
6 minute read
Media
CaraCaraCara TikTokTikTokTikTok MengubahMengubahMengubah DuaDuaDua DimensiDimensiDimensi Budaya:Budaya:Budaya: FashionFashionFashion dandandan MakananMakananMakanan
Selain instagram dan Facebook, TikTok menjadi salah satu platform media sosial yang perkembangannya paling pesat di dunia. Data yang diperoleh dari katadata.co.id, menunjukan bahwa TikTok telah diunduh sebanyak 2 milyar lebih di seluruh belahan dunia. Tak hanya itu, mengutip dari Business of Apps, TikTok telah memiliki 1,39 miliar pengguna aktif bulanan (monthly active users/MAU) di seluruh dunia hingga kuartal I 2022. Diperkirakan, pengguna TikTok terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana yang terlihat pada grafik. Kondisi ini telah memberi sinyal kuat bagi seluruh orang agar tak memandang sebelah mata platform ini.
Advertisement
Jumlah Unduhan Tiktok Per Kuartal

Banyaknya konten yang membanjiri TikTok membuat semua pengguna kini memiliki feed pribadi mereka sendiri atau "Halaman Untuk Anda" di mana mereka dapat menelusuri konten tanpa henti. Melalui pengguliran tanpa henti, Kita berpeluang menemukan bahkan mengikuti tren beracun yang ada di dalamnya. Hal ini tentu memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari penggunanya, terkhusus pada pola konsumsi fashion dan makanan.
Perubahan pola konsumsi fashion dan makanan karena TikTok memunculkan pertanyaan tentang seberapa kuat aplikasi ini dalam memengaruhi kehidupan kita. Tulisan ini setidaknya akan mengulik melalui referensi berbagai sumber.
Doktrin Tren Fashion
Berbicara mengenai mode fashion, sepanjang tahun 2010, Instagram disinyalir menjadi mode de facto untuk berbagi gaya berpakaian sekaligus memengaruhi tren perbelanjaan. Namun, menginjak tahun 2020, TikTok berhasil memberi gelombang baru pada tren fashion di berbagai negara. Bahkan, platform tersebut diakui sebagai pemain utama dalam industri mode era ini .
Melejitnya konten-konten fashion TikTok berhasil mendoktrin gaya apa yang sedang digemari, riasan apa yang harusnya dikenakan hingga brand fashion apa yang tengah diincar banyak orang. Algoritma atas fenomena ini dikenal dengan istilah "TikTok couture". Mengutip dari fashionnorth.com, TikTok couture merupakan gambaran perpaduan tren fashion yang muncul di TikTok bernuansa gaya subkultur perkotaan.
Dengan bantuan algoritma TikTok pada TikTok couture, platform ini berhasil menyebarkan berbagai konten viral ke jutaan pengguna dalam beberapa jam atau hari. Konten-konten ini kemudian membentuk apa yang dianggap “gaya” oleh budaya arus utama sehingga mampu memengaruhi apa yang kita pilih untuk dikenakan.
Tren subkultur ini terus tumbuh dan begitu menonjol dari tahun ke tahun. Pada 2020, Vogue dikutip dalam laman vox.com menerbitkan sebuah artikel yang membahas kepopuleran gaya e-girl berkat algoritma TikTok. Tren ini telah berada di 10 istilah mode trending teratas di Google pada tahun tersebut. Sejumlah selebriti arus utama mulai mengadopsi gaya e-girls, termasuk sosialita Amerika Kylie Jenner dan penyanyi Kosovar-Inggris Dua Lipa. Tak hanya selebriti,anak muda berusia belasan hingga dua puluhan juga telah mengadopsi tren ini. Meski terdapat sejumlah sisi gelap dari tren ini, TikTok berhasil menyulapnya menjadi sesuatu yang tidak berbahaya sama sekali.
Tak hanya itu, TikTok juga melahirkan fenomena “ ultra fast fashion”. Dalam laman yang sama dijelaskan bahwa ultra fast fashion merupakan fenomena sold-out nya produk-produk tertentu yang viral di TikTok. Dengan kata lain, ketika gaya atau produk tertentu menjadi viral di TikTok, item tersebut langsung habis terjual pada saat video itu dilihat oleh paling banyak orang. Fenomena ini mencerminkan besarnya keinginan orang-orang untuk menemukan tren TikTok sedini mungkin dalam upaya untuk maju dari siklus era ini.
Tak lupa, merek-merek fashion juga tengah berlomba-lomba memanfaatkan kesuksesan para pembuat konten TikTok untuk beriklan. Ketika merek-merek tersebut menjadi lebih akrab dengan dunia influencer TikTok, banyak orang yang tak segan untuk membayar lebih pada produk mereka dengan cepat. Jelas, keuntungan ekonomi dari fenomena ini tak main-main.

Melampaui platform lain, TikTok berhasil menjadi kekuatan fashion era ini. Platform ini mampu menetapkan nada untuk apa yang dianggap fashionable, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Bak kembang api, TikTok dapat menyalakan dan mematikan fashion tertentu dengan sangat cepat.
Doktrin Tren Makan
Tak hanya fashion, TikTok juga berpengaruh besar dalam pola konsumsi makanan penggunanya. Penelitian dari agensi pemasaran MGH menemukan bahwa 36% pengguna TikTok memesan makanan setelah melihat konten makanan tersebut. Tak hanya bagi penontonnya, namun pada pengguna yang membuat konten makanan atau dikenal dengan food vlogger juga mengalami hal serupa. Masih merujuk pada penelitian MGH, ditemukan 65% food vlogger memutuskan untuk memesan makanan berdasarkan rekomendasi TikTok.
Faktor utama yang mendukung fenomena ini adalah tren #makananviral maupun #resepviral di TikTok. Tren ini berpotensi besar membuat penggunanya langsung memesan makanan setelah menonton video yang ditampilkan. Bagaimana tidak? Platform ini berhasil menyajikan elemen visual bombastis dalam konten makanan dengan durasi 15 detik saja.
Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat simulasi TikTok dalam menyajikan konten makanan melalui tren tersebut. Penelitian dari MGH turut mendukung argumen ini. Setidaknya 50 % pengguna TikTok mengatakan kepada MGH bahwa mereka telah mengunjungi restoran dari TikTok karena makanannya masuk dalam tren #makananviral dan tampak menggugah selera.
Profesor Charles Spence, psikolog percobaan di Universitas Oxford, dalam theguardian.com menyebut fenomena ini sebagai foodporn.
Foodporn merupakan istilah yang mengacu pada penyajian konten/iklan makanan yang sangat bergaya dan sangat menggugah selera. Salah satu tren foodporn yang paling terkenal adalah mukbang. Dampak yang perlu disoroti dari fenomena foodporn ini adalah terjadinya simulasi mental bagi para penontonnya. Artinya, mereka ( baca : para penonton) mengalami pengaktifan saraf sensorik pada panca indera ketika menonton konten makanan atau pengaktifan obsesi semu pada makanan. Saat ini terjadi, mereka cenderung mengabaikan kondisi kesehatannya sekalipun merekamungkin mengidap penyakit tertentu. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memperparah kondisi kesehatan orang tersebut. Jelas, tren foodporn yang begitu populer di TikTok ini berefek negatif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


Meretas Doktrin Tren
Media sosial saat ini, terkhusus TikTok, memiliki pengaruh yang sangatl kuat. Algoritma TikTok yang mendoktrin pola fashion dan pola konsumsi makan sejatinya menimbulkan kekhawatiran dan keresahan, setidaknya bagi saya sendiri. TikTok semakin memperkuat dirinya melalui algoritma untuk mendorong tingkat homogenisasi pada berbagai tren yang tak sepenuhnya berintegritas.
Kita berada ditengah-tengah perang konten viral dengan begitu banyaknya produk yang berbeda dan bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Kita seakan terkurung dalam preferensi kita sendiri karena tak dapat melarikan diri dari selera platform digital.
Di satu sisi, algoritma TikTok memang memberi kemudahan bagi penggunanya untuk melihat konten berdasarkan permintaan pengguna, sebab terlalu banyak konten yang berkeliaran. Hanya saja, efek berkepanjangannya juga tak dapat diremehkan. Hari demi hari, kesempatan kita untuk membuat pilihan sendiri kian terbatas. Apa yang disajikan bukanlah apa yang sebenarnya kita butuhkan, namun apa yang pasar inginkan. Kita kerap kali gagal untuk membuat keputusan sendiri karena lebih menyerahkan sepenuhnya pada opsi “putar otomatis”.
Lebih jauh, TikTok dapat muncul sebagai ancaman melalui monopoli konten viral Platform ini bahkan dapat menjadi rezim yang lebih mampu mendikte selera kita berdasarkan kebutuhan pasar, tanpa kita sadari. Banyaknya objek acak dan konten yang dibuat "viral" oleh TikTok terlalu cepat dikonsumsi namun nilainya seringkali diabaikan. Pada akhirnya, kita cenderung mengonsumsi semua hal yang sama saja, tanpa menimbang nilai di setiap kontennya. Viralitas memperlakukan manusia seperti mode cepat: produk yang dihasilkan secara algoritmik, dimasukkan semua ke layar kita secara bersamaan. Alhasil, kita kemudian menghabiskan banyak uang dan perhatian disana. Fenomena ini setidaknya mencerminkan kegagalan individualisasi itu sendiri. Seperti yang disampaikan Kelsey Weekman dalam In the Know, “Di TikTok, yang diperlukan hanyalah satu atau dua postingan viral yang memamerkan estetika tertentu agar gaya tersebut menjadi 'tren mikro.'”
Mengingat banyaknya waktu yang kita habiskan untuk menatap layar di berbagai media terkhusus TikTok, ada baiknya kita mulai bijak. Kita sebaiknya semakin sadar terkait bahaya algoritma media saat ini dan mulai memberi batasan dalam mengikuti tren-tren yang ada. Jangan sampai kita hanya menjalani hari demi hari dengan menelusuri TikTok untuk menghabiskan waktu dan mengikuti seluruh tren yang membanjiri platform. Harapannya, kita memiliki penglihatan tajam agar tak terjebak pada tren dan dapat mengatur presepsi dan perilaku yang sesuai dengan nilai nilai luhur.
Penulis : Nadya Rajagukguk Editor : Prasiska Tri Wahyuni
