Majalah DIANNS Edisi 59

Page 1

Utsman Bin Affan: Yayasan Pondok Pesantren Wujud Corak Pendidikan Desa O’o Kabupaten Dompu SONGSONG KEHIDUPAN DENGAN DIALEKTIKA Standar Pendidikan Nasional yang Rancu Problematika Putus Sekolah di Desa Babadan: Minimnya Kesadaran Anak & Kepedulian Orang Tua Terhadap Pendidikan Edisi 59 >> Oktober 2022 >> FIA UB www.dianns.org

PENANGGUNG JAWAB

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi

PEMIMPIN REDAKSI

Benediktus Brian Iubilio

REDAKTUR PELAKSANA

Tiara Maulidah

PIMPINAN ORGANISASI

PEMIMPIN UMUM

Muhammad Ali Al Ridho

SEKRETARIS UMUM

Anggita Hajar Ainaya

BENDAHARA UMUM Yusrina Fadhilah

EDITOR

Bene, Anggita S., Nadya, Laila, Jodi, Ali, Rozi, Tiara, Tasya, Prasiska, Dila F., Salma, Ernanda, Dwi Mauliddia, Hafidatun

REPORTER

Zarin, Rozi, Laila, Ernanda, Tiara, Jodi, Yusrina, Farras, Pahlevi, Ali, Nadia F., Anggi, Vera, Rosy, Christo, Anisa

KOLOM & SASTRA

Nanas, Bene, Meisa, Fazilah, Gita, Yaning, Nadya R., Afo, Melky, Bintang, Vida, Nadia F., Salwa, Gabby, Christo

TATA LETAK & ARTISTIK

Hafidatun, Salma, Bene

KARIKATUR & ILUSTRASI Prasiska, Zarin, Yesa, Bintang

Jodi, Tiara, Pahlevi, Rosyida, Vera, Nadia

Kantor

MT. Haryono 163 Malang, 65145

PEMIMPIN PEMASARAN & HUMAS Anggita
HUBUNGI KAMI Email : diannsmedia@gmail.com Web : DIANNS.ORG Line : @fil3760t Instagram : diannsmedia Twitter : @DIANNS Media Facebook : LPM DIANNS FIA UB Youtube : LPM DIANNS
FOTOGRAFER
Sasmita Fernanda
ALAMAT REDAKSI
LPM DIANNS, Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. Jalan
REDAKSI DAPUR

SALAM REDAKSI

Salam Persma!!!

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”

Itulah bunyi pasal 31 ayat 1 dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945. Sumber hukum tertinggi yang dimiliki Indonesia tersebut juga mengamanatkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selain itu, pemerintah, sebagai pihak yang menjalankan wewenang dan kekuasaan pada negara, juga diamanatkan agar dapat mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan merupakan pondasi penting dalam membangun karakter bangsa yang kuat. Pendidikan dapat menghasilkan individu-individu yang beriman, bertakwa, serta berakhlak mulia. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa pendidikan sejatinya bertujuan untung menghasilkan pribadi yang memiliki kesempurnaan dalam hidup. Kesempurnaan ini diartikan sebagai manusia yang dapat memenuhi hasrat dalam hidup selaras dengan masyarakat dan alam, sehingga mencapai kebahagiaan dan keselamatan tertinggi.

Sayangnya, setelah lebih dari 77 tahun Indonesia merdeka, negara masih abai dalam memenuhi tanggung jawab di bidang pendidikan. Masalahmasalah klasik nan struktural masih menghinggapi wajah pendidikan kita Sebagai lembaga pers yang berada di bawah naungan perguruan tinggi, kami merasa terpanggil untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan-permasalahan tersebut.

Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam salah satu misi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIANNS, yaitu memperjuangkan nilai-nilai kerakyatan melalui produk jurnalistik.

Adapun pembahasan dalam majalah ini terbagi menjadi tiga isu utama. Pada rubrik Laporan Utama, kami menyoroti kurikulum Indonesia yang kerap kali berubah mengikuti masa jabatan Menteri Pendidikan yang bertugas. Sejak tahun 2004, tercatat Indonesia telah mengalami 4 kali pergantian kurikulum. Rubrik tersebut juga mengulas bagaimana implementasi Kurikulum Merdeka Belajar di ruang kelas berdasarkan perspektif pengajar dan pelajar. Lalu, pada rubrik Liputan Khusus, kami membahas bagaimana sebuah pesantren kecil di Dompu, Nusa Tenggara Barat, bertahan dari gempuran pandemi dan keterbatasan sumber daya manusia. Rubrik Liputan Khusus lainnya kami membahas bagaimana kemiskinan menjadi tembok penghalang bagi masyarakat Desa Babadan dalam menyelesaikan pendidikannya. Kemiskinan strukural yang laten memaksa mereka untuk meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja mencari nafkah dan menghidupi keluarga.

Kami berharap, terbitnya Majalah DIANNS Edisi 59 ini dapat menyadarkan segenap insan bangsa bahwa pendidikan kita saat ini masih jauh dari kata sempurna. Kami juga berharap agar majalah ini dapat menjadi bahan evaluasi dan perbaikan bagi sistem pendidikan nasional yang masih belum ramah terhadap kaum marjinal dan terpinggirkan. Terakhir, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan ikut terlibat dalam pembuatan majalah ini.

Selamat membaca!

EDISI 59 1 MAJALAH DIANNS
Salam Redaksi
2 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Daftar Isi DAFTAR ISI 01. Salam Redaksi 02. Daftar Isi 04. Laporan Utama: Standar Pendidikan Nasional yang Rancu 07. Liputan Khusus: Utsman Bin Affan: Yayasan Pondok Pesantren Wujud Corak Pendidikan Desa O’o Kabupaten Dompu 10. Liputan Khusus: Problematika Putus Sekolah di Desa Babadan: Minimnya Kesadaran Anak & Kepedulian Orang Tua Terhadap Pendidikan 13. Opini: Maraknya Kasus Bully sebagai Dampak dari Degradasi Pendidikan Moral di Sekolah 17. Kabar Kampus: Menilik UKM Perfilman di UB: Nol Derajat Film 19. Tokoh: Membangun Pendidikan Alternatif Ala Wahyaningsih 22. Budaya: Tradisi Perkawinan Sedarah: Mengenal Suku Polahi, Suku Hutan Pedalaman Gorontalo 25. Tokoh: Butet Manurung: Sosok Kartini Tersembunyi di Balik Lebatnya Rimba 28. Foto Narasi: Harapan dan Memupuk Asa 30. Opini: Kebijakan Merdeka Belajar: Kemerdekaan Pendidikan Tapi Mengkhawatirkan? 33. Sosial: Mengenal Hipnoterapi dari Terapis 36. Infografis: Angka Putus Sekolah di Indonesia
EDISI 59 3 MAJALAH DIANNS Daftar Isi 38. Media: Cara TikTok Mengubah Dua Dimensi Budaya: Fashion dan Makanan 42. Musik: Kesehatan Mental dalam Pusaran Kesuksesan K POP 45. Kuliner: Dessert, Designed To Be Sweet 47. Jalan-Jalan: Menapak Jejak Sejarah Peradaban Manusia hingga Peninggalan Belanda 51. Cerpen: Tidak Ada Kata Terlambat 54. Resensi Buku: Malam Terakhir: Sebuah Antologi Cerita Pendek Mengenai Isu Sosial 57. Resensi Film: The Chorus: Pendidikan Melalui Kelembutan Musik 59. Puisi Bekal Pilu 60. Ilustrasi Satire 61. Iklan 62. Komikstrip: Beda

STANDAR PENDIDIKAN

NASIONAL YANG RANCU

“Itu yang membuat guru masih bingung, kita mau membuat model pembelajaran yang seperti apa, karena dibebaskan oleh pemerintah,”

Laporan Utama
4 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Unsplash/Muhammed Nishal

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 1, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan kurikulum sebagai sarana dalam mengukur kemampuan pribadi dan konsumsi pendidikan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 butir 19, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Urgensi dari eksistensi kurikulum adalah sebagai penyetaraan dan pembentukan standar pendidikan di Indonesia. Artinya, dengan adanya kurikulum, semua daerah di Indonesia memiliki standar pelajaran yang sama. Hal tersebut sangat berguna untuk pemerataan pendidikan di Indonesia.

Menukil laman Kompas.com, fungsi kurikulum dalam proses pendidikan yaitu sebagai sarana dalam mengukur kemampuan pribadi dan konsumsi pendidikan. Namun, kurikulum yang dijadikan sebagai standar pendidikan di Indonesia akan berubah seiring dengan pergantian pemain dari bangku Kementerian Pendidikan. Hal ini akan membuat standar pendidikan di Indonesia selalu berubah-ubah yang kemudian berdampak kepada para peserta didik dan tenaga didik. Peserta didik dan tenaga didik diharuskan untuk beradaptasi dengan standar baru yang diciptakan oleh menteri baru. Tidak hanya itu, kurikulum pendidikan selalu berubah-ubah karena adanya perkembangan zaman seperti kemajuan pada bidang industri dan teknologi.

Indonesia tercatat sudah sering kali berganti kurikulum pendidikan. Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir, tercatat ada 4 kurikulum berbeda

yang digunakan oleh satuan pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dibentuk oleh Departemen Pendidikan di bawah komando Menteri Pendidikan saat itu, Abdul Malik Fadjar. Tak lama kemudian, Menteri Pendidikan selanjutnya, Bambang Sudibyo, meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada tahun 2006 sebagai pengganti KBK. Lalu, pada tahun 2013, kurikulum pendidikan di Indonesia kembali berubah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia saat itu, Mohammad Nuh meluncurkan Kurikulum 2013. Terbaru, pada tahun 2022, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim kembali mengubah dan memperbarui kurikulum menjadi Kurikulum Merdeka.

Pada setiap kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia, masing-masingnya memiliki unsur dan poin yang berbeda. Seperti kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka, kedua kurikulum ini serupa tapi tak sama. Kurikulum merdeka sama dengan kurikulum 2013 secara aspek dan indikator penilaian. Namun, satu hal yang membedakan ialah perihal adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Menurut buku Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, P5 dirancang untuk menjawab satu pertanyaan besar, yakni peserta didik dengan profil (kompetensi) seperti apa yang ingin dihasilkan oleh sistem pendidikan Indonesia, dalam hal ini mengacu pada kurikulum. “Untuk mekanisme dan metode pembelajaran dikembalikan kepada keputusan setiap sekolah”, ucap salah satu guru di SMK Wiworotomo, Heni Prasetyawati. Tentunya, hal ini akan berdampak kepada proses pemerataan pendidikan di Indonesia. Sebab, ketika standar untuk pelaksanaan metode pembelajaran ini berbeda di setiap sekolah, pada akhirnya akan menciptakan orang-orang yang berbeda pula secara kualitas dan kemampuan berpikirnya.

Kurangnya Sosialisasi dari Pemerintah

Kurikulum Merdeka merupakan pembelajaran yang bebas. Oleh karena itu, model pembelajaran peserta didik dikembalikan sesuai dengan kebijakan

Laporan Utama EDISI 59 5 MAJALAH DIANNS

sekolah masing-masing. Pihak pemerintah sudah menentukan tema yang akan diimplementasikan dan membebaskan sekolah untuk memberikan model pembelajaran kepada peserta didik. Namun, hal tersebut justru membuat para tenaga didik dilema dalam memberikan model pembelajaran seperti apa yang cocok untuk diterapkan kepada para peserta didiknya. “Itu yang membuat guru masih bingung, kita mau membuat model pembelajaran yang seperti apa, karena dibebaskan oleh pemerintah,” ucapnya.

Kurikulum Merdeka di Indonesia memang masih sulit untuk diterapkan. Banyak sekali kendala dan permasalahan yang terjadi terutama pada penerapan model pembelajaran yang nyaman dan mengasyikan. Problematika Kurikulum Merdeka di Indonesia tidak hanya dialami oleh para peserta didik saja. Namun, kendala yang dialami para tenaga didik pun tidak bisa dianggap remeh, karena keberhasilan kurikulum merdeka sangat bergantung dengan kinerja tenaga pendidik. Kurangnya pemahaman dan pengertian mengenai Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Kurikulum Merdeka menjadi faktor utama mengapa kurikulum ini sulit untuk diterapkan dengan baik. “Hampir setiap bulannya ada diskusi bersama antar guru mengenai kurikulum merdeka dan tema proyek yang akan diterapkan kepada peserta didik.” pungkas Heni.

Kurikulum Merdeka dari Sisi Peserta Didik

Awak DIANNS lalu menghubungi Yavie, yang merupakan salah satu siswa SMA Negeri 11 Surabaya. Menurutnya, Kurikulum Merdeka membuat peserta didik semakin lelah, baik secara fisik maupun mental. "Dikarenakan tidak adanya penjurusan, maka fisika, kimia, sosiologi, dan geografi itu dipelajari semua," tambahnya. Tidak adanya penjurusan membuat fokus pembelajaran menjadi bias antara pelajaran tentang ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam. Bias yang dimaksud ialah kajian ilmu alam mengkaji tentang gejala dalam alam semesta, sedangkan ilmu sosial mengkaji perihal kenyataan dan masalah sosial. Tentunya hal ini tidak dapat digabungkan, karena memiliki fokus kajian yang berbeda.

Sebenarnya, menurut Yavie, ada poin yang menarik tentang kurikulum merdeka ini. “Menurutku tujuan P5 itu untuk menanamkan karakter pada siswa siswi berdasarkan nilai-nilai pancasila, seperti menghargai mereka yang memiliki kultur berbeda”, ujarnya. "Lalu, kita juga diajarkan untuk menghormati pendapat orang lain, sesuai sila ke-4 Pancasila," lanjutnya.

Namun, tujuan yang ingin dicapai dengan adanya kegiatan P5 tidak dibarengi dengan keaktifan tenagapengajar "Jadi, di kurikulum merdeka ini, para murid lebih sering menjelaskan dalam bentuk presentasi daripada guru. Bahkan ada beberapa guru yang memberikan tugas presentasi tanpa menjelaskan materinya terlebih dahulu," ujar Yavie.

Di sisi lain, Heni mengatakan bahwa dirinya selaku pengajar berusaha mengajak anak didiknya untuk berdiskusi, lalu hasilnya akan dipresentasikan di depan kelas. “Alhamdulillah terdapat banyak perubahan di kurikulum seperti ini. Yang tadinya mereka pendiam, menjadi bisa menampilkan hasil diskusinya dengan cara presentasi,” ujarnya. Dengan kata lain, terjadi perbedaan persepsi mengenai Kurikulum Merdeka, antara pengajar dengan peserta didik.

Diperlukan kesadaran dari pengajar agar dapat membimbing anak didik dengan harapan untuk dapat menjalani pendidikan sesuai prinsip-prinsip dalam Kurikulum Merdeka, dalam upaya menciptakan pemerataan pendidikan. Di sisi lain, sosialisasi yang rutin ini diharapkan bisa mengatasi permasalahan kebingungan yang dialami oleh para tenaga didik.

Fathia Zarin dan Fachrur Rozi

Editor: Benediktus Brian

Penulis:
Laporan Utama 6 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Utsman Bin Affan: Yayasan Pondok Pesantren Wujud Corak Pendidikan Desa O’o Kabupaten Dompu

Keterbelakangan pendidikan daerah Timur Indonesia masih sering menjadi sorotan. Padahal setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang sama, seperti yang tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1. Banyaknya jumlah insan terlantar dan belum meratanya distribusi fasilitas serta hal penunjang pendidikan lain ke beberapa daerah, menunjukkan bahwa masih ada hal yang harus terus diperbaiki.

Di Balik Berdirinya Utsman Bin Affan

Fakta empiris menunjukkan ketimpangan pelayanan pendidikan antara penduduk kota dan desa, kaya dan miskin, serta ketimpangan lainnya. Kecamatan Dompu, tepatnya Desa O’o menjadi tempat berdirinya sebuah Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan. Yayasan yang berdiri sejak tahun 2004 ini, dilatarbelakangi oleh hal tersebut. Ditegaskan oleh penyampaian Zainudin Bin

Muhammad Ya’Qub selaku salah satu perintis dan pendiri Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan, “Saya melihat ada kepincangan dalam hal pendidikan masyarakat di sekitar saya, kemudian kami melihat generasi kami sangat lemah, layak mendapatkan pendidikan. Dari situ muncul keinginan saya, saya sangat ingin menjalankan bagaimana mendidik anak bangsa, bagaimana mengkader generasi, membangun daerah kami, bahkan sudah banyak motivasi dari beberapa pihak, ayat, dan hadist.” ujarnya ketika diwawancarai Awak Dianns (17/9).

Utsman Bin Affan, yayasan yang kini memiliki jumlah murid lebih kurang 400 siswa dalam jenjang SMP dan SMA, masih bercelah dalam hal fasilitas dan SDM tenaga pengajar. Masih banyak tenaga pendidik yang belum punya kemampuan mumpuni jika dibanding tenaga pendidik di Pulau Jawa.

“Kami menilai dan membandingkan, kebetulan saya lama di Jawa Tengah, pernah tinggal di Bekasi, dan di Jawa Timur. Memang dibandingkan Jawa kami masih tertinggal, jadi dalam beberapa sisi, terutama

Liputan Khusus EDISI 59 7 MAJALAH DIANNS

menurut saya dari SDMnya sehingga yang menyampaikan materi itu tidak terlalu ahli. Yang kedua juga di fasilitas di daerah kami—Timur, semakin ke Timur memang fasilitas itu semakin menurun, misalnya perpustakaan dan fasilitas lain penunjang pendidikan itu masih kurang,” tutur Zainudin.

Apabila terdapat SDM yang lebih mumpuni mereka justru lebih memilih tinggal di kota besar dibanding berusaha membangun daerahnya dengan kemampuan yang dimiliki. Adapun terdapat 10 pengajar di pondok pesantren dengan pembagian jam ajar yang tidak merata. Satu orang dapat mengajar lebih dari satu mata pelajaran.

Potret Lampau Dompu

Dasar didirikannya Utsman Bin Affan ini adalah karena pendidikan di Dompu yang dirasa masih sangat kurang kala itu. Kurangnya pendidikan yang terjadi saat itu juga berdampak pada perilaku moral bagi warga di lingkungan Dompu. “Pengetahuan yang rendah membuat banyak pelanggaranpelanggaran norma, seperti mencuri dan berzina,” ungkap Zainudin.

Dengan berlatar pada fenomena sosial tersebut kemudian tercetuslah sebuah usulan dan ide untuk mendirikan suatu tempat yang bisa memfasilitasi serta mewadahi warga di sekitar Kecamatan Dompu untuk mendapatkan pendidikan demi adanya perbaikan moral. Hingga akhirnya, perbaikan moral tersebut perlahan namun pasti mulai terlihat pada masyarakat Kecamatan Dompu itu sendiri. “Setelah hadirnya kami semua (Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan), semua hal itu mulai terkikis dan perlahan-lahan menghilang,” ujar Zainudin.

Pondok Pesantren Utsman Bin Affan dalam perjalanannya dari mulai dibangun hingga sekarang tidaklah bisa dibilang mudah. Dimulai dengan tanah yang luasnya hanya satu hektar tersebut, asa untuk meraih pendidikan yang layak pun mulai dibangun. Tidak hanya itu, tantangan lain yang dihadapi saat awal pembangunan dari Pondok Pesantren Utsman Bin Affan yaitu ketiadaan air dan listrik. Selain itu, keadaan tanah satu hektar yang berada jauh di

dalam juga menjadi tantangan tersendiri saat Pondok Pesantren ini dibangun. “Bisa bayangkan, saya beli tanah lima juta rupiah saja waktu itu dengan luas satu hektar karena daerah sukar, keadaan di dalam, tidak ada air dan tidak ada listrik,” ungkap Zainudin.

Adaptasi Penerapan Kurikulum di Yayasan

Dilansir dari detik.com, pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak pergantian serta perubahan pada aspek kurikulum. Tercatat bahwa sudah sekitar sepuluh kali Indonesia mengalami perubahan kurikulum. Hingga saat ini, kurikulum yang banyak diterapkan pada sekolah yaitu kurikulum 2013. Kurikulum tersebut juga tengah diterapkan pada Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan. Masalah yang kemudian muncul dari banyaknya kurikulum yang berubah-ubah tersebut yaitu ketidakmampuan seluruh tenaga pengajar yang ada disana dalam menerapkannya. Apalagi setiap kurikulum tersebut memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. “Kami sangat apresiasi terhadap pemerintah yang sudah menyusun program, yang kemudian program tersebut diterapkan di seluruh daerah. Akan tetapi, para pendidik yang menerapkan dan menyampaikan materi itu masih kurang,” ungkap Zainudin

Tidak hanya itu, perubahan kurikulum yang sering terjadi juga dirasa masih membingungkan banyak pihak. Apalagi dengan sekolah ataupun yayasan seperti Utsman Bin Affan yang notabene berada di pelosok negeri dan kualitas pengajar yang kurang memadai. Zainudin menyebutkan bahwa anak-anak belum juga paham akan satu sistem, namun kemudian diubah lagi dengan pola yang lain, seperti halnya KTSP yang diubah menjadi merdeka belajar. Hal itu dirasa masih membingungkan, lagi-lagi berkenaan dengan SDM dan fasilitas yang belum terpenuhi dengan semestinya.

Dengan banyaknya perubahan kurikulum yang terjadi tersebut haruslah selaras dengan sumber daya manusia yang mumpuni serta tersebar dengan merata. Hal tersebut juga disoroti oleh Alifah, salah satu narasumber yang juga pernah belajar di Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan.

Liputan Khusus
8 MAJALAH DIANNS EDISI 59

"Kebanyakan, guru yang mengajar di Dompu masih terbilang kurang mumpuni, namun beberapa dari mereka terasa sudah cukup untuk kebutuhan peserta didik di sana," ujar Alifah. Dari sini bisa dilihat bahwa seharusnya perubahan atau pergantian kurikulum juga berdasar pada aspek kewilayahan dan juga jumlah pendidik itu sendiri.

Dampak Angin Segar Pandemi bagi Dompu

Ketika pandemi Covid-19 menjarah seluruh dunia. Bagian Indonesia Timur, di Kabupaten Dompu khususnya, termasuk penyumbang angka positif terendah. Tercatat hingga 17 September 2022, kasus terkonfirmasi dari GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) NTB sejumlah 2.348. Jumlah tersebut tergolong kecil dibanding daerah lain di Indonesia, sehingga Covid tidak begitu berpengaruh terhadap jalannya pendidikan di Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan.

Alasan lain adalah letak kawasan Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan yang bukan di kota dan peraturan yang berlaku di dalamnya. “Kalau selama pandemi kami tetap meliburkan Utsman Bin Affan. Cuma satu bulan aja,” terang Sri Hartati, salah seo-

rang ustadzah di Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan. Bahkan, masa setelah pandemi menjadi hal yang menggembirakan bagi Yayasan Pondok Pesantren Utsman Bin Affan. Pasalnya, minat peserta didik semakin meningkat. Mereka yang awal mulanya mendahulukan kepentingan untuk mencari uang dan ikut berkebun justru semakin tergerak ketika fenomena Covid-19 ini berjalan. Hal ini dikonfirmasi oleh salah seorang yang pernah belajar di yayasan tersebut. “Minat pendidikan di Dompu, tepatnya di Desa O’o bisa dibilang sekitar tahun 2019 kebawah masih kurang. Namun untuk tahun kedepan ini beberapa sekolah dan lembaga pendidikan sudah mulai meningkatkan performanya,” ujar Alifah kepada Awak Dianns.

Hal ini sejalan dengan pandangan Sri Hartati. “Pandemi tidak begitu berdampak pada Utsman Bin Affan. Responnya kita biasa aja. Setelah pandemi, pembelajaran di Utsman Bin Affan itu lebih bagus. Kita mengadakan program-program yang lain juga. Setelah pandemi program-program itu berjalan lancar,” jelasnya.

Penulis: Ilham Laila dan Ernanda Hajar Editor: Anggi Sasmita

Liputan Khusus
EDISI 59 9 MAJALAH DIANNS
Kegiatan belajar mengajar di Pesantren Utsman Bin Affan Dok Ust Fatun

Demikianlah bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Pendidikan yang terimplementasi sampai saat ini adalah sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerintah wajib membiayainya, sebagaimana yang tertera pada ayat selanjutnya. Akan tetapi, kita tidak pernah tahu kondisi pendidikan yang berjalan dewasa ini apakah selaras dengan optimisme tujuan tersebut.

Pada tanggal (31/08/2022), Awak DIANNS melakukan penelusuran ke Desa Babadan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang untuk menelisik kondisi pendidikan di desa tersebut. Awak DIANNS berkesempatan menemui Nur Hasyim selaku Sekretaris Desa Babadan, Iwan selaku kepala sekolah SMP PGRI 2 Ngajum, dan Jum (nama disamarkan) selaku orang tua dari anak yang putus sekolah.

Dalam proses wawancara dengan Nur Hasyim, Ia menuturkan bahwa rata-rata masyarakat Desa Babadan adalah tamatan SMP. Perjalanan mereka (baca : masyarakat Desa Babadan) untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA/SMK sederajat terputus karena berbagai macam alasan, seperti pergaulan, kesadaran diri anak, serta minimnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan.

Nur Hasyim pun menambahkan bahwa pergaulan bukan menjadi faktor utama penyebab putus sekolah, melainkan dari kurangnya kepedulian orang tua dan minimnya kesadaran diri anak. Berdasarkan data persebaran sekolah di Desa Babadan, jumlah SD sederajat ada 6, jumlah SMP

sederajat ada 3 dan SMA/SMK sederajat ada 2. Melihat hal tersebut, Iwan menegaskan bahwa akses dan keterjangkauan sekolah sudah cukup baik. “Jika kendalanya adalah biaya, sebenarnya pihak sekolah telah cukup memfasilitasinya. Namun, kesadaran dan motivasi dari si anak maupun orang tuanya masih kurang. Jadi, perlu adanya kerjasama antara pihak sekolah dan orangtua” ujarnya.

Menurutnya, dampak yang paling mencolok terletak pada sektor mata pencaharian masyarakat di desa tersebut. Hal ini terlihat dari mayoritas mereka ( baca : anak-anak yang putus sekolah) yang bekerja serabutan. Diantaranya seperti buruh tani, buruh ternak, dan juga kuli bangunan. " Mereka yang putus sekolah akhirnya kesulitan mencari pekerjaan yang layak," pungkasnya.

Anak Kehilangan Motivasi Sekolah

Kondisi perekonomian yang kurang sejahtera mendorong sebagian anak di Desa Babadan memilih bekerja untuk menyambung hidup. Hal ini memicu peningkatan angka putus sekolah di usia belia. Adapun pekerjaan yang harus mereka geluti

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Liputan Khusus
Unsplash/Rubén Rodriguez
10 MAJALAH DIANNS EDISI 59

berada di ranah pekerjaan kasar. "Kebanyakan siswa disini memiliki peran besar dalam membantu orang tuanya. Jadi, kita (baca : pihak sekolah) pun memaklumi jika mereka kelelahan, kurang konsentrasi, hingga absen. Namun, tak jarang hal itu membuat mereka menjadi putus sekolah,” ujar Iwan.

Lebih lanjut Iwan menjelaskan bahwa ketika anakanak di desa tersebut sudah mampu bekerja, maka mereka akan langsung dipekerjakan. Sehingga, tak sedikit dari mereka yang sudah bekerja tidak lagi ingin bersekolah. “Pernah ada siswa yang menjadi peternak ayam milik tetangganya. Akibat kesibukannya itu, Ia jadi jarang bersekolah. Kemudian kita (baca : pihak sekolah) kunjungi, mulai dari wali kelas, BK, dan akhirnya saya sendiri, namun kemauan anak untuk bersekolah sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Realistis atau Keabaian Orang Tua

Pada kunjungan Awak DIANNS di kediaman Jum, Ia menjelaskan bahwa penyebab putus sekolah putranya bukanlah masalah ekonomi, melainkan pembullyan yang dialami anaknya. Akibatnya, putranya berkelahi dengan teman sekolahnya. “Anak saya punya masalah pernafasan, mari ngono kan sama temen e dibully (baca: lalu dirundung oleh temannya) lalu sering dikurung di sekolahan. Akhirnya, terjadi perkelahian. Dikarenakan itu, Pihak sekolah mengeluarkan surat peringatan pertama kepada anak saya” ujar Jum kepada putranya saat itu.

Lebih lanjut, Jum mengungkapkan bahwa sebenarnya anaknya masih bisa tetap bersekolah. Namun, putranya telah terlanjur berkecil hati dengan perlakuan teman-teman nya. Sehingga Ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia pun menyayangkan biaya sekolah yang harus dikorbankan padahal anaknya tidak serius bersekolah lagi. “Dari pada uangnya buat uang saku dan bayar SPP namun sekolahnya tidak sungguhsungguh, ya mending tidak perlu bersekolah” tegasnya.

Peran Sekolah dan Pemerintah Desa

Nur Hasyim menegaskan bahwa ekonomi bukan lagi pemicu anak putus sekolah. Pihak pemerintah sebenarnya telah mempermudah pelayanan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk membantu masyarakat tidak mampu. Sementara itu, Pihak Sekolah juga telah memberikan keringanan biaya bagi mereka. "Untuk Madrasah Aliyah ataupun SMA sederajat yang ada disini, ada program beasiswa untuk anak-anak yang kurang mampu. Sehingga, mereka bisa difasilitasi oleh sekolah terdekat,” jelasnya.

Dalam hal upaya, Nur Hasyim turut menuturkan bahwa Desa Babadan memiliki kampung KB. Proyek ini bukan hanya berfokus pada kesehatan anakanak di Desa Babadan, tetapi juga dalam hal pendidikan. “Dalam hal kesehatan, tujuannya adalah tentang upaya pencegahan stunting pada anak. Sedangkan dari sisi pendidikan, fokusnya adalah pada cara pencegahan kondisi putus sekolah

Liputan Khusus
EDISI 59 11 MAJALAH DIANNS
SMP PGRI 2 Ngajum, salah satu sekolah di Desa Babadan Dok. Tiara Maulidah/LPM DIANNS

baik di tingkat SD, SMP maupun SMA sederajat. Syukur-syukur bisa melanjutkan ke perguruan tinggi” ucapnya.

Disamping itu, Ia mengatakan bahwa pada 2020 silam, pemerintah desa pernah melakukan sosialisasi terkait program kejar paket hingga memfasilitasi pendaftaran ke PKBN melalui kantor desa Namun, hasilnya masih kurang memuaskan dikarenakan hanya 3-4 anak dari 20 peserta yang memutuskan untuk ikut program kejar paket tersebut.

Senada dengan Nur Hasyim, Iwan juga menampik alasan ekonomi sebagai pemicu putus sekolah. Ia mengaku bahwa mereka (baca : Pihak sekolah) kerap melakukan kunjungan terhadap siswa/siswi yang sering absen tanpa keterangan. Upaya tersebut guna mengetahui penyebabnya. “Setelah pandemi, kita ada kegiatan kunjungan untuk mengulik kendalanya terkhusus terkait biaya. Untuk kelas 1-3, kami bebaskan uang komite. cukup bayar uang tabungan," ungkapnya.

Tenaga pengajar di Desa Babadan

Penulis : Tiara Maulidah dan Jodi Alfrino
Liputan Khusus
Editor : Nadya Rajagukguk Salah satu pelajar di Desa Babadan Dok Jodi Alfrino Tarigan/LPM DIANNS
12 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Dok Jodi Alfrino Tarigan/LPM DIANNS

MARAKNYA KASUS PERUNDUNGAN SEBAGAI DAMPAK DARI DEGRADASI

PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH

Salah satu hal fundamental yang menjadi sasaran perhatian publik dan ramai diperbincangkan jagat media belakangan ini adalah terkait maraknya kasus perundungan (bullying) yang terjadi di kalangan pelajar (school bullying). Kasus perundungan yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia menyuguhkan gambaran degradasi moral anak bangsa yang semakin memprihatinkan dan jauh dari tujuan dan fungsi pendidikan moral pancasila dan ajaran agama. Sejumlah pemberitaan baik itu di media sosial, media cetak dan media elektronik, seakan akan menampar wajah masyarakat Indonesia sekaligus mengentak nalar kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan moral sejak dini.

Tindakan perundungan dilakukan oleh seorang atau kelompok yang merasa superior dan lebih berkuasa daripada korban-korbannya, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Dari kasus-kasus yang telah terjadi, seseorang yang menjadi korban perundungan justru seringkali tidak

melakukan kesalahan kepada perundung. Namun, karena perasaan superioritas berlebih yang ada di dalam diri para pelaku, membuat mereka merasa sah-sah saja merundung orang lain dan selalu mencari pembenaran atas tindakannya tersebut. Target perundungan biasanya adalah anak-anak

CANVA
Opini EDISI 59 13 MAJALAH DIANNS

yang memiliki karakter lebih lemah, pasif, cenderung pendiam, memiliki perbedaan sosial dan ekonomi dengan pelaku.

Ada banyak jenis perundungan baik itu dalam bentuk kekerasan fisik seperti memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang. Bentuk perundungan lainnya berupa kekerasan verbal seperti mengancam, mempermalukan, memaki, mengintimidasi. Terdapat pula cyber bullying seperti rekaman video intimidasi, pencemaran nama baik lewat media sosial, dan sexual harassment (kekerasan seksual), baik yang dilakukan secara fisik maupun verbal.

Mengutip dari UNICEF (2020), 2 dari 3 anak perempuan atau laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan selama hidupnya. Selain itu, 3 dari 4 anak-anak dan remaja yang pernah mengalami salah satu jenis kekerasan atau lebih melaporkan bahwa pelaku kekerasan adalah teman atau sebayanya. Kasus perundungan sudah banyak terjadi, baik yang sudah terungkap maupun yang masih belum terungkap kepada publik. Acuannya masih belum jelas, mengingat yang dilihat hanya dari jumlah "kasus" berdasarkan data statistik yang hanya menghitung kasus yang ditemukan dari hasil laporan para korban. Artinya sangat susah mengidentifikasi korban perundungan. Mereka tidak bisa diidentifikasi secara instan sebagai korban bila tidak melapor.

Dampak Perundungan dan Penanganan yang Masih Lemah

Tindakan perundungan pada konteks sekolah (school bullying) memberikan dampak negatif bagi para korban, di antaranya dapat meningkatkan resiko gangguan psikis dalam rentang kehidupan seperti murung, ketakutan, cemas, depresi dan apabila perundungan ini dilakukan secara terus menerus, perundungan dapat mempengaruhi harga diri (self-esteem) sehingga dapat menjadi salah satu pemicu tindakan yang fatal, seperti bunuh diri. Selain itu korban perundungan juga cenderung memiliki kemampuan sosial yang buruk karena kurangnya kepercayaan diri yang sudah dirusak

oleh para pelaku. Dampak lainnya adalah menurunnya prestasi akademik, karena perundungan dapat menyebabkan menurunnya skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Paparan yang lebih besar terhadap perundungan memiliki kaitan dengan kinerja membaca yang lebih rendah, yang artinya pengaruh perundungan dapat menghancurkan masa depan seseorang.

Selain pada korban, ternyata tindakan perundungan juga berdampak pada pelaku apabila tidak ada tindakan disipliner yang serius dari instansi yang terkait baik itu sekolah, maupun orangtua. Pelaku perundungan cenderung memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi, yang apabila dibiarkan akan semakin agresif dan akhirnya karakter yang terbentuk adalah seseorang yang pro terhadap kekerasan, berwatak keras, mudah marah, impulsif, dan toleransi yang rendah terhadap frustasi. Memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain, kurang berempati terhadap targetnya, serta merasa puas setelah menghancurkan ketenangan korbannya (Post-Destruction Pride). Jika dibiarkan terus menerus tanpa adanya intervensi, para pelaku ini akan menjadi bibit kriminal di masa depan.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak telah banyak diterbitkan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan di sekolah. Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

Opini 14 MAJALAH DIANNS EDISI 59

28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, tampaknya dalam implementasi di lapangan masih banyak kasuskasus kekerasan yang menimpa anak khususnya di sekolah.

Berangkat dari banyaknya kasus perundungan yang terjadi di Indonesia, tampaknya isu ini masih menjadi permasalahan yang kompleks, karena nyatanya menyangkut banyak pihak yang seakanakan menutup mata atas tindakan tersebut. Saking banyaknya pihak yang terkait, akhirnya menjadi bias mengenai siapa yang salah dan siapa yang seharusnya menolong. Hal ini dapat dilihat dari peran sekolah dalam mengambil tindakan pencegahan dan penanganan masih sangat minim. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat dimana siswa menimba ilmu serta menjamin rasa aman dan nyaman saat melakukan proses belajar dan mengajar. Namun pada kenyataannya manajemen dan pengawasan disiplin sekolah yang masih lemahlah yang mengakibatkan banyaknya kasus perundungan di sekolah. Korban juga jarang mendapat dukungan mental baik dari guru, maupun dari teman sebaya lainnya. Bahkan, secara tidak langsung, temannya menjadi passive supporter, yang hanya bisa menonton dari kejauhan tanpa ada niatan untuk membantu. Sementara banyak, orangtua yang merasionalisasikan tindakan tersebut dengan dalih “perkelahian anak-anak adalah hal yang biasa”. Pun sekolah enggan bertindak dan seakan-akan menutupi, karena hal tersebut dapat mencemarkan nama baik sekolah. Hal inilah yang menyebabkan tak jarang korban hanya pasrah terhadap apa yang menimpanya dan memilih untuk bungkam karena tidak memiliki seseorang yang peduli dan bisa diandalkan.

Tindakan Pencegahan dan Penanganan

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi perundungan harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta melibatkan semua pihak baik itu anak yang menjadi korban dan pelaku, orang tua, instansi sekolah maupun masyarakat. Dalam hal ini, lebih baik mencegah tindakan tersebut untuk

mengurangi resiko yang ditimbulkan daripada menangani. Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan sejak dini, oleh orangtua dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan, dan mengajarkan cinta kasih antar sesama, menumbuhkan empati dan sikap menghargai, mengajari cara mempertahankan diri dari ancaman, serta mendampingi anak untuk memfilter informasi dari media televisi, internet dan media elektronik lainnya.

