BERJALAN MENELUSURI PINGGIRAN

Page 1

ISSN: 9772442302196

THE EQUATOR Vol. 7/No. 3 Juli - Agustus 2019 Terbitan triwulan | GRATIS

Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

BERJALAN MENELUSURI PINGGIRAN

9 772442 302196



Do we live in the same P L AY G R O U N D ? Tajuk ini kami pilih untuk merangkum pembacaan kami dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan Biennale Jogja Equator #5 atas segelintir persoalan “pinggiran” yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara, terutama yang beririsan dengan masalah identitas (gender, ras, dan agama), narasi kecil, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, atau yang lebih spesifik, praktik kesenian. PLAYGROUND adalah alegori bagi ruang hidup dan/atau ruang ekspresi kita yang acap kali tampak menyenangkan, tetapi mempunyai berlapis-lapis persoalan di baliknya. Kita tidak hanya perlu mengurai dan mengenali persoalanpersoalan itu, tetapi juga bertanya–terutama kepada diri kita sendiri–tentang bagaimana kita akan mengambil posisi (entah sebagai seniman, kurator, penikmat kesenian, dan pihak-pihak lain) terhadap berbagai isu bersama yang hadir di hadapan kita.


Salam hangat para pembaca yang budiman! Tidak terasa dalam beberapa bulan perhelatan Biennale Jogja Equator #5 akan segera berlangsung. Beragam persiapan telah mulai disiapkan untuk menyambut pembukaan pameran pada 20 Oktober 2019 yang akan datang ini. Salah satunya adalah dengan melakukan perjalanan, terutama yang dijalani oleh beberapa seniman. Seperti yang sudah pernah dilakukan dalam penyelenggaraan biennale sebelumnya terdapat program residensi bagi seniman. Program residensi yang berlangsung kali ini dinamakan sebagai Residensi Kelana dan Rimpang Nusantara. Program ini merupakan bentuk kolaborasi dengan Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat. Berangkat dari semangat pinggiran yang diangkat pada biennale tahun ini, beberapa seniman mengeksplorasi isu tersebut melalui wilayah; darat, laut, dan sungai. Ferial Afif yang melakukan perjalanan darat berangkat dari Nangroe Aceh Darussalam sampai ke Riau, menelusuri jejak pahlawan-pahlawan perempuan di Sumatera. Tajriani Thalib, berkesempatan menjelajahi kisah mengenai cerita keseharian di Rumah Betang dan mitosmitos, di wilayah sekitar sungai, yaitu di Pontianak dan beberapa wilayah disekitarnya. Pengalaman mengenai laut dilalui oleh Ipeh Nur yang menuliskan ceritanya terkait relasi manusia dan laut melalui mitos serta tradisi yang masih terawat di kampung Pambusuang, Polewali Mandar. Tidak hanya di dalam negeri, perjalanan residensi pun juga menginjakkan kaki di Sabah, Malaysia, melalui cerita yang dituliskan oleh Citra Sasmita. Ia menuliskan pengalamannya bagaimana narasi-narasi lokal yang diwariskan secara turun-temurun dapat menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan sosial dan politik di masyarakat. Melakukan residensi dan perjalanan memberikan pengalaman menubuh yang sulit didapatkan dengan hanya membacanya. Tim kurator pun menuliskan sedikit refleksinya atas beberapa perjalanan dan pertemuan yang dilakukan selama proses riset untuk penyelenggaran biennale kali ini. Terakhir, terdapat liputan mengenai pameran “Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV2019”. Ini merupakan perhelatan yang melibatkan 16 seniman muda (individu dan kelompok) dibawah 35 tahun, di mana kemudian terpilih 5 seniman dan kelompok yang akan mengikuti pameran utama biennale Oktober nanti. Akhir kata, semoga cerita-cerita pada edisi kali ini semakin memberi gambaran mengenai semangat dan ide yang dibangun pada perhelatan biennale tahun ini. Sampai jumpa di tanggal 20 Oktober 2019! Salam, Tim Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Juli-September 2019, 1000 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunnisa. Kontributor: Arham Rahman, Citra Sasmita, Tajriani Thalib, Ipeh Nur, Pinka Oktafiatun Qumaira


KONTRIBUTOR Arham Rahman Citra Sasmita Tajriani Thalib Ipeh Nur Feril Afif Pinka Oktafiatun. Q

6| Semacam Catatan Perjalanan Oleh; Arham Rahman 12| Sabah Sepenggal Cerita Oleh: Citra Sasmita 18| Kisah Residensi Sungai Oleh: Tajriani Thalib 25| Berkelana di Desa Pambusuang Oleh: Ipeh Nur

SAMPUL

33| Harta Karun Sumatra Timur Oleh: Ferial Afif 41| Dari Batu, Air dan Alam Pikir... Untuk Udara dan Kehendak Bebas Manusia Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV-2019 Oleh: Pinka Oktafiatun Qumaira 45| Seniman Partisipan Biennale Jogja Equator #5 19 seniman Asia Tenggara dan 33 seniman Indonesia 47| Tentang Biennale Jogja

Fotografi: Penulis, Foto sampul: Ipeh Nur Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,

Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, Inco pro, PKKH UGM, Tirana Art House & Kitchen, Galeri

Lorong, Toko Gerak Budaya ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


6

SEMACAM CATATAN PERJALANAN Oleh: Arham Rahman

Laut Pambusuang, sebuah desa di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali-Mandar, Sulawesi Barat. Desa itu hanya sekira satu jam perjalanan darat (dengan menggunakan sepeda motor) dari kota kelahiran saya, Pinrang, Sulawesi Selatan. Meski sebelumnya pernah berkali-kali berkunjung ke daerah Mandar, tidak banyak hal yang saya ketahui tentang desa itu. Dulunya saya hanya tahu kalau di desa Pambusuang, Baharuddin Lopa (alm) dilahirkan–dan selang beberapa lama, saya juga hanya tahu ada aktivitas literasi yang keren di sana.


7

Yang kurang saya ketahui sebelumnya sangat banyak. Tradisi masyarakatnya, tradisi perburuan telur ikan terbangnya, sentra industri ikan asin dan kopranya, serta tradisi intelektual yang ada di sana, yang seolah telah menjadi satu kesatuan dan saling terhubung dengan wilayahwilayah lain di sekitarnya; Campalagian, Tinambung, hingga Kabupaten Majene. Kunjungan ke Pambusuang memaksa saya untuk berusaha memahami hal-hal yang saya lewatkan di waktu lalu. Di samping itu, ada sejumlah kepentingan lain yang kami sasar: membujuk Muhammad Ridwan Alimuddin, seorang aktivis literasi, untuk menjadi partisipan di Biennale Jogja Equator #5 sekaligus menjadi tuan rumah bagi peserta Residensi Kelana dan program Rimpang Nusantara Cemeti. Ridwan adalah penggerak literasi di Polewali-Mandar dengan Nusa Pustakanya. Selain membuka perpustakaan publik di Pambusuang, dia bersama sejumlah relawan di Nusa Pustaka, secara rutin mendistribusikan buku-buku di berbagai pulau yang ada di sekitar selat Mandar. Mereka menempuh jalur laut dengan menggunakan perahu Paddewakang, salah satu jenis perahu tertua di nusantara. Di samping itu, Ridwan juga adalah seorang peneliti dan menjadi salah satu narasumber penting jika kita hendak meneliti tentang warisan kemaritiman Mandar. Dia memenghasilkan sejumlah karya tulis dan film dokumenter; terutama berbagai macam soal tentang perahu sandeq, laut, dan masyarakat Mandar. Dari Ridwan saya kemudian berkenalan dengan Rahmat “Panggung”, seorang seniman yang sempat lama bermukim di

Jogja. Rahmat memberikan pemetaan komunitas seni yang ada di Tinambung dan Kabupaten Majene, bahwa ada puluhan komunitas teater dan kesenian tradisi (khususnya musik) yang tersebar di kedua wilayah itu. Rahmat juga lah yang memperkenalkan saya dengan sejumlah pelaku kesenian di sana, termasuk Tajriani Thalib, seniman kecapi yang tergabung dalam komunitas Teater Flamboyan, yang kemudian menjadi salah satu peserta Residensi Kelana dan Rimpang Nusantara. Cerita tentang Mandar secara khusus akan dihadirkan pada perhelatan Jogja Biennale Oktober mendatang. Tidak hanya melalui tuturan visual oleh Ridwan dan Tajri yang memang diundang untuk menjadi partisipan pameran, tetapi juga dari tiga seniman Residensi Kelana dan Rimpang Nusantara yang sempat tinggal selama sebulan di sana. Pilihan untuk menjadikan tanah Mandar sebagai salah satu titik berangkat bukan hanya karena banyak aktivitas kebudayaan yang berlangsung di sana. Mandar, khususnya melalui Pambusuang, kami jadikan pijakan untuk membaca isu lain: segitiga perdagangan antara Sulawesi, Kalimantan, dan Filiphina, tiga kawasan yang mempunyai posisi strategis dan saling terhubung di masa lalu. Jalur laut yang menjadi penghubung antarketiga kawasan itu pernah menjadi jalur yang cukup sibuk dan masih mempunyai jejak hingga saat ini. Manusia perahu, perompak-perompak Suluh, hingga nelayan-nelayan Mandar yang hilir-mudik berlayar mencari ikan, saling bertemu di perairan itu. Bekal informasi dan pengetahuan yang digali di Pambusuang tersebut cukup membantu dalam proses riset kami selanjutnya.


8

Mitos dan Memori Manila menjadi persinggahan kedua. Perjalanan ini terbilangsangat singkat untuk menjangkau banyak soal, terlebih lagi, kami mesti menentukan dua orang seniman yang akan dilibatkan dalam perhelatan Biennale Jogja nanti, yang salah satu di antaranya bakal diajak untuk mengikuti program Residensi Kelana di Pambusuang. Saya sebenarnya berharap bisa mengunjungi Suluh atau Mindanao, agar dapat menarik garis yang secara langsung menghubungkan kawasan itu dengan Mandar. Namun karena sejumlah alasan, termasuk di antaranya masalah “keamanan”, keinginan tersebut urung terlaksana. Dengan waktu yang pendek, tentu saja saya belum bisa memetakan secara objektif wilayah mana yang menjadi pusat seni rupa di Metro Manila. Namun tampaknya, Kota Quezon menjadi kawasan yang paling aktif. Sejumlah komunitas seni, galeri, kampus seni, dan studio seniman ada di wilayah ini. Seperti Jogja, tetapi dengan wilayah yang lebih luas. Di wilayah ini juga saya bertemu dengan sejumlah seniman, termasuk Ling Quisumbing Ramilo dan Nerisa Del Carmen Guevara, dua seniman yang pada akhirnya dipilih sebagai partisipan dalam Biennale Jogja nanti. Kami menawarkan kepada Nerisa untuk mengikuti program


9

Residensi Kelana Laut di Pambusuang. Sebagai seorang penampil, Nerisa sering menggabungkan antara instalasi dan performans, dengan cakupan tema yang cukup beragam; agama, pengalaman tubuh, kekerasan, agama, mitos, dan pengalaman tentang kematian. Jika ditilik, eksplorasi isu dalam karya-karyanya hampir tidak berhubungan langsung dengan soal laut. Namun demikian, kami hendak melihat hal lain yang mungkin akan muncul saat Nerisa bersentuhan dengan masyarakat Pambusuang. Masyarakat Pambusuang sangat lekat dengan mitos laut dan barangkali, dalam bayangan kami saat itu, Nerisa bisa menemukan jejak-jejak atau bentuk relasi lain yang menghubungkan antara masyarakat Mandar dengan masyarakat di kepulauan-kepulauan Filipina. Harapannya, eksplorasi dan temuan Nerisa nantinya dapat membuka ruang dialog baru mengenai hubungan antar-komunitas masyarakat itu. Adapun Ling, mempunyai minat yang sangat besar terhadap objek atau benda temuan (found object). Dia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seniman-seniman muda yang pernah menjadi muridnya. Karya-karyanya didasari oleh perspektif material culture; yang mana di dalam perspektif ini, setiap material atau objek diyakini mengandaikan memori atau narasi tertentu. Kami memilih salah satu karya yang pernah ia buat sebelumnya, “Forest for the Trees”. Karya itu berupa instalasi rak-rak buku, yang baik rak maupun buku-bukunya terbuat dari balok-balok kayu bekas bangunan cagar budaya. Karya itu akan dibuat ulang di Jogja, tetapi dengan konteks “memori material” yang berbeda.

