
15 minute read
BAB VII Age Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 Tahun dan Stunting di Jawa Barat
7BAB VII
Age Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 Tahun dan Stunting di Jawa Barat
Advertisement
Fitri Wardhani1, Nuraini2 1,2 Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat
Abstrak
Salah satu faktor yang memengaruhi status kesehatan anak adalah status umur saat hamil dan bersalin pada seorang ibu. Kehamilan dan persalinan pada usia muda merupakan kehamilan yang berisiko, diantaranya dapat mengakibatkan kematian ibu, kematian bayi/anak, dan kekurangan gizi pada bayi/anak. Apabila kekurangan gizi berlangsung lama pada janin dan bayi sampai dengan usia anak dua tahun, maka akan terjadi stunting. Indikator untuk mengukur banyaknya kelahiran hidup per 1.000 wanita pada kelompok umur muda ini dapat dilihat melalui Age Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 tahun. Pada tahun 2018, prevalensi stunting dan ASFR 15-19 tahun di Provinsi Jawa Barat termasuk tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Jawa Barat. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data yang dikumpulkan adalah data yang sudah diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Balitbang Kesehatan. Sumber data yang digunakan berasal dari hasil Riskedas 2018 dan Susenas 2018. Data yang diambil untuk penelitian ini adalah data prevalensi stunting dan nilai ASFR 15-19 tahun dari setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat. Sehingga total sebanyak 27 nilai ASFR 15-19 tahun dan prevalensi stunting diambil untuk perhitungan analisis. Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Jawa Barat adalah metode korelasi dengan mengunakan koefisien korelasi Pearson. Hasil pengujian korelasi Pearson menunjukan koefisien korelasi signifikan dengan
151
nilai yang positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif (hubungan langsung) antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting. Artinya apabila di suatu daerah memiliki ASFR 15-19 tahun yang tinggi maka daerah tersebut cenderung memiliki prevalensi stunting yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka upaya penurunan stunting di daerah haruslah dibarengi dengan upaya penurunan ASFR 15-19 tahun, diantaranya melalui program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR) atau lebih dikenal Generasi Berencana.
Pendahuluan
ASFR (Age Specific Fertility Rate) adalah banyaknya kelahiran dari perempuan pada suatu kelompok umur tertentu (1549 tahun) pada suatu tahun tertentu per 1.000 perempuan pada kelompok umur dan pertengahan tahun yang sama. ASFR 15 – 19 tahun didefinisikan sebagai banyaknya kelahiran per 1.000 perempuan berumur 15-19 tahun (Samosir, 2010). Berdasarkan Susenas (2018), ASFR 15-19 tahun di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018 adalah sebanyak 31, yang artinya di Provinsi Jawa Barat, ada sejumlah 31 kelahiran hidup pada 1.000 perempuan kelompok umur 15-19 tahun. ASFR 15-19 tahun ini juga erat kaitannya dengan pernikahan dibawah usia 20 tahun (Nuryanto, 2017). Pernikahan pada usia ini dapat berisiko pada kesehatan ibu maupun anak yang dilahirkan. Pernikahan dini menurut WHO (World Health Organization) adalah pernikahan sebelum usia 18 tahun, yang berlaku pada laki-laki maupun perempuan, tetapi banyak terjadi atau umum terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
152
Berdasarkan data dari UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund), jumlah perempuan yang telah melakukan pernikahan dibawah usia 18 tahun di seluruh dunia mencapai 22 juta jiwa dan diperkirakan 280 juta lainnya berisiko menjadi pengantin sebelum mencapai usia 18 tahun. Pada tahun 2018, median UKP (Usia Kawin Pertama) Jawa Barat berdasarkan hasil Susenas tahun 2018 adalah 20 tahun di daerah perkotaan, dan 18 tahun di daerah pedesaan. Sedangkan berdasarkan hasil SKAP (Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program) BKKBN tahun 2019, median UKP di Jawa barat adalah 18,8 tahun. Hal ini menandakan bahwa umur kawin pertama di Provinsi Jawa Barat masih rendah (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], 2018). Salah satu dampak pernikahan dini adalah terganggunya organ reproduksi pada perempuan dan apabila terjadi kehamilan, termasuk kriteria kehamilan risiko tinggi. Selain itu dapat juga berdampak pada anak yang dilahirkannya. Seperti yang dijelaskan pada penelitian sebelumnya bahwa kecenderungan semakin dini usia ibu menikah, maka semakin meningkatnya persentase terjadinya anak pendek dan gizi kurang. Hal ini karena pada masa remaja terjadi puncak pertumbuhan massa tulang (peak bone mass/PBM) yang menyebabkan kebutuhan gizi pada masa ini lebih tinggi dibandingkan pada fase kehidupan lainnya. Apabila terjadi kehamilan di usia remaja, maka akan menyebabkan organ reproduksi perempuan belum siap untuk menerima kehamilan dan melahirkan sehingga dapat membahayakan ibu maupun bayi, karena
153
akan terjadi kompetisi antara asupan gizi pada janin dan proses kehamilan pada ibu (remaja). Ibu hamil dengan konsumsi asupan gizi yang rendah dan mengalami penyakit infeksi akan melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan/atau panjang badan bayi dibawah standar (Nuryanto, 2017). Stunting atau sering disebut pendek adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis dan stimulasi psikososial serta paparan infeksi berulang terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu pada saat janin hingga anak berusia dua tahun. Gejala stunting jangka pendek meliputi hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, perkembangan otak yang tidak maksimal sehingga dapat memengaruhi kemampuan mental dan belajar menjadi tidak maksimal, serta prestasi belajar buruk. Sedangkan gejala jangka panjang meliputi obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis. Dampak stunting pada umumnya terjadi disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi pada 1.000 HPK anak. Hitungan 1.000 HPK dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun. Permasalahan stunting dapat terjadi mulai janin dalam kandungan, namun baru terdeteksi ketika anak sudah menginjak usia dua tahun. Periode 1.000 HPK merupakan periode kritis terjadinya gangguan pertumbuhan, termasuk perawakan pendek. Gejala stunting diantaranya berat badan anak lebih pendek dibandingkan anak seusianya; proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya; berat badan
154
rendah untuk anak seusianya; dan pertumbuhan tulang tertunda (Inggriani, 2016). Terdapat beberapa indikator kesehatan calon ibu yang memiliki risiko tinggi melahirkan anak stunting diantaranya usia melahirkan ibu kurang dari 20 tahun, status gizi calon ibu, dan kadar anemia calon ibu. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018, kejadian anemia pada ibu hamil usia 15-24 tahun sebanyak 41%. Sementara itu, terdapat kekurangan gizi kronis pada remaja putri usia 15-19 tahun sebanyak 35%, dan pada usia 20-24 tahun sebanyak 23%. Pemerintah Indonesia telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional. Komitmen ini terwujud dalam masuknya stunting kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan yang cukup signifikan dari kondisi 27,6% pada tahun 2019 diharapkan menjadi 14% pada tahun 2024. Presiden Republik Indonesia (RI) telah menunjuk BKKBN dibawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sebagai koordinator atau Ketua Pelaksana percepatan penurunan stunting di Indonesia.
Hasil Riskesdas 2018, menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Jawa Barat sebesar 31,06% dengan prevalensi stunting tertinggi berada di Kabupaten Sukabumi (41,35%) dan terendah berada di Kota Bekasi (16,75%) (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Apabila dikaitkan dengan ASFR 15-19 tahun di kabupaten/kota di Jawa barat, terdapat kecenderungan bahwa ASFR 15-19 tahun termasuk tinggi maka prevalensi stunting di kabupaten/kota juga
155
cenderung tinggi, begitu juga sebaliknya, apabila ASFR 15-19 tahun rendah maka memiliki kecenderungan prevalensi stunting yang rendah pula di kabupaten/kota. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang inilah, penulis ingin mengetahui apakah terdapat keterkaitan atau hubungan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Jawa Barat. Semoga penulis dapat memaksimalkan upaya dalam penurunan stunting di Jawa Barat dengan mengetahui kaitan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Jawa Barat.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kuantitafif untuk mengetahui hubungan ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat. Data yang dikumpulkan adalah data yang sudah diolah oleh BPS dan Balitbang Kesehatan. Sumber data yang digunakan berasal dari hasil Riskedas 2018 dan Susenas 2018. Data yang diambil untuk penelitian ini adalah data prevalensi stunting dan nilai ASFR 15-19 tahun untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Sehingga total sebanyak 27 nilai ASFR 15-19 tahun dan prevalensi stunting diambil untuk penghitungan analisis. Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan ASFR 15-19 tahun dengan stunting di Provinsi Jawa Barat adalah metode analisis korelasi sederhana dengan menggunakan koefisien korelasi momen-produk Pearson. Koefisien korelasi momenproduk Pearson adalah salah satu dari sejumlah ukuran korelasi atau asosiasi. Pengukuran korelasi merupakan pengukuran statistik
156
deskriptif yang mewakili tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Setelah menghitung ukuran korelasi, kemudian diuji menggunakan uji statistik inferensial untuk menguji hipotesis apakah ada hubungan linier yang signifikan antara kedua variabel. Peneliti menggunakan koefisien korelasi momen-produk Pearson karena data yang digunakan merupakan data rasio. Dengan mengetahui nilai dari koefisien korelasinya, maka hubungan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat dapat diketahui. Tanda koefisien korelasi menunjukkan sifat atau arah hubungan linier yang ada antara variabel ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting. Tanda positif menunjukkan hubungan linier langsung, sedangkan tanda negatif menunjukkan hubungan linier tidak langsung atau terbalik (Sheskin, 2003). Apabila terdapat hubungan langsung, maka suatu daerah yang memiliki ASFR 15-19 tahun tinggi akan memiliki prevalensi stunting yang tinggi pula dan daerah yang memiliki ASFR 15-19 tahun rendah akan memiliki prevalensi stunting yang rendah. Semakin dekat nilai koefisien korelasi dengan +1, semakin kuat hubungan langsung antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting; sedangkan semakin dekat nilai koefesien korelasi ke 0, semakin lemah hubungan langsung antar ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting. Sementara itu, apabila terdapat hubungan linier tidak langsung, maka suatu daerah yang memiliki ASFR 15-19 tahun tinggi akan memiliki prevalensi stunting yang rendah dan daerah
157
yang memiliki ASFR 15-19 tahun rendah akan memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Semakin dekat nilai koefisien korelasi dengan |1|, semakin kuat hubungan langsung antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting, sedangkan semakin dekat nilai koefesien korelasi ke 0, semakin lemah hubungan langsung antar ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting.
Hasil
Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 31,06% dengan kategori sangat pendek sebesar 11,67% dan kategori pendek sebesar 19,39%. Prevalensi stunting tertinggi berada di Kabupaten Sukabumi (41,35%) dengan kategori sangat pendek sebesar 21,08% dan pendek sebesar 20,27%. Prevalensi stunting terendah berada di Kota Bekasi (16,75%) dengan kategori sangat pendek sebesar 6,33% dan pendek sebesar 10,42%. Adapun ASFR 15-19 tahun di kabupaten/kota di Jawa Barat dengan prevalensi tertinggi berada di Kabupaten Sukabumi (51), sedangkan terendah berada di Kota Bekasi (9). Tabel 7.1 berikut ini menjelaskan terkait dengan prevalensi ASFR 15-19 tahun dan prevalensi stunting di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
158
Tabel 7.1 ASFR 15-19 Tahun dan Prevalensi Stunting Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2018
Kabupaten/Kota ASFR 15-19 Tahun Sangat Pendek (%) Prevalensi Stunting
Pendek (%)
Total (Prevalensi Stunting) (%)
Kab. Bogor 33 11,98 20,88 32,86 Kab. Sukabumi 51 21,08 20,27 41,35 Kab. Cianjur 41 8,13 25,38 33,51 Kab. Bandung 37 11,98 23,23 35,21 Kab. Garut 47 13,76 20,88 34,64 Kab. Tasikmalaya 23 13,19 20,61 33,8 Kab. Ciamis 36 10,56 22,87 33,43 Kab. Kuningan 25 8,02 20,65 28,67 Kab. Cirebon 22 15,62 18,09 33,71 Kab. Majalengka 36 16,16 20,46 36,62 Kab. Sumedang 39 9,64 22,58 32,22 Kab. Indramayu 36 10,61 23,38 33,99 Kab. Subang 49 11,06 17,58 28,64 Kab. Purwakarta 23 17,13 23,88 41,01 Kab. Karawang 28 15,86 17,25 33,11 Kab. Bekasi 22 9,02 17,35 26,37 Kab. Bandung Barat 47 13,23 23,46 36,69 Kab. Pangandaran 40 12,42 20,29 32,71 Kota Bogor 16 6,88 20,91 27,79 Kota Sukabumi 18 11,3 17,69 28,99 Kota Bandung 9 10,06 11,68 21,74 Kota Cirebon 39 14,16 17,02 31,18 Kota Bekasi 9 6,33 10,42 16,75 Kota Depok 11 8,18 15,03 23,21 Kota Cimahi 27 6,71 14,35 21,06 Kota Tasikmalaya 27 6,98 18,75 25,73 Kota Banjar 40 10,77 17,12 27,89
159
Kabupaten/Kota ASFR 15-19 Tahun Sangat Pendek (%) Prevalensi Stunting
Pendek (%)
Total (Prevalensi Stunting) (%)
Jawa Barat
31 11,67 19,39 31,06
Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2018)
Gambar 7.1 di bawah ini memperlihatkan terdapat kecenderungan bahwa suatu kabupaten/kota yang memiliki ASFR 15-19 tahun tinggi, maka akan memiliki prevalensi stunting yang tinggi pula. Sedangkan untuk kabupaten/kota yang memiliki ASFR 15-19 tahun rendah, maka akan memiliki kecenderungan prevalensi stunting yang juga rendah. Berdasarkan gambar ini, pengujian secara statistik dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat.
Gambar 7.1 ASFR 15-19 Tahun dan Prevalensi Stunting di Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2018
160
Dengan memasukkan 27 nilai-nilai pada tabel 7.1 kedalam persamaaan korelasi dimana variabel X merupakan ASFR 15-19 tahun dan Y merupakan prevalensi stunting, diperoleh hasil korelasi dan pengujian korelasi seperti pada tabel 7.2 berikut ini.
Tabel 7.2 Hasil Uji Korelasi
Variabel Koefisien Korelasi n p-value
X-Y 0,620** 27 0,001 Sumber: Pengolahan Data
Dalam sel tersebut terdapat tiga angka, yaitu: a. Angka 0,620 menunjukan koefisien korelasi momen-produk
Pearson dengan tanda bintang dua (**). Tanda tersebut menunjukan koefisien korelasi signifikan pada tingkat signifikasi 0,01; b. Nilai p-value dapat dilihat dari angka sig. (2-tailed) yang nilainya lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting; c. Angka 27 menunjukkan jumlah kabupaten/kota yang berada di Provinsi Jawa Barat.
Nilai angka korelasi yang positif menunjukkan terdapatnya hubungan yang positif antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting. Artinya apabila di suatu daerah memiliki ASFR 15-19 tahun yang tinggi maka daerah tersebut cenderung memiliki prevalensi stunting yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Kehamilan remaja dan prevalensi stunting memiliki kaitan erat. Hal
161
ini sejalan dengan teori bahwa kehamilan di usia muda dapat membahayakan calon ibu maupun bayinya. Hal ini dikarenakan pada saat tersebut terjadi pembagian asupan antara asupan gizi pada janin, proses kehamilan pada remaja, dan proses pertumbuhan remaja itu sendiri, dimana masa remaja merupakan puncak terjadinya proses pertumbuhan massa tulang atau peak bone mass (PBM) yang menyebabkan kebutuhan gizi pada masa ini lebih tinggi daripada fase kehidupan lainnya. Pada masa remaja juga, organ reproduksi perempuan belum benar–benar siap untuk mengalami kehamilan dan melakukan proses melahirkan (Almatsier, 2002). Kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun merupakan faktor risiko gangguan pertumbuhan pada balita (bayi dibawah lima tahun). Ibu yang melahirkan pada usia remaja berisiko 8 kali mempunyai balita yang mengalami stunting dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada usia dewasa. Semakin muda usia ibu saat melahirkan, maka akan semakin tinggi prevalensi stunting yang terjadi pada balita. Kehamilan yang terjadi pada usia remaja ini berdampak sebagai faktor risiko output kelahiran yang buruk dan menimbulkan risiko kesehatan bagi remaja. Kehamilan usia remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat sebagai indikator masalah kesehatan seksual dan reproduksi (Wemakor et al., 2018).
Pembahasan
Hasil pada penelitian ini mengindikasikan bahwa upaya penurunan stunting di daerah harus disertai dengan upaya penurunan ASFR 15-19 tahun. Penurunan ASFR 15-19 tahun erat
162
kaitannya dengan program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR) atau lebih dikenal Generasi Berencana. BKKBN mengungkapkan bahwa batasan usia remaja adalah antara usia 10 tahun hingga usia 24 tahun dan belum menikah. Remaja merupakan kelompok penduduk Jawa Barat dengan jumlah yang cukup besar. Sensus Penduduk 2020 mencatat terdapat sebanyak 12,23 juta remaja di Jawa Barat atau sebesar 25,34% dari seluruh penduduk Jawa Barat. Dengan jumlah yang cukup besar, remaja merupakan sasaran strategis dalam pelaksanaan program Generasi Berencana (GenRe) di Jawa Barat. Program GenRe merupakan solusi bagi remaja agar mempersiapkan usia pernikahan ideal yaitu 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. PKBR atau GenRe ini diharapkan dapat disosialisasikan kepada remaja dalam rangka membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) penduduk usia 10-24 tahun belum menikah, agar dapat menunda usia pernikahannya dengan harapan mereka mampu merencanakan pembangunan keluarga sejak dini, sehingga remaja mampu melewati 5 transisi kehidupan, yaitu melanjutkan sekolah, mencari pekerjaan, memulai kehidupan berkeluarga, menjadi anggota masyarakat, dan mempraktikan hidup sehat (Nurulliah, 2020). Upaya penurunan ASFR 15-19 tahun sejalan dengan program PKBR yang merupakan salah satu target Pro PN tahun 2021.
163
Simpulan
Melihat hasil korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif (hubungan langsung) antara ASFR 15-19 tahun dengan prevalensi stunting. Artinya, apabila di suatu daerah memiliki ASFR 15-19 tahun yang tinggi, maka daerah tersebut cenderung memiliki persentase prevalensi stunting yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi diantara instansi pemegang kebijakan terkait stunting menjadi esensial bagi upaya penanganan masalah pemenuhan gizi bagi ibu hamil maupun anak dibawah usia 2 tahun dalam menekan jumlah stunting di Jawa Barat.
Rekomendasi
Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung. Selain mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakannya. Pemerintah kabupaten/kota diharapkan dapat berinovasi untuk menambahkan kegiatan intervensi efektif lainnya berdasarkan pengalaman dan praktik baik yang telah dilaksanakan di setiap kabupaten/kota dengan fokus pada penurunan stunting (Kementerian PPN/Bappenas, 2018).
164
Program PKBR atau lebih dikenal GenRe merupakan program yang tepat dalam upaya penurunan stunting. Pendewasaan Usia Kawin pertama (PUP) perlu diupayakan dalam rangka pencegahan stunting, perempuan minimal usia 21 tahun sedangkan pada laki-laki minimal usia 25 tahun dan menerapkan pola hidup gizi seimbang dalam kehidupan sehari-harinya. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) untuk remaja terkait Kesehatan Reproduksi Remaja merupakan topik yang perlu diketahui oleh masyarakat, khususnya para remaja, agar mereka memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Tentu sangat diharapkan dengan adanya informasi yang benar, maka remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi. Kurangnya sosialisasi dan edukasi kesehatan reproduksi dapat memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, diantaranya terkait penyakit seksual menular, kehamilan di usia muda, hingga aborsi yang dapat mengakibatkan morbiditas bahkan mortalitas ibu. Pemberian informasi yang disesuaikan dengan usia dan kesiapan anak/remaja dapat meningkatkan pemahaman mereka atas sistem, proses, fungsi alat reproduksi, dan cara menjaga kesehatan reproduksinya, serta meningkatkan pemahaman atas konsep perencanaan kehidupan berkeluarga. KIE pada orang tua pengantin maupun pasangan pengantin yang melakukan perkawinan di usia kurang dari 20 tahun dapat terkait dengan pemakaian kontrasepsi agar dapat menunda kehamilan atau Penundaan Anak Pertama (PAP). Macam–macam
165
alat kontrasepsi yang bisa digunakan untuk penundaan kehamilan sebaiknya menggunakan kontrasepsi Non MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), seperti kondom, pil, atau suntik sampai usia siap untuk kehamilan yaitu 21 tahun. Akses pelayanan KB yang mudah didapat oleh masyarakat dan mendekatkan akses pelayanan KB ke masyarakat dapat disampaikan melalui berbagai momentum kegiatan.
Daftar Pustaka
Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]. (2018). Survei Kinerja dan Program KKBPK (Modul Keluarga). Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional.
Inggriani, T. (2016). Kenali Stunting dan Cara Pencegahannya. http://awalbros.com. Kementerian PPN/Bappenas. (2018). Rencana Aksi Nasional Dalam
Rangka Penurunan Stunting: Rembuk Stunting. In Pedoman
Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di
Kabupaten/Kota (pp. 1–51). Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan
RI. https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pu sdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf Nurulliah, N. (2020). Masih Tinggi di Jawa Barat, Angka Ibu di
Bawah Umur Sudah Melahirkan. Pikiran Rakyat, https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01664. Nuryanto, K. (2017). Hubungan Usia Ibu Menikah Dini Dengan
Status Gizi Batita Di Kabupaten Temanggung. Journal of
166
Nutrition College, 6, 1–10. Samosir, O. B. (2010). Dasar-Dasar Demografi. Salemba Empat. Sheskin, D. J. (2003). Parametric and non parametric statistical procedures: Third edition. Handbook of Parametric and
Nonparametric Statistical Procedures: Third Edition, 1–1193. Wemakor, A., Garti, H., Azongo, T., Garti, H., & Atosona, A. (2018). Young maternal age is a risk factor for child undernutrition in Tamale Metropolis, Ghana. BMC Research
Notes, 11(1). https://doi.org/10.1186/s13104-018-3980-7
167