Waring Wera Wanua

Page 1

ISSN: 9772442302233

THE EQUATOR Vol. 8/No. 3 Juli - September 2020 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

Waring Wera Wanua


Pembaca yang baik, Semoga Anda semua diberikan kesehatan sampai hari ini. Kita semua rasanya berada dalam situasi dan kondisi yang hampir serupa, yaitu ketidakjelasan. Kita tidak mengetahui kapan situasi ini akan berakhir, siapa yang harus kita percaya, dan apakah kita semua berada dalam kondisi yang aman? Segala keterbatasan dan hambatan disaat pandemi ini, ada dorongan yang “membuat” kita diminta untuk hidup berdampingan dengan ketidakjelasan. Imaji yang digadangkan adalah agar kita dapat menjalani hidup dengan “normal yang baru”. “Normal baru” menjadi wacana yang sering digunakan dalam segala aspek, tidak hanya oleh oligarki atau mungkin periklanan, kesenian pun juga turut meramaikan. “Waring Wera Wanua” merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, yaitu World Wide Web (WWW), sengaja dipilih sebagai judul untuk menghantarkan kita melihat fenomena yang belakangan menjadi familiar, yaitu meningkatnya aktivitas di internet. Tidak hanya diskusi, tetapi aktivitas kesenian pun berlangsung secara daring, contohnya adalah pameran. Menanggapi fenomena ini, tulisan pertama akan disambut dengan catatan etnografi dari penelitian yang dilakukan oleh Rugun Sirait mengenai second account di Instagram. Catatan ini memberi gambaran bagaimana melihat dari penelitian etnografi secara daring dan keberadaan agensi tiap individu dalam internet yang dilihatnya sebagai bentuk keruangannya. Menyinggung istilah “normal baru” yang digunakan dalam kesenian, Karya Normal Baru, sebuah program yang diinisiasi oleh Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale, baru saja selesai terlaksana. Lalu, bagaimana bentuk estetika dalam kekaryaan di internet? Tahun 2009, Tia Pamungkas pernah membahas aspek estetika di internet melalui maraknya penggunaan avatar pada waktu itu. Tulisan lama ini dihadirkan karena masih relevan dengan situasi saat ini, yang kemudian disambut oleh tulisan dari Devananta Rafiq. Ia menghadirkan analisa atas internet untuk dilihat secara partikular dan menawarkan “monodologi estetika” sebagai resolusinya. Masih berkenaan dengan Karya Normal Baru, Rifki Akbar Pratama hadir untuk menyodorkan kritik atas bentuk kekaryaan secara daring. Posisi apa yang ditawarkan seni dengan kekaryaan dalam wacana “normal baru”, saat terma itu lekat dengan agenda pemerintah menyelamatkan perekoniman? Refleksi atas karya di/dalam internet kami coba teruskan melalui percakapan bersama Riar Rizaldi yang dilakukan oleh Khairunnisa. Apakah segala kegiatan dapat dengan mudah beralih menjadi daring adalah gambaran akan masa depan? Tulisan-tulisan ini kami hadirkan agar bisa menjadi bahan pemikiran untuk membaca strategi dan taktik apa yang bisa dilakukan secara bersama untuk menghadapi situasi kedepannya. Salam hangat, Tim redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Juli-September 2020, 600 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunnisa. Kontributor: Rugun Sirait, Tia Pamungkas, Devananta Rafiq, Rifki Akbar Pratama, Khairunnisa


KONTRIBUTOR Rugun Sirait Tia Pamungkas Devananta Rafiq Rifki Akbar Pratama Khairunnisa

4

Catatan Riset Etnografi Second Account di Instagram Oleh: Rugun Sirait

“Visualizes yourself!” (Estetika Populer 11 Avatar: dan Identitas dalam Technoculture) Oleh: Tia Pamungkas Estetika 21 Monadologi (Pasca-)Internet Oleh: Devananta Rafiq

SAMPUL

dan Ilusi Kebaruan: Menyelamatkan 27 Alpukat Seni atau Seni Menyelamatkan Diri? Oleh: Rifki Akbar Pratama

Cover: Dokumentasi Natasha Tontey

Fotografi: Dokumentasi penulis Foto sampul: Natasha Tontey Desainer: Titis Sekar Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,

32

“Membicarakan kenyamanan walau rasanya menjadi kurang nyaman” Sebuah percakapan bersama Riar Rizaldi. Oleh: Khairunnisa

39

Tentang Biennale

Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, Inco pro, PKKH UGM, Tirana Art House & Kitchen, Galeri

Lorong, Toko Gerak Budaya ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

Catatan Riset Etnografi Second Account di Instagram Oleh: Rugun Sirait (Anggota Kajian Musik LARAS dan Forum Film Dokumenter)

Keseharian kita sekarang cukup nyaman dan sulit lepas dari sentuhan layar telepon seluler. Kita dibangunkan oleh bunyi alarm, mengirim pesan singkat, mengunggah foto, mencari referensi makanan hingga bekerja dengannya. Saya sendiri sulit membayangkan keseharian diri saya tanpa telepon genggam, apalagi dalam situasi yang kita dihimbau untuk tidak bepergian dan tetap di rumah. Ketika bosan atau tidak tahu harus berbuat apa, ada kebiasaan untuk membuka media sosial seperti instagram untuk melihat update dari siapapun yang kita ikuti. Instagram sebagai aplikasi yang berbasis pada foto, penggunanya membuat akun sendiri dan mengikuti akun-akun teman, keluarga, hingga tempat atau artis favorit. Kebiasaan-kebiasaan scrolling, melihat unggahan berupa foto dan dan video hingga merespons dengan meninggalkan komentar atau menyukai unggahan tersebut, seolah kita lakukan secara alamiah. Ada beberapa pengguna Instagram di lingkaran pertemanan yang saya temukan tidak hanya mempunyai satu akun Instagram saja, tetapi mulai mempunyai akun kedua (second account). Mereka mulai membuat akun kedua


5

dengan konten yang berbeda, hanya dibuka aksesnya untuk orang-orang terdekat saja. Tidak jarang bahwa akunakun ini adalah private account¹, memiliki nama yang lebih unik atau bahkan nyeleneh. Jumlah akun yang lebih dari satu ini, dengan peruntukkan yang lebih personal, mengambil perhatian saya. Dalam rangka memenuhi keingintahuan ini, hal pertama yang saya lakukan (pada 2016 silam) adalah membuat second account sendiri untuk mengalami secara langsung. Ternyata, second account lebih populer dalam jurnal dan artikel luar dengan istilah finsta (fake instagram). Sejauh ini, sudah ada lima buah artikel jurnal yang mengulas kepemilikan second account/ finsta dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Beberapa artikel ini setuju bahwa fake instagram jauh dari kepalsuan dan justru menunjukkan diri yang lebih otentik. Menurut Abrashi (2018) adalah sebuah akun dengan audiens terbatas dimana pengguna membuka diri, jawaban ini ia temukan dengan membuat finsta untuk dirinya. Melalui survei online, finsta menurut Kang & Wei (2018) adalah akun sekunder dan rahasia pengguna Instagram di mana pengguna menunjukkan sisi yang tidak menarik, dan memalukan, mulai dari ketidaksempurnaan wajah, depresi dan pergulatan, kebiasaan berpesta untuk menyukai puisi.'. Survei yang mereka sebar ini menggunakan beberapa poin penentu seperti ekspresi diri, interaksi sosial, escapism, mengintip dan juga mengarsipkan. Artikel ini, untuk Kang dan Wei mengingatkan mereka bawa finsta menjadi 'terlalu nyata', dimana pemilik akun mengunggah gambar yang merefleksikan realitas. Menurut mereka, “finsta ini terus mengingatkan kita mengenai realitas yang

aktual, daripada terbawa arus pemikiran tentang ilusi hidup yang sempurna.” (hlm.8) Dewar, et.al (2009) dalam Finsta: Creating “Fake” Spaces for Authentic Performance. mempertanyakan bagaimana pengguna mengkarakterisasi audiens dari finsta, apa sifat dari pertunjukan sosial yang terjadi di finsta, dan bagaimana audiens tersebut memunculkan tekanan sosial pada pengalaman menggunakan finsta. Adanya sentimen mengenai 'flow' atau alur yang tepat untuk menunjukkan diri dengan 'right flow' dan menunjukkan estetika yang konsisten, membuat tekanan sehingga orang membuat ruang yang privat dan tidak difilter pada akun utama. Melalui finstas, orang-orang mengambil agensi atas audiens (atau penonton) mereka dan menggunakan platform dengan cara lain selain dari niat yang diisyaratkan dalam penggunaan instagram pada umumnya, yang berpusat pada akumulasi pengikut dan jumlah likes. Metode yang mereka gunakan adalah dengan survei dan mencatat kegiatan harian tiga informan mereka, berbeda dari cara McGregor dan Li (2019) yang memfilter cuitan di Twitter yang membicarakan finsta. Ibarat ngomongin tetangga sebelah. Sehingga mereka menemukan bahwa finsta adalah outlet emosional secara katarsis dalam 'safe space' atau ruang aman untuk mengunggah hal-hal privat seperti kesedihan, kebugilan, emosional dan outlet untuk mengeluarkan uneg-uneg. Ross (2019) menyebut subyeknya sebagai interlocutors, atau teman berdiskusi, ia mendapatkan datanya dengan menjalin relasi yang dekat dan melakukan wawancara mendalam. Menurutnya, Sharing an image with others is a social act, of course, but here we see that posting to Instagram is a deeply thought out and


6

social process (hlm. 360) . Ia berpendapat bahwa pesan yang disampaikan dalam unggahan akun utama seseorang biasanya erat dengan status sosial, lokasi, kekayaan dan kecantikan, atau dapat dipadatkan menjadi bagaimana seorang dapat mempertunjukkan betapa 'cool' capital sosial yang dimiliki. Sehingga akun utama yang diperuntukkan publik adalah 'performed selves', yang tampilan personanya konsisten, sopan (dan dapat dipekerjakan), sementara finsta adalah diri asli yang dipertunjukkan dngan cara yang berbeda. 'A single platform can be the site of multiple media ideologies at the same time, depending on what each user is looking for, what message she wants to send, and to whom.' Jadi, intinya adalah tujuan akun itu dan kepada siapa diperuntukkan. Sebagian besar pendapat di atas saya tentu setuju. Adanya pengakuan terhadap identitas yang autentitas dalam penggunaan finstagram. Namun, relasi yang terbangun belum terbahas dan penggunaan kata finsta yang tidak relevan di lingkaran yang saya temui. Istilah second account lebih populer dan nyaman digunakan. Dari penggunaan second account yang dialami bersama-sama, saya tertarik untuk melihat lebih dalam mengenai subjektivitas2 yang ditunjukkan dan relasi yang dibangun antar penggunanya. Hasilnya dari etnografi media sosial yang berfokus kepada tujuh orang subyek: Silfi, Angela, Natasha, Tabitha, Brenda, Fransiska dan Nadya3 kerap menyebutkan kata 'cerita' atau bercerita. Penggunaan second account bagi mereka adalah tempat menyalurkan cerita-cerita kepada khalayak kecil dan dipercaya. Selayaknya buku harian, mereka menuliskan mengenai cerita yang

ingin mereka sampaikan dalam bentuk selfie dan juga online diary 4. Hal ini terjadi karena tujuh orang subjek riset saya sadar akan dirinya dilihat, memposisikan diri mereka juga sebagai subjek, disebut sebagai subjektivitas. Subjektivitas yang mereka tunjukkan di sana adalah subjektivitas yang tidak sempurna, atau imperfect 5. Ketidaksempurnaan mereka ditunjukkan ketujuh pengguna second account dengan mengunggah cerita-cerita mereka, kemudian direspon oleh temanteman mereka yang berasal dari latar belakang sosio-ekonomi yang tidak jauh berbeda. Keterbukaan ruang memunculkan dialog, salah satunya adalah untuk bercanda, merespon curhatan, hingga mencela. Selain kata 'cerita' yang kerap muncul, para pengguna second account juga menegaskan 'kepercayaan'. Budaya visual Instagram yang terbuka ini mengundang spektator 6 yang memiliki relasi intim dengan pengguna second account. Sehingga saya menawarkan bentuk relasi second account ini disebut sebagai relasi spektatorial antar saudara perempuan atau spectarorial sisterhood. Meminjam ide besar Daniel Miller (2017) mengenai fictive kinship, juga keamanan untuk menjaga hal personal yang diunggah dalam second account. Pertemuan di ruang Instagram ini akan memunculkan obrolan dan pertemuan ketika bertemu langsung secara offline, relasi online digunakan untuk menjaga pertemanan yang sudah lama terbangun. Yang dapat saya ceritakan mengenai proses menemukan beberapa jawaban diatas adalah alat-alat yang dipergunakan. Selama kurun waktu 1-2 bulan, saya mengikuti unggahan ketujuh subyek dengan lebih seksama. Mencatat


8

sama lain. Menurut Sarah Pink (2012), dalam melakukan etnografi visual online, kita tidak perlu mencari topik penelitian dan pertanyaan yang secara khusus tentang jenis baru media sosial atau konfigurasi budaya baru seperti dunia realitas virtual. Alih-alih, perpindahan etnografi visual ke Internet akan lebih sering daripada tidak menjadi bagian dari cara-cara di mana berbagai bidang yang telah kami kerjakan memulai sendiri untuk terlibat dengan visualitas Internet dengan cara-cara baru. Sehingga, data yang saya olah berupa data visual (dalam bentuk cuplikan layar), teks dalam caption, dan juga hasil wawancara para subyek riset. Selain itu, analisa konten adalah salah satu metode praktis yang kerap digunakan untuk mengolah data dari media sosial (Pink & Postill, 2012: 3). Masih mengurai benang kusut dan memilih pola jahitan: Metode Analisa Ternyata memilih kain, jarum dan mengurai benang kusut ini belum berguna juga. Data yang dihadapi berupa data visual yang sepertinya masih bertumpuk dan kusut satu sama lain. Sehingga, perlu lebih detail mencari ukuran jarum yang pas untuk benang dan pola jahitan yang kuat. Beberapa referensi yang digunakan untuk menganalisa data yang saya dapatkan adalah mengenai visualitas. Dalam buku Advances in Visual Methodologies, Elisenda Ardevol menulis salah satu bab yang berjudul Visual/Virtual Ethnography: Methodological Crossroads at the Intersection of Visual and Internet Research menjelaskan bagaimana etnografer online tidak harus hadir secara fisik dengan subyek riset mereka, riset yang dilakukan termediasi komputer atau gadget akan berujung kepada

pengembangan teknologis, sosial dan kompetensi budaya akhirnya mengasah analisa tekstual dan visual. Co-presence yang juga disinggung oleh Ardevol, mengenai kehadiran secara virtual ini menjadi menarik untuk dicoba, atau dialami dalam melakukan etnografi virtual melalui media sosial. Ardevol kemudian menyambungkan kembali tulisan Pink dari buku yang sama, “For her, engaging visual ethnography online poses theories of place and visuality (and sensoriality) in the foreground and demonstrates how this is useful for understanding her object of study.” Sehingga riset serupa bukan hanya masalah metodologis, namun juga kerangka berpikir atau ranah yang lebih teoritis. Pink merujuk kepada buku Christine Hine Virtual Ethnography (2000) dan buku Tom Boellstorff yang berjudul Coming Age in Second Life (2008), menurutnya dua pemikiran tersebut berbeda dan menunjukkan pergeseran. Konsep dan 'mengalami Internet' dibedakan dalam konteks dan proyek masing-masing, Hine dan Boellstorff dapat menghuni dan merasakan Internet dengan cara yang berbeda. Sampai batas-batas tertentu, keduanya mengakui pentingnya internet sebagai bentuk keruangan, namun Boellstorff lebih menekankan kepada visualitas dari tempat atau ruang tersebut. Dari perbedaan pendapat ini, Pink menawarkan pendekatan yang lebih multisensory. Tawaran Pink terhadap bentuk yang visualitas multi-sensor melepas anggapan bahwa melakukan etnografi secara online hanya sekedar menatap layar gadget, melainkan pengalaman yang dialami dengan banyak cara (2012 : 122).


9

Jadi, apa yang dimaksud dengan visualitas yang disebut-sebut oleh Pink? Pengertian yang lebih simpel dijelaskan oleh seorang sosiolog kebudayaan digital bernama Martin Hand dalam buku The SAGE Handbook of Social Media Research Methods (2017). Menurutnya, visualitas di media sosial dikonsepkan terdiri dari tiga elemen yang dapat dinegosiasi secara metodologis. Pertama, gambar di media sosial banyak bentuknya, dan pendekatan yang cermat perlu dipertimbangkan, khususnya mengenai media sosial yang berbeda kualitasnya tiap platformnya. Kedua, sirkulasi data visual di media sosial menantang analisis visual dan tekstual mengenai objek. Ketiga, luasnya tawaran mengenai visualisasi praktek sosial akan sangat terbatas jika kita hanya terfokus kepada satu gambar, karena toh penggambarannya sangat banyak.

kita mencoba mencari hubungan antara tiga elemen yang ia tawarkan di awal. Apalagi ditambah mengenai isu mengenai keaslian, kepercayaan dan etika yang menemani dimensi tersebut. Ternyata, Hand sudah sadar akan tantangan dalam melakukan riset kualitatif di media sosial. Dalam situasi yang serba menantang ini, mungkin ada menariknya untuk mencoba riset berbasis sosial media, apalagi melihat hal-hal yang mungkin sepele seperti kepemilikan second account.

Keterangan: 1 Private account adalah pengaturan privasi di instagram dimana seorang pemilik akun harus mengkonfirmasi permintaan calon 'follower' untuk mengikuti akun dan melihat unggahannya. 2

Hand berargumen dengan pendapat Gillian Rose (2012) mengenai interpretasi gambar pada sebuah situs dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama adalah produksi situs tersebut, termasuk teknologi yang menyokongnya, kedua adalah situs dari gambar, mulai dari artinya hingga komposisi dan terakhir adalah 'audiens' yang melihat gambar dan bagaimana gambar itu diproses/dimaknai. Dari hal ini, ada tiga buah modalitas yang ditawarkan oleh Rose, teknologis, komposisional dan sosial. Bab ini menjelaskan dengan runtut mengenai cara Hand memaknai dan menganalisa gambar di media sosial. Dengan melakukan seleksi, klasifikasi, menganalisis persebaran hingga proses membuat dan menyebarkan gambar itu kembali. Menurut Hand, tantangan metode dalam riset kualitatif semacam ini adalah ketika

Saya menggunakan pengertian subyektivitas menurut Lasen, 2010 mengutip Foucault 1982:208, yang intinya menyangkut cara manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek. 3

Semua nama disamarkan.

4

Kebiasaan penggunaan media sosial secara personal dibagi dalam dua genre oleh Marika Lüders, Lin Prøitz dan Terje Rasmussen dalam artikel Emerging Personal Media Genres (2010). Yaitu 'the online diary and the camphone self-portrait.’ 5

Pengertian 'sempurna' McRobbie dalam Notes on the Perfect (2015) 6

Istilah spectator digunakan oleh Kanai dalam Gender and Relatability in Digital Culture (2019) kepada penggunga tumblr yang mengikuti akun tumblr yang juga berbasis visual. Ia menyebutnya Spectatorial girlfriendship. 7 Dalam buku Advances in Visual Methodology (2012), Sarah Pink menulis salah satu bab berjudul Visual Ethnography and the Internet: Visuality, Virtuality and the Spatial Turn. Menurutnya, “The Internet is becoming not something we engage with by doing a special kind of online visual ethnography, but a part of the 'ethnographic places'” (hlm.113)


7

unggahan mereka, mengabadikan dengan fitur screenshot dan membaca ulang komentar dan interaksi antar akun. Untuk mendapatkan kesimpulan ini, saya memerlukan dua buah alat: pertama adalah alat untuk mengumpulkan data dan kedua alat untuk mengolah data tersebut. Berhadapan data yang berupa gambar, komentar, likes, ini membingungkan, bahkan menurut Pink & Postill (2012) adalah sebuah messy web. Anggap saja jaring kusut ini adalah tas jaring yang justru berguna untuk menampung data visual untuk sementara. Berikut adalah proses menyulam benang-benang dan menjadikan sebuah alat fungsional yang lebih kokoh untuk membawa dan mengolah data.

menganalisis kegiatan sehari-hari tersebut. Penting untuk mengambil catatan lapangan yang luas, Selain catatan lapangan, dunia virtual menyediakan kemungkinan pengumpulan data yang unik berdasarkan pada software yang menopang mereka. Dibahas oleh Boellstorff dkk. dalam Ethnography and Virtual Worlds: A Handbook of Method (2012) pengarsipan chatlog, cuplikan layar, dan rekaman audio dan video, catatan tentang cuplikan layar sangat penting. Untuk memperkaya data visual dan membuat daya tersebut 'bunyi', para penulis buku juga merasa bahwa wawancara secara langsung kaya dan bermanfaat dan menjadikannya sumber data utama.

Mengumpulkan kain, jarum dan mengurai benang kusut: metode pengumpulan data Untuk mendapatkan data, saya menggunakan etnografi media sosial atau social media ethnography (Pink & Postill, 2012). Mereka menjelaskan bahwa ada lima praktik atau rutinitas penting dalam menjalankan metode ini, catching up, sharing, exploring, interacting and archiving (2012: 6). Menurut mereka, catching up (mengikuti) dan sharing (membagikan atau mengunggah) adalah dua kegiatan yang saling bertumpuk dan saling berkelindan. Observasi partisipasi, sebagai salah satu metode yang diunggulkan etnografi, secara online di platform instagram dengan membuat second account sendiri dan menjadi follower dari second account ketujuh subjek riset.

Sehari, saya bisa menatap layar ponsel selama hampir 4 jam untuk melihat kegiatan di timeline. Untuk mencatat apa yang saya lihat, yang saya lakukan adalah mengambil screenshot atau cuplikan layar unggahan orang-orang pada second account. Selain itu, saya juga mencatat kejadian-kejadian unik. Untuk melengkapi data visual, saya merasa masih perlu untuk melakukan wawancara, seperti yang disarankan oleh Boellstorff et al. (2012: 124). Sebagian besar (5 dari 7) saya temui langsung dan dapat berbicara mendalam mengenai pengalaman mereka berelasi, dua orang lagi saya wawancara via skype karena lokasi mereka di Jerman dan Jepang. Setelah saya pikir-pikir kembali, pertemuan secara langsung tidak menghasilkan data yang begitu berbeda dari pertemuan secara virtual yang menghasilkan data mendalam.

Observasi partisipatif dilakukan dengan dua tangan, tangan pertama terlibat dalam keseharian (dengan mengunggah, ikut bercerita dan berelasi) dan tangan satunya

Ruang virtual yang bernama instagram ini adalah 'ethnographic place' 7 yang seiring perkembangan internet, tempat dimana saling terkait dan memberi ruang bagi satu


10

Referensi Boellstorff, T., et al. 2012. Ethnography and Virtual Worlds: A Handbook of Method. Princeton: Princeton University Press Dewar, Sofia, Schinria Islam, Elizabeth Resor, Niloufar Saleh. 2019. Finsta: Creating “Fake” Spaces for Authentic Performance. doi: 10.1145/3290607.3313033 Kanai, Akane. 2019. Gender and Relatability in Digital Culture: Managing Affect, Intimacy and Value. Cham: Springer International Publishing Kang, J., & Wei, L. 2018. Let me be at my funniest: Instagram users' motivations for using Finsta (a.k.a., fake Instagram). The Social Science Journal. doi: 10.1016/j.soscij.2018.12.005 Lasen, Amparo. (2010). Mobile culture and subjectivities: an example of the shared agency between people and technology in Fortunati, Leopoldina / Vincent, Jane / Gebhardt, Julian / Petrovcic, Andraz / Vershinskaya, Olga (ed.). Interacting with Broadband Society, Frankfurt am Main, Berlin, Bern, Bruxelles, New York, Oxford, Wien: Peter Lang Lüders, Marika, Lin Prøitz, and Terje Rasmussen. 2010. Emerging Personal Media Genres. New Media & Society 12, no. 6, 947–63. doi: 10.1177/1461444809352203 McGregor, Kyle Aaron & Li, Joanna. 2019. Fake Instagrams For Real Conversation: A Thematic Analysis Of The Hidden Social Media Life Of Teenagers in Poster Symposia / Journal of Adolescent Health 64, 23–47 McRobbie, Angela. 2015. “Notes on the Perfect.” Australian Feminist Studies 30, no. 83, 3–20. doi: 10.1080/08164649.2015.1011485 Miller, Daniel. 2017. “The Ideology of Friendship in the Era of Facebook.” HAU: Journal of Ethnographic Theory 7, no. 1, 377–95. doi: 10.14318/hau7.1.025 Pink, Sarah, (ed.). 2012. Advances in Visual Methodology. Los Angeles: Sage Publications Postill, John, and Sarah Pink. 2012. "Social Media Ethnography: The Digital Researcher in a Messy Web." Media International Australia 145, no. 1, 123–134. doi: 10.1177/1329878x1214500114 Quan-Haase, Anabel, and Luke Sloan, (ed.). 2017. The SAGE Handbook of Social Media Research Methods. London: Sage Publications Ross, S., 2019. Being Real on Fake Instagram: Likes, Images, and Media Ideologies of Value. Journal of Linguistic Anthropology, 29(3), pp.359-374.


11

Avatar: “Visualizes yourself!” (Estetika Populer dan Identitas 1 dalam Technoculture) Oleh: Tia Pamungkas (Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada)

“Unlike the aesthetic of the simple man, unproblematic attachment to one coherent system of norms; the 'popular aesthetic' is defined and manifested (at least partially) in opposition to scholarly aesthetics, even if it's never triumphantly asserted.” (Pierre Bourdieu, “The Social Definition of Photography”) Estetika Populer dalam praktik Technoculture Sebagai pengamat budaya dan masyarakat, Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog yang memandang 'estetika' melalui sudut

Keterangan 1 Tulisan ini pertama dimuat dalam website KUNCI Study Forum and Collective pada 22 Juli 2009. http://kunci.or.id/articles/avatar-visualizes-yourself-estetika-populer-danidentitas-dalam-technoculture/


12

pandang 'kecurigaan' (suspicious). Menurutnya, 'estetika' bukan semata-mata suatu ekspresi subyektif yang praktiknya mendapat representasi di dalam diskursi publik; melainkan suatu mekanisme reproduksi sosial tempat pengetahuan dan cita-rasa terdistribusikan melalui sistem regeneratif yang berlangsung secara hierarkis dan sekaligus menstrukturkan agensi (pelaku-pelaku aktif) yang terlibat di dalam medan reproduksi budaya tersebut. Dalam konteks tersebut, Bourdieu menegaskan bahwa 'modal budaya' berperanan di dalam medan budaya di mana 'cita-rasa di-norma-kan' dan menjadi mekanisme klasifikasi sosial. Kritik Bourdieu tersebut sejalan dengan pemikiran Max Horkheimer dan Adorno dari tradisi filsafat kritis yang memandang 'estetika' sebagai mekanisme represi yang terinternalisasikan melalui kekuatan sosial yang mengakar dalam, kemudian secara politis mengontrol cara-cara bekerjanya supremasi hegemoni praktik budaya sehingga berdampak efektif (Horkheimer dan Adorno, dipublikasikan kembali tahun 2001). Kecurigaan mereka dipahami dalam konteks di mana proyek modernisme di bawah logika 'pencerahan' (enlightenment), yang meskipun memberikan ruang kebebasan individual secara otonom 'untuk memilih' di dalam medan budaya, termasuk berkesenian, preferensi artistik orang pada umumnya sangat ditentukan oleh posisi mereka di dalam kelas sosial. Mempersoalkan 'estetika' sebagai norma, bagi saya, menjadi suatu topik yang menarik, khususnya ketika kita memasuki suatu ruang praktik budaya di mana teknologi mengubah bukan hanya kebiasaan hidup sehari-hari yang menjadi basis sosial kita, melainkan juga

berpengaruh di dalam formasi struktur sosial, di mana klasifikasi 'pembeda' praktik budaya terus berlangsung di dalam medan sosial yang bersifat multidimensional. Pengertian multidimensional disini yang saya maksudkan adalah, medan sosial kini tidak semata-mata berbasis pada bentukbentuk interaksi sebagai organisme sosial yang mensyaratkan setiap orang memperoleh 'keanggotaannya secara formal' di dalam kelas sosial (social membership) di mana identitas subyek menjadi prasyarat. Praktik budaya melalui teknologi multimedia canggih, memungkinkan beroperasinya medan budaya di mana 'estetika' tetap dimungkinkan berlaku sebagai 'norma' yang menstandarkan basis hierarki citarasa seni yang bersifat historis-generatif, tetapi praktik budaya teknologi tersebut juga sekaligus men-destabilisasi-kan atau bahkan men-dekonstruksi norma tersebut. Jikalau dalam praktik 'berkesenian' estetika merupakan bagian yang secara ekslusif menandai identitas seniman; maka dalam praktik technoculture relasi antara 'estetika dan identitas' bersifat ambigu. Misalnya, cyberculture memungkinkan kategori identitas di dalam ruang praktik teknologi virtual berdampak pada pudarnya basisbasis 'struktur-kelas sosial' sebagai penanda seberapa banyak kapital budaya yang dimiliki seseorang (individu), sekaligus mengaburkan 'norma standar' tentang keshahihan (legitimate) suatu ekspresi budaya. Dalam konteks ini, identitas tidak lagi merupakan suatu kategori yang bersifat 'singular', melainkan suatu 'posisi temporer' (temporarily occupied positions) yang bahkan bisa bersifat multiple 'berganda' di dalam komunitas yang luas dan beragam (multikultur).


13

Kebanyakan dari kita memahami budaya teknologi (technoculture) dalam pengertian yang sempit, yakni di dalam penggunaan perangkat elektronis (electronic devices). Pengertian semacam inilah yang selalu menjadi suatu stigma tentang medan teknologi (technological realm), sehingga terkesan bahwa teknologi lebih merupakan dunia yang bersifat ekslusif dan berhubungan dengan konsumsi yang berbasis pada sistem kelas sosial. Andrew Ross (1991) menerjemahkan budaya teknologi (technoculture) sebagai: “a circuit of cultural practices touched by advanced technology“. Pengertian ini dimaknai sebagai praktik budaya di mana sirkuit reproduksi budaya, sosial, ekonomi dan politik dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Picture 3Pengertian mengenai teknologi sebagai suatu praktik kebudayaan (cultural practices) jauh sebelumnya telah dijelaskan oleh Walter Benjamin pada tahun 1939 dalam artikelnya, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. Karya Benjamin secara garis besar menjelaskan bagaimana transformasi di dalam konsepsi dan relasi antara self (kesadaran/entitas diri) dengan realitas dimaterikan melalui reproduksi mekanis dan disimbolisasikan melalui kamera. Perubahan lingkungan sosial ekonomi masyarakat industri telah memungkinkan berlangsungnya produksi massa dan inovasi teknologi sehingga mengambil ruang yang lebih luas lagi di dalam praktik dan media kesenian. Walaupun, menurutnya pada gilirannya, proses ini memisahkan seni ritual-tradisional sehingga memiliki muatan nilai yang baru dan memiliki nilai ekonomis dalam pasar yang khusus/terbatas. Argumen Benjamin yang paling mendasar menyatakan bahwa

reproduksi mekanis secara definitif 'tak dapat didefinisikan sebagai reproduksi otentisitas'. Menurutnya, reproduksi mekanis memungkinkan 'emansipasi pengkaryaan seni tidak lagi semata-mata tergantung pada praktik ritual tradisional'. Dengan kata lain, Benjamin menandai lokasi penting di dalam transformasi budaya yang melibatkan peran teknologi yang mengubah praktik sosial, ekonomi dan politik, yakni munculnya 'massa' (masses) dan gerakan-gerakan massa (mass movements). Reproduksi mekanis memungkinkan aktor (kita sebagai pencetus gagasan dan penghasil karya atau wujud budaya) memiliki publik yang tak terbatas. Bill Nichols (2000) menandai argumentasi Benjamin mengenai 'reproduksi mekanis' di dalam mencermati perkembangan technoculture mengenai sistem cybernetic. Sistem cybernetic meliputi seluruh rangkaian mesin dan piranti-piranti yang mengisi dan menggerakkan kemampuan komputasi. Sistem semacam ini bersifat dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki kemampuan kecerdasan tinggi. Jaringan telpon, komunikasi satelit, sistem radar, video compact disk yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik, sistem pengaturan roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan melalui kinerja komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi dan mengambil (mengeksekusi) tindakan (action). Seluruh piranti teknologi itu dapat kita sebut sebagai 'cybernetic' dikarenakan keseluruhan proses teknologi ini meliputi kemampuan mekanisme meregulasikan (mengatur) dirinya sendiri (self-regulating mechanism) atau sistem yang telah terlebih dahulu mendefinisikan keterbatasan-keterbatasannya (predefined


14

limits) dan berkenaan dengan melaksanakan tugas-tugas yang telah terlebih dahulu didefinisikan (predefined tasks). Dengan mengacu pada tesis Walter Benjamin, Bill Nichols mengajukan pertanyaan serupa yakni, “bagaimana sistem cybernetic disimbolisasikan melalui kinerja komputasi merepresentasikan serangkaian transformasi-transformasi di dalam konsepsi mengenai self dan realitas.” Nichols menyatakan bahwa pertanyaan semacam itu merupakan suatu ambivalensi yang mengacu pada apa-apa saja yang membentuk imajinasi mengenai keberadaan yang liyan (other) karena sistem cybernetic merupakan 'kecerdasan artifisial'. Sistem tersebut berlawanan dengan caracara umum di mana biasanya kita cendrung menguji dan mengukur batasanbatasan tentang identitas yang kita miliki melalui penjelasan hermenetik ganda. Cara-cara pengujian 'identitas' semacam itu melibatkan unsur kecurigaan (suspicion) dan pengungkapan (confession) yang bertendensi 'mengkritisi secara negatif (kebalikan)' terhadap bentuk-bentuk dominasi, tendensi terhadap kontrol, dan potensi laten yang menuju pada kolektivitas yang artikulasinya berkarakter 'singular'. Secara sederhana, identitas subyek selalu dijelaskan melalui konsepsi 'menandai' apa-apa yang membuat seseorang memiliki kesamaan atau bahkan perbedaan dengan orang lain. Dengan kata lain, konsepsi identitas dalam kajian budaya selama ini selalu mengacu pada 'keterlibatan' subyek dalam asosiasi-nya dengan orang atau sekelompok orang yang lain (kolektivitas). Budaya teknologi, melalui kemunculan komunitas maya (cyberculture), memungkinkan artikulasi identitas bukan lagi menjadi ruang di mana

'subyektivitas' tertundukkan oleh 'kolektivitas' sebagaimana yang berlangsung pada 'ruang sosial fisik' kita. Donna Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi informasi melalui internet bukan sekedar transformasi teknologi melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya memuat ideologi baru yakni: (1) teknologi merupakan elemen mesin yang menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik kita ; (2) mesin itu sendiri sebenarnya adalah kita, kita sendiri yang menggerakkannya, dan karenanya merupakan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut bukan sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita. Ia menggarisbawahi bahwa persekutuan antara manusia dan mesin teknologi ini adalah metafora mengenai 'cyborg' yakni: 'a cybernetic organism, a hybrid of machine and organism, a creature of social reality as well as a creature fiction'. Pernyataan Donna Harraway ini memunculkan pertanyaan bukan lagi mengenai 'apakah' melainkan; 'bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi memiliki konsekuensi di dalam medan transformasi budaya yang semula berkarakter eksklusif menjadi suatu ruang praktik budaya yang bersifat inklusif, khususnya di dalam praktik visual sebagai 'the art of everyday life'. Avatar: Trend Budaya Visual, Identitas Ambigu dan Efek Simulasi (Picture 2)Dalam satu dasawarsa terakhir, budaya visual khususnya fantasi memvisualisasikan diri merupakan unsur yang dominan di dalam realitas bekerjanya sistem cybernetic. Pengunaan icon dari


15

bentuk ekspresi diri yang sederhana (smiley) hingga kreasi imajinatif merupakan unsur yang dominan di dalam cyberculture. Aplikasi surat elektronik (email) yang fasilitasnya disediakan secara gratis oleh provider besar semacam; Yahoo, MSN, Gmail, dan lain-lain, merupakan pintu masuk yang paling sederhana bagi setiap orang untuk mengeksplorasi praktik visualisasi diri, khususnya ketika foruminternet melalui fasilitas 'chat-room' berkembang. Avatar, sebagai suatu bentuk imajinasi visualisasi diri semula merupakan 'praktik estetis' yang sirkulasinya terbatas hanya pada mereka yang memiliki skills dan akses yang luas pada praktik teknologi komputasi berbasis internet. Meskipun kini, di kalangan kaum muda khususnya, aplikasi avatar merupakan suatu trend yang cukup populer dan aplikasinya yang mudah dan instan tanpa skills khusus dikampanyekan secara luas melalui adverstising oleh provider mobiletechnology (perusahaan teknologi seluler) sehingga bukan hanya bisa diunduh (download) melalui komputer, bahkan oleh piranti cybernetic yang lain seperti PDA dan atau Handphone yang sistemnya 'compatible' memungkinkan aplikasi internet. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya 'avatar' itu, dan mengapa budaya memvisualisasikan diri ini menjadi trend dan menurut saya, sekaligus memiliki efek simulasi yang bersifat manipulatif? Kesulitan saya menemukan 'terminologi' avatar di dalam literatur kajian budaya populer memungkinkan saya untuk secara praktis merujuk pada kamus ensiklopedia 'on-line' wikipedia yang menjelaskan avatar sebagai: (1) suatu representasi diri pengguna internet baik yang bersifat 3D (3 dimensi) seperti yang diaplikasikan dalam

game komputer; (2) icon-2D (2 dimensi) yang digunakan dalam forum internet; (3) dan konstruksi teks yang pada mulanya dikenal dalam sistem MUDs (Multi-User Dungeons), yakni suatu permainan (game) komputer yang mengkombinasikan elemen-elemen 'role-playing', game berkarakter 'hack and slash' (memuat unsur kekerasan), dan ruang 'chat' atau obrolan sosial. Pengertian avatar secara literal diambil dari terminologi Sanskerta yang kemudian diambil ke dalam tradisi bahasa Yunani dan Latin yang bermakna 'penampakan spiritual' ('incarnation', dalam bahasa Inggris). Adalah Neil Stephenson yang pertama kali mempopulerkan istilah avatar ini ke dalam komunitas cyber melalui novel ber-genre cyberpunk yang terkenal Snow Crash pada tahun 1992. Dalam novel tersebut, avatar digambarkan sebagai simulasi virtual wujud manusia dalam realitas virtual di internet yang disebutnya sebagai 'Metaverse' (yang secara simbolis diambil dari mitologi Hindhu kuno tentang sepuluh wujud penampakan spiritual dari 'Dewa'). Yang menarik dalam novel tersebut, Stephenson menggunakan 'kategori hierarki sosial' sebagai penanda estetika visual dan praktik pengetahuan seseorang, di mana semakin 'berbakat' dan semakin 'dilengkapinya seseorang melalui skills' sebagai programer dan hacker, memungkinkannya untuk menggandakan penampakan diri (multiple incarnation) hingga mencapai level Metaverse. Sejarah visualisasi diri di dalam praktik technoculture pada awalnya sama sekali bukan ditujukan untuk praktik konsumsimassa yang bersifat rekreatif, melainkan bermula dari suatu modul saintifik pada pertengahan abad ke-20 yang dikenal dengan istilah 'H-anim' (Human-animation). Di sini aplikasi visual manusia digunakan


