20 minute read

BAB XII Pemberdayaan Kader dalam Mengawal Perilaku Keluarga untuk Pencegahan Stunting

12BAB XII

Pemberdayaan Kader dalam Mengawal Perilaku Keluarga untuk Pencegahan Stunting

Advertisement

Laili Rahayuwati1, Ikeu Nurhidayah2, Kusman Ibrahim3 , Arlette Suzy Puspa Pertiwi4 1, 2, 3Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran 4Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran

Abstrak

Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi salah satu pusat perhatian di Indonesia saat ini karena dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Pentingnya keluarga sebagai lingkungan terkecil memiliki tugas membentuk sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas yang terbebas dari stunting. Dalam melakukan fasilitasi keluarga dalam melakukan penanggulangan stunting diperlukan kader kesehatan. Penelitian ini bertujuan melakukan pemberdayaan kader kesehatan dalam penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga. Desain riset adalah kuantitatif. Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh kader kesehatan di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Teknik sampel dilakukan dengan cluster sampling dan didapatkan 119 kader kesehatan. Pemberdayaan dilakukan melalui pendidikan kesehatan dan kegiatan pendampingan pada kader. Pada kegiatan ini dilakukan pre-test dan post-test untuk mengevaluasi pengetahuan kader kesehatan dan perubahan perilaku keluarga dengan indikator rumah sehat, balita sehat, dan keaktifan ke posyandu. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner untuk analisis kader dan observasi situasi lingkungan rumah keluarga untuk melihat perubahan perilaku. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat. Data disajikan dalam distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik saat pre-test (84,0%)

256

dan juga hampir seluruh kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik saat post-test (93,3%). Terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara nilai pre-test dan nilai post-test (nilai p<0,05). Pada hasil perubahan perilaku masyarakat juga didapatkan hasil yang signifikan. Sehingga puskesmas, dinas kesehatan, dan pihak terkait harus secara berkesinambungan memberikan pendidikan kesehatan dan motivasi kepada kader kesehatan untuk terus berperan dalam kesehatan masyarakat.

Pendahuluan

Kondisi kesehatan di Indonesia saat ini menghadapi berbagai perubahan dikarenakan adanya transisi epidemiologis dan perubahan tatanan sosial dan ekonomi secara global. Hal ini berakibat pula pada pelayanan kesehatan yang dihadapkan dengan berbagai macam masalah kesehatan berupa berbagai macam beban penyakit (multiple burden of disease). Masalah kesehatan tersebut bukan hanya masalah kematian ibu dan bayi yang tinggi, melainkan pula penyakit-penyakit menular maupun tidak menular, seperti kekurangan gizi dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi dan diabetes melitus (Davis et al., 2019). Masalah kualitas kependudukan yang rendah salah satunya ditandai dengan prevalensi masalah gizi dan stunting yang akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia dimana dapat berakibat pada hilangnya generasi muda serta berdampak pada keadaan perekonomian bangsa di masa yang akan datang (Fauzi, 2012). Di tengah beban berbagai macam penyakit, stunting saat ini menjadi perhatian karena merupakan produk dari permasalahan klasik yang belum terselesaikan. Stunting pada balita merupakan refleksi masa depan Indonesia. WHO telah mencanangkan SDGs dengan salah

257

satu target adalah menghilangkan kelaparan. Tahun 2025 diharapkan persoalan gizi seperti stunting dan persoalan gizi buruk dapat teratasi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2017, angka kejadian stunting di Indonesia melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Bappenas (2013) menyatakan bahwa kejadian anak pendek pada usia balita berhubungan dengan masalah berat badan pada saat lahir < 2.500 gram (Berat Badan Lahir Rendah [BBLR]. Usia balita, khususnya usia anak di bawah dua tahun atau baduta (0-24 bulan) merupakan kelompok usia tertinggi yang mengalami kejadian stunting, dengan persentase sebesar 18,5 persen kategori pendek dan 23,0 persen dengan ketegori sangat pendek (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesian, 2013). Masa anak di bawah dua tahun, temasuk pada periode emas yaitu 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). HPK merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan, sehingga diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya (Astuti, 2018; Kurniasih, 2010). Masalah gizi terutama stunting pada masa ini dapat menghambat perkembangan anak dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya, seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit degeneratif dan tidak menular, penuruan produktivitas sehingga menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (UNICEF/WHO/World Bank Group, 2018; United Nations International Children’s Emergency Fund [UNICEF], 2013; World Health Organization [WHO], 2014, 2019).

258

Isu stunting sekarang menjadi prioritas pemerintah dan memerlukan kolaborasi dari berbagai stakeholder. Masalah stunting bukan merupakan masalah kesehatan semata. Perlu kerjasama lebih baik antara lembaga pemerintah di tingkat nasional dan daerah, juga dengan sektor swasta, organisasi masyarakat, dan akademisi. Besarnya dampak dan kerugian yang akan ditanggung akibat stunting, pemerintah berkomitmen untuk menekan angka stunting dengan berbagai program diantaranya dengan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Semua kegiatan intervensi gizi spesifik dapat dilaksanakan di posyandu hingga penguatan dan pengaktifan posyandu sangat diperlukan (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K], 2017). Temuan tim akreditasi puskesmas di lapangan menyatakan bahwa selain kurangnya tenaga kesehatan di puskesmas, didapatkan juga kemampuan/keterampilan tenaga kesehatan di puskesmas juga masih kurang karena banyak tenaga honorer yang belum terlatih. Kenyataan Survei Mawas Diri (SMD) dan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) tidak berjalan semestinya. Untuk mendukung hal tersebut, salah satunya adalah dengan membuat rumusan baru dalam meningkatkan partisipasi masyarakat agar bebas stunting, baik melalui tingkat internal keluarga, maupun pemberdayaan masyarakat diantaranya dengan melakukan orientasi kader secara berjenjang dari tingkat provinsi hingga tingkat desa, dan penguatan posyandu. Keluarga merupakan wahana pertama bagi perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu perlu adanya

259

upaya meningkatkan kualitas lingkungan baik fisik maupun non fisik agar keluarga harmonis dan kondusif sehingga pertumbuhan dan perkembangan anggota-anggota keluarganya dapat terwujud. Pembangunan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga (PK3) dilaksanakan dengan berlandaskan pada delapan fungsi keluarga yang meliputi fungsi agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan, pendidikan sosial, ekonomi, reproduksi, dan pelestarian lingkungan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016). Ketahanan keluarga mencakup ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-psikologis, dan ketahanan sosial-budaya (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016). Ketahanan fisik kaitannya dengan pecegahan dan penanganan masalah stunting terkait dengan kecukupan pangan, kecukupan gizi, dan pemeliharaan kesehatan keluarga. Ketahanan ekonomi mencakup kemampuan materil keluarga dan ketahanan ekonomi keluarga dalam mengatasi permasalahan ekonomi berdasarkan sumber daya yang dimiliki keluarga untuk mencegah dan menangani stunting. Ketahanan sosial-psikologis terkait dengan peran keluarga sebagai sistem terkecil di masyarakat yang memiliki peranan penting sebagai tempat ibu dan anak bersosialisasi yang positif, termasuk pola asuh terkait nutrisi dan gizi pada anak dan ibu hamil. Sementara ketahanan sosial-budaya dalam upaya pencegahan stunting mencakup penggunaan fasilitas sosial untuk pemantauan kesehatan dan nilai-nilai budaya keluarga terkait gizi dan

260

pemeliharaan kesehatan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016). Saat ini sangat diperlukan penguatan ketahanan keluarga dalam pencegahan dan penanganan stunting pada masa 1.000 HPK dengan meningkatkan peran serta keluarga khususnya di Provinsi Jawa Barat yang merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar di Indonesia, sehingga akan merefleksikan permasalahan di Indonesia secara keseluruhan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesian, 2013). Peran serta keluarga salah satunya dapat difasilitasi oleh kader kesehatan. Kader kesehatan memiliki peran penting bagi masyarakat yaitu menjembatani antara petugas kesehatan dengan masyarakat dalam memberikan informasi terkait pengetahuan tentang kesehatan, salah satunya tentang pertumbuhan dan perkembangan anak (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K], 2017). Peranan kader posyandu terkait dengan masalah gizi anak terutama stunting yaitu mampu melakukan deteksi dini stunting yang salah satunya dilakukan dengan penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan anak secara baik dan benar yang dilakukan secara berkala pada setiap bulannya dan akan dicatat pada sistem Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan penyuluhan kepada orangtua tentang ciri-ciri anak stunting dan pencegahan serta penatalaksanaan stunting yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk mencegah terjadinya stunting pada balita (Astuti, 2018). Kader kesehatan masyarakat diharapkan berperan aktif dan mampu menjadi pendorong, motivator, dan penyuluh bagi

261

kesehatan masyarakat, serta membantu masyarakat mengidentifikasi dan menjawab kebutuhan kesehatan mereka sendiri (Iswarawanti, 2010; Swee-Hock, 2018). Seorang kader harus memiliki persyaratan dasar yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni agar mereka dapat maksimal dalam menjalankan peranannya. Kader sebelum menjalankan tugasnya akan didampingi oleh petugas kesehatan dari puskesmas dengan diberikan pengetahuan dan pelatihan agar efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Iswarawanti, 2010). Teori Bloom (1956) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan adalah hasil dari tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Penginderaan tersebut merupakan panca indera manusia yang meliputi indera pendengaran, penglihatan, penghidu, peraba, serta perasa. Namun, sebagian besar pengetahuan seseorang didapat melalui indera pendengaran dan penglihatan (Notoatmodjo, 2014).

Provinsi Jawa Barat merupakan populasi terbesar di Indonesia yang mempunyai permasalah stunting terbesar pula. Dari 27 kota/kabupaten terdapat 13 kota/kabupaten (49%) yang menjadi prioritas target intervensi stunting nasional. Sebanyak 13 kota/kabupaten tersebut di antaranya Kota Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Bandung, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab. Kungingan, Kab. Cirebon, Kab. Sumedang, Kab. Indramayu, Kab. Subang, Kab. Karawang, dan Kab. Bandung Barat

262

(Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], 2019; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2017). Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten dengan angka kejadian stunting yang cukup tinggi. Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan, 21 kelurahan, dan 421 desa. Adapun Kabuaten Tasikmalaya juga merupakan salah satu kabupaten dengan angka kejadian stunting yang cukup tinggi. Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 351 desa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan suatu tindakan melalui kegiatan Pemberdayaan Kader Kesehatan dalam Penanggulangan Stunting melalui Ketahanan Keluarga. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk kegiatan orientasi kepada para kader kesehatan yang akan memotivasi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui ketahanan keluarga. Diharapkan dengan kedatangan masyarakat ke posyandu dapat mendapatkan informasi yang tepat, sehingga dapat melakukan pencegahan kasus stunting pada periode kemudian, serta kegiatan monitoring dan evaluasi untuk mengevaluasi kefektifan kegiatan yang dilaksanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan kader kesehatan pre dan post pemberdayaan kader kesehatan dalam penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan kader kesehatan pre dan post pemberdayaan kader kesehatan dalam

263

penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kader kesehatan di Wilayah Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan accidental sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan jumlah kader kesehatan yang hadir untuk mengikuti kegiatan pemberdayaan kader kesehatan dalam penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga di Kabupaten Garut sebanyak 59 orang kader kesehatan dan di Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 60 orang kader kesehatan. Sehingga total terdapat 119 orang kader kesehatan. Peneliti membuat instrumen untuk mengidentifikasi pengetahuan kader kesehatan dalam penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga berdasarkan pada program Kementerian Kesehatan RI (2019) tentang “Cegah Stunting itu Penting” dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2016) tentang ketahanan keluarga. Instrumen berupa kuesioner dengan pilihan tunggal berjumlah 12 pertanyaan. Skala pengukuran menggunakan skala Guttman, kuesioner nomor 1-12 diberi skor 1 untuk jawaban ya dan 0 untuk jawaban tidak. Kuesioner berisi tentang pencegahan stunting dengan sepuluh langkah intervensi utama: 1) nutrisi pada ibu hamil; 2) tablet tambah darah selama kehamilan dan masa nifas, remaja dan calon pengantin untuk mencegah anemia; 3) melakukan inisiasi menyusui dini; 4) mengatasi kekurangan yodium; 5) pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan; 6) pemberian ASI hingga 23 bulan didampingi MP-ASI; 7)

264

menanggulangi kecacingan; 8) memberikan imunisasi dasar lengkap; 9) akses terhadap air bersih; dan 10) penggunaan jamban dan rumah sehat dan terkait dengan ketahanan keluarga. Instrumen telah dilakukan uji konten dengan pakar/ahli keperawatan komunitas dan keperawatan anak. Pengambilan data dilakukan sekitar bulan September dan Oktober tahun 2019. Data dianalisis menggunakan analisis univariat. Pengetahuan dikategorikan baik apabila 76-100% jawaban benar, pengetahuan dikategorikan cukup apabila 56-75% jawaban benar, dan pengetahuan dikategorikan kurang apabila <56% jawaban benar. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Penelitian ini mendapatkan uji etik dari Komite Etik Universitas Padjadjaran untuk menerapkan serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika penelitian diantaranya otonomi, beneficience, non-maleficience, justice, fidelity, dan veracity.

Hasil

Secara makro keterkaitan antara stunting dengan fungsi keluarga digambarkan pada gambar 12.1 berikut ini. Penelitian ini merupakan intervensi terbatas pada masyarakat di Jawa Barat.

265

Gambar 12.1 Model Keterkaitan Fungsi Keluarga dengan Stunting

Hasil penelitian dapat digambarkan melalui beberapa tabel berikut ini. Tabel 12.1 menjelaskan tentang kondisi demografi kader kesehatan.

Tabel 12.1 Data Demografi Kader Kesehatan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya (N = 119)

Variabel

Tingkat Pendidikan

SD SMP

Jumlah Frekuensi (f) Persentase (%)

27 63 22,7 52,9

SMA Diploma Sarjana

Total Pernah mengikuti pelatihan

Tidak Pernah Pernah 20 2 7

119

56 63 16,8 1,7 5,9

100,0

47,1 52,9

Total 119 100,0

266

Tabel 12.1 menunjukkan bahwa sebagian besar kader kesehatan memiliki latar belakang pendidikan terakhir SMP (52,9%) dan sebagian kecil memiliki latar belakang pendidikan Diploma (1,7%). Namun ada juga kader kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana (5,9%). Apabila ditinjau dari pengalaman dalam mengikuti pelatihan didapatkan bahwa sebagian besar kader kesehatan pernah mengikuti pelatihan (52,9%). Adapun pelatihan yang pernah diikuti oleh kader kesehatan diantaranya terkait pelatihan tentang PHBS, Penyakit TB dan HIV, Stunting, KDRT, dan Penyakit Kaki Gajah.

Tabel 12.2 Pengetahuan Kader Kesehatan pada Pre Kegiatan dan Post Kegiatan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya (N = 119)

Variabel Pre-test Post-test Frekuensi (f) Persentase (%) Frekuensi (f) Persentase (%)

Kurang Cukup Baik Total

2 1,7 3 2,5 17 14,3 5 4,2 100 84,0 111 93,3 119 100,0 119 100,0

Pada tabel 12.2 dapat dilihat bahwa hampir seluruh kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik saat pre-test (84,0%) dan sebagian kecil kader kesehatan memiliki pengetahuan yang kurang saat pre-test (1,7%). Berdasarkan hasil tabel 12.2 diatas, didapatkan juga hampir seluruh kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik saat post-test (93,3%) dan terdapat peningkatan pengetahuan antara pre-test dan post-test.

267

Tabel 12.3 Perbedaan Pengetahuan Kader Kesehatan pada Pre Kegiatan dan Post Kegiatan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya (N = 119)

Variabel Mean SD SE Nilai p N

Pre-test 10,63 1,16 0,10 0,022 119 Post-test 10,85 1,086 0,10

Tabel 12.3 menunjukkan nilai rata-rata (mean) test pada pretest adalah 10,63 dengan standar deviasi 1,16. Pada pengukuran post-test didapatkan nilai rata-rata post-test adalah 10,85 dengan standar deviasi 1,086. Berdasarkan tabel 12.3 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata antara pengukuran pre dan post yaitu sebesar 0,218. Hasil uji statistik t dependen (paired t-test) didapatkan nilai 0,022 maka dapat disimpulkan terdapat adanya perbedaan yang signifikan antara nilai pre-test dan nilai post-test (nilai p<0,05).

Tabel 12.4 Hasil Crosstab Data Demografi Kader Kesehatan dengan Pengetahuan Post Kegiatan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya (N = 119)

Variabel Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total f % f % f % f % Tingkat pendidikan

SD 2 66,7 3 60,0 22 19,8 27 22,7 SMP 1 33,3 2 40,0 60 54,1 63 52,9 SMA 0 0,0 0 0,0 20 18,0 20 16,8 Diploma 0 0,0 0 0,0 2 1,8 2 1,7 Sarjana 0 0,0 0 0,0 7 6,3 7 5,9

Pernah mengikuti pelatihan

Tidak pernah 3 100,0 1 20,0 52 46,8 56 47,1

268

Variabel Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total f % f % f % f %

Pernah 0 0,0 4 80,0 59 53,2 63 52,9

Tabel 12.4 menunjukkan bahwa kader kesehatan yang memiliki nilai post-test pengetahuan baik adalah pada kader kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan SMP (54,1%). Pada tabel 12.4 juga menunjukkan bahwa sebagian besar kader kesehatan (53,2%) yang pernah mengikuti pelatihan memiliki nilai post-test pengetahuan yang baik.

Pembahasan

Pemberdayaan kader kesehatan dalam penanggulangan stunting melalui ketahanan keluarga dilakukan untuk memotivasi masyarakat dalam meningkatkan partisipasi masyarakat melalui ketahanan keluarga untuk pencegahan stunting. Melalui kegiatan pemberdayaan ini kader tampak antusias bertanya, aktif mendengarkan, dan bertanya berbagai hal terkait dengan tema kegiatan. Dalam hal ini kader kesehatan dapat berperan dalam menjembatani petugas kesehatan dengan masyarakat diantaranya dalam hal memberikan informasi terkait pendidikan kesehatan, salah satunya tentang pertumbuhan dan perkembangan anak (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K], 2017). Sehingga dalam hal ini kader kesehatan harus memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait kesehatan salah satunya terkait dengan stunting.

269

Kader kesehatan harus mampu melakukan deteksi dini stunting yang salah satunya dilakukan dengan penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan anak secara benar dan tepat yang dilakukan secara berkala pada setiap bulannya dan akan dicatat pada sistem Kartu Menuju Sehat (KMS). Selain itu, kader kesehatan juga harus mampu memberikan penyuluhan kepada orangtua terkait ciri-ciri anak stunting dan pencegahan serta penanggulangannya yang dapat dilakukan orangtua untuk mencegah terjadinya stunting pada balita (Astuti, 2018). Kader kesehatan diharapkan berperan aktif dan mampu menjadi pendorong, motivator, dan penyuluh bagi kesehatan masyarakat, serta membantu masyarakat mengidentifikasi dan menjawab kebutuhan kesehatan mereka sendiri (Dewi & Anisa, 2018; Iswarawanti, 2010; Swee-Hock, 2018). Seorang kader kesehatan harus memiliki persyaratan dasar yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni agar mereka dapat maksimal dalam menjalankan peranannya (Iswarawanti, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik saat pre-test dan posttest kegiatan, serta terdapat peningkatan pengetahuan antara pre-test dan post-test kegiatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa rata-rata kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik setelah dilakukan pemberdayaan melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan (Adistie et al., 2017; Agustin et al., 2012; Hendrawati et al., 2018).

270

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hal ini yaitu tingkat pendidikan kader kesehatan yang berada pada jenjang pendidikan menengah ke atas. Selain itu, kader kesehatan juga telah memiliki berbagai pengalaman dalam mengikuti pelatihan diantaranya terkait dengan stunting. Hal ini sejalan dengan Iswarawanti (2010) dan Agustin et al. (2012) yang menyatakan bahwa kader sebelum menjalankan tugasnya didampingi oleh petugas kesehatan dari puskesmas dengan diberikan pengetahuan dan pelatihan agar efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan seperti pelatihan sangat perlu untuk dilakukan, untuk meningkatkan pengetahuan serta keterampilan seseorang untuk meningkatkan keahliannya. Notoatmodjo (2014) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman dapat memengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyak pelatihan yang pernah diikuti maka pengetahuan juga akan semakin bertambah. Hal ini pun terjadi pada kader kesehatan yang dapat terlihat pada hasil tabel 4 yang menunjukkan semakin tinggi pendidikan dan semakin banyak pelatihan yang diikuti, maka kader kesehatan memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan kader kesehatan baik terkait dengan stunting dapat disebabkan karena kader kesehatan selalu berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan stunting di daerahnya. Selain itu, kader kesehatan juga memiliki motivasi untuk selalu meningkatkan diri baik secara keilmuan maupun prestasi kerja sehingga terus mendorong mereka

271

untuk tetap belajar. Para kader kesehatan pun mengungkapkan kalau mereka merasa senang apabila diberikan pelatihan-pelatihan karena dapat meningkatkan pengetahuan mereka. Teori Bloom (1956) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan adalah hasil dari tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Penginderaan tersebut merupakan panca indera manusia yang meliputi indera pendengaran, penglihatan, penghidu, peraba, serta perasa. Tetapi sebagian besar pengetahuan seseorang didapat melalui indera pendengaran dan penglihatan (Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang. Perilaku seseorang yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Hasil pre-test dan post-test kegiatan menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan pengetahuan kader kesehatan dengan nilai p=0,022 dengan perbedaan nilai rata-rata antara pengukuran pre-test dan post-test yaitu sebesar 0,218. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pelatihan, penyuluhan, atau pendidikan kesehatan dapat memberikan penyegaran bagi kader kesehatan sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya. Hal ini juga sejalan dengan berbagai hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Adistie et al. (2017); Andajani (2019); Ermayani et al. (2019); dan Hendrawati et al. (2018) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara hasil pengetahuan kader kesehatan pada

272

saat pre-test dan post-test yang mengalami peningkatan pengetahuan. Peningkatan pengetahuan kader kesehatan tentang stunting akan berdampak baik pada pengetahuan kader kesehatan dalam melakukan deteksi dini, pencegahan, dan penanggulangan stunting pada anak. Ilmu yang didapatkan kader kesehatan akan ditransformasikan kepada masyarakat sekitarnya sehingga hal ini pun berdampak positif bagi orang tua diantaranya dapat melakukan penanggulangan stunting berbasis ketahanan keluarga yang difasilitasi oleh kader kesehatan yang merupakan perpanjangan tangan petugas kesehatan sehingga angka kejadian stunting dapat berkurang. Dengan demikian maka ilmu yang diberikan kepada kader kesehatan harus selalu up to date dan dilakukan secara rutin karena ilmu akan terus berkembang agar kader kesehatan pun terampil. Penelitian yang dilakukan oleh Miskin et al. (2016) menunjukkan bahwa peran kader kesehatan berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan ibu. Adanya program pemberdayaan kader kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan kesehatan, dan penyegaran lainnya dirasakan sangat bermanfaat. Oleh karena itu untuk mencapai keberhasilan program dalam menurunkan kejadian stunting, maka diperlukan dari bebagai pihak terkait diantaranya pemerintahan desa, puskesmas, dan dinas kesehatan. Sehingga diperlukan langkah nyata untuk mendorong kader kesehatan yang ada di wilayah desa dapat berfungsi dengan baik dan berkesinambungan.

273

Pengetahuan mumpuni yang dimiliki kader kesehatan dapat memfasilitasi penanggulangan stunting yang dilakukan orang tua dengan berbasis pada ketahanan keluarga yang terdiri dari ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-psikologis, dan ketahanan sosial-budaya (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016). Orang tua dapat terampil melakukan penanggulangan stunting berdasarkan ketahanan keluarga ini dapat terwujud dengan peran serta dari kader kesehatan dalam mentransformasikan ilmunya yang didapatkan dari kegiatan pemberdayaan kesehatan.

Simpulan

Kegiatan pemberdayaan kader kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan, penyuluhan, dan penyegaran lainnya terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan kader kesehatan terkait deteksi dini, pencegahan, dan penanggulangan stunting dengan berbasis pada ketahanan keluarga. Kader kesehatan dapat berperan aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat, salah satunya terkait dengan deteksi dini, pencegahan, dan penatalaksanaan stunting sehingga orang tua dapat terampil melakukan penanggulangan stunting berdasarkan ketahanan keluarga.

Rekomendasi

Kader kesehatan sebagai perpanjangan tangan petugas kesehatan dan berdampingan langsung dengan masyarakat memiliki tanggung jawab dalam penyampaian informasi kesehatan terkait

274

stunting di lingkungan masyarakat. Kader kesehatan juga dapat membantu orang tua dalam melakukan pencegahan dan penatalaksanaan stunting pada anak. Sementara itu, puskesmas, dinas kesehatan, dan pihak terkait diharapkan secara berkesinambungan dapat memberikan pendidikan kesehatan dan motivasi kepada kader kesehatan untuk dapat terus berperan aktif dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Daftar Pustaka

Adistie, F., Maryam, N. N. A., & Lumbantobing, V. B. M. (2017).

Pengetahuan Kader Kesehatan Tentang Deteksi Dini Gizi

Buruk pada Balita. Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, 6(3), 173–177. Agustin, A., Rakhmawati, W., & Nurlita, L. (2012). Gambaran

Pengetahuan Kader di Posyandu Desa Cipacing tentang

Perkembangan Balita. Student E-Journal, 1(1), 169–172. Andajani, S. (2019). The Influence of Health Education on Diabetes

Mellitus on Knowledge Improvement of Diabetes Mellitus

Cadres in the Working Area of Medokan Ayu Health Center,

Surabaya, Indonesia. Folia Medica Indonesiana, 55(3), 229. https://doi.org/10.20473/fmi.v55i3.15507 Astuti, S. (2018). Gerakan Pencegahan Stunting Melalui

Pemberdayaan Masyarakat Di Kecamatan Jatinangor

Kabupaten Sumedang. Dharmakarya, 7(3), 185–188. https://doi.org/10.24198/dharmakarya.v7i3.20034 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]. (2019). Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program

KKBPK (SKAP): Tahun 2019 Provinsi Jawa Barat. BKKBN

Provinsi Jawa Barat.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesian. (2013). Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan

275

Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Davis, J., Oaks, B., & Engle-Stone, R. (2019). The Double Burden of Malnutrition: A Systematic Review of Operational

Definitions (P22-006-19). Current Developments in Nutrition, 3(Supplement_1), 1–14. https://doi.org/10.1093/cdn/nzz042.p22-006-19 Dewi, R., & Anisa, R. (2018). The Influence of Posyandu Cadres

Credibility on Community Participation in Health Program.

Jurnal The Messenger, 10(1), 83. https://doi.org/10.26623/themessenger.v10i1.596 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2017). Kebijakan

Penanganan Stunting Di Jawa Barat. Ermayani, M., Nuryanti, A., & Kurniati, A. W. (2019). Peningkatan

Pengetahuan Kader Posyandu Balita di Kelurahan Jawa Kota

Samarinda tentang Tumbuh Kembang dan Kegawatdaruratan

Anak melalui Pendidikan Kesehatan. Jurnal Abdimas

Mahakam, 3(2), 115. https://doi.org/10.24903/jam.v3i2.501 Fauzi, C. A. (2012). Analysis of The Knowledge and Behaviour of

Adolescents Based on The General Guidelines of Balanced

Nutrition (PUGS) Point 6 , 10 , 11 , and 12. Kesehatan

Reproduksi, 3(4), 91–105. Hendrawati, S., Adistie, F., & Maryam, N. N. A. (2018).

Pemberdayaan Kader Kesehatan dalam Pencegahan dan

Penatalaksanaan Stunting pada Anak di Wilayah Kerja

Puskesmas Jatinangor. Dharmakarya, 7(4), 274–279. https://doi.org/10.24198/dharmakarya.v7i4.19527 Iswarawanti, D. N. (2010). Kader Posyandu: Peranan Dan

Tantangan Pemberdayaannya Dalam Usaha Peningkatan Gizi

Anak Di Indonesia. 13(04), 169–173. Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Cegah stunting, itu penting.

276

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2016). Pembangunan Ketahan Keluarga 2016. Kurniasih. (2010). Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang.

Gramedia.

Miskin, S., Rompas, S., & Ismanto, A. (2016). Hubungan

Pengetahuan Ibu Dan Peran Kader Dengan Kunjungan Balita

Di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Pineleng. Jurnal

Keperawatan UNSRAT, 4(1), 108855. Notoatmodjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cita. Swee-Hock, S. (2018). Community Health Worker Incentives and

Disincentives: How They Affect Motivation, Retention, and

Sustainability. https://doi.org/https://doi.org/10.1355/9789814762205-010 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K]. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak

Kerdil (stunting) (Vol. 1). UNICEF/WHO/World Bank Group. (2018). Levels and trensds in child malnutrition 2018. In Joint Child Malnutrition Estimates 2018 edition (pp. 1–15). https://doi.org/10.1016/S02666138(96)90067-4 United Nations International Children’s Emergency Fund [UNICEF]. (2013). Improving Child Nutrition, the Achievable

Imperative for Global Progress. World Health Organization [WHO]. (2014). WHA Global Nutrition

Targets 2025: Stunting Policy Brief. World Health Organization [WHO]. (2019). Prevalence of stunting.

277

This article is from: