan betul oleh para perekrut bahwa penempatan ke negara-negara timur tengah telah dibuka kembali.

Maraknya perekrutan PMI ke Malaysia juga tetap terjadi, meskipun perjanjian tertulis antar Pemerintah Indonesia-Malaysia telah kadaluarsa sejak 2016. Perjanjian tertulis MoU merupakan pelindungan hukum oleh pemerintah yang menjadi syarat negara tujuan. Menteri Ketenagakerjaan sudah berupaya melakukan pertemuan untuk perpanjangan perjanjian tertulis antar pemerintah, namun lebih dari 12 kali pertemuan tetap saja tidak berhasil mencapai kesepakatan. Alih-alih membuat kesepakatan, Pemerintah Malaysia kemudian justru menerbitkan aturan sepihak yang memperbolehkan perekrutan langsung tanpa melalui perusahaan perantara yang disebut sebagai maid online. Kebijakan politis Najib Razak sengaja dilakukan untuk mendulang suara pada pemilu dari warganya yang mengeluh mahalnya biaya perekrutan. 3.1.4 Perekrutan Pelaut Awak Kapal

Kasus Pelaut Awak Kapal atau yang lazim disebut Anak Buah Kapal (ABK) mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sejak masa pandemi covid 19 hingga Januari 2021, Kementerian Luar Negeri mencatat telah memulangkan 27.064 ABK bermasalah. Pada kurun waktu 2010-2019, SBMI mendapat pengaduan dari ABK sektor perikanan sebanyak 257 kasus yang diadukan dan ditangani. Peningkatan aduan tertinggi terjadi di tahun 2014 sebesar 77 kasus dan 2019 sebanyak 142 kasus. Laporan penelitian yang dilakukan oleh SBMI pada tahun 2019 dan 2020 menunjukan ABK mengalami 10 dari 11 indikator kerja paksa. Indikator ILO mengenai kerja paksa adalah sebagai berikut: abuse of vulnerability, deception, restriction of movement, isolation, physical and sexual violence, intimidation, retention of identity, withholding of wages, debt bondage, abusive working and living, excessive overtime. Kerja paksa juga merupakan unsur dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) sebagaimana diatur dalam UU No 21 tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kasus-kasus yang dialami oleh ABK memang tidak lepas dari kebijakan yang mengaturnya. Meskipun UU PPMI sudah mengatur dengan terang benderang tentang pelindungan ABK, namun pada pembentukan aturan pelaksana mengalami kemandekan karena dihambat oleh Kementerian Perhubungan dengan dalih Peraturan Pemerintah dengan dalih aturan yang sudah usang yaitu Pasal 151 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Pasal itu dijadikan alat oleh Kemenhub untuk mempertahankan lapak tempat usahanya. Diduga perebutan itu mengerucut pada perizinan dan penerbitan sertifikat untuk ABK. Pebisnis penempatan, yaitu Perusahaan Perekrutan dan Penempatan Pelaut Awak Kapal, memanfaatkan betul carut-marut aturan dalam negeri dan pertengkaran antar lembaga terkait. Pebisnis penempatan memanfaatkan celah itu untuk melakukan perekrutan secara tidak prosedural. Salah satu perusahaan pengiriman ABK bahkan mengklaim dapat mengirimkan dua ribu orang ABK dalam satu tahunnya. 3.2. Tren kasus di negara tujuan

Malaysia dan Arab Saudi merupakan dua negara yang paling banyak menjadi tujuan Pekerja Migran Indonesia. Meskipun keduanya tidak diperbolehkan secara hukum, karena tidak memenuhi syarat sebagai negara tujuan.Hukum yang berlaku saat ini mengatur adanya pelindungan hukum yaitu: harus memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah Indonesia, dan atau memiliki aturan yang melindungi pekerja asing, dan atau memiliki aturan jaminan sosial (Pasal 31 ayat a, b dan c, UU PPMI). Malaysia memang sudah memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah Indonesia, tetapi perjanjian ini sudah kadaluarsa sejak Mei 2016. Hingga saat ini pembaharuan perjanjian belum mencapai kesepakatan. Sementara, Arab Saudi menjadi salah satu dari 19 negara Timur Tengah yang dinyatakan terlarang sejak tahun 2015 melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 4

