T it ik B a l ik Ril is a n F is i k
Mendengarkan Musik Sesungguhnya
Piringan hitam telah berkembang di Indonesia sejak awal abad ke-20. Mulai 1950-an mulai muncul pabrik rekaman. Salah satunya Lokananta. Oleh A.S. Rimbawana
P
iringan hitam, atau disebut juga vynil, baru dikenalkan pada masyarakat HindiaBelanda awal tahun 1900. Piringan hitam sendiri berkembang ketika phonograph, alat pemutar musik untuk piringan hitam, mulai didatangkan dari Eropa ke Hindia-Belanda. Mula nya, perusahaan rekaman asing yang mendominasi album rekaman yang masuk di Hindia-Belanda kala itu. Seperti Gramaphone Company (Inggris), Beka (Jerman), Parlophone (Inggris), Lyrophon. Baru setelah itu, di pertengahan 1950-an muncul studio piringan hitam Lokananta. Bembi Ananto, seorang staf remastering Lokananta mengatakan bahwa setidaknya, selama empat tahun terakhir, peminat rilisan fisik kembali menanjak. Tak terkecuali dengan piringan hitam. Menurut data Nielsen Soundcan penjualan piringan hitam di Amerika mengalami peningkatan 260 persen sejak 2009. Kemudian di 2014 penjualannya mening kat 52 persen. Di tahun 2015, dilansir dari Tirto.id, penjualan piringan hitam sudah mencapai 12 juta keping di Amerika. Kini, di Indonesia grup musik atau artis yang mencetak rilisan fisik masih banyak. Terlebih untuk rilisan fisik berbentuk piringan hitam, walaupun biaya cetak lebih mahal, tapi sebanding dengan kualitas. Bembi mengatakan, tidak tersedianya alat pencetak piringan hitam yang membuat biaya cetak makin mahal. “Di luar kan ada alat pressing piringan hitam, masalahnya di Indonesia tak punya. Lokananta punya tapi sekarang rusak,” keluh Bembi. Lokananta, berdiri sejak 20 Oktober 1956, di Solo, Jawa Tengah. Tempat yang dulunya disebut sebagai “pabrik piringan hitam” ini sekarang sudah beralih nama menjadi “studio musik” Lokananta. Studio yang bertempat di Jalan Ahmad Yani nomor 329, Kerten, Solo, Jawa Tengah ini kini memang tak lagi memproduksi piringan hitam. Dalam perjalanannya, awalnya Lokananta mem punyai dua tugas utama. Pertama, produksi dan duplikasi piringan hitam. Kedua, produksi dan du plikasi kaset audio. Pada tahun 1958, melalui RRI, dipasarkanlah piringan hitam berlabel Lokananta. Pada tahun 1961, karena pemerintah menganggap potensi penjualannya cukup tinggi, dibuatlah PP
Nomor 215 Tahun 1961. Peraturan pemerintah itu mengatur tentang kelembagaan Lokananta sebagai Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Ke mudian, di medio 1970-an sampai penghujung 1980an, Lokananta beralih media dari produksi piringan hitam menjadi produksi kaset. Kini, walau Lokananta tak lagi memproduksi pi ringan hitam, namun bukan berhenti sama sekali. Sekali waktu, bila memang ada grup musik yang pesan rekaman piringan hitam, hal itu tetap dilaya ni. Misal saja, White Shoes Couples Company, yang beberapa waktu lalu merilis albumnya dalam format piringan hitam.
Cetak Piringan Hitam
Piringan hitam mulai diperkenalkan di Indonesia mulai tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan hitam dalam hitungan rpm (rotation per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan hitam 78 dan 45 untuk plat dengan diameter 25 cm. Untuk ukuran 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm. Angka-angka tersebut adalah banyaknya putaran per menitnya. Semakin besar angkanya, semakin kecil diameter ukuran jarum pe mutarnya. Bembi menjelaskan, “Dulu sebelum dimasukkan piringan hitam, semuanya dari master dulu.” Kini, warna piringan hitam juga tak hanya sekadar hitam,
Bembi menunjukkan piringan hitam "Indonesia Raya" yang tersimpan di Lokananta.
GHOZA | EKSPRESI
EKSPRESI EDISI XXIX TH XXIV NOVEMBER 2016 71