Membaca Konflik dan Seni yang Menerabas Selepas Manila, Hanoi dan Hue di Vietnam serta Narathiwat di Thailand menjadi persinggahan selanjutnya. Tidak seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, di mana tim kurator Biennale dipecah dan jalan sendiri-sendiri, pada perjalanan kali ini kami datang dengan tim lengkap. Perjalanan ini juga terasa lebih mudah, sebab jauh sebelum berangkat kami telah menentukan siapa saja yang akan dipilih untuk menjadi seniman partisipan. Sehingga yang perlu kami lakukan adalah bertemu dan ngobrol perihal rencana presentasi seniman yang disasar. Dan kebetulan, seniman-seniman yang kami undang di kedua negara ini mempunyai kerangka topik yang sama: konflik dan seni yang politis. Secara umum, seni rupa di Vietnam menghadapi persoalan yang juga pernah terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, yakni sensor. Pemerintah Vietnam memberikan pengawasan yang cukup ketat terhadap setiap aktivitas kesenian. Tidak jarang pameran-pameran seni rupa harus ditutup lantaran karya-karya yang ada di dalamnya dianggap mengkritik pemerintah. Meski begitu, tidak sedikit seniman yang tetap bersikap kritis dan mengambil posisi politis yang jelas melalui karya-karya yang mereka buat. Tran Luong di Hanoi, misalnya, masih sangat aktif membuat berbagai jenis proyek seni–khususnya di ruang publik–yang membicarakan persoalan sosial-politik di negaranya. Sejumlah proyeknya yang melibatkan senimanseniman muda seringkali mesti dikerjakan sesamar mungkin atau bahkan secara ilegal, seperti menempatkan karya di


10

sejumlah ruang publik dan secara terang-terangan mengajukan kritik terhadap situasi sosial-politik di Vietnam. Selain Tran Luong, kami juga bertemu dengan Nguyen Trinh Thi di Hanoi. Trinh Thi bekerja melalui medium video dan/atau film. Dia membagikan sejumlah cerita menarik, terutama tentang Champa dan proyek terbaru yang tengah dia garap, yakni penjara atau kamp kerja paksa. Dari kedua cerita itu, kami tertarik untuk menghadirkan ceritanya tentang Champa, yang ia kemas melalui sebuah film pendek bertajuk “Letters From Panduraga”. Karya itu membicarakan soal masyarakat etnik minoritas Champa yang terdesak karena rencana pemerintah Vietnam untuk mengembangkan instalasi nuklir di kawasan Ninh Thuan (yang dulunya dikenal sebagai Panduraga). Letters From Panduraga bisa memberikan gambaran tentang situasi dari kelompok minoritas yang kian terdesak oleh kepentingan negara–situasi yang jamak terjadi di berbagai kawasan Asia Tenggara. Setelah menghabiskan beberapa hari Hanoi, kami lantas menuju Kota Hue. Di kota ini, kami secara khusus bertemu dengan Nguyen Thi Thanh Mai untuk membicarakan salah satu karyanya yang akan dibawa di Biennale Jogja, yakni seri karya “Day by Day”. Karya itu mengambil latar di Kamboja dan bercerita tentang komunitas manusia perahu. Day by Day sedikit mengingatkan saya


11

tentang komunitas manusia perahu yang ada di Bajo, wilayah pesisir Kalimantan, dan juga Suluh. Manusia perahu atau dalam istilah lainnya, orang laut, tersebar di berbagai kawasan Asia Tenggara. Dari selat Malaka, perairan Sulawesi dan Kalimantan, Filipina khususnya di Suluh, serta perairan Laut China Selatan. Manusia perahu menjadikan laut sebagai teritorialnya, dan sebelumnya tidak pernah mempunyai masalah dengan persoalan “kewarganegaraan”. Mereka bebas bepergian, melintasi perairan-perairan yang kini telah terbagi menjadi zona-zona laut dari sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah batas-batas negara ditetapkan, manusia perahu seolah kehilangan wilayahnya. Mereka kemudian “dipaksa” mendiami daratan, memilih identitas kewarganegaraan tertentu, seperti yang terjadi di Bajo. Dalam Day by Day, Mai menunjukkan persoalan lain yang dihadapi komunitas marginal ini, di mana mereka tidak mempunyai legalitas sebagai warga negara. Pertemuan dengan ketiga seniman Vietnam itu memberikan kami berbagai perspektif penting dalam melengkapi kerangka kuratorial yang kami kerjakan, terutama yang berkaitan dengan potensi politis dari seni. Perspektif tersebut kemudian kami kembangkan lagi dan perbandingkan dengan apa yang kami pelajari dari tempat lain, yang salah satu di antaranya, Thailand. Di Thailand kami berkunjung ke Narathiwat, sebuah provinsi di Selatan Thailand yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Mayoritas penduduknya beretnis melayu dan

beragama islam. Wilayah ini pun masih dalam pengawasan penuh pemerintah Thailand, semacam daerah operasi militer. Di Narathiwat kami mengunjungi Kolektif Muslimah, kelompok seni yang digerakkan oleh beberapa orang perempuan. Kolektif Muslimah seringkali mengangkat isu sosial dan konflik yang berlangsung di daerahnya. Memang, Narathiwat sangat akrab dengan konflik, terutama yang berkaitan dengan represi militer terhadap masyarakat yang mendiami wilayah Thailand Selatan dan telah berlangsung selama puluhan tahun. Kolektif Muslimah mempunyai ekspresi visual yang unik. Mereka membicarakan persoalan konflik dengan narasi yang sangat halus. Selalu terasa menarik ketika melihat ekspresi-ekspresi kesenian dari komunitas masyarakat yang hidup di wilayah perbatasan. Cara hidup dan bentuk ekspresi kebudayaan atau keseniannnya sangat hibrid. Kami merasa gagasan yang mereka suarakan bisa menjadi bahan pembanding yang penting untuk memahami kondisi yang juga kita hadapi di Indonesia. Simpul Serangkaian perjalanan yang kami lakukan, baik sendiri-sendiri maupun secara tim, merupakan proses penting untuk melengkapi kerangka gagasan kuratorial Jogja Biennale Equator #5 di tahun ini. Pertemuan dengan senimanseniman yang memang kami pilih untuk menjadi partisipan pameran maupun yang tidak, telah membantu dalam memperkaya perspektif kami dalam memahami makna “pinggiran”. Tugas kami selanjutnya adalah menjahit gagasan-gagasan yang telah kami dapatkan itu dan merancang strategi presentasinya di pameran Biennale nanti.


12

SABAH, SEPENGGAL CERITA Oleh: Citra Sasmita

Rambutnya berubah menjadi hamparan pakis. Darahnya menjadi benih-benih padi. Rusuk menjadi pisang, gigi menjadi jagung dan potongan-potongan tubuh lainnya menjadi hasil alam yang melimpah. Begitulah Hominodun menyelamatkan umat manusia dari bencana kelaparan dan kekeringan. Cerita ini merupakan cerita pertama yang saya dengar di hari pertama menjalani residensi di kota Kinabalu (Sabah, Malaysia), sebuah kota yang berada dalam kesatuan pulau Borneo bersama dengan Brunei Darussalam dan provinsi Kalimantan (Indonesia). Berbeda dengan pembangunan pesat Malaysia di daerah Semenanjung atau Kuala Lumpur, tidak banyak gedung-gedung pencakar langit atau mall-mall besar di Sabah. Di berbagai sudut kota hanya ada bangunan tua peninggalan perang dunia ke 2, pertokoan beberapa lantai dan selalu ada kedai-kedai masakan Cina atau India di setiap bloknya. Tidak jauh dari Kota Kinabalu,


13

juga masih banyak terdapat daerah pinggiran atau pedesaan dengan arsitektur bangunan berupa rumah kayu yang menandakan identitas masyarakat adat daerah tersebut. Jika di Kuala Lumpur yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian, kelompok masyarakat yang dianggap sebagai mayoritas adalah orang Malay. Orang Malay tidak hanya diartikan sebagai etnis Melayu, namun juga diafiliasikan sebagai kelompok masyarakat beragama Islam. Sabah ternyata menghadirkan pengalaman yang berbeda karena Sabahan (begitu orang Sabah menyebut diri mereka) menyatakan identitasnya sudah sangat membaur dan sulit diidentifikasi secara khusus yang merujuk pada satu etnis atau karakteristik masyarakat tertentu. Jika di Semenanjung kita akan dengan mudah menjumpai etnis Melayu, Cina dan India, akan tetapi di Sabah menjadi lain persoalannya. Penduduk asli Sabah atau dikenal sebagai bumiputera setidaknya terdiri dari 30 kelompok etnis dengan menggunakan lebih dari 50 bahasa dan 90 dialek. Mayoritas yang saya temui merupakan etnis Kadazandusun dan Murut di beberapa pasar tradisional yang diselenggarakan setiap 2 kali dalam seminggu seperti di Dongongon, Tamparuli dan Papar. Di pasar Tamparuli, saya juga sempat bertemu dengan orang-orang Jawa yang telah menetap selama 3 generasi sejak zaman penjajahan Jepang sebagai buruh perkebunan. Selain itu, migrasi orang-orang Philipina (yang hingga kini masih dianggap sebagai penduduk ilegal), orang dayak dari Kalimantan, dan orang Brunei juga menjadikan Sabah sebagai titik temu dari pelbagai bangsa dan kebudayaan. Percampuran kebudayaan ini bahkan sudah ada sejak di masa lalu karena lokasi geografisnya yang berada di sisi laut Cina Selatan juga membuatnya menjadi salah satu persinggahan jalur


14

perdagangan di Asia Tenggara. Di samping cerita-cerita mengenai bagaimana pedagang Cina dan Inggris memperketat pertahanan karena rentan diserang bajak laut dan pemburu kepala, ada juga cerita-cerita magis masyarakat adat mengenai dewa dewi penjaga alam dan ritual akan kelahiran hingga kematian. Masyarakat etnis yang sangat beragam di Sabah membuat saya tertarik untuk menelusuri narasi, folklore ataupun mitos yang diwariskan secara turun temurun melalui tradisi rinait (chanting). Saya meyakini bahwa interaksi kultural yang terjadi tidak hanya melalui perdagangan dan politik antar bangsa, namun sastra lisan juga menjadi medium penting bagi masyarakat Sabah dalam mewariskan nilai. Proses pewarisan nilai ini tentu erat kaitannya dengan etika dan aturan sosial yang harus dilakukan oleh masyarakat lokal ataupun para pendatang, terutama saya ingin menelisik bagaimana posisi perempuan dalam narasi-narasi tersebut. Pertemuan saya dengan Yee-I Lann di Kotak 8 Sireh, di Tanjung Aru merupakan sebuah permulaan dari penelusuran saya. Ia merupakan seorang Kadazan dan neneknya merupakan seorang Bobohizan (pemimpin spiritual). Masyarakat etnis di Sabah sesungguhnya masih menjalankan ritus yang dijalankan oleh Bobohizan atau Bobolian dalam pelbagai keperluan hidup mulai dari kelahiran, pernikahan, kematian, bercocok tanam dan merayakan hasil panen, pengadilan adat, mereka juga dikenal sebagai seorang penyembuh karena mempunyai kemampuan dalam meramu obat-obatan. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah mayoritas orang yang terpilih menjadi Bobohizan adalah perempuan. Mereka melakukan rinait, yaitu narasi yang menjadi sumber pengetahuan dan kebijaksanaan yang diwariskan secara turun


15

temurun melalui mantra atau lantunan puja-puji terhadap Tuhan dan alam. Peran Bobolian ini membuat saya meyakini bahwa kebijaksanaan dan kebudayaan timur telah memiliki sistem kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pekerjaan yang mereka lakukan memang tidak sama, namun peran yang mereka lakukan dianggap penting dalam menjaga keharmonisan dalam hubungannya dengam alam, manusia dan Tuhan. Jika pada masa lalu para laki-laki menjadi pejuang dengan pergi berperang, perempuan pun sama, bagi orang Kadazan perempuan adalah pejuang di dunia roh. Alam menjadi narasi yang sangat sentral di Sabah, terutama dalam representasi yang feminin. Hipotesa ini muncul tidak hanya setelah saya mengunjungi Arkib Negri Sabah dan mengakses arsip folklore yang dihimpun oleh para penulis dalam korankoran tua. Cerita-cerita ini didapatkan dari tokoh yang dipercaya atau yang diwariskan serta mengetahui narasi tersebut. Sebagian besar dari narasi tersebut menceritakan tentang muasal alam semesta, mitos, legenda serta cerita yang bersifat tabu. Kebanyakan menghadirkan pesan moral didalamnya secara eksplisit, namun ada juga yang bersifat rahasia (hanya diketahui oleh tetua adat atau cerita yang hanya bisa diceritakan kepada lakilaki, barangkali ini erat juga kaitannya dengan seksualitas). I-Lann juga menceritakan sebuah kisah yang diwariskan oleh neneknya mengenai dewa Kinoingan dan istrinya Suminundu yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Huminodun. Kecantikannya diabadikan dalam puisi dan rinait serta dalam sebuah festival panen raya yang dilakukan setiap tahunnya di Sabah yaitu festival Kaamatan (upacara perayaan khusus untuk menghormati spirit padi), di mana dalam rangkaian acaranya para

Bobohizan melantunkan puisi dan mendoakan kesuburan tanah untuk panen berikutnya. Unduk Ngadau (perempuan yang dinobatkan sinar matahari) juga menjadi acara utama festival Kaamatan dimana ratusan perempuan Kadazan berkompetisi menjadi yang terbaik untuk menjadi representasi Hunimodun, kurang lebih semacam kontes kecantikan. Setelah tujuh hari dari Unduk Ngadau muncul kepercayaan bahwa pemenang dari kontes tersebut merupakan jelmaan dari Hominodun. Tampaknya cerita mengenai Hominodun diglorifikasi sedemikian rupa dan masyarakat memiliki euforia yang sangat tinggi terhadap jelmaan arwah padi ini, maka Unduk Ngadau telah dilakukan sejak 1959 hingga saat ini. Namun, inti dari cerita Hominodun bukanlah dari kecantikannya, melainkan mengenai bagaimana tubuhnya di korbankan oleh ayahnya, dewa Kinoingan (dalam versi yang lain oleh Suminundu). Dari ujung rambut hingga kaki, seluruh tubuhnya dipersembahkan untuk menyelamatkan umat manusia dari bencana kekeringan dan kelaparan. Setelah jasadnya disemayamkan, kemudian tumbuhlah berbagai macam jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan suku Kadazan. Padi, kelapa, tebu, jangung, labu, pakis dan lain-lain, dipercaya sebagai jelmaan Hominodun. Pengorbanannya kepada bumi inilah yang menjadi spirit agrikultur masyarakat di Sabah, dengan kata lain alam juga direpresentasikan dengan tubuh perempuan. Kesempatan selanjutnya saya berinisiatif mengunjungi kantor penerbitan Sabah Society Journal setelah menemukan beberapa jurnal tahun 1983 di toko barang antik di pasar minggu Jalan Gaya. Sabah Society Journal telah berdiri lebih dari 60 tahun yang banyak meneliti dan


16

menuliskan kajian mengenai Sabah baik dari segi sejarah, antropologi dan arkeologi yang sekaligus menjadi ruang untuk mengarsipkan data-data sosial dari masyarakat Sabah. Dari arsiparsip tersebut, saya menemukan sejumlah teks yang menunjukkan adanya persebaran narasi di Sabah yang dipengaruhi oleh kulturkultur wilayah di sekitarnya. Pada edisi Jurnal yang saya peroleh secara tidak sengaja ini ternyata menganalisis persebaran narasi dan folklore yang ada di Sabah. Edisi dalam jurnal ini menjadi benang merah untuk menggali lebih dalam mengenai sastra lisan yang ternyata bersifat arketip dengan folklore yang ada di Bali dan juga ditemukan dalam kebudayaan Nusantara. Misalnya cerita mengenai larangan untuk tidak makan penyu mempunyai kemiripan dengan kepercayaan di Bali untuk tidak memakan hewan tersebut sebagai konsumsi sehari-hari karena dianggap hewan yang suci. Dari beberapa ritual yang ada di komunitas adat Kedazan, Murut, dan Ranau juga mempunyai kemiripan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang ada di Nusantara, khususnya di Bali. Menelusuri narasi tentang posisi perempuan dalam konsteks sosio historis di Sabah, tentu tidak mungkin dilakukan tanpa melihat realitas sosial yang terjadi hari ini. Seperti apa wajah perempuan di kota Sabah hari ini, merupakan akumulasi dari berbagai peristiwa yang terjadi di masa silam. Melalui I-Lann saya terhubung dengan SAWO (Sabah Woman's Action-Resource Group) dan Bentara Kata. SAWO merupakan sebuah organisasi perempuan yang telah berdiri sejak tahun 1985 yang banyak bergerak di isu keadilan

5


17

gender, menolak adanya kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan anak usia dini. Saya bertemu Winnie Yee salah seorang founder SAWO yang telah banyak memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, terutama menolak adanya pernikahan anak usia dini. Angka pernikahan anak di usia dini menurut Winnie masih cukup tinggi karena sistem adat beberapa etnis di Sabah memperbolehkan usia pernikahan bahkan ketika anak perempuan baru mengalami menstruasi. Beberapa kasus pernikahan anak juga terjadi karena kesulitan ekonomi seperti anak penduduk migran yang tidak mendapatkan legalitas sebagai penduduk Malaysia sehingga mereka tidak bisa memperoleh pendidikan dan mendapatkan fasilitas kesehatan. Pernikahan dengan penduduk asli menjadi satu-satunya pilihan untuk kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan bekerja menjadi buruh serabutan dengan gaji yang sangat kecil. Selanjutnya saya berkesempatan untuk mengikuti lokakarya yang bertajuk Keadilan Gender dalam Wacana Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh kolektif Bentara Kata, sebuah kolektif feminis yang aktif menyuarakan isu-isu kesetaraan dan keadilan gender di Sabah, mereka juga aktif mengadakan Woman's March setiap tahunnya. Dalam acara lokakarya ini, pemateri yang diundang salah satunya adalah SIS (Sisters In Islam), sebuah organisasi feminis yang berlokasi di Kuala Lumpur. Materi yang mereka bawakan sangat menarik karena mewacanakan konteks feminisme di Malaysia dalam lingkup masyarakat yang mayoritas muslim melalui mekanisme interpretasi ulang terhadap tafsir Al-Quran pada tema-tema seputar seks, gender dan seksualitas.

Menutup perjalanan di Sabah, saya bersama I-Lann mengunjungi Angelica Suimin, salah seorang Bobohizan dan peneliti folklore yang menjadikan pengalaman saya selama di Sabah menjadi komplit. Angelica menyempurnakan fragmen-fragmen informasi yang saya dapatkan sebelumnya sekaligus menjelaskan konteksnya secara lebih mendalam. Terutama mengenai peran Bobohizan di ranah kultural dan upaya mereka mempertahankan diri dari menguatnya politik identitas oleh kelompok mayoritas masyarakat muslim di Malaysia. Karena keberlangsungan peran Bobohizan juga berarti kelanjutan bagi khazanah ritual dan folklore yang telah diwariskan secara turun temurun bagi orang-orang Sabahan. Sabah memiliki khazanah pengetahuan masa lalu yang melimpah jumlahnya. Hingga kini khazanah tersebut masih berjalan melalui ritual dan sastra lisan sebagai medium pewarisan nilai antar generasi, meskipun seiring waktu juga mengalami perubahan seiring konteks zaman yang terefleksikan melalui kehidupan sosial di Sabah hari ini. Sebagai wilayah serumpun, Sabah dan Bali (tempat saya berasal) hidup dalam konteks dan problematika sosial yang hampir serupa. Masyarakat yang hidup secara kultural harus berjuang mempertahankan eksistensinya di tengah berbagai tantangan sosial dan politik, seperti menguatnya politik identitas ataupun pembangunan ekonomi secara terpusat. Melalui narasi-narasi lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun di setiap lingkup kebudayaan, masyarakat telah hidup dan membangun landasan pengetahuannya sesuai dengan konteks yang dihadapinya selama ini. 5 Agustus 2019 Citra Sasmita, perupa berdomisili di Bali


18

KISAH RESIDENSI SUNGAI Oleh: Tajriani Thalib

Tanggal 20 Juni 2019 untuk pertama kalinya saya ke Pontianak dalam rangka mengikuti residensi program Rimpang Nusantara oleh Cemeti Institute for Art and Society, kerjasama dengan program Residensi Kelana dari Yayasan Biennale Yogyakarta. Saya beruntung sekali karena mendapatkan kesempatan ini. Selama di Pontianak, saya tinggal di Canopy Center yang saat ini telah memiliki dua cabang yakni di Sintang dan Singkawang, sedangkan pusatnya berada di Pontianak. Komunitas ini merupakan sebuah ruang untuk berkegiatan, belajar bersama dan diskusi berbagai topik. Canopy Center adalah sebuah bangunan berlantai tiga. Tempat ini memiliki ruangan untuk pementasan, letaknya di bagian belakang bangunan. Selain itu terdapat satu ruangan untuk Sekolah Alam Canopy. Lantai dasar difungsikan sebagai kafe. Di setiap sudut kafe terdapat ornamen khas suku Dayak. Tiang-tiang dalam ruangan dijadikan rak buku. Kafe ini ramai pengunjung hampir sepanjang hari. Orangorang berdatangan khususnya di saat akhir pekan untuk melaksanakan kegiatan. Di hari ketiga, kami melaksanakan kunjungan, yang pertama adalah ke rumah

Radkhang. Rumah Radkhang dibangun pada tahun 2013. Selain menjadi salah satu ikon di Kota Pontianak, rumah ini menjadi lokasi pelaksanaan gawai atau tradisi perayaan masyarakat suku Dayak. Lokasi selanjutnya adalah rumah adat Melayu. Rumah adat Melayu juga kerap dijadikan tempat untuk perayaan atau kegiatan-kegiatan adat masyarakat Melayu. Tujuan berikutnya adalah Pelabuhan Niaga tertua di Pontianak, yakni pelabuhan Sheng Hie yang dipadati kapal-kapal. Beranjak sedikit dari pelabuhan ini bisa ditemukan satu pasar yang ramai dan cukup luas, namanya Pasar Tengah. Lebih jauh lagi, terdapat sebuah gerbang dengan tulisan “Awak datang kame sambot”. Setelah memasuki gerbang itu kita akan tiba di kawasan Istana Kadriah, istana Kesultanan Pontianak. Tapi sebelum itu kami menuju ke Kampung Beting yang letaknya sangat dekat dari Istana Kadriah. Kampung Beting adalah sebuah pemukiman yang dibagun di atas sungai. Rumah-rumah padat, pintu ketemu pintu, teras rumah nyaris bersambung. Jalan setapak ditopang tiang-tiang yang terpancang ke sungai. Dahulu rumah-


19

rumah di sini terbuat dari kayu tapi sekarang tidak lagi. Di depan rumah warga, setelah jalan setapak itu ada sekitar tiga atau lebih anak tangga menuju sungai. Di bawah sampan-sampan tergeletak. Air sedang surut dan mendangkal saat kami datang. Kata mereka sore sampai malam air akan pasang. Setelah makan siang di Kampung Beting, kami menapak lebih jauh. Lalu kami tiba di ujung jalan dan berjumpa dengan para bapak yang menyediakan jasa penyeberangan menggunakan sampan bermesin ke Pasar Tengah. Cukup menegangkan mencoba transportasi tradisional ini, sungai begitu luas dan ketika ada kapal berukuran besar lewat atau spead boat maka terasa sekali gelombang menggoyangkan perahu. Tujuan berikutnya adalah Istana Kadriah, istana yang terbuat dari kayu dan didominasi oleh warna kuning. Di dinding-dinding ruangan terpajang foto-foto para raja. Aku mencermati setiap pajangan di dinding, juga keterangan masing-masing. Marga mereka adalah Alkadri, karena itu nama istananya adalah Istana Kadriah. Di tempat asalku juga ada satu desa yang dipenuhi oleh keturunan Arab, Alkadri adalah salah satu fam yang ada di sana. Setelah dari istana selanjutnya kami masuk ke dalam masjid tua. Terdapat empat tiang kayu besar di tengah-tengah ruangan yang menyangga masjid ini. Terdengar seseorang sedang menyampaikan Khutbah, sebentar lagi shalat ashar. Kami beranjak meninggalkan Kampung Beting dan kawasan sekitar Istana.


20

Perjalanan membawa kami ke Tugu Khatulistiwa. Tempat ini dikunjungi banyak orang. Saya menyadari jika saya berada di titik nol derajat bumi. Sebelum pulang sore itu, kami menyempatkan menaiki kapal yang membawa kami menyusuri sungai Kapuas, melihat dari dekat beberapa orang sedang mandi dan mencuci di tepian sungai dan yang lain sedang mengurus kapal-kapalnya, yang lainnya lagi berada di atas kapal-kapal yang besar, yang lainnya lagi berdiri diantara susunan container yang berukuran besar-besar. Kontainer-kontainer itu tahu betul sebelum dibawa kemana ia akan melewati apa, ada tulisan “SAMUDERA” berukuran besar melekat padanya. Beberapa bangunan di kota ini menggunakan ornamen Dayak, yang lainnya menggunakan ornamen Melayu. Terlihat dari model atap dan ukiran-ukirannya. Sesuai pengamatanku, ada tiga tempat ibadah yang dibangun dengan ukuran besar dan luas; Masjid, Gereja dan Vihara. Pada hari lain saya berkunjung ke museum, terdapat tiga jenis baju adat pernikahan yang dipajang di sana. Baju adat Melayu, baju adat Dayak, dan baju adat Tionghoa. Dayak adalah penduduk asli Kalimantan Barat, mayoritas lain adalah Melayu dan Cina. Madura, Bugis, Jawa adalah suku lain yang jumlahnya juga cukup banyak. Kota lain yang kukunjungi adalah Sintang. Dari Pontianak dibutuhkan delapan jam perjalanan. Di Sintang saya menginap dan


21

mencoba menemukan sesuatu yang menarik di rumah betang suku Dayak Desa. Suku tersebut merupakan sub-suku Dayak Iban. Setelah menginap di rumah betang, kami kembali ke Sintang dan ikut serta dalam Voice Of Borneo Festival, yang diselenggarakan di Canopy Center Sintang oleh komunitas Canopy. Kami ikut menjadi pemateri di sesi diskusi. Selain berbagi informasi mengenai kegiatan residensi, kami juga berbagi kisah tentang kegiatan literasi dan proses pengkaryaan. Setelah kembali ke Pontianak, kami memulai riset pada ketertarikan masing-masing, seminggu pengenalan dan mencari. Pada hari minggu yang lowong dan santai, kami bepergian ke Kabupaten Landak untuk berkunjung ke Makam Juang Mandor, makam para korban perang penjajahan Jepang pada tahun 19421945. Kami memasuki kawasan kuburan massal yang terbagi menjadi sepuluh tempat, ke monumen yang berada di pintu masuk gerbang makam lalu wawancara dengan juru kunci makam. Sebelum siang, kami meninggalkan Landak dan menuju ke Mempawah. Berkunjung ke Istana Amantubillah, sama halnya dengan Istana Kadriah yang berada di Pontianak letaknya di pinggiran sungai Kapuas dan Istana Almukarromah Kesultanan Sintang yang letaknya di pinggiran pertemuan antara sungai Kapuas dan sungai Melawi. Istana Amantubillah juga berada di tepian anak sungai Mempawah. Saya membayangkan betapa sungai memiliki peranan besar pada peradaban, tempat


22

kebudayaan satu dengan yang lain dipertemukan oleh pendatang. Saya memulai untuk fokus pada tradisi lisan dan mengatur kunjungan ke Balai Bahasa dan museum. termasuk orangorang yang direkomendasikan. Saya juga ke Institut Dayakologi. Dari Institut Dayakologi saya mendapatkan informasi mengenai seorang narasumber yang tinggal di Dusun Tem'bak, Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak Hulu. Saya harus kembali ke Sintang dan itu menjadi akhir dari perjalan saya selama berada di Kalimantan Barat. Meski dengan susah payah menemukan Gurung Mali, saya akhirnya sampai ke sana juga. Dua hari pertama saya betulbetul tersesat sebelum akhirnya menemukan narasumber yang saya butuhkan. Beliau menuturkan tentang kisah turun-temurun bahkan berencana menuliskannya. Ada beberapa orang yang sedang diusahakan oleh beliau untuk menjadi penerusnya untuk mengingat, menyimpan dan menuturkan kembali kisah-kisah dewa-dewi Dayak dalam memori kolektif mereka. Selanjutnya saya kembali lagi ke rumah betang Ensaid, menyusuri jalan selama sejam penuh. Rumah Betang Ensaid Panjang adalah rumah tradisional suku Dayak yang masih dilestarikan dan dijaga keasliannya. Rumah betang di Desa Ensaid memiliki dua puluh delapan bilik. Seluruh bagian rumah terbuat dari kayu, kecuali di bagian toilet yang lantainya disemen. Terdapat dua tangga utama di rumah Betang, pada sisi kiri dan kanan, tangga perempuan dan tangga laki-laki. Jika pertama kali datang naik melalui tangga perempuan, maka saat pulang juga

harus menuruni tangga itu. Aturan yang sama berlaku untuk tangga laki-laki. Bilik pertama saat menaiki tangga perempuan adalah bilik seorang nenek yang kutemui sebelumnya. Kami dijamu dengan dua jenis tuak yang rasanya enak dan si nenek tadi mendongeng kisah-kisah lama untuk kami. Bilik pertama setelah naik ke tangga laki-laki adalah bilik milik pak Bintang, tetua adat di rumah betang ini. Selain tangga di kedua sisi, ada beberapa tangga lagi di bagian depan rumah. Sejak pagi para perempuan di rumah Betang menyiapkan alat tenun dan melanjutkan tenunan hingga sore. Selama itu mereka mengambil jeda untuk mengurus anak atau menyiapkan makan siang. Pada malam hari beberapa orang berkumpul di teras rumah dan yang lainnya telah masuk ke dalam bilik masing-masing. Pada kunjungan kedua ini listrik padam sekitar tiga jam lebih di malam hari. Saya bersama ibu pemilik bilik memasak di dapur di bawah penerangan lampu senter. Ia mengeluhkan nasi akan terlambat masak karena dimasak bukan dengan ricecooker. Di dapur terdapat sebuah tungku tradisional. Di dinding kayu dapur tergantung topi yang digunakan ke ladang, alat yang digunakan saat mansai atau menangkap udang di sungai, beberapa tas dan wadah yang terbuat dari daun senggang. Wadah dan tas itu digunakan saat ke kebun, ke ladang atau masuk ke hutan untuk mencari buah. Di atas meja tersusun rapi rak-rak piring, penanak nasi, kompor gas dan perkakas dapur yang lain. Di teras depan para lelaki sedang mengobrol di bawah penerangan pelita menunggu masakan siap. Setelah selesai makan malam listrik bisa digunakan kembali, televisi yang berada di titik tengah


23

rumah betang dinyalakan. Orang-orang yang ada di teras pun bisa menonton televisi dari sana. Mereka menonton berita politik di salah satu stasiun televisi swasta. Suasana tenang beberapa kali diinterupsi dengan sayup komentar penonton. Para wanita sembari menonton juga mengerjakan tenun ikat syal-syal. Ada juga beberapa ibu yang memisahkan daundaun senggang dari batangnya, lalu membentuknya jadi lingkaran seperti donat. Maka diikatlah beberapa daun itu lalu akan diikatkan lagi ke dinding kayu rumah betang. Itu akan dibiarkan hingga beberapa hari. Daun itu harus kering untuk bisa dibuat berbagai macam wadah fungsional. Malam semakin larut, televisi dimatikan. Orang-orang masuk ke bilik masing-masing. Suara-suara serangga dan binatang hutan terdengar lebih jelas saat malam. Saya mengingat pertama kali datang ke Sintang, seorang kawan berkata bahwa rumah tradisional ini telah memiliki fasilitas modern. Sudah ada televisi di masingmasing bilik, sudah tidak seperti dulu lagi. Saat pertama kali datang ke rumah betang, kawanku itu berkomentar tentang motormotor yang terparkir di depan rumah. Lalu tentang musik dangdut yang kami dengar malam itu. Di kedatanganku yang pertama juga, saya dan anak-anak masuk ke dalam hutan hingga ke air terjun. Saya haus dan butuh air dingin setelah sampai di betang. Ternyata mudah sekali mendapatkan air es di rumah adat itu, hampir semua bilik punya lemari es. Pagi ini sedang mengalun lagu Barat. Seorang kawan berkomentar “siapa yang menyetel musik itu pagi-pagi begini? Itu bukan lagu Dayak.” Setelah itu ia tidur kembali. Pagi itu juga saya cemas jika

melaksanakan wawancara, musik itu akan terekam dalam video dan menurutku itu tidak bagus. Siangnya saya mengobrol dengan orangorang dan bermain dengan anak-anak. Saya berpikir, memangnya kenapa jika mereka menikmati musik tertentu? Kenapa jika dapur mereka dilengkapi penanak nasi? Kenapa jika mereka memiliki televisi di dalam biliknya dan mereka mengendarai sepeda motor? Mereka juga manusia yang ada di zaman ini. Mereka membutuhkan alat-alat bantu untuk mempercepat kerja mereka. Mereka butuh pendidikan yang tinggi. Dari informasi yang kudapatkan ada dua pemuda yang saat ini sedang kuliah di kota. Salah satunya anak kepala dusun, satunya lagi seorang perempuan yang pernah saya jumpai sedang menenun kain. Mereka juga seperti manusia pada umumnya yang butuh kebutuhan dasar terpenuhi untuk mencapai aktualisasi diri. Abraham Maslow dalam buku Teori Kepribadian mengungkapkan bahwa semua orang dimana pun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. Terdapat sebuah hierarki kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri; dimulai dari (1) kebutuhan fisiologis (makan dan minum), (2) kebutuhan akan keamanan, (3) kebutuhan akan cinta dan keberadaan, (4) kebutuhan akan penghargaan (penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan), (5) kebutuhan akan aktualisasi diri. Selain lima hierarki kebutuhan ini terdapat pula beberapa kebutuhan yang lain yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai aktualisasi diri, diantaranya; kebutuhan estetika, kebutuhan kognitif yakni ilmu pengetahuan atau pendidikan dan yang terakhir kebutuhan neurotik. Maslow memperkirakan bahwa rata-rata orang