16

untuk menguji secara matematis produksi obyek teknologi canggih seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian arsitektural, aplikasi robotik sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi teknologi 'surveilence' seperti yang digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasiinformasi dan pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya, jangkauan praktik visualisasi diri semacam 'H-anim' melalui teknologi internet diperluas melalui kinerja piranti lunak VRLM (Virtual Reality Markup Language, suatu aplikasi 3D di mana human model dianimasikan secara kompleks yang berakar pada piranti lunak berbasis Object Oriented Programming Language semacam 'Java'). Penggunaan aplikasi semacam ini yang kemudian mendorong munculnya MUDs (Multi-User Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki setting imajinasi sosial, di mana penggunanya dapat 'mengkreasi' karakter-karakter yang dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu. Pada awalnya, hampir satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktik technoculture MUDs semacam ini memang bersifat 'elitis'; akan tetapi kini, dikarenakan semakin banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta perluasan 'multiuser virtual worlds', serta dukungan modal kapital ekonomi melalui 'kekuatan advertising'; aplikasi semacam itu tak perlu lagi mensyaratkan skills atau pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program, melainkan lebih menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke dalam interaksinya di dalam komunitas cyber-world. Seseorang dengan mudah dapat menciptakan 'realitas' seperti yang diimajinasikannya dengan dilengkapi

perangkat keras khusus atau bahkan sama sekali tidak memerlukan perangkat hardware yang mensyaratkan metode 'plug-in' karena program 'builder' piranti lunaknya dapat dibeli dan atau bahkan dapat diunduh gratis melalui internet. Meskipun perlu dicatat, hal ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki kualitas yang berbeda tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan akses yang broadband; tentu saja! Aktivitas 'menciptakan realitas virtual' yang berbasis pada imajinasi kreatif yang secara sosial berkarakter 'estetika populer-massif' (mengaburkan norma estetika seni dalam pengertiannya sebagai tradisi yang melembaga), kini bahkan dapat kita akses dengan mudah tanpa keterampilan khusus melalui komunitas cyber 'Second-Life'. Second-Life merupakan perkembangan lebih lanjut dari MUDs yang memapankan dan men-destabilisasi-kan konsepsi dan obyektifikasi 'mitologi metaverse' sebagaimana yang digambarkan Sthepenson. Minat yang paling menggelora dalam komunitas ini adalah 'ruang fantasi' di mana subyek pengguna terlibat secara aktif di dalam komunitas, memiliki kapasitas untuk memperluas jangkauan identitas diri dengan cara menciptakan dan mengggandakan karakter sekaligus menciptakan 'virtual environment' tetapi juga berkomunikasi secara inter-personal (interaksi dengan pengguna lain) yang juga mempraktikkan modus serupa. Konteks semacam ini dinyatakan oleh Rheingold melalui slogan: “Welcome to the wild side of cyberspace, where 'magic is real and identity is fluid'. Memahami 'realitas' yang dihadirkan melalui sistem cybernetic berhubungan


17

dengan transformasi bentuk-bentuk budaya baru di mana kerja simulasi logico-iconic melibatkan transmisi audio-visual yang prosesnya bukan hanya sekedar reproduksi secara mekanis, melainkan bentuk-bentuk penyerapan informasi dan bersifat timbal-balik (absoption and feedback). Dalam konteks ini, sistem cybernetic khususnya yang kini kita jumpai dalam teknologi mobile – di satu sisi memainkan kerja simulasi – meskipun sekaligus sedang membangun suatu formasi sosial yang memiliki struktur dan agensi – pelaku-pelaku aktif yang menggerakkan struktur tersebut. Kekuatan simulasi merupakan esensi dari kinerja sistem cybernetic, dikarenakan kemampuannya untuk menghadirkan imajinasi tentang keberadaan 'yang-liyan' (the other). Ien Ang menjelaskan bahwa praktik simulasi di dalam budaya teknologi berkenaan dengan keberadaan fantasi – yang menjadi persoalan sebenarnya bukanlah tentang 'fantasi itu sendiri' – melainkan fakta yang menunjukkan aktivitas 'berfantasi' itulah yang dipersoalkan. Yakni suatu aktivitas memproduksi dan mengkonsumsi fantasi yang memungkinkan kita untuk 'bermainmain' dengan realitas (Ien Ang, 2001). Kenikmatan yang menjadi 'candu' di dalam mengkonsumsi fantasi semacam itu bukan terletak pada upaya-upaya 'detecting truth' melainkan pada 'eksplorasi imajinasi terusmenerus yang bersifat tak terbatas'. Hal semacam inilah yang membuat relasi kita dengan teknologi mobile bukan sematamata suatu kebutuhan mekanis yang mempermudah aktivitas kehidupan seharihari, melainkan teknologi itu sendiri kini dirancang sekaligus sebagai suatu arena bermain yang memungkinkan setiap orang untuk 'menjauhi' realitas dan memasuki

'realitas virtual' di mana energi yang terfokus di dalamnya bukan ditujukan untuk mengungkap suatu kebenaran faktual, melainkan memperoleh kesenangan melalui serangkaian aktivitas menjelajah yang tak pernah ada batasannya. 'Estetika' sebagai Wacana Politis Budaya Visual Populer (Picture 4) Mengapa saya kembali pada topik 'estetika' dan menempatkannya sebagai argumentasi mendasar dalam artikel ini? Sebagaimana yang diulas di muka dalam diskursus kritik sosial, estetika bukan hanya menandai representasi ekspresi budaya, tetapi sekaligus menandai posisi praktik budaya dan agensinya di dalam realitas sosial. Dengan kata lain, konteks estetika populer dalam budaya visual merupakan perkembangan secara mekanis dan elektronis khususnya dalam reproduksi citra (image) sebagai unit semantis dan teknis yang keseluruhannya merupakan jantung kehidupan media moderen dan budaya populer (Evans dan Hall, 1999: hal. 1-8). Oleh karena estetika menyangkut topik pembahasan mengenai representasi dan sekaligus menandai artefak visual sebagai ruang artikulasi yang memiliki setting sosial yang terstrukturasikan. Dalam cyberculture, estetika – dalam pengertiannya yang tradisional – tetap menjadi suatu praktik yang menandai artikulasi mengenai cita rasa dalam suatu pencitraan, akan tetapi dalam level diskursif, formasi pembeda yang membentuk pencitraan estetis menjadi jauh lebih terbuka karena setiap ekpresi subyektif memperoleh ruang representasi yang lebih otonom, sebagaimana ungkapan alegoris kaum cyberpunk mengenai hal ini dinyatakan sebagai berikut: 'anyone can be a


18

producer'. Meskipun otentisitas dalam budaya visual populer bukanlah suatu 'karakter' pembeda yang mendasar, akan tetapi karakter technoculture khususnya yang difasilitasi melalui sistem cybernetic yang memungkinkan interaksi bersifat umpan-balik (feedback), memiliki implikasi sosial paling signifikan yakni pada mobilisasi massa dan ruang emansipasi melalui perantaraan multi-media.

adalah sebagai 'aksi' dan bukan sebagai 'kontemplasi' terhadap konteks kekinian, sehingga konsekuensinya berdampak ganda-dua sisi keping mata uang. Di satu sisi, memungkinkan 'hilangnya kesadaranhistoris' (the loss of historical consciousness), sebaliknya justru memungkinkan untuk memperbaharui cara-cara merekam sejarah (make possibilities to record history).

Alasan lain yang mendasari saya menempatkan 'estetika' sebagai suatu bentuk artikulasi atau bahkan wacana politis, tidak lain karena praktik seni dalam medan 'technoculture' acapkali dituduh sebagai suatu upaya 'desacralization of art' . Jika Pierre Bourdieu tetap menggunakan kategori struktur sosial untuk menjelaskan kecendrungan seseorang di dalam mengekspresikan cita-rasa seninya, maka kategori struktur (kelas) sosial di dalam medan technoculture bukanlah sesuatu yang dominan, melainkan bagaimana keterlibatan seseorang di dalam agensibudaya-lah yang menentukan. Berbeda dengan konseptualisasi estetika tradisional yang mendasari 'sejarah seni' sebagai suatu proses kontinuum budaya dalam peradaban manusia, maka dalam praktik technoculture di mana 'media berfungsi secara interaktif', sejarah 'bukan' lagi dipandang sebagai suatu perkembangan yang bersifat natural, atau dengan kata lain menjadi suatu realitas fenomenologis universal sebagaimana yang 'ingin' kita konsepsikan/kehendaki (a universal discernible phenomenological reality). Fenomena semacam ini memungkinkan upaya untuk mem-framing-kan paradigma dan ekspresi figuratif secara diskursif untuk mengetahui konstruksi budaya yang melatarbelakanginya (McLuhan: 2001). Orientasi praktik budaya technoculture

Dalam realitas cyberculture, estetika visual dipraktikkan melalui pencitraan fantasi. Fantasi disini bukan hanya suatu perwujudan imajinasi subyektif yang berimplikasi pada terciptanya suatu obyek (karya); melainkan pada narasi dan pencitraan yang memiliki suatu setting (setting-out). Fantasi memungkinkan imajinasi menjadi 'visible', sebagaimana yang dinyatakan Lacan sebagai berikut: “The fantasy depends not on particular objects; but on 'setting-out' and the pleasure of fantasy lies in setting-out, not in the having objects. Desire itself coming into existence in the representation of lack, in the production of a fantasy of its becoming present. Fantasy is not the object of desires, but its setting.” (Lacan, dikutip oleh Elizabeth Cowie dalam Evans dan Hall: 1999, hal 361) Tesis McLuhan mengenai implikasi sosial dalam aplikasi multi-media yang mengacu pada konsumsi memperoleh kesenangan (pleasure) semacam inilah yang (mengikuti logika kritis Horkheimer) menjadi kekuatan hegemoni praktik budaya baru yang bersifat kosmopolitan (melintasi batasan atau antar budaya). Sehingga dalam praktik budaya visual cyberculture, estetika bukanlah subyek pembahasan atau perdebatan mengenai legitimasi bentuk-


19

bentuk kreativitas, melainkan estetika sebagai suatu konsep untuk merefleksikan bahkan meregulasi kebiasaan, ekspresi sentimen yang acapkali beririsan dengan standar normatif perilaku sosial dalam realitas sosial yang sesungguhnya. Perhatian publik terhadap kecendrungan ekspresi dalam ruang cyberculture yang berlawanan dengan standar normatif biasanya ditujukan pada bentuk-bentuk ekspresi yang memuat unsur kekerasan atau kecabulan, bahkan etika politis semacam wacana mengenai praktik korupsi atau plagiarisme. Akselerasi bagi para warga-pengakses (residents) dalam komunitas Second-Life misalnya, untuk menciptakan setting yang memuat unsurunsur kekerasan secara ekstrem, bentukbentuk kecabulan (ilustrasi praktik pornografi, atau narasi mengenai pedofilia) bersifat sangat terbatas, bahkan terlarang. Dalam diskusi forum internet komunitas tersebut, pernah suatu ketika di awal 2007 berlangsung perdebatan sengit diantara para pengakses Second Life yang mengkritisi kreator (Linden Lab) dan sistem yang diterapkan di dalam komunitas tersebut karena dianggap memanipulasi dan karenanya diwacanakan sebagai 'korup'. Meski demikian, secara statistik, jumlah mereka yang mengakses ke dalam komunitas ini dari hari-ke hari semakin bertambah pesat. Jadi, masihkah estetika diperlukan dalam cyberculture? Tentu saja ya. Dengan melihat konteks di mana 'estetika' merupakan ekspresi pelepasan hasrat (desires) yang pelembagaannya berlangsung melalui intervensi politis – maka intervensi semacam ini acapkali adalah pilihan yang tak terhindarkan, karena bagaimanapun praktik budaya baru mempengaruhi perubahan dalam formasi relasi sosial kita, realitas sosial kita yang

sesungguhnya tetap merupakan medan budaya yang artikulasinya memiliki konsekuensi politis. Untuk menegaskan keberpihakan saya dalam menempatkan estetika sebagai wacana politis dalam praktik budaya visual populer, saya ingin menutup argumentasi saya dengan pernyataan seorang filsuf Budaya Edmund Burke, sebagai berikut: “There's a boundary to men's passions when they act from feelings; none when they are under the influence of imagination.” (Edmund Burke dalam “Appeal from the New to the Old Whigs”, dikutip dalam Terry Eagleton, 1990: hal.28) Referensi Ang, Ien, 2001. “On the Politics of Empirical Audience Reseach”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing. Benjamin, Walter, 1999 (recollected). “The work of art in the age of mechanical production”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage. Bourdieu, Pierre, 1999. “The Social Definition of Photography”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage. Bourdieu, Pierre, 1994. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, London: Routledge. Carvin, Andy, 2002. “Mind the Gap: The Digital Divide as the Civil Rights Issue in the new Millenium”, dalam Erik Bucy, Living in the Information Age, Belmont-USA: Wadsworth. Cowie, Elizabeth, 1999. “Fantasia”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage. Eagleton, Terry, 1990. The Ideology of Aesthetic, Malden-Massachussets: Blackwell Publishing. Harraway, Donna, 2003 (recollected). “A Manifesto for Cyborgs: Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s”, dalam Martin-Alcoff dan Mendieta, Identities: Race, Class, Gender and Nationality, Oxford: Blackwell Publishing. Hiller dan Rooksby (ed), 2002. Habitus: A Sense of Second Place, London: Ashgate. Horkheimer dan Adorno, 2001 (recollected). “The Culture Industry: Enlightenment as Mass


20

Deception”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing. Jessica, Evans dan Stuart Hall, 1999. “What is Visual Culture?”, dalam Jessica Evans dan Stuart Hall (ed), Visual Culture: The Reader, London: Sage. Massey, Doren, 1993. “Politics of Space/Time”, dalam Michael Keith dan Steve Pile, Place and the Politics of Identity, London: Routledge. McLuhan, Marshall, 2001. “The Medium is the Message”, dalam Durham dan Kellner, Media and Cultural Studies: keywords, Oxford: Blackwell Publishing. Nichols, Bill, 2000. “The Work of Culture in the Age of Cybernetic Systems”, dalam John Thorton Caldwell (ed), Electronic Media and Technoculture, New Brunswick: Rutgers University Press. Rheingold, Howard, 2006. The Virtual Community (“Chapter 5: Multi-User Dungeons and Alternate Identities”), versi elektronik di akses melalui alamat situs: http://www.rheingold.com/vc/book, diakses pada 1/11/2007. Ross, Andrew, 1991. Strange Weather: Culture, Science and Technology in the Age of Limit, NY: Verso. Sumber lain Wikipedia on-line free encyclopedia, topik pencarian 'Avatar', diakses melalui alamat situs: http://en.wikipedia.org/wiki/Avatar, diakses pada 23 Maret 2007.