Sekolah juga harus dapat menciptakan suasana yang aman, nyaman, dan kondusif untuk siswa dapat fokus untuk belajar, membentuk karakter positif dengan berorientasi pada 3C yaitu character, collaborative, dan competence, serta menyediakan ruang bagi setiap siswa untuk bebas berbicara terkait perundungan. Banyak sekolah yang telah mengembangkan sistem disiplin yang mereka sendiri, seperti penggunaan “sistem poin” bagi siswa yang berperilaku buruk/melanggar aturan, dan apabila poinnya mencapai jumlah tertentu, maka siswa/siswi tersebut dikenakan sanksi dropout. Namun, tiap sekolah memiliki parameter berbeda untuk jenis perilaku buruk murid. Panduan yang jelas untuk mendisiplinkan murid perlu dikembangkan dalam skala nasional, karena sistem saat ini membuka banyak peluang bagi sekolah untuk membuat parameternya sendiri dan terkesan tidak adil.

Pemerintah juga harus berkomitmen dalam mencegah perundungan dan menghentikan semua jenis kekerasan terhadap anak seperti membuat kebijakan perlindungan anak yang kuat, termasuk di dalamnya program Pencegahan Perundungan (ROOTS Indonesia) dan Program Disiplin Positif. Program Roots Indonesia adalah model intervensi berdasarkan bukti ilmiah dan partisipasi anak, yang telah dikembangkan melalui loka karya bersama pemerintah, universitas, pemuda, dan kelompok masyarakat. Program ini menargetkan anak-anak yang berusia 12-15 tahun yang sedang menempuh Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Program Disiplin Positif dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dengan dukungan

Opini EDISI 59 15 MAJALAH DIANNS

UNICEF dan Yayasan Nusantara Sejati. Disiplin Positif melatih pendidik tentang bagaimana mengajarkan disiplin kepada murid tanpa menggunakan unsur kekerasan baik itu fisik maupun verbal. Kekerasan dalam disiplin nyatanya tidak efektif dan bisa menimbulkan efek jangka panjang pada anak-anak. Target kebijakan ini adalah kepala sekolah, guru dan komite sekolah. Masyarakat juga harus turut aktif berperan dalam membangun lingkungan dengan modal sosial (social capital) yang sehat dan peduli terhadap sesamanya.

Tentunya sebanyak apapun usaha yang dilakukan, selalu ada celah bagi para perundung untuk melakukan tindakan perundungan, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat. Pendampingan pada korban melalui rehabilitasi dan penerapan sanksi tegas pada para perundung tentu saja sangat dibutuhkan. Tujuannya, agar menimbulkan efek jera, sekaligus memberikan gambaran jelas bahwa tingkah laku perundungan adalah tingkah laku yang tidak dapat ditoleransi di sekolah.

Penulis: Agatha Gabriella

Editor: Anggita Sasmita

Opini ddianns.org ianns.org FindUs! LPM Dianns LPM Dianns @diannsmedia @DIANNS _ media @fil3760t Opini 16 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Perfilman merupakan suatu sarana yang biasanya digunakan sebagai sumber hiburan dalam bentuk video dan bisa dinikmati oleh penikmatnya. Penikmat dalam hal ini tidak dibatasi oleh usia, gender, ataupun daerah asal. Tak elak juga dengan mahasiswa yang notabene memiliki segudang aktivitas serta banyak dari mereka yang memilih film sebagai sarana penghiburan. Namun, tak hanya sebagai penikmat film semata, mahasiswa Universitas Brawijaya memiliki suatu Unit Kegiatan Mahasiswa yang kemudian disebut sebagai Nol Derajat film.

Nol Derajat Film ini berdiri pada tanggal 19 September 2011. Sesuai dengan namanya, Nol Derajat Film aktif dalam memproduksi serta mendistribusikan film. Seperti yang dinyatakan oleh Satria selaku ketua dari Nol Derajat Film dalam wawancara yang dilakukan oleh awak Dianns. Satria mengatakan bahwa pada tahun ini sekitar bulan Juni, Nol Derajat Film memproduksi kurang lebih 8 buah film dan akan disusul dengan projek-projek yang lainnya. Selain hal tersebut,

Nol Derajat Film juga memiliki kegiatan lain seperti nonton bareng atau biasa disebut dengan piknik sinema.

Dalam menjalankan roda organisasinya, Nol Derajat Film memilih konsep lingkungan kerja yang nyaman. ”Budaya kita ini fokus untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman namun tetap memiliki target,” ungkap Satria. Lingkungan kerja yang nyaman tersebut juga dinilai bisa untuk menggerakan seluruh anggota yang terlibat untuk bekerja dengan sepenuh hati. Dengan demikian, anggota akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan mencapai hasil yang maksimal.

Nol Derajat Film dalam perjalanannya pun tidak selalu mudah. Terdapat kendala-kendala yang ditemukan saat roda organisasi berjalan. Salah satunya adalah akibat dari pandemi yang menyerang seluruh pelosok negeri. Proker besar yang diusung oleh Nol Derajat Film pun juga harus dibatalkan akibat ombak pandemi yang menghantam. Namun, kesulitan tersebut berhasil

Kabar Kampus
EDISI 59 17 MAJALAH DIANNS
Dok Pribadi

dihadapi dengan menyelenggarakan pertunjukkan film secara online walaupun jumlah film yang diproduksi oleh Nol Derajat Film juga mengalami penurunan. “Tahun lalu kita hanya memproduksi 5 buah film,” ujar Satria. Akan tetapi, hal tersebut berangsur-angsur membaik, sehingga jumlah film yang diproduksi oleh Nol Derajat Film juga mengalami peningkatan. “Tahun ini kita berhasil memproduksi 9 film, dan karena masa transisi dari pandemi ke endemi ini juga bisa dibilang tahun ini lebih progresif daripada tahun lalu,” tambah Satria.

Kendala lain yang dirasakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Nol Derajat Film yaitu berupa kendala yang berhubungan dengan biaya. Bantuan atau dukungan biaya yang dikeluarkan oleh pihak kampus bisa dibilang tidak mudah. Padahal, hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab kampus untuk membiayai setiap Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu mereka menggunakan uang hasil iuran dari para anggotanya demi kelangsungan produksi film dari Nol Derajat Film. “Inventaris Nol Derajat emang ga selengkap itu dan banyak dari kami yang harusnya ke tempat rental,” ujar Satria. Masalah lain yang dihadapi oleh Nol Derajat Film adalah sulitnya untuk menyatukan perbedaan pendapat dari banyaknya anggota yang ada.

Nol Derajat Film sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UB mewadahi mahasiswa-mahasiswi UB yang memiliki minat di bidang sinematik baik itu fotografi, videografi, editing, dan bidang produser film lainnya. Lingkup organisasi Nol Derajat Film yang cukup luas berujung kepada jumlah anggotanya yang besar. Selain karena merupakan satu-satunya UKM perfilman di UB, antusiasme yang besar ini juga berasal dari rasa penasaran para mahasiswa untuk mengetahui lebih dalam dan ikut berperan dalam produserial film di balik layar. “Karena aku suka edit-edit video jadi penasaran juga sama di balik layar pembuatan film, gimana cara bikin film yang bener, tata urutan produksi film sampai syutingnya yang bener itu gimana dan gimana pembagian tugas setiap orang waktu produksi itu (film),” ujar Maretha, salah satu anggota Nol Derajat Film. Ketika mengikuti Nol Derajat Film, Maretha dapat merasakan dan mengetahui lebih jelas tentang proses produksi film, mulai dari pra sampai pasca produksi, dengan praktik langsung pembuatan film di lapangan.

Selain mengikuti kepengurusan organisasi, Anggota Nol Derajat Film, dapat mengambil peran produserial film dengan bidang-bidang yang berbeda sesuai minat dan kemampuannya. Nol Derajat Film membebaskan anggota-anggotanya untuk mengasah dan mengeksplorasi minat dan bakat di dalam produksi film. Anggota Nol Derajat Film dapat mengajukan idenya untuk membuat suatu film baru dan juga memilih peran dalam produksinya seperti menjadi sutradara, kameramen, lighting, art, editor, dan peran-peran lain yang dibutuhkan selama produksi film berlangsung. Maretha, sesuai dengan pengalamannya berkata, “aku pernah ikut dua produksi film, yang pertama jadi astrada (asisten sutradara) yang tugasnya ngurusin talent dan yang kedua jadi script supervisor yang ikut bantu penulis naskah buat garap naskah.” Hal ini membuat anggota-anggota Nol Derajat Film lebih leluasa untuk menambah pengetahuan dan pengalaman tentang peran dan bidang yang berbeda di dunia perfilman.

Penulis: Ernanda Hajar dan Yusrina Fadhilah

Editor: Ilham Laila

Kabar Kampus
18 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Membangun Pendidikan Alternatif Ala Wahyaningsih

Sekolah di Indonesia sangat identik dengan kata seragam. Semua serba seragam, mulai dari pakaian, potongan rambut, hingga kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan Tentu bukan tanpa alasan hal tersebut diterapkan, melainkan untuk menjadi identitas dan salah satu sarana melatih kedisiplinan bagi siswa. Namun, Sri Wahyaningsih menilai sekolah dari sudut pandang berbeda yang mana tidak semua siswa memiliki minat dan bakat sama dan seragam sebagaimana kurikulum yang diajarkan di sekolah formal. Oleh karena itu, beliau mendirikan Sekolah Anak Alam (SALAM).

Mengenal Bu Wahyaningsih

Sri Wahyaningsih, wanita yang lahir di Klaten pada 19 Desember 1961 merupakan seorang aktivis yang kerap kali datang ke desa-desa untuk mengamati dan mempelajari kehidupan serta pendidikan masyarakat pedesaan.

Pemikiran Wahya mengenai pendidikan turut ditanam ayahnya yang merupakan seorang aktivis sekaligus kader PNI (Partai Nasional Indonesia). “Bapak waktu itu benar-benar memikirkan masyarakat. Saya sering diajak naik motor melihat masyarakat. Lalu bapak bercerita kalau masih banyak orang-orang yang membutuhkan pemikiran kita,” ucapnya saat diwawancarai oleh Puthut EA.

Selain itu, pola pemikiran Wahya juga dibangun oleh hubungannya dengan kakek dan neneknya. Wahya sedari kecil sudah dibiasakan untuk disiplin dan mandiri. Mereka selalu menyuruh beliau untuk rajin bangun pagi dan berbelanja di pasar, kemudian barang belanjaan tersebut dibeli kembali dengan harga lebih tinggi oleh kakek dan neneknya. Menurut Wahya, pengalaman tersebut sangat

mengajarkannya tentang bagaimana hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Wahya pun merasa bahwa pendidikan terbesar ia dapatkan ketika di rumah merasa bahwa pendidikan terbesar ia dapatkan ketika di rumah

Ketika berkuliah di Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta, ia aktif dalam kegiatan pendampingan masyarakat di daerah pinggiran Kali Code. Daerah tersebut menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari desa yang gagal transmigrasi. Awalnya, transmigran tersebut dikirimkan ke berbagai daerah di luar Jawa. Namun, mereka tidak dibekali dengan keterampilan dan uang yang cukup oleh pemerintah. Sehingga, mereka kembali ke Pulau Jawa dan menjadi gelandangan. Wahya lalu memberikan pelatihan kepada para transmigran, mulai dari bertani hingga mengolah pangan.

Di Kali Code, Wahya memposisikan dirinya menjadi teman bagi kaum marjinal. Wahya tidak segan untuk menyapa dan berbaur kepada para transmigran. Oleh karena itu, banyak transmigran yang merasa dekat dengan dirinya. Saat berkegia-

Tokoh
EDISI 59 19 MAJALAH DIANNS
Dok Sekolah SALAM

tan di Kali Code, Wahya bertemu dengan Romo Mangunwijaya. Menurut Wahya, Romo Mangun merupakan seorang yang tegas dan tidak suka berbasa-basi. Namun, hati Romo Mangun luluh ketika melihat pendekatan yang dilakukan Wahya kepada para transmigran. Seiring berjalannya waktu, Romo Mangun menjadi mentor Wahya dalam membangun Sekolah SALAM. Setelah lulus kuliah pun Wahyaningsih melanjutkan pengabdiannya di Kali Code dengan bekerja di bawah Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Duta Wacana.

Wahya menikah dengan sang suami, Toto Rahardjo, yang juga merupakan seorang aktivis pendidikan, kemudian mereka tinggal di daerah pedesaan tepatnya di Desa Lawen, Pandanarum, Banjarnegara. Setelah beberapa waktu tinggal dan mulai mengenal Desa Lawen, Wahya menyadari bahwa terdapat permasalahan yang krusial, yakni di desa tersebut angka anak putus sekolah dan pernikahan dini masih sangat tinggi. Ia sangat menyayangkan hal itu mengingat Sumber Daya Alam (SDA) di sekitar Desa Lawen sangat melimpah. Dari sana kemudian Wahya tergerak untuk melakukan observasi ke masyarakat, ia mengobrol dengan banyak anak-anak hingga menemukan fakta bahwa anak-anak di desa tersebut memiliki semangat dan antusiasme belajar yang tinggi. Akhirnya, pada tahun 1988 di Lawen, Wahya membentuk Sanggar Anak Alam (SALAM).

Seiring berjalannya waktu, SALAM yang berada di Lawen berubah menjadi sebuah komunitas pemuda dengan nama ANANE29 yang masih berjalan hingga saat ini.

Membangun Sekolah SALAM

Setelah menyelesaikan beberapa observasi, Wahya membulatkan niatnya untuk membuka sekolah. Melihat dari realita kehidupan di desa tersebut, Wahya merancang sekolah yang menurutnya bisa menjadi penunjang bagi aktivitas sehari-hari mereka. Ia membuat gagasan berupa konsep pengajaran yang difokuskan pada hal-hal yang ekiranya akan dibutuhkan oleh siswanya, seperti tentang lingkungan, pangan, kesehatan, sosial budaya, dan wirausaha.

Pada tahun 1996, Wahya dan suami memutuskan untuk meninggalkan Desa Lawen dan pindah ke Yogyakarta, tepatnya di Kampung Nitiprayan, Ngestiharjo, Bantul. Setelah dekat dengan masyarakat di lingkungan barunya, ia kemudian diamanahi menjadi seorang ketua RT. Kepercayaan tersebut lantas dimanfaatkan dengan baik oleh Wahya untuk membantu perkembangan wilayah RT tersebut. Ia memulai riset dibantu oleh warga sekitar tentang permasalahan dan kebutuhan mereka. Setelah riset selesai, Wahya menemukan fakta yang sama seperti di Desa Lawen yakni angka anak putus sekolah dan pernikahan dini di daerah

Tokoh
20 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Dok. Sekolah SALAM

tersebut juga tinggi. Wahya kembali menggagas konsep sekolah seperti yang sebelumnya ia lakukan di Desa Lawen, ia memulai dengan melakukan pendampingan bagi remaja yang ternyata mendapat respon positif dari warga sekitar.

Maka pada tahun 2000, dibentuklah kembali Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Siswa pertama sekitar 200 anak yang dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Awalnya, SALAM hanya membuka kelas pendampingan remaja. Lalu, secara bertahap, SALAM membuka sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, yakni PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA. Saat ini, SALAM diakui sebagai sekolah dengan kategori Pendampingan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Wahya memiliki ide berbeda tentang cara bagaimana sebuah sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar. Apabila di sekolah biasa, siswa disuruh untuk mengikuti kurikulum dan mata pelajaran wajib, SALAM mengedepankan metode pendidikan berbasis riset. Siswa dapat memilih topik riset mereka sendiri dan mengeksplor hasil riset tersebut. Mengusung konsep pendidikan merdeka dari Ki Hajar Dewantara, SALAM juga tidak memiliki aturan dan seragam yang mengikat. Siswasiswi diberikan tugas untuk melakukan riset terkait dengan kondisi di sekitar mereka, seperti keadaan kampung, keadaan pasar, hingga keadaan ladang. Hasil riset tersebut kemudian didiskusikan bersama. Peserta didik kemudian jadi mengetahui banyak hal tentang desa mereka, seperti tentang permasalahan yang ada dan aset apa saja yang dimiliki desa tersebut. Dari pembelajaran seperti itu, pemikiran kritis dan solutif murid dilatih. Selain dari murid yang belajar di SALAM, Wahya juga mengajak orang tua dan wali murid serta masyarakat sekitar untuk turut melakukan riset dan memetakan hasil riset tersebut untuk mengetahui kebutuhan mereka. Alhasil, siswa merasa bebas untuk mendapatkan pengetahuan yang mereka inginkan.

Tokoh EDISI 59 21 MAJALAH DIANNS
Penulis: Benediktus Brian dan Nasywadhiya Z. Editor: Jodi Alfrino Tarigan

Mengenal Suku Polahi di Pedalaman Gorontalo yang Memiliki Tradisi Perkawinan Sedarah

Sebagai negara yang membentang luas, Indonesia tentunya memiliki banyak tradisi dan adat istiadat. Keberagaman yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial di Indonesia, salah satunya adalah perkawinan. Ada beberapa daerah di Indonesia menganut sistem perkawinan yang unik, di mana mereka diharuskan menikah dalam satu suku, marga, bahkan kerabat dekat. Bagi salah satu suku terpencil di pedalaman Gorontalo, perkawinan sedarah bahkan sudah menjadi tradisi.

Asal muasal Suku Polahi

Mungkin suku Polahi belum terlalu akrab ditelinga banyak orang. Sebab, mereka mendiami hutan nan lebat dan tersembunyi di Gorontalo. Bahkan, sampai saat ini, mereka masih menutup diri dari peradaban dan kemajuan dunia. Mereka kemudian melakukan pelarian ke hutan dan menjadikannya suku yang terisolasi hingga hari ini. Suku ini mulai mengasingkan diri abad ke-17 dan sekarang tinggal di dalam hutan-hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo. Lebih spesifik lagi keberadaan mereka terdata berada di sekitar lokasi Desa Bihe, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat luas, konon orang-orang suku Polahi adalah orang-orang pelarian pada zaman Belanda. Dalam kamus bahasa Gorontalo sendiri, Polahi berasal dari kata "Lahilahi" yang artinya, pelarian atau sedang dalam pelarian. Masyarakat Polahi menghindari masa penjajahan Belanda karena takut atau tidak mau membayar pajak sehingga memilih untuk tinggal di pedalaman hutan yang sulit bahkan tidak mungkin di masuki penjajah. Hal ini menjadikan orang Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, sebagian keturunan Polahi masih tetap bertahan tinggal di hutan Sikap anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.

22 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Budaya
ANTARA

Kilas Kehidupan dan Kebiasaan

Suku Polahi yang tinggal di pedalaman hutan tentu saja masih erat dengan kehidupan yang berpindahpindah tempat (nomaden). Terlebih jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang meninggal, mereka akan memilih mencari hunian baru. Walau beberapa keluarga Polahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, mereka cenderung tidak ingin hidup bersosialisasi dengan wargaselain sesama keluarga mereka. Masyarakat Polahi sebagian besar masih tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Keturunan Polahi menjadi warga masyarakat yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Polahi juga tidak mengenal ilmu baca tulis serta tidak lagi menganut agama dan memiliki beberapa kepercayaan yang mereka anggap ada. Sehingga tidak heran masih banyak tradisi dan kebiasaan mereka bertentangan dengan hukum negara dan ajaran agama yang dianut pada umumnya.

Dilansir dari kompas.com sebagaimana diungkap oleh Marahalim Siagian, antropolog burung Indonesia yang telah meneliti langsung kelompok kecil orang Polahi yang dipimpin Tahilu di hutan suaka margasatwa Nantu. Suku Polahi mengenal 3 tuhan, diantaranya:

1.

Pulohuta

Pulohuta digambarkan sebagai sosok yang hidup serta memiliki kuasa atas tanah. Konsepnya berasal dari nenek moyang. Pulohuta adalah sepasang suami istri. Bila Polahi hendak membuka hutan, maka mereka akan meminta izin dahulu kepada Pulohuta. Selain memegang kuasa atas tanah, Pulohuta juga memegang kuasa atas hewan di hutan. Bentuk penghormatan orang Polahi kepada Pulohuta, adalah jika mereka mendapat hewan buruan, bagian tertentu dari tubuh hewan itu diiris seperti kuping, mulut, dan lidah, kemudian ditaruh di tunggul kayu untuk dipersembahkan kepada Pulohuta.

2. Lati

Tuhan Lati digambarkan sebagai sosok makhluk hidup yang menghuni pohon-pohon besar serta di air terjun. Ukuran tubuhnya digambarkan kecil-kecil

seukuran boneka dalam jumlah banyak. Lati merupakan pemegang kuasa atas pohon. Bila Polahi ingin menebang pohon besar atau mengambil madu lebah hutan yang terdapat di atasnya, Polahi membakar kemenyan, merapal mantera dengan tujuan menyuruh Lati pindah ke pohon lain.

3. Lausala

Lausala, dalam narasi Polahi layaknya tokoh manusia super (superhuman). Tokoh antagonis yang digambarkan sebagai sosok yang haus minum darah. Sosok Lausala ternyata bukan hanya dideskripsikan sebagai tokoh laki-laki, sebab ada juga perempuan tua yang disebut-sebut sebagai Lausala. Polahi membuat beberapa gambaran untuk meyakinkan bahwa Lausala itu benar-benar ada. Orang Polahi meyakini Lausala memiliki mata merah, membawa pedang yang menyala dan ia bisa pindah dengan cepat dari balik bukit ke bukit yang lain. Menurut orang polahi, jika ada anjing menggonggong itu salah satu pertanda hadirnya Lausala.

Dalam kehidupan sehari-hari, suku ini menghabiskan seluruh waktunya di hutan, hanya mengandalkan gubuk-gubuk jerami kecil tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara. Untuk mencari nafkah, Suku Polahi sering berburu babi hutan, rusa, ular dan hewan lain yang hidup di sekitar hutan tempat tinggal mereka,

Selain itu suku Polahi juga mengonsumsi daun rotan, umbi-umbian dan akar untuk makanan sehari-hari. Untuk memasak suku Polahi menggunakan batang bambu sebagai wadahnya. Cara memasaknya juga sangat sederhana, yaitu memasukkan semua bahan makanan ke dalam lubang bambu kemudian dibakar di atas perapian hingga batang bambu retak atau patah, yang merupakan tanda bahwa makanan telah selesai dimasak.

Tradisi Perkawinan Sedarah

Perkawinan satu darah atau incest dalam Suku Polahi, konon sudah terjadi sejak abad ke-17. Incest berasal dari bahasa Latin “incestus” yang berarti najis. Sebelumnya dikenal sebagai sib-leger

EDISI 59 23 MAJALAH DIANNS Budaya

(saudara kandung: keluarga, leger: berbohong) dan meaghaemed (maeg: keluarga, haemed: hubungan seksual) sebelum abad ke-16, namun kedua nama tersebut lebih erat kaitannya dengan istilah incest dan incest. Incest digambarkan sebagai hubungan seksual atau perkawinan antara dua kerabat dekat yang diyakini melanggar karakter, hukum, atau agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Gabrillia, Mien, Ollij, 2021: 2).

Masyarakat suku Polahi memiliki tradisi perkawinan sedarah yang kuat, dimana ketika seseorang mencapai kedewasaan (baik laki-laki maupun perempuan), mereka disandingkan dengan saudara kandungnya sendiri. Dalam rumah tangga dengan kakek-nenek (dari ayah dan ibu), ayah, ibu, dan anak-anak, misalnya, anak ini akan menikah dengan saudara laki-lakinya sendiri di antara anak laki-laki dan perempuan yang masih bersaudara ketika ia dewasa. Letak pemukiman yang terpencil dan jauh di dalam hutan menyebabkan masyarakat Polahi tidak berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain. Mereka adalah anggota suku yang jauh dan terpencil, yang berkontribusi pada perkawinan sedarah di komunitas mereka. Perkawinan sedarah tidak dilarang di antara suku Polahi, meskipun faktanya dilarang menurut hukum negara yang tercantum dalam Pasal 8 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Orang-orang suku Polahi menikah hanya di dalam keluarga mereka atau di dalam kelompok suku itu sendiri, setelah meminta izin dari keluarga atau suku tersebut. Dengan begitu, pasangan yang mengajukan izin tersebut bisa langsung tidur bersama tanpa harus melalui rangkaian upacara pernikahan suku Polahi.

Komunitas Polahi tidak mengenal masa pacaran. Saudara sekandung yang perempuan dan laki-laki, bila sudah akil baliq dapat melakukan persetubuhan (momeku). Untuk bersetubuh dilakukan di dalam rumah, baik siang atau malam hari. Biasanya, yang dituakan dalam komunitas ini, bila melihat ada pasangan yang saling tertarik akan memanggil keduanya. Lalu, pasangan itu dimandikan di sungai. Saat memandikan pasangan, ada mantera-mantera yang diucapkan oleh kepala suku kemudian setelah itu perkawinan menjadi sah.

Masyarakat suku Polahi pertama kali mulai berhubungan dengan penduduk desa pada tahun 1990. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Polahi juga sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat Gorontalo lainnya. Terlebih ketika mereka sudah mulai untuk bermukim di tepian sungai, ini juga menjadikan mereka lebih mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Banyak dari mereka yang juga menikah dengan penduduk setempat dan tinggal secara permanen di desa dengan keluar dari kelompok.

Berbagai pendapat serta pandangan dari berbagai kelompok masyarakat pun beredar. Beberapa masyarakat menganggap hal itu aneh dan tidak wajar. Sebaliknya, kelompok masyarakat lainnya mengatakan bahwa perkawinan sedarah bagi suku polahi bukanlah karena adat kebiasaan atau turun temurun. Namun, perkawinan sedarah terjadi disebabkan pemahaman serta pengetahuan yang sangat kurang mengenai pergaulan dengan kelompok masyarakat di luar suku Polahi. Beberapa masyarakat juga mengatakan bahwa ini merupakan satu cara agar Suku Polahi tidak hilang keberadaannya dan terus diingat oleh keturunannya.

Penulis: Fazilah Rizqi dan Meisa Dwi Lieni Editor: Muhammad Ali Al Ridho

24 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Budaya

Pendidikan merupakan hak segala bangsa sebagaimana yang telah tertuang di Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) hingga ayat (2). Pendidikan juga sebuah alat yang berguna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan berperan dalam pembentukan kepribadian masyarakat Indonesia. Sesuai pernyataan di atas, tak hanya masyarakat kota saja yang harus mengenyam pendidikan agar tak terjadi pengulangan kebodohan secara kontinuitas, masyarakat adat pun juga harus mengenyam pendidikan. Namun, dalam penerapannya, siapa yang ingin menjadi tombak agar masyarakat pedalaman tetap memiliki sebuah ilmu yang berguna?

Wanita yang Menerobos Rimba

Mungkin terdengar aneh ketika mendengar seorang wanita yang menembus rimba hanya untuk pendidikan. Namun, ada seseorang yang namanya cukup familiar di beberapa kalangan dan berani untuk mendobrak stigma Orang Rimba yang tertinggal pendidikannya. Ia bernama Butet atau yang lebih dikenal Butet Manurung. Lahir dengan nama asli Saur Marlina Manurung, Butet merupakan sosok yang memberi penerangan di tengah stereotip bodohnya Orang Rimba. Wanita berdarah Jakarta ini memilih untuk mengabdikan hidupnya demi membuat anak rimba yang terkenal tidak tahu apa-apa menjadi mentas buta aksara.

Butet Manurung lahir pada tanggal 21 Februari 1972 di Jakarta. ‘Indiana Jones’ atau Dr. Henry Walton Jones menjadi tokoh inspirasi Butet dalam berpetualang. Butet menggambarkannya sebagai seorang petualang fiktif, agen, tentara, profesor, dan seorang protagonis utama yang diinginkan untuk dipresentasikan dalam dirinya. Hasilnya tidak dapat diperdebatkan lagi. Perjuangan Butet yang

EDISI 59 25 MAJALAH DIANNS

hanya berbekal ijazah dan tekad untuk keluar masuk hutan demi mengentaskan krisis aksara di tengah rimba kini dapat kita lihat sendiri.

Bukit Dua Belas di Jambi dan Suku Anak Dalam merupakan bukti nyata terwujudnya tekad Butet untuk membebaskan mereka dari kemiskinan aksara. Sebagaimana syarat untuk memerdekakan sebuah peradaban adalah dengan memberi bekal pendidikan.

yang biasa mereka makan. Kala itu, Butet yang hanyalah lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia yang tidaklah berlatar pendidikan seorang pendidik atau guru langsung bertekad untuk membimbing mereka demi meretas angka buta aksara.

Kisah Awal SOKOLA hingga Butet Berhasil Menyabet Penghargaan

Sokola Rimba,

Sekola

Bebas Setan Bermata Runcing

Kerikil untuk mencapai kemerdekaan pendidikan salah satunya adalah warisan leluhur yaitu adat istiadat setempat. Adat istiadat bagaikan sebuah ideologi yang susah dimusnahkan dari pemikiran masyarakat adat. Bukit Dua Belas di Jambi yang dihuni oleh Suku Anak Dalam meyakini sepenuhnya bahwa pendidikan dapat menjadi ‘bencana’ atau ‘kesialan’ dari adat yang selama ini telah mereka junjung tinggi. Adat istiadat itulah yang menjadi kerikil utama bagi Butet untuk memerdekakan Suku Anak Dalam dari kemiskinan aksara. Sekitar tujuh bulan lamanya, Butet mondar mandir ke alas Rimba untuk mempelajari kondisi sosial budaya penghuni rimba. Meski kerap mendapat sambutan kurang baik, bahkan berkali-kali penolakan, Butet dengan tekadnya tidak ingin menyerah semudah itu.

Kondisi Suku Anak Dalam kala itu tidak hanya sebatas mengalami krisis aksara, tetapi juga degradasi kepercayaan dari orang luar seperti Butet. Orang luar seringkali memanfaatkan krisis aksara yang dialami oleh Suku Anak Dalam untuk berbuat curang dalam negosiasi hingga merebut tanah mereka sehingga Suku Anak Dalam seringkali takut untuk menerima perubahan seperti pendidikan. Saat itu, mereka menyebut orang luar sebagai setan bermata runcing, yang artinya setan yang membawa pulpen dan merenggut tanah milik mereka. Meskipun demikian, Butet berhasil mendapat kepercayaan mereka untuk menjadi seorang guru bagi Orang Rimba. Berbekal nekat agar bisa diterima, ia belajar untuk menyesuaikan diri dengan Orang Rimba, seperti memakai sarung berkemban, ikut berburu, hingga memakan apa saja

Tahun 2003, ketika kali pertama Butet bekerja pada salah satu LSM konservasi di Jambi, ia ditugaskan untuk memfasilitasi pendidikan. Butet yang berkeinginan menjadi fasilitator pendidikan pada komunitas rimba pun mendirikan Sakola Rimba bersama empat rekan pendidiknya. Selanjutnya, mereka mengembangkan program keaksaraan yang tetap responsif pada adat, tradisi, dan gaya hidup masyarakat adat yang kental, sekaligus menjawab tantangan pembangunan di komunitas yang terpinggirkan.

Sekolah yang awalnya bernama SOKOLA ini pertama kali berdiri di Jambi ini ada karena pemikiran awal Butet yang ingin tidak adanya masalah dengan buta huruf untuk masyarakat pedalaman. Seiring berjalannya waktu, Butet bersama SOKOLA sudah bisa merangkul sedikitnya 17 komunitas adat di seluruh Indonesia dan membawa literasi kepada lebih dari 10.000 individu. Lantas, Butet Manurung pernah mendapatkan berbagai macam penghargaan seperti “Nobel Asia” Ramon Magsaysay Award 2014, Penghargaan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015, dan Ernst and Young Indonesia Social Entrepreneur of the Year 2012. Bahkan, kisahnya ditulis dalam sebuah buku berjudul “Sakola Rimba” yang terbit pada tahun 2007 dan diadaptasi menjadi sebuah film yang disutradarai Riri Riza pada tahun 2013. Butet juga didapuk menjadi salah satu wanita yang dipilih Produsen Boneka Barbie untuk mewakili 12 perempuan preneur dan berpengaruh di dunia melalui tampilan boeka Barbie One of A Kind dalam perayaan International Women Days pada 8 Maret 2022.

EDISI 59 24 MAJALAH DIANNS
26 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Tokoh

Butet mengatakan bahwa ada beberapa pemikiran keliru yang harus diubah, seperti pendidikan selalu di sekolah dan pendidikan di Indonesia tidak kontekstual. Padahal, pendidikan bisa terjadi di mana saja dan haruslah menyesuaikan dengan keadaan geografis dari Sabang sampai Merauke. Butet juga menambahkan permasalahan mengenai guru yang dianggap sebagai sumber pengetahuan. Menurutnya, guru yang keren adalah guru yang belajar pada muridnya.

Sebelum adanya pendidikan, selain kerap kali ditipu perihal perjanjian tanah, Butet juga miris melihat Orang Rimba ke pasar tidak bisa membaca timbangan. Oleh karena itu, masyarakat adat yang banyak mengalami tekanan-tekanan tersebut haruslah belajar baca tulis, Bahasa Indonesia, dan hak-hak lainnya,supaya mereka menjadi setara dan seimbang untuk bernegosiasi. Berkaca dari beberapa masalah tersebut, hal sederhana yang diinginkan Butet hanyalah membantu mereka untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari mereka. Tonggak Awal Berdirinya Pendidikan Berbasis Adat hingga Sekarang

Masyarakat adat tidak semuanya membutuhkan pendidikan, begitulah kata Butet. Pendidikan bagi masyarakat adat bukan sebuah ajang kompetisi atau mencari prestasi, melainkan untuk membuka mata dan bisa melihat dunia. Sisa-sisa keputusan masyarakat mengenai dunia sepenuhnya diserahkan kepada mereka. Yang penting hanya satu bagi pendidik masyarakat adat, yaitu membebaskan mereka dari krisis aksara yang dapat menjadi jurang kebodohan.

Selanjutnya, Butet menyatakan bahwa konsep pendidikan yang tepat dan yang dibutuhkan oleh Orang Rimba ialah pendidikan berkonsep antisipasi atau pendidikan antisipatoris. Pola pendidikan ini merupakan pola yang menerjang atau sekadar mempertahankan habitat mereka dalam kencangnya arus transformasi untuk mengubah wujud tempat tinggal mereka. Jika dari masa ke masa hutan kian menyempit dan sumber daya alam kian menepis, akan timbul pertanyaan, mampukah

Orang Rimba menghadapi arus transformasi tersebut? Kehidupan mereka hanya bergantung di rimba. Hampir seluruh waktu dan sisa hidup mereka berpegangan pada rimbunnya pepohonan di hutan yang terancam kerindangannya. Sudahkah mereka sejahtera seperti orang dunia terang?

Jika dikatakan Indonesia telah merdeka dari penjajahan, maka itu tidak berlaku pada Orang Rimba yang masih dijajah oleh saudara sebangsanya dengan menutup mata akan ketidakadilan bagi sebagian warganya. Mengatasnamakan kepentingan pribadi, mengacaukan ketenangan Orang Rimba, mengusik habitat dengan terus menerus mempersempit ruang gerak mereka. Hutan dijadikan tempat untuk ladang rupiah bagi orang dunia terang, menghabiskan sumber daya alam di Hutan, yang menjadi satu-satunya tempat terteduh yang membingkai kedamaian jiwa Orang Rimba. Perlakuan orang dunia luar berbanding terbalik dengan Orang Rimba, yang memperlakukan hutan secara arif. Mereka menjaga kelestarian hutan dengan tidak merusak apapun yang ada di dalamnya. Bagi Orang Rimba, bahagia itu adalah ketika orang dunia terang tidak mengusik habitat mereka. Terima kasih, Butet dan Pejuang-pejuang Pendidikan lainnya.

EDISI 59 27 MAJALAH DIANNS Tokoh
Penulis: Anggita Hajar dan Cahyaning Galuh Editor: Benediktus Brian

Memupuk Asa dan Harapan

28 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Foto Narasi

Kabupaten Malang Senin, 27 Juni 2022. Dalam rangka pelaksanaan program kerja dalam kegiatan KKNT-FIA UB, telah diselenggarakan kegiatan menggambar bersama dengan anak-anak Panti Asuhan Taslimiyah. Panti asuhan ini berlokasi di Desa Krebet Senggrong Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Program kerja ini bertujuan sebagai media berekspresi untuk mengungkapkan cita-cita anak-anak panti asuhan agar meningkatkan semangat dalam proses menggapai asa.

Melalui kegiatan ini, semua anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut mencurahkan semua isi harapan dan cita-cita mereka ke dalam bentuk lukisan. Setiap anak diberikan kebebasan dalam mencurahkan ide mereka mengenai cita-cita yang ingin mereka capai untuk dituangkan dalam sebuah lukisan. Setiap anak tentunya memiliki berbagai macam cita-cita yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Seperti menjadi pemain sepak bola dan dokter. Selain itu, ada juga yang bercitacita menjadi polisi.

Mereka sangat bersemangat pada saat proses menggambar, antusiasme mereka terlihat saat mengangkat tangan untuk menceritakan kisah dibalik gambar dari cita-cita yang ingin mereka capai. Mereka menceritakan alasan kenapa mereka memilih pekerjaan tersebut untuk menjadi cita-cita mereka di masa depan. Dalam cerita-cerita yang mereka sampaikan terdapat sebuah harapanharapan yang tulus dari seorang anak muda yang menginginkan sebuah perubahan dalam kehidupannya, hal tersebut terlihat dari raut wajahnya yang terlihat sumringah dan bersemangat saat menjelaskan maksud dari gambar yang mereka buat. Dengan mempersiapkan bekal sedari dini, maka anak-anak tersebut memiliki waktu yang panjang untuk menggapai cita-cita mereka.

Cita-cita tak ada batasan, semua orang berhak menjadi apa yang mereka inginkan.

Penulis: Farras Nabilah K. dan Pahlevi Aulia R. Editor: Fachrur Rozi

EDISI 59 29 MAJALAH DIANNS Foto Narasi

KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR: KEMERDEKAAN PENDIDIKAN TAPI MENGKHAWATIRKAN?

Pendidikan merupakan pondasi dasar dalam membangun suatu negara, yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang berkarakter, cerdas, beradab, berakhlak mulia, dan bermartabat. Selain itu, adanya pendidikan dapat membawa perubahan bagi generasi anak bangsa. Perubahan tersebut dapat membentuk anak bangsa menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, dari generasi ke generasi. Diharapkan, setiap anak dapat memperoleh kesempatan dan hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Jika melihat kondisi saat ini, telah terjadi perubahan terkait dengan semakin derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi kebijakan dalam upaya pembaharuan pendidikan menuju ke arah yang lebih baik.

Unsplash/Ed Us
30 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Opini

Kebijakan Merdeka Belajar

Kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), yaitu Nadiem Makarim adalah kebijakan Merdeka Belajar. Tersirat dalam surat keputusannya bahwa peserta didik diberikan kebebasan untuk menentukan masa depan sesuai dengan kompetensinya. Menurut Nadiem Makarim, upaya kebebasan belajar dimaksud adalah kebebasan berpikir yang bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Melalui tenaga pendidik, orang tua dan staf sekolah maupun perguruan tinggi memiliki peran yang penting untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam mewujudkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Sehingga, dukungan ini peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

Namun, seiring berjalannya program tersebut, beberapa pihak mulai mengkhawatirkan efektifitas dari program kebijakan Merdeka Belajar di tengah intensnya pembelajaran digital oleh akibat dari timbulnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Salah satu masalah utama di masa pandemi Covid-19 saat ini adalah ketidakcakapan tenaga pendidik yang memindahkan metode pengajaran tatap muka (luring) ke ranah virtual learning (daring). Banyak di antaranya yang tidak terlatih dalam memberikan

ajaran kepada muridnya melalui aplikasi pembelajaran daring seperti Zoom, Google Classroom, dan lain-lain. Selain itu, tidak jarang ditemukan bahwa tenaga pendidik merasa kesulitan menarik atensi murid dan memastikan apakah murid benar-benar serius dalam belajar dan memahaminya. Pada akhirnya, banyak tenaga pendidik yang memilih untuk sekedar memberikan tugas mingguan pada muridnya dan berharap mereka belajar secara mandiri melalui tugas tersebut saja. Tapi apakah hal ini bisa? Apakah mereka akan benar-benar serius belajar dengan cara demikian?

Belajar dari Norwegia dan Selandia Baru

Kebijakan pendidikan seperti Merdeka Belajar bukanlah program yang pertama di dunia. Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa terkait customized learning, yang bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia. Pada tahun 1994, Norwegia meluncurkan “Reform 94”. Kebijakan ini digulirkan untuk memberi siswa remaja lebih banyak pilihan dan tanggung jawab dalam pembelajaran. Misalnya, mendorong mereka bekerja sama dengan guru untuk merancang kegiatan belajar mereka. Akan tetapi, merujuk pada evaluasi nasional justru ditemukan bahwa hanya siswa unggulan saja yang memiliki motivasi belajar secara mandiri, sedangkan murid lain sedikit mendapatkan motivasi tersebut. Para murid yang tidak mendapatkan motivasi tersebut disebabkan karena mereka telah dididik sejak awal untuk bergantung pada guru, misalnya menentukan apa yang harus mereka pelajari dan bagaimana pengajarannya yang tepat.

Terdapat pola serupa ketika praktik pembelajaran daring menjadi gencar akibat Covid-19 di Indonesia, di mana siswa menjadi semakin terisolasi dan ditinggalkan tanpa bimbingan. Bahkan Norwegia yang telah menjadi salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia tetap menghadapi tantangan dalam memberikan kebebasan belajar kepada peserta didik, yakni hilangnya capaian belajar (learning loss) dan pudarnya fokus belajar siswa di tengah kekhawatiran bolak-balik antara sekolah daring dan luring. Jadi, ketika jarak antara tenaga pengajar dan

EDISI 59 31 MAJALAH DIANNS Opini

murid merenggang, bagaimana kita mendorong murid untuk mengambil alih proses belajar mereka secara mandiri?

Pandemi telah mengajarkan pada kita tentang pentingnya lingkungan belajar digital yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi murid. Murid tidak akan repot-repot berusaha belajar secara mandiri apabila mereka sudah terlebih dulu kehilangan minat belajar. Maka, untuk mengatasi hal ini adalah perubahan terhadap periode mengajar yang lebih pendek, dipadu dengan sesi praktik dan evaluasi. Bagi beberapa tenaga pendidik, bentuknya bisa dengan mengubah sesi belajar yang biasanya beberapa jam diubah menjadi pecahan masing-masing 30 menit berisi materi belajar dan aktivitas yang disebar selama periode satu minggu. Dengan begini, murid bisa mempelajari materi tertentu dengan kecepatan mereka sendiri selama seminggu tersebut. Apabila metode ini diterapkan kepada peserta didik maka proses evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar murid dapat dilaksanakan dengan baik.

Praktik-praktik seperti ini telah lama diterapkan oleh sekolah terbesar di Selandia Baru bernama Te Kura, dan merupakan fondasi dari lingkungan belajar digital yang efektif. Te Kura berdiri pada tahun 1922. Pada jaman pra-digital itu, materi ajar dan tugas dikirimkan dan dikembalikan oleh siswa melalui pos untuk kemudian dinilai dan dievaluasi. Artinya, bahkan jauh sebelum pandemi, Te Kura telah mengadopsi model pengajaran yang beragam, dari sepenuhnya daring hingga kelas tatap muka ketika memang dibutuhkan. Berbagai sumber daya pembelajaran dan platform yang mereka gunakan telah teruji efektivitasnya. Para tenaga pendidik di

sekolah Te Kura sudah menguasai bagaimana caranya mempertahankan atensi belajar murid saat musibah menerpa.

Jadi, hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan Merdeka Belajar ini adalah bahwa dalam mensukseskan kebijakan Merdeka Belajar, tidak cukup jika kita hanya memberi ruang bagi murid untuk merancang pendidikan mereka sendiri. Sekolah/perguruan tinggi dan tenaga pendidik juga harus mendesain lingkungan pembelajaran yang benar-benar bisa mempertahankan atensi, motivasi, dan kemandirian murid untuk belajar. Pemberian tugas-tugas yang intens dan diberikan kepada murid tiap minggu dengan alasan siswa akan belajar setelah pembelajaran di kelas berakhir tidak menjamin bahwa murid benar-benar belajar mandiri dengan serius dan dapat meningkatkan pemahamanya. Tidak jarang ditemukan seorang murid menyerahkan tanggung jawab akan tugasnya kepada orang lain atau melihat pekerjaan orang lain. Oleh karena itu, justru langkah yang paling utama adalah tentang kedekatan antara tenaga pendidik dan murid, seperti memberikan perhatian mendalam terhadap kondisi murid dan menanamkan motivasi yang memberikan tekad kuat dalam belajar.

Penulis: Ramos Christofer

Editor: Benediktus Brian

32 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Opini

Kesehatan mental menjadi isu yang cukup populer dibicarakan oleh masyarakat urban, sehingga kesadaran mereka terhadap kesehatan mental semakin tinggi. Akibatnya muncul beragam metode pengobatan, salah satunya hipnosis atau biasa disebut Hipnoterapi. Hipnoterapi merupakan salah satu solusi alternatif untuk menyembuhkan masalah mental melalui sugesti. Terapi hipnosis seringkali disalahartikan dengan hipnotis, padahal keduanya berbeda. Hipnotis adalah orang yang memberikan sugesti, sedangkan hipnosis adalah fenomena masuknya sugesti ke dalam pikiran bawah sadar manusia.

Pada (30/04/2022), awak DIANNS mendapat kesempatan untuk berbincang dengan seorang Hipnoterapis, Muhammad Husein (23). Ia mengibaratkan pikiran manusia adalah kebun yang dijaga oleh suatu ‘gerbang’. Hipnosis adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mendapatkan izin atau menonaktifkan ‘gerbang’ pikiran agar sugesti bisa masuk ke pikiran bawah sadar manusia. “Hipnosis terjadi ketika sugesti yang masuk tidak perlu disaring atau dikritik oleh seseorang,” tambahnya. Husein mengungkapkan dalam ilmu hipnosis, pikiran manusia dikelompokkan menjadi tiga. “Pikiran sadar, pikiran tidak sadar, dan pikiran bawah sadar. Pikiran sadar merupakan pikiran yang dapat dikendalikan dan memengaruhi perilaku kita sehari-hari, seperti ketika menulis, membaca, dan lain-lain. Sedangkan pikiran tidak sadar adalah pikiran yang sama sekali tidak dapat kita kendalikan dimana hal tersebut merupakan bagian dari

Sosial EDISI 59 33 MAJALAH DIANNS

otak kecil yang berfungsi secara otomatis, seperti mengendalikan detak jantung, aliran darah, nafas, dan sebagainya. Adapun pikiran bawah sadar adalah setiap kegiatan atau aktivitas yang pernah ditangkap atau direkam di dalam panca indera. Oleh karena itu, pikiran bawah sadar dapat disebut sebagai gudang memori,” jelasnya.

Selanjutnya di antara pikiran sadar, tidak sadar, dan bawah sadar terdapat RAS (Reticular Activating System). RAS merupakan bagian dari otak yang terletak tepat di atas tulang belakang, dan panjangnya sekitar lima centimeter dengan ketebalan seperti pensil. RAS bertindak sebagai filter untuk otak dan memastikan bahwa otak tidak kemasukan terlalu banyak informasi dari yang bisa diterima. Ibaratnya pikiran manusia adalah taman yang begitu luas dan subur, mau ditanami apapun pasti akan tumbuh dan RAS sebagai gerbangnya. Husein menambahkan, “Untuk masuk ke taman tersebut, perlu izin atau melewati gerbangnya dan hipnoterapis bertugas melewati gerbang itu.”

Metode Pengobatan Hipnoterapi

Seorang terapis perlu masuk ke dalam pikiran bawah sadar pasiennya agar dapat memasukkan sugestinya. Proses menembus pikiran bawah sadar pasien menjadi langkah yang paling penting karena dari situlah sugesti yang diberikan benar-benar masuk ke dalam pikiran bawah sadar pasien atau tidak. Cara paling umum adalah menidurkan pasien terlebih dahulu atau pasien berada dalam posisi senyaman mungkin. Kemudian terapis akan memasukkan sugestinya kepada pasien. Hipnoterapi bekerja dengan memberikan sugestisugesti positif terapis ke dalam pikiran bawah sadar pasien pada saat tidur maupun saat pikirannya hanya terfokus pada sugesti terapis. Jika hipnoterapis sangat menguasai teknik alternatif maka seorang terapis bisa memasukkan sugestinya kepada pasien seperti sedang berbincang-bincang santai.

Menariknya, Hipnoterapi dapat dilakukan dengan mandiri oleh tiap orang. Artinya, setiap orang bisa memberikan sugesti kepada dirinya sendiri sesuai apa yang diinginkan. Husein menjelaskan,

“Namanya self hypnosis. Jadi bagaimana kita memprogram diri kita sendiri. Makanya mungkin banyak orang yang mengenal hipnoterapi ini hanya sebagai fasilitas atau cara untuk menyembuhkan orang lain. Sebetulnya salah satu hal yang sangat luar biasa di hipnosis adalah bagaimana kita bisa memprogram diri kita sendiri”.

Hipnoterapi Menjadi Alternatif Pengobatan Masalah Mental?

Sebagai metode pengobatan alternatif, Husein tidak bisa memberikan jaminan bahwa pasien pasti akan sembuh melalui hipnoterapi. Penyembuhan masalah mental adalah hal yang relatif dan tidak ada patokan pastinya. Semua tergantung kecocokan antara pasien dengan terapisnya atau metode pengobatan tertentu.

Husein menegaskan, “Banyak kasus orang yang datang ke Hipnoterapi tidak mendapatkan dampak yang signifikan. Tetapi ketika datang ke psikolog atau ke psikiater mendapatkan dampak yang signifikan. Saya pribadi pernah menemukan orang yang sudah datang ke psikolog dan psikiater tapi tidak mendapatkan dampak atau perubahan yang diinginkan. Tetapi ketika datang ke hipnoterapis, dia akhirnya mendapatkan dampak atau perubahan yang diinginkan. Jadi tidak ada patokan pastinya lah.”

Sosial 34 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Walaupun tidak ada patokan yang pasti, bukan berarti pengobatan ini tidak efektif. Husein menceritakan pengalamannya dalam menangani klien yang kecanduan obat penahan nyeri. Kliennya adalah seorang nenek pensiunan dosen berusia 60 tahun lebih. Keluarganya pernah mendapati beliau lupa untuk meminum obatnya. Berselang beberapa waktu, keluarganya terkejut tidak ada keluhan dari beliau. Kemudian, rasa sakit itu mulai muncul kembali ketika ia menyadarinya. Husein mengungkapkan, “Permasalahan klien tersebut terletak pada pikirannya”.

Lebih lanjut, Husein menjelaskan cara yang dilakukannya kepada klien tersebut adalah dengan mengubah persepsinya terhadap rasa sakit. Tidak setiap rasa sakit itu membutuhkan obat dan harapannya sugesti tersebut dapat langsung diterima tanpa penentangan.

“Waktu itu saya memanfaatkan keyakinan klien yang merupakan seorang yang benar-benar berpegang teguh terhadap ajaran agama islam, bahwa ketika kita sakit Tuhan akan menyembuhkan kita dan lain sebagainya” tuturnya.

Disamping memberikan sugesti, hipnoterapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengajak diri sendiri selalu berpikir positif. “Karena hipnosis ini lebih ke seni berkomunikasi dan seni olah pikir. Percaya atau tidak, pikiran adalah modal utama manusia. Karena semua kegiatan atau sikap yang dilakukan itu tergantung pikirannya. Oleh karena itu, Hipnoterapi tidak hanya mengobati orang yang punya masalah mental, tapi juga mengarahkan ke self improvement,” pungkas Husein.

Penulis : Ramos Christofer dan M. Ali Al Ridho Editor : Tiara Maulidah

Sosial
36 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Infografis

Riset dan Layout: Anisa Wahidatus Editor: Annas Tasya

EDISI 59 37 MAJALAH DIANNS
Infografis

Cara

Dua

Makanan Makanan Makanan

Selain instagram dan Facebook, TikTok menjadi salah satu platform media sosial yang perkembangannya paling pesat di dunia. Data yang diperoleh dari katadata.co.id, menunjukan bahwa TikTok telah diunduh sebanyak 2 milyar lebih di seluruh belahan dunia. Tak hanya itu, mengutip dari Business of Apps, TikTok telah memiliki 1,39 miliar pengguna aktif bulanan (monthly active users/MAU) di seluruh dunia hingga kuartal I 2022. Diperkirakan, pengguna TikTok terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana yang terlihat pada grafik. Kondisi ini telah memberi sinyal kuat bagi seluruh orang agar tak memandang sebelah mata platform ini.

Jumlah Unduhan Tiktok Per Kuartal

TikTok Mengubah Dua Cara TikTok Mengubah Dua Cara TikTok Mengubah
Dimensi Budaya: Fashion dan Dimensi Budaya: Fashion dan Dimensi Budaya: Fashion dan
CANVA 38 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Banyaknya konten yang membanjiri TikTok membuat semua pengguna kini memiliki feed pribadi mereka sendiri atau "Halaman Untuk Anda" di mana mereka dapat menelusuri konten tanpa henti. Melalui pengguliran tanpa henti, Kita berpeluang menemukan bahkan mengikuti tren beracun yang ada di dalamnya. Hal ini tentu memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari penggunanya, terkhusus pada pola konsumsi fashion dan makanan.

Perubahan pola konsumsi fashion dan makanan karena TikTok memunculkan pertanyaan tentang seberapa kuat aplikasi ini dalam memengaruhi kehidupan kita. Tulisan ini setidaknya akan mengulik melalui referensi berbagai sumber.

Doktrin Tren Fashion

Berbicara mengenai mode fashion, sepanjang tahun 2010, Instagram disinyalir menjadi mode de facto untuk berbagi gaya berpakaian sekaligus memengaruhi tren perbelanjaan. Namun, menginjak tahun 2020, TikTok berhasil memberi gelombang baru pada tren fashion di berbagai negara. Bahkan, platform tersebut diakui sebagai pemain utama dalam industri mode era ini .

Melejitnya konten-konten fashion TikTok berhasil mendoktrin gaya apa yang sedang digemari, riasan apa yang harusnya dikenakan hingga brand fashion apa yang tengah diincar banyak orang. Algoritma atas fenomena ini dikenal dengan istilah "TikTok couture". Mengutip dari fashionnorth.com, TikTok couture merupakan gambaran perpaduan tren fashion yang muncul di TikTok bernuansa gaya subkultur perkotaan.

Dengan bantuan algoritma TikTok pada TikTok couture, platform ini berhasil menyebarkan berbagai konten viral ke jutaan pengguna dalam beberapa jam atau hari. Konten-konten ini kemudian membentuk apa yang dianggap “gaya” oleh budaya arus utama sehingga mampu memengaruhi apa yang kita pilih untuk dikenakan.

Tren subkultur ini terus tumbuh dan begitu menonjol dari tahun ke tahun.

Pada 2020, Vogue dikutip dalam laman vox.com menerbitkan sebuah artikel yang membahas kepopuleran gaya e-girl berkat algoritma TikTok.

Tren ini telah berada di 10 istilah mode trending teratas di Google pada tahun tersebut. Sejumlah selebriti arus utama mulai mengadopsi gaya e-girls, termasuk sosialita Amerika Kylie Jenner dan penyanyi Kosovar-Inggris Dua Lipa. Tak hanya selebriti,anak muda berusia belasan hingga dua puluhan juga telah mengadopsi tren ini. Meski terdapat sejumlah sisi gelap dari tren ini, TikTok berhasil menyulapnya menjadi sesuatu yang tidak berbahaya sama sekali.

Tak hanya itu, TikTok juga melahirkan fenomena “ ultra fast fashion”. Dalam laman yang sama dijelaskan bahwa ultra fast fashion merupakan fenomena sold-out nya produk-produk tertentu yang viral di TikTok. Dengan kata lain, ketika gaya atau produk tertentu menjadi viral di TikTok, item tersebut langsung habis terjual pada saat video itu dilihat oleh paling banyak orang. Fenomena ini mencerminkan besarnya keinginan orang-orang untuk menemukan tren TikTok sedini mungkin dalam upaya untuk maju dari siklus era ini.

Tak lupa, merek-merek fashion juga tengah berlomba-lomba memanfaatkan kesuksesan para pembuat konten TikTok untuk beriklan. Ketika merek-merek tersebut menjadi lebih akrab dengan dunia influencer TikTok, banyak orang yang tak segan untuk membayar lebih pada produk mereka dengan cepat. Jelas, keuntungan ekonomi dari fenomena ini tak main-main.

EDISI 59 39 MAJALAH DIANNS Media

Melampaui platform lain, TikTok berhasil menjadi kekuatan fashion era ini. Platform ini mampu menetapkan nada untuk apa yang dianggap fashionable, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Bak kembang api, TikTok dapat menyalakan dan mematikan fashion tertentu dengan sangat cepat.

Doktrin Tren Makan

Tak hanya fashion, TikTok juga berpengaruh besar dalam pola konsumsi makanan penggunanya. Penelitian dari agensi pemasaran MGH menemukan bahwa 36% pengguna TikTok memesan makanan setelah melihat konten makanan tersebut. Tak hanya bagi penontonnya, namun pada pengguna yang membuat konten makanan atau dikenal dengan food vlogger juga mengalami hal serupa. Masih merujuk pada penelitian MGH, ditemukan 65% food vlogger memutuskan untuk memesan makanan berdasarkan rekomendasi TikTok.

Faktor utama yang mendukung fenomena ini adalah tren #makananviral maupun #resepviral di TikTok. Tren ini berpotensi besar membuat penggunanya langsung memesan makanan setelah menonton video yang ditampilkan. Bagaimana tidak? Platform ini berhasil menyajikan elemen visual bombastis dalam konten makanan dengan durasi 15 detik saja.

Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat simulasi TikTok dalam menyajikan konten makanan melalui tren tersebut. Penelitian dari MGH turut mendukung argumen ini. Setidaknya 50 % pengguna TikTok mengatakan kepada MGH bahwa mereka telah mengunjungi restoran dari TikTok karena makanannya masuk dalam tren #makananviral dan tampak menggugah selera.

Profesor Charles Spence, psikolog percobaan di Universitas Oxford, dalam theguardian.com menyebut fenomena ini sebagai foodporn. Foodporn merupakan istilah yang mengacu pada penyajian konten/iklan makanan yang sangat bergaya dan sangat menggugah selera. Salah satu tren foodporn yang paling terkenal adalah mukbang.

Dampak yang perlu disoroti dari fenomena foodporn ini adalah terjadinya simulasi mental bagi para penontonnya. Artinya, mereka ( baca : para penonton) mengalami pengaktifan saraf sensorik pada panca indera ketika menonton konten makanan atau pengaktifan obsesi semu pada makanan. Saat ini terjadi, mereka cenderung mengabaikan kondisi kesehatannya sekalipun merekamungkin mengidap penyakit tertentu. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memperparah kondisi kesehatan orang tersebut. Jelas, tren foodporn yang begitu populer di TikTok ini berefek negatif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Meretas Doktrin Tren

Media sosial saat ini, terkhusus TikTok, memiliki pengaruh yang sangatl kuat. Algoritma TikTok yang mendoktrin pola fashion dan pola konsumsi makan sejatinya menimbulkan kekhawatiran dan keresahan, setidaknya bagi saya sendiri. TikTok semakin memperkuat dirinya melalui algoritma untuk mendorong tingkat homogenisasi pada berbagai tren yang tak sepenuhnya berintegritas.

40 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Media

Kita berada ditengah-tengah perang konten viral dengan begitu banyaknya produk yang berbeda dan bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Kita seakan terkurung dalam preferensi kita sendiri karena tak dapat melarikan diri dari selera platform digital.

Di satu sisi, algoritma TikTok memang memberi kemudahan bagi penggunanya untuk melihat konten berdasarkan permintaan pengguna, sebab terlalu banyak konten yang berkeliaran. Hanya saja, efek berkepanjangannya juga tak dapat diremehkan. Hari demi hari, kesempatan kita untuk membuat pilihan sendiri kian terbatas. Apa yang disajikan bukanlah apa yang sebenarnya kita butuhkan, namun apa yang pasar inginkan. Kita kerap kali gagal untuk membuat keputusan sendiri karena lebih menyerahkan sepenuhnya pada opsi “putar otomatis”.

Lebih jauh, TikTok dapat muncul sebagai ancaman melalui monopoli konten viral Platform ini bahkan dapat menjadi rezim yang lebih mampu mendikte selera kita berdasarkan kebutuhan pasar, tanpa kita sadari. Banyaknya objek acak dan konten yang dibuat "viral" oleh TikTok terlalu cepat dikonsumsi namun nilainya seringkali diabaikan. Pada akhirnya, kita cenderung mengonsumsi semua hal yang sama saja, tanpa menimbang nilai di setiap kontennya.

Viralitas memperlakukan manusia seperti mode cepat: produk yang dihasilkan secara algoritmik, dimasukkan semua ke layar kita secara bersamaan. Alhasil, kita kemudian menghabiskan banyak uang dan perhatian disana. Fenomena ini setidaknya mencerminkan kegagalan individualisasi itu sendiri. Seperti yang disampaikan Kelsey Weekman dalam In the Know, “Di TikTok, yang diperlukan hanyalah satu atau dua postingan viral yang memamerkan estetika tertentu agar gaya tersebut menjadi 'tren mikro.'”

Mengingat banyaknya waktu yang kita habiskan untuk menatap layar di berbagai media terkhusus TikTok, ada baiknya kita mulai bijak. Kita sebaiknya semakin sadar terkait bahaya algoritma media saat ini dan mulai memberi batasan dalam mengikuti tren-tren yang ada. Jangan sampai kita hanya menjalani hari demi hari dengan menelusuri TikTok untuk menghabiskan waktu dan mengikuti seluruh tren yang membanjiri platform. Harapannya, kita memiliki penglihatan tajam agar tak terjebak pada tren dan dapat mengatur presepsi dan perilaku yang sesuai dengan nilai nilai luhur.

Penulis : Nadya Rajagukguk

Editor : Prasiska Tri Wahyuni

EDISI 59 41 MAJALAH DIANNS Media

KESEHATAN MENTAL DALAM PUSARAN KESUKSESAN K-POP

About Korean Pop

Pada tahun 2012, lagu hit rapper Korea Psy "Gangnam Style" membuat seluruh dunia sadar akan “K-pop” —aliran musik pop yang berasal dari negara Korea. Namun, ternyata K-pop sudah berkembang jauh sebelum Gangnam Style. K-pop menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia. Melalui terobosan pertamanya ke Asia Pasifik, kini musik K-Pop telah menyebar ke seluruh Asia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin, dan bahkan Timur Tengah.

K-pop juga meraih beberapa kesuksesan, diantaranya yaitu grup K-pop dengan konsisten telah mencetak hit reguler pada tangga musik Billboard sebagai "K-pop Hot 100" pada tahun 2012. Kemudian, K-pop juga berhasil menarik banyak audiens dari berbagai negara, sehingga menciptakan fenomena Hallyu/Korean Wave atau bahkan yang sering disebut dengan demam korea.

Fenomena Hallyu ini mengacu pada popularitas budaya Korea di luar negeri dan menawarkan hiburan Korea terbaru yang mencakup film, drama,

musik pop, animasi, game, dan sejenisnya. Hingga Indonesia pada akhirnya mengikuti adanya penyebaran dari budaya ini. Hal ini dikarenakan, Indonesia merupakan negara berkembang yang mudah dipengaruhi oleh negara-negara maju. Hingga saat ini, konsumsi atas budaya populer Korea berupa musik (K-pop) telah melahirkan banyak penggemar di seluruh dunia yang biasa disebut dengan K-pop Lovers (Kpopers). Biasanya, para penggemar K-pop membentuk kelompok penggemar yang sering mereka sebut dengan fandom. K-pop membentuk sebuah dunia yang menghasilkan nilai-nilai dan tren baru yang diikuti oleh banyak orang.

Penyebaran K-pop di Indonesia sedikit banyak telah berpengaruh secara positif maupun negatif pada perkembangan kepribadian penggemarnya yang sebagian besar merupakan remaja. Pengaruh positifnya adalah K-pop mampu menarik Kpopers untuk menambah pengetahuan berbahasa asing seperti bahasa Korea dan Kpopers juga memiliki lingkaran pertemanan yang luas bahkan ke berbagai negara. Sedangkan, pengaruh negatifnya adalah mereka seringkali terlibat dalam pertengkaran antar Kpopers, histeris di tempat umum, dan berperilaku konsumtif.

Budaya K-pop biasanya berpusat pada girl group dan boy group. Daya tarik terbesar dari K-pop adalah berasal dari talenta para anggota girl group dan boy group tersebut. Anggota girl group dan boy group ini seringkali disebut dengan idol. Bukan hanya itu saja, karya-karya mereka yang bagus juga menjadi alasan dan kunci utama pada daya tarik yang K-pop tawarkan. Kebanyakan, tokoh yang sering menjadi idola berasal dari boy group seperti BTS dan NCT, serta girl group Blackpink.

K-pop memiliki dua unsur yang paling utama, yaitu fashion dan musik. Pada unsur fashion, kebanyakan pengaruh yang dapat dilihat dari penggemar K-pop adalah cara berpakaian para penggemar K-pop yang

42 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Musik

dominan sama. Mereka selalu berusaha menirukan fashion idol yang mereka sukai, sehingga para penggemar K-pop tidak lagi memiliki ciri khas fashionnya sendiri. Sedangkan pada unsur musik, kini K-pop terbagi kedalam beberapa genre, diantaranya hip hop, dance, dan rhythm and blues (R&B). Karena kepopulerannya di hampir seluruh dunia, K-pop menjadi salah satu jenis musik yang paling diminati oleh hampir seluruh kalangan. Sehingga, banyak musisi yang ingin berkolaborasi dengan boy group dan girl group K-pop, seperti Westlife, Alec Benjamin, Anne Marie, Trevor Daniel, Backstreet Boys, dan Boyzone.

Kolaborasi antar K-pop dengan musisi-musisi tersebut bertujuan untuk melebarkan karir dan menjangkau pasar industri musik di berbagai negara. Selain itu, kolaborasi oleh musisi tersebut dilakukan karena adanya kecocokan antara karakter suara yang dimiliki oleh grup K-pop dengan musisi internasional. Hal tersebutlah yang berhasil membuat K-pop semakin mendunia.

BTS: Musik sebagai Representasi dalam Meluapkan Emosi Seperti yang kita ketahui, banyak seniman yang

menuangkan perasaan, pemikiran, serta emosi yang mereka miliki melalui karya musiknya. Tidak melulu pasal percintaan, berbagai pendapat mengenai polemik kehidupan yang mereka alami coba mereka sampaikan melalui bait-bait lagu. Baik itu mengenai kesehatan mental, isu sosial politik, emansipasi wanita, maupun pendidikan.

Salah satu musisi yang sedang naik daun saat ini, yaitu BTS, pernah berpendapat mengenai hal ini. Melalui wawancaranya di Rolling Stone, BTS yang merupakan singkatan dari Beyond The Scene ini menyampaikan pendapat mereka mengenai bagaimana mereka menulis musik dan menjadi band terbesar di dunia. Salah satu membernya yaitu Suga berpendapat tentang emosi yang perlu diungkapkan oleh setiap orang. Tidak hanya Lead Rapper, Suga juga merupakan produser dan songwriter untuk grupnya. Suga sering berbagi perasaannya melalui lirik lagu yang dia buat. Di tahun 2016, dia mencoba berbagi kepada penggemar mengenai perasaannya pada lagu “The Last”, ketika menghadapi pertempuran melawan OCD, kecemasan sosial, dan depresi. Menurut SUGA, emosi negatif semacam itu bukanlah hal yang perlu disembunyikan.

EDISI 59 43 MAJALAH DIANNS Musik
Dok GQ Magazine

Leader boy grup BTS, RM mengungkapkan bahwa menulis lagu bukan hanya sekedar menulis bait-bait lirik. Akan tetapi, terdapat sebuah pesan yang mereka rasakan dari pengalaman yang mereka lewati sebelumnya.

RM berpendapat dalam wawancara tersebut bahwa ketika mereka menulis lagu, pesan dari lagu tersebut bukanlah dari pengetahuan atau kesadaran tentang sistem pendidikan di Amerika Serikat atau di tempat lain. Banyak hal yang bisa disampaikan dari pengalaman yang mereka alami tentang sekolah. Beberapa diantaranya tertuang pada lagu “No More Dream” dan “NO”.

Di awal debut mereka, BTS melalui single “No More Dream” menyuarakan tentang bagaimana anak muda dipaksa mengikuti standar tertentu yang dianggap layak dalam sistem pendidikan Ada batasan-batasan tertentu yang memenjarakan anak-anak muda untuk meraih mimpinya. Lewat lagu ini, BTS berharap bahwa setiap orang dapat meraih mimpinya dengan caranya masing-masing, tanpa memikirkan adanya standarisasi.

Hari yang membosankan setiap hari terus berulang Setiap orang dewasa dan orang tua menginginkan hal yang sama Memiliki pekerjaan tetap dan menjadi pegawai negeri Mimpi tidak bisa dipaksakan Ini bukan mimpi, ini paksaan (Terjemahan lirik lagu No More Dream)

Tidak jauh berbeda, lagu NO yang merupakan single utama dari album O!RUL8,2? (Oh! Are you late, too?) ini juga berisikan isu yang cukup sama, yaitu mengenai rasa frustasi dari para anak muda yang menghadapi tekanan dan persaingan tanpa henti di sekolah maupun tempat kerja. Lagu ini menyuarakan tentang bagaimana sistem pendidikan saat ini yang memaksa pelajar untuk menjadi juara dalam segala aspek pembelajaran jika tidak ingin menjadi si gagal.

Diharuskan untuk menjadi yang nomor satu, para siswa tertekan, mereka hidup diantara mimpi dan kenyataan siapa yang menjadikan kita seperti mesin belajar? mengkategorikan kita menjadi yang nomor satu atau yang gagal membuat kita terjebak dalam batasan karena mereka orang dewasa, tak ada yang bisa kita lakukan selain menurutinya (Terjemahan lirik lagu NO)

BTS sudah sejak lama memahami tujuan utama mereka. Sejalan dengan lirik lagu yang menekankan tentang identitas diri, self-love, mental health, budaya, sosial-politik, dan lainnya, membuat mereka menjadi juru bicara bagi generasi muda secara global.

Penulis: Dewi Fitriah dan Melky Lelyta Editor: Muhammad Ali Al Ridho

44 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Musik

Menjamurnya usaha food and beverage (F&B) di tengah pandemi menjadi bukti nyata bahwa bidang usaha tersebut memiliki ketahanan yang tinggi. Hal yang mendasari kebangkitan bisnis food and beverage (F&B) dari pandemi tidak lain karena bisnis makanan dan minuman tidak akan pernah kehilangan konsumen. Salah satu dari sekian banyak bisnis F&B yang mencoba peruntungan di tengah pandemi ini adalah Little Tempo Waffle Story. Ketika pertama kali berkunjung, pelanggan akan terfokus pada desain kafe dengan warna dasar pink beraksen hijau tua yang memberikan kesan kalem di dalamnya. Kafe dengan tema feminine tersebut terletak di Jl. Ki Hajar Dewantara No.15A, Jombatan, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Untuk menunya sendiri, Little Tempo Waffle Story menyediakan waffle, pancake, dan croffle sebagai menu utama, serta ice cream sebagai side dish Dessert menjadi fokus utama sejak awal berdirinya kafe ini, sehingga pembukaannya menjadi angin baru karena di Jombang sendiri hanya segelintir tempat kuliner yang menyediakan waffle, pancake, maupun croffle.

Kuliner EDISI 59 45 MAJALAH DIANNS

Waffle adalah hidangan penutup yang terbuat dari adonan beragi atau adonan yang dimasak di antara dua piring yang diberi pola untuk memberikan ukuran, bentuk, dan kesan permukaan yang khas. Dessert dari Belgia ini mulai populer dan digemari oleh orang Eropa di sekitaran abad 13 yang kemudian berkembang ke seluruh dunia hingga kini. Little Tempo Waffle Story sendiri menawarkan berbagai macam menu waffle yang dapat di-custom sesuai keinginan pelanggan. Waffle di sini memiliki cita rasa manis dan gurih yang sangat cocok digunakan sebagai sarapan maupun dessert. Namun sayangnya Little Tempo Waffle Story sendiri hanya buka mulai pukul dua siang.

Croffle, Dessert Viral di Kala Pandemi

Hidangan lain yang turut dihadirkan oleh Little Tempo Waffle Story adalah croffle. Hidangan yang sempat meramaikan jagat sosmed di kala pandemi COVID-19 ini merupakan gabungan antara croissant dan waffle Dilansir dari suara.com, menurut Tasyi Athasyia, salah seorang food vlogger ternama di Indonesia, croffle ialah camilan berbahan dasar adonan croissant yang dimasak dengan menggunakan alat pencetak waffle Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat adonan croissant yakni tepung, garam, air dingin, butter, gula, ragi, dan susu. Cita rasa croffle sendiri lebih gurih dan renyah dibandingkan waffle biasa. Sedangkan persamaan yang dapat dirasakan antara waffle dan croffle adalah rasa manis yang pas, tidak menganggu bahkan untuk seseorang yang kurang suka hidangan manis. Selain itu aroma wangi yang menguar bahkan sebelum mencoba, menjadi sensasi tersendiri bagi pelanggan.

Penulis: Nadia Fitria dan Anggita Sasmita Editor: Dila Frillana

Waffle, Hidangan Populer Khas Belgia yang Tak Lekang Oleh Waktu
Kuliner
46 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Hari yang cerah dengan sinar matahari yang terik, mengawali perjalanan kami untuk mengunjungi salah satu peninggalan kolonialisme Belanda di Indonesia. Benteng Van Den Bosch atau yang lebih sering disebut Benteng Pendem oleh masyarakat sekitar ini terletak di Jalan Untung Suropati No. II, Kabupaten Ngawi. Benteng Pendem ini dibangun oleh arsitek Belanda bernama Jacobus Von Dentzsch antara tahun 1839-1845.

Pada umumnya, benteng dibangun dengan posisi yang lebih tinggi dari daratan atau di wilayah perbukitan. Namun, lain halnya dengan Benteng Pendem Ngawi, dimana posisi tanah di sekitarnya yang lebih tinggi dari posisi bangunan. Posisi inilah yang juga membuat benteng bersejarah ini disebut dengan Benteng Pendem.

Mengingat sudah hampir 2 abad usia benteng ini,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah memulai penataan kawasan cagar budaya Benteng Van Den Bosch. Rehabilitasi Benteng Pendem Ngawi mulai dikerjakan sejak 10 Desember 2020 dengan melibatkan Balai Pelestari Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur. Pekerjaan dilaksanakan oleh kontraktor PT Nindya Karya (Persero) Tbk dengan nilai kontrak sebesar Rp 113,7 miliar digunakan untuk merehabilitasi 13 bangunan di dalam kompleks benteng serta penataan kawasan inti benteng.

Ke-13 bangunan tersebut di antaranya bangunan barak tentara, mess perwira, dapur umum, kediaman dan kantor jenderal, bastion, dan gerbang. Kemudian dilakukan juga penataan lainnya diantaranya dengan membangun jalan, drainase, pedestrian, dan lansekap. Saat ini, progres konstruksi sudah mencapai 75 persen. Diharapkan,

EDISI 59 47 MAJALAH DIANNS
Jalan-Jalan

rehabilitasi ini dapat selesai tepat waktu pada Januari 2023.

Dikutip dari eppid.pu.go.id, Dikutip dari eppid.pu.go.id, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa "Karena kawasan Benteng Pendem ini merupakan cagar budaya, penataannya harus dilakukan secara hati-hati agar nilai kulturalnya tetap terjaga." Rehabilitasi itu tampak jelas ketika kami datang langsung ke lokasi. Terdapat banyak pekerja yang melakukan rekonstruksi bangunan untuk mempercantik benteng pendem. Kami melihat adanya perbedaan yang sangat signifikan dari bangunan benteng saat sebelum dan sesudah adanya pemugaran Oleh karena itu, awak DIANNS merasa bahwa rekonstruksi yang dilakukan justru mengurangi nilai sejarah dari benteng tersebut.

Di kantin itu kami mendapatkan informasi dari salah satu penjaga kantin. "Renovasi ini sudah lama mbak, dari awal pandemi sampai sekarang belum selesai. Gak tau juga kapan selesai ini," ujarnya.

Meskipun benteng ini dalam proses renovasi, nampak masih banyak pengunjung yang datang. Mungkin para pengunjung sama seperti kami yang penasaran seperti apa bentuk peninggalan kolonialisme Belanda ini.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Awak DIANNS melanjutkan perjalanan menuju sebuah destinasi yang menyimpan bukti akan adanya kehidupan beratus-ratus tahun silam, yaitu Museum Trinil. Sebuah lokasi wisata sejarah yang menyimpan salah satu memori waktu akan peradaban manusia zaman dahulu kala di Indonesia. Saat itu, awak DIANNS ingin mengamati lebih dalam lagi mengenai benteng ini. Namun, sangat disayangkan, kami tidak bisa masuk ke dalam Benteng untuk melihat lihat secara keseluruhan isi dari Benteng Pendem. Saat kami bertemu salah seorang pekerja beliau mengatakan bahwa kami hanya bisa mengambil foto dari luar bangunan karena, konstruksi masih berlangsung. Apabila kami ingin mengambil foto lebih dekat, kami harus menunggu hingga siang hari ketika pekerja beristirahat.

Kala itu waktu telah menunjukkan siang hari. Bernaung awan cerah dengan keramaian kota nampak menjadi pemandangan kami di sepanjang perjalanan menuju Desa Klawu, Kecamatan Kedunggalar Ngawi, Jawa Timur. Tempat destinasi sejarah berikutnya berada. Terik mentari seakan tak cukup menggoyahkan langkah kami menelusuri bentang sejarah di kota ini. Memenuhi rasa penasaran terhadap sejarah masa purba yang telah berusia ratusan abad yang lalu.

Sembari menunggu para pekerja beristirahat, kami duduk di kursi yang disediakan di sekitar benteng. Hawa sejuk dan semilir angin menemani penantian kami dalam menunggu para pekerja beristirahat. Karena matahari semakin terik, kami memutuskan untuk ke kantin.

Sela tiga puluh menit berkendara, tibalah kami di gerbang masuk area Museum Trinil. Menyempatkan waktu beristirahat sejenak di mushola sembari melihat informasi singkat museum yang terdapat pada lembaran brosur yang kami terima dari penjaga loket di gerbang masuk sebelumnya.

48 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Jalan-Jalan

Museum ini dulunya merupakan lembah Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan masa purba, tepatnya pada Zaman Pleistosen tengah sekitar satu juta tahun yang lalu.

Situs ini dibangun atas prakarsa prof. Teuku Jacob, ahli antropologi ragawi dari Universitas Gadjah Mada. Terdapat tugu prasasti penanda berdirinya Trinil yang memiliki arti Pithecanthropus Erectus 175 meter ke arah timur laut yang digunakan sebagai penunjuk arah tempat penemuan fosil purba. Tak bisa dipungkiri, pemerintah cukup memelihara kondisi lokasi museum dengan kawasan yang terlihat bersih dan rapi dipandang mata.

Museum yang dikelilingi oleh aliran Sungai Bengawan Solo ini memiliki luas 24.010 meter persegi. Pepohonan yang rindang menambah kesan asri nan alami dari lokasi tersebut. Membawa hawa kesejukan tersendiri bagi para pengunjung yang ingin menghabiskan waktu mempelajari sejenak sejarah perjalanan nenek moyangnya berabad-abad yang lalu. Tidak hanya menyajikan jejak sejarah, di sebelah timur lokasi Museum Trinil juga terdapat tanah lapang yang biasa digunakan sebagai bumi perkemahan. Diteduhi pepohonan rindang berjajar wahana permainan anak-anak di depan mushola. Segelintir pedagang makanan juga nampak di jajaran teras samping tempat parkir kendaraan berada.

Tidak ingin berlama-lama, kami pun memasuki gapura menuju area taman bangunan museum berdiri. Patung gajah purba menyambut kami di samping kanan gapura masuk. Terlihat sejumlah keluarga yang menghabiskan waktu untuk beristirahat di sebuah pendopo yang berdiri kokoh di tengah taman, beberapa remaja juga nampak beristirahat di gazebo yang terletak di sepanjang pagar.

Menjejakkan kaki di jalan setapak menuju bangunan Museum Trinil, terdapat sepasang replika gading gajah di depan pintu masuk bangunan. Sampai memasuki museum, kami disajikan dengan sebuah replika denah kawasan Museum Trinil yang disusun dalam sebuah meja kaca.

Selain itu, juga banyak kita jumpai jejak masa purba yang berupa fosil-fosil bagian binatang purba seperti gajah purba stegodon, badak, harimau, banteng/kerbau purba serta peralatan zaman batu tua (Paleolitikum) yang berupa bola batu, kapak, penetak, kapak genggam, pahat genggam dan lainlain yang digunakan oleh manusia purba zaman dahulu.

Juga tak kalah penting terdapat duplikat fragmen fosil tengkorak dan tulang paha kiri Pithecanthropus Erectus, penemuan fosil utama yang menjawab dunia. Penemuan fosil tulang paha tersebut memberi kesan bahwa pemiliknya saat itu telah berdiri tegak. Disamping itu juga terdapat jenis fosil tengkorak manusia purba lainnya. Kedua jenis fosil tersebut merupakan duplikat sedangkan aslinya disimpan di Museum Leyden Belanda.

Jalan-Jalan
EDISI 59 49 MAJALAH DIANNS

Di sepanjang koridor museum, tersaji berbagai pajangan papan informasi menempel pada dinding ruangannya. Informasi tersebut beragam mulai dari foto lokasi penemuan fosil, peta migrasi, deskripsi singkat mengenai fosil, hingga kisah perjalanan Dubois dalam penemuannya yang menjawab dunia. Kisah perjalanan tersebut bermula akan obsesi Eugene Dubois, seorang ahli arkeologi Belanda akan dunia pengetahuan, mempertemukannya dengan teori evolusi yang dilontarkan oleh Charles R Darwin pada abad 19 lalu. Ilmu pengetahuan yang belum siap menerima teori evolusi kala itu menghantarkan masyarakat pada kesimpulan-kesimpulan spekulatif bahkan penyalahartian bahwa manusia keturunan langsung dari kera. Pasalnya, jika manusia dan kera masing-masing berdiri sendiri, maka harus dapat ditemukan pertalian keduanya dalam bentuk fosil. Timbulah kemudian pertanyaan dunia akan istilah “Missing Link” atau rantai yang hilang tersebut.

Rasa penasaran Dubois telah mendorongnya memulai langkah akbar dalam mencari “Missing Link” hingga ke Pulau Jawa. Menekuni endapan aliran sungai hingga akhirnya sampai pada lekukan Sungai Bengawan Solo Trinil. Daerah ditemukannya berbagai jenis fosil yang kini diabadikan dalam sebuah museum. Pencarian membuahkan hasil pada bulan September 1891 atas penemuan gigi geligi primata purba dan sebuah atap tengkorak manusia yang menyerupai kera. Pada akhirnya terjawablah polemik berkepanjangan "Missing Link" di tangan Dubois. Penemuan tersebut ditandai oleh sebuah tugu petunjuk tempat penemuan fosil sekitar 175 meter ke arah timur laut di dasar Sungai Bengawan Solo.

Temuan tersebut oleh Dubois diberi nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak) yang muncul dari sebuah daerah tropis di Jawa, daerah yang jauh dari polemik teori evolusi itu sendiri. Meski didasari latar belakang yang sederhana, penemuan tersebut dianggap sebagai bukti pertama dari Teori Darwin. Obsesi masa kecil Dubois dan dunia pengetahuan yang dengan jitu dijawab olehnya dari Trinil Ngawi. Sejak saat itu, nama Pithecanthropus Erectus dan Ngawi Jawa Timur dikenal di dunia ilmiah dan kisahnya telah ditulis dalam lembaran publikasi dunia.

Fosil peninggalan sejarah bukan hanya satu-satunya yang kami amati disini. Selain kami, beberapa pengunjung terlihat mengamati fosil peninggalan masa purba dalam kotak kaca, maupun berfoto ria bersama keluarga dan teman sebayanya. Sesekali para orang tua menjelaskan informasi sejarah yang ada pada anak-anak mereka. Mencerminkan bahwasanya wisata Museum Trinil bukan hanya menampilkan wisata sejarah, namun juga dapat digunakan sebagai sarana wisata edukasi bagi anakanak dan para remaja. Menyerap pengetahuan baru akan kehidupan berabad-abad yang lalu sebelum mereka. Terlebih hal ini dapat mengenalkan mereka akan fase perjalanan panjang nenek moyangnya pada zaman dahulu kala hingga mengalami perubahan ke zaman manusia modern seperti yang kita jalani sekarang ini.

Selesai menelusuri seluruh isi museum kami keluar menyusuri taman dan beristirahat di salah satu gazebo yang terletak di pinggiran taman. Sesekali melihat Sungai Bengawan Solo yang nampak di belakang museum sambil menikmati hawa siang hari kala itu. Menjelang sore, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan kami hari itu dan pulang ke rumah. Perjalanan kali ini telah membuka wawasan baru akan sejarah kehidupan nenek moyang pada zaman dahulu kala. Memahami proses evolusi kehidupan serta menelusuri jejak peninggalan-peninggalan masa kolonial yang akhirnya membawa kita pada masa kehidupan modern saat ini.

Penulis: Rosyida Dwi dan Vera Putri

Editor: Nisrina Salma

Jalan-Jalan
50 MAJALAH DIANNS EDISI 59

TIDAK ADA KATA

TERLAMBAT

"Riiiiiingggg.... Riiiiiinggggg…"

Bel berbunyi. Tiba saatnya pulang sekolah. Para siswa-siswi berhamburan keluar kelas, berlari menuju orang tua mereka yang berdiri di depan pagar sekolah dasar itu. Mereka memeluk dan mencium tangan orang tua. Tidak banyak juga para siswa yang malah menghampiri abang tukang cilok, mie telor, dan pedagang kaki lima lainnya. Hanya untuk sekedar menukarkan uang senilai 5000 rupiah untuk memuaskan rasa lapar mereka. Ada pula yang duduk di bawah naungan atap sekolah, berbincang dengan teman-temannya atau bermain bola bekel sembari menunggu orang tua mereka menjemput. Disisi lain di luar pagar pembatas sekolah, seorang anak lelaki dengan baju coklatnya yang lusuh tengah memikul karung yang berisi sampah plastik. Tubuhnya kurus dengan rambut acak-acakan. Dia bertelanjang kaki di aspal yang panas. Anak lelaki itu kemudian menghampiri pertokoan lama untuk sekadar meneduhkan tubuhnya sejenak dari panasnya jilatan sang mentari.

"Kapan ya aku bisa seperti mereka?" ucapnya pelan.

Bocah berumur sekitar 8 tahun itu menatap sekolah dasar di seberang jalan yang entah kapan waktu akan berpihak mendukungnya untuk meraih impiannya. Cita-citanya adalah menjadi seorang guru. Ia berpikir, sosok guru adalah profesi yang sangat mulia. Anak-anak yang dulunya tidak bisa baca tulis hingga akhirnya bisa, tak lepas dari kontribusi seorang guru. Saat tengah asyik melihat anak-anak sebayanya berlarian kesana-kemari memakai seragam merah putih berlogo yang

terlihat gagah di pikirannya, seorang lelaki tua datang dan menghampiri sembari memarkirkan becaknya di samping pertokoan. Lelaki itu kemudian duduk di dekatnya sambil mengelap keringat yang mengucur deras dari pelipisnya. Buyar sudah lamunannya. “Haaaahh… Panas eee,” keluhnya dengan mengibaskan-kibaskan handuk kecil, menggantung di lehernya.

“Dulu, aku yo ngga tamat sekolah, Le. Ga onok biaya. Jadi ya gini, cuman bisa narik becak,” ucapnya dengan tertawa tipis. Bocah lelaki itu hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Banyak hal yang ingin ia dengar dari lelaki lebih tua di sampingnya ini.

“Cuma sampai kelas 5 SD, Le. Terus ga lanjut. Bantuin biaya buat kehidupan sehari-hari keluarga,” ucapnya dengan menatap sekolah dasar di seberang jalan yang semakin ramai dipadati orang.

“Lah kamu ga sekolah tah, Le?”

Bocah itu menjawab “Engga, Pak,” dengan gelengan. Ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian hening membisu.

Cerpen
EDISI 59 51 MAJALAH DIANNS

“Sekolah o, Le. Biar ngga jadi sepertiku. Kalau ada kesempatan buat sekolah, gunakan itu sebaik mungkin buat mengais ilmu sebanyak-banyaknya,” ujarnya dengan menepuk pundak bocah lelaki tersebut.

Waktu mulai berlalu sangat lama. Dua orang lelaki dengan perbedaan umur yang sangat jauh tengah bercengkerama, membicarakan hidup mereka yang selalu dilanda kesusahan finansial. Mereka mengandaikan banyak hal jika mereka kaya raya. Ingin memiliki rumah mewah dengan halaman yang besar, mobil berjajar yang terparkir rapi di garasi, dan pagar rumah yang tinggi. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk berandai-andai hingga sedemikian rupa, bahkan tak jarang mereka menghayal untuk mendapat sebuah berlian. Mereka terjebak dalam dunia khayalan yang semu. Yah, walau menipu diri sendiri, tapi apa salahnya jika khayalan itu bisa membuat dua orang itu tertawa lepas.

"Eh tadi beli obat apa ya buat Ibu? Aduuh lupaa." bocah lelaki itu berdiri. Memikul kembali karung yang dibawanya.

“Hahahaha! Ya udah, Le. Semoga Ibumu cepet sembuh yo,”

Lalu anak itu melambaikan tangan kepada lelaki tua tadi dan melanjutkan langkahnya menuju apotek dengan tergesa-gesa melewati sekolah yang ramai. Sesampainya di rumah, hari sudah gelap. Bocah lelaki itu menaruh karungnya di depan teras dan memasuki rumah.

"Ibu aku pulang," ucapnya sambil membuka pintu dengan menenteng kresek putih berlabel apotek berwarna hijau. Ia berhasil mendapatkan obat untuk Ibunya yang berbaring di kasur.

"Gimana nak udah dapet obatnya?" tanya seorang wanita tua yang dipanggil Ibu tadi. Bocah lelaki itu langsung mengeluarkan obat yang ada di dalam kresek dan memberikannya pada Ibunya. Ia juga pergi ke dapur untuk membawakan segelas air minum.

Begitulah kehidupan keluarga ini sehari-hari di sebuah bangunan tua yang bahkan tidak layak disebut rumah. Mungkin lebih tepat jika menyebutnya sebagai ‘gubuk’ daripada rumah. Ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Suaminya meninggal setahun yang lalu. Dan anak lelaki mereka harus bekerja banting tulang demi menopang kehidupan keluarga. Saudara keluarga bahkan tidak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya.

Setelah seharian bekerja mengumpulkan sampah plastik dari pagi hingga sore, dia belajar baca tulis dengan buku loak yang dibelinya di pasar. Harganya cukup murah dan masih bagus. Dia belajar membaca, menulis dan menghafalkan banyak kosa kata. Ia bahkan menghafalkan dengan nada-nada yang dibuatnya sendiri supaya cepat hafal.

"Nak, kemari sini," ucap ibunya dari kamar. Segera anak lelaki itu menghampiri ibunya.

"Ini, Ibu ada tabungan buat kamu mulai sekolah. Walau telat, namun lebih baik daripada tidak sama sekali."

Anak lelaki itu kegirangan. Tak menyangka bahwa dia akan bisa bersekolah. "Lalu bagaimana dengan pekerjaan ku, Ibu?" tanya anak lelaki itu. Ia sadar bahwa pekerjaan memulungnya adalah mata pencaharian utama keluarganya. Jika tidak bekerja, bagaimana caranya mencari upah untuk makan semangkuk nasi dengan tempe mendoan?. Namun, dengan sigap Ibunya menggelengkan kepala.

"Ibu sudah sehat, nanti Ibu yang akan bekerja. Kamu fokus sekolah saja nanti. Ibu ingin melihat kamu tumbuh jadi anak hebat dan bermanfaat bagi orang lain," ujar Ibunya dengan senyuman. Bocah lelaki itu terdiam membisu. Ia mengingat kisah bapak penarik becak tadi yang tidak bisa sekolah. Kemudian memeluk ibunya dengan erat.

"Terimakasih Ibu. Adek janji, bakalan cari ilmu sebanyak-banyaknya dan jadi orang yang bermanfaat, bisa bahagiain Ibu," ucapnya dengan menangis.

Cerpen 52 MAJALAH DIANNS EDISI 59

Sang Ibu tertawa melihat anaknya yang ternyata jauh lebih dewasa dari apa yang dia bayangkan. Ibunya membalas pelukan anaknya. Mengelus kepala, mengusap air matanya, mencium keningnya, dan mulai berdoa kepada Tuhan agar anak semata wayangnya menjadi orang yang hebat di masa depan nanti.

Dengan berbekal motivasi dari Ibunya dan keinginan kuat menjadi seorang guru, ia menjejakkan kakinya di sekolah dasar dengan perasaan membuncah. Ia memantapkan hati untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Alhasil, seiring berjalannya waktu, anak lelaki ini selalu mendapat peringkat 1 di sekolah. Karena terkenal pintar, dia mendapat banyak tawaran beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya. Tak heran jika guru-guru sangat mengaguminya.

Perjuangan bertahun-tahun untuk menggapai impiannya tak sia-sia. Walau banyak masa-masa sulit, anak lelaki itu tidak menyerah pada apa yang menjadi tujuannya. Sekarang, anak lelaki yang dulu seorang pemulung, kini menjadi dosen di universitas ternama di Indonesia. Tidak hanya sukses dalam karirnya, ia juga sukses dalam membanggakan Ibunya dan mengharumkan nama bangsa.

Epilogue

Suatu hari dimana cuaca mulai cerah setelah datangnya hujan, seorang lelaki dengan setelan jas hitam berjalan diantara banyaknya batu nisan berjajar. Lama ia berjalan, akhirnya berhenti pada sebuah batu nisan dengan ukiran latin nama seorang wanita. Ia menaruh buket bunga anyelir putih, foto, dan piagam. Disitu ia mulai duduk, tidak peduli jas hitamnya kotor terkena tanah berlumpur. Ia menundukkan kepala, mendoakan seseorang yang terkubur di bawahnya. Kemudian ia bercerita panjang mengenai hari lelahnya kepada batu nisan dihadapannya. Telah lama bercerita, ia mulai bernyanyi,

Sebuah rahasia

Yang s’lalu bertempat di dalam hati Tawamu yang begitu dekat Terkadang menjauh

Dalam harapanku Kita bicara lewat batasnya waktu Ku resah suatu saat nanti Semua akan menghilang

Sekarang dan slamanya Semakin ku mengejar Jauh lebih pedih

Kurindu lagu yang kau nyanyikan Bagai pelita di dalam gelap Walaupun semua terlihat semu Kau kan s’lalu ada di sisiku Jarak yang akan pisahkan kita Saat kubuka mataku di lain hari Walau ku tersenyum Dan juga menangis Kuharap mimpiku ini tak kan pernah sirna Dan tak kulupakan “

Penulis: Salwa Faradilla Editor: Ernanda Hajar

The
End
Cerpen EDISI 59 53 MAJALAH DIANNS

Leila S. Chudori dikenal sebagai penulis dari novel Laut Bercerita. Buku yang ditulis oleh Leila S. Chudori yang berjudul Malam Terakhir ini berisi 9 cerpen. Kumpulan cerpen yang ditulis Leila mengangkat isu isu yang hadir di tengah tengah kehidupan masyarakat Leila S Chudori sendiri merupakan penulis yang mempunyai komitmen kuat dalam menulis. Ia menulis semenjak masih kecil dan karya karyanya telah terbit di majalah sejak ia berusia 12 tahun Ia sangat inovatif dalam mengangkat isu isu dalam praktik sosial dan hal hal yang dianggap tabu, seperti moralitas, patriarki, dan absolutisme negara Leila S. Chudori menerbitkan Malam kembali sejak yang pertama yaitu tah setelah direvisi Menurutnya, akibat 2 jauh dari dunia sastra, diri dan kepenulisannya telah berubah. Pada aw Leila mengangkat kisahnya dalam pembuatan buku Malam Terakhir. Dirin merasa tertarik membuat cerita pendek d sebuah novel, karena cerpen mempunya yang lebih keras dan menekan dari ka lainnya. Leila mulai menyelami “ruang nya kembali setelah 20 tahun lamanya mendapat dorongan dari putrinya Lalu, Malam

54 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Judul Buku Penulis Penerbit Tahun terbit Cetakan Jumlah halaman ISBN : Malam Terakhir : Leila S. Chudori : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta : 2009 (pertama kali terbit 1989) : Pertama : xvii + 117 halaman : 978-979-91-0521-9 Resensi Buku
Terakhir versi revisi terbit pada tahun 2009.

Pada cerpen “Paris, Juni 1988”, penggambaran Paris sangat jauh berbeda dengan julukannya yang “kota paling romantis di dunia”. Paris yang satu ini sangat arogan, ribut, suram, dan tak bersahabat, berbanding terbalik dengan Paris yang katanya penuh kemewahan. Paris menyajikan peristiwa tak biasa kepada kehidupan seorang gadis Asia biasa yang tengah bergelut di kota yang penuh dandanan itu. Ia bertemu dengan Marc, pria 30-an yang misterius dengan segala suara-suara aneh yang melingkupinya setiap waktu, perempuan tua pemilik penginapan dengan aroma kubis busuk yang tak pernah membuatnya bisa terbiasa, hingga dua ekor tikus yang mengingatkannya bahwa kebebasan pun tak selalu berakhir baik. Juga, ada orang-orang yang selalu senantiasa memilih dan lebih senang memenjarakan dirinya sendiri.

Cerpen “Adila”, adalah tentang seorang gadis, Adila, dengan dunianya yang tanpa batas, bisa menembus garis-garis ruang dan waktu. Seperti “Paris, Juni 1988”, “Adila” juga sedikit mengeksplisitkan unsur seksualitas. Seorang anak perempuan yang tengah memasuki masa remaja, berada di masa-masa penuh “kebingungan”. Ditengah-tengah pelik lampiasan dan kekangan ibunya, imajinasi tokoh-tokoh dari buku yang ia baca hidup menemaninya lalu mendorongnya untuk menemukan sebuah kebebasan. Sayang sekali, kebebasan yang dimaksud berujung pada kematian. Adila meninggal setelah menenggak cairan Baygon. Kisah “Adila” ini memberitahukan kepada para orang tua untuk tidak hanya mengekang seorang anak yang menuju remaja, tetapi memberikan arahan, informasi, bimbingan, dan pengawasan dalam masa-masa itu. Pengekangan hanya akan menimbulkan keberingasan dan dendam di kemudian waktu.

“Air Suci Sita” bercerita tentang peraguan terhadap kesetiaan seorang perempuan. Sedikit menyandung kisah Sita dan Rama dalam dunia pewayangan, bagaimana kesetiaan dan kesucian Sita ketika lama berpisah dari sang terkasih.

Cerpen ini sangat menyindir bagaimana kehidupan sosial yang selalu lebih menyudutkan perempuan dan seolah-olah membenarkan segala bentuk tindakan laki-laki alias kentalnya patriarki. Hal yang seharusnya disorot adalah kesetiaan kedua belah pihak, bukan hanya pihak perempuan saja.

Cerpen “Sehelai Pakaian Hitam” berkisah tentang seorang laki-laki yang harus patuh pada tuntutan dunia dan tak bisa menjadi dirinya sendiri. Cerpen ini mencoba menyoroti “ketidaknormalan” seorang laki-laki yang meragukan orientasi seksualnya sendiri. Hamdani yang dikenal saleh, terlalu menuhankan masyarakat. Ingin tampil sempurna di depan khalayak tanpa mau terciprat noda. Padahal, di dunia ini tak ada yang benar-benar bersih.

“Untuk Bapak” menceritakan bagaimana sosok bapak dalam benak anaknya. Bagaimana arti seorang bapak dalam menjadi panutan putranya. Bapak ibarat Bhisma yang sangat teguh memegang janji dan sumpah yang ia buat. Sehingga seorang putra merasa kesedihan mendalam karena kehilangan bapaknya. Cerpen ini mengilustrasikan kehidupan dengan tokoh-tokoh Bharatayudha.

“Keats” mengisahkan bagaimana status sosial dan kedudukan religious terpandang di masyarakat menjadi senjata andalan untuk memaksakan pernikahan pada seseorang. Tami, perempuan yang selalu ingin menekankan pada John, seseorang yang selalu menghantuinya, bahwa dunia ini bukanlah mimpi dan mati bukanlah tidur. John, bayangan yang kerap merecoki kesehariannya, juga menjadi konsultan kehidupan dan kesastraan Tami yang merupakan seorang sarjana sastra Inggris. Tami ditentang dan dihakimi keluarganya perihal sang kekasih yang seorang kebangsaan Belanda. Represi keluarganya tentang mengawini Hidayat, seorang religius dan tokoh masyarakat, membuatnya tertekan. Elu-eluan keluarganya mengenai kesempurnaan Hidayat menutup aliran cinta Tami pada Hidayat dan mengalihkan Tami pada Jean, orang asing yang tak keluarganya anggap religius, dan mengklaim sebagai penyegaran jasmaninya.

EDISI 59 55 MAJALAH DIANNS Resensi Buku

“Ilona” yang menceritakan pertanyaan arti pernikahan yang sebenarnya pada benak Ilona. Kegagalan pernikahan orang tuanya membuat ia tidak percaya dan tak ingin terikat pada sebuah komitmen yang disebut pernikahan, sehingga ia melahirkan putranya dengan status tanpa menikah.

“Sepasang Mata Menatap Rain” menceritakan Rain si gadis kecil dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Ia melihat sebuah kenyataan dari kelaparan dan kesedihan pada seorang pengamen cilik, ia tergerak dan berusaha meminta orang tuanya untuk membantu pengamen itu. Cerpen ini menekankan pentingnya parenting orang tua terhadap masa pertumbuhan anaknya. Orang tua sudah seharusnya memberikan penjelasan bahwa di luar sana masih banyak orang yang menderita sehingga anak dapat menangkap arti kepedulian.

“Malam Terakhir” bercerita tiga mahasiswa aktivis demokrasi yaitu Si Kurus, Si Gemuk, dan Si Kacamata. Kental sekali topik kekuasaan dalam pemerintahan pada cerpen terakhir ini. Ketiganya disinyalir sebagai pelaku pembakaran gerbong kereta api. Dan karena tuduhan itu, penjara yang penuh penyiksaan adalah ganjarannya. Bahkan seorang mahasiswa tak luput dari kekerasan oleh aparat. Dicurigai cerpen ini mengisahkan pemerintah pada masa orde baru yang sangat represif kepada segala bentuk aktivitas pergerakan yang menentang pemerintah. Pemerintah memberikan eksekusi kepada keempat mahasiswa dan dipertontonkan di publik. Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan putri seorang pejabat yang mengakhiri cerita.

Kelebihan

Kalimat-kalimat yang penuh metafora dan diksi yang beragam. Kisah-kisah di dalamnya menyentil kita mengenai isu-isu sosial di masyarakat. Gaya bahasa yang puitis khas Leila S. Chudori sangat menghibur mata dan pikiran. Pun penggunaan ilustrasi-ilustrasi dari tokoh-tokoh seperti Rama Sita dan pewayangan sangat menarik perhatian pembaca.

Kekurangan

Setiap cerpen yang ada di dalam buku Malam Terakhir ini menuntut para pembacanya untuk memiliki imajinasi yang tinggi untuk memahami setiap kisahnya. Kata-kata yang disajikan membuat pembaca yang bukan dari kalangan pemikir menjadi bingung. Dengan kata lain, bahasa yang tersaji di buku ini lumayan berat. Kesimpulannya, buku ini cocok untuk pembaca yang menyukai isu-isu sosial yang dikemas dalam suatu cerita. Mengesampingkan penggunaan bahasanya yang lumayan berat, isu-isu sosial yang diangkat sangat menarik dan menyoroti kehidupan masyarakat.

Penulis: Bintang Dwi

Editor: Benediktus Brian

56 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Resensi Buku

Les Choristes adalah film yang disutradarai oleh Christophe Barratier yang dirilis pada tahun 2004 dengan durasi 97 menit. Skenario film ini mengisahkan isi buku harian Mathieu yang dibaca oleh Morhange dan Pépinot di usia mereka yang telah senja, dan mengenang masa lalu yang menceritakan kehidupan mereka pada tahun 1949 di suatu sekolah asrama di Perancis yang bernama “Fond De L’Etang”. Fond De L’Etang adalah sekolah bagi anak bermasalah yang direhabilitasi. Tak heran jika siswa-siswa di dalamnya adalah anak yang suka membuat masalah, keras kepala, dan sulit diatur. Berbagai kejadian telah terjadi di sekolah ini. Tak jarang, mereka juga melakukan berbagai pemberontakan yang membahayakan dan memakan korban.

Sutradara

Produser

Suatu hari Seorang guru bernama Clément Mathieu datang ke Fond de L’Etang untuk bekerja sebagai kepala asrama yang baru. Awal kedatangannya di asrama, Ia langsung melihat Penjaga sekolah Maxence yang terkena jebakan dari salah satu siswa disana. Ia juga menyaksikan beberapa anak yang sedang menjalani hukuman yang diberikan kepala sekolah.

Mathieu yang tidak tahu menahu kebingungan akan kondisi sekolah tempatnya bekerja juga perilaku para siswa di dalamnya.

Di film ini kita diperlihatkan oleh dua pola didik yang berbeda di Fond de l’Etang. Kepala sekolah mereka mempercayai konsep Action-Reaction yang diterapkannya untuk mengatasi kenakalan para siswa. Ia akan menghukum para siswa dengan cara kekerasan seperti memukul, menampar, atau mengurung. Sikap keras kepala yang dimiliki kepala sekolah memperlihatkan bahwa ia percaya bahwa hukuman adalah satu-satunya cara untuk mendidik para siswa tersebut. Berbeda dengan Mathieu yang seperti tidak setuju dengan hukuman kekerasan. Tak jarang juga ia berusaha menutupi kesalahan para siswa agar tidak dihukum oleh kepala sekolah.

Singkat cerita Mathieu mulai mendapat ejekan dari para siswa, bahkan buku musiknya pun dicuri

EDISI 59 57 MAJALAH DIANNS
Penulis
Genre Bahasa Pemain Durasi Tahun
Sekolah ini dipimpin oleh sosok Rachin yang merupakan kepala sekolah Fond de L’Etang. Ia memiliki pola pendidikan yang sangat keras. Setiap anak yang membuat masalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan cara dihukum, dikurung, atau dipukuli. Meski demikian, cara kekerasan yang dilakukan Rachin tak kunjung membuat mereka jera. Hasilnya justru membuat siswa semakin nakal dan melakukan pemberontakan kepada Rachin dan pekerja lainnya. Lantas cara seperti apa yang dapat membuat para siswa bermasalah itu menjadi anak yang baik? :
: Christophe Barratier : Christophe Barratier, Philippe Lopes-Curva : Arthur Cohn, Jacques Perrin Gérard : Drama, musikal, pendidikan
Prancis : Gérard Jugnot, François Berléand, Kad Merad, Jean Paul Bonnaire, Jean-Baptiste, Maxence Perrin, dll : 97 menit : 2004
Resensi Film
The Chorus: Pendidikan Melalui Kelembutan Musik

secara diam-diam oleh beberapa anak itu. Mathieu tidak menghukum para siswa dengan kekerasan seperti yang dilakukan Rachin. Ia cenderung mengajarkan mereka untuk berpikir akan tindakan mereka, dan mengenali diri mereka sendiri. Misalnya, seperti membuat Le Querrec bertanggung jawab merawat Maxence, atau juga sengaja menjadikan Pierre sebagai penanggung jawab kelas. Secara tidak langsung Mathieu mengajarkan para anak-anak yang nakal itu cara bertanggung jawab.

Termasuk menangani Mondain seorang siswa yang bisa dikatakan kenakalannya melebihi semua siswa di Fond de L’Etang. Banyak hal yang dilakukan Mathieu untuk mengalihkan fokus para siswa agar tidak hanya berpikir untuk melakukan kejahatan dan kenakalan di sekolah. Ia perlahan-lahan mulai memperkenalkan musik kepada para siswa dengan membentuk kelompok paduan suara. Berkat ketekunan siswa dalam berlatih dan kesabaran Mathieu sebagai guru, Fond De L’Etang pun dapat menampilkan citra baik sekolah mereka.

Di film ini kita diperlihatkan oleh dua pola didik yang berbeda di Fond de l’Etang. Kepala sekolah mereka mempercayai konsep Action-Reaction yang diterapkannya untuk mengatasi kenakalan para siswa. Ia akan menghukum para siswa dengan cara kekerasan seperti memukul, menampar, atau mengurung. Sikap keras kepala yang dimiliki kepala sekolah memperlihatkan bahwa ia percaya bahwa hukuman adalah satu-satunya cara untuk mendidik para siswa tersebut. Berbeda dengan Mathieu yang seperti tidak setuju dengan hukuman kekerasan. Tak jarang juga ia berusaha menutupi kesalahan para siswa agar tidak dihukum oleh kepala sekolah.

Singkat cerita Mathieu mulai mendapat ejekan dari para siswa, bahkan buku musiknya pun dicuri secara diam-diam oleh beberapa anak itu. Mathieu tidak menghukum para siswa dengan kekerasan seperti yang dilakukan Rachin. Ia cenderung mengajarkan mereka untuk berpikir akan tindakan mereka, dan mengenali diri mereka sendiri. Misalnya, seperti membuat Le Querrec bertanggung jawab merawat Maxence, atau juga sengaja menjadikan Pierre sebagai penanggung jawab kelas.

Secara tidak langsung Mathieu mengajarkan para anak-anak yang nakal itu cara bertanggung jawab. Termasuk menangani Mondain seorang siswa yang bisa dikatakan kenakalannya melebihi semua siswa di Fond de L’Etang. Banyak hal yang dilakukan Mathieu untuk mengalihkan fokus para siswa agar tidak hanya berpikir untuk melakukan kejahatan dan kenakalan di sekolah. Ia perlahan-lahan mulai memperkenalkan musik kepada para siswa dengan membentuk kelompok paduan suara. Berkat ketekunan siswa dalam berlatih dan kesabaran Mathieu sebagai guru, Fond De L’Etang pun dapat menampilkan citra baik sekolah mereka.

Konflik pada film ini terjadi ketika gedung sekolah Fond de L’Etang terbakar. Beruntungnya semua siswa selamat. Akibat kejadian itu Mathieu diberhentikan oleh Rachin karena dianggap melakukan kelalaian dalam bekerja dan menjaga sekolah.

Clément Mathieu pun bergegas meninggalkan sekolah dan pekerjaannya. Para siswa pun melemparkan pesawat kertas dengan ucapan terima kasih dan selamat jalan. Mereka kehilangan guru terbaik di sekolahnya. Terbakarnya gedung sekolah juga mengungkap bagaimana pola pendidikan yang penuh unsur kekerasan yang dilakukan Rachin selama memimpin Fond de L’Etang. Pada akhirnya Rachin pun diberhentikan sebagai Kepala Sekolah Fond de L’Etang.

Menyinggung sedikit tentang sutradara sekaligus penulis film ini, Christophe Barratier adalah pria kelahiran Prancis, 17 Juni 1963. Ia merupakan putra dari aktris Eva Simonet dan M. Barratier. Christophe Barratier telah menikah dan memiliki satu orang anak bernama Olivia Barratier. Christophe Barratier menjalani karirnya sebagai seorang produser, sutradara, penulis latar, dan penulis latar. Christophe Barratier telah menyutradarai berbagai film sukses, yaitu The Chorus, Paris 36, La nouvelle guerre des boutons, dan lain-lain. Selain itu Ia merupakan penulis lirik pada lagu film “Look To Your Path”, dan juga pernah membintangi sebuah film berjudul La dilettante. Film maupun karya lainnya dari Christophe Barratier telah mendapatkan berbagai prestasi mulai dari masuk

58 MAJALAH DIANNS EDISI 59 Resensi Film

nominasi hingga memenangkan penghargaan dari berbagai acara penghargaan dunia, seperti seperti Academy Award, Caésar, Oscar, Bangkok international film festival, British Academy Film Award, dan masih banyak lainnya.

Film The Chorus (Les Choristes) memiliki kekurangan seperti beberapa kejadian yang kurang diceritakan dengan detail. Namun, terlepas dari kekurangan yang terdapat di dalamnya, film the chorus merupakan salah satu film karya Christophe Barratier yang sangat bagus untuk ditonton untuk semua kalangan terutama para pelajar dan guru, karena jalan ceritanya yang bagus, menarik, dan mengandung pesan yang positif.

Dari film ini kita dapat belajar bahwa tidak selamanya kekerasan menjadi jalan untuk membentuk kedisiplinan. Terkadang kekerasan hanya akan membuat anak melawan dan mengulang kembali kesalahannya. Pendekatan yang dilakukan Clément Mathieu kepada para siswa Fond de L’Etang yang kreatif, tegas, lembut, dan penuh perasaan justru memberi dampak positif bagi siswa di asrama berupa perubahan perilaku, kedisiplinan, moral, budi pekerti, serta memberi semangat dan motivasi hidup dengan memberi dukungan kepada siswa untuk meraih mimpi yang dimilikinya.

Penulis: Vida Salma Editor: Prasiska Tri

EDISI 59 59 MAJALAH DIANNS
Resensi Film BEKALPILU Penulis: Nadia Fitria Editor: Ilham Laila Tapi kenapa perutnya berderu? Beraspun tak mampu Memasang topeng wajah Mencoba tak marah Walau matanya memerah Memandang upah yang kian parah "Tak apa, sudah biasa" katanya Tapi air mata berderai dari sana Netranya menerawang Apakah harus berhutang? Lihatlah wajah penuh peluh Layaknya seorang ratu Sepantasnya diperlakukan mulia Malah diperlakukan seadanya Mereka pahlawanmu Tanpa tanda jasa sebutmu Memandumu dengan ilmu Walau berbekal pilu Yang kadang tak tentu “Uang tak penting” katamu “Ketulusan nomor satu”
60 MAJALAH DIANNS EDISI 59
Desain: FelisaYesa Editor: Hafidatun Nurin
EDISI 59 61 MAJALAH DIANNS Iklan
Desain: Bintang Dwi Editor: Dwi Mauliddia

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.