5 minute read

Rumah Sampah

Oleh: Humaira Zaini Putri

Ilustrasi: Fatiza Khaira

Seorang gadis remaja yang baru menginjak usia 17 tahun termangu di depan tong kosong yang baru saja ia kais, tidak terasa hampir 20 menit gadis berambut pirang itu berdiam diri sambil membiarkan pikirannya berkelana ke mana saja. Ia berdiri dari duduknya sambil menenteng karung goni yang berisi sampah dan rongsokan yang sekiranya bisa dijual ke pengepul. Kaki kecilnya perlahan melangkah menuju rumah gubuk yang dilapisi karton yang sudah lapuk.

Perlahan tangannya membuka pintu tripleks yang sangat rapuh, jika tidak hati-hati membukanya dapat dipastikan pintu tersebut akan roboh karena tidak dilapisi dengan bahan material yang kuat. Bunyi gesekan pintu tersebut ternyata mencuri perhatian orang-orang yang ada di dalamnya, siapa sangka ruang kecil dan sempit itu ternyata dihuni oleh 4 orang.

“Eh, kakak sudah pulang,” ujar wanita tua yang biasa dipanggil Ibu. Melihat anak gadisnya sudah pulang dari kegiatan seperti biasa membuat ibunya tersenyum. “Sana bersih-bersih dulu habis itu makan, tadi ibu dikasih labu sama pak Tarto dan sudah ibu rebus, nanti kita makan sama- sama,” lanjut ibunya.

Melihat senyum manis terpaut di wajah kusam ibunya membuat gadis ini langsung mengambil handuk usang di samping tempat tidurnya, namanya Risa gadis yang baru menginjak usia 17 tahun dengan kulit sawo matang dan mata yang bulat. Mengingat hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-17 membuatnya berkecil hati, terutama saat mengais sampah tadi ia melihat anak- anak seumuran dengannya sedang menikmati hidup dengan bercanda ria dan makan- makan enak dengan keluarga dan teman-temannya. Tentu saja hal ini membuat Risa bersedih hati, di saat teman-temannya bersenang-senang sedangkan ia pulang sekolah langsung mengais sampah untuk makan besok pagi. Uang yang didapatkan dari pengepul sampah akan disimpan untuk membeli bahan makanan dan terkadang ia simpan untuk membeli es krim kesukaannya.

15 menit berkutat dengan air dingin akhirnya Risa menyelesaikan rutinitasnya setelah kotor-kotoran, sekarang Risa terlihat lebih segar dan bersih walau dengan baju usang kebesaran miliknya. Ia duduk di hadapan ibunya yang sedang memarut kelapa untuk dicampur ke dalam labu rebus yang ia masak tadi.

Setelah bersimpuh manis di lantai yang beralas ran rusak itu, sambil mengamati tangan ibunya yang cekatan memarut kelapa ia bertanya, “ Tumben, Bu. Biasanya kalau ada yang ngasih makanan paling nanti masaknya,” tanya Risa keheranan, karena tidak biasa ibunya berkelakuan seperti ini.

Ibunya tersenyum lalu menjawab “ Kamu kan hari ini ulang tahun, Nak. Umur kamu sudah beranjak dewasa dan sebentar lagi bisa mengurus KTP, makanya tadi ibu selesai menjual hasil sampah yang ibu dapatkan siang tadi ibu ketemu sama pak Tarto, keluarganya lagi panen labu dan ibu kebagian dua labu, satunya untuk besok kita makan dan satunya khusus untuk kita malam ini karena ibu gak bisa beliin kamu kue, Nak.” jelas ibu ke Risa.

Mendengar jawaban dari Ibu membuat Risa yang tadinya sedikit sedih dan murung menjadi tersenyum kembali, memang dia tidak memiliki harta yang banyak dan baju yang bagus-baģus tapi ia memiliki rumah yang besar yaitu ibunya sendiri. Ia bersyukur memiliki ibu yang sangat peduli dan menyayanginya sampai usia sekarang. Bohong kalau dikata Risa tidak menyukai kue, dia sangat menyukai kue tapi ia tidak ingin membuat ibunya kesulitan untuk memenuhi keinginan Risa. Ia akan mengumpulkan uang untuk membeli kuenya sendiri, walaupun uang yang didapatkan tidak seberapa. “Ibu, Ariel sama Yumna dimana? tadi aku sebelum mandi lihat mereka disini,” tanya Risa. Ibu berfikir sejenak, “Oh, adek kamu tadi ke luar beli beras untuk besok,” jawab ibu.

Mendengar jawaban ibu, Risa jadi teringat akan uang yang ia dapat dari pengepul, Risa mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu dan yang dua ribu sebanyak tujuh lembar ke tangan ibu. “Ini Bu, hasil penjualan sampah yang Risa dapetin hari ini Bu,” ujar Risa.”Loh, kamu masih nyari sampah tadi pulang sekolah nak? ibu kira kamu keluar ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang soalnya hari ini hari ulang tahun kamu,” tutur Ibu.

Risa tersenyum hangat, “Iya Bu, tadi rencananya Risa memang mau ke taman saja duduk-duduk Bu, tapi banyak sekali sampah yang bertebaran di taman sehingga tamannya jadi kotor dan juga botol-botol yang sekira nya bisa dijual ke pengepul bertebaran dimana-mana. Orang-orang sekarang buang sampah tidak pada tempatnya jadi gemas sendiri Risa Bu, jadinya Risa pungut dan sudah terlanjur juga banyak yang Risa dapatkan, makanya Risa memutuskan untuk memilih sampah-sampah yang bisa dimanfaatkan,” jelas Risa kepada ibunya. “Iya nak, dari sampah-sampah itulah kita bisa hidup makanya setiap hal dalam hidup harus selalu disyukuri walaupun orang menganggap sampah itu tidak penting, namun bagi kita orang-orang pinggiran seperti ini sampah adalah penghasilan utama kita. Orang-orang menyepelekan saja perihal sampah ini,” ujar Ibu. Pintu tripleks tersebut berdecit kembali yang menandakan adanya orang yang masuk ke dalam rumah kotak minimalis itu, dan dapat ditebak kalau itu adalah kedua adiknya. Melihat semua anaknya sudah berkumpul di rumah, ibu menyuruh keduanya meletakkan beras di belakang dan segera berkumpul di tengah untuk memakan labu kukus yang telah dipersiapkan oleh ibu untuk memperingati ulang tahun Risa. Satu persatu mengambil labu kukus di depan dan memakannya dengan khidmat. Ariel sang bungsu mengambil dua labu kukus di kedua tangannya. Risa paham sekali kenapa adiknya begitu antusias dengan labu kukus, karena makanan ini sudah termasuk makanan yang sangat mewah untuk mereka nikmati. Risa mengelus kepala kecil adik bungsunya dengan penuh sayang, rumah gubuk kotak ini menjadi saksi bagaimana kerasnya hidup dan bagaimana cara agar tetap bertahan dalam kerasnya dunia. Memang ia tidak memiliki keluarga yang lengkap, namun kasih sayang ibunya sudah cukup. Walau rumahnya dikelilingi oleh tumpukan sampah serta bau yang menyengat namun rasa labu kukus terasa seperti memakan makanan bintang lima mereka selalu diajarkan arti bersyukur oleh ibunya. Risa bersyukur dengan apa yang ia punya walaupun sampah menjadi makanan keluarga mereka sehari-hari untuk mengais rezeki tapi itu tidak membuat Risa malu dan gengsi sekalipun dia akan terus menjaga keluarganya walaupun hidup begitu sulit dan pelit tapi akan terasa mudah selagi masih ada ibu di sampingnya.

This article is from: