Epaper belia 7 juli 2015

Page 1

19

SELASA (PAHING) 7 JULI 2015 20 RAMADAN 1436 H PUASA 1948

Br onze W inner Bronze Winner The Best of Java Newspaper IYRA 2015

Terima Terima Kasih Pembaca Belia!

LEMBARAN KHUSUS REMAJA Facebook: www.facebook.com/beliapr

Twitter: @beliapr

E-mail: belia@pikiran-rakyat.com

BULANNYA TOLERANSI DAN EMPATI

Toleransi

saling menghargai

empati

FOTO: HANI

hormati sesama

respect!

B

Iya atau Tidak Sama Sekali! S

OBAT Belia, mungkin kita tahu bahwa untuk mendapatkan apa yang kita impikan tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lho memangnya kenapa? Sesulit itukah? Terkadang ketika kita berusaha untuk menggapai mimpi, kita selalu mendapatkan kesulitan atau bahkan kegagalan. Suatu cambukan yang menyakitkan bagi diri kita yang sering kali membuat kita merasa pesimistis. Namun, kegagalan seakan menjadi teman akrab bagi kita yang ingin terus melangkah. Bahkan kegagalan menjadi teman akrab kita ketika kita masih kecil hingga kita bisa berjalan. Setiap orang di dunia ini tentunya pernah mengalami kegagalan seperti gagal dalam menyerap materi yang diterangkan guru atau bahkan gagal menembus redaksi ketika kita menulis. Oleh karena itu, telinga kita tidak asing lagi mendengar kata-kata ”kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda” yang tentunya hal itu menjadi pendorong bagi kita untuk bangkit. Apa kita perlu khawatir terhadap kegagalan kita? Tidak. Kita tidak perlu merasa khawatir. Tetapi bukan berarti pula kita membiarkan ”virus kegagalan” menyelimuti diri kita dengan cara berhenti bertindak. Bahkan orang bijak pun mengatakan bahwa kita membutuhkan 9 ”no” hanya untuk mendapatkan 1 ”yes”. Maksudnya bahwa kita tidak perlu merasa takut untuk gagal demi satu kesuksesan yang luar biasa. Kegagalan itu berbeda tipis dengan kesuksesan. Sebab dengan kegagalan kita akan meraih kesuksesan dengan begitu banyak pengalaman. Gagal atau sukses tergantung diri kita. Apakah kita akan bangkit atau tidak sama sekali.*** Rena Choerunisa, SMAN 1 Banjaran

"IN THIS WORLD, UNITY IS ACHIEVABLE ONLY BY LEARNING TO UNITE IN SPITE OF DIFFERENCES, RATHER THAN INSISTING ON UNITY WITHOUT DIFFERENCES." - Maulana Wahiduddin Khan

ULAN Ramadan bagi umat Islam sudah pasti berarti menjalankan ibadah puasa dan menunaikan ibadah khas Ramadan lainnya seperti salat Tarawih, zakat fitrah, dll. Di samping itu, Ramadan bagi Muslim juga berarti berlomba-lomba memperbanyak amal saleh. Nggak heran kalo kegiatan seperti tadarus Alquran dan mendengarkan siraman rohani semakin giat ditekuni. Sementara itu, bagi yang bukan beragama Islam, tentu Ramadan bermakna lain. Bagi Ray misalnya, cowok yang baru naik ke kelas IX ini mengaku selalu merasa ada yang beda di bulan Ramadan. ”Kalau bukan bulan Puasa, yang Muslim biasanya ikut main sampai capek. Tapi pada saat berpuasa, kadang mereka mengatur staminanya agar nggak kecapean. Selain itu, kadang ada buka puasa bersama. Walaupun aku non-Muslim, teman-teman yang Muslim suka mengajakku untuk buka puasa bersama,” ujarnya. Selain Ray, Ethan pun merasakan hal serupa. Pokoknya, kedua pelajar ini beranggapan bahwa meski pun mereka tidak berkewajiban melaksanakan ibadah khusus di bulan Ramadan, bulan ini tetap jadi bulan yang spesial. ”Aku sih mengambil hal-hal positif dari Ramadan dan bulan Ramadan adalah saatnya belajar respek,” tutur Ethan yang bersekolah di Rumah Belajar