21

Monadologi Estetika (Pasca-)Internet Oleh: Devananta Rafiq (Peminat Filsafat. Penyunting di INSISTPress)

Prawacana Pandemi seolah-olah telah menciptakan normal yang baru. Jika memang pandemi ini akan berakhir, entah itu karena vaksin telah ditemukan dan orang-orang akan kembali ke normal yang lama, atau Perang Dunia III pecah seperti yang diramalkan awal tahun ini dan kita kembali disibukkan dengan perkara normalitas yang lain. Di pandemi kali ini, kita dipaksa eksodus ke dunia maya, karena hidup bersama di dunia nyata tidak pernah seberbahaya ini sebelumnya. Eksodus ini otomatis membuat kita jadi pengungsi digital yang berkemah di atas “awan”. Di momen seperti, penting bagi kita untuk mengambil waktu jeda, tidak menerima segala hal yang seolah-olah “baru” ini secara apa adanya dan membalikkan sudut pandang untuk bertanya ada apanya? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari riuhnya internet seperti pada masa pandemi ini? Apa lapisan-lapisan ideologis tak sadar yang tersembunyi dari pemakaian internet yang nampak kasual ini? Semua penjelasan ini akan dirangkai menggunakan studi kasus keterkaitan

antara internet dan kesenian. Di akhir saya akan menggunakan 'monadologi' untuk memberikan tawaran resolusi. Seni dan Internet Studi kasus seni secara khusus dipilih untuk menggambarkan proses dua arah yang sebetulnya jadi karakter mendasar dari internet: ia memberi kesempatan kepada kita untuk tidak saja menjadi konsumen, tetapi juga produsen dengan menghasilkan produk bernilai lebih kepada orang lain. Contoh kesenian ini jadi menarik untuk menggali lebih atas tawaran radikal apa yang bisa kita buat secara konseptual maupun praktik darinya. Namun, pertama-tama kita harus berusaha memahami konjungsi di antara seni 'dan' internet. Saya paling tidak menemukan tiga modus penjelas konjungsi tersebut. Pertama, 'seni media baru', yaitu modus berkesenian yang memanfaatkan berbagai bentuk teknologi kiwari. Internet hanya salah satu pilihan jenis teknologi yang bisa dipilih untuk berkesenian. Kedua, 'Net Art', yaitu modus berkesenian yang menggunakan internet sebagai 'medium' kekaryaan.


22

Artinya, karya seninya dihadirkan menggunakan internet, sehingga otomatis karyanya menggunakan format yang sesuai dengannya. Ketiga, 'Post-Internet Art', yaitu modus berkesenian yang beranjak dari Net Art, karena memaknai internet hanya sebagai salah satu medium kekaryaan. 'Seni pasca-internet', jika boleh disebut begitu, memaknai 'ruang' secara lebih cair. Ketiga modus berkesenian tadi memiliki irisannya masing-masing. Net Art dan PostInternet Art bisa masuk ke dalam kategori 'seni media baru'. Karya Net Art bisa masuk ke ranah Post-Internet Art jika terjadi alih wahana, misalnya—tetapi tidak terbatas pada contoh berikut, dari bentuk gambar berekstensi .JPEG ke versi cetak yang bisa dipajang di dinding maupun sebaliknya. Artie Vierkant menulis dalam esainya yang berjudul “The Image Object Post-Internet” (2010), bahwa pemaknaan dalam 'seni media baru' terlampau sempit, karena hanya bermain-main dengan siasat 'kebudayaan teknologi', sehingga keseniannya bergantung dengan materialitas media. Di sisi lain, seni pascainternet tidak ambil pusing dengan materialitas itu, karena titik pijaknya ada pada 'konsep' yang bisa didiseminasikan melalui “ide, gambar, konteks, atau instruksi”. Poin seni pasca-internet adalah potensi reproduksi dan ketaktetapannya. Dari sini kita bisa setidaknya berlatih mengklasifikasi tawaran-tawaran estetika yang 'terkait' dengan internet. Contoh pertama, pameran “Karya Normal Baru”, sebuah kolaborasi bentukan Jakarta Biennale, Makassar Biennale, dan Biennale Jogja. Selayang pandang bisa ditangkap bahwa pameran ini merupakan

bentuk 'seni media baru' karena masih sibuk dengan mediumnya sendiri. 'Konsep' yang hadir dari keseluruhan pameran ini adalah sekadar menampilkan karya seni dengan meminjam internet sebagai ruang “kubus putih” tempat memajangnya. Karyakaryanya tidak 'berbasis' di internet, untuk disebut Net Art, karena tetap bisa ditampilkan secara luring tanpa kehilangan 'estetikanya'. Namun, mereka bukan pula seni pasca-internet, karena, terbatas pada bentuknya sendiri dan tidak bisa 'dikontekstualisasikan' dalam bentuk yang lain. Contoh kedua, karya Jon Rafman dengan judul “9 Eyes” (2008–masih berlangsung). Selayang pandang bisa dilihat bahwa 'penanda' karya ini adalah tangkapan layar antarmuka Google Street View yang diambil dari kamera berlensa sembilan dengan sudut penuh 3600 yang digunakan Google untuk menangkap gambar jalanan di seluruh dunia. Karya ini merupakan seni pasca-internet dengan 'konsep' reproduksi gambar mulai dari, tetapi tidak terbatas pada contoh berikut: format PDF di situs googlestreetviews.com, JPEG di Tumblr, dan versi cetak yang bisa dipamerkan di galeri. Tidak hanya itu, “9 Eyes” juga merupakan suatu 'instruksi' yang membuat kita tidak saja bisa mereproduksinya, tetapi membuat versi karya sendiri. “9 Eyes” sebagai konteks juga merupakan penampakan antarmuka Google Street View dari versi yang diambil Rafman ataupun sebagai ide “bahwa mengambil gambar tangkapan layar dari Google Street View adalah suatu cara berkesenian.” Pemaparan saya tidak mengisyaratkan bahwa ada satu di antara ketiga modus berkesenian di atas yang lebih “baik” ketimbang yang lain. Pada


23

subpembahasan selanjutnya, saya akan memproblematisasi ketiganya di bawah istilah 'estetika internet'—yang secara sengaja saya buat rancu. Seni Baru, Masalah Lama Keberatan saya terhadap 'estetika internet' ada pada ranah ideologis tak sadar yang berusaha diredam olehnya. Kesenian di, dengan, dari, oleh, internet yang punya banyak cara penyebutan ini memiliki masalah yang harus diurai. Dalam bagian lain esai Vierkant (2010) yang saya kutip di atas, ia mengangkat isu nilai tukar berupa 'perhatian' (attention) dalam menilai barang. 'Nilai lebih' komoditas diukur dengan seberapa banyak perhatian yang diberikan kepadanya. Semakin langka satu komoditas misalnya, maka perhatian yang ditujukan kepadanya akan semakin tinggi. Tidak harus langka, asalkan ada perhatian yang tinggi diberikan, maka nilainya di masyarakat akan semakin tinggi. Ekonomi berbasiskan perhatian ini yang melahirkan konsep 'tren', yaitu penunjuk arah ke mana perhatian kita harus dipalingkan. Dalam parafrase saya, menurut Vierkant, di antara modus berkesenian yang mengiringi internet, hanya seni pasca-internet yang bisa memecah fokus ekonomi pada perhatian yang terpusat ini. 'Pasar bebas' malah diam-diam mengakomodasi jual-beli tren itu sendiri. Saat tren bisa dibeli, berarti ia juga “membeli” masyarakat; siapa yang bisa menguasai tren, bisa menguasai masyarakat. Seni pasca-internet bagi Vierkant adalah potensi bagi demokratisasi perhatian melalui proliferasi tujuan atensi.


24

Dari Vierkant, saya berkesimpulan bahwa karya seni yang masih sibuk dengan urusan medium secara langsung bergantung pada sistem pasar bebas yang semu, yang memuja kelangkaan demi memenuhi ramalan swawujud 'hukum permintaan dan penawaran'. Saya setuju dengan Vierkant, dari penjelasannya kita jadi mafhum bahwa seni media baru dan Net Art masih terjebak dalam pusaran fundamentalisme pasar. Namun, sebaiknya kita menunda dulu klaim Vierkant tersebut: benarkah seni pasca-internet sesuci itu? Jika dirunut, istilah seni pasca-internet dicetuskan oleh Marisa Olson pada 2006 untuk menyebut modus berkesenian “setelah” internet. Kemunculan modus berkesenian ini sebetulnya terlampau antiklimaks. Bagi Olson, 'seni setelah internet' adalah 'seni di luar internet'. Artinya, 'seni dari internet' harus bisa mewujud di dunia nyata, untuk misalnya dipamerkan. Dari sini, kita bisa melihat bahwa idealisasi 'seni dari internet' harus selalu ditelaah lebih lanjut. Jika pemaknaan 'setelah internet' hanya persoalan kekaryaan yang keluar-masuk ruang pamer, hal itu sama saja kembali ke rantai pasok ekonomi perhatian. Saya suka sentimen Michael Connor dalam “What's Postinternet Got to do with Net Art?” (2013). Usaha menghubungkan 'kesenian dan internet', bagi Connor, artinya ikut serta dalam 'kebudayaan internet' untuk “menyusun ulang semua kebudayaan dari (by) internet”. 'Kebudayaan internet' ini menurut Connor cukup disebut 'kebudayaan' saja, karena keduanya sudah tidak terpisahkan. Dan menyerahkan diri pada internet artinya sama saja menyerahkan diri pada rezim kapitalisme neoliberal yang semakin menjadi-jadi akibat internet.

Senada dengan Connor, Huw Lemmey dalam “Mission Creep: K-Hole and Trend Forecasting as Creative Practice” (2013) mengutip konsep 'realisme kapitalis' dari Mark Fisher untuk mengkritik seni pascainternet. Siasat seni pasca-internet bagi Lemmey hanyalah gejala seniman dalam menavigasikan dirinya dalam krisis kapitalisme dan perubahan teknologi. Cara pandang 'realisme kapitalis' melihat keniscayaan kapitalisme sebagai akhirideologi; kita harus turut andil dalam sistem kapitalisme untuk bisa bertahan hidup, karena kapitalisme tak bisa dilawan. Jadi bagi Lemmey, tidak ada tawaran alternatif yang signifikan dari seni pasca-internet, karena kita diajak kembali ke modus kesenian yang terbatas pada status quo. Singkatnya, keberatan terhadap seni pasca-internet ini lebih merupakan kritik ideologis. Apa gunanya demokrasi, termasuk dalam kesenian, jika kita secara pasif hanya disodori pilihan tanpa benarbenar bisa aktif membuat pilihan alternatif sendiri? Apa gunanya inklusivitas, termasuk dalam kesenian, jika diskriminasi kelas masih terjadi? Untuk bisa menyusun resolusi, saya akan mulai dari hal paling mendasar, yaitu membongkar status ontologis dari internet itu sendiri. Baru kemudian mencoba menyusun resolusi bagi 'estetika internet' lewat monadologi. Estetika Internet sebagai Monad Pemaknaan paling sederhana dari internet adalah keterhubungan jejaring komputer mondial. Internet pada dasarnya adalah prasarana komunikasi dan satu-satunya 'aturan' yang ada di dalamnya secara inheren adalah 'protokol internet' berupa 'Transmission Control Protocol' (TCP) and 'Internet Protocol' (IP). Saya menganalogikan protokol ini sebagai


25

'penerjemah' yang memformat informasi agar saling sesuai dalam proses komunikasi. Di luar itu, tidak ada aturan lain yang merupakan bawaan “alamiah” dari internet. Pada dasarnya internet bersifat anarkis, peraturan-peraturan lain yang ada di sana sudah pasti dibuat-buat sendiri oleh manusia. Internet sering disalahpahami sebagai 'barang kepunyaan bersama' (common goods), dan oleh karena itu, komersialisasi berlebihan terhadapnya akan merusaknya. Konsep 'tragedi kepemilikan bersama' (tragedy of the common) digunakan untuk mewanti-wanti berakhirnya internet, karena 'habis dieksploitasi'. Mark Raymond dalam “Puncturing the Myth of the Internet as a Commons” (2013) menolak penggolongan internet sebagai commons dan karenanya menilai bahwa tidaklah sesuai untuk menggunakan konsep 'tragedi kepemilikan bersama' untuk mengkritik konsumsi berlebihan terhadapnya. Bagi Raymond, internet dikondisikan oleh infrastruktur yang sebagian besarnya dimiliki sektor swasta. Internet tidak akan “habis” hanya karena digunakan terusmenerus. Pihak-pihak seperti penyedia infrastruktur internetlah yang diuntungkan dengan overkonsumsi ini. Bagian inilah yang masuk dalam kritikan Connor dan Lemmey dari 'estetika internet'. Oleh karena itu, konsepnya sederhana saja menurut saya untuk menyelesaikan masalah internet yang mendukung kapitalisme neoliberal ini: jadikan infrastruktur internet milik publik. Mulai dari sini, penjelasannya jadi agak rumit. Menjadikan infrastruktur internet milik publik tidak sama dengan membuatnya jadi common goods. Internet akan tetap merupakan, seperti yang ditulis

oleh Raymond, 'barang kepunyaan kelompok' (club goods). Status ontologis internet adalah jejaring. Sebagai jejaring, tidak peduli apakah jejaring tersebut menghubungkan lebih banyak atau sedikit komputer, keduanya adalah internet. Masing-masing jejaring dengan jumlah komputer yang beragam tersebut bisa terhubung satu sama lain dan hubungan ini juga disebut internet. Artinya, yangkeseluruhan dan yang-sebagian di sini merupakan satu hal yang sama, yakni internet. Konsep 'monad' yang dikembangkan oleh sosiolog Gabriel Tarde pada abad XIX lalu bisa membantu menguraikan status ontologis internet ini. Dalam artikel bersama yang berjudul “The whole is always smaller than its parts–a digital test of Gabriel Tardes' monads”, Bruno Latour et al. (2012) menjelaskan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan selalu memunculkan ketegangan antara hipotesis 'sudut pandang satu tingkat' (one level standpoint [1-LS]) dan 'sudut pandang dua tingkat' (two level standpoint [2-LS]). Dalam sosiologi misalnya, Durkheim mendefinisikan 'masyarakat' sebagai sekumpulan individu. Ini adalah contoh hipotesis 2-LS dengan praanggapan bahwa ada kesatuan yang 'lebih besar' di atas satuan individu. Tarde di sisi lain dengan hipotesis 1-LS yang mereferensi Gottfried Leibniz, menggunakan istilah 'monad' sebagai keterpisahan semua entitas yang ada. Tidak ada unit totalitas/kesatuan dan satuan dalam pandangan ini. Tidak ada pula yang lebih tinggi/besar dari yang lain. Artinya, seorang individu tidak lebih besar dari jaringan sel, masyarakat tidak lebih besar dari individu, negara tidak lebih besar dari masyarakat, vice versa, dst. Semua hal yang ter-skala-


26

isasi lebih merupakan cara tertentu peneliti menavigasikan 'himpunan data'. Dengan monadologi ini, mari kembali ke estetika internet. Kritik terhadap estetika internet memang tepat perihal keterhubungannya dengan sistem kapitalisme. Namun, tidak semua internet otomatis ada dalam sirkulasi kapital ini. Kesalahan Connor dan Lemmey adalah identifikasi internet sebagai suatu 'keseluruhan' (whole); mereka mengecualikan kemungkinan internet sebagai partikular 'barang kelompok' yang bisa terlepas dari sisi internet yang tercengkeram kapitalisme. Internet merupakan medium yang membawa pesannya sendiri. Berkesenian dengan internet yang disusun secara mandiri, dari mahadata yang dikumpulkan dari kelompoknya sendiri, kemampuan kontekstualisasi dalam jejaring kelompok lainnya yang bukan seniman, sifat kepemilikan secara kolektif menggunakan blockchain privat, abstraksi dalam konsepnya sendiri-sendiri, dll., adalah ragam kemungkinan elaborasi monad estetika internet. Monad ini, dalam penegasan Bruno Latour et al., akan terus berubah dalam proses mendefinisikan hubungannya dengan monad yang lain. Bukankah ini ciri ketaktetapan yang diadvokasikan Vierkant? Pascawacana Sebagai calon penyintas COVID-19, mari melakukan meditasi dari momen riuh hubungan kita dan internet ini. Kesenian memiliki potensi untuk menawarkan sesuatu yang baru. Untuk bisa benarbenar memberikan alternatif, estetika (pasca-)internet harus bisa keluar dari ketergantungan pada perusahaan-perusahaan yang seolah-olah ingin membuat sistem datakrasi padahal maksudnya menciptakan hubungan ketakterpisahkan antara tirani modal dalam akumulasi data. Oleh karena itu, estetika internet harus keluar dari banalitas modus-modus berkesenian yang secara tak sadar mengukuhkan paradigma ketiadaan alternatif dari status quo yang menindas ini.


27

Alpukat dan Ilusi Kebaruan: Menyelamatkan Seni atau Seni Menyelamatkan Diri? Oleh: Rifki Akbar Pratama (Peneliti di KUNCI Study Forum and Collective)

Sebelum memulai ada baiknya saya menyelipkan sebuah peringatan dini: separuh dari uraian berikut boleh jadi adalah omong kosong. Demi sedikit menebus rasa bersalah pada pembaca, saya akan memulai dengan sebuah trivia. Dengan begitu, para pembaca mungkin bisa membawa pulang sedikit pengetahuan baru alih-alih hanya mengantongi basabasi. Semua bermula dari alpukat, betul, buah yang sebaiknya anda tahu. Boleh jadi, tidak menyukai alpukat adalah sebuah opini yang tidak populer. Tentu saja, ini bukan berarti anda tidak boleh membencinya. Di luar itu semua, saya rasa paling tidak anda pernah mencicipinya atau meneguknya dalam bentuk jus. Jika anda lebih kreatif tentu perkawinannya dengan telur bisa menghadirkan lebih banyak variasi olahan. Begitu pula jika anda melumatnya menjadi guacamole. Akan tetapi, bukan itu yang hendak saya bicarakan. Satu hal yang perlu anda tahu: saat menemukan buah ini sekitar 500 tahun sebelum masehi, suku Aztek penutur bahasa Nahuatl menamainya dengan āhuacatl. Arti harafiahnya? Biji pelir. Benar, karena bentuknya mirip dengan kantung kemaluan laki-laki. Sampai di titik ini saya harap itu menghadirkan perspektif yang baru bagi

para pembaca saat menyantap buah alpukat. Di sisi lain, saya harap hal tersebut bisa pembaca anggap sebagai upaya bercanda. Persis karena kedua hal itu, kebaruan dan toleransi terhadap hal yang lucu, seperti kebanyakan hal lain, belakangan sering dikampanyekan tapi jarang dapat ditemui dalam kenyataan. Demi menelusuri hal tersebut saya akan mengajukan beberapa pertanyaan. Bisa jadi ini berkenaan dengan seni maupun berbagai hal di luar seni. Saya pikir, apa yang bisa mendorong percakapan lebih lanjut adalah upaya mengajukan berbagai pertanyaan baru alih-alih mengelus-elus jawaban lama. Bertumpu pada cara pandang itu, saya harap jejalan pertanyaan berikut bukanlah pernyataan yang reaktif sifatnya. Pertanyaan pertama muncul dari kaidah kenormalan baru yang digaungkan belakangan. Istilah ini sendiri bukan barang baru. Normal baru (new normal) adalah label yang identik dengan upaya menamai keadaan sosial-ekonomi pascakrisis. Sebelum ramai digunakan di tengah pandemi, istilah yang sama dipakai buat periode usai krisis finansial juga momen resesi yang telah lalu. Meskipun begitu, buat saya istilah itu justru mengingatkan pada salah satu poster Atelier Populaire bertajuk retour à la normale.


28

memproblematisir apa yang belakangan ditelan mentah-mentah oleh berbagai kalangan. Tanpa perlu tarik-ulur, seperti tren main layangan belakangan, kita bisa melontarkan pertanyaan tersebut langsung ke bagaimana seni bekerja hari-hari ini. Jika wacana yang sama disalin-ulang sebagai titik pangkal berkarya, untuk tidak menyebutnya sebagai syarat utama, kebaruan macam apa yang bisa dimunculkan seni? Betul memang, Nina Simone pernah mengingatkan bahwa tugas seniman adalah merefleksikan zaman kala mereka hidup. Hanya saja, agaknya perlu dimengerti refleksi di sini bukan berarti sekadar repetisi.

Buat yang belum tahu, poster hasil cetak sablon itu menggambarkan segerombolan biri-biri yang bergerak searah. Mereka seolah-olah tampak mengikuti perintah kembali ke normal (retour à la normale) dalam huruf kapital di bagian latar. Lewat poster yang datang dari tahun 1968 itu sedikit banyak kita bisa mendapat isyarat, bahwa hasrat atas sesuatu yang normal itu biasanya hadir dari pengkondisian kultural tertentu. Pertanyaannya, bila gerak-gerik yang muncul mengikuti swa-klaim para penggembala (pemerintah, media, dan klikklik tertentu) kebaruan apa yang lantas bisa diharapkan muncul? Pertanyaan singkat tadi boleh jadi sederhana tapi cukup bisa

Tentu saja, barangkali, sepertinya, mungkin, hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak dimengerti dalam rujukan karya seni di tengah pandemi belakangan ini. Detail panggilan terbuka “karya normal baru” bertajuk Cur(e)ating the Earth, Shifting the Center: Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru telah mengisyaratkan hal itu. Dalam tulisan dengan judul yang begitu sublim, berbudaya, dan memanfaatkan bracketing dalam fenomenologi itu—di mana anda bisa membaca cur(e)ating menjadi cure, eating, curating, curing, dst.—telah diisyaratkan dengan cukup jelas meski malu-malu bahwa refleksi atas keadaan wajib hukumnya. Mengikuti paparan Arundhati Roy dalam “The Pandemic is a Portal” tulisan itu ikut menggarisbawahi, “bahwa persoalan pandemi adalah perkara relasi kuasa yang tidak seimbang, penguasaan sumber daya alam dan ekonomi yang tidak berpihak pada yang terpinggir.” Sayangnya, visi yang nampak ideal dari “karya normal baru” justru terperangkap dalam wacana yang hendak diretasnya.


29

Arundhati Roy sendiri menempatkan portal sebagai metafor bukan sekadar untuk menaruh harapan di ujung lorong gelap. Ia menempatkan portal sebagai metafor bagi pandemi karena mengandaikan “bahwa tak ada yang lebih buruk daripada kembali ke normal.” Bahwa, kita perlu menghindarkan diri agar pikiran kita tidak terjebak dalam “kerinduan untuk kembali ke normal”. Hal yang mau tak mau membuat kita “menjahit masa depan kita dengan masa lalu” dan mengabaikan adanya patahan yang nyata di antara keduanya. Karena kembali ke normal tak lain tak bukan berarti kembali mengulangi penindasan yang sama. Persis di titik ini, karena memeluk wacana normal baru, basa-basi visi ideal yang diambil “karya normal baru” jadi jauh panggang dari api. Tepat di sini, kita perlu bersepakat bahwa keluh-kesah atas apa yang dianggap “normal baru” ini bukan sekadar kritik terhadap penggunaan istilah atau etimologis semata. Lebih jauh daripada hal tersebut apa yang hendak dibicarakan ialah perihal jebakan diskursus “normal baru”. Penggunaan diskursus itu akan mengantarai juga mengerangkai cara berpikir para seniman yang terlibat. Persoalan mendasar kenapa visi ideal “karya normal baru” mandek adalah karena pemakaian “normal baru” itu sendiri sebagai pangkal pembicaraan. Berbicara meminjam wacana yang digelontorkan oleh negara sejauh ini sedikit banyak menggambarkan sebuah kemalasan berpikir. Tentu—untuk sedikit menghadirkan ruang untuk menyelamatkan muka—tidak serta-merta menjadi sebentuk kesalahan, kecuali wacana yang dilempar memang bermasalah. Masalah utama dari penggunaan diskursus “normal baru” adalah jebakan nalar berpikir

heuristik yang membayanginya. Cara berpikir ini menghendaki keputusan yang cepat dan tampaknya bakal lancar bekerja meski tak selalu tepat. Tentu saja, melempar wacana yang tengah menjadi tren terkini akan membuat hal itu otomatis bekerja. Sayangnya, ia bekerja lebih efektif sebagai batu sandungan. Diam-diam wacana itu mengarahkan aksentuasi karya, layaknya penggembala bagi biri-biri, pada hal-hal normatif tanpa dorongan pada kebaruan elaborasi visi. Alih-alih menyuguhkan visi orisinal, para seniman digiring ke satu corak tempat mereka bisa membaur serta tidak merasa terasing dari apa yang trendi tapi banal. Kita bisa memulai mencatat persoalan yang mengemuka dari hal yang sedari awal juga sudah tertera dalam panggilan terbuka: penggunaan ruang virtual. Bila pembaca menyusuri situs tempat karyakarya tersebut dipajang, pembaca bisa mendapati bahwa pertanyaan yang diajukan di panggilan terbuka serupa olokolok bagi diri sendiri. Pertanyaan “apakah (penggunaan ruang virtual) sesederhana hanya memindahkan karya atau dokumentasi karya ke medium digital dan mengunggahnya ke cyberspace?” bisa dijawab dengan “ya!” —anda bisa menggantinya dalam huruf kapital untuk menambahkan kemantapan. Suguhan dokumentasi video karya atau pengantar karya di kanal YouTube milik Biennale Jogja tak ada bedanya dengan vlog biasa. Satu kelebihan: minus iklan. Persoalan yang muncul belum berhenti di situ. Bicara perkara penggunaan teknologi dan intervensi terhadap medium yang dipakai, dari 10 karya, praktis hanya karya Natasha Tontey yang bergerak cukup jauh. Ia cukup lincah bicara soal sentralitas penambangan data dan alternatifnya lewat


30

“NeoFormal.Onion” meski masih terbata menjawab soal upaya desentralisasi aksesnya. Selebihnya adalah sekelompok orang yang hadir ke desa global bernama internet sebagai imigran yang ahistoris. Saya tak mau berpanjang-lebar membahas hal ini. Persis karena secara mendasar itu adalah ekses dari diskursus yang digelorakan. Alih-alih berbicara tentang “apa yang mungkin dilakukan dengan internet” karya yang hadir terjebak untuk berbicara tentang “apa yang bisa dilakukan dalam internet.” Tak ayal, alih-alih mengelaborasi visi apa yang kemudian dilakukan ialah ramai-ramai mengebiri diri sendiri. Persis di titik ini kita perlu berhenti sejenak. Kritik terhadap teknologi kadang melupakan politik dari kritik itu sendiri. Berbicara tentang penggunaan ruang virtual di masa pandemi tak lepas dari itu. Menjadikan berbagai hal di dalam jaringan sebagai fokus perbincangan mengelakkan kita dari upaya intens mengetengahkan kembali masalah-masalah riil di luar jaringan. Salah satu yang menonjol adalah upaya negara lepas tangan dengan melempar wacana normal baru atas dasar ancaman ekonomi. Di sini, kita bisa menemukan bahwa satu-satunya yang baru dalam wacana “normal baru” adalah “kesepakatan baru” mengamini wacana politik yang didominasi berbagai inovasi upaya menyelamatkan ekonomi. Boris Groys dengan jeli dalam On The New mencatat, bahwa inovasi selalu melibatkan penaksiran ulang atas segala hal yang dianggap bernilai. Sebagai penaksiran ulang atas nilai, inovasi tak lain tak bukan adalah sebuah operasi ekonomi. Dengan begitu, kehadiran sesuatu yang ditahbisakan sebagai “sesuatu yang baru” berada di bawah jeratan berbagai wacana ekonomi yang mengatur kehidupan

masyarakat. Wacana ekonomi ini mau tak mau akan menyusun segala hal di dalamnya berdasarkan hierarki kebergunaan. Singkat kata: status quo dengan bungkus terbaru. Seturut hal tersebut, tak berlebihan kiranya melihat daur ulang wacana negara oleh medan kesenian tak ubahnya gestur jabat tangan untuk lepas tangan dari masalah yang sesungguhnya. Tentu tak sepenuhnya salah, karena toh perut lapar tak bisa sertamerta dijejali karya seni. Namun, adalah hal yang boleh jadi disayangkan mengingat posisi seni sebenarnya mengandung potensi untuk bereksperimen menguji visi. Posisi yang dapat diisi terutama bila kesenian menolak menjadi biri-biri wacana negara. Theodor Adorno, dalam Aesthetic Theory, sudah mengingatkan jauh-jauh hari, bahwa “hanya melalui kebajikan dari negativitas absolut dari sebuah momen keruntuhan, seni berpotensi melantangkan apa yang tak terkatakan: utopia.” Satu karya yang justru patut menjadi sorotan dan barangkali bisa menginisiasi pembicaraan mengenai utopia adalah karya Eris Setiyawan, Vandy Rizaldi, Faizal Arrozi, dan Yahya Dwi Kurniawan bertajuk YAYASAN TONJO FOUNDATION. Diluar artikulasi dalam ruang virtual, yang masih terjebak pada ekspresi yang banal, karya mereka berhasil meloloskan secuil kritik yang potensial. Lewat olok-olok yang mungkin tampak karikatural mereka berhasil melancarkan otokritik pada ekosistem seni itu sendiri. Bahwa relasi yang kuasa yang timpang masih hadir dalam selubung praktik institusional seperti yayasan. Sadar atau tidak, formula redistribusi hibah dana yang mereka ambil menggarisbawahi permasalahan utama yang juga disinggung


31

Arundhati Roy. Bahwa, pandemi menghentikan sejenak “mesin kapitalisme” penghasil ketimpangan dan memberi kita waktu untuk menaksir apakah kita akan “memperbaikinya” atau mencari “mesin” yang lebih baik dari kapitalisme. Di sisi yang lain, karya mereka juga bersisian dengan maraknya gerakan redistribusi kekayaan belakangan juga upaya menggaungkan universal basic income sebagai jejaring pengaman. Sebuah upaya yang mencoba meretas jalan baru bagi kehidupan yang lebih setara—untuk tidak terlalu mengelu-elukannya sebagai utopia. Meskipun demikian, tawaran YAYASAN TONJO FOUNDATION bukan barang baru dan tanpa disertai masalah. Wacana yang terbentuk dari karya mereka bisa jadi bungkus yang menarik bagi kritik institusional, tetapi praktiknya dibayangi sebuah jebakan klasik. Posisinya sebagai perantara bagi penerima redistribusi dana hibah dengan instansi yang menggelontorkan dana tak jauh beda dengan makelar. Dengan kata lain, YAYASAN TONJO FOUNDATION adalah perpanjangan tangan dari yayasan lain, dengan besar sumber daya yang menjadi pembeda di antara keduanya. Persamaan yang menyatukan keduanya adalah semangat menggebu, bahwa apapun masalahnya filantropi solusinya. Meskipun begitu, tentu saja, perasaan riang usai mengulurkan tangan bagi orang yang membutuhkan tak serta-merta menghilangkan sistem timpang yang membuat tindakan “baik hati” itu dimungkinkan. Kita pun tak bisa mengandalkan sesat pikir lain, shifting the center, sebagai jargon. Lantaran menggeser pusat tak serta-merta mengandaikan desentralisasi. Toh, di posisinya yang baru boleh jadi

ketimpangan yang menjadi prasyarat justru semakin kuat. Tentu saja, upaya seni meretas jalan baru memang tak semudah membalik telapak tangan. Namun demikian, bisa jadi dengan mengalokasikan sedikit lebih banyak waktu dan energi untuk berpikir alih-alih hanya memamah biak wacana gelontoran negara dapat menjadi langkah awal. Kita toh tahu, kita tak bisa hanya mengandalkan filantropi via seni sebagai solusi atau sarana mengurangi rasa bersalah mereproduksi status quo dalam kemasan terbaru. Jika imajinasi kita sependek itu dan membayangkan seni hanya sebagai sarana “cuci tangan” maka seni tak ubahnya dengan kobokan. Namun, andaikata imajinasi kita memang sependek itu, maka lebih baik kita beramai-ramai mendisiplinkan diri untuk menikmati status quo sembari menyantap alpukat, menanam bijinya, dan tak lupa untuk cuci tangan.


32

“Membicarakan Kenyamanan Walau Rasanya Menjadi Kurang Nyaman” Sebuah percakapan bersama Riar Rizaldi Oleh: Khairunnisa

Sudah terlalu banyak tulisan atau pembahasan mengenai situasi pandemi ini. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ini menyebabkan kita mempertanyakan berbagai hal, kapan ini akan berakhir, bagaimana mengatasi kebosanan, atau mungkin bagaimana untuk tetap produktif dalam berkarya? Lantas pemanfaatan atas hal-hal yang sudah kita miliki menjadi diolah kembali, salah satunya dalam penggunaan internet. Keterbatasan atas ruang gerak dan interaksi secara langsung membuat internet menjadi ruang dan medium untuk beraktivitas sekaligus terhubung dengan dunia luar. Kegiatan yang tadinya selalu dilakukan secara leluasa, seperti rapat di kafe, pergi ke kantor, membuat pameran atau diskusi, semua akhirnya dicoba untuk dipindahkan ke dunia daring. Segala aktivitas atau kegiatan rasanya menjadi mungkin untuk dipindahkan semua secara daring, tetapi apakah semudah itu? Kegelisahan tersebut kemudian saya diskusikan bersama dengan Riar Rizaldi, seorang peneliti dan seniman yang saat ini berada di Hong Kong untuk menempuh program doktoral. Berangkat dari


33

maraknya kegiatan daring, mulai dari akademik, musik, sampai pameran seni rupa, kami mencoba mendiskusikan internet sebagai infrastruktur, mungkinkah situasi yang serba daring merupakan bayangan akan masa depan? Nisa (N): kegiatan sekarang banyak yang berubah menjadi daring dan aku sendiri jadi mulai mengeksplorasi aplikasi sosial media yang jarang dipakai, misalnya TikTok. Ternyata lumayan menyenangkan karena tidak memerlukan pembuatan akun untuk mengakses. Riar (R) : memang fitur menariknya adalah bisa menjadi penonton. Paska TPAC1, sempat berbincang dengan seorang teman yang sedang menulis tentang fenomena migrasi medium. Ada pertanyaan menarik yang timbul, saat kita sudah lebih sadar mengenai sentralisasi internet, korporatisasi internet, tetapi kenapa banyak orang yang tetap membuat akun? Ditambah fakta bahwa keamanan data di Indonesia rentan tapi kita masih jadi pengguna Twitter atau Facebook yang terbesar. Bagiku, itu disebabkan karena kita tidak punya alternatif. Akhirnya ruang kita dimonopoli dan tidak ada tawaran diluar itu. Sedangkan keterdesakan ruang sosial itu nyata. Saat seseorang tidak memakai platform ini, seakan-akan ada marginalisasi karena mereka tidak mengikuti perkembangan. Pada akhirnya, sosial media sendiri sudah jadi bagian dari kehidupan, menubuh, dan kalau kita menolak jadinya terplentang dari masyarakat, atau ide tentang masyarakat itu sendiri. Walaupun memang mencari alternatif menjadi sulit karena sudah dimonopoli, dan baiknya kita mencoba untuk menyuarakan lewat sosial media itu sendiri, sehingga bisa muncul kesadaran atau istilah yang banyak digunakan saat ini adalah "woke". N

R

1

: generasi usia dua puluhan sampai empat puluh awal sepertinya cukup terbiasa untuk mencari alternatif. Sedangkan, usia yang lebih tua rasanya mereka kurang terbiasa dan cenderung menerima apa yang sudah ada. : kalau generasi orang tua kita, Facebook sudah menjadi keseharian mereka. Ini jadi menarik kalau misalnya melihat melalui penggunaan internet, ada yang namanya digital detoks, situasi di mana kita berhenti menggunakannya secara rutin. Hal ini banyak terjadi sekitar lima tahun lalu. Namun, ada yang perlu dilihat dari digital detoks adalah saat seseorang pergi ke suatu tempat, misalnya untuk menikmati alam. Lalu, orang tersebut adalah pengguna Instagram, dia akan tetap punya logika Instagram walaupun sedang berhenti. Misalnya, saat melihat pemandangan bagus akan segera mengambil gambar dan menyimpannya untuk diunggah suatu hari nanti. Kamu jadi tumbuh dan terbiasa dengan logika platform yang kamu gunakan walaupun sedang tidak menggunakannya. Saat melihat sesuatu pasti akan segera mengambil gambarnya, sehingga logika sosialnya sudah mengarah kesana. Kalaupun ada orang yang sedang digital detoks dan kemudian kembali lagi kesana, sebenarnya orang tersebut masih melanggengkan logika itu.

Taiwan Performing Arts Centre


34

N R

N R

N

R

: sebelum terlalu jauh diskusinya, mungkin bisa perkenalan sedikit dan menceritakan mengenai kesibukan kamu belakangan ini? : perkenalkan aku Riar Rizaldi, basisku di Hong Kong. Aku lahir dan besar di Bandung. Saat ini di Hong Kong bekerja sebagai peneliti dan menyelesaikan program doktoral. Pekerjaan sehari-hari yang menghasilkan pendapatan adalah berkesenian. Sedangkan kesibukan belakangan sedang ada beberapa proyek yang dikerjakan tahun ini. Pekerjaanku sendiri banyak berhubungan dengan media, teori, film, dan seni kontemporer. Kekaryaan juga kebanyakan berbentuk film, video, dan tulisan. : di Hong Kong sekarang situasinya bagaimana? Apa kegiatan sekarang hanya sebatas dari apartemen dan ke kantor? : sudah bisa ke kantor. Kantorku bertempat di Run Run Shaw Creative Media Centre, sebuah laboratorium media dan terdapat departemen khusus untuk peneliti. Sehingga kegiatan sehari-hari ke apartemen dan ke kantor, juga belanja ke pasar. Kondisi disini sebelumnya sudah lebih membaik, dari bulan Mei dan Juni kasus COVID-19 sudah nol. Tapi saat Juli akhir muncul klaster baru, mereka menyebutnya sebagai third wave atau gelombang ketiga. Semua kegiatan kemudian berhenti hampir sebulan tapi sekarang sudah mulai aktif kembali. Walaupun masih ada kasus tapi paling banyak sekitar dua puluh. Restoran dan pasar juga sudah buka, orang-orang mulai keluar rumah dan pegawai negeri pun sudah bekerja. : sebaliknya, situasi di Jogja cukup menegangkan karena wisatawan sudah banyak walaupun angka kasusnya sebenarnya masih naik. Pameran juga beberapa sudah merencanakan untuk bisa diakses secara langsung. Tapi beberapa masih banyak yang hanya bisa dilihat secara daring. Kamu sendiri mengikuti atau mungkin sempat melihat beberapa pameran secara daring atau tidak? : Artjog sempat lihat pembukaanya saja. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu memiliki ketertarikan lebih jauh terkait pameran secara daring. Aku sendiri lebih sering mengakses karya yang berbentuk video karena jauh sebelum galeri mulai memindahkan karya menjadi daring, banyak seniman video yang membuka akses ke karyanya secara gratis. Ada seorang seniman yang membuat database untuk seniman video atau film yang membuka karyanya agar bisa diakses lebih luas melalui internet secara gratis. Aku lebih tertarik dengan bentuk seperti itu, sedangkan dengan pameran yang memindahkan karya fisik, seperti karya instalasi dalam ruang yang bisa diakses secara daring, misalnya memakai VR (Virtual Reality) atau yang lain, aku tidak terlalu mengikuti. Secara pribadi, aku tidak terlalu menangkap esensinya. Jika melihat seniman internet sekitar tahun 2005 sampai 2008, pada saat itu mereka memang mencoba memindahkan berbagai hal ke dunia internet karena mereka mau membicarakan mengenai ruang internetnya sendiri, sehingga aku bisa memahaminya secara


35

konsep. Dibandingkan dengan yang terjadi saat ini, seperti seni rupa komersil, contohnya Art Basel mereka membuat virtual galeri, tentu dengan tujuan untuk jual beli. Tapi sebagai penonton seni, jatuhnya hanya menjadi satu arah, tidak ada engagement lebih jauh lagi. Aku tidak sedang berusaha mengglorifikasi hubungan fisik tapi memang pada akhirnya aku tidak terlalu menangkap dan tertarik. N

R

: bagiku sendiri ketertarikan itu ada saat yang ditawarkan bukan dari galeri, misalnya akses museum secara daring. Ada rasa penasaran yang timbul karena permasalahan jarak. Rasanya kalau galeri seni terutama konteks dalam negeri, untuk menikmati pameran ada pengalaman ketubuhan yang berbeda saat menikmati sebuah karya. Kalau secara daring timbul ekspektasi atas bentuk interaksi lain dengan karya-karyanya. Bayangannya bukan hanya instalasi fisik yang kemudian dipindahkan secara daring dalam bentuk foto atau video, yang mungkin sebenarnya bisa dilakukan dengan pencarian di Google. : kalau museum dan yang bersifat arsip memang menjadi menarik. Tapi kalau melihat presentasi yang ada dalam galeri itu sebenarnya interaksi sosial didalam ruang yang menjadi berbeda. Kadang merasa ada masalah teralienasi kalau melihat hanya melalui layar komputer. Keterikatannya menjadi tidak terlalu kuat, mungkin dari konteks dan konsep secara keselurahan tentang sebuah pameran itu hanya pada tahap melihat saja. Sedangkan pada ruang-ruang seperti itu harusnya ada interaksi lain selain melihat. Mungkin bisa berhubungan dengan waktu, saat pergi ke galeri ada usaha untuk datang dan menyempatkan waktu, ada semacam usaha serta niat. Saat ini, galeri yang beroperasi secara daring, tetap ada usaha yang dilakukan untuk mengakses dan mengklik tapi tidak sepadan dengan mengaksesnya secara fisik. Ada gap yang aku rasa jika terlalu mudah untuk diakses, membuat itu menjadi tidak semenarik biasanya. Kalau dengan museum di luar negeri kendalanya adalah jauh. Sebelum aktif bekerja lagi, sempat ada masa diawal pandemi, aku mengakses kebun binatang di Jepang secara daring. Memang karena aku tidak pernah terpikir sebelumnya untuk datang. Itu hal yang sering terlewatkan begitu saja kalau sedang bepergian, seperti datang ke kebun binatang. Kembali lagi mengenai penggunaan waktu sebelum pandemi yang hanya diisi dengan bekerja dan jarang memiliki waktu luang. Non produktif misalnya, sebenarnya adalah bentuk reproduksi pengetahuan, lalu saat pandemi kita jadi melihat hal yang tadinya tidak pernah dilihat. Masa awal pandemi cukup banyak orang yang berkomentar kegiatan menjadi mati dan waktu produktif pun hilang, padahal bagiku bagus karena kita bisa istirahat. Walaupun aku juga sadar, bahwa aku memiliki privilege karena mempunyai pekerjaan. Lain halnya dalam konteks seni rupa, rasanya selalu ada pemikirian fear of missing out. Sudah beberapa bulan kita tidak ada kegiatan, rasanya harus melakukan sesuatu. Bagiku sendiri yang harus kita pikirkan adalah mengenai waktu luang, waktu reproduktif, leisure, dan hak untuk jadi pemalas. Saat roda kapital mati dalam beberapa bulan, esensinya itu adalah memanfaatkan waktu luang untuk berpikir apa sebenarnya waktu non produktif itu.


36

N

R

N

R

: karena juga bagi orang-orang yang bekerja di industri, waktu produktif sama dengan menghasilkan sesuatu, di mana pemahamannya cukup berbeda : iya, bagi mereka waktu produktif itu memang menghasilkan komoditas yang nantinya bisa ditukar, ada nilai tukarnya, dan ada hasilnya. Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan produktif atau tidak semua itu bisa terakumulasi menjadi pengetahuan. : kalau kembali ke seni internet, batas-batas apa yang menurutmu mungkin tercipta? Misalnya, terkait dengan pengalaman ketubuhan atau dengan karya yang tidak merefleksikan internet lebih jauh dan hanya menggunakannya sebagai ruang. : batas yang paling utama memang itu. Internet masih menjadi ruang yang sentral. Dalam pembentukan awal, internet dibayangkan menjadi platform yang meliberalisasi dan desentralisasi. Sedangkan sekarang masalahnya menjadi sentral, akhirnya saat segala hal dipindahkan ke internet, batasnya berada disana. Masalah akses misalnya, tidak semua orang memilikinya dan bagaimana pengalaman itu berakhir hanya di ranah internet saja. Sama seperti kita membicarakan aktivisme. Sempat beberapa waktu lalu, ramai dibicarakan terkait digital aktivisme atau klik aktivisme, apakah efektif untuk mentransformasi keadilan sosial? Apakah sebenarnya hanya menjadi spectacle atau tontonan orang-orang saja? Bagiku, tetap yang harus kita ubah adalah dunia diluar internet itu sendiri. Internet hanya jadi medium dan hal inilah yang bisa kita aplikasikan di ranah seni. Saat kita bicara soal batas, seni baiknya bisa membicarakan batas itu. Beberapa proyek di Karya Normal Baru misalnya, tidak seluruhnya mereka “memindahkan”, tapi juga ada yang memikirkan batas. Jadi praktik artistik itu bisa menjadi cara untuk memikirkannya atau berguna sebagai pisau bedahnya. Internet sebagai medium sudah dibicarakan dari tahun 90-an, tetapi pada masa itu mereka benarbenar membedahnya secara dalam, misalnya apa yang bisa dilakukan didalam internet. Kedepannya akan seperti apa, apakah Karya Normal Baru itu “normal yang baru”? Bagiku sendiri selama senimannya tidak melihat internet untuk dibedah dan diinvestigasi rasanya tidak akan menjadi “yang baru”.

N

R

: terkait dengan penggunaan “normal baru” sebenarnya tidak ada sesuatu hal yang benar-benar “baru” bagiku. Tentu ada kepentingan dan pertimbangan dalam penggunaan kata itu, kamu sendiri melihatnya gimana? : sebenarnya istilah new normal sudah lama digunakan, sekitar tahun 2017 dan 2018, banyak institusi seni dan teori yang memakai istilah itu. Misalnya setelah Donald Trump terpilih, atau munculnya kelompok sayap kanan, dan permasalahan climate change. Kalau sekarang, aplikasinya apakah seperti itu? Indikasinya kemungkinan istilah normal baru telah menjadi kampanye negara-negara, sebuah situasi di mana virus ada tapi kita harus hidup dengan virusnya. Namun, saat


37

berbicara bentuk kekaryaan ini menjadi normal yang baru, aku tidak yakin. Apa yang disebut baru lama kelamaan akan menjadi lama, aku tidak tahu dimana konsep dari normal baru ini dan apa yang dimaksud. Kalau membicarakan karya yang di internet ini sebagai sebuah normal baru juga tidak karena karya sebelumnya juga sebenarnya sudah banyak berada di internet. Normal baru mungkin juga bisa dilihat sebagai fenomena migrasi aktivitas kultural. Biasanya ada di ruang fisik dan komunal yang dinikmati secara kolektif tapi sekarang berada di ruang yang lebih subjektif dan individualis. Saat membicarakan soal pengalaman kekaryaan dan bagaimana kita mengakses, terutama di internet, saat kita membuka komputer hal tersebut menjadi pengalaman individual. Sedangkan saat disimpan di museum dan galeri bersifat komunal. Jadi, mungkin normal baru bisa dilihat sebagai bentuk transformasi produk kultural yang komunal menjadi individual secara akses. N

R

: di salah satu kelas Asana Bina Seni sempat ada perbincangan mengenai penting tidaknya penggunaan label seniman terkait dengan seni internet. Kalau membicarakan penting tidaknya tentu menjadi relatif, tetapi situasi dan kondisi seperti apa label seniman itu masih dibutuhkan? : kembali lagi ke kerangkanya, apakah itu institusi? Atau bagaimana senimannya itu memandang dirinya sendiri. Contoh di Documenta 2007 atau 2008, kuratornya mengajak seorang koki terkenal, aku tidak terlalu ingat namanya. Peristiwa ini cukup menjadi kontroversi karena label seniman yang sebegitu sahnya dan punya kedaulatan berkarya, kemudian dalam acara sebesar Documenta, mereka mengundang koki yang mungkin sekelas Gordon Ramsay untuk membuat karya. Hal ini tentu bisa menjadi pertanyaan artistic statement kuratorial yang digunakan seperti apa? Kalau ingin membicarakan tentang kekaryaan si koki dari profesinya, dia memang profesional dengan segala estetikanya tapi konteksnya akan berbeda dengan Rirkrit Tiravanija. Meskipun dia juga memasak tapi ada konteks di mana dia berada didalam sistem seni itu sendiri, industri teori, dan segala macamnya. Jadi pertanyaan seniman atau tidak kembali lagi ke institusi yang melabeli mereka sebagai seniman. Tapi juga dapat kembali lagi ke senimannya, apakah mereka secara kedaulatan menyematkan istilah seniman itu sendiri? Apakah itu profesi pekerjaan atau cuma label, mungkin sebenarnya dia pengangguran tapi menyebut dirinya adalah seniman? Menurutku pertanyaan lebih tepatnya, bagaimana institusi atau si senimannya dalam seni rupa mampu melihat perubahan ini. Lalu, bagaimana dengan karya di internet, apakah pembuatnya seniman atau bukan? Tetap saja sistem itu sendiri yang menamai seni dan tidak seni, semua itu dibentuk oleh institusi akademik, sekolah, produksi teori, keprofesiaannya, kurator, dan lainnya, mereka yang menentukan. Bisa aja, misalnya biennale tahun depan mengundang Dedi Corbuzier untuk berdebat dengan konteks bahwa itu adalah aktivitas seni, ini hanya pengandaian, tentu akan muncul perdebatan. Karena yang memproduksi seni itu seniman dan institusi itu sebagai ruang. Seperti


38

pembahasan apa itu seni dan seniman atau bukan, hal ini tidak lagi menjadi pertanyaan, semua sebenarnya sudah ada sistemnya, kalau kamu merasa kamu seniman dan kamu berada dalam sistemnya tentu tidak menjadi masalah. N

R

N

R

: menarik sebenarnya mengenai sistem ini karena pertanyaan masih sering muncul dari mereka yang baru belajar atau mendalami seni. Misalnya, dari kelas Asana Bina Seni yang aku kelola. Juga, ada dan tidak ada pandemi, pertanyaan ini terkadang masih muncul, dan sekarang dengan maraknya pembuatan karya di internet atau seni internet terkesan menjadi lebih mudah, pertanyaan ini menjadi menarik dibicarakan untuk melihat lagi sistem seperti apa yang bekerja dan siapa. : pertanyaan ini jadi penting juga sebenarnya karena kita mengunjungi kembali sistem seperti apa yang bekerja. Mungkin selama ini kita sudah terlalu nyaman, take it for granted, sudah paham ada patron institusi akademi, dan lain lain. Cuma terkadang institusi itu dibutuhkan untuk memikirkan kembali dan hal ini yang jadi penting. Walaupun kerangka apa itu seni dan siapa itu seniman jadinya lama kelamaan terlalu diulang-ulang. : sebagai penutup, mungkin di kelas Asana Bina Seni sebelumnya kamu pernah bilang bahwa seni internet itu bukan jawaban seni pasca pandemi. Bisa kamu jelaskan lagi mungkin mengapa seperti itu? : tidak ada hal yang semudah itu. Pandemi ini kompleks, jadi kalau net art adalah jawaban seni pasca pandemi juga tidak bisa semudah itu. Karena si net art dibangun karena adanya pertanyaan terus menerus mengenai infrastruktur internet. Sedangkan problem dunia ini bukan hanya internet. Untuk sementara orang pindah ke internet tidak masalah tapi kedepannya akan seperti ini dan inti kekaryaan menjadi di internet saja rasanya tidak begitu melihatnya. Kalau dari sejarah seni kacamata barat ada net art, lalu ada post internet, kemudian ada hal lain lagi, dan itu memang ada, tetapi juga terdapat hal-hal lain yang berlangsung diluar sana. Menurutku yang jadi masa depan setelah pandemi adalah seni yang terdesentralisasi, tidak adanya kanon. Net art di Indonesia dan Jepang saja berbeda, sehingga problem sekompleks ini seharusnya tidak bisa dengan mudah diimajinasikan menjadi bentuk yang tunggal.


28

39

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.