24

membuat kebutuhannya masing-masing terpenuhi sampai kurang lebih sebagai berikut; fisiologis 85%, keamanan 70%, cinta dan keberadaan 50%, penghargaan 40% dan aktualisasi diri 10%. Mereka butuh mesin listrik untuk memasak nasi, sepeda motor untuk bepergian dengan efektif, mereka juga membutuhkan telepon genggam untuk terhubung dengan orang-orang lain dalam rangka apapun, mereka butuh hiburan dari televisi maupun dari musik yang didengarkan meski bukan musik Dayak. Mereka manusia sama seperti yang lainnya meski tinggal dalam rumah tradisional dan menerapkan hukum adat. Tidak masalah jika mereka memanfaatkan teknologi, tugas mereka untuk tetap melestarikan tradisi dan kebudayaan di tengah kondisi tersebut. Pada sore hari akhirnya saya bisa bertemu dengan tetua adat di rumah Betang. Saya pun mendokumentasikan beliau melakukan Bekana Padi, salah satu tradisi tutur yang menjadi syarat penting saat acara Gawai Padi. Beliau menjelaskan tahapannya, menceritakan bagaimana rasa syukur dan rasa bahagia saat dilaksanakan Gawai Padi. Beliau juga menjelaskan isi dari Kana Padi. Beliau juga menjelaskan bahwa ia sedang melatih beberapa orang untuk menjadi penerusnya nanti. Seseorang yang dapat melaksanakan Bekana Padi ini adalah hal penting dalam prosesi adat gawai padi. Pada suatu kesempatan saya bertanya kepada anak-anak apakah kelak mereka ingin kuliah? Beberapa menjawab, ya. Lalu kutanya lagi, “Jika besar nanti setelah kuliah apakah mau tinggal di tempat lain atau kembali ke rumah betang?” mereka menjawab “Baliklah, kak, mana boleh tidak

kembali?!”. Bagi orang-orang yang pernah secara langsung terlibat dan merasakan tradisi dalam masyarakat tempat ia dibesarkan, kebudayaan dan tradisi bagaikan rumah untuk pulang. Akan dilestarikannya karena baginya itu penting. Ada manfaat yang didapatkan, bahkan mungkin walau hanya sekedar memberi rasa pulih pada jiwanya di tengah-tengah kehidupan yang tidak selalu mudah. Seperti fungsi mitos yang diungkapkan oleh Rollo May dalam buku Teori Kepribadian bahwa mitos berkontribusi dalam pertumbuhan psikologis apabila seseorang menerima dan membiarkan mitos membuka kenyataan baru, tragisnya banyak orang menyangkal mitos universal sehingga dapat mengakibatkan rasa terasing yang merupakan komposisi utama dari psikopatologis. Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens menuliskan bahwa homo sapiens menjadi eksis dibandingkan jenis homo atau manusia yang lain dan berhasil mencapai titik tertinggi dalam peradaban adalah karena kemampuannya meneruskan kisah-kisah yang kemudian membuat terjadinya kerjasama yang besar bahkan pada orangorang yang tidak saling mengenal. Terjadi pula perubahan dan perkembangan hingga kisah-kisah universal itu berubah dalam berbagai jenis keyakinan yang kemudian dipegang teguh oleh manusia-manusia di alam ini. Sekali lagi Harari mengungkapkan bahwa begitu muncul, budaya tidak pernah berhenti berubah dan berkembang. Perubahan dan perkembangan jelas terjadi, tugas kita semua menjaga apa yang penting bagi kita walau mungkin bentuknya akan berubah, tapi perubahan itu pun akan jadi bukti bahwa kita menjaganya.


25

BERKELANA DI DESA PAMBUSUANG Oleh: Ipeh Nur Selama sebulan saya tinggal di desa Pambusuang, salah satu desa atau kampung pesisir di kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saya singgah sementara di Nusa Pustaka, perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin salah satu pegiat literasi sekaligus pemerhati budaya bahari. Pambusuang terletak di pantai teluk Mandar, terletak sekitar 300 km di sebelah utara Makassar. Jika menarik ke dalam sejarah, Mandar adalah salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan, selain Bugis, Makassar dan Toraja. Mandar terbentuk oleh persatuan federasi 14 kerajaan, pitu baqbana binanga atau 7 kerajaan pesisir yang bersatu dengan pitu ulunna salu atau 7 kerajaan pegunungan. Pada tahun 1800-an, Mandar sempat dikuasai oleh kolonial Belanda. Tidak hanya menguasai perdagangan yang saat itu terkenal dengan kopra, juga politik, sosial, salah satunya dibentuknya wilayah administratif atau onder afdeling, menjadi 4 wilayah, onderafdeling Majene, Polewali, Mamasa dan Mamuju, tiap wilayah dikepalai seorang kontrolir. Pada tahun 1963 dikeluarkan UU yang menghapuskan sistem kerajaan. Dampaknya adalah pemerintahan menjadi terpusat,


26

pembangunan yang tertinggal dan sensitivitas etnis, pada tahun 2004 lepas dari Sulawesi Selatan menjadi provinsi baru, Sulawesi Barat. Orang Mandar dikenal sebagai pelaut ulung, tampak dari jejak sejarah kemaritiman yang panjang. Melakukan pelayaran dan perdagangan antar pulau sejak berabad-abad yang lalu, pengetahuan akan kemaritiman dan teknologi pembuatan perahu yang menjadi tradisi. Terkenal akan komoditas kopra dan lipa' sa'be atau sarung sutera. Kehidupan Pambusuang Melihat wajah kampung, Pambusuang termasuk desa padat penduduk. Rumahrumah panggung berdiri berdempetdempetan, hanya sela gang yang memisahkan rumah-rumah. Tak jarang satu rumah tak cuma dihuni satu kepala keluarga terkadang hingga tiga kepala keluarga. Jarak antara pemukiman dengan bibir pantai hanya 20 meter. Tahun 2016 di sepanjang bibir pantai, dibangun tanggul beton oleh pemerintah. Dari informasi yang saya terima dari Kak Ridwan pembangunan tanggul tahap 1 Desa Pambusuang menghabiskan biaya 20 Milyar Rupiah untuk panjang 700 meter tanggul. Kemudian, pembangunan tahap dua pun akhirnya ditolak nelayan. Pemerintah memindahkan ke pantai Palippis, Desa Bala tapi ditolak aktivis lingkungan. Akhirnya pembangunan tanggul dipindah ke Desa Tammangalle. Pantai di Kabupaten Polewali Mandar banyak yang tertanggul. Alasan dibangunnya tanggul ini salah satunya untuk mencegah abrasi air laut. Namun, tidak ada kajian sebelum dibangun, bentuk/model tanggul yang tidak mempertimbangkan dampak negatif terhadap ekologi maupun kapal-kapal

nelayan, inilah alasan ditolaknya tanggul Mayoritas warga di sini menjadi nelayan, laut menjadi sumber penghidupan. Di sepanjang bibir pantai akan disuguhi pemandangan perahu dan kapal dengan berbagai jenis, dari yang masih tradisional hingga bermesin. Juga, sampan-sampan yang berjajar atau tersimpan di kolong rumah. Melihat pembuatan kapal di battilang atau bantilan, bangunan semi permanen dibuat sebagai pelindung kayu dan pekerja dari matahari dan hujan. Materialnya terbuat dari tiang-tiang bambu, nipah atau daun kelapa sekarang umumnya memakai terpal sebagai atap. Pambusuang juga menjadi salah satu desa sentra pembuatan perahu Sandeq. Perahu bercadik yang menjadi kebanggaan dan ikon daerah. Salah satu teknologi yang dibuat oleh orang Mandar dan terus berinovasi seiring perkembangan zaman. Karakter penduduk setempat sangat ramah juga religius. Tidak hanya masjid sebagai tempat ibadah namun juga terdapat madrasah sebagai tempat pendidikan agama juga pendidikan Al Quran di rumah-rumah ulama atau ustadz. Seperti belajar kitab kuning, Bahasa Arab dan pengajian anak-anak tiap sore. Kepercayaan orang Mandar dan Laut Jika membicarakan orang Mandar, maka harus juga membaca Islam sebagai landasan agama dan kepercayaan masyarakat. Sejak masuknya Islam, agama ini kemudian menjadi bagian prinsipil dalam keseluruhan aspek kehidupan mayoritas orang Mandar. Berdasarkan catatan tertulis dalam Lontar, Islam masuk abad 17 atau tepatnya tahun 1610 M. Dibawa oleh Syaikh Abdurrahim Kamaluddin atau lebih dikenal dengan sebutan 'To Salama Dibinuang' dari Arab


27

keturunan Jawa. Cara penyampaian atau pengajarannya sama seperti Wali Songo di Jawa, dengan tidak menghilangkan tradisi atau paham-paham sebelumnya, moderat. Jauh sebelum Islam masuk masyarakat menganut agama Hindu, animisme. Kemudian mengalami akulturasi yang membentuk suatu tanaman sendiri yang menjadi suatu bentuk tradisi atau agama pesisir, percampuran agama Islam dengan agama lokal. Beberapa ritual 'diislamisasi' seperti Barsanji dan Makuliwa, ada pula doa-doa dan Nabi Khidir yang dipercaya sebagai penguasa laut. Pembakaran dupa, mapposiq, ritual di possiq arriang adalah pengaruh animisme. Beberapa nelayan masih menggunakan azimat atau jimat saat melaut. Kepercayaan terhadap penghuni laut, penguasa laut, alam gaib. Laku manusia dengan alam. Ritual dan mistik merupakan bagian penting dalam pembuatan karya cipta orang Mandar. Sudah menjadi aturan tradisional, sehingga bisa dikatakan teknologi dengan ritual dan mistik sudah menjadi satu kesatuan. Demikian juga ussul dan pamali, menjadi bagian dari kepercayaan orang Mandar. Ussul adalah sebuah pengharapan yang baik/keberhasilan lewat penggunaan simbolsimbol, berupa benda maupun perilaku. Pamali adalah berupa larangan/pantangan. Ulama mempunyai posisi penting dalam masyarakat, tidak hanya menjadi pemuka agama tapi juga sebagai pemimpin ritual atau


28

upacara keagamaan, yang biasa disebut Annanguru. Selain ulama, dukun atau sando juga mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Dukun di sini seperti orang pintar, orang yang punya pengetahuan atau ahli dibidangnya juga ahli mantramantra berlaku untuk ritual juga. Ada banyak istilah dukun di sini, dukun beranak atau sando pianaq biasanya membantu saat proses lahiran, dukun perahu atau dalam bahasa setempat disebut sando lopi, dukun rumah/ sando boyang, dukun laut atau papejaga, ada pula dukun sungai dan darat. Banyak kasus nelayan hilang, yang terbaru terjadi bulan puasa kemarin. Korban dari kampung sebelah Pambusuang, Desa Sabang Subik. Menurut cerita dari salah satu warga, nelayan ini jatuh dari perahu saat hendak buang air kecil. Cerita dari warga yang lain, kejadian seperti ini memang sudah biasa terjadi, mereka sebut peristiwa ini sebagai kacalangan atau ada makhluk penghuni laut yang tidak suka. Sudah seminggu pencarian oleh Tim SAR (Search and Rescue) namun tidak juga ditemukan. Tidak hanya SAR saja, keluarga juga meminta bantuan dukun laut. Biasanya akan dilakukan ritual oleh dukun dan keluarga. Salah satunya pasalewatan, pihak keluarga melakukan ritual potong ayam kampung atau kambing kemudian dibuang ke laut, sebagai pengganti jasad atau sebagai simbol tolak bala. Rasa penasaran ini, membawa saya untuk bertemu dengan papejaga atau dukun laut, untuk mengetahui bagaimana praktiknya selama ini. Meskipun tidak bisa bertemu dengan dukun yang dimaksud oleh warga, saya beruntung bisa bertemu dengan

papejaga lain di Majene. Sebenarnya ada dua dukun yang saya temui namun satu diantaranya menolak untuk memberikan informasi dikarenakan mendapat 'bisikan' untuk tidak bercerita. Kemudian saya bertemu dengan Pak Nurdin, beliau tidak hanya menjadi dukun laut atau mencari orang hilang di laut saja tetapi juga di darat dan sungai. Selain itu juga mampu mengobati orang sakit. Rumah Pak Nurdin hanya berjarak 20 meter dari pantai. Tak ada yang mencolok dari pernak-pernik di rumahnya, tidak ada bau-bau aroma kemenyan dan sebagainya. Tampak poster-poster ulama, habib dan wali songo di salah satu dinding rumah. Tampilannya juga biasa saja, hanya memakai kaos dan sarung. Menurut keterangannya tidak ada ritual khusus dalam praktiknya, hanya meminta yang “di Atas”. Beliau menceritakan pengalamannya setahun lalu, sekitar jam setengah satu pagi didatangi seorang ibu-ibu yang menangis meminta bantuan mencarikan anaknya yang hilang. Yang ternyata disembunyikan makhluk halus semacam kuntilanak di belakang rumahnya. “Menangis orangnya perempuan, dia bilang sama saya. Setelah saya buka pintu, saya bilang, kenapa ki? Dia bilang, tolong, diambil setan saya punya anak. Sejak kapan? saya bilang. Tadi jam-jam 12 siang antara waktu wudhu di sumur mamaknya memarahi, lalu setan itu ada, dia ambil. Lucunya ditaruhnya di belakang rumahnya. Setan itu datang ke saya, jadi saya tanya, apa masalahnya. Dia bilang, dia (anak itu) di marahi dari tadi pag ijadi saya kasihan. Saya bilang, tolong tampakkan sekarang! Jika tidak saya ikat kau! Dia bilang, nanti jam 2 malam. Terus saya bilang ke mamaknya, jika itu anak tidak pulang telepon saya. Pas jam 2 malam dia (anak


29

itu) ada di rumahnya, dia cerita samapi pagi. Alhamdulillah dia kembali. Berpesan untuk mendirikan shalat.” Selain berinteraksi dengan makhluk gaib secara langsung, Pak Nurdin juga menggunakan tubuh orang lain, misalnya salah satu keluarga korban yang hilang sebagai perantara. Arwah yang masuk ke tubuh orang/kerasukan akan membawa pesan dari korban. Menurut penuturan beliau, biasanya orang yang hilang di laut karena kecalangan atau ada makhluk gaib penghuni laut yang tidak suka. Mungkin karena melakukan pelanggaran atau pantangan. Ada pamali atau pantangan saat melaut yang dipercaya oleh orangorang Mandar. Seperti menyebut hewan berkaki empat, kecuali disimbolkan atau menggunakan istilah lain, tidak boleh meludah, tidak boleh menjatuhkan minyak tanah, solar dan oli ke laut. Ilmu ini beliau dapatkan kurang lebih 10 tahun yang lalu setelah mendapat wahyu, sesosok Rasul yang datang langsung padanya dan memberinya 'ilmu'. “Jam 11 malam saya baring dan dzikir. Tiba-tiba lupa ingatan seperti orang mati. Punggung tulang belakang saya terasa panas, tidur saya langsung bangun. Saya ambil kursi, angkat masuk ke kamar. Baru saya tatap lagi tubuh saya. Saya (roh) bicara dengan tubuh saya, telanjang saya lihat. Setelah itu mulai jam 7 pagi hingga jam 2 tengah malam, saya bisa melihat makhluk-makluk halus. Saya minta tutup penglihatan saya (mata batin) karena tidak kuat, sangat banyak”, terangnya. “Pertama kali saya dapat wahyu, hati seseorang bisa tembus, 'alam sana' (menunjuk laut) saya bisa tembus, dulu.. sekarang minta dibatasin”, imbuhnya. Pak Nurdin punya banyak relasi dengan

makhluk-makhluk gaib, baik di darat maupun laut yang memberinya informasi atau tanda-tanda. Beliau juga pernah menyembuhkan orang sakit tumor payudara, dilihatkannya video aksinya, katanya itu sakit kiriman seseorang atau semacam kena santet, tapi Alhamdulillah sembuh juga. Namun yang selalu ditekankan beliau jika itu semua karena kuas yang di Atas. Kasus nelayan hilang ini menjadi salah satu perhatian saya. Yang menimbulkan pertanyaan terkait peran dukun terhadap masyarakat, bagaimana SAR bekerja dan


30

sejauh mana peran pemerintah ikut turun tangan. Menurut informasi yang saya terima dari saudara Ridwan ada beberapa kekurangan dan ketidakefektifan dalam proses pencarian nelayan hilang selama ini. Selain selisih waktu pencarian yang terkadang lewat satu hari setelah kejadian karena jarak kantor SAR di Mamuju sekitar 140 km, tim SAR tidak memiliki informasi akurat mengenai lokasi kejadian. Pemerintah setempat khususnya instansi terkait belum memiliki database dan sistem SAR yang disesuaikan kondisi setempat. Dengan melakukan pengumpulan data menggunakan GPS dalam kurun waktu tertentu, termasuk arah angin dan arus laut. Dari data tersebut, lokasi pencarian bisa lebih fokus. Penggunaan GPS untuk mengetahui posisi korban, melibatkan masyarakat sebagai tim pencari dengan kapal motor dan tidak hanya perahu karet yang dipakai tim SAR selama ini. Posisi Dukun Dukun masih mempunyai posisi dan peran penting dalam masyarakat hingga saat ini karena dirasa bisa memberi 'ketenangan' dan harapan. Selain itu mudah diakses karena jarak lebih dekat. Saya juga bertemu dengan dukun-dukun yang lain. Sando Pianaq atau dukun beranak, masih dicari oleh masyarakat meski sudah ada Bidan atau rumah sakit. Hal ini bisa dikarenakan kemudahan mengakses dan sudah menjadi tradisi. Jasa dukun beranak tidak hanya membantu proses persalinan tetapi juga ritual- ritual sebelum lahiran. Saya bertemu dengan Bu Rahiya berusia sekitar 80 tahun, salah satu sando pianaq Desa Pambusuang. Dari lima dukun beranak resmi tinggal Bu Rahiya yang masih hidup. Meski ada dukun beranak lainnya namun tidak berijazah. Beliau

menunjukkan ijazah dari puskesmas tahun 1985 setelah lulus ujian wawancara. Ditunjukannya juga 'pusaka' kotak berisi alat-alat seperti wadah ari-ari, darah, pemutus plasenta, 'hadiah' sepaket dengan ijazah terangnya. Katanya tidak hanya orang setempat yang memakai jasanya, orang dari Palu, Arab pernah datang ke rumah Bu Rahiya. Beliau sempat menceritakan kejadian-kejadian mistik yang pernah dialaminya, seperti kasus bayi kembar dengan buaya dan ular, ibu kerasukan kuntilanak saat mau melahirkan. Meski sekarang sudah jarang menerima pasien bersalin karena sudah ada bidan, jasa beliau masih tetap dicari. Biasanya diminta untuk memandikan bayi, doa-doa atau mantra untuk bayi. Selain itu masyarakat juga masih mempercayakan jasanya untuk urut kandungan, biasanya saat usia kandungan 6 bulan dan 8 bulan dengan serangkaian ritual. Setelah bayi lahir juga ada serangkaian ritual salah satunya Mappadaiq Toying atau menaikkan ke ayunan. Di bawah ayunan diberi dupa dan dibaca-bacan untuk keselamatan dan mengusir yang buruk-buruk. Bu Rahiya juga menyunat bayi, disini bayi perempuan usia 6 bulan harus disunat. Sando lopi atau dukun perahu. Membuat perahu sama halnya melahirkan anak, bagaimana perlakuan orang Mandar terhadap perahu ini, ada ikatan dengan si empunya. Perahu tidak hanya diperlakukan sebagai benda mati, sama hal nya manusia perhau juga memiliki roh, disinilah peran sando lopi memberi roh pada perahu atau kapal. Ritual dan mistik merupakan bagian penting dalam teknologi pembuatan karya cipta orang Mandar, begitu juga dengan pembuatan perahu. Terdapat beberapa ritual saat pembuatan perahu, dari tebang pohon yang sekarang mungkin sudah


31

jarang karena sudah ada pemasok kayu, ritual sebelum pembuatan, mappossiq atau pemberian roh, dan saat perahu siap diturunkan ke laut.

Ha bagian kepala atau depan kapal/perahu. Ini yang dirahasiakan oleh orang tua saya, terangnya. Katanya ini adalah kunci/pondasi mendirikan perahu.

Pak Quraisy, seorang sando lopi juga pande lopi atau tukang perahu. Menurut keterangan beliau dari awal pembuatan perahu hingga jadinya perahu ada ritual yang mengandung ussu. Perahu diibaratkan seperti tubuh manusia, bagian gading atau tajoj seperti tulang rusuk, landaqdaq seperti tulang dada. Perahu juga punya possiq atau pusar, saat pemberian posiq pun ada ritualnya yakni mapposiq, proses pemberian jiwa atau ruh. Dilakukan dengan pembakaran dupa asapnya ditangkap lalu dimasukkan ke lubang posiq dan ditutup dengan kayu khusus. Pusar atau possiq seperti sumber kehidupan. Seperti halnya pusar yang tersambung ke plasenta janin. Seperti relasi ibu dan anak.

Sando boyang atau dukun rumah. Seperti halnya perahu dan manusia, rumah juga ada perlakuannya. Rumah punya fungsi sakral, hubungan manusia dengan entitas yang lebih tinggi yakni Tuhan. Sando boyang bertugas memimpin ritual, dari sebelum pembangunan hingga jadi. Tidak hanya ahli baca-baca sando boyang juga harus mengerti tentang pembuatan rumah atau merangkap sebagai tukang.

Untuk beberapa perahu atau kapal yang memiliki lunas seperti ba'gae juga ada ritualnya. Memasukan sperma, yaitu kapas yang berisi lumut dari sumur, sedikit beras, serpihan kayu sotil, juga emas yang menjadi ussul atau pengharapan yang baik. Sperma ini dimasukkan saat penyambungan kayu lunas sama seperti pembuahan. Lahirnya perahu seperti lahirnya seorang bayi. Kata Pak Quraisy, semua pakai ritual karena laut bukan kekuasaan kita, banyak bahaya, banyak makhluk gaib penguasa laut. Sehingga minta keselamatan dengan yang di atas agar mendapat keselamatan dan membawa rezeki atau berkah. Pak Quraisy juga membeberkan rahasia lain, sambil digambarkan, bentuk perahu seperti tulisan lafadz Allah (tulisan Arab). Alif seperti kemudi, Lam diibaratkan layar, dan

Puaq Baya, salah satu sando boyang di desa Pambusuang. Adapun proses sebelum rangka berdiri, sando boyang akan melakukan ritual, seperti membasuh posiq atau tiang pusar/pusat dengan air yang dilakukan oleh sando boyang juga keluarga pemilik. Bagian bawah posiq yang dilobangi dimasukkan emas yang dibungkus kapas (ussul), sambil membaca mantra juga bakar dupa. Kemudian possiq arriang/tiang pusar atau tiang pusat terlebih dahulu berdiri. Ulama akan membacakan barsanji dan doa-doa lain. Namun biasanya Puaq Baya juga melakukannya sendiri tanpa ulama. Adapun sajian lain seperti pisang, sokkol, makanan manis seperti kue cucur, kadang memakai ayam kampung menjadi syarat, sama hal nya dengan ritual-ritual biasanya. Diletakkan di bawah posiq. Posiq akan digantungi beberapa hasil bumi, seperti padi, tebu, jagung, kelapa, setandan pisang sebagai pengharapan akan membawa berkah dan rezeki kepada pemilik, juga botol berisi air dimaksudkan untuk membersihkan makhluk-makhluk halus.


32

Untuk jumlah tiang ada beberapa hitungan pakemnya. Untuk rumah 2 petak memakai 12 tiang, 4 tiang menyamping 3 tiang ke belakang. Rumah 3 petak terdiri dari 16 tiang, 4 tiang menyamping 4 tiang ke belakang. Posiq atau tiang pusar/pusat tidak berdiri di tengah rumah, posiq berada dibaris kedua dari depan dan samping (bisa di kanan atau kiri sisi rumah), dan selalu berlawanan dengan pintu. Fungsi posiq tidak hanya sebagai tiang utama tetapi dijadikan pusat melakukan ritual. Biasanya tiap malam jumat, istri nelayan akan melakukan ritual tolak bala di posiq dengan bakar dupa. Asap dari dupa ini yang dipercaya sebagai penyampai pesan kepada yang di atas, doa dan harapan untuk suami yang sedang melaut. Jumat pagi ke rumah ulama atau Annangguru, membawa beberapa sajian seperti pisang, kue yang berbahan dasar gula merah, banno' atau beras yang disangrai. Posiq sendiri bisa dikatakan sebagai jembatan antara dunia atas dengan dunia bawah, antara pencipta dengan hambanya. Sama halnya posiq di perahu, posiq arriang juga sebagai simbol kehidupan seperti halnya posiq (pusar) pada tubuh manusia. Ada relasi antara pemilik, rumah dengan pencipta. Saya melihat apa yang masih bertahan seiring perubahan zaman dan alam. Bagaimana laku hidup orang-orang pesisir dengan laut yang menjadi sumber penghidupan? Ritual dan mistik menjadi bagian dari kesadaran mereka terhadap alam, jembatan antara dunia imanen dan transenden, menjadi satu kesatuan dengan teknologi. Melalui kasus nelayan hilang yang tidak bisa dipandang hanya sebatas kejadian biasa terjadi. Hal ini merupakan gambaran bagaimana peran pengetahuan dan teknologi tradisional hidup bersama dengan perkembangan teknologi modern.


33

HARTA KARUN SUMATRA TIMUR Catatan perjalanan 35 hari menelusuri tokoh perempuan di masa lalu

Oleh: Ferial Afif

Sejak mengetahui Boru Lopian Sinambela, anak sekaligus salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perjuangan Sisingamangaraja XII (bersama Lifepatch 2017), saya mulai penasaran dengan tokoh-tokoh perempuan masa lalu asal Sumatra. Dari berbagai sumber diketahui Boru Lopian turut angkat senjata, tokoh spiritual, sekaligus terlibat dalam menyusun strategi pergerakan. Beliau melakukan semua itu sejak usia belia, diduga tewas bersama ayahnya di usia yang juga masih dibawah 16 tahun (seumuran anak-anak SMP hari ini). Entah bagaimana spirit beliau masih terus menempel, membuat saya jadi bertanyatanya, kemanakah para tokoh lain. Apalagi kala itu Boru Lopian dibantu, dan berguru dengan pasukan inong-inong Aceh. Maka beberapa bulan sebelum berangkat, saya mengumpulkan info para tokoh perempuan bersejarah pulau emas terbesar ke 6 di dunia ini, terutama yang wilayahnya bersinggungan dengan Selat Malaka, atau dahulu dijuluki Sumatra Timur. Hasil pencarian memberikan keputusan untuk mendatangi lima propinsi, dimulai dari Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi. Tokoh yang ditelusuri ada sekitar 15 tokoh, kurang lebih dari masingmasing provinsi ada 3, atau ada juga yang wilayahnya bersinggungan.

Para tokoh perempuan di masa lalu ada banyak, terutama dari Aceh. Sehingga untuk meminimalisir jumlah, saya membagi dari peran mereka; seperti yang pernah menjadi pemimpin, panglima, pencipta kerajaan, penyair, pendiri sekolah, guru, sampai tokoh berupa batu, hingga metafisik. Total perjalanan 35 hari, mengalami berbagai jenis moda transportasi yang terjangkau dengan keuangan yang seadanya. Momen paling seru itu saat mencari cara ke Kabupaten Lingga, karena kapal maupun pesawat hanya ada beberapa kali seminggu, saat saya tanya ASDP jadwal Kapal Roro, mereka bilang akan libur karena kapal berlabuh selama 2 minggu. Akhirnya saya menelpon maskapai lokal, berhasil memesan namun tak bisa bayar karena di pelabuhan tidak ada ATM/mini market, akhirnya di pagi buta saya minta tolong keluarga di Pamulang – Tangsel, untuk membayarkan tiket maskapai ke mini market terdekat untuk saya kembali. Titik pertama pendaratan saya adalah kota Banda Aceh, setelah beberapa hari lanjut naik L300 ke Lhoksumawe, baru setelah beberapa hari ke Medan naik bis, sama halnya saat ke Pekanbaru. Saat ke Kabupaten Kampar saya patungan sewa mobil, barulah pulangnya menggunakan


34

bis, dan L300. Patungan sewa mobil pulang pergi ke Kabupaten Siak, lantas beberapa hari di ke kota Pekanbaru naik motor. Diteruskan ke Jambi naik bis, naik travel ke Pelabuhan Roro Kuala Tungkal, lalu menyebrang ke Pulau Dabo Singkep – Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Setiap berpindah pulau di Kabupaten Lingga, saya naik berbagai jenis kapal, dari speed boat buatan sendiri, sampai kapal-kapal kecil para nelayan. Barulah terbang naik pesawat capung kembali ke Jambi, lalu aktivitas di wilayah ini kembali menggunakan motor. Lalu terakhir dari Jambi terbang kembali ke Yogyakarta. Sepanjang perjalanan tersebut, sebagian besar saya bertemu dan menetap di rumah teman, kenalannya teman, juru pelihara situs, komunitas, penjaga museum, penjaga perpustakaan, penjaga pusat dokumentasi, tokoh adat, tokoh agama, tokoh spiritual, dukun, maupun rekan-rekan dosen, dan mahasiswa. Sifatnya getok tular, ada yang sudah dihubungi sejak di Yogyakarta, ada yang baru ketemu saat sudah dekat di titik yang akan saya datangi. Bahkan ada yang dengan singkat menemani, memberi informasi, dan menunjukkan jalan, tanpa saya tahu namanya. Semua yang saya temui ramah, sangat akomodatif, beberapa bahkan lebih bersemangat, dan penasaran dibanding saya. Sikap mereka yang demikian, nyaris semuanya seperti tidak memperdulikan apa latar belakang saya, sering kali mereka baru bertanya setelah kami ngobrol panjang, dan banyak sekali yang tidak tanya sampai saya pamit dari pertemuan. Interaksi singkat namun intim ini sangat penting sebagai pengalaman dan pengayaan kisah suatu tempat. Data yang saya dapat lebih dari cukup, sehingga

kedatangan saya di masing-masing titik, yang terbilang singkat bisa efektif, kaya pengetahuan, serta tidak melenceng banyak dari fokus pencarian. Pernah di satu lokasi, tidak ada yang saya cari, namun mereka akan menawarkan tokoh perempuan lain sebagai penggantinya. Terdapat juga tokoh yang tidak diketahui, bahkan oleh penjaga situs bersejarah, bahkan ke perpustakaan daerah khusus adat, atau kerajaan tertentu juga pernah tidak ada jejaknya. Beberapa tokoh begitu harum namanya, ada foto atau lukisan wajahnya, namun kebanyakan adalah kuburannya. Seperti di Aceh yang saya pikir akan paling sulit, ternyata justru paling terbuka, paling banyak tokoh perempuannya dari berbagai peran, serta dengan bangga akan dinyatakan kisahnya. Ada juga kelompok atau narasumber yang terang-terangan menolak peran perempuan, dengan alasan dilarang oleh agama, atau hal lain yang bersifat mendomestikasi. Tapi banyak juga yang tidak tahu kemudian menjadi berbalik, seperti terpancing, bertanya-tanya kenapa tidak mencari para tokoh perempuan ini, dan menyatakan akan lebih menelusuri, atau mencatat. Selama proses penelusuran, saya mendapatkan beberapa nama tokoh perempuan yang meninggalkan kesan mendalam. Nahrasyiyah Untuk kepemimpinan di Nan groe Aceh Darussalam, saya memilih Nahrasyiyah (1400-an). Walaupun sekitar 1600-an sempat kerajaan selama beberapa periode, berturut-turut dipimpin sultanah. Nama lengkapnya Sulatanah Al-Malikah AlMu'azhzhamah (ratu yang dipertuan


35

agung) Nahrasyiyah binti Zainal 'Abidin bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih, bergelar Ra Bakshy Khadiyu (penguasa yang berhati pemurah). Walau semua orang yang saya temui mengetahui tentang dirinya, namun tidak ada kisah mendalam tentangnya, hanya terdapat makam, yang sempat saya datangi. Beberapa catatan sejarah bahkan menanyakan mengapa tidak ada koin emas atas namanya, sebagaimana para pemimpin kerajaan Samudra Pasai lainnya, padahal dia memimpin selama 20 tahun. Dalam beberapa sumber juga saya melihat silsilah para raja Samudra Pasai lengkap dengan foto wajahnya, namun Naharsyiyah tidak disertakan di sana. Putri Hijau Saat menelusuri Putri Hijau (1500-an) yang disebut sebagai penguasa kerajaan, kisahnya menjadi lebih populer masuk dalam Selat Malaka, dan mendirikan kerajaan bawah laut. Dalam buku terbitan Malaysia, ada nama dan kisah yang sangat mirip, Permaisuri Seni atau Putri Hijau, yang dinyatakan cantik jelita, menolak pinangan raja Aceh, sampai menimbulkan peperangan. Kedua sumber sama-sama terhubung dengan pecahan meriam di komplek Istana Maimun – Medan. Konon meriam itu adalah jelmaan saudara lelakinya yang terus menembak sampai pecah, kisah lain meriam tersebut dibeli dari portugis. Saya sempat mendatangi meriamnya, serta area yang dikenal sebagai benteng, juga ke pemandian yang memiliki nama sama dengannya.


36

Sementara peninggalan yang terdapat disana, seperti pecahan keramik, sempat saya datangi di Museum Kota Cina. Engku Putri Raja Hamidah Selanjutnya adalah Engku Putri Raja Hamidah yang menentukan sah atau tidaknya pelantikan sultan setelah suaminya wafat, beliau pemegang Regalia (alat kebesaran raja) Kerajaan RiauLingga-Johor dan Pahang. Keputusan menyerahkan Regalia ke tangannya adalah tepat, karena setelah suaminya meninggal, kerajaan mengalami perpecahan, disusul campur tangan Inggris dan Belanda. Hamidah tidak bergeming saat Inggris ingin membeli Regalia dengan harga tinggi, atau Gubernur Belanda di Melaka pun tak berhasil merampasnya pada 1822. Engku Putri Raja Hamidah tinggal di istana Pulau Penyengat, yang diberikan Sultan Mahmud Ri'Ayat Syah sebagai mahar perkawinan. Saya sempat mendatangi lokasi kerajaan Sultan Mahmud di Pulau Lingga, tapi tidak sempat datang ke Pulau Penyengat. Melihat replika regalia di Museum Linggam Cahaya, sedangkan yang asli kini tersimpan di Museum Nasional. Putri Salero Pinang Masak Putri Salero Pinang Masak memimpin kerajaan selama 20 tahun (1460-1480), banyak perantau dari Jawa datang dan menjulukinya Putri Jambe, konon dari sinilah nama Jambi berasal. Tidak ada kisah yang menjelaskan bagaimana dia memerintah, selesai sampai dinyatakan sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Kemudian berlanjut dengan pernikahan dengan Ahmad Barus II dari Turki (atau dikenal dengan Paduko Berhala), saat Pinang Masak memerintah. Tidak ada istananya, hanya ada makamnya, penjaga

makam juga tidak paham bagaimana kisahnya. Sekitar dua jam dari makam beliau, terdapat makam anaknya (Orang Kayo Hitam), dekat delta Batanghari, pemegang keris Siginjai yang menjadi lambang provinsi. Kisah lain yang juga di Jambi adalah Putri Reno Pinang Masak, sama-sama dikisahkan sebagai raja, dikenal dengan membuat sistem ekonomi yang merata bagi rakyat, menolong yang miskin dari subsidi yang kaya. Dikisahkan setelah menolak pinangan berakhir diserang kerajaan Jawa, saat kerajaannya kalah dia menghilang, sampai akhirnya ditemukan meninggal oleh warga desa lain. Maharani Lian Khi Maharani Lian Khi asal Tiongkok bersama 2000 pasukan perempuan menyerang kerajaan Indra Jaya (sekitar 1200-an), mereka menang dan menduduki wilayah tersebut, mendirikan kerajaan bernama Seudu. Maharani memerintah kerajaan tersebut, bersama seorang anaknya bernama Nian Nio Lian Khi. Mereka menambah pasukan, banyak pemuda yang bergabung, Nian Nio menjadi pelatih mereka. Kerajaan Seudu dipimpin Nian Nio menyerang, dan menduduki Kerajaan Indra Puri dan Indra Patra. Mereka hendak menyerang Indra Purba, namun tertunda karena Maharani mangkat. Kerajaan Seudu diteruskan Nian Nio, dan kalah saat menyerang Indra Purba, yang telah dibantu Kerjaan Peureulak, dan Kerajaan Lingga. Berakhir dengan penawanan Nian Nio. Kala itu kerajaan Indra Purba telah masuk Islam berkat guru dari Kerajaan Pereulak, beberapa kerajaan bersatu tanpa peperangan, beberapa dengan pernikahan. Sampai Nian Nio dibebaskan, masuk Islam, ganti nama jadi Putroe Neng. Beliau menjadi salah satu penasihat strategi


37

pertahanan kerjaan bersatu, selain dikenal pandai bertarung, dia juga dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Namun 99 lelaki yang menikahinya tewas di malam pertama, akibat racun yang dimasukan neneknya Nian Nio, katanya kejahatan perang bisa sangat jahat dan racun itu akan menyelamatkannya. Tuanku Puan Sampali Tokoh perempuan lainnya adalah Tuanku Puan Sampali (awal 1700-an) dari Sumatra Utara. Dikisahkan beliau adalah permaisuri yang terusir dari kerajaan Deli, bersama anaknya yang masih kecil karena perebutan kekuasaan. Seharusnya anaknya menjadi penerus kerajaan, namun karena masih belum cukup umur, serta anak dari selir raja merebut tahta, maka tahta kerajaan tidak didapatnya. Dalam pengasingannya beliau menciptakan kekuasaan baru bernama Kesultanan Serdang, untuk dipimpin anaknya setelah dewasa. Dia menghubungi beberapa kerajaan kecil, bernegosiasi hingga seluruh kerajaan-kerajaan kecil tersebut bersepakat untuk bersatu, dan mengangkat anak Puan Sampali sebagai rajanya. Kesultanan Serdang bertahan lebih dari dua abad, meluas setelah bersatu dengan Kesultanan Perbaungan dari pernikahan. Tengku Agung Syarifah Latifah Selanjutnya adalah Tengku Agung Syarifah Latifah yang mendirikan Sultanah Latifah School (SLS, 1927-1945) sekolah perempuan


38

pertama di Kerajaan Siak. Sekolah khusus perempuan ini bukan yang pertama di Sumatra, namun yang pertama di daerahdaerah yang kemudian tergabung menjadi Provinsi Riau. Usia Latifah tidak panjang, SLS diteruskan Tengku Maharatu. Tengku Agung terinspirasi sekolah di Sumatra Barat, perempuan disana bersekolah, sementara di wilayahnya perempuan cukup diajarkan keterampilan domestik untuk menjadi istri dan membesarkan anak-anak. Saat itu masih tabu bagi perempuan untuk bersekolah, namun Tengku Agung tidak berfikir demikian. Segelintir perempuan keturunan ningrat atau anak orang-orang kaya ada yang sekolah, namun tidak banyak juga, mereka semua belajar di sekolah yang didirikan Belanda. Alasan lainnya adalah karena sekolah buatan Belanda ini menjauhkan dari adat Melayu, atau tidak mengajarkan tentang Islam, sehingga saat diteruskan oleh Tengku Maharatu sekolahnya lebih dilengkapi, tak hanya mengajarkan pengetahuan dasar seperti baca-tulis, pengetahuan umum, Bahasa Belanda & keterampilan. Tengku Fakinah Tengku Fakinah (1856-1938) asal Aceh Besar mendapatkan pendidikan agama Islam, dan keterampilan sejak tumbuh di lingkungan keluarganya. Dalam perjalanannya dia tidak hanya menjadi guru, namun juga turut berperan dalam perang Aceh melawan Belanda. Beliau bergerak mengumpulkan berbagai sumbangan masyarakat, kemudian diteruskan ke beberapa pejuang yang berpindah didalam hutan, diantaranya yang dia salurkan bantuannya adalah sahabatnya Tjut Njak Dhien. Pesantren yang dia jalani sempat digrebek Belanda, beberapa benda-benda sumbangan

sempat di sita, serta akhirnya lokasinya kerap berpindah. Bersama rombongan perempuannya, dia mendirikan Kota Pertahanan di Lam Kerak, yang dikerjakan oleh para perempuan dari menggali parit, membuat pagar, sampai memasang ranjau-ranjau. Tengku Faki sempat naik haji, belajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram, saat kembali muridmuridnya sudah menunggu untuk mendapatkan pengajaran darinya. Tun Bilik Tokoh lainnya adalah seorang penyair dari Pulau Daik Lingga – Kepri bernama Tun Bilik. Kisahnya lebih kuat sebagai legenda yang belum dibuktikan sejarah, karena tidak ada yang menemukan syair yang ditulisnya, hanya ada seorang tokoh yang lupa-lupa ingat lirik syair yang diciptakan Tun Bilik. Dikisahkan ada suatu jaman perempuan di pulau tersebut banyak yang dipingit, tidak boleh keluar rumah. Maka Tun Bilik yang selalu didalam biliknya menciptakan banyak syair. Seorang narasumber yang sudah tua bernama Lung Layman yang sempat saya temui menduga syair-syair buatannya bernama Syair Anakku Tersayang, atau Syair Jarum Kelindan, sayangnya dia juga tidak ingat bunyinya, dan sampai kini belum saya temukan catatannya. Sebuah arca Prajnaparamita ditemukan di Candi Gumpung, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Muarosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Arca ini memiliki banyak persamaan dengan yang arca Prajnaparamita yang ditemukan di reruntuhan Cungkup Putri, Candi Singasari, Malang Jawa Timur. Bedanya arca yang ditemukan di Muaro Jambi tanpa kepala, sebagian tangannya juga patah.


39

Prajnaparamita dalam ajaran Buddha merupakan Dewi Kebijaksanaan dengan sikap tangan dharmacakramudra atau memutar roda dharma, duduk di atas lapik tertutup kain panjang dengan sikap kaki padmasana, menyilang dan telapak kaki kanan menghadap atas. Kedua arca di Jambi maupun Malang diduga dari tahun yang sama, sekitar abad 13M. Hal ini mengingatkan hubungan antara kerajaan Singasari dan Kerajaan Melayu Kuno, ketika adanya misi Pamalayu Raja Kertanegara (1275M). Dalam ajaran Buddha terdapat enam tahap penyempurnaan diri, salah satunya disebut Prajna Paramita (kesempurnaan dalam kebijaksanaan) yang dimaksud sebagai pendalaman serta pemahaman secara jelas inti dharma dari ajaran para Buddha, dimana kebijaksanaan dapat menaklukan kebodohan batin. Saat saya tanya Rudi Chang di Vihara Sakyakirti – Jambi, kenapa penyimbolan kebijaksanaan digambarkan oleh Dewi, dia menjelaskan tentang “the mother of all Buddha”, dimana ibu bagi mereka bukan hanya manusia karena adanya proses reinkarnasi, sehingga secara filosofis semua makhluk ada induknya yang harus dihargai. Puteri Indo Dunia Tokoh lainnya, yang juga dari candi, adalah Muara Takus di Provinsi Riau, bernama Puteri Indo Dunia. Dinyatakan oleh Ngku Imin bahwa putri ini adalah anak Raja Rum yang sempat diselamatkan 2 pendekar dari kawasan candi kini, saat didatangi


40

ayahnya dia tidak mau pulang, lantas meminta dibangunkan bangunan bata yang kini kita kenal sebagai Muara Takus. Berdasarkan berbagai penelitian puluhan tahun, kapan berdirinya Muara Takus masih simpang siur, ada yang bilang abad ke 4M, ada juga yang bilang ke 7M, atau 9M. Masih di Kawasan Cagar Budaya Muara Takus, terdapat sumur yang konon tempat pemandiannya. Puteri Indo Dunia menghilang saat kawasan ini diserang, konon saat itu Putri menolak tunduk dan menghilang tanpa jejak, sampai kini dia dikisahkan masih kerap menampakan diri. Mak Oyah Tokoh terakhir adalah Mak Oyah (atau Mak Onah, serta panggilan lainnya), beliau sangat dihormati sebagai makhluk yang pertama kali menempati Pulau Daik Lingga, berdiam di Gunung Daik. Mak Oyah dipercaya sebagai pelindung para penduduk di pulau tersebut. Beliau dipercaya Orang Suku Laut – Melayu Tua, memberi sesajen ke Gunung Daik untuk Mak Oyah, untuk keselamatan, dan kelancaran saat melaut. Dikisahkan beliau berwajah seperti kalong, tidurnya pun terbalik seperti kalong dan berada diatas pohon-pohon besar. Sebagai kesaktiannya, dikisahkan teteknya menjuntai panjang, dan bisa menghantam apapun yang mengganggunya. Suatu hari Datuk Megat Kuning mengajaknya berduel, dia kalah dan berjanji seluruh turunan akan mendukungnya. Maka orang suku laut menjadi armada laut terdepan yang selalu siap menghalang musuh, membela kerajaan Melayu di kepulauan ini. Hasilnya keseluruhan tokoh tersebut sama samar kisahnya, tidak dijelaskan mendetil bagaimana pola saat berperannya. Kemiripannya adalah tentang kecantikan, penolakan lamaran berakhir perang, serta proses meninggalkan sesuatu yang mereka bangun dengan kondisi semacam terpaksa. Sehingga ketika saya mendatangi jejak-jejak yang tersisa, bila tidak ada istananya mungkin makamnya, dan tidak ada manuskripnya. Setidaknya mengalami hadir di tanah yang sama, tempat dahulu mereka berada, saya bisa lebih mengasah imajinasi, memasuki kisah mereka lebih mendalam. Serta dalam berbagai kesamaran, senantiasa ada kisah yang membangkitkan semangat, selayaknya mencari harta karun.


41

DARI BATU, AIR DAN ALAM PIKIR... UNTUK UDARA DAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV-2019 Oleh Pinka Oktafiatun Qumaira

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini Yayasan Biennale Jogja mengawali perhelatan seni rupa dengan menggelar Pra Event Biennale yang dibuka pada tanggal 1 Agustus 2019. Perhelatan pameran ini diikuti oleh seniman-seniman muda yang berusia dibawah 35 tahun dengan menyajikan presentasi karyakaryanya melalui eksplorasi berbagai medium. Dengan tajuk pameran “Dari Batu, Air, dan Alam Pikir untuk Udara dan Kehendak Bebas Manusia” merupakan salah satu upaya Yayasan Biennale Yogyakarta dalam menjaring para seniman muda untuk membuka kesempatan bagi seniman muda agar aktif dalam mengembangkan proses kreatifnya di ekosistem seni rupa. Dari 48 proposal yang masuk melalui panggilan terbuka, dalam penyelenggaraannya terpilih 16 peserta pameran dengan disiplin ilmu yang berbeda. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur


42

Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika beranggapan bahwa Pra Biennale merupakan hasil kolaborasi dari berbagai bidang yang tujuannya untuk membuka kesempatan bagi teman-teman seniman muda yang tidak hanya bergerak pada lingkup praktik kesenian saja tetapi juga bisa memungkinkan dari berbagai disiplin ilmu yang bergerak di wilayah lain seperti di bidang ilmu sosial maupun kebudayaan. Sehingga pada pameran ini memungkinkan banyaknya tema yang muncul. Dengan mengangkat isu-isu pinggiran yang menawarkan isu sejarah, arsip, persoalan hidup yang terjadi masa kini hingga merambat pada cerita mitos yang dikemas secara modern oleh eksplorasi medium dan gagasan yang diangkat oleh pesertanya. Ke-16 peserta pameran ini diantaranya terdiri dari beberapa 11 seniman kolektif dan 5 seniman independen yaitu TacTic, Studio Malya, Barasub, Noise Brut, Rokateater, Pendulum, Riski Januar, Meliantha Muliawan, Eldhy Hendrawan, Marten Bayu Aji, Agnes Christina, Wisnu Ajitama, Siam Candra Arista, Kukuh Hermadi, Yosep Arizal dan Fika Ria Santika. Presentasi karya-karya Perupa Muda Biennale Jogja pada tahun 2019 ini berangkat dari hasil riset yang dilakukan, seperti salah satu contoh karya dari kelompok Tactic yang konsisten menggunakan medium plastik sebagai proses pengkaryaannya, karya yang dihadirkan berupa karya instalasi dan multimedia dengan judul “100 Meter Lagi Ada” berangkat dari penelitian mereka akan keberadaan sampah plastik yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Sampah tersebut ternyata berasal dari sebagian besar kebiasaan masyarakat Jogja khususnya dari kalangan mahasiswa yang terbiasa akan berbelanja di mini market yang keberadaannya sangat menyebar luas. Pada pembukaan pameran Pra Event Biