
5 minute read
Resensi Buku
Judul Buku Penulis Penerbit
Tahun terbit
Advertisement
Cetakan Jumlah halaman ISBN : Malam Terakhir : Leila S. Chudori : Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta : 2009 (pertama kali terbit 1989) : Pertama : xvii + 117 halaman : 978-979-91-0521-9

Leila S. Chudori dikenal sebagai penulis dari novel Laut Bercerita. Buku yang ditulis oleh Leila S. Chudori yang berjudul Malam Terakhir ini berisi 9 cerpen. Kumpulan cerpen yang ditulis Leila mengangkat isu-isu yang hadir di tengah–tengah kehidupan masyarakat. Leila S. Chudori sendiri merupakan penulis yang mempunyai komitmen kuat dalam menulis. Ia menulis semenjak masih kecil dan karya-karyanya telah terbit di majalah sejak ia berusia 12 tahun. Ia sangat inovatif dalam mengangkat isu-isu dalam praktik sosial dan hal-hal yang dianggap tabu, seperti moralitas, patriarki, dan absolutisme negara. Leila S. Chudori menerbitkan Malam Terakhir kembali sejak yang pertama yaitu tahun 1989 setelah direvisi. Menurutnya, akibat 20 tahun jauh dari dunia sastra, diri dan gaya kepenulisannya telah berubah. Pada awal buku, Leila mengangkat kisahnya dalam proses pembuatan buku Malam Terakhir. Dirinya lebih merasa tertarik membuat cerita pendek daripada sebuah novel, karena cerpen mempunyai aturan yang lebih keras dan menekan dari karya fiksi lainnya. Leila mulai menyelami “ruang pribadi” nya kembali setelah 20 tahun lamanya karena mendapat dorongan dari putrinya. Lalu, Malam Terakhir versi revisi terbit pada tahun 2009.

Pada cerpen “Paris, Juni 1988”, penggambaran Paris sangat jauh berbeda dengan julukannya yang “kota paling romantis di dunia”. Paris yang satu ini sangat arogan, ribut, suram, dan tak bersahabat, berbanding terbalik dengan Paris yang katanya penuh kemewahan. Paris menyajikan peristiwa tak biasa kepada kehidupan seorang gadis Asia biasa yang tengah bergelut di kota yang penuh dandanan itu. Ia bertemu dengan Marc, pria 30-an yang misterius dengan segala suara-suara aneh yang melingkupinya setiap waktu, perempuan tua pemilik penginapan dengan aroma kubis busuk yang tak pernah membuatnya bisa terbiasa, hingga dua ekor tikus yang mengingatkannya bahwa kebebasan pun tak selalu berakhir baik. Juga, ada orang-orang yang selalu senantiasa memilih dan lebih senang memenjarakan dirinya sendiri.
Cerpen “Adila”, adalah tentang seorang gadis, Adila, dengan dunianya yang tanpa batas, bisa menembus garis-garis ruang dan waktu. Seperti “Paris, Juni 1988”, “Adila” juga sedikit mengeksplisitkan unsur seksualitas. Seorang anak perempuan yang tengah memasuki masa remaja, berada di masa-masa penuh “kebingungan”. Ditengah-tengah pelik lampiasan dan kekangan ibunya, imajinasi tokoh-tokoh dari buku yang ia baca hidup menemaninya lalu mendorongnya untuk menemukan sebuah kebebasan. Sayang sekali, kebebasan yang dimaksud berujung pada kematian. Adila meninggal setelah menenggak cairan Baygon. Kisah “Adila” ini memberitahukan kepada para orang tua untuk tidak hanya mengekang seorang anak yang menuju remaja, tetapi memberikan arahan, informasi, bimbingan, dan pengawasan dalam masa-masa itu. Pengekangan hanya akan menimbulkan keberingasan dan dendam di kemudian waktu.
“Air Suci Sita” bercerita tentang peraguan terhadap kesetiaan seorang perempuan. Sedikit menyandung kisah Sita dan Rama dalam dunia pewayangan, bagaimana kesetiaan dan kesucian Sita ketika lama berpisah dari sang terkasih. Cerpen ini sangat menyindir bagaimana kehidupan sosial yang selalu lebih menyudutkan perempuan dan seolah-olah membenarkan segala bentuk tindakan laki-laki alias kentalnya patriarki. Hal yang seharusnya disorot adalah kesetiaan kedua belah pihak, bukan hanya pihak perempuan saja.
Cerpen “Sehelai Pakaian Hitam” berkisah tentang seorang laki-laki yang harus patuh pada tuntutan dunia dan tak bisa menjadi dirinya sendiri. Cerpen ini mencoba menyoroti “ketidaknormalan” seorang laki-laki yang meragukan orientasi seksualnya sendiri. Hamdani yang dikenal saleh, terlalu menuhankan masyarakat. Ingin tampil sempurna di depan khalayak tanpa mau terciprat noda. Padahal, di dunia ini tak ada yang benar-benar bersih.
“Untuk Bapak” menceritakan bagaimana sosok bapak dalam benak anaknya. Bagaimana arti seorang bapak dalam menjadi panutan putranya. Bapak ibarat Bhisma yang sangat teguh memegang janji dan sumpah yang ia buat. Sehingga seorang putra merasa kesedihan mendalam karena kehilangan bapaknya. Cerpen ini mengilustrasikan kehidupan dengan tokoh-tokoh Bharatayudha.
“Keats” mengisahkan bagaimana status sosial dan kedudukan religious terpandang di masyarakat menjadi senjata andalan untuk memaksakan pernikahan pada seseorang. Tami, perempuan yang selalu ingin menekankan pada John, seseorang yang selalu menghantuinya, bahwa dunia ini bukanlah mimpi dan mati bukanlah tidur. John, bayangan yang kerap merecoki kesehariannya, juga menjadi konsultan kehidupan dan kesastraan Tami yang merupakan seorang sarjana sastra Inggris. Tami ditentang dan dihakimi keluarganya perihal sang kekasih yang seorang kebangsaan Belanda. Represi keluarganya tentang mengawini Hidayat, seorang religius dan tokoh masyarakat, membuatnya tertekan. Elu-eluan keluarganya mengenai kesempurnaan Hidayat menutup aliran cinta Tami pada Hidayat dan mengalihkan Tami pada Jean, orang asing yang tak keluarganya anggap religius, dan mengklaim sebagai penyegaran jasmaninya.
“Ilona” yang menceritakan pertanyaan arti pernikahan yang sebenarnya pada benak Ilona. Kegagalan pernikahan orang tuanya membuat ia tidak percaya dan tak ingin terikat pada sebuah komitmen yang disebut pernikahan, sehingga ia melahirkan putranya dengan status tanpa menikah.
“Sepasang Mata Menatap Rain” menceritakan Rain si gadis kecil dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu. Ia melihat sebuah kenyataan dari kelaparan dan kesedihan pada seorang pengamen cilik, ia tergerak dan berusaha meminta orang tuanya untuk membantu pengamen itu. Cerpen ini menekankan pentingnya parenting orang tua terhadap masa pertumbuhan anaknya. Orang tua sudah seharusnya memberikan penjelasan bahwa di luar sana masih banyak orang yang menderita sehingga anak dapat menangkap arti kepedulian.
“Malam Terakhir” bercerita tiga mahasiswa aktivis demokrasi yaitu Si Kurus, Si Gemuk, dan Si Kacamata. Kental sekali topik kekuasaan dalam pemerintahan pada cerpen terakhir ini. Ketiganya disinyalir sebagai pelaku pembakaran gerbong kereta api. Dan karena tuduhan itu, penjara yang penuh penyiksaan adalah ganjarannya. Bahkan seorang mahasiswa tak luput dari kekerasan oleh aparat. Dicurigai cerpen ini mengisahkan pemerintah pada masa orde baru yang sangat represif kepada segala bentuk aktivitas pergerakan yang menentang pemerintah. Pemerintah memberikan eksekusi kepada keempat mahasiswa dan dipertontonkan di publik. Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan putri seorang pejabat yang mengakhiri cerita.
Kelebihan
Kalimat-kalimat yang penuh metafora dan diksi yang beragam. Kisah-kisah di dalamnya menyentil kita mengenai isu-isu sosial di masyarakat. Gaya bahasa yang puitis khas Leila S. Chudori sangat menghibur mata dan pikiran. Pun penggunaan ilustrasi-ilustrasi dari tokoh-tokoh seperti Rama Sita dan pewayangan sangat menarik perhatian pembaca.
Kekurangan
Setiap cerpen yang ada di dalam buku Malam Terakhir ini menuntut para pembacanya untuk memiliki imajinasi yang tinggi untuk memahami setiap kisahnya. Kata-kata yang disajikan membuat pembaca yang bukan dari kalangan pemikir menjadi bingung. Dengan kata lain, bahasa yang tersaji di buku ini lumayan berat. Kesimpulannya, buku ini cocok untuk pembaca yang menyukai isu-isu sosial yang dikemas dalam suatu cerita. Mengesampingkan penggunaan bahasanya yang lumayan berat, isu-isu sosial yang diangkat sangat menarik dan menyoroti kehidupan masyarakat.