Herpetosiana edisi 3

Page 1

Edisi 3|April 2017

TEMPO DOELOE

From Fin to Limbs: Tiktaalik roseae Stereogenyina : Kura-kura Leher Ular Terakhir yang Hidup di Laut Buaya Purba di Indonesia: Gavialis bengawanicus Asal-usul Evolusi dan Perkembangan Gigi Bisa pada Ular 1

Herpetosiana |III| April 2017

From Lizards to Snakes


Salam Redaksi Salam rakyat melata. Herpetosiana merupakan salah satu produk dari program kerja Departemen Hubungan dan Pelayanan Masyarakat bagian media Kelompok Studi Herpetologi. Pembuatan majalah ini berfungsi sebagai sarana penyalur antara herpetologis muda dengan masyarakat umum. Pada edisi ketiga kali ini, kami mengusung tema yakni “Herpetofauna Tempoe Doeloe”. Terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang membantu dalam proses penerbitan Majalah Herpetosiana. Tentunya masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan majalah ini, oleh karenanya kritik dan saran dari pembaca dapat dikirimkan ke alamat email redaksi.herpetosiana@gmail.com. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

Susunan Redaksi Pembimbing : Donan Satria Yudha, M.Sc Pimpinan Redaksi : Isna Mustafiatul Ummah Editor & Kurator : M. Zulfiqar Meizar P. Abdul Fattah Desainer & Layouter : R.M. Farchan Fathoni Laili Mufli Zusrina Ilustrator : Arnita Prasintaningrum Ketut Arte Widane Noor Annisa Devi Nailah Faizah Tim Kreatif : Lathifatul Faliha Noor Laina Maireda Reporter & Fotografer : Khadija Lung Ayu Ikhsan Jaya Foto Cover Luar : Iman Akbar M. Liang KSH, Kampus F. Biologi UGM Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman, D.I.Yogyakarta 55281

1

Herpetosiana |III| April 2017 redaksi.herpetosiana@gmail.com


#Salam Redaksi #Daftar Isi

1

#Artikel Divisi

3

2

#Serba-serbi Herpetopuzzle

KSH Ranger

From Fin to Limbs: Tiktaalik roseae

3

Kocak (Komik Cah KSH)

Stereogenyina: Kura-Kura Leher Ular Terakhir yang Hidup di Laut

5

#Kegiatan #Tokoh

Buaya Purba di Indonesia: Gavialis bengawanicus

8

Asal-usul Evolusi dan Perkembangan Gigi Bisa pada Ular

10

From Lizard to Snakes

13

2

Herpetosiana |III| April 2017

16 16 17 18 19 20


Artikel Divisi

From Fin to Limbs :Tiktaalik roseae

Oleh: Divisi Amphibia Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM

S

ejarah munculnya Vertebrata bertungkai telah menjadi salah satu kajian yang menarik di dalam kajian evolusi. Missing link antara kelas Sarcopterygii (bersirip) dan kelas Amphibia (bertungkai) yang masih menjadi misteri mulai terkuak satu-persatu. Hal tersebut didukung dengan bertambahnya temuantemuan ilmiah berupa fossil yang telah berhasil ditelusuri dan disimpulkan. Penelusuran ini umumnya dilakukan dengan mengamati struktur anatomi dan morfologi dari fossil yang ditemukan. Salah satu temuan mengesankan ini antara lain adalah salah satu ikan bertungkai yang dinamakan Tiktaalik roseae oleh Proff. Neil Shubin dkk. dari University of Chicago. Fossil Tiktaalik roseae pertama kali ditemukan oleh tim ekspedisi di Pulau Ellesmere pada tahun 2004. Spesies tersebut termasuk dalam kelompok ikan yang telah memiliki struktur tungkai primitif dan kemungkinan besar merupakan nenek moyang dari Tetrapoda modern. Tiktaalik roseae memiliki struktur anatomi dan morfologi tubuh berupa peralihan antara ikan dan tetrapoda. Dikatakan mirip ikan karena memiliki sirip, sisik, dan insang, sedangkan mirip tetrapoda karena sudah memiliki struktur tungkai primitif, memiliki bagian vertebrae yang disebut leher, struktur mirip gelang bahu, paru-paru yang berkembang, kepala datar dorso-ventral (seperti buaya), dan letak mata di posisi dorsal. Dari seluruh karakter yang ditemui, hal yang paling menarik untuk dikaji dari organisme ini adalah struktur tungkai primitif atau lebih dikenal dengan sirip berlobus (lobed fin). Struktur 3

Herpetosiana |III| April 2017

Gambar 1. Fosil Tiktaalik roseae (Shubin) ini kemungkinan adalah bentuk awal dari tungkai (arm) hingga berkembang menjadi beragam bentuk dan fungsi pada Tetrapoda modern. Dari hasil CT scan yang telah dilakukan, diketahui bahwa sirip berlobus dari Tiktaalik roseae telah memiliki beberapa tulang penyusun lengan, yaitu humerus, radius-ulna, dan struktur pergelangan tangan. Struktur tersebut juga dimiliki oleh kelompok primata, burung, reptil, dan amfibi. Struktur seperti ini memerlukan adanya pergelangan sebagai penopang, sehingga sangat mungkin berkembangnya struktur lengan diikuti oleh perkembangan gelang bahu.

Gambar 2. Rangka tungkai depan Tiktaalik roseae (Ahlberg and Clack, 2006)


Artikel Divisi Struktur lengan seperti ini kemungkinan mulai berkembang pada zaman Devonian atau sekitar 350 juta tahun yang lalu yang selanjutnya berkembang menjadi amfibi dan Tetrapoda lainnya. Diketahui awal mula kemunculannya adalah di sekitar Amerika Utara dengan distribusi mulai dari Pensylvania hingga Pulau Ellesmere di utara Kanada sekarang. Kemungkinan lokasi tersebut merupakan teluk dengan banyak muara dan delta. Nenek moyang Tiktaalik roseae kemungkinan masuk ke perairan air tawar dan terus menuju hulu. Pada akhirnya kompetisi yang begitu ketat dengan organisme perairan sungai lainnya ataupun dengan sesamanya memaksa hewan ini untuk mulai menginvasi daratan dan beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Temuan fossil ini memang telah sedikit

memberikan gambaran mengenai hubungan antara ikan dengan tetrapoda atau antara Sarcopterygii dan amfibi. Namun tentu saja ruang kosong yang belum tersingkap masih cukup besar untuk dapat diketahui secara utuh, sehingga perlu ada penelitian dan pembelajaran lebih lanjut mengenai hal tersebut untuk menyingkap missing linknya. Sumber : Ahlberg, P. E. and Clack J. A. 2006. Nature: A Firm Step From Water to Land, Nature Publishing Group, p. 747-749 Shubin, N. Organogenesis in Deep Time, youtube. com

April 2017 |III| Herpetosiana

4


Artikel Divisi

Stereogenyina : Kura-Kura Leher Ular Terakhir yang Hidup di Laut

Oleh: Divisi Testudinata Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM

D

i masa sekarang, kura-kura yang hidup di laut hanya kelompok penyu. Kelompok ini memiliki struktur tubuh yang terspesialisasi untuk hidup di laut, diantaranya tungkai yang berbentuk dayung, tempurung streamlined, dan struktur pendukung fisiologi lainnya. Penyu tergolong dalam subordo Cryptodira, yaitu kelompok kura-kura yang secara umum dapat memasukkan lehernya ke dalam tempurung. Dalam penggolongan kura-kura, selain subordo Cryptodira, terdapat juga subordo Pleurodira yang sering disebut sebagai kura-kura leher ular. Di masa sekarang, kelompok ini tidak ada yang hidup di laut. Menurut catatan fossil, beberapa kelompok kurakura leher ular ada yang hidup di laut. Kelompok ini dikenal dengan nama Stereogenyina.

Kura-kura kelompok Stereogenyina yang Gambar 1. Bairdemys thalassica sp. nov. Tengsudah punah memiliki garis keturunan yang relatif korak holotipe dengan kode IVIC-P-2908; (A) berbeda dibanding garis keturunan Podocnemidorsal, (B) ventral, (C) rostral, (D) caudal, (E) didae. Penelitian terbaru menemukan fosil pada sinistral, dan (F) dextral. (Ferreira et al,2015) formasi batuan Miosen Capadare yang tergolong Berdasarkan pengamatan dari lingkungan dalam kelompok Stereogenyina. Fosil yang ditesedimen di tempat penemuan fosilnya, disimpulmukan ini dimasukkan dalam genus Bairdemys. kan bahwa kelompok Stereogenyina adalah angKura-kura dalam kelompok Stereogenyina gota familia Podocnemididae yang hidup di laut. umumnya memiliki pola makan tipe durophagy. Hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian sebelDurophagy yaitu pola makan yang mengkonsumsi umnya mengenai fosil telur dan morfologi tunghewan-hewan bercangkang keras, seperti koral, kai. Stereogenyina menempati relung ekologis kepiting, dan lainnya. Berbeda dari kelompok Steyang serupa dengan penyu kelompok Carettini reogenyina pada umumnya, hewan yang fosilnya yang masih hidup sekarang. Di bagian tengkorak baru ditemukan ini tidak bertipe durophagy. juga ditemukan celah yang kemungkinan merupakan tempat kelenjar garam. Hal ini menunjukan 5

Herpetosiana |III| April 2017


Artikel Divisi bahwa Bairdemys thalassica memiliki relung di laut terbuka.

Daftar Pustaka Ferreira, G.S., Rincon, A.D., Solorzano, A., and Langer, M.C. 2015. The Last Marine Pelomedusoids (Testudines : Pleurodira): A New Species of Bairdemys and the Paleoecology of Stereogenyina. PeerJ 3:e1063.

April 2017 |III| Herpetosiana

6


Litoria infrafrenata Photo by: Guruh Fathin Cega 7

Herpetosiana |III| April 2017


Artikel Divisi

Buaya Purba di Indonesia Gavialis bengawanicus Oleh: Divisi Crocodylia Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM

D

i masa sekarang tersisa tiga familia dari kelompok buaya (ordo Crocodylia), yaitu familia Crocodylidae, Alligatoridae, dan Gavialidae. Anggota Gavialidae yang masih ada hingga sekarang hanya satu species, yaitu Gavialis gangeticus yang hidup di India. Dari penemuan fossil, diketahui bahwa species lain dari familia Gavialidae ada yang pernah hidup di wilayah Indonesia. Species ini dikenal dengan nama Gavialis bengawanicus.

Gambar 2. Fossil tengkorak atas Gavialis bengawanicus yang dipajang di Museum Sangiran (Dokumentasi Pribadi) Species ini diduga awalnya berasal dari wilayah Indo-Pakistan di awal Miosen. Di awal Pleistosen, species ini kemudian menyebar ke wilayah Sunda. Sampai saat ini masih terdapat perdebatan mengenai proses penyebaran Gavialis dari wilayah Indo-Pakistan ke Sunda. Teori pertama yaitu penyebarannya sempat melewati barrier Gambar 1. Gavialis gangeticus yang masih hidup hingga sekarang (Vitt and Caldwell, 2014) berupa lautan dan menyebar melalui pesisir. Teori kedua yaitu species ini menyebar melalui aliranGavialis bengawanicus merupakan species ang- aliran sungai dari India ke Thailand yang kemugota familia Gavialidae yang paling terkenal di- dian terjebak karena adanya pengangkatan yang antara yang sudah punah. Species ini juga meru- membentuk pegunungan Himalaya Timur. Popupakan satu-satunya anggota genus Gavialis yang lasi dari Thailand kemudian menyebar ke Indonevalid yang ditemukan di luar wilayah India. Selain sia saat lautan cenderung surut di awal Pleistosen. di wilayah Indonesia, fossilnya juga ditemukan di Thailand.

April 2017 |III| Herpetosiana

8


Artikel Divisi Daftar Pustaka Martin, J.E., Buffetaut, E., Naksri, W., Lauprasert, K. and Claude, J. 2012. Gavialis from the Pleistocene of Thailand and Its Relevance for Drainage Connections from India to Java. PLoS One. 7(9) : e44541. Delfino, M. and de Vos, J. 2009. A Revision of the Dubois Crocodylians, Gavialis bengawanicus and Crocodylus ossifragus, from the Pleistocene Homo erectus beds of Java. Journal of Vertebrate Paleontology. Vol. 30(2) : 427-441. Vitt,L.J. and Caldwell, J.P. 2014. Herpetology : an Introductory Biology of Amphibian and Reptiles, 4th Edition. London . Elsevier; pp. 543-548

9

Herpetosiana |III| April 2017


Artikel Divisi

Asal Usul Evolusi dan Perkembangan Gigi Bisa pada Ular Oleh: Divisi Serpentes Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM

J

ika melihat ular atau gambar ular, maka kebanyakan orang akan bergidik ngeri melihat atau membayangkan gigi bisa yang dimiliki oleh ular tersebut. Tapi tahukah anda bahwa gigi bisa pada ular bermacam-macam? Terdapat empat pengelompokan berdasarkan gigi bisanya, yaitu Aglypha, Opisthoglypha, Proteroglypha, dan Solenoglypha. Tipe gigi Aglypha dimiliki oleh ular yang tidak berbisa, tipe Opisthoglypha dimiliki ular dengan gigi bisa di belakang, tipe Proteroglypha dimiliki ular dengan gigi bisa di depan yang tetap, sementara Solenoglypha dimiliki oleh ular dengan gigi bisa di depan yang bisa ditekuk. Hal yang menjadi bahan perdebatan para ilmuwan sejak akhir abad ke-19 sampai saat ini adalah mengenai evolusi dan perkembangan gigi bisa pada ular, apakah ular bergigi bisa depan dan belakang memiliki asal usul evolusi dan perkembangan yang sama.

dan boa. Hipotesis yang diajukan antara lain (1) Ular dengan gigi bisa depan membentuk grup monofiletik dan gigi bisa mereka merupakan turunan dari gigi belakang; (2) Gigi bisa kelompok Elapidae (contoh : Kobra, dll) merupakan turunan dari gigi depan sementara gigi bisa Viperidae (contoh : Viper, dll) dari gigi belakang; (3) Gigi bisa Elapidae dan Viperidae merupakan turunan dari gigi belakang yang berkembang secara independen. Penyusunan asal usul evolusi dari berbagai jenis gigi bisa ini memerlukan pohon filogeni yang kuat dalam penentuannya. Karena dalam pohon filogeni molekular yang ada sekarang menempatkan Viperidae dibagian dasar pohon filogeni sedangkan Elapidae sebagai turunan evolusinya.Pengamatan secara molekular maupun secara histologi dilakukan untuk meninjau teori ini. Pada ular yang tak memiliki gigi bisa (Aglypha) seperti python, gigi maksila berkembang

Gambar 1. Jenis-jenis pergigian pada ular (Das, 2010) Terdapat 3 teori mengenai evolusi jenis gigi dari 1 dental lamina atau dari 1 baris gigi primitif. bisa pada ular ini dan hubungannya dengan gigi Untuk ular lebih maju dengan gigi belakang (Opisyang belum termodifikasi seperti pada ular python thoglypha) terdapat 2 dental lamina yang muncul April 2017 |III| Herpetosiana

10


Artikel Divisi secara terpisah dan bergabung selama perkembangan. Lamina depan hanya berisi gigi biasa sementara lamina belakang membentuk gigi dan kelenjar primitif yang kelak berkembang menjadi gigi bisa dan kelenjar Duvernoy.

sehingga untuk saat ini hasil penelitian yang paling baru dan valid adalah gigi bisa pada ular Viperidae dan ular Elapidae berasal dari Opisthoglypha dengan jalur yang berbeda. Referensi: Vonk, Freek J., Admiraal, J.F., Jackson, K., Reshef, R., Merijn, A. G. de Bakker, Vanderschoot, K., Iris van den Berge, Marit van Atten, Burgerhout, E, Beck, A., Mirtschin, P.J., Kochva, E., Witte, F., Fry, B.G., Woods, A.E. and Richardson, M.K. 2008. Evolutionary Origin and Development of Snake Fangs. Nature. Vol 454 . doi:10.1038/nature07178

Gambar 2. Ekspresi shh (gen sonic hedgehog) dalam embrio ular, menunjukkan asal pertumbuhan gigi bisa depan . Pada ular bergigi bisa depan seperti Viperidae dan Elapidae, pita pertumbuhan gigi maksila ditemukan di bagian belakang pada maksila. Selama perkembangan, gigi yang terletak di bagian belakang berpindah ke posisi dewasa yaitu di depan yang menunjukkan kemungkinan perkembangan evolusioner gigi depan yang berasal dari gigi belakang. Karena gigi yang berkembang berasal dari lamina bagian belakang, maka tidak ada gigi yang berkembang di bagian depan. Bagian yang sekilas tidak bergigi ini kemudian disebut dental ridge dan bagian ini ternyata ditemukan pada Viperidae dan Elapidae ,walaupun secara filogeni kedua kelompok ini tidak berhubungan dekat. Hingga saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai evolusi gigi bisa pada ular 11

Herpetosiana |III| April 2017


Dendrelaphis pictus Photo by: Ketut Arte Widane April 2017 |III| Herpetosiana

12


Artikel Divisi

From Lizards to Snakes Oleh: Divisi Lacertilia Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM

Dalam kasus evolusi hewan, evolusi yang mengarah ke pemanjangan tubuh telah banyak teramati. Meskipun begitu, hal ini masih menjadi suatu hal yang menarik bagi para peneliti. Salah satu kasusnya dapat ditemukan pada evolusi dari kadal ke ular. Transisi dari struktur badan kadal ke ular secara umum meliputi penambahan jumlah ruas tulang belakang secara besar-besaran. Ruas tulang belakang ular dapat berjumlah lima kali lebih banyak dibanding kadal pada umumnya. Penambahan jumlah ruas tulang belakang ini menjadi dasar bagi pemanjangan tubuhnya. Tidak hanya itu, terjadi juga perubahan struktur ruas-ruas tersebut menjadi lebih sederhana. Akibatnya ruasruasnya menjadi kurang terspesialisasi.

Gambar 1. Ophisaurus ventralis, contoh kadal yang tidak memiliki tungkai (Sumber: Vitt and Caldwell, 2014)

yang jauh lebih lama.

Beberapa ilmuan menduga bahwa evolusi dari kadal ke ular berawal dari adaptasi perilaku fossorial atau meliang. Tidak adanya tungkai membuat kehidupan meliang menjadi lebih optimal. Akibatnya lama kelamaan, kadal yang meliang Beberapa penelitian mengenai perkemmenjadi kehilangan tungkainya. Tubuh yang bangan embrio ular telah dilakukan. Penelitianmemanjang juga membantu pergerakan saat di penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui dalam tanah. Akibat dari adaptasi ini, beberapa faktor apa yang mempengaruhi perkembangan kelompok kadal yang meliang berevolusi menjadi struktur tubuh ular. Berdasarkan penelitian tersekelompok ular pertama. Sebagian kelompok ular but, diketahui bahwa beberapa kelompok gen hox tersebut akhirnya kembali hidup di permukaan taberperan dalam regionalisasi tulang belakang ular. Sampai sekarang belum ada pengamatan yang rinci mengenai pengaruh spesifik gen tersebut. Hal yang mencolok lainnya dalam transisi dari kadal ke ular yaitu proses kehilangan tungkai. Pada kadal, proses kehilangan tungkai telah teramati dan telah cukup banyak kasus yang terjadi. Beberapa kelompok kadal baru mengalami proses kehilangan tungkai pada beberapa juta tahun lalu. Beberapa telah kehilangan tungkainya sejak umur 13

Herpetosiana |III| April 2017

Gambar 2. Ophisaurus ventralis, contoh kadal yang tidak memiliki tungkai (Sumber: Vitt and Caldwell, 2014)


Artikel Divisi nah dan berkembang menjadi ular-ular yang seperti sekarang.

