Buletin Expedisi Edisi Reguler V Maret 2018 - Kolam Renang UNY Perlu Berbenah

Page 1

EXPEDISI EDISI V MARET 2018

MEMBANGUN

B U D AYA

Kolam Renang UNY Perlu Berbenah

KRITIS


surat pembaca “Suara” Perempuan dalam Historiografi Indonesia SEJAK didirikan tahun 2000 sampai hari ini, ada 476 judul skripsi yang diajukan di Prodi Ilmu Sejarah UNY. Dari jumlah tersebut, hanya 5 judul skripsi yang mengambil tema perempuan sebagai kajiannya. Tren ini tidak hanya terjadi di prodi ilmu sejarah UNY. Saya juga tidak banyak menemukan kajiankajian perempuan di institusi pendidikan lainnya. Pemahaman konsep gender, kesetaraan, feminisme, dan seksualitas belum secara luas dikenal mahasiswa sejarah, terutama pada tingkat strata satu. Secara metodologis, perlu dilakukan pemahaman kepada mahasiswa bahwa sumber-sumber sejarah yang tersedia masih bias gender. Pada skala nasional, ‘’suara’’ perempuan belum begitu nampak dalam

buku seri Sejarah Nasional Indonesia maupun Indonesia dalam Arus Sejarah. Hal ini tentu menjadi refleksi kita bersama. Langkah konkret apa kiranya yang diperlukan untuk memunculkan “suara” perempuan dalam historiografi Indonesia? Eka Ningtyas Dosen Ilmu Sejarah FIS UNY

Mall Tak “Berpenghuni” PLAZA UNY adalah laboratorium kewirausahaan milik UNY yang berlokasi di Jalan Affandi Gejayan Yogyakarta. Keberadaannya ditujukan sebagai sarana pendidikan enterpreneur bagi mahasiswa yang sedang studi di UNY dan guna memenuhi kebutuhan seharihari bagi mahasiswa maupun masyarakat umum.

editorial Pengelolaan Kolam Renang Harus Diperbaiki STANDAR kolam renang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air. Standar tersebut meliputi tiga kriteria yaitu parameter fisik, biologi, dan kimia. Namun, UNY belum mampu memenuhi standar baku mutu tersebut. Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan oleh Tim EXPEDISI pada 14 November 2017, air kolam renang UNY pusat memiliki pH 4. Kondisi tersebut di bawah pH standar (7.0-7.8) yang telah ditetapkan dalam Permenkes . Selain menjadi unit usaha komersial di bawah Badan Pengelolaan dan Pengembangan Usaha, kolam renang juga menjadi tempat perkuliahan. Sebagai tempat perkuliahan, pihak pengelola seharusnya bertanggung jawab menjadikan kolam renang nyaman serta mendukung kegiatan perkuliahan. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah memberikan perawatan kolam renang sesuai Permenkes. Perawatan yang tidak maksimal salah satunya berdampak pada pH air. Akhirnya iritasi mata dan gatal-gatal tidak

2

terhindarkan. Dampak tersebut sudah pasti mengganggu pengunjung juga kegiatan perkuliahan di kolam renang. Tanggung jawab terbesar memang dipegang oleh pihak pengelola kolam renang, tetapi pemakai kolam renang pun ikut bertanggung jawab pada kelayakan pakai kolam renang. Pengguna kolam renang seharusnya tidak membuang sampah dan kencing di dalam kolam renang karena hal itu berbahaya. Michele Hlavsa, kepala Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kepada Today, 19 Maret 2016 dalam Tirto.id, “Nitrogen dalam air kencing menyatu dengan clorin (Kaporit) dan menghasilkan racun kloramin; senyawa itulah yang menyebabkan mata merah saat kita berenang.” UNY sudah berumur 53 tahun. Sebagai perguruan tinggi sekelas universitas, seharusnya masalah fasiltas sudah teratasi dan fokus pada peningkatan di bidang mutu pendidikan. Redaksi

Fasilitasnya yang lengkap seperti sebuah minimarket yang menyediakan keperluan sehari-hari, keperluan kuliah, makanan ringan, minuman, beberapa kios barang dan pakaian, juga foodcourt di lantai 4, tempat parkir di dalam, musala, beberapa bank, full AC, lift, eskalator, dan ATM di luar gedung membuat bangunan ini sering disebut sebagai “Mall”-nya UNY. Namun, Mall ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat UNY, khususnya mahasiswa. Masih sedikit mahasiswa yang berkunjung ke Plaza UNY. Ratih Heksana Pendidikan Bahasa Inggris 2016

Pembatasan Penggunaan Stadion

STADION sepak bola UNY merupakan salah satu fasilitas yang disediakan untuk mahasiswa. Namun, dalam praktiknya kami sering dilarang menginjak rumput stadion oleh petugas. Padahal kondisinya masih dalam kegiatan perkuliahan. Kegiatannya pun membutuhkan tempat tersebut, misal kuliah permainan invasi (sepak bola). Saya berharap agar stadion bisa juga digunakan untuk kuliah sepakbola, tidak hanya untuk kepentingan komersial. Remisilado PGSD Penjas 2016

sempil +“Setiap sore kami beri obat pukul 18.00 WIB, setelah pengunjung keluar.” -"Obatnya tidak manjur, Pak."

Pimpinan Proyek M. Noor Alfian Choir | Sekretaris Khansa Nabilah | Bendahara Mu'arifah | Redaktur Pelaksana Rofi Ali Majid | Redaktur Ahmad Yasin, Gilang Ramadhan, Haris Dwi Saputra, Khansa Nabila | M. Bintang Akbar, Sunardi | Reporter Mu'arifah, Nossis, Yasin | Foto Bagas Nugroho Pangestu | Artistik Nossis Noer Dimas Hertanto, Prawala Adi Wara, Sunardi | Produksi Salma Azarah| Iklan Ahmad Yasin, M. Bintang Akbar | Tim Polling Ikhsan Abdul Hakim, Haris Dwi Saputra | Sirkulasi Gilang Ramadhan| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@yahoo.com | Web ­Ekspresionline. com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.

edisi v | MARET 2018


sentra

Nardi | Expedisi

n Laporan hasil uji pH air kolam renang UNY pusat di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada, Selasa (14/11/2017).

Kolam Renang UNY Belum Penuhi Standar Pengelolaan air kolam renang yang menyalahi Permenkes No. 32 Tahun 2017 menyebabkan berbagai permasalahan kualitas air. Kenyamanan pengguna kolam terganggu.

H

asil dari uji kandungan air kolam renang Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNY pusat, di Laboratorium Penelitan dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada menunjukan adanaya tingkat pH yang rendah, yaitu 4. Hal ini tentunya sangat berlawanan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk keperluan higiene sanitasi, kolam renang, solus per aqua, dan pemandian umum. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan standar baku mutu kesehatan lingkungan untuk media air kolam renang meliputi parameter fisik, biologi, dan kimia. Bila dilihat dari parameter kimia meliputi enam indikator yaitu pH, alkalinitas,

MARET 2018 | edisi v

sisa clor bebas, sisa clor terikat, total bromine/sisa bromine, dan potensial reduksi oksidasi (oxidation reduction potential). Dalam butir itu terdapat indikator terkait pH untuk kolam renang yaitu sebesar 7 – 7,8. Indikator fisik meliputi bau, kekeruhan, suhu, kejernihan dan kepadatan. Untuk kepadatan, semakin dalam kolam renang maka semakin luas ruang yang diperlukan untuk setiap perenang. Sedangkan dalam parameter biologi terdiri dari empat indikator yaitu pencemaran oleh tinja (E. coli), bakteri yang tidak berasal dari tinja (Pseudomonasaeruginosa, Staphylococcus aureus dan Legionella spp). Sedangkan parameter Heterotrophic Plate Count (HPC) bukan merupakan indikator keberadaan jenis bakteri tertentu, tetapi hanya mengindikasikan

perubahan kualitas air baku atau terjadinya pertumbuhan kembali koloni bakteri heterotrophic terkait pemberian clorin pada air di kolam renang. UNY memiliki dua kolam renang, salah satunya berada di FIK kampus pusat. Dalam pengelolaan airnya, pengelola menggunakan tricloride sebagai penjernih. Hedi Ardiyanto Hermawan selaku pengelola kolam renang FIK menjelaskan. “Setiap sore kami beri obat pukul 18.00 WIB, setelah pengunjung keluar,” papar Hedi ketika kami temui di kantornya. Hedi juga mengatakan jika pengecekan dilakukan setiap hari untuk penggunaan takarannya. Hedi menjelaskan untuk tiap kolam berbeda-beda, tetapi dalam pemberianya menggunkan gayung sebagai takaranya, “Satu gayung kurang lebih satu kilogram, jika diukur berat kurang lebih 1 kg, Itu modelnya menggunakan tricloride yang berbentuk padat,” papar Hedi. Selain itu Hedi menjelaskan bahwa pemberian tricloride dilakukan oleh lifeguard. “Kolam utama 8-9 gayung, kolam kecil 5-6 gayung, kolam pemula 3 gayung dan untuk kolam anak 1 gayung,” imbuhnya (17/12) Dalam pengelolanya kolam renang yang telah berdiri sejak 1976 itu menggunakan air yang sumbernya berasal dari sumur. Pengurasanya dialakukan setelah kolam air kolam terlihat kotor, seperti yang dipaparkan oleh Hedi. “Dari air sumur sumber airnya, untuk pengurasan kita buang seminggu sekali, kadang kalau airnya kurang jernih baru kita bersihkan,” kata Hedi. Riki Hirmawan dari program studi PGSD Penjas FIK, mengatakan bahwa dirinya merasa terganggu mengenai kulitas air kolam renang. “Kolam renang bagus, tetapi keramiknya pada pecah, sama kualitas airnya kadang keruh, warnanya hijau, kalau pulang gatal-gatal, di mata juga pedih juga,” kata Riki. Hal senada juga diutarakan Doreza Natya Lakhsita, salah satu mahasiwa dari Fakultas Ekonomi, program studi D3 Sekretari dari kampus Wates. Doreza mengatakan bahwa ia pernah berenang di kolam renang kampus pusat. Menurutnya, kolam renang UNY pusat tidak senyaman kolam renang kampus wates, dari segi kualitas airnya. “Mending di Wates lah, kalo di UNY pusat hancur tidak jadi kalo dikasih obat (air kolamnya), jadinya perih,” ucapnya. Doreza juga memberikan tanggapan terkait hal itu. “Ya sebaiknya diperbaiki, soalnya begini kalo di Wates kan ya banyak pegawainya, 3


sentra terus rutin, nah kalo di Jogja ini aku ga tau kapan bersihin kolam dan ngasih obatnya berapa.’’ tambah Doreza. Terkait hal ini dosen program studi Kimia UNY, Das Salirawati memberi penjelasannya. “Yang berbahaya itu clorin yang bereaksi dengan nitrogen dan oksigen yang di air, juga nitrogen klorida dan itu bersifat toksin atau racun.” Papar Das. Untuk efek jangka panjangnya, Das juga menjelaskan, “clorin dapat menyebabkan bronchitis dan asma dan juga epliglotis atau katup ditengorokan, kerusakan warna gigi karena pH yang tinggi yaitu enamel atau lapisan yang lebih luar”, jika tertelan efek pencernaan dan kerusakan jaringan pencernaan pada tubuh dan kerusakan pada lambung serta kerongkongan, tambah Das (17/12). Dia juga sempat memperlihatkan sebuah video ketika wawancara mengenai simulasi bahaya dari clorin ini. Das menjelaskan sebuah eksperimen yang dilakukan ketika memberi penataran kepada guru kimia di Kota Jogja. “Ini kan ikan di dalam tabung, saya hubungkan dengan detergen dan pemutih. Saya sambungkan pakai sedotan ke ikan. Detergen dengan pemutih menghasilakan clorin yang mengandung NaOh, tetapi pemutih mengandung Natrium Hipoclorin,Na, ketemu NaOh ketemu menjadi NA+ H2O + Cl2 jadi clorin. ikan yang di air sudah mati. Bahayanya seperti itu, apa lagi pada manusia.’’ ujar Das. Mengenai indikasi pengolahan air kolam secara kimia Das juga mengatakan jika kadar clorin tidak dikontrol secara rutin, maka akan lebih berbahaya. “Indikator pada mesin itu airnya tidak layak, apa yang dilakukan, dibuang, dikuras atau apa. Misalkan diputar kadarnya akan semakin tinggi, misalkan ada filternya tidak masalah, tetapi kalau tidak ada bagiamana?’’ kata Das. Dia juga menambahkan Na itu logam yang sangat berbahaya. Kaporit ini mudah larut, ini bahaya yang mengendap jika terhirup Cl2-nya itu. Berkaitan dengan hal tersebut kami juga menemui Suhadi, salah satu petugas analis kimia dari Balai Kesehatan dan Laboratorium Kota Yogyakarta. Ia menjelaskan mengenai proses pemberian obat penjernih kolam, yang dalam prosedurnya tidak bisa sembarangan memberikan obat begitu saja. “Diambil sempelnya sudah seberapa tahap, kedua kaporisasinya sudah sesuai rumus belum, maksudnya kaporisasi harus memeprhitungakn daya serap clor,’’ kata Hadi. Ia juga 4

“Kolam renang bagus, tetapi keramiknya pada pecah, sama kualitas airnya kadang keruh, warnanya hijau, kalau pulang gatal-gatal, di mata juga pedih,” Riki Hirmawan

menjelaskan bahwa kemungkinan pH kolam renang dan hasilnya dapat terlihat turun karena pemberian kaporit yang oleh pengunjung”. Namun, hal ini belum berlebihan. “Memang bakteri turun, terlihat di kolam renang FIK UNY. tetapi efeknya iritasi pada kulit dan mata,” lanjutnya (19/12). Hadi juga Haris Dwi Saputra menjelaskan mengenai takaran pemberian Ali, Nossis, Yasin obat sebelum menggunakannya. “Jadi kalau mau kaporisasi air murni, kita cek daya serapnya, kita ketemu berapa, angka keamanan 0,30-0,5 mil per gram liter. Maka kalau melakukan kaporisasi, misal mencari 0,5 yang ditambahakan konsentrasi 0,8 karena yang 0,3 akan terserap air yang ada kaporitnya,” kata Suhadi. Mengenai pemberian obat yang dilakukan setiap hari seperti yang dilakukan oleh pengelola kolam renang UNY pusat tidak sepenuhnya dibenarkan. “Tidak selalu benar setiap hari melakukan kaporisasi,” kata Hadi ketika kami temui di ruanganya. Menyoroti soal dampak yang akan ditimbulkan jika kaporisasi ini dilakukan secara sembarangan dan tidak menggunakan perhitungan, Hadi Repro | Nardi menjelaskan, “Misalkan sembarangan akan menyebabkan iritasi paru-paru dan kanker. Kaporitnya akan membunuh kuman, kalau terlalu banyak bahaya”. Terkait kandungan pH yang tinggi di kolam renang, Hadi menjabarkan kepada kami bila pH-nya tinggi akan menghasilkan asam hipocloride. Terkait dengan informasi mengenai kualitas air, dalam Bab III butir ke-2 Permenkes No. 32 Tahun 2017 menerangkan bahwa, “Dilakukan pemeriksaan pH dan sisa clor secara berkala sesuai standar baku mutu kesehatan lingkungan untuk media air

edisi v | MARET 2018


polling

Pengelolaan Kolam Renang FIK Tidak Diketahui Mahasiswa

H

asil tes pH air kolam renang UNY pusat belum sesuai dengan aturan dari Kementerian Kesehatan (Permenkes No.32 Tahun 2017). Adanya keluhan dari mahasiswa FIK membuat Tim EXPEDISI melakukan jajak pendapat untuk mengetahui wawasan mahasiswa, khususnya mahasiswa FIK mengenai pengelolaan kolam renang FIK. Jajak pendapat dilakukan dengan menyebar angket secara langsung kepada responden secara acak dan merata pada sampel sejumlah 339 orang yang mewakili 2.376 mahasiswa FIK. Jumlah tersebut diperoleh melalui rumus slovin dengan sampling error 5%. Sebelum megetahui kualitas kolam renang UNY pusat, perlu diketahui terlebih dulu sering atau tidaknya mahasiswa tersebut pergi ke kolam. Hasil jajak pendapat menunjukkan 64,6% menjawab “Ya”, 35,1% menjawab “Tidak”, dan 0,3% tidak menjawab. Dari data tersebut diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa FIK sering pergi ke kolam renang FIK. Kolam yang paling sering digunakan adalah kolam renang utama. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat, sebanyak 96,2% di kolam utama, 2,1% di kolam lompat indah, 0,3% di kolam anak, dan 1,5 tidak menjawab. Selanjutnya, kualitas air yang ada di kolam renang FIK 69,6% menjawab “Baik”, 22,1% menjawab “Buruk”, 5,9% menjawab “Sangat Baik”, 1,5% menjawab “Sangat Buruk”, dan 0,9% tidak menjawab. Data tersebut berbanding lurus dengan 59,6% menjawab tidak terganggu dan 40,4% menjawab terganggu dengan kualitas air yang ada di kolam renang FIK. Selain itu, untuk efek negatif yang ditimbulkan setelah berenang di kolam renang FIK 58,1% menjawab tidak ada efek, 23,9% menjawab gatal, dan 18% menjawab iritasi. Kemudian untuk cara pengelolaan air kolam, 88,8% menjawab tidak tahu, 10,9% menjawab tahu, dan 0,3% tidak menjawab. Begitu pula untuk jadwal pengelolaan 92,6% tidak tahu, 7,1% tahu, dan 0,3% tidak menjawab. Namun, berkaitan dengan air kolam

MARET 2018 | edisi v

yang tidak higienis, 33% setuju, 6,5% sangat setuju, 44,5% tidak setuju, 3,8% sangat tidak setuju, dan 12,1% tidak menjawab. Mengenai air kolam renang FIK mengakibatkan efek samping 29,5% setuju, 7,1% sangat setuju, 45,4% tidak setuju, 5,9% sangat tidak setuju, dan 12,1% tidak menjawab. Begitu juga pengelolaan kolam FIK yang kurang bagus 34,8% setuju, 6,8% sangat setuju, 43,7% tidak setuju, 2,7% sangat tidak setuju, dan 12,1 tidak menjawab. Berdasarkan hasil dari jajak pendapat yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa FIK tidak mengalami keluhan, merasa terganggu, atau mengalami dampak negatif dari air di kolam renang FIK. Namun, mahasiswa FIK tidak tahu mengenai cara ataupun jadwal pengelolaan air kolam FIK. Mahasiswa FIK hanya mengetahui bahwa pengelolaan kolam FIK sudah bagus dan sudah higienis. Tim Polling

Nardi | Expedisi

5


persepsi

NYIA Untuk Korporat, Bukan Rakyat

P

roses pembebasan lahan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo terus berlanjut meski penolakan dari warga dan berbagai elemen masyarakat semakin keras. Kritikan berbau penolakan terhadap megaproyek ini datang dari berbagai sudut pandang, seperti perizinan AMDAL yang kontroversial, kompensasi yang tidak sebanding, luasnya lahan pertanian produktif yang dialihfungsikan, serta masih banyak sudut pandang lain yang dapat kita temukan di berbagai media. Namun, pemerintah dan pihak terkait tetap bersikeras melangsungkan pembangunan, dengan dalih demi kepentingan bersama. Alasan pemerintah inilah yang menarik perhatian saya, apakah pembangunan ini benar-benar demi kepentingan bersama, atau sekadar alasan politis untuk memengaruhi psikis publik. Dengan adanya bandara dan berbagai infrastruktur lain tentu akan mendongkrak perekonomian nasional. Pertanyaannya apakah peningkatan perekonomian ini juga diimbangi dengan pemerataan perekonomian, atau hanya akan dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal saja? Kehadiran bandara tentu akan diikuti dengan hadirnya pembangunan-pembangunan di sektor lain seperti pusat industri, pusat perbelanjaan dan yang lainnya. Sektorsektor ini tentu tidak akan dikuasai oleh warga setempat yang terdampak, pasalnya dengan adanya bandara harga tanah akan meningkat berkali lipat, sehingga hanya orang-orang bermodal besar yang bisa membelinya. Sementara warga setempat yang tadinya berprofesi sebagai petani akan semakin termarjinalkan seiring dengan semakin luasnya lahan pertanian yang dialihfungsikan. Memang benar pemerintah menjanjikan lapangan pekerjaan bagi warga terdampak, tetapi apakah lapangan pekerjaan itu lebih layak daripada bertani? Untuk mengisi posisi-posisi strategis tentu perlu kualifikasi yang memadai, sedangkan mayoritas petani hanya menamatkan pendidikan dasar saja. Apalagi di antara warga terdampak banyak juga yang sudah melewati usia produktif. Walhasil, warga setempat hanya akan mendapat jatah pekerjaan 6

Dok. Istimewa

yang sama sekali tidak menjamin kesejahteraan, sebut saja kuli panggul, tukang kebun, tukang sapu, dan lain sebagainya. Saat ini mereka sudah merasa nyaman menjadi petani. Selain sudah merasa sejahtera, dengan menjadi petani mereka juga turut memberikan kehidupan bagi orang lain, karena tidak mungkin mereka mengonsumsi sendiri hasil pertanian mereka yang jumlahnya berton-ton itu. Tidak hanya itu, banyak juga warga dari desa lain yang bekerja menjadi buruh tani di lahan mereka. Namun, tiba-tiba pemerintah datang mengusik ketenangan mereka, mencoba mendepaknya dari tanah yang sudah puluhan tahun ditempati. Akan tetapi, sekeras apapun p e r l a w a n a n y a n g d i l a k u ka n , pembangunan akan tetap berlangsung. Warga akan tetap digusur, seperti itulah kisah yang sudah-sudah. Sekarang fokus kita adalah pada bagaimana bisa menjaga kesejahteraan warga tergusur. Bandara memang penting, tetapi kehidupan para petani juga tidak semestinya dikesampingkan. Selain sebanding, kompensasi yang diberikan juga harus bersifat berkelanjutan, misal dengan memberikan lahan pengganti untuk dikelola petani. Ganti rugi berupa uang bukanlah keputusan yang bijak, mengingat kecenderungan masyarakat kita yang masih konsumtif. Solusi lain adalah dengan membagi saham bandara, sebagian saham adalah

milik warga terdampak. Dengan seperti itu mereka akan terus mendapat penghasilan seiring beroperasinya NYIA. Jika tidak mau memprioritaskan kepentingan rakyat dalam pembangunan bandara, terutama rakyat terdampak, ya jangan bangun bandara di Kulon Progo. Kenapa bandara tidak dibangun di lapangan golf milik TNI saja--belakang Adisucipto--seperti kata seorang aktifis di media sosial, apakah lapangan golf lebih penting daripada lahan pertanian produktif milik warga? Dalam sebuah pembangunan, kesejahteraan rakyat haruslah diprioritaskan. Selama ini hal tersebut sekadar menjadi slogan-slogan modus pembangunan. Realitanya rakyat malah jadi pihak pertama yang dirugikan dari adanya pembangunan. Mulai dari kehilangan mata pencaharian, terusir dari tempat kelahiran, terdampak kerusakan lingkungan dan sebagainya. Jika pembangunan bandara di Kulon Progo tidak memprioritaskan kesejahteraan rakyat, lebih baik tidak usah ada bandara. Toh kita bisa hidup tanpa bandara, tetapi apakah bisa kita hidup tanpa hasil pertanian? Jangan sampai slogan pembangunan untuk rakyat dipelesetkan menjadi pembangunan untuk korporat.

Widi Hermawan Pemimpin Umum LPMT Fenomena 2015

edisi v | MARET 2018


persepsi

WCU Berangkat dari Toilet Dulu

M

Repro | Ardi

enargetkan world class vniversity (WCU), UNY mematok tahun 2025 untuk mencapai target tersebut. Dihitung mulai sekarang, UNY optimis bisa meraih label WCU sesuai tenggat. Namun, untuk meraihnya UNY harus meningkatkan kualitas kelembagaan yang meliputi sumber daya manusia, manajemen, keuangan dan seluruh fasilitasnya— baik fasilitas birokrat maupun fasilitas mahasiswa. Ihwal fasilitas kampus yang diberikan kepada mahasiswa, ternyata ada permasalahan yang sangat fundamental dan jarang dibahas dalam ranah diskusi kampus. Masalah fundamental itu tercermin pada fasilitas toilet-toilet yang ada di UNY. Sarana toilet di UNY bisa dibilang masih belum ideal bagi mahasiswa. Ketika kita membandingkan toilet yang digunakan oleh birokrat

MARET 2018 | edisi v

dengan toilet yang digunakan oleh mahasiswa, tentu banyak hal berbeda di antara keduanya. Seperti halnya terlihat pada toilet yang ada di Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Di fakultas ini malah ada toilet yang tidak membedakan gender—letaknya persis di depan ruang transit. Ketika mau memasuki ruang toilet tersebut, kita tidak akan menemukan adanya tanda seperti halnya stiker, pamflet ataupun tulisan untuk membedakan mana toilet laki-laki maupun perempuan. Maka di sinilah pelbagai permasalahan mengintai mahasiswa. Masalah yang terjadi seperti halnya saling berpapasan antarmahasiswa yang berlainan gender, ketika akan masuk maupun keluar toilet. Misal saja, ketika ada mahasiswi sedang memperbaiki jilbab atau hanya sekadar menyisir rambutnya di toilet, sementara pada saat bersamaan datang mahasiswa lain yang berbeda gender. Tentu hal tersebut secara tidak langsung akan menimbulkan risi. Seketika itu pula, pasti ada rasa tidak nyaman dan bahkan bisa menyebabkan adanya kejahatan seksual bagi pengguna toilet. Oleh se­bab itu, sa­ya le­bih se­pa­kat ke­ti­ka fa­ si­litas kam­pus seper­ti hal­nya toi­let ini mem­ beri­kan se­buah ke­ nyaman­an ter­sen­diri bagi peng­g una­ nya—apa­l agi toi­let un­tuk maha­s iswa. Di sisi lain, jika toi­l ettoi­l et ya­n g ada di UNY se­d ari awal ha­rus dibeda­ kan an­t ara laki-laki dan perempuan, mes­ti­nya di­ lakukan se­ cara merata di se­ti­ap fa­ kul­t as dan

ge­dung ku­liah. Ten­tu­nya tan­pa mem­ bedakan toilet buat birokrat maupun buat mahasiswa. Secara tidak langsung, adanya perbedaan fasilitas toilet di setiap fakultas dan gedung kuliah adalah cerminan tentang ketidakkonsistenan kampus dalam mengelola fasilitasnya. Lihat saja toilet di gedung dekanat dan gedung kuliah FIS lainnya, atau bahkan fakultas-fakultas lain di UNY yang membedakan gender. Secara tidak langsung kita akan mengikuti petunjuk atau arahan itu. Secara kultural hal tersebut akan membangun sebuah kebiasaan sehari-hari dalam menggunakan toilet. Selain itu, toilet yang ada di ruang-ruang birokrat maupun dekanat bisa dibilang memiliki kelas yang lebih baik ketimbang toiletnya para mahasiswa. Mulai dari perlengkapan yang ada di dalamnya, seperti sabun, handuk tangan, hingga kunci pintu toilet yang sudah rusak. Fasilitas-fasilitas seperti itulah yang seharusnya diperhatikan para birokrasi demi menunjang dunia akademisi yang lebih nyaman. Setidaknya, gambaran toilet yang bersih dan nyaman adalah sebuah representasi tata kelola kampus yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh David Kaplan dan Robert A. Manners dalam Teori Budaya, menjelaskan tentang adanya Konsep Adaptasi. Di mana suatu lingkungan yang tercipta oleh suatu sistem yang dibuat oleh manusia, maka lingkungan tersebut akan menimbulkan suatu budaya atau kebiasaan yang baru. Dalam hal ini, toilet adalah representasi dari adanya sistem tata kelola fasilitas yang ada di UNY. Oleh karena itu, dan sekali lagi, bahwa masalah toilet yang ada di kampus ini memang bukanlah hal yang sepele. Dari adanya toilet yang buruk akan menimbulkan suatu budaya yang buruk pula bagi mahasiswa, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, seperti di awal sudah dijelaskan, apakah pada 2025 nanti UNY akan mencapai target yang prestise tersebut? Jawabannya bisa saja iya dan bisa saja tidak. Setidaknya berangkat dari sebuah fasilitas bernama toilet, masa depan kampus bisa jadi lebih ideal.

Sunardi

7


tepi

Khansa | Expedisi

n Said Sanjaya saat diwawancarai di Laboratorium Musik dan Tari FBS pada Selasa (30/01/2018).

Masih Tentang Pendampingan Difabel Pelayanan dan fasilitas terhadap mahasiswa tunanetra khususnya terkait pendampingan masih kurang. UNY harus terus berbenah, ditambah dengan adanya PSLD.

N

a­ma­­nya De­ni Sep­­tya­­nu­­gro­­ho. Mu­­la­­nya ia me­­ma­­ng in­­g­in ku­­li­­ah di UNY, te­­ta­­pi sem­­pat ga­­gal ma­ suk ka­­re­­na di­­to­­lak le­­wat ja­­lur SNM­PTN dan SBM­PTN. Sa­at men­daf­tar Se­lek­si Man­di­ri UNY, ia sem­pat pe­si­mis ti­dak da­pat ku­li­ah ka­re­na dia ber­pi­kir bah­wa UNY ti­dak mem­be­ri­kan ak­ses un­tuk di­fa­bel. Na­mun se­ka­ra­ng ia men­ja­di ma­ha­sis­wa ju­ru­san Pen­di­di­kan Lu­ar Biasa angkatan 2015. Sa­at di­te­mui di de­pan Re­ktorat UNY pa­da Ju­mat (26/12/2017), De­ni ber­ce­ri­ta pe­ng­ala­man saat per­ta­ma ka­li­ku­li­ah. Ia mem­bu­tuh­kan waktu selama seminggu 8

untuk beradaptasi. Untuk memasuki ruangan ia menghitung pintu ruangan. Ia pernah punya pengalaman lupa dengan ruangannya. Ia di­te­ma­ni te­man­nya un­tuk ber­ ja­lan-ja­lan me­ng­ha­fal­kan lo­ka­si UNY. Se­la­ma semi­ng­gu itu dia me­nge­nal se­gi ru­ang­an di UNY, khu­susnya Fa­kul­tas Il­mu Pen­di­di­kan (FIP). Sa­tu bu­lan ia gu­na­kan un­tuk me­ngena­li wi­la­yah ya­ng ja­rang ia kun­ju­ngi, se­per­ti perpus­ta­ka­an pusat UNY. Pada awal kuliah, ia masuk FIP melalui pintu timur karena pintu gerbangnya di timur. Namun akses di

sana masih belum dapat dilalui olehnya. Alasannya terhalang dengan parkiran FIP. Selanjutnya, ia terbiasa lewat jalur barat, melalui dekanat karena jalannya sudah tertata. Ia sempat bingung ketika jalan kampus ditutup tanpa informasi maupun tanda. Akibatnya ia harus memutar saat sudah sampai di lokasi. “Lumayan membuat bingung juga, saya harus berpikir ulang bagaimana caranya sampai ke tempat tujuan dengan rute terdekat,” ujar Deni melalui pesan suara saat dikonfirmasi lebih lanjut, Selasa (27/02/2018). Deni juga mengalami kesulitan saat beraktivitas di dalam kelas. Seperti kesulitan saat ada beberapa dosen yang kurang memahaminya. Misalnya, dosen memberikan penjelasan gambar virtual, tetapi penjelasannya kurang mendetail. Untuk mengatasinya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk menjelaskan kembali jika paparan dosen belum ia pahami. Saat ujian, beberapa dosen memberikan soal tertulis, padahal Deni tidak bisa membaca soal tersebut sendiri; ia membutuhkan waktu yang lama. “Terkadang (saya) meminta bantuan teman untuk membacakan,” tutur Deni. Namun, ada beberapa dosen yang langsung memberikan softfile sehingga dapat dibaca oleh komputer. Kesulitan lain didapat ketika mencari buku. Deni lebih mencari softfile karena bisa langsung dibaca oleh komputer. Softfile yang dia maksud berbentuk audiobook atau buku teks berformat Microsoft Word dan pdf. Layanan yang ada di perpustakaan masih belum bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas kuliah karena belum ada layanan digital. “Saya belum tahu ada softfile (di perpustakaan),” ungkapnya. Deni tidak menyandang tunanetra sejak lahir. Ia mengalaminya saat menginjak kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu ia jatuh sakit panas tinggi kemudian di kornea matanya tertutupi selaput putih sehingga ia tidak bisa melihat. Ia berhenti sekolah dua tahun, kemudian kakekanya mengenalkannya dengan asrama tunanetra. Sejak itu Deni mulai bangkit dan mulai berkenalan dengan organisasi difabel. Ia bergabung dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DIY. Saat ini ia menjabat sebagai Ketua Biro Olahraga dan Kesenian Pertuni DIY. *** Dentingan piano dari dalam kelas menggema di koridor lantai dua edisi v | MARET 2018