Semi Palar ini. Anyways, sikap yang dimiliki Ray dan Ethan tentu layak mendapat acungan dua jempol. Yep, sikap mereka menunjukkan kalau keduanya sudah memahami dan mempraktikkan yang namanya toleransi beragama. Eh, udah pada tahu belum apa itu toleransi beragama? Kang Irfan AmaLee, Co-founder Peace Generation, menjelaskan bahwa menurutnya toleransi beragama berarti to be faithful and respectful; faithful sama agama yang kita anut, sekaligus respectful sama agama lain. ”Orang yang faithful sama agamanya, pasti dapat menemukan nilai luhur dari agamanya yaitu akhlak, termasuk sikap respek terhadap orang lain. Orang yang nggak toleran, nggak respek sama agama lain, pertanda dia nggak faithful sama agamanya sendiri,” begitu papar Kang Irfan. Lebih jauh lagi, Kang Irfan menjelaskan bahwa sebenarnya ada yang lebih dari toleransi, yaitu empati. Toleransi, akar katanya ”tolo”, dari bahasa Latin yang artinya membiarkan. So, kalau kita membiarkan agama lain bebas beribadah, itu sudah bisa dianggap toleran. ”Tapi sikap membiarkan, ada konotasi cuek, tidak peduli. Karena itu sikap toleran tidak cukup. Kalau empati, lebih dari toleran, bukan hanya membiarkan tapi juga membantu, melindungi,” kata Kang Irfan. Oh, ya,

Sekolah Negeri vs Sekolah Swasta

K

ALAU kata pepatah, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Nah, teman-teman yang nggak berkewajiban untuk berpuasa pasti juga lain-lain dalam menanggapi dan menyikapi Ramadan, tergantung likungan sekitarnya. Kru belia sempat nanya-nanya nih sama dua pelajar non-Muslim dari dua lingkungan yang berbeda; yang satu sekolah di sekolah mayoritas Islam (negeri) dan satunya lagi sekolah di sekolah Kristen. Mereka adalah Yemima Dame Natalia dari SMAN 7 Bandung dan Prisciosa Nadia dari SMA Santa Maria 2 Bandung. Di bulan Puasa ini, menurut Yemima sebagai umat Kristiani, dia sangat memaklumi banyaknya tempat makan yang tutup karena umat Islam memang sedang berpuasa. Makanya nih kalau lapar biasanya Yemima bakal masak di rumah. Bahan makanannya sendiri Yemima bisa beli di warung atau supermarket. Jadi menurut dia nggak usah merasa susah buat ngedapetin makanan. ”Saya sendiri memaklumi. Mereka menjalani puasa dengan baik, kita saling menghargai aja antara yang puasa dengan yang tidak puasa,” kata Yemima. Sementara itu, kalau sedang berada di lingkungan sekolah yang mayoritas siswanya Islam, sebagai bentuk toleransinya Yemima biasanya berusaha untuk menjaga sikap dan perilaku supaya nggak mengganggu teman-temannya dengan cara nggak makan di depan mereka yang puasa. Selain itu, walaupun beragama non-Islam, Yemima juga suka

20> Skul: SMP Al-Ghifari Bandung 21> Gaya: Persiapan Hari Raya

ikut buka puasa bersama bareng teman-teman sekolahnya. Nggak jauh beda sama Yemima, di bulan Puasa seperti ini Prisciosa juga biasanya selalu masak sendiri di rumah atau nyari tempat nongkrong yang masih buka bareng teman-temannya. Sebagai umat Kristiani yang bersekolah di sekolah mayoritas Kristen, menurut Prisciosa ada perbedaan antara sekolah negeri dengan sekolah Kristen. ”Kalau di negeri kita harus menghargai yang puasa kayak nggak makan sembarangan bahkan kantin juga pada nggak buka. Kalau di (sekolah) Kristen kan, bebas yang puasa juga kadang suka diem di luar kelas terus kantinnya juga tetep buka,” kata Prisciosa. Menurut dia, walaupun di bulan Puasa ini umat non-Islam susah buat makan di pinggir jalan, dia tetap menghargai adanya bulan Puasa. Bahkan Prisciosa juga pernah ikut berpuasa dan sahur bareng saudaranya dan ikut berbuka puasa bersama dengan teman-temannya. Yup, bulan Ramadan ini memang bisa jadi momen untuk saling menghargai antarumat agama. Walaupun banyak tempat makan yang tutup, baik Yemima dan Prisciosa sama-sama menghargai umat Islam yang sedang berpuasa. Bahkan keduanya merasa senang karena di bulan Puasa ini banyak penjual makanan di sore hari dan mereka bisa ikut buka puasa bersama dengan teman-teman sekolahnya.***

21> Aksi: Charity In Action 2015

21> MusicTerritory: Buka Bareng Raisa, Fascination Part 2, Superlunar Ramadhan

agniahadini@yahoo.com

berhubung Ray dan Ethan juga cerita sama kru belia tentang bagaimana mereka sebisa mungkin nggak makan atau minum di depan teman-temannya yang sedang berpuasa biar nggak pada kabita, berarti mereka juga bisa dibilang sudah berempati, tuh! Mantap! Sikap toleran dan empati ini memang sudah seharusnya dipahami oleh remaja! Seperti yang Kang Irfan bilang, sikap toleransi dan empati harus dibangun sejak dini. ”Orang-orang dewasa yang tidak diajarkan sikap toleran dan empati akan sulit untuk bersikap demikian. Toleransi dan empati harus dilakukan dan diajarkan pada semua orang, baik kelompok mayoritas maupun minoritas,” tutur Kang Irfan lagi. Nah, jika sudah dilatih untuk empati, pasti non-Muslim akan menghargai orang yang berpuasa, seperti Ray dan Ethan. Demikian juga jika umat Islam memiliki empati, pasti akan saling melindungi pemeluk agama lain dalam menjalankan ibadahnya. Terakhir, Kang Irfan menuturkan cara menumbuhkan empati. ”Empati bisa ditumbuhkan dengan membangun hubungan dan komunikasi, sehingga kita bisa lebih memahami orang yang berbeda, serta tahu apa yang harus dan jangan dilakukan,” ujarnya.*** hanifauziaramadhani@gmail.com

Mengasah Toleransi di Bulan Ramadan? Erisya Rosana Dwi, SMA Negeri 19 Bandung Iya, bulan Ramadan memang saat yang tepat untuk melatih toleransi beragama soalnya kan di bulan Ramadan itu orang Islam pada puasa, jadi mereka yang non-Islam tuh bisa saling menghargai gitu untuk nggak makan/minum didepan orang yang lagi puasa. Tapi menurut saya toleransi beragama nggak mesti di bulan Ramadan aja sih. Aku Islam tapi kebetulan pas zaman TK sampai SMP sekolah di sekolah Katolik. Kalo lagi puasa kayak gini kantin tetep buka kayak biasa, tapi kalau mereka mau makan mereka suka minta maaf dulu kayak bilang ”Sorry ya gue makan” gitu.

Kiko Mei Kristi, SMA Negeri 11 Bandung Iya, bisa banget buat mengasah toleransi di bulan Ramadan. Kalo aku memaknai bulan Puasa itu sebagai bulan buat lebih menghargai temen-temenku yang menjalani puasa. Dengan ngehargain mereka yang menjalani puasa juga kan termasuk bentuk toleransi. Aku juga suka nahan untuk nggak makan atau minum depan mereka, tapi suka nggak kuat juga. Jadi kalau nggak kuat aku suka minta izin gitu kalau mau minum sekalian minta maaf.*** agniahadini@yahoo.com hanifauziaramadhani@gmail.com

22> Review:

22> Chat: Tesla Manaf Effendi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.