Daftar Pustaka : Woltering, J.M. 2012. From Lizard to Snake; Behind the Evolution of an Extreme Body Plan.

Curr Genomics 13(4) : 289-299.

Vitt,L.J. and Caldwell, J.P. 2014. Herpetology : an Introductory Biology of Amphibian and Reptiles, 4th Edition. London . Elsevier; pp. 577, 601.

April 2017 |III| Herpetosiana

14


“Without history there would be no future” - Anonymous-

15

Herpetosiana |III| April 2017


serba-serbi

Herpetopuzzle 1 2

3

4 5

6

7

8

9 10

11

12

14

13

15 16

17

18

19

20

21

22

23

Mendatar 3.Tipe gigi bisa yang terletak di belakang 6.Tipe gigi bisa yang terletak di depan dan tetap 7.Zaman mulai berkembangnya struktur sirip berlobus 8.Anggota familia Gavialidae dengan genus Gavialis yang masih ada hingga sekarang 10.Dosen yang tertarik pada evolusi 12.Perilaku meliang 15.Salah satu tulang penyusun lengan 19.Kelompok kura-kura leher ular terakhir yang hidup di laut 20.Karakteristik tempurung penyu 21.Wilayah yang diduga menjadi asal Gavialis bengawanicus 22.Negara selain Indonesia yang merupakan tempat ditemukannya fosil Gavialis bengawanicus 23.Kelompok kura-kura yang secara umum dapat memasukkan kepalanya ke dalam tempurung

Menurun 1. Nenek moyang herpetofauna 2. Pola makan yang mengonsumsi hewan-hewan bercangkang keras 4. Contoh kadal tanpa tungkai 5. Negara dimana Gavialis gangeticus berasal 9. Sirip berlobus 11. Tipe gigi bisa ular tidak berbisa 13. Tipe gigi bisa yang terletak di depan dan dapat ditekuk 14. Kelompok kura-kura leher ular 16. Kelompok gen yang berperan dalam regionalisasi tulang belakang ular 17. Nenek moyang amfibi 18. Familia species Gavialis bengawanicus

April 2017 |III| Herpetosiana

16


serba-serbi

17

Herpetosiana |III| April 2017


serba-serbi

April 2017 |III| Herpetosiana

18


kegiatan

Lomba Mewarnai dan Pematerian Herpetofauna di SD Ngemplak Nganti

Dalam rangka pelaksanaan rangkaian HUT KSH ke-25, Pada tanggal 18 Februari 2017 lalu, KSH mengadakan lomba mewarnai dan pematerian herpetofauna yang diselenggarakan di SD Ngemplak Nganti. Lomba mewarnai diikuti oleh siswa kelas 1 dan 2 SD Ngemplak Nganti. Acara dimulai pukul 07.30 WIB. Acara pertama yaitu lomba mewarnai diikuti oleh kelas 1 dan 2. Kelas 1 dan kelas 2 dibedakan menjadi 2 kelompok dan diberi gambar dengan tema “Herpetofauna� yang siap diwarnai. Para siswa mewarnai dengan teliti dan antusias. Perlombaan berlangsung selama 1 jam. Bagi siswa yang mewarnai paling bagus akan diberi penghargaan berupa hadiah yang sudah disediakan oleh KSH. Setelah perlombaan selesai, sekitar jam 08.30 WIB para siswa diajak untuk melihat dan mengenal lebih dekat herpetofauna yang lucu-lucu ini. Para siswa ditunjukan beberapa spesimen herpetofauna, seperti ular piton yang sudah jinak, beberapa penyu dan kura-kura, dan juga biawak air. Para siswa sangat senang saat berinteraksi dengan penyu cs. Selain pengenalan dengan spesies, para 19

Herpetosiana |III| April 2017

siswa juga dikenalkan dengan memberi pengetahuan umum tentang herpetofauna yang diharapkan berguna untuk para siswa hingga masyarakat sekitar. Acara diakhiri dengan pemberian hadiah untuk siswa yang mendapat juara 1,2 dan 3, pembagian snack untuk siswa yang berpartisipasi lomba mewarnai. Setelah pembagian snack, acara ditutup dengan foto bersama para siswa, kepala sekolah, guru dan staff, serta pemberian kenangkenangan untuk sekolah SD Ngemplak Nganti. Pemikiran terhadap herpetofauna yang menyebabkan banyaknya eksploitasi dan pembunuhan akibat ketidaktahuan masyarakat, dapat diubah mulai dari generasi muda hingga hal-hal kecil yang kita lakukan untuk memberi pengetahuan untuk masyarakat agar mengerti bahwa makhluk hidup, khususnya herpetofauna harus dijaga kelestariannya untuk anak cucu kita nanti. KSH jaya KSH!


tokoh

Evolusi Menurut Pandangan Pak Donan Satria Yudha Oleh: Khadija Lung Ayu Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM Siapa yang tak kenal Pak Donan Satria Yudha atau yang akrab dipanggil Pak Donan? Beliau adalah dosen pengampu mata kuliah Paleontologi, Evolusi, Herpetologi, dan Sistematika Hewan di Fakultas Biologi UGM. Pada hari Kamis, 2 Maret 2017 lalu, tim herpetosiana melakukan wawancara dengan Pak Donan mengenai evolusi. Beliau tertarik pada evolusi sejak beliau menyelesaikan S1 di Fakultas Biologi UGM dengan mengambil skripsi tentang fosil reptil. Beliau kemudian melanjutkan S2 di Institute of Human Paleontology, National Museum of Natural History, Paris, Perancis dan menjadikan fosil manusia purba di Indonesia sebaGambar 1. Foto bersama Pak Donan Satria Yudha gai topik thesis. Awal mula beliau tertarik pada evo- tung pada kondisi lingkungan. lusi adalah adanya fauna dari masa lalu yang telah Mempelajari evolusi adalah hal yang sangat punah pada suatu lokasi namun masih ada di lokasi yang lain serta dengan adanya fenomena persebaran penting menurut beliau. Dengan mempelajari evolusi kita bisa memahami perubahan yang terjadi karefauna masa lalu dan masa kini. na semua hal pasti memiliki proses. Beliau berharap Pak Donan memberikan contoh mengenai mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih menfosil herpetofauna. Herpetofauna di masa sekarang genai evolusi bahwa evolusi tidak melulu tentang berasal dari amfibi purba dari kelompok Temno- manusia berasal dari kera. Evolusi adalah sesuatu spondyli. Lebih jauh lagi juga Ichtyostega dan Acan- yang lebih besar yang terjadi terus menerus. Mahathostega yang merupakan Tetrapoda yang hidup di siswa perlu mempelajari evolusi untuk mengetahui dua habitat pertama kali. Selain itu ada Tiktaalik bagaimana proses kehidupan ini berlanjut. yang juga dipercaya menjadi nenek moyang amfiBeliau juga memiliki harapan khusus terhabi dengan ciri memiliki empat tungkai, bisa hidup di air dan darat, tidak punya sisik, serta embrionya dap KSH. Beliau berharap KSH lebih sering meltidak memiliki amnion. Amfibi kemudian berkem- akukan publikasi ilmiah, tidak hanya melalui semibang menjadi reptil dengan mulai beradaptasi ter- nar maupun jurnal tapi juga lewat youtube, website, hadap lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan maupun membuat buku. Menurut beliau, mahasiswa ini menyebabkan ciri morfologi dan anatomi yang harus bisa membuat apa yang disenangi menjadi ilberbeda-beda hingga muncul herpetofauna masa miah dan dikenal oleh masyarakat. Beliau juga mekini., meskipun secara evolutif tidak dapat ditentu- nambahkan, KSH harus lebih menunjukkan bahwa kan apakah herpetofauna masa kini lebih maju atau KSH itu ada dan memiliki kemampuan, terutama di tidak dari nenek moyangnya. Menurut beliau, evo- bidang herpetofauna. lusi herpetofauna adalah evolusi yang unik. Evolusi herpetofauna, terutama reptil, bersifat divergen atau meluas. Dalam evolusi ini tidak bisa dipastikan bahwa semua sama dan bertahap karena sangat berganApril 2017 |III| Herpetosiana

20


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.