Herpetosiana Edisi 6

Edi s i6 Ok t ober2018

Herpetofaunadalam Buday a

Ul ardal am KebudayaanI ndones i a

BedawangNal a

PenyuyangMenopangDuni a

Kadal dal am Budaya

Si gni ďŹ kanat auHanyaSek edarLewat

Buayadal am Budaya

KodokNgor ek

salam redaksi Salam rakyat melata!

Akhirnya majalah Herpetosiana edisi keenam terbit sampai ke tangan pembaca. Herpetosiana merupakan salah satu produk dari Departemen Hubungan dan Pelayanan Masyarakat Kelompok Studi Herpetologi UGM yang diharapkan menjadi saranan penyalur keilmuan antara herpetolog muda Indonesia ke masyarakat umum.

Kritik, saran, dan artikel dapat dikirimkan ke email redaksi Herpetosiana di redaksi.herpetosiana@gmail.com. Selamat membaca.

susunan redaksi Pembimbing: Donan Satria Yudha, M. Sc.

Layouter: Noor Annisa Devi

Pimpinan Redaksi: Noor Laina Maireda

Ilustrator: M. Pratama Yudha Perwira Nailah Faizah

Editor & Kurator: Muhammad Zulfiqar Meizar P. Rashif Naufal Andika Tim Kreatif: Alfonsus Toribio Eko Saputro Ainun Ni’matil Fitriyah Muhammad Haekal

Reporter: R. M. Farchan Fathoni Khadija Lung Ayu Ananta Widi R. Foto Cover Luar: Nishfi Laila Maghfiroh

Liang KSH, Kampus F. Biologi UGM Jl. Teknika SelatanSekip Utara, Sleman, D. I. Yogyakarta 55281 redaksi.herpetosiana @ gmail.com

daftar isi 3

Wawancara: Prof. Heddy: Herpetofauna dalam Budaya Indonesia

5

Artikel: Kodok Ngorek

8

Ar tikel: Buaya dalam Budaya

10

Artikel: Kadal dalam Budaya: Signifikan atau Hanya Sekedar Lewat

13

Artikel: Ular dalam Kebudayaan Indonesia

15

Artikel: Bedawang Nala: Pe n y u y a n g M e n o p a n g Dunia

17

Snapshot

20

Fun Corner

Prof. Heddy: Herpetofauna dalam Budaya Indonesia Artikel oleh: Khadija Lung Ayu, R. M. Farchan Fathoni, Ananta Widi R.

Dalam rubrik wawancara Herpetosiana edisi ke-6 ini, tim reporter Herpetosiana berkesempatan untuk mewawancarai Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa P., M.A., M.Phil. yang merupakan salah satu guru besar di jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Fokus bidang beliau adalah antropologi budaya, terutama mengenai teori dan filsafat antropologi.

Karya yang telah beliau publikasikan umumnya bertemakan ekologi, politik, agama, pariwisata, dan seni. Wilayah kajian yang menjadi spesialisasi beliau adalah Sulawesi Selatan, namun juga mengkaji Asia Tenggara secara umum. Beliau banyak meneliti mengenai hubungan manusia dengan lingkungan. Menurut beliau, relasi manusia dengan lingkungan sangat menarik karena manusia bertahan hidup bergantung

pada lingkungan.

Bers ama P rof. H eddy, kami membahas mengenai simbolisme herpetofauna dalam kehidupan masyarakat.

Menurut beliau, kajian tersebut tidak banyak dibahas meski tema tersebut dianggap menarik. “Masyarakat percaya bahwa gempa bumi disebabkan karena kura-kura yang menopang bumi bergerak dan mereka mengucapkan mantra supaya gempanya berhenti”, ujar beliau sebagai contoh yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut sering disebut totemisme.. Berbagai masyarakat di dunia menggunakan unsur alamlain s eb ag ai to tem atau s imb o l komunitas. Sayangnya, menurut Prof. Heddy, kehadiran reptil dan amfibi dalam budaya Indonesia terhitung jarang.

Beberapa budaya Indonesia yang berkenaan dengan herpetofauna adalah cerita Sri Sadhono. Sri Sadhono mengisahkan mengenai sepasang adik dan kakak yang saling jatuh cinta namun tidak direstui. Masing-masing dari mereka kemudian berubah menjadi burung sriti (walet) dan ular. Cerita lainnya adalah legenda Rawa Pening. Legenda ini berkisah mengenai Baru Klinting, seorang anak yang berjuang untuk kembali diakui sebagai anak kandung ayahnya. Ayahnya memberikan syarat baginya untuk memeluk sebuah Gambar 1. Prof. Heddy Shri Ahimsa, P., M.A., M.Phil. gunung. Baru Klinting kemudian bertapa (dokumentasi tim Herpetosiana)

3

Wawancara

menjadi ular naga besar dan berusaha mengelilingi sebuah gunung. Dalam penggalan kisah Sunan Kalijaga juga terdapat cerita yang melibatkan katak dan ular. “Cerita ini terdapat di Babad Tanah Jawi”, pungkas Prof. Heddy.

Prof. Heddy juga menjelaskan mengenai praktek simbolisme yang kerap dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan pada masa kini. Contohnya adalah cerita cicak melawan buaya yang menjadi simbol personifikasi fenomena KPK melawan polisi pada tahun 2008-2009. Hal tersebut hanya dapat dimengerti jika kita memahami makna dibalik simbol yang digunakan. Beliau juga mencontohkan banyak cerita rakyat yang kemungkinan besar mengandung simbolisme, seperti pada cerita Joko Tingkir yang dibantu pasukan buaya. Kemungkinan pasukan buaya dalam cerita tersebut sebenarnya merupakan sekelompok masyarakat tertentu yang mendukung Joko Tingkir.

Beliau menjelaskan bahwa hasil observasi masyarakat yang mengaitkan beberapa fenomena dapat menimbulkan suatu simbolisme. Contohnya adalah mitos munculnya hewan tertentu terkait peristiwa tertentu, seperti mitos katak yang berbunyi sebagai pertanda akan datangnya hujan, juga tonggeret sebagai pertanda musim kemarau.

Selain berupa mitos, simbol yang terabadikan juga muncul di kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah ornamen katak pada nekara. Hasil observasi ini penting bagi manusia zaman dahulu karena dengan memahami alam, mereka dapat

menyimpulkan dan mengelompokkan fenomena alam yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Terkadang manusia juga mengaitkan dirinya dengan hewan tertentu sebagai sebuah identitas kelompok, hal inilah yang dimaksud dengan totemisme.

Hal ini selalu ada di kehidupan manusia baik di masa modern maupun masa lalu.

Menurut Prof. Heddy, setiap daerah memiliki sikap berbeda terhadap hewan tergantung pada bagaimana mitos yang berkembang pada masyarakat. Dalam dua kelompok dapat muncul kepercayaan yang berlawanan, misalnya untuk membunuh suatu hewan atau tidak. Hal ini dapat menciptakan keseimbangan jumlah hewan di alam. Keseimbangan inilah yang harus dijaga. Untuk itulah kebudayaan di masingmasing daerah sebaiknya dipelajari.

“Pertama harus mengidentifikasi terlebih dahulu mengenai hewan yang akan dikonservasi”, ujar beliau ketika ditanya mengenai konservasi. Beliau menyampaikan bahwa terdapat hewan yang memang dilindungi pemerintah dan ada pula hewan yang tidak namun dikembangbiakkan masyakarakat. Untuk itu selanjutnya harus dilihat bagaimana hubungan masyarakat dengan hewan tersebut, apakah setelah memanfaatkannya masyarakat juga berupaya mengembangkannya atau tidak.

“Selain itu dapat dibangkitkan kembali mitos-mitos baik yang berkaitan dengan hewan tersebut. Mungkin saja ada mitosmitos membangun yang sebenarnya ada namun sudah mulai menghilang sehingga perlu dibangkitkan lagi”, ungkap beliau.

Wawancara

4

Gambar 1:Gamelan Kodhok Ngorek

Kodok Ngorek Artikel Oleh: Nishfi Laila Maghfiroh

“Kodok ngorek Kodok ngorek Ngorek nang jogangan Teot teblung teot teblung Teot teot teblung” Sebagian dari kita mungkin cukup akrab dengan penggalan lirik lagu tersebut. Lagu tersebut berjudul Kodok Ngorek Pinggir Kali, dipopulerkan oleh Cindy Cenora pada tahun 2000. Sejak berabad-abad lalu, katak dan kodok merupakan bagian dari budaya manusia.

Hal ini diwujudkan dalam munculnya katak dan kodok dalam berbagai macam karya seni, seperti musik, kriya, lukisan, sastra, hingga arsitektur.

Ketika musim kawin terjadi, katak jantan bersahut sahutan melakukan vokalisasi untuk menarik perhatian betina. Hal ini diadaptasi

5

Artikel

dalam berbagai macam budaya manusia, seperti gamelan Kodhok Ngorek di keraton Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Meski suara gamelan yang dihasilkan tidak mirip dengan suara kodok, suara gamelan yang bersahut sahutan kemungkinan menjadi alasan penamaan gamelan tersebut sebagai gamelan Kodhok Ngorek.

Gamelan Kodhok Ngorek merupakan gamelan yang hanya dimainkan pada saat saat tertentu, seperti saat jumenengan Raja, upacara pernikahan, Grebeg Bakda, Grebeg Besar, dan harihari istimewa lainnya. Selain itu,

g a m e l a n K o d h o k N g o r e k j u g a dengan ornamentasi kodok yang disebut d i m a i n k a n d a l a m p e r i s t i w a Makalamau. Pada zamannya, nekara kekeluargaan kerabat Raja. Gamelan ini k e m u n g k i n a n d i g u n a k a n d a l a m d i g u n a k a n u n t u k m e m b e r i k a n berbagai ritual seperti mendatangkan pengumuman, berita kelahiran bayi, hujan, memanggil roh nenek moyang, atau kematian keluarga perempuan.[1] hingga digunakan sebagai genderang Musim kawin katak dan kodok perang. Nekara yang ditemukan di yang berkaitan erat dengan musim hujan Sangeang tersebut merupakan hasil dari menyebabkan katak dan kodok menjadi k e b u d a y a a n Ä? Ă´ n g S ĆĄ n y a n g simbol kesuburan dan kemakmuran berkembang di Vietnam pada abad 300 dalam berbagai macam budaya. Pada SM. Makalamau yang ditemukan budaya Mesir, Dewi Heqet yang tersebut dihiasi berbagai macam motif berkepala kodok dipercaya sebagai dewi geometri dan hewan. Ornamentasi kesuburan dan kelahiran. Heqet katak terletak pada bagian tepi bidang diasosiasikan dengan puncak siklus pukul nekara (timpanum). Menurut tahunan meluapnya sungai Nil yang kosmologi pembuatan genderang, katak kemudian diikuti dengan bersemainya m e l a m b a n g k a n h u j a n . J i k a tanaman jagung serta puncak kelahiran digabungkan dengan simbol bintang [2] anak. pada bagian atas nekara, maka hal Pada budaya India, katak dan tersebut akan melambangkan suara k o d o k d i g u n a k a n d a l a m r i t u a l gemuruh yang dihasilkan ketika nekara pemanggilan hujan. Dalam ritual tersebut ditabuh.[5] tersebut sepasang katak atau kodok dinikahkan layaknya manusia; dimandikan, dibersihkan, diberi pakaian dengan kain sari, diberi kalung bunga, dan dirias; kemudian diadakan pesta.

Setelah pesta usai, katak dan kodok diarak menuju rawa-rawa kemudian dilepaskan di alam. Di Nepal, Bhaktapur, para petani memberikan persembahan bagi katak dan kodok dalam festival Janai Purnima dengan harapan mendatangkan hujan dan hasil [3][4] panen yang melimpah.

Di Pulau Sangeang, Nusa Tenggara Barat, ditemukan nekara Gambar 2: Makalamau

Artikel

4

Adopsi dan adaptasi katak dan keramat, mempunyai kekuatan gaib, dan kodok dalam berbagai macam seni dan dikaitkan dengan turunnya hujan, budaya kuno mengindikasikan bahwa kesuburan, dan kemakmuran. pada zaman dahulu katak dianggap Referensi 1. Diah, K. 2010. Gending - gending lringan Upacara Perkawinan Agung di Keraton Yogyakarta. Ornamen. 7(2): 59-59.

2. Egyptian-Gods.org. Egyptian Gods : Hequet. h p://Egyp an-gods.org/egyp angods-heqet/ terakhir diakses 18 Juni 2018 09.37 WIB. 3. Widodo, W. 2017. Cuma di India! Melihat Upacara Pernikahan Katak. Detik Travel. h p://m.de k.com/travel/interna onal-des na on/d3690875/cuma-di-india-melihat-upacara-pernikahan-katak diakses pada 18 Juni 2018, pukul 09.41 WIB. 4. Nepal, N. 1990. Frog Worship: A Unique Culture. Online journal. h p://www.digitalhimalaya.com/collec ons/journals/ancientnepal/nonjava script.php . terakhir diakses 18 Juni 2018 09.35 WIB. 5. Bellwood, P. 2007. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago; revised edition.

Australia National University E Press. Canberra.

7

Artikel

Buaya Dalam Budaya

Artikel Oleh: M. Pratama Yudha P.

Selama berabad-abad, buaya sudah menjadi bagian dari sejarah dan budaya manusia. Hewan ini sering diasosiasikan dengan sifat tangguh dan kasar berdasarkan kenampakannya.

Buaya hadir dalam berbagai cerita legenda dan sejarah dalam berbagai peradaban.

Di Timor dan Papua diceritakan bahwa asal mula pulau tersebut berhubungan dengan buaya yang diasosiasikan dengan spesies lokal seperti Crocodylus porosus (Buaya muara) dan Crocodylus novaeguineae (Buaya papua). Buaya dianggap sebagai makhluk agung yang membentuk bentanglahan. Di Filipina, membunuh buaya dianggap tabu karena masyarakat setempat mempercayai bahwa hewan ini merupakan anak dari sungai dan

membunuhnya hanya akan menghadirkan malapetaka.[1] Di Afrika, buaya sangat diagungkan, masyarakat Mesir kuno memiliki dua tokoh dewa bernama Sobek yang merupakan manusia dengan kepala buaya dan Ammut yang merupakan makhluk berkepala buaya, badan setengah macan tutul dan setengah kuda sungai. Sobek adalah dewa yang melambangkan kesuburan, dan Ammut adalah makhluk yang hidup di alam baka dengan tugas melahap jiwa manusia yang dipenuhi keburukan.[1] Di Zambia, terdapat suatu suku yang kehidupan dan kepercayaannya terpusat pada buaya bernama Bena Ng'adu, suku tersebut mendapat julukan “The People of Crocodile�, mereka

Gambar 1. Ammut (kiri) dan Sobek (kanan)

Artikel

8

merupakan salah satu dari kumpulan suku-suku yang mengambil namanya dari suatu hewan dikenal dengan BaWemba atau “People of Bemba. Buaya yang mempengaruhi budaya manusia di Afrika kemungkinan besar adalah Crocodylus niloticus (Buaya Sungai Nil) yang memiliki persebaran sangat luas membentang dari ujung utara di Mesir h i n g g a k e p u l a u M a d a g a s c a r. [ 1 ] Di Indonesia sendiri memiliki Gambar 2. Upacara adat suku Bemba cerita-cerita legenda dan kepercayaan dan paling sering digunakan dalam acara yang melibatkan buaya, terutama di pernikahan dengan harapan sifat-sifat daerah Timur. Di Bone Sulawesi Selatan, tersebut dapat diterapkan dalam buaya dikenal dengan sebutan To ri Salo [3] (Penghuni Sungai). Di Luwu, buaya kehidupan sang pengantin. disebut ampu salo (Penguasa Sungai). Di daerah ini buaya diagungkan dan Referensi dihormati. Orang-orang dari suku Asmat 1. Kelly N. 2006. Crocodile; Evolution's Dalam di Papua memiliki kebiasaan Greatest Survivor. Allen & Unwin membuat kalung yang dihiasi dengan Publishing. Sidney, Australia. pp. gigi buaya yang dipercaya akan 21-66. mendatangkan kekuatan buaya kepada [2] 2.

Rusdianto, E. 2015. Legenda Buaya di pemakainya.

Kalangan Masyarakat Sulawesi Di Jawa, cerita yang paling terkenal Selatan.https://historia.id/budaya/art adalah cerita asal mula Surabaya, yang icles/legenda-buaya-di-kalanganmenceritakan pertarungan sengit antara masyarakat-sulawesi-selatan-P9jN4 Sura (hiu) dan Baya (Buaya) dalam , diakses pada 18 Juni 2018, pukul perebutan tempat kekuasaan. Buaya juga 08.53 WIB. muncul dalam budaya Betawi dalam 3.

Herryani, H., Sinaga, T., and berbagai bentuk, misal cerita buaya putih Brahmantyo, H. 2016. Crocodile dari Setu Babakan atau makanan adat roti Bread as a Ceremonial Marriage buaya yang disajikan dalam acara-acara Food : Symbolism for the Betawi adat atau pernikahan. Orang Betawi Ethnic Group (Study Case in Setu mempercayai bahwa buaya hanya kawin Babakan).

Asia Tourism Forum sekali dengan pasangannya. Roti buaya 2016. mewakili sifat kesetiaan dan bersyukur

9

Artikel

Kadal dalam Budaya Signifikan atau Hanya Sekedar Lewat Artikel Oleh: M. Zulfiqar Meizar P.

Kita mungkin sudah sering mendengar berbagai jenis reptil atau amfibi yang menjadi bagian dari budaya, entah itu sebagai kisah atau bahkan suatu hal simbolis.

Meskipun demikian, jika muncul seruan “sebutkan satu hal di mana kadal menjadi bagian dari budaya!” maka apakah kita bisa menjawabnya?

Di Indonesia sendiri, sangat Di Eropa, kadal menjadi salah sulit menemukan referensi yang satu simbolisme pada ukiran yang menyatakan adanya kadal sebagai t e r k e n a l y a n g b e r n a m a “ A p o l l o bagian dari suatu kebudayaan. Satu hal Sauroctonos”. Pada ukiran ini, Dewa yang mungkin terkenal bagi masyarakat Apollo sedang berdiri di samping kadal Indonesia yaitu lagu anak berjudul yang sedang menempel pada pohon.

“Cicak Cicak di Dinding”. Selain itu Dewa Apollo digambarkan hendak juga ada permainan anak dari Betawi menangkap atau menghalau kadal yang disebut permainan Tak Kadal. tersebut. Dalam hal ini, kadal pada pohon Dalam permainan ini, kayu pendek yang hanya sekedar penyederhanaan dari “The melambangkan kadal akan dicongkel Python”. Dalam hal ini, kadal bukanlah sehingga melambung tinggi yang menjadi bagian utama, melainkan hanya kemudian harus ditangkap. s e k e d a r p e n y e d e r h a n a a n Diriwayatkan bahwa permainan ini lahir karena anak-anak yang kaget melihat kadal di mana kadal tersebut melompat sangat jauh.[1]

Gambar 1. Permainan Tak Kadal

Gambar 2. Apollo Sauroctonos

Artikel

10

.Gambar 3. Hierogliph Kadal

dari sesuatu yang lebih besar.[2] Di beberapa tempat, kadal digunakan sebagai simbol. Di kebudayaan Mesir kuno, kadal merupakan salah satu dari hieroglyph yang ada. Hieroglyph kadal diinterpretasikan sebagai kemelimpahan.[3] Di kebudayaan Aztec, kadal (cuetzpalin) menjadi salah satu simbol dalam sistem penanggalannya.[4] Di dunia ini tidak terlalu banyak

Gambar 4. Cuetzpalin

11

Artikel

budaya yang menjadikan kadal sebagai suatu sorotan. Di Eropa, muncul salah satu pusat dari kebudayaan dan mitologi yang berasal dari kadal, namun bukan kadal itu sendiri, yaitu naga.[5] Sedikitnya kadal dalam budaya mungkin menggambarkan kenyataan bahwa kadal bukan merupakan hewan yang menjadi sorotan sebagian besar orang. Kadal sendiri harus dimodiďŹ kasi menjadi naga untuk menjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Kondisi ini juga menggambarkan jaman sekarang, di mana perhatian manusia terhadap hewan-hewan “minoritasâ€? sangat minim. Jika ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kadal hanya akan jadi hal yang dikenang dan tidak dapat dilihat lagi wujud aslinya.

Referensi 1. Liputan6.com. 2016. Permainan Betawi yang Hilang dan Dikenang. https://www.liputan6.com/news/read/2528670/permainan-betawi-yanghilang-dan-dikenang. Diakses pada 9 Mei 2018, pukul 20.24 WIB. 2. Chen, J. 2014. Roman and Greek Interpretations of the Apollo Sauroktonos and It's Copies. http://www.undergraduatelibrary.org/2014/music-ďŹ lmtheater/roman-and-greek-interpretations-apollo-sauroktonos-and-itscopies. Diakses pada 9 Mei 2018, pukul 21.20 WIB. 3. Selden, D.L. 2013. Hieroglyphic Egyptian : An Introduction to the Language and Literature of the Middle Kingdom. University of California Press. Berkeley, p.360 4. Veytia, M., Hemingway, D.W., and Hemingway, W.D. 2000. Ancient America Rediscovered. Bonneville. Springville, p. 101.

5. Ingersoll, E., Forbes, A., and Henley, D. 2013. The Illustrated Book of Dragons & Dragon Lore. Cognoscenti Books. Chiang Mai.

Artikel

12

Ular dalam Kebudayaan Indonesia Artikel Oleh: R. M. Farchan Fathoni

Indonesia memiliki beragam budaya dan kepercayaan yang tidak terlepas dari unsur alam. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mitos atau legenda yang tumbuh di kalangan masyarakat yang berkaitan dengan keberadaan hewan tertentu.

Menariknya, dari berbagai mitos dan kepercayaan yang ada di Indonesia, cerita yang berkaitan dengan ular atau naga dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia.

Nyi Blorong merupakan sosok mistis yang terkenal di daerah Jawa. Ada berbagai versi mengenai asal muasal Nyi Blorong ini. Pada suatu versi, Nyi Blorong adalah putri dari Nyi Roro

Gambar 1. Lukisan Nyi Blorong

13

Artikel

Kidul. Beberapa mengkisahkan Nyi Blorong sebagai pengikut Nyi Roro Kidul. Dalam kepercayaan lain, Nyi Blorong merupakan sosok jin yang mampu memberikan kekayaan secara instan. Nyi Blorong sering dideskripsikan sebagai wanita cantik dari ujung rambut hingga pinggang yang bertubuh ular dengan sisik emas.

Menurut masyarakat Jawa, sosok Nyi Blorong ini lekat dengan kemakmuran, baik sebagai penjaga yang melindungi lahan pertanian dari serangan hama maupun sebagai sosok yang dipuja untuk [1][2] pesugihan.

Kisah Naga Besukih (Basuki) muncul pada legenda terbentuknya Selat Bali. Naga ini diceritakan sebagai kawan dari Begawan Sidi Mantra yang mampu mengeluarkan emas dan intan permata dari sisiknya serta memiliki ekor yang terdiri dari bongkahan intan. Naga ini juga memiliki kesaktian yang membuatnya dapat menghukum Manik Angkeran yang tamak dan memotong [3] ekor naga ini.

Masyarakat Bali juga percaya dengan adanya naga yang ikut mempengaruhi alam semesta ini. Ketika

merupakan kekayaan budaya Indonesia.

Dengan tulisan ini, tim Herpetosiana berharap agar masyarakat Indonesia dapat lebih mengenal dan turut serta melestarikan kekayaan alam dan budaya Indonesia.

Referensi Gambar 2. Ilustrasi kisah terbentuknya Selat 1. Aryono. 2016. Akar Sejarah DongenG Bali NyiBlorong.h ps://historia.id/bu

kura-kura Bedawangnala yang berelemen api dan berada di bawah bumi ini bergerak (magma), maka naga Anantaboga yang berelemen bumi akan ikut bergerak. Pergerakan dari Anantaboga inilah yang disebut dengan lindu/ gempa bumi. Jika gerakan Bedawangnala demikian hebat, maka naga Basuki yang berelemen air akan [4] ikut bergerak sehingga timbul tsunami.

Mitos atau cerita tersebut hanya sebagian kecil dari cerita rakyat yang

d aya / a r t i c l e s / a k a r- s e j a r a h dongeng-nyi-blorong-DB4zV. Diakses pada 13 Juni 2018, pukul 18.20 WIB. 2. Wessing, R. 1997. A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul. Asian Folklore Studies, 56(2) : 317-353.

3. Pujakesuma, A. 2017. Asal Muasal Selat Bali : Manik Angkeran dan Naga Besukih. h ps://www. kompasiana.com/sarajevo/asalm u a s a l - s e l at- b a l i - m a n i kangkeran-dan-nagabesukih_58cbb79b4ef9fd1003de b718. Diakses pada 13 Juni 2018, pukul 18.35 WIB. 4.Sujaya, I. M. 2009. Kisah Berguncangnya Naga Anantaboga dan Naga Basuki. http://www.balisaja.com/2009/1 2/kisah-berguncangnya-nagaanantaboga-dan.html. Diakses pada 13 Juni 2018, pukul 18.31 WIB.

Gambar 3. Penggambaran Dewi Sri menaiki Bedawangnala yang dililit oleh Basuki dan Anantaboga

Artikel

14

Gambar 1. Ilustrasi Padmasana dengan Bedawang Nala di bagian paling bawah (Gamabali.com)

Bedawang

Nala

Penyu yang Menopang Dunia Artiikel Oleh: Khadija Lung Ayu

Pulau Bali adalah sebuah tempat yang lekat dengan budaya dan kepercayaannya, salah satunya adalah Badhawang Nala. Jika Anda pernah pergi ke Bali, Anda mungkin pernah mendengar tentang Badhawang Nala.

Apa sebenarnya Badhawang Nala itu?

Bedawang (Badawang Nala; Bedawangnala; Bedawang Nala) adalah simbol gerak dinamis kehidupan di bumi yang dijadikan dasar fungsi dan motif hias pada padmasana, berupa penyu besar yang dililit oleh naga, dan juga disebutkan sebagai dasar wadah ataupun bade petulangan pada saat upacara ngaben.

Bedawang Nala digambarkan sebagai seekor penyu yang berada di dasar bumi. Sejatinya, Bedawang Nala merupakan adaptasi dari konsepsi

15

Artikel

mitologi Hindu India yang dikenal sebagai Vadavamukha, Vadavanala, atau Submarine Mare's Head Fire yang menggambarkan keberadaan kepala seekor kuda betina berapi di dasar laut.

Di Bali, kepala kuda diadaptasi menjadi penyu disebabkan banyaknya penyu yang memiliki habitat di laut sekitar Pulau Bali. Penyu ini membawa seluruh dunia pada tempurungnya. Hal ini menyebabkan berguncangnya seluruh dunia apabila penyu ini bergerak yang membahayakan umat manusia. Maka dari itu penyu ini dililit naga untuk menjaga penyu tersebut agar tidak bergerak. Penyu pada Bedawang Nala dianggap sebagai pondasi dunia dan memberi dukungan terhadap manusia, sedangkan naga dianggap sebagai pelindung.

Salah satu implementasi Bedawang Nala yaitu sebagai ornamen di dasar meru. Meru adalah salah satu bangunan suci utama untuk peribadatan umat Hindu di Bali. Meru ini biasanya terdapat di area pura atau tempat suci lainnya. Ornamen Bedawang Nala di dasar bangunan-bangunan meru di Bali juga digambarkan cukup beragam baik dalam bentuk, dimensi, maupun bahannya. Ornamen ini umumnya

diwujudkan sebagai seekor penyu raksasa berambut api dengan mulut menganga yang juga berapi, namun ada juga Bedawang Nala yang tidak menganga dan berapi. Pada bangunan meru, ornamen Bedawang nala bermakna sebagai neraka atau tempat tinggal para raksasa. Ornamen ini sebagai kebalikan dari ornamen Murdha yang bermakna surga.

Gambar 2. Ornamen Bedawang Nala pada Padmasana di Bali

Referensi Paramadhyaksa, I N. Y. 2010. Makna FilosoďŹ s Ornamen Bedawang Nala di Dasar Bangunan Meru. Jurnal Filsafat, 20(10) : 45-54.

Artikel

16

Kaloula baleata Nama lokal : Kodok belentung Lokasi ditemukan : Fakultas MIPA UGM Persebaran alami : Thailand selatan, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi (Kusrini, 2013).

© Arnita Prasintaningrum Kusrini, M. D. 2013. Panduan Bergambar Iden fikasi Amfibi Jawa Barat. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

19

Snapshot

Lepidochelys olivacea Nama lokal : Penyu lekang Lokasi ditemukan : Pantai Trisik, Kulon Progo Persebaran alami : Samudra Pasifik dan Hindia (Das, 2010).

© Nishfi Laila M Das, Indraneil. 2010. A field Guide to the Rep les of South-east Asia. New Holland Publisher (UK) Ltd. London.

Snapshot

18

Lycodon subcinctus Nama lokal : Ular cicak Lokasi ditemukan : Air Terjun Talang Purba, Gunung Kidul.

Persebaran alami : Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera, Pulau Nias, Kepulauan Mentawai, Kalimantan, dan Jawa (Das, 2010).

ŠAnanta Widi R Das, Indraneil. 2010. A ďŹ eld Guide to the Rep les of South-east Asia. New Holland Publisher (UK) Ltd. London.

19

Snapshot

COCOKKAN GAMBAR

Setelah membaca seluruh ar kel, cobalah cocokan gambar berikut dengan asal daerah kebudayaannya!

MESIR

BALI

AZTEC

JAWA

YUNANI

Fun Corner

20