Kementerian Ketenagakerjaan kemudian membuka kembali keran penempatan melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 291 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK). Melalui sistem ini, PRT (7 jabatan) berkontrak dengan agensi. Secara pelan-pelan, sistem ini juga membuka kembali penempatan yang sebelumnya dilarang. Di lapangan kebijakan kedua ini dimanfaatkan oleh oknum penempatan perseorangan dengan cara non prosedural atau melanggar hukum. Tidak heran jika kemudian banyak PMI yang mengalami persoalan. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran di Arab Saudi maupun Malaysia sebenarnya hampir sama. Pekerja migran Indonesia pada dua negara ini mengalami pelbagai persoalan pelik dari sekian banyak persoalan lain. Persoalan tersebut meliputi gaji tidak dibayar, pemindahan tempat kerja karena jual beli kontrak pendek, bekerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja, gaji tidak dibayar, kekerasan fisik, meninggal dunia, PHK sepihak, sakit, penahanan dokumen, overstay, pemerasan, pemalsuan dokumen, hilang kontak dan masih banyak yang lainnya. 3.3. Tantangan dan hambatan bagi pemerintah di daerah asal dan perwakilan

3.3.1 Tantangan dan hambatan bagi pemerintah daerah asal

Belum terbitnya aturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri menimbulkan kemandekan dalam pelindungan PMI oleh Pemerintah Provinsi dan Daerah, antara lain: a. penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelindungan PMI terhambat. Hal ini terjadi karena jika Pemerintah Daerah memaksakan penerbitan Perda dikhawatirkan akan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi; b.

c.

d.

e.

f.

draft Perda Pelindungan PMI akhirnya mangkrak. Laporan dari pegiat PMI menemukan adanya draft Perda yang mangkrak di Kementerian Dalam Negeri. Kemdagri mungkin sudah menghitung resiko pertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Selain itu ada juga yang mangkrak dalam tahap pembahasan; draft Pelindungan PMI belum terkonsentrasi melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Selain karena Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mengatur LTSA belum terbit, Pemerintah Daerah juga belum bisa membentuk karena tersandung kebijakan anggaran untuk pemebentukannya; kemandekan pembentukan peraturan pelaksana di pusat, berdampak pada mandeknya penerbitan Perda. Mandeknya penerbitan Perda berdampak pada sulitnya mengelola anggaran untuk pembelanjaan program pelindungan seperti anggaran untuk layanan dan pelatihan vokasi termasuk pelibatan pemerintah desa; meskipun pemerintah melalui BP2MI telah menerbitkan peraturan tentang pembebasan biaya penempatan untuk 10 jenis jabatan PMI, akan tetapi hal itu sulit untuk dilaksanakan mengingat pembebasan hanya dapat dilaksanakan jika, sudah tidak ada praktik percaloan yang menjadi beban keuangan P3MI. Selain itu anggaran pemerintah untuk pelatihan, akomodasi, serta infrastruktur untuk sertifikasi jabatan tersebut tersedia di level pemerintah daerah.

peraturan desa tentang Pelindungan PMI juga mengalami hal yang sama, sehingga kebijakannya masih bersifat proyek pemerintah pusat dan belum bersifat programatik yang rutin dilaksanakan.

3.3.2 Tantangan dan hambatan bagi perwakilan a.

b.

Membentuk perjanjian tertulis dengan negara-negara tujuan penempatan;

mengidentifikasi dan menetapkan negara-negara tujuan penempatan yang memiliki Undang Undang Pelindungan Pekerja Asing dan Jaminan Sosial. Sebagian juga harus


c. d.

e. f. g.

h. i.

merevisi MoU yang sebelumnya pernah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia sebagai negara asal dan sejumlah negara penerima; melaksanakan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) Nomor 5 tahun 2018 tentang Pelindungan WNI, terutama perencanaan di setiap perwakilan;

3.5. Peluang (kebijakan, aktor, akuntabilitas dan partisipasi) a.

merumuskan harmonisasi antara Atase Ketenagakerjaan dengan Perwakilan Pelindungan Terpadu yang diatur dalam Permenlu Nomor 5 tahun 2018, bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan; membuat kebijakan rasio perbandingan antara tenaga teknis dengan jumlah PMI; melaksanakan kebijakan pelibatan masyarakat dalam pelindungan PMI;

memberikan layanan bantuan hukum gratis bagi PMI yang mengalami sengketa perdata. Selama ini, perwakilan hanya memberikan bantuan hukum kepada WNI yang mengalami masalah pidana saja;

pelindungan PMI tidak berdokumen tanpa memandang status dokumentasinya selalu menjadi diskriminasi layanan pemerintah perwakilan;

b.

c.

meningkatkan anggaran pelindungan PMI, termasuk penanganan Covid-19 bagi PMI.

3.3. 3. Tantangan dan hambatan bagi organisasi bantuan hukum a.

b.

c.

d.

UU PPMI mengatur adanya hak bantuan hukum bagi PMI. Namun dalam kebijakannya hak atas bantuan hukum tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana pemerintah mengatur akses bantuan hukum bagi PMI dan anggota keluarganya. Hal ini menjadi kendala bagi Organisasi Bantuan Hukum baik yang terakreditasi ataupun tidak, dalam memenuhi hak PMI atas bantuan hukum. Sementara itu tafsir penerima bantuan hukum dalam Undang Undang Tentang Bantuan Hukum juga masih ambigu. Sehingga Pekerja Migran Indonesia yang bermasalah seringkali tidak masuk dalam kriteria;

penerbitan Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memandatkan banyak aturan turunan. Termasuk aturan turunan di klaster ketenagakerjaan. Penerbitan aturan turunan memerlukan penetapan, kebijakan anggaran, pembahasan, sampai kepada penerbitan. Ini proses yang tidak sederhana, terlebih masing-masing tahapan memiliki birokrasinya sendiri-sendiri. Situasi ini juga akan berkontribusi pada lambatnya penerbitan-penerbitan aturan turunan dari Undang Undang Pelindungn Pekerja Migran Indonesia. Terlebih lagi Undang Undang Omnibus Cipta Kerja ini juga menghapus beberapa pasal dalam Undang Undang Pelindungan Pekerja Migran. Tantangan ini pada akhirnya tidak hanya dialami oleh organisasi buruh migran, tetapi juga meluas kepada masyarakat buruh migran dan anggota keluarganya karena mekanisme saringan dalam perizinan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, telah dihapus;

masa pandemi Covid 19 juga menambah kesulitan bagi organisasi buruh migran atau organisasi non pemerintah untuk melakukan desakkan kebijakan maupun penanganan kasus. Paska kasus penjemputan seorang tokoh agama, kepolisian sangat memperketat aksi unjuk rasa dengan tujuan menuntut perbaikan kebijakan, dengan dalih penyebaran virus covid 19;

saat ini masyarakat dihadapkan dengan fenomena munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang dibentuk oleh para calo. Meskipun namanya adalah organisasi pelindungan pekerja migran, namun dalam menjalankan aktivitasnya, mereka bukan membela pekerja migran.

d.

e.

f.

g.

h.

Berkembangnya organisasi-organisasi buruh migran atau yang konsen dalam pembelaan pekerja migran di pelbagai negara makin memperkuat pelindungan terhadap pekerja migran. Terlebih Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 tahun 2018 mengatur pelibatan organisasi masyarakat dalam pelindungan pekerja migran. Organisasi tersebut tidak saja hanya dilibatkan, tetapi juga diberdayakan. Kondisi serupa juga terjadi di dalam negeri, Pemerintah Daerah dan Desa terbuka dengan keberadaannya, dan melibatkannya dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaannya;

Komnas Perempuan saat ini sedang mengembangkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Kekerasan Terhadap Perempuan. Sistem ini memungkinkan pembelaan terhadap Pekerja Migran Indonesia yang kebanyakan adalah perempuan. Dengan sistem ini, Perempuan Pekerja Migran Indonesia dapat lebih mudah mengakses keadilan. Pemerintah Jawa Tengah diapresiasi karena telah menjadikan konsep ini sebagai kebijakan dalam daerahnya;

Mahkamah Agung juga turut menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Peraturan ini memungkinkan perempuan yang berhadapan dengan hukum didampingi oleh para pendamping di pengadilan. Hakim juga boleh menyudutkan, karena hakim harus memberikan penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hakim juga harus mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara, serta menjamin akses yang setara dalam memperoleh keadilan; Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2019 tentang Gugatan Sederhana juga menjadi peluang calon buruh migran yang sering mengalami penipuan oleh oknum perekrut atau perusahaan penempatan, untuk melakukan gugatan secara cepat, kurang dari satu bulan;

kebutuhan kepemimpinan yang cukup kuat di BP2MI dapat dijadikan peluang bagi pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Kepemimpinan tersebut diharapkan sanggup dan juga berani melaksanakan penegakkan hukum, getol melakukan razia dan melaporkannya kepada kepolisian, serta mencarikan solusi penempatan yang prosedural bagi calon PMI, tidak membiarkannya masuk dalam siklus daur ulang penempatan unprosedur;

kebijakan tentang pembebasan biaya penempatan juga menjadi peluang, meski ada penundaan hingga Juli 2021. Perban Nomor 9 tahun 2020 yang menggratiskan biaya penempatan bagi 10 jenis jabatan pekerjaan ini masih dapat diharapkan oleh pekerja migran yang selama ini harus membayar biaya mahal untuk bekerja ke luar negeri. Selain itu rencana strategis yang diterbitkannya, menjadi arah yang dalam pelaksanaan pelindungan pekerja migran Indonesia; kemenangan masyarakat sipil dalam melakukan perlawanan gugatan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dalam uji materi pasal 54 ayat 1 huruf a dan b, 82 huruf a dan 85 huruf a Undang Undang No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, membuktikan bahwa para hakim Mahkamah Konstitusi masih menjunjung tinggi pelindungan pekerja migran, sebagai bagian dari hak konstitusi warga negara Indonesia yang wajib dilindungi; pemberian penghargaan dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan juga memberikan peluang baru bagi aktor yang peduli terhadap pelindungan pekerja migran, baik dari kalangan pekerja migran, pejabat pelayan pelindungan pekerja migran maupun actor swasta. Budaya

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 5


i.

pemberian penghargaan dapat menjadi peluang pelindungan pekerja migran Indonesia;

semangat pemerintah daerah dan desa dalam menerbitkan peraturan lokal yang melindungi pekerja migran juga mulai berkembang. Bahkan salah satunya sudah melaksanakan aturan tersebut. Kebijakan anggaran Kabupaten Indramayu untuk pelindungan pekerja migran yang pada awalnya hanya 50 juta, saat ini angkanya mencapai 3,7 miliar, yang salah satunya akan dialokasikan untuk pelatihan bagi 600 calon pekerja migran.

6. 7. 8.

4. Kesimpulan

Undang Undang Pelindungan Pekerja Migran sudah sangat jelas mengatur tata kelola pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya. Maka tidak elok bagi pemerintah untuk tidak melaksanakannya. Pengabaian dan kelalaian dalam melaksanakannya, akan berdampak pada semakin panjangnya deretan penindasan pekerja migran Indonesia.

Penyedian akses informasi yang menjangkau untuk PMI dan keluarganya, merupakan keniscayaan bagi pemerintah pusat, daerah dan desa. Akses informasi merupakan gerbang bagi kesejahteraan PMI dan keluarganya.

Ini merupakan tantangan bagi pemerintah di era revolusi industri, untuk membuktikan kualitas kehadirannya melalui inovasi konvergensi digital. 4.1. Saran

Akses-akses pelindungan yang disediakan oleh pemerintah, tentu tidak semuanya berjalan dengan mulus, maka pelindungan diri merupakan bentuk pelindungan paling penting. Bentuk pelindungan ini dapat dicapai dengan pengorganisasian, pendidikan dan pelatihan yang dapat menguatkan kapasitas dan meningkatkan kesadaran PMI dalam menuntut keadilan. Semakin terdidik dan terlatih, maka semakin bisa melindungi diri sendiri. 4.2. Rekomendasi 1.

2. 3.

4.

5.

Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan peraturan pelaksana turunan dari Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pelindungan, Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pelindungan Pelaut Awak Kapal, Peraturan Presiden tentang Atase Ketenagakerjaan;

Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan revisi Paraturan Menteri Nomor 18 tahun 2018 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pekerja Migran Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia segera menetapkan Sistem Informsi Terpadu yang menjadi alat kerja bersama seluruh instansi pelaksana pelindungan Pekerja Migran Indonesi, dan dapat diakses oleh Pekerja Migran Indonesia Pemerintah pusat mengintegrasikan layanan informasi seperti Sisnaker, E-KTKLN, Safe Travel, Simkim, Simpadu untuk memudahkan akses pelindungan pekerja migran Indonesia;

Pemerintah pusat harus memperkuat dan mengintegrasikan lembaga koordinasi pencegahan dan penanganan penegakkan hukum untuk mengurangi dampak dari penempatan pekerja migran ke luar negeri, seperti Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Koalisi Anti Trafficking, Satgas Pelindungan PMI, Satgas Melawan Sindikat Penempatan PMI tidak prosedural, dan Timnas Pelindungan Pelaut Awak Kapal Perikanan;

Policy Brief Lembar Usulan Kebijakan Infest 2021 | Hal. 6

9.

Pemerintah pusat harus mendorong pemajuan Sistem Pemidanaan Pidana Terpadu bagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan;

Pemerintah pusat juga harus mendorong pemajuan norma tentang keadilan gender, untuk meningkatkan kualitas layanan dalam setiap tahapan migrasi ketenagakerjaan;

Pemerintah Daerah menerbitkan Perda Pelindungan melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), Perda ini harus menjamin adanya integrasi dalam layanan yang lebih mendekatkan dengan masyarakat sebagai penerima manfaat layanan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pelatihan gratis dan penunjangnya. Pemerintah daerah juga harus mendorong pemerintah desa menerbitkan Perdes tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, untuk memastikan adanya penyebaran informasi yang valid, pendataan, pemantauan dan pemberdayaan;

Bagi pemerintah desa yang telah menerbitkan peraturan desa tentang pelindungan pekerja migran Indonesia, sebaiknya diatur secara lebih rinci tentang petunjuk operasionalnya melalui peraturan kepala desa. Keseluruhan layanan juga semestinya dibebankan pada APB Desa.

10. Masyarakat sipil mendorong seluruh struktur pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam pelindungan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM)

Yayasan Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan

Jl. Warungboto UH IV/734 Warungboto, Umbulharjo Yogyakarta 55164. https://buruhmigran.or.id Telepon: 0274-417004 Fax: 0274-417004 email: office@infest.or.id

Lembar Usulan Kebijakan ini diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM), Yayasan INFEST Yogyakarta dengan dukungan AWO International. Isi dari terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab Yayasan INFEST Yogyakarta dan tidak selalu mencerminkan pandangan AWO International.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.