Epaper Belia 3 Mei 2016

Page 1

21 Gold & Silver Winner IYRA 2016 untuk Belia Pikiran Rakyat Terima Terima Kasih Masyarakat Jawa Barat

SELASA (PON) 3 MEI 2016 - 25 RAJAB 1437 H - RAJAB 1949

LEMBARAN KHUSUS REMAJA Facebook: www.facebook.com/beliapr

Twitter: @beliapr

E-mail: belia@pikiran-rakyat.com

Instagram: beliapr

Gimana Sih Biar Pendidikan di Indonesia Jadi Lebih Baik? Siti Annisa, SMAN 1 Bandung FOTO: DOK.

”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” EGITU ucap Nelson Mandela pada satu waktu di masa lalu tentang pentingnya pendidikan. Ya, bahkan di masa itu pun pendidikan dianggap sebegitu pentingnya. Apalagi sekarang, ketika zaman sudah sangat maju dan interkonektivitas semakin tak bisa dihindari, rasanya pendidikan adalah satu-satunya cara mengimbangi perkembangan zaman dan bertahan hidup sebagai manusia modern. Nah, pertanyannya… apakah pendidikan yang kita dapat di negeri ini sudah cukup punya tujuan membentuk kita menjadi manusia modern lengkap dengan skill setnya untuk menari bersama zaman? Well, layaknya perayaan-perayaan lain seperti ulang tahun dan tahun baru, mari kita manfaatkan momen perayaan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei kemarin untuk berefleksi dan berkontemplasi agar bisa lebih baik di masa depan! Kru belia sempat ngobrol dengan Pak Iwan Hermawan, seorang pemerhati pendidikan sekaligus guru di SMAN 19 Bandung yang bilang bahwa masalah utama dalam pendidikan di Indonesia adalah kurikulum yang terlalu gemuk sehingga siswa dibebani begitu banyak mata pelajaran. ”Padahal, dalam pengertian di undang-undang dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif. Nah, bagaimana siswa mau aktif kalau mereka terlalu banyak dijejali ilmu dari guru-guru, coba berapa banyak yang harus diserap siswa kalau mata pelajarannya saja ada 18 macam?” tutur Pak Iwan. Bapak yang satu ini juga mengatakan, sebetulnya secara konsep pendidikan di Indonesia ini boleh dibilang sangat baik. Lihat saja di UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional yang berbunyi, ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Bahkan, Pak Iwan berani menyatakan kalau mau diadu sama negara lain, konsep kita ini hampir sempurna. Sayang, pada kenyataannya belum bisa memenuhi fungsifungsi tersebut dengan seharusnya. Di Indonesia, kerap kali pendidikan hanya dititikberatkan pada bidang akademik atau keilmuannya dan aspek-aspek lain kurang diperhatikan. Potensi-potensi lain dari anak harus mulai benarbenar diperhatikan agar bangsa kita mampu mengejar dan beradaptasi sesuai zaman. ”Begitu pun pola pendidikan, kita harus segera meninggalkan pola zaman dahulu. Kini sekolah harus dibuat semenyenangkan mungkin. Ada satu cerita, seorang murid bertanya pada gurunya, ’Pak, saya kan sekolah di sini kan keluar uang, tapi kenapa saya datang hanya untuk dimarahi dan belajar tanpa henti?’ Jangan sampai ada murid yang bertanya begitu lagi,” ujar Pak Iwan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dibenahi dari pendidikan di negeri ini adalah mereduksi beban belajar anak-anak alias mengurangi jumlah mata pelajaran. Memang hal ini adalah suatu tindakan yang sangat besar karena berkurangnya mata pelajaran tentu akan berdampak pada berkurangnya kebutuhan guru sehingga

B

dikhawatirkan akan banyak guru menganggur. Belum lagi para pengusaha buku pelajaran atau LKS juga akan mengalami penurunan omzet yang signifikan. Tapi seperti Bung Karno bilang, dalam suatu perjuangan memang membutuhkan pengorbanan dan kekhawatiran yang ada pasti ada solusinya. Di Indonesia sendiri sistem pendidikan bisa dibilang cukup fleksibel jika dilihat dari frekuensi bongkarpasangnya kurikulum. Bisa jadi bongkar-pasang ini adalah bentuk upaya penyesuaian dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, kurikulum 2006 lalu, perkembangan gadget dan teknologi belum sepesat sekarang, maka kurikulum yang baru bakal mengakomodasi kebutuhan tersebut supaya masyarakat bisa lebih mengimbangi perkembangan teknologi. ”Dengan melihat kondisi tersebut, kita harus membuat kurikulum yang mengikuti zaman. Kalau nggak, standar pendidikan kita bisa tertinggal dari negara-negara ASEAN,” ujar Pak Abur Mustikawanto, Kepala Seksi Pelestarian dan Pembelajaran BPBDK Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Membuat kurikulum yang ”useful” apalagi diterapkan sama rata secara nasional memang merupakan suatu hal sulit. Tapi menurut Pak Abur, pembuatan kurikulum juga melibatkan berbagai suku di Indonesia sehingga kurikulum tersebut bisa masuk dan mengeksplor berbagai hal mulai dari seni, budaya, sampai teknologi. Perubahan kurikulum di Indonesia biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali dengan memasukan berbagai pertimbangan seperti mengakomodasi perkembangan zaman, mendasarkan karakter, agama, dan budaya lokal serta bersifat fleksibel alias bisa digunakan di berbagai kondisi. Akan tetapi, pergantian kurikulum juga menurut Pak Abur, bukan suatu hal yang gampang karena selalu ada resistensi atau penolakan dari masyarakat ataupun guru. Ya, seperti yang terjadi pada kurikulum 2013 kemarin. Melihat kondisi tersebut, yang jadi pertanyaan apakah perubahan kurikulum ini juga dibarengi kesiapan perangkat pendidikan lainnya seperti sarana, prasarana, dan SDM? Well, menurut Pak Abur, dalam hal ini pemerintah sudah mengakomodasi dengan adanya sertifikasi guru. Dana dari sertifikasi tersebut bisa digunanakan untuk membeli kebutuhan pendukung pembelajaran. Selain itu, di sisi insfrastruktur, sekolah juga sudah ditunjang dengan adanya dana hibah untuk membuat laboratorium komputer. ”Saat ini di beberapa sekolah khususnya di desa, kita juga sudah mendatangkan bule Amerika untuk mendampingi guru bahasa Inggris,” jelas Pak Abur. Menyinggung kurikulum yang ideal bagi pendidikan di Indonesia, Pak Suhendiana menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang ideal karena menurutnya, kesuksesan kurikulum tidak dapat dinilai secara langsung, melainkan baru bisa dirasakan beberapa tahun ke depan. ”Tidak ada yang ideal tapi sedang menuju ke sana makanya terus diperbaiki,” tutup Kepsek SMAN 1 Cililin ini. All in all, begitulah kira-kira sebagian kecil dari kompleksitas pendidikan di Indonesia. Balik lagi ke kamu, apakah menurutmu pendidikan yang didapat di sekolah bisa kamu pakai untuk mengimbangi zaman atau bahkan -- seperti kata Mandela -- mengubah dunia? ***

MENURUT saya, kalau pendidikan mau baik harus dimulai dari diri kita sendiri dan menyadari bahwa pendidikan itu penting. Kita jangan sampai bolos sekolah soalnya banyak juga yang pengen sekolah, tapi nggak bisa. Makanya, selagi kita mampu kita harus manfaatkan sebaik mungkin.

Feri Setiawan, SMKN 8 Bandung PENDIDIKAN Indonesia agar lebih baik tentunya harus merata dari segi materi dan infrastrukturnya juga. Pemerintah dan masyarakat harus turut membantu. Kita sebagai pelajar harus bisa menjalankannya sebaik mungkin.

Aji Cahya K, SMKN 5 Bandung MENURUT saya, yang pertama adalah gurunya karena suka ada guru yang berbeda saat menyampaikan materi jadi ke anaknya bingung. Harus dari atasnya dulu jadi ngasih materi ke siswa udah mantap jadi materinya tidak membingungkan. Terus kenyamanan kelas juga sama.

Shadilla F, SMA Kartika XIX-I MENURUT aku dari gurunya sih, kadang siswa tuh suka males karena gurunya kurang disukai. Pengennya siswa tuh dapet guru yang gaul yang sejalan sama siswanya. Terus keadaan sekolahnya juga harus nyaman dan dari siswanya sendiri harus punya rasa semangat yang tinggi.

Ciavi Adinda, SMAN 25 Bandung

MANY HIGHLY TALENTED, BRILLIANT, CREATIVE PEOPLE THINK THEY'RE NOT - BECAUSE THE THING THEY WERE GOOD AT AT SCHOOL WASN'T VALUED, OR WAS ACTUALLY STIGMATIZED.

agniahadini@yahoo.com hanifauziaramadhani@gmail.com rani_mulyati@yahoo.co.id dhianynadya@gmail.com

GURUNYA harus produktif soalnya kalau gurunya semangat buat ngasih pelajaran muridnya juga bakalan lebih semangat buat belajar. Pokoknya yang memotivasi. Tapi kita sebagai murid juga harus sadar kalau belajar itu penting buat masa depan jadi jangan mainmain dan harus ngerti posisi gurunya kaya gimana. Pokoknya di antara guru dan murid itu harus punya chemistry.*** rani_mulyati@yahoo.co.id

- Ken Robinson

Semua Murid, Semua Guru P ERNAH nggak diminta tolong oleh seorang guru buat ngotak-ngatik perangkat elektronik di sekolah karena kamu lebih jago? Pernah ditanya-tanya soal penggunaan aplikasi di smartphone oleh guru kamu yang baru bikin akun media sosial karena kamu lebih paham? Atau pernah disuruh desain proposal dan poster buat acara sekolah karena kamu lebih tahu style desain yang lagi ngetren? Well, kayaknya hal beginian lazim banget terjadi, ya? Maklum, kamu dan gurumu lahir di zaman yang bener-bener berbeda. Nggak heran kalau ada beberapa hal yang kamu lebih menguasai karena emang hal tersebut baru ada di zamannya kamu. Kondisi inilah yang bikin peran guru dan murid di sekolah agak mengalami pergeseran. Pasalnya, sekarang nggak cuma guru yang bisa ngajarin muridnya. Sekarang murid juga bisa jadi guru dalam beberapa hal seperti yang disebutkan barusan. Jadi, istilah ”semua murid, semua guru” pun rasanya nggak berlebihan untuk menggambarkan pihakpihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Seperti yang dibilang Pak Iwan Hermawan bahwa pada dasarnya zaman sekarang ini kedudukan guru dan murid bukan lagi sebagai subjek -- objek melainkan subjek -- subjek. Murid adalah bagian

dari narasumber di kelas. Ini sebenarnya akan berdampak sangat baik asalkan sang guru bisa cepat beradaptasi dan mampu memosisikan diri dengan baik. Salah satu contohnya bisa dengan tidak lagi melarang murid menggunakan ponsel di kelas, tapi malah menjadikan ponsel itu alat belajar, misalnya untuk cari bahan referensi di internet lalu saling berbagi linknya lewat grup WhatsApp yang berisi guru dan murid. Itu bisa jadi ajang saling menambah dan berbagi pengetahuan baik bagi murid maupun guru tersebut. Di sisi lain, keadaan ”semua murid, semua guru” juga berpotensi membuat kewibawaan guru berkurang karena murid merasa dirinya lebih bisa. Inilah mengapa guru zaman sekarang dilarang gaptek alias gagap teknologi. ”Gak ada alasan buat guru gak punya hape canggih, minimal android. Guru harus bisa, harus gaul. Lagipula di ujian kompetensi guru pun sekarang sudah berbasis teknologi, semua serba komputer,” kata Pak Iwan. Nah, untuk menjaga kewibawaan guru dan rasa hormat murid terhadap guru, seperti yang tadi sudah dibahas. Guru harus mau belajar, guru tidak merasa paling benar, dan yang paling penting, mengapresiasi murid yang mau berbagi pengetahuannya pada sang guru. Apresiasi berbentuk pujian atau ucapan terima kasih ini menurut Pak Iwan sangat penting karena akan membuat murid merasa dihargai sehingga ia akan balik menghargai gurunya yang mau belajar. Bahkan, jauh lebih baik lagi jika semangat ingin tahu guru menular pada siswa sehingga proses transfer ilmu akan terus berkesinambungan. *** hanifauziaramadhani@gmail.com dhianynadya@gmail.com

22> Skul: SMA Negeri 1 Cililin

23> MusicTerritory: Showcase Mustache and Beard: Kisah Manusia Pangkat Tiga

23> Aksi: Lomba Musik Angklung Padaeng (LMAP)

23> Aksi: Broadway Comes to TIS Bandung

23> Review:


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Epaper Belia 3 Mei 2016 by cnexus kidz - Issuu