tepi Laboratorium Musik dan Tari yang lengang pada Selasa (30/01/2018). Seorang laki-laki sedang duduk di kursi panjang yang kemudian saya kenal bernama, Said Sanjaya, tengah mendengarkan gawai yang ia pegang. Saya menyapa lalu menyalaminya. Ia menyambutnya. Said adalah mahasiswa Pendidikan Seni Musik 2016. Ia juga mengalami hal sama dengan Deni. Dirinya merasa kesulitan saat mengerjakan ujian. Pasalnya, tidak semua mahasiswa yang dimintai bantuan dapat membaca partitur. Ketika ujian tiba, dia harus meminta bantuan dari kawan satu jurusan atau kakak tingkat. “Teman satu angkatan saya ada yang kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia). Kalau teman satu kelas kan enggak mungkin, kan sama-sama sedang UAS (Ujian Akhir Semester),” paparnya. Said menyayangkan belum adanya pendampingan saat ujian di Jurusan Pendidikan Seni Musik. Ia menjelaskan bahwa pendampingan saat ujian berupa bantuan membacakan soal dan menuliskan jawaban. Harapan Said kedepan, pendampingan dibutuhkan tiap mahasiswa difabel. Keinginannya kuliah di Pendidikan Seni Musik UNY untuk menggapai citacitanya menjadi musisi dan pengajar. Ia juga bercerita bahwa dirinya ingin membuktikan bahwa tunanetra dapat kuliah di musik. Ia memang menyukai musik, dan hobi di musik. *** UNY meluncurkan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) pada Senin 17 Juli 2017. PSLD merupakan lembaga pendukung penyelenggaran pendidikan inklusif melalui berbagai kegiatan. Salah satu misinya yakni, menyelenggarakan layanan kepada penyandang difabel. Selain itu, PSLD merupakan pusat penelitian terkait isu-isu yang berhubungan dengan difabel. “Sudah sejak lama menjadi topik pembicaraan di jurusan Pendidikan Luar Biasa, tetapi baru bisa terealisasi sekarang,” kata Nur Azizah, Ketua PSLD, melalui surel pada Selasa (20/02/2018). Ketika dimintai keterangan terkait kampus inklusi, Azizah menjelaskan, “Kami menginginkan UNY menjadi kampus yang ramah bagi siapapun tidak terkecuali mahasiswa berkebutuhan khusus.” UNY akan terus meningkatkan fasilitas dan pendukung pembelajaran untuk mahasiswa difabel. Saat ini UNY memiliki 11 mahasiswa penyandang MARET 2018 | edisi v

difabel yang tersebar di FIP, FE, FIK, FT, dan FBS. Azizah memaparkan, secara fisik UNY mulai berbenah untuk menciptakan aksesibilitas bagi mahasiswa penyandang difabel agar bisa mengakses tempat kuliah dan fasilitas pendukung lainnya dengan mudah, aman, dan nyaman. “Secara psikis, kami selalu mengkampanyekan untuk lebih akomodatif terhadap kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus agar bisa berpartisipasi secara optimal dalam semua kegiatan perkuliahan,” jelasnya lewat pesan surel. Fasilitas fisik yang ada di UNY misal ramp, lift dan toilet khusus. Fasilitas yang membantu kepada pembelajaran misal adanya perpustakaan digital yang membantu mahasiswa tunanetra mengakses informasi nonfisik, seperti buku. Saat dikonfirmasi lebih lanjut pada Senin (26/02/2017) lewat pesan singkat perihal penyediaan audiobook, Azizah mengatakan, “Fasilitas yang lain pelan-pelan diakomodasi.” Di UNY sendiri juga terdapat Komunitas Sahabat Disabilitas yang diprakarsai oleh mahasiswa dari Jurusan PLB. Azizah menjelaskan bahwa Komunitas Sahabat Difabel ini lah yang siap membantu mahasiswa penyandang

“Kami menginginkan UNY menjadi kampus yang ramah bagi siapapun, tidak terkecuali mahasiswa berkebutuhan khusus.” Nur Azizah difabel. “Misalnya, menjadi interpreter, reader, atau pendampingan lain,” jelasnya. Komunitas Sahabat Difabel sendiri nantinya akan bekerjasama dengan PSLD untuk memberikan pelayanan. Pendampingan di UNY masih dilakukan oleh Komunitas Sahabat Diisabilitas. Nantinya pendampingan juga diberikan oleh PSLD. Untuk interpreter atau reader biasanya bertugas saat pembelajaran atau ujian. *** Buletin EXPEDISI edisi VII tahun 2012, pernah membahas adanya organiasai khusus mengenai PSLD Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. PSLD UIN tersebut dibentuk tahun 2007. PSLD sudah memberi banyak pelayanan untuk mahasiswa difabel. Ridwan, salah satu staf PSLD UIN, menanggapi bahwa PSLD juga

Dok. Istimewa

memberikan advokasi, audiensi, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud yaitu pendampingan saat ujian dan pendampingan bagi mahasiswa difabel di setiap aktivitasnya di kampus, ”Mereka didampingi saat pergi ke perpustakaan atau ke tempat lain di sekitar kampus,” tambahnya, Kamis (8/11/2012). PSLD UIN memberikan lokakarya kepada mahasiswa difabel, seperti pelatihan komputer khusus untuk mahasiswa tunanetra. Pelatihan bahasa Inggris dan Arab huruf braille pun juga dilaksanakan. Menanggapi PSLD UIN, Azizah menyatakan bahwa sejak lama UNY sudah berani menerima mahasiswa berkebutuhan khusus jauh sebelum UIN Kalijaga, tetapi belum ada lembaga yang secara khusus melayani mereka dan berhubungan dengan isu-isu difabel. Semua fakultas di UNY bisa menerima mahasiswa berkebutuhan khusus, asal bisa lolos kriteria secara akademik. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2016 yang memandatkan Perguruan Tinggi memiliki unit layanan difabel, dijadikan momen penting untuk meluncurkan PSLD di UNY. Sebelum adanya PP Nomor 8 Tahun 2016, di Indonesia sendiri terdapat peraturan terkait pendidikan inklusi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 membahas Pendidikan Inklusi. Dalam peraturan tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib menunjuk minimal satu sekolah perlevel pendidikan agar menyelenggarakan pendidikan inklusi di setiap kecamatan. Pendidikan inklusi memberikan porsi yang sama bagi para mahasiswa tanpa terkecuali dalam satu kelas yang tujuannya untuk mengembangkan orientasi dan mobilitas difabel. Khansa Nabilah Mu’arifah

9


resensi

Chomsky dan Politik Kuasa Media

Judul : Politik Kuasa Media Penulis : Noam Chomsky Penerbit : Jalan Baru Terbitan : Januari 2018 Tebal : vii + 51

E

sai menjadi salah satu jalan untuk menuangkan hasil karya dari relung-relung pemikiran. Berbagai esai lahir untuk menjadi dukungan maupun kritikan bagi suatu hal. Tujuannya tentu selain menjadi wadah bagi penulis, juga diharapkan memiliki dampak bagi kehidupan. Individu hingga tatanan masyarakat menjadi objek “pemasaran” Esai tersebut. Lelaki kelahiran 1928 dan menjadi salah satu professor lingustik ternama di Amerika Serikat tersebut telah menjadi salah satu aktivis anti perang yang diperhitungkan. Karya Chomsky pun telah dinikmati oleh dunia dengan gaya khasnya: sinis dan kritikus. Tak berlebihan jika lelaki yang mengajar di Massachusetts Institute of Techology tersebut dikabarkan pernah “diincar” oleh Central Intelegence Agency (CIA) pada tahun 70-an karena penolakannya terhadap perang dan membangkang Pemerintah Amerika Serikat. Politik Kuasa Media langsung mengajak pembaca pada inti permasalahan di setiap babnya. Tanpa perlu bahasa yang bertele-tele, setiap artikel akan langsung menunjukkan kekhasan 10

seorang Chomsky. Setelah membuka lembaran demi lembaran, maka secara tak sadar Chomsky telah memberikan suatu pandangan baru mengenai tata negara tanpa perang. Setidaknya ada 4 bab menarik dalam buku ini di samping bab-bab menarik lainnya yaitu: Industri Humas, Rekayasa Opini, Parade Para Musuh, dan Diskriminasi Persepsi. Dalam Industri Humas, dipaparkan bahwa Amerika Serikat sejatinya adalah sebuah negara besar namun diatur oleh pasar. Bagaimana mungkin dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun (1920-an hingga 1930-an) mampu mengubah sebuah tatanan dari aturan publik ke aturan bisnis. Setelah diselidiki konggres, ditemukanlah fakta bahwa industri humas tak sekadar seperti public relations semata melainkan sudah bermain hingga satu miliar dollar menurut Chomsky. Dimulai dari pemberlakuan Wagner Act yang membuat rakyat dapat berorganisasi dan apabila mau menjadi “lebih dari penonton” hingga upaya industri humas untuk memengaruhi masyarakat agar menjadi “layaknya di televisi”. Hasilnya, organisasi pun merosot dan masyarakat lebih sibuk dengan urusan sendiri. Berlanjut ke Rekayasa Opini, Chomsky menerangkan bahwa masyarakat Amerika Serikat itu sebenarnya anti perang. Mereka lebih gemar menggelontorkan dana untuk tujuan sosial. Namun, bagaimana peranan pemerintah mengubah hal itu adalah satu hal yang menarik karena mereka menggunakan suatu alat yaitu, “Media”. Dalam hal ini, media massa selalu disuntik materi tentang pentingnya membela negara ditengah perang berkecamuk. Namun kesulitan terus menghalangi seperti sifat dasar humanis dan lainnya, meski pada akhirnya sukses dengan adanya wabah bernama “Perang Vietnam” Lalu pada Parade Para Musuh diterangkan bahwa masyarakat kecil adalah kelompok yang paling berdampak pada keputusan pemerintah. Mereka adalah yang pertama terkena dan paling merasakan. Pandangan mereka terhadap keadaan pun kemudian diaihkan kepada hal-hal yang menyenangkan seperti hiburan sehingga tidak merasakan

susahnya pemotongan gaji, mahalnya biaya pendidikan dan lain sebagainya. Apabila mereka menyadari hal tersebut, tentunya akan sangat berbahaya. Akhirnya Diskriminasi Persepsi menceritakan ulang tentang memoir Armando Vellederes yang mengalami neraka bernama “Kuba”. Ia menulis buku tentang “Pikirannya Terhadap Kuba” dan diulang oleh media Amerika seperti Washington Post. Velledes pun dianugerahi penghargaan HAM oleh Ronald Reagen. Kisah tersebut tidak sesadis yang dialami Herbert Anaya pernah mengalami siksa “Esperanza” tetapi eksistensi perjuangan HAM nya tidak digagas. Chomsky pun menerangkan negara-negara yang pernah berkasus dengan HAM salah satunya Indonesia. Disini Chomsky menghidangkan keadaan Amerika Serikat “sesungguhnya” kepada pembaca. Pandangan Chomsky dalam buku ini menegaskan bahwa Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai “distributor HAM” justru sering mengabaikan HAM di wilayahnya dan menjual HAM untuk kepentingannya sendiri. Tak hanya tersebut, agitasi dan propaganda Amerika Serikat pun ternyata juga tercatat pernah bermain “di bawah meja” dan Chomsky sukses menerangkan hal-hal sensitif tersebut. Secara keseluruhan, tulisan-tulisan Chomsky memiliki kelebihan yang mumpuni tetapi juga kekurangan yang sayang untuk dikritisi. Kelebihannya adalah tulisan yang langsung menuju inti tanpa perlu berbelit-belit dan menunjukkan jati diri seorang Chomsky adalah hal yang menarik. Ia tidak berdiri secara netral melainkan memihak kepada fakta yang ia temukan. Kekurangannya justru terletak pada bahasan Chomsky yang terkesan sensitif karena berkaitan dengan kritik pedas terhadap pemerintah sehingga membuat masyarakat yang masih awam menduga-duga bahwa Chomsky adalah pelawan pemerintah, bukan pembangun pemerintah. Terlepas dari hal tersebut, buku ini dapat dijadikan salah satu bacaan wajib untuk menambah wawasan. M. Bintang Akbar

edisi v | MARET 2018


wacana

Menyoal ‘Pembangunan’ yang Baik dan Benar

P

embangunan dalam pengertian umum merupakan kata benda. Kosakata itu terdiri dari kata dasar bangun yang diapit oleh konfiks. Meskipun kerap diartikan proses/cara/ perbuatan membangun, kata ini masih sangat abstrak untuk dibayangkan. Oleh karena itu, hal ini tidak berhenti sebagai persoalan tata bahasa, tetapi juga perkara memproyeksikan gagasan abstrak menjadi sesuatu yang konkret. Kosakata pembangunan menjadi kosakata yang kerap dipakai sebagai retorika. Ada situasi paradoks yang (sengaja) diciptakan dengan pemakain kosakata tersebut. Pemakaiannya mengantarkan kita kepada pemahaman tentang adanya suatu masalah, misalnya kemiskinan, kurangnya infrastruktur, kelesuan ekonomi, ataupun kemacetan. Sehingga, pembangunan seolah merupakan satu-satunya solusi untuk masalahmasalah di atas. Beberapa judul berita berikut ini mungkin bisa dijadikan contoh: Butuh Dana Pembangunan, Jokowi Klaim Punya Banyak Jurus (wartakonomi.co.id, 29 Desember 2017); Pembangunan Bandara Dorong Pertumbuhan Ekonomi di Daerah (Liputan6.com, 30 Desember 2017); Pembangunan Jalan Trans Papua Dinilai Sebagai Sejarah Baru (Tribunnews, 27 Desember 2017). Ideologi pembangunan, ideologi industrial Kemunculan ‘pembangunan’ sebetulnya hasil dari pembakuan bahasa. Pembangunan sebagai konsep abstrak lahir untuk membikinnya lebih umum daripada kata dasarnya, yakni bangun. Dalam tulisannya di Prisma I, 1989 berjudul “Berjangkitnya BahasaBangsa di Indonesia”, Ariel Heryanto menjelaskan jika kata ‘membangun’ sebenarnya terikat dalam batas-batas pengertian lama sehingga tidak berarti fisikal atau material. Sebagai contoh ‘mBangun trisno’. Ketika ‘pembangunan’ menyembul, imbuhan pe- dan –an itu tidak hanya menciptakan kata baru, tetapi juga bahasa baru dan suatu kerangka wawasan yang baru.

MARET 2018 | edisi v

Pembakuan ‘pembangunan’ yang lebih bersifat global akhirnya turut meniscayakan tata bahasa “yang baik dan benar”. Mau tak mau, kata pembangunan akan merujuk pada ideologi industrial yang sudah berjejaring. Adanya hubungan produksi dalam industri kemudian meniadakan konteks sosial dan keragaman makna yang sebelumnya terikat pada kata ‘membangun’. Ketika kata pembangunan berdiri sebelahan dengan kata nasional, yang terjadi adalah monopoli makna. Kita akan mengamini jika mitos dunia ketiga

Nossis | Expedisi

itu memang ada dan pembangunan nasional adalah keperluan mendesak untuk melepaskan pelabelan itu. Dengan menyuarakan terus pembangunan nasional, secara tidak langsung kita masih merasa sebagai bangsa yang baru dijajah dan terpuruk. Padahal ukuran keterpurukan suatu bangsa itu dibikin berdasarkan hitungan matematis industri global, di mana ia hanya bisa melakukan penilaian terhadap sesuatu yang pasti dan tak kasat mata. Pembangunan semacam itu hanya akan melihat objeknya sebagai komoditas. Apa yang terjadi di daerah-daerah konflik agraria, menurut saya, adalah buah dari persilangan makna kata pembangunan yang berorientasi pada industri di mana ia tak menghiraukan kemampuan dan potensi lokal untuk ‘membangun’ dirinya sendiri

Bahasa tidak bebas nilai Pembahasan kosakata pembangunan di atas menunjukkan jika bahasa bukan sekadar kendaraan komunikasi. Bahasa ditentukan oleh konstruksi sosial dan dipengaruhi kepentingan. Ia bisa menciptakan kaidah-kaidah tertentu, untuk menentukan pikiran-perasan dan tatanan kehidupan berikutnya. Dengan demikian, bahasa tidak pernah bebas nilai. Orde baru (Orba) adalah rezim yang sering memakai kosakata pembangunan. Tahun 1968, Orba merealisasikan konsep pembangunannya secara berkala. Kabinet Ampera menamakannya Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Selama 30 tahun lebih kita jadi acap mendengar ‘pembangunan’ bersama kawannya yang lain seperti ‘stabilitas’ atau ‘asas tunggal’. Hal itu karena pembangunan menjadi salah satu pengamalan dari tafsir tunggal atas Pancasila. Jika tidak pro pembangunan versi Orba, ia akan dicap anti-Pancasila. Masyarakat diimbau untuk selalu berpartisipasi pada pembangunan nasional. Maksud Orba menggunakan kata itu tidak hanya menunjukkan hitung-hitungan untuk kepentingan Indonesia, tetapi makin membungkus citranya sebagai rezim yang seolaholah peduli kemajuan bangsa. Lewat bahasa, timbul garis demarkasi untuk membedakan Orba dengan pemerintahan sebelumnya atau sesudahnya. Bahasa politik pembangunan ala Orba akhirnya merasuk ke pikiran karena media turut membantu mengkomunkasikannya kepada khalayak. Munculnya kata pembangunan tidak pernah lepas dari kepentingan modal yang sudah mengglobal. Kepentingan tersebut memaksa kita untuk mafhum bahwa pembangunan “yang baik dan benar” adalah pembangunan secara fisik, sesuai dengan garis industri. Generalisasi itu pun mengakibatkan, apa yang disebut Ben Anderson, kekalahan otonomi berpikir. Ahmad Yasin

11


eksprespedia

12

Nilai-nilai yang diyakini baik yang ada pada totem binatang tersebut kemudian dihayati dan dipakai sebagai panduan nilai moral dalam hidup bersama. Sigmun Freud menjelaskan sistem totemisme di kalangan orang Aborigin Australia di bab pertama dalam bukunya Totem and Taboo: Resemblances Beetwen the Mental Lives of Savages and Neurotics. Freud meneliti tentang adanya aturan yang melarang tentang setiap orang yang memiliki totem yang sama. Hal ini menurut Freud adalah sebuah usaha untuk mecegah praktik Incest (hubungan sedarah). Ini berlangsung turun temurun lewat cerita ayah atau ibu mereka. Dia juga membicarakan tentang praktik tersebut yang menyebar luas di Kepulauan Pasifik dan Afrika. Gilang Ramadhan

LA

N

LA

IK

IK E

LA IK E SP AC

E

IK L

N

AN

SP AC

E

SP AC SP AC

SP AC

E

IK L

AN

SP AC

E

IK

LA

N

totem. Sebagai sebuah simbol ilahi yang dipercayai, segala jenis totem sangat dihormati, dipuja dan disakralkan karena mereka percaya adanya relasi antara totem sebagai simbol perwujudan Tuhan tersebut dengan kelompok mereka. Totemisme lazim berkembang di Afrika, Amerika dan bangsa-bangsa kepulauan Pasifik. Banyak dari mereka yang menyimbolkan totem menjadi sebuah patung-patung dan ukiran- ukiran kayu, yang umumnya berbentuk hewan dan tumbuhan. Perkembangan totemisme sendiri biasanya tersebar karena adanya dongeng-dongeng yang diceritakan lewat nenek moyang mereka, tentang asal- usul eksisitensinya sebuah kelompok bangsa karena peran benda-benda yang mereka simbolkan sebagai Tuhan. Emile Durkheim berpendapat, totemisme tidak bersifat individual, selalu terkait dengan nilai komunitas tertentu. Misalnya di Australia, mereka mempercayai totem binantang tertentu karena binatang tersebut melambangkan kesatuan di antara anggota suku mereka.

N

T

otemisme merupakan suatu kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat yang meyakini adanya energi tuhan yang terkandung dalam benda-benda, baik hidup maupun benda mati. Namun ada juga pengertian yang menyebutkan bahwa, totemisme identik dengan agama-agama yang dianut masyarakat peradaban kuno, macam kepercayaan bangsa Indian (Amerika Daratan). Istilah Totem merujuk pada istilah dari suku Ojibwe (suku Algonkin dari Amerika Utara), dan umumnya ditulis secara beragam, bisa totem, tatam, maupun dodaim. Dalam sebuah klan atau kelompok tertentu, totem dapat diwujudkan berupa burung, ikan, kambing, pohon oak, bahkan matahari. Seperti kepercayaankepercayaan yang lain, setiap totemisme yang berkembang dalam masyarakat juga memiliki aturan tertentu yang mereka yakini, misalnya, sekelompok suku ataupun kelompok tertentu dilarang membunuh, menyakiti atau memakan hewan yang mereka anggap sebagai

Dok. Istimewa

Totemisme

edisi v | MARET 2018


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.