27 minute read

Tokoh

Next Article
Jalan-Jalan

Jalan-Jalan

Membangun Pendidikan Alternatif Ala Wahyaningsih

Advertisement

Dok. Sekolah SALAM

Sekolah di Indonesia sangat identik dengan kata seragam. Semua serba seragam, mulai dari pakaian, potongan rambut, hingga kurikulum dan mata pelajaran yang diajarkan. Tentu bukan tanpa alasan hal tersebut diterapkan, melainkan untuk menjadi identitas dan salah satu sarana melatih kedisiplinan bagi siswa. Namun, Sri Wahyaningsih menilai sekolah dari sudut pandang berbeda yang mana tidak semua siswa memiliki minat dan bakat sama dan seragam sebagaimana kurikulum yang diajarkan di sekolah formal. Oleh karena itu, beliau mendirikan Sekolah Anak Alam (SALAM).

Mengenal Bu Wahyaningsih

Sri Wahyaningsih, wanita yang lahir di Klaten pada 19 Desember 1961 merupakan seorang aktivis yang kerap kali datang ke desa-desa untuk mengamati dan mempelajari kehidupan serta pendidikan masyarakat pedesaan.

Pemikiran Wahya mengenai pendidikan turut ditanam ayahnya yang merupakan seorang aktivis sekaligus kader PNI (Partai Nasional Indonesia). “Bapak waktu itu benar-benar memikirkan masyarakat. Saya sering diajak naik motor melihat masyarakat. Lalu bapak bercerita kalau masih banyak orang-orang yang membutuhkan pemikiran kita,” ucapnya saat diwawancarai oleh Puthut EA.

Selain itu, pola pemikiran Wahya juga dibangun oleh hubungannya dengan kakek dan neneknya. Wahya sedari kecil sudah dibiasakan untuk disiplin dan mandiri. Mereka selalu menyuruh beliau untuk rajin bangun pagi dan berbelanja di pasar, kemudian barang belanjaan tersebut dibeli kembali dengan harga lebih tinggi oleh kakek dan neneknya. Menurut Wahya, pengalaman tersebut sangat mengajarkannya tentang bagaimana hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Wahya pun merasa bahwa pendidikan terbesar ia dapatkan ketika di rumah merasa bahwa pendidikan terbesar ia dapatkan ketika di rumah

Ketika berkuliah di Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta, ia aktif dalam kegiatan pendampingan masyarakat di daerah pinggiran Kali Code. Daerah tersebut menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari desa yang gagal transmigrasi. Awalnya, transmigran tersebut dikirimkan ke berbagai daerah di luar Jawa. Namun, mereka tidak dibekali dengan keterampilan dan uang yang cukup oleh pemerintah. Sehingga, mereka kembali ke Pulau Jawa dan menjadi gelandangan. Wahya lalu memberikan pelatihan kepada para transmigran, mulai dari bertani hingga mengolah pangan.

Di Kali Code, Wahya memposisikan dirinya menjadi teman bagi kaum marjinal. Wahya tidak segan untuk menyapa dan berbaur kepada para transmigran. Oleh karena itu, banyak transmigran yang merasa dekat dengan dirinya. Saat berkegia-

tan di Kali Code, Wahya bertemu dengan Romo Mangunwijaya. Menurut Wahya, Romo Mangun merupakan seorang yang tegas dan tidak suka berbasa-basi. Namun, hati Romo Mangun luluh ketika melihat pendekatan yang dilakukan Wahya kepada para transmigran. Seiring berjalannya waktu, Romo Mangun menjadi mentor Wahya dalam membangun Sekolah SALAM. Setelah lulus kuliah pun Wahyaningsih melanjutkan pengabdiannya di Kali Code dengan bekerja di bawah Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Duta Wacana.

Wahya menikah dengan sang suami, Toto Rahardjo, yang juga merupakan seorang aktivis pendidikan, kemudian mereka tinggal di daerah pedesaan tepatnya di Desa Lawen, Pandanarum, Banjarnegara. Setelah beberapa waktu tinggal dan mulai mengenal Desa Lawen, Wahya menyadari bahwa terdapat permasalahan yang krusial, yakni di desa tersebut angka anak putus sekolah dan pernikahan dini masih sangat tinggi. Ia sangat menyayangkan hal itu mengingat Sumber Daya Alam (SDA) di sekitar Desa Lawen sangat melimpah. Dari sana kemudian Wahya tergerak untuk melakukan observasi ke masyarakat, ia mengobrol dengan banyak anak-anak hingga menemukan fakta bahwa anak-anak di desa tersebut memiliki semangat dan antusiasme belajar yang tinggi. Akhirnya, pada tahun 1988 di Lawen, Wahya membentuk Sanggar Anak Alam (SALAM). Seiring berjalannya waktu, SALAM yang berada di Lawen berubah menjadi sebuah komunitas pemuda dengan nama ANANE29 yang masih berjalan hingga saat ini.

Membangun Sekolah SALAM

Setelah menyelesaikan beberapa observasi, Wahya membulatkan niatnya untuk membuka sekolah. Melihat dari realita kehidupan di desa tersebut, Wahya merancang sekolah yang menurutnya bisa menjadi penunjang bagi aktivitas sehari-hari mereka. Ia membuat gagasan berupa konsep pengajaran yang difokuskan pada hal-hal yang ekiranya akan dibutuhkan oleh siswanya, seperti tentang lingkungan, pangan, kesehatan, sosial budaya, dan wirausaha.

Pada tahun 1996, Wahya dan suami memutuskan untuk meninggalkan Desa Lawen dan pindah ke Yogyakarta, tepatnya di Kampung Nitiprayan, Ngestiharjo, Bantul. Setelah dekat dengan masyarakat di lingkungan barunya, ia kemudian diamanahi menjadi seorang ketua RT. Kepercayaan tersebut lantas dimanfaatkan dengan baik oleh Wahya untuk membantu perkembangan wilayah RT tersebut. Ia memulai riset dibantu oleh warga sekitar tentang permasalahan dan kebutuhan mereka. Setelah riset selesai, Wahya menemukan fakta yang sama seperti di Desa Lawen yakni angka anak putus sekolah dan pernikahan dini di daerah

Dok. Sekolah SALAM

tersebut juga tinggi. Wahya kembali menggagas konsep sekolah seperti yang sebelumnya ia lakukan di Desa Lawen, ia memulai dengan melakukan pendampingan bagi remaja yang ternyata mendapat respon positif dari warga sekitar.

Maka pada tahun 2000, dibentuklah kembali Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Siswa pertama sekitar 200 anak yang dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Awalnya, SALAM hanya membuka kelas pendampingan remaja. Lalu, secara bertahap, SALAM membuka sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, yakni PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA. Saat ini, SALAM diakui sebagai sekolah dengan kategori Pendampingan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Wahya memiliki ide berbeda tentang cara bagaimana sebuah sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar. Apabila di sekolah biasa, siswa disuruh untuk mengikuti kurikulum dan mata pelajaran wajib, SALAM mengedepankan metode pendidikan berbasis riset. Siswa dapat memilih topik riset mereka sendiri dan mengeksplor hasil riset tersebut. Mengusung konsep pendidikan merdeka dari Ki Hajar Dewantara, SALAM juga tidak memiliki aturan dan seragam yang mengikat. Siswasiswi diberikan tugas untuk melakukan riset terkait dengan kondisi di sekitar mereka, seperti keadaan kampung, keadaan pasar, hingga keadaan ladang. Hasil riset tersebut kemudian didiskusikan bersama. Peserta didik kemudian jadi mengetahui banyak hal tentang desa mereka, seperti tentang permasalahan yang ada dan aset apa saja yang dimiliki desa tersebut. Dari pembelajaran seperti itu, pemikiran kritis dan solutif murid dilatih. Selain dari murid yang belajar di SALAM, Wahya juga mengajak orang tua dan wali murid serta masyarakat sekitar untuk turut melakukan riset dan memetakan hasil riset tersebut untuk mengetahui kebutuhan mereka. Alhasil, siswa merasa bebas untuk mendapatkan pengetahuan yang mereka inginkan.

Penulis: Benediktus Brian dan Nasywadhiya Z. Editor: Jodi Alfrino Tarigan

A N T A R A

Mengenal Suku Polahi di Pedalaman

Gorontalo yang Memiliki Tradisi Perkawinan Sedarah

Sebagai negara yang membentang luas, Indonesia tentunya memiliki banyak tradisi dan adat istiadat. Keberagaman yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial di Indonesia, salah satunya adalah perkawinan. Ada beberapa daerah di Indonesia menganut sistem perkawinan yang unik, di mana mereka diharuskan menikah dalam satu suku, marga, bahkan kerabat dekat. Bagi salah satu suku terpencil di pedalaman Gorontalo, perkawinan sedarah bahkan sudah menjadi tradisi.

Asal muasal Suku Polahi

Mungkin suku Polahi belum terlalu akrab ditelinga banyak orang. Sebab, mereka mendiami hutan nan lebat dan tersembunyi di Gorontalo. Bahkan, sampai saat ini, mereka masih menutup diri dari peradaban dan kemajuan dunia. Mereka kemudian melakukan pelarian ke hutan dan menjadikannya suku yang terisolasi hingga hari ini. Suku ini mulai mengasingkan diri abad ke-17 dan sekarang tinggal di dalam hutan-hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo. Lebih spesifik lagi keberadaan mereka terdata berada di sekitar lokasi Desa Bihe, Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo. Menurut cerita yang beredar di masyarakat luas, konon orang-orang suku Polahi adalah orang-orang pelarian pada zaman Belanda. Dalam kamus bahasa Gorontalo sendiri, Polahi berasal dari kata "Lahilahi" yang artinya, pelarian atau sedang dalam pelarian. Masyarakat Polahi menghindari masa penjajahan Belanda karena takut atau tidak mau membayar pajak sehingga memilih untuk tinggal di pedalaman hutan yang sulit bahkan tidak mungkin di masuki penjajah. Hal ini menjadikan orang Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, sebagian keturunan Polahi masih tetap bertahan tinggal di hutan. Sikap anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.

Kilas Kehidupan dan Kebiasaan

Suku Polahi yang tinggal di pedalaman hutan tentu saja masih erat dengan kehidupan yang berpindahpindah tempat (nomaden). Terlebih jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang meninggal, mereka akan memilih mencari hunian baru. Walau beberapa keluarga Polahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, mereka cenderung tidak ingin hidup bersosialisasi dengan wargaselain sesama keluarga mereka. Masyarakat Polahi sebagian besar masih tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Keturunan Polahi menjadi warga masyarakat yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Polahi juga tidak mengenal ilmu baca tulis serta tidak lagi menganut agama dan memiliki beberapa kepercayaan yang mereka anggap ada. Sehingga tidak heran masih banyak tradisi dan kebiasaan mereka bertentangan dengan hukum negara dan ajaran agama yang dianut pada umumnya.

Dilansir dari kompas.com sebagaimana diungkap oleh Marahalim Siagian, antropolog burung Indonesia yang telah meneliti langsung kelompok kecil orang Polahi yang dipimpin Tahilu di hutan suaka margasatwa Nantu. Suku Polahi mengenal 3 tuhan, diantaranya:

1. Pulohuta Pulohuta digambarkan sebagai sosok yang hidup serta memiliki kuasa atas tanah. Konsepnya berasal dari nenek moyang. Pulohuta adalah sepasang suami istri. Bila Polahi hendak membuka hutan, maka mereka akan meminta izin dahulu kepada Pulohuta. Selain memegang kuasa atas tanah, Pulohuta juga memegang kuasa atas hewan di hutan. Bentuk penghormatan orang Polahi kepada Pulohuta, adalah jika mereka mendapat hewan buruan, bagian tertentu dari tubuh hewan itu diiris seperti kuping, mulut, dan lidah, kemudian ditaruh di tunggul kayu untuk dipersembahkan kepada Pulohuta.

2. Lati Tuhan Lati digambarkan sebagai sosok makhluk hidup yang menghuni pohon-pohon besar serta di air terjun. Ukuran tubuhnya digambarkan kecil-kecil seukuran boneka dalam jumlah banyak. Lati merupakan pemegang kuasa atas pohon. Bila Polahi ingin menebang pohon besar atau mengambil madu lebah hutan yang terdapat di atasnya, Polahi membakar kemenyan, merapal mantera dengan tujuan menyuruh Lati pindah ke pohon lain.

3. Lausala Lausala, dalam narasi Polahi layaknya tokoh manusia super (superhuman). Tokoh antagonis yang digambarkan sebagai sosok yang haus minum darah. Sosok Lausala ternyata bukan hanya dideskripsikan sebagai tokoh laki-laki, sebab ada juga perempuan tua yang disebut-sebut sebagai Lausala. Polahi membuat beberapa gambaran untuk meyakinkan bahwa Lausala itu benar-benar ada. Orang Polahi meyakini Lausala memiliki mata merah, membawa pedang yang menyala dan ia bisa pindah dengan cepat dari balik bukit ke bukit yang lain. Menurut orang polahi, jika ada anjing menggonggong itu salah satu pertanda hadirnya Lausala.

Dalam kehidupan sehari-hari, suku ini menghabiskan seluruh waktunya di hutan, hanya mengandalkan gubuk-gubuk jerami kecil tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara. Untuk mencari nafkah, Suku Polahi sering berburu babi hutan, rusa, ular dan hewan lain yang hidup di sekitar hutan tempat tinggal mereka,

Selain itu suku Polahi juga mengonsumsi daun rotan, umbi-umbian dan akar untuk makanan sehari-hari. Untuk memasak suku Polahi menggunakan batang bambu sebagai wadahnya. Cara memasaknya juga sangat sederhana, yaitu memasukkan semua bahan makanan ke dalam lubang bambu kemudian dibakar di atas perapian hingga batang bambu retak atau patah, yang merupakan tanda bahwa makanan telah selesai dimasak.

Tradisi Perkawinan Sedarah

Perkawinan satu darah atau incest dalam Suku Polahi, konon sudah terjadi sejak abad ke-17. Incest berasal dari bahasa Latin “incestus” yang berarti najis. Sebelumnya dikenal sebagai sib-leger

(saudara kandung: keluarga, leger: berbohong) dan meaghaemed (maeg: keluarga, haemed: hubungan seksual) sebelum abad ke-16, namun kedua nama tersebut lebih erat kaitannya dengan istilah incest dan incest. Incest digambarkan sebagai hubungan seksual atau perkawinan antara dua kerabat dekat yang diyakini melanggar karakter, hukum, atau agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Gabrillia, Mien, Ollij, 2021: 2).

Masyarakat suku Polahi memiliki tradisi perkawinan sedarah yang kuat, dimana ketika seseorang mencapai kedewasaan (baik laki-laki maupun perempuan), mereka disandingkan dengan saudara kandungnya sendiri. Dalam rumah tangga dengan kakek-nenek (dari ayah dan ibu), ayah, ibu, dan anak-anak, misalnya, anak ini akan menikah dengan saudara laki-lakinya sendiri di antara anak laki-laki dan perempuan yang masih bersaudara ketika ia dewasa. Letak pemukiman yang terpencil dan jauh di dalam hutan menyebabkan masyarakat Polahi tidak berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain. Mereka adalah anggota suku yang jauh dan terpencil, yang berkontribusi pada perkawinan sedarah di komunitas mereka. Perkawinan sedarah tidak dilarang di antara suku Polahi, meskipun faktanya dilarang menurut hukum negara yang tercantum dalam Pasal 8 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Orang-orang suku Polahi menikah hanya di dalam keluarga mereka atau di dalam kelompok suku itu sendiri, setelah meminta izin dari keluarga atau suku tersebut. Dengan begitu, pasangan yang mengajukan izin tersebut bisa langsung tidur bersama tanpa harus melalui rangkaian upacara pernikahan suku Polahi.

Komunitas Polahi tidak mengenal masa pacaran. Saudara sekandung yang perempuan dan laki-laki, bila sudah akil baliq dapat melakukan persetubuhan (momeku). Untuk bersetubuh dilakukan di dalam rumah, baik siang atau malam hari. Biasanya, yang dituakan dalam komunitas ini, bila melihat ada pasangan yang saling tertarik akan memanggil keduanya. Lalu, pasangan itu dimandikan di sungai. Saat memandikan pasangan, ada mantera-mantera yang diucapkan oleh kepala suku kemudian setelah itu perkawinan menjadi sah. Masyarakat suku Polahi pertama kali mulai berhubungan dengan penduduk desa pada tahun 1990. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Polahi juga sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat Gorontalo lainnya. Terlebih ketika mereka sudah mulai untuk bermukim di tepian sungai, ini juga menjadikan mereka lebih mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Banyak dari mereka yang juga menikah dengan penduduk setempat dan tinggal secara permanen di desa dengan keluar dari kelompok.

Berbagai pendapat serta pandangan dari berbagai kelompok masyarakat pun beredar. Beberapa masyarakat menganggap hal itu aneh dan tidak wajar. Sebaliknya, kelompok masyarakat lainnya mengatakan bahwa perkawinan sedarah bagi suku polahi bukanlah karena adat kebiasaan atau turun temurun. Namun, perkawinan sedarah terjadi disebabkan pemahaman serta pengetahuan yang sangat kurang mengenai pergaulan dengan kelompok masyarakat di luar suku Polahi. Beberapa masyarakat juga mengatakan bahwa ini merupakan satu cara agar Suku Polahi tidak hilang keberadaannya dan terus diingat oleh keturunannya.

Penulis: Fazilah Rizqi dan Meisa Dwi Lieni Editor: Muhammad Ali Al Ridho

Pendidikan merupakan hak segala bangsa sebagaimana yang telah tertuang di Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) hingga ayat (2). Pendidikan juga sebuah alat yang berguna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan berperan dalam pembentukan kepribadian masyarakat Indonesia. Sesuai pernyataan di atas, tak hanya masyarakat kota saja yang harus mengenyam pendidikan agar tak terjadi pengulangan kebodohan secara kontinuitas, masyarakat adat pun juga harus mengenyam pendidikan. Namun, dalam penerapannya, siapa yang ingin menjadi tombak agar masyarakat pedalaman tetap memiliki sebuah ilmu yang berguna?

Wanita yang Menerobos Rimba

Mungkin terdengar aneh ketika mendengar seorang wanita yang menembus rimba hanya untuk pendidikan. Namun, ada seseorang yang namanya cukup familiar di beberapa kalangan dan berani untuk mendobrak stigma Orang Rimba yang tertinggal pendidikannya. Ia bernama Butet atau yang lebih dikenal Butet Manurung. Lahir dengan nama asli Saur Marlina Manurung, Butet merupakan sosok yang memberi penerangan di tengah stereotip bodohnya Orang Rimba. Wanita berdarah Jakarta ini memilih untuk mengabdikan hidupnya demi membuat anak rimba yang terkenal tidak tahu apa-apa menjadi mentas buta aksara.

Butet Manurung lahir pada tanggal 21 Februari 1972 di Jakarta. ‘Indiana Jones’ atau Dr. Henry Walton Jones menjadi tokoh inspirasi Butet dalam berpetualang. Butet menggambarkannya sebagai seorang petualang fiktif, agen, tentara, profesor, dan seorang protagonis utama yang diinginkan untuk dipresentasikan dalam dirinya. Hasilnya tidak dapat diperdebatkan lagi. Perjuangan Butet yang

hanya berbekal ijazah dan tekad untuk keluar masuk hutan demi mengentaskan krisis aksara di tengah rimba kini dapat kita lihat sendiri.

Bukit Dua Belas di Jambi dan Suku Anak Dalam merupakan bukti nyata terwujudnya tekad Butet untuk membebaskan mereka dari kemiskinan aksara. Sebagaimana syarat untuk memerdekakan sebuah peradaban adalah dengan memberi bekal pendidikan.

Sokola Rimba, Sekola Bebas Setan Bermata Runcing

Kerikil untuk mencapai kemerdekaan pendidikan salah satunya adalah warisan leluhur yaitu adat istiadat setempat. Adat istiadat bagaikan sebuah ideologi yang susah dimusnahkan dari pemikiran masyarakat adat. Bukit Dua Belas di Jambi yang dihuni oleh Suku Anak Dalam meyakini sepenuhnya bahwa pendidikan dapat menjadi ‘bencana’ atau ‘kesialan’ dari adat yang selama ini telah mereka junjung tinggi. Adat istiadat itulah yang menjadi kerikil utama bagi Butet untuk memerdekakan Suku Anak Dalam dari kemiskinan aksara. Sekitar tujuh bulan lamanya, Butet mondar mandir ke alas Rimba untuk mempelajari kondisi sosial budaya penghuni rimba. Meski kerap mendapat sambutan kurang baik, bahkan berkali-kali penolakan, Butet dengan tekadnya tidak ingin menyerah semudah itu.

Kondisi Suku Anak Dalam kala itu tidak hanya sebatas mengalami krisis aksara, tetapi juga degradasi kepercayaan dari orang luar seperti Butet. Orang luar seringkali memanfaatkan krisis aksara yang dialami oleh Suku Anak Dalam untuk berbuat curang dalam negosiasi hingga merebut tanah mereka sehingga Suku Anak Dalam seringkali takut untuk menerima perubahan seperti pendidikan. Saat itu, mereka menyebut orang luar sebagai setan bermata runcing, yang artinya setan yang membawa pulpen dan merenggut tanah milik mereka. Meskipun demikian, Butet berhasil mendapat kepercayaan mereka untuk menjadi seorang guru bagi Orang Rimba. Berbekal nekat agar bisa diterima, ia belajar untuk menyesuaikan diri dengan Orang Rimba, seperti memakai sarung berkemban, ikut berburu, hingga memakan apa saja yang biasa mereka makan. Kala itu, Butet yang hanyalah lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia yang tidaklah berlatar pendidikan seorang pendidik atau guru langsung bertekad untuk membimbing mereka demi meretas angka buta aksara.

Kisah Awal SOKOLA hingga Butet Berhasil Menyabet Penghargaan

Tahun 2003, ketika kali pertama Butet bekerja pada salah satu LSM konservasi di Jambi, ia ditugaskan untuk memfasilitasi pendidikan. Butet yang berkeinginan menjadi fasilitator pendidikan pada komunitas rimba pun mendirikan Sakola Rimba bersama empat rekan pendidiknya. Selanjutnya, mereka mengembangkan program keaksaraan yang tetap responsif pada adat, tradisi, dan gaya hidup masyarakat adat yang kental, sekaligus menjawab tantangan pembangunan di komunitas yang terpinggirkan.

Sekolah yang awalnya bernama SOKOLA ini pertama kali berdiri di Jambi ini ada karena pemikiran awal Butet yang ingin tidak adanya masalah dengan buta huruf untuk masyarakat pedalaman. Seiring berjalannya waktu, Butet bersama SOKOLA sudah bisa merangkul sedikitnya 17 komunitas adat di seluruh Indonesia dan membawa literasi kepada lebih dari 10.000 individu. Lantas, Butet Manurung pernah mendapatkan berbagai macam penghargaan seperti “Nobel Asia” Ramon Magsaysay Award 2014, Penghargaan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015, dan Ernst and Young Indonesia Social Entrepreneur of the Year 2012. Bahkan, kisahnya ditulis dalam sebuah buku berjudul “Sakola Rimba” yang terbit pada tahun 2007 dan diadaptasi menjadi sebuah film yang disutradarai Riri Riza pada tahun 2013. Butet juga didapuk menjadi salah satu wanita yang dipilih Produsen Boneka Barbie untuk mewakili 12 perempuan preneur dan berpengaruh di dunia melalui tampilan boeka Barbie One of A Kind dalam perayaan International Women Days pada 8 Maret 2022.

Mimpi Sederhana

Butet mengatakan bahwa ada beberapa pemikiran keliru yang harus diubah, seperti pendidikan selalu di sekolah dan pendidikan di Indonesia tidak kontekstual. Padahal, pendidikan bisa terjadi di mana saja dan haruslah menyesuaikan dengan keadaan geografis dari Sabang sampai Merauke. Butet juga menambahkan permasalahan mengenai guru yang dianggap sebagai sumber pengetahuan. Menurutnya, guru yang keren adalah guru yang belajar pada muridnya.

Sebelum adanya pendidikan, selain kerap kali ditipu perihal perjanjian tanah, Butet juga miris melihat Orang Rimba ke pasar tidak bisa membaca timbangan. Oleh karena itu, masyarakat adat yang banyak mengalami tekanan-tekanan tersebut haruslah belajar baca tulis, Bahasa Indonesia, dan hak-hak lainnya,supaya mereka menjadi setara dan seimbang untuk bernegosiasi. Berkaca dari beberapa masalah tersebut, hal sederhana yang diinginkan Butet hanyalah membantu mereka untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari mereka. Tonggak Awal Berdirinya Pendidikan Berbasis Adat hingga Sekarang

Masyarakat adat tidak semuanya membutuhkan pendidikan, begitulah kata Butet. Pendidikan bagi masyarakat adat bukan sebuah ajang kompetisi atau mencari prestasi, melainkan untuk membuka mata dan bisa melihat dunia. Sisa-sisa keputusan masyarakat mengenai dunia sepenuhnya diserahkan kepada mereka. Yang penting hanya satu bagi pendidik masyarakat adat, yaitu membebaskan mereka dari krisis aksara yang dapat menjadi jurang kebodohan.

Selanjutnya, Butet menyatakan bahwa konsep pendidikan yang tepat dan yang dibutuhkan oleh Orang Rimba ialah pendidikan berkonsep antisipasi atau pendidikan antisipatoris. Pola pendidikan ini merupakan pola yang menerjang atau sekadar mempertahankan habitat mereka dalam kencangnya arus transformasi untuk mengubah wujud tempat tinggal mereka. Jika dari masa ke masa hutan kian menyempit dan sumber daya alam kian menepis, akan timbul pertanyaan, mampukah Orang Rimba menghadapi arus transformasi tersebut? Kehidupan mereka hanya bergantung di rimba. Hampir seluruh waktu dan sisa hidup mereka berpegangan pada rimbunnya pepohonan di hutan yang terancam kerindangannya. Sudahkah mereka sejahtera seperti orang dunia terang?

Jika dikatakan Indonesia telah merdeka dari penjajahan, maka itu tidak berlaku pada Orang Rimba yang masih dijajah oleh saudara sebangsanya dengan menutup mata akan ketidakadilan bagi sebagian warganya. Mengatasnamakan kepentingan pribadi, mengacaukan ketenangan Orang Rimba, mengusik habitat dengan terus menerus mempersempit ruang gerak mereka. Hutan dijadikan tempat untuk ladang rupiah bagi orang dunia terang, menghabiskan sumber daya alam di Hutan, yang menjadi satu-satunya tempat terteduh yang membingkai kedamaian jiwa Orang Rimba. Perlakuan orang dunia luar berbanding terbalik dengan Orang Rimba, yang memperlakukan hutan secara arif. Mereka menjaga kelestarian hutan dengan tidak merusak apapun yang ada di dalamnya. Bagi Orang Rimba, bahagia itu adalah ketika orang dunia terang tidak mengusik habitat mereka. Terima kasih, Butet dan Pejuang-pejuang Pendidikan lainnya.

Penulis: Anggita Hajar dan Cahyaning Galuh Editor: Benediktus Brian

Kabupaten Malang ー Senin, 27 Juni 2022. Dalam rangka pelaksanaan program kerja dalam kegiatan KKNT-FIA UB, telah diselenggarakan kegiatan menggambar bersama dengan anak-anak Panti Asuhan Taslimiyah. Panti asuhan ini berlokasi di Desa Krebet Senggrong Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Program kerja ini bertujuan sebagai media berekspresi untuk mengungkapkan cita-cita anak-anak panti asuhan agar meningkatkan semangat dalam proses menggapai asa.

Melalui kegiatan ini, semua anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut mencurahkan semua isi harapan dan cita-cita mereka ke dalam bentuk lukisan. Setiap anak diberikan kebebasan dalam mencurahkan ide mereka mengenai cita-cita yang ingin mereka capai untuk dituangkan dalam sebuah lukisan. Setiap anak tentunya memiliki berbagai macam cita-cita yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Seperti menjadi pemain sepak bola dan dokter. Selain itu, ada juga yang bercitacita menjadi polisi. Mereka sangat bersemangat pada saat proses menggambar, antusiasme mereka terlihat saat mengangkat tangan untuk menceritakan kisah dibalik gambar dari cita-cita yang ingin mereka capai. Mereka menceritakan alasan kenapa mereka memilih pekerjaan tersebut untuk menjadi cita-cita mereka di masa depan. Dalam cerita-cerita yang mereka sampaikan terdapat sebuah harapanharapan yang tulus dari seorang anak muda yang menginginkan sebuah perubahan dalam kehidupannya, hal tersebut terlihat dari raut wajahnya yang terlihat sumringah dan bersemangat saat menjelaskan maksud dari gambar yang mereka buat. Dengan mempersiapkan bekal sedari dini, maka anak-anak tersebut memiliki waktu yang panjang untuk menggapai cita-cita mereka.

Cita-cita tak ada batasan, semua orang berhak menjadi apa yang mereka inginkan.

Penulis: Farras Nabilah K. dan Pahlevi Aulia R. Editor: Fachrur Rozi

U n s p l a s h / E d U s

KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR: KEMERDEKAAN PENDIDIKAN TAPI MENGKHAWATIRKAN?

Pendidikan merupakan pondasi dasar dalam membangun suatu negara, yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang berkarakter, cerdas, beradab, berakhlak mulia, dan bermartabat. Selain itu, adanya pendidikan dapat membawa perubahan bagi generasi anak bangsa. Perubahan tersebut dapat membentuk anak bangsa menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, dari generasi ke generasi. Diharapkan, setiap anak dapat memperoleh kesempatan dan hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Jika melihat kondisi saat ini, telah terjadi perubahan terkait dengan semakin derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi kebijakan dalam upaya pembaharuan pendidikan menuju ke arah yang lebih baik.

Kebijakan Merdeka Belajar

Kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), yaitu Nadiem Makarim adalah kebijakan Merdeka Belajar. Tersirat dalam surat keputusannya bahwa peserta didik diberikan kebebasan untuk menentukan masa depan sesuai dengan kompetensinya. Menurut Nadiem Makarim, upaya kebebasan belajar dimaksud adalah kebebasan berpikir yang bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Melalui tenaga pendidik, orang tua dan staf sekolah maupun perguruan tinggi memiliki peran yang penting untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam mewujudkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Sehingga, dukungan ini peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

Namun, seiring berjalannya program tersebut, beberapa pihak mulai mengkhawatirkan efektifitas dari program kebijakan Merdeka Belajar di tengah intensnya pembelajaran digital oleh akibat dari timbulnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Salah satu masalah utama di masa pandemi Covid-19 saat ini adalah ketidakcakapan tenaga pendidik yang memindahkan metode pengajaran tatap muka (luring) ke ranah virtual learning (daring). Banyak di antaranya yang tidak terlatih dalam memberikan ajaran kepada muridnya melalui aplikasi pembelajaran daring seperti Zoom, Google Classroom, dan lain-lain. Selain itu, tidak jarang ditemukan bahwa tenaga pendidik merasa kesulitan menarik atensi murid dan memastikan apakah murid benar-benar serius dalam belajar dan memahaminya. Pada akhirnya, banyak tenaga pendidik yang memilih untuk sekedar memberikan tugas mingguan pada muridnya dan berharap mereka belajar secara mandiri melalui tugas tersebut saja. Tapi apakah hal ini bisa? Apakah mereka akan benar-benar serius belajar dengan cara demikian?

Belajar dari Norwegia dan Selandia Baru

Kebijakan pendidikan seperti Merdeka Belajar bukanlah program yang pertama di dunia. Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa terkait customized learning, yang bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia. Pada tahun 1994, Norwegia meluncurkan “Reform 94”. Kebijakan ini digulirkan untuk memberi siswa remaja lebih banyak pilihan dan tanggung jawab dalam pembelajaran. Misalnya, mendorong mereka bekerja sama dengan guru untuk merancang kegiatan belajar mereka. Akan tetapi, merujuk pada evaluasi nasional justru ditemukan bahwa hanya siswa unggulan saja yang memiliki motivasi belajar secara mandiri, sedangkan murid lain sedikit mendapatkan motivasi tersebut. Para murid yang tidak mendapatkan motivasi tersebut disebabkan karena mereka telah dididik sejak awal untuk bergantung pada guru, misalnya menentukan apa yang harus mereka pelajari dan bagaimana pengajarannya yang tepat.

Terdapat pola serupa ketika praktik pembelajaran daring menjadi gencar akibat Covid-19 di Indonesia, di mana siswa menjadi semakin terisolasi dan ditinggalkan tanpa bimbingan. Bahkan Norwegia yang telah menjadi salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia tetap menghadapi tantangan dalam memberikan kebebasan belajar kepada peserta didik, yakni hilangnya capaian belajar (learning loss) dan pudarnya fokus belajar siswa di tengah kekhawatiran bolak-balik antara sekolah daring dan luring. Jadi, ketika jarak antara tenaga pengajar dan

murid merenggang, bagaimana kita mendorong murid untuk mengambil alih proses belajar mereka secara mandiri?

Pandemi telah mengajarkan pada kita tentang pentingnya lingkungan belajar digital yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi murid. Murid tidak akan repot-repot berusaha belajar secara mandiri apabila mereka sudah terlebih dulu kehilangan minat belajar. Maka, untuk mengatasi hal ini adalah perubahan terhadap periode mengajar yang lebih pendek, dipadu dengan sesi praktik dan evaluasi. Bagi beberapa tenaga pendidik, bentuknya bisa dengan mengubah sesi belajar yang biasanya beberapa jam diubah menjadi pecahan masing-masing 30 menit berisi materi belajar dan aktivitas yang disebar selama periode satu minggu. Dengan begini, murid bisa mempelajari materi tertentu dengan kecepatan mereka sendiri selama seminggu tersebut. Apabila metode ini diterapkan kepada peserta didik maka proses evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar murid dapat dilaksanakan dengan baik.

Praktik-praktik seperti ini telah lama diterapkan oleh sekolah terbesar di Selandia Baru bernama Te Kura, dan merupakan fondasi dari lingkungan belajar digital yang efektif. Te Kura berdiri pada tahun 1922. Pada jaman pra-digital itu, materi ajar dan tugas dikirimkan dan dikembalikan oleh siswa melalui pos untuk kemudian dinilai dan dievaluasi. Artinya, bahkan jauh sebelum pandemi, Te Kura telah mengadopsi model pengajaran yang beragam, dari sepenuhnya daring hingga kelas tatap muka ketika memang dibutuhkan. Berbagai sumber daya pembelajaran dan platform yang mereka gunakan telah teruji efektivitasnya. Para tenaga pendidik di sekolah Te Kura sudah menguasai bagaimana caranya mempertahankan atensi belajar murid saat musibah menerpa.

Jadi, hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan Merdeka Belajar ini adalah bahwa dalam mensukseskan kebijakan Merdeka Belajar, tidak cukup jika kita hanya memberi ruang bagi murid untuk merancang pendidikan mereka sendiri. Sekolah/perguruan tinggi dan tenaga pendidik juga harus mendesain lingkungan pembelajaran yang benar-benar bisa mempertahankan atensi, motivasi, dan kemandirian murid untuk belajar. Pemberian tugas-tugas yang intens dan diberikan kepada murid tiap minggu dengan alasan siswa akan belajar setelah pembelajaran di kelas berakhir tidak menjamin bahwa murid benar-benar belajar mandiri dengan serius dan dapat meningkatkan pemahamanya. Tidak jarang ditemukan seorang murid menyerahkan tanggung jawab akan tugasnya kepada orang lain atau melihat pekerjaan orang lain. Oleh karena itu, justru langkah yang paling utama adalah tentang kedekatan antara tenaga pendidik dan murid, seperti memberikan perhatian mendalam terhadap kondisi murid dan menanamkan motivasi yang memberikan tekad kuat dalam belajar.

Penulis: Ramos Christofer Editor: Benediktus Brian

Kesehatan mental menjadi isu yang cukup populer dibicarakan oleh masyarakat urban, sehingga kesadaran mereka terhadap kesehatan mental semakin tinggi. Akibatnya muncul beragam metode pengobatan, salah satunya hipnosis atau biasa disebut Hipnoterapi. Hipnoterapi merupakan salah satu solusi alternatif untuk menyembuhkan masalah mental melalui sugesti. Terapi hipnosis seringkali disalahartikan dengan hipnotis, padahal keduanya berbeda. Hipnotis adalah orang yang memberikan sugesti, sedangkan hipnosis adalah fenomena masuknya sugesti ke dalam pikiran bawah sadar manusia.

Pada (30/04/2022), awak DIANNS mendapat kesempatan untuk berbincang dengan seorang Hipnoterapis, Muhammad Husein (23). Ia mengibaratkan pikiran manusia adalah kebun yang dijaga oleh suatu ‘gerbang’. Hipnosis adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mendapatkan izin atau menonaktifkan ‘gerbang’ pikiran agar sugesti bisa masuk ke pikiran bawah sadar manusia. “Hipnosis terjadi ketika sugesti yang masuk tidak perlu disaring atau dikritik oleh seseorang,” tambahnya.

Husein mengungkapkan dalam ilmu hipnosis, pikiran manusia dikelompokkan menjadi tiga. “Pikiran sadar, pikiran tidak sadar, dan pikiran bawah sadar. Pikiran sadar merupakan pikiran yang dapat dikendalikan dan memengaruhi perilaku kita sehari-hari, seperti ketika menulis, membaca, dan lain-lain. Sedangkan pikiran tidak sadar adalah pikiran yang sama sekali tidak dapat kita kendalikan dimana hal tersebut merupakan bagian dari

otak kecil yang berfungsi secara otomatis, seperti mengendalikan detak jantung, aliran darah, nafas, dan sebagainya. Adapun pikiran bawah sadar adalah setiap kegiatan atau aktivitas yang pernah ditangkap atau direkam di dalam panca indera. Oleh karena itu, pikiran bawah sadar dapat disebut sebagai gudang memori,” jelasnya.

Selanjutnya di antara pikiran sadar, tidak sadar, dan bawah sadar terdapat RAS (Reticular Activating System). RAS merupakan bagian dari otak yang terletak tepat di atas tulang belakang, dan panjangnya sekitar lima centimeter dengan ketebalan seperti pensil. RAS bertindak sebagai filter untuk otak dan memastikan bahwa otak tidak kemasukan terlalu banyak informasi dari yang bisa diterima. Ibaratnya pikiran manusia adalah taman yang begitu luas dan subur, mau ditanami apapun pasti akan tumbuh dan RAS sebagai gerbangnya. Husein menambahkan, “Untuk masuk ke taman tersebut, perlu izin atau melewati gerbangnya dan hipnoterapis bertugas melewati gerbang itu.”

Metode Pengobatan Hipnoterapi

Seorang terapis perlu masuk ke dalam pikiran bawah sadar pasiennya agar dapat memasukkan sugestinya. Proses menembus pikiran bawah sadar pasien menjadi langkah yang paling penting karena dari situlah sugesti yang diberikan benar-benar masuk ke dalam pikiran bawah sadar pasien atau tidak. Cara paling umum adalah menidurkan pasien terlebih dahulu atau pasien berada dalam posisi senyaman mungkin. Kemudian terapis akan memasukkan sugestinya kepada pasien. Hipnoterapi bekerja dengan memberikan sugestisugesti positif terapis ke dalam pikiran bawah sadar pasien pada saat tidur maupun saat pikirannya hanya terfokus pada sugesti terapis. Jika hipnoterapis sangat menguasai teknik alternatif maka seorang terapis bisa memasukkan sugestinya kepada pasien seperti sedang berbincang-bincang santai.

Menariknya, Hipnoterapi dapat dilakukan dengan mandiri oleh tiap orang. Artinya, setiap orang bisa memberikan sugesti kepada dirinya sendiri sesuai apa yang diinginkan. Husein menjelaskan, “Namanya self hypnosis. Jadi bagaimana kita memprogram diri kita sendiri. Makanya mungkin banyak orang yang mengenal hipnoterapi ini hanya sebagai fasilitas atau cara untuk menyembuhkan orang lain. Sebetulnya salah satu hal yang sangat luar biasa di hipnosis adalah bagaimana kita bisa memprogram diri kita sendiri”.

Hipnoterapi Menjadi Alternatif Pengobatan Masalah Mental?

Sebagai metode pengobatan alternatif, Husein tidak bisa memberikan jaminan bahwa pasien pasti akan sembuh melalui hipnoterapi. Penyembuhan masalah mental adalah hal yang relatif dan tidak ada patokan pastinya. Semua tergantung kecocokan antara pasien dengan terapisnya atau metode pengobatan tertentu.

Husein menegaskan, “Banyak kasus orang yang datang ke Hipnoterapi tidak mendapatkan dampak yang signifikan. Tetapi ketika datang ke psikolog atau ke psikiater mendapatkan dampak yang signifikan. Saya pribadi pernah menemukan orang yang sudah datang ke psikolog dan psikiater tapi tidak mendapatkan dampak atau perubahan yang diinginkan. Tetapi ketika datang ke hipnoterapis, dia akhirnya mendapatkan dampak atau perubahan yang diinginkan. Jadi tidak ada patokan pastinya lah.”

Walaupun tidak ada patokan yang pasti, bukan berarti pengobatan ini tidak efektif. Husein menceritakan pengalamannya dalam menangani klien yang kecanduan obat penahan nyeri. Kliennya adalah seorang nenek pensiunan dosen berusia 60 tahun lebih. Keluarganya pernah mendapati beliau lupa untuk meminum obatnya. Berselang beberapa waktu, keluarganya terkejut tidak ada keluhan dari beliau. Kemudian, rasa sakit itu mulai muncul kembali ketika ia menyadarinya. Husein mengungkapkan, “Permasalahan klien tersebut terletak pada pikirannya”.

Lebih lanjut, Husein menjelaskan cara yang dilakukannya kepada klien tersebut adalah dengan mengubah persepsinya terhadap rasa sakit. Tidak setiap rasa sakit itu membutuhkan obat dan harapannya sugesti tersebut dapat langsung diterima tanpa penentangan. “Waktu itu saya memanfaatkan keyakinan klien yang merupakan seorang yang benar-benar berpegang teguh terhadap ajaran agama islam, bahwa ketika kita sakit Tuhan akan menyembuhkan kita dan lain sebagainya” tuturnya.

Disamping memberikan sugesti, hipnoterapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengajak diri sendiri selalu berpikir positif. “Karena hipnosis ini lebih ke seni berkomunikasi dan seni olah pikir. Percaya atau tidak, pikiran adalah modal utama manusia. Karena semua kegiatan atau sikap yang dilakukan itu tergantung pikirannya. Oleh karena itu, Hipnoterapi tidak hanya mengobati orang yang punya masalah mental, tapi juga mengarahkan ke self improvement,” pungkas Husein.

Penulis : Ramos Christofer dan M. Ali Al Ridho Editor : Tiara Maulidah

Riset dan Layout: Anisa Wahidatus Editor: Annas Tasya

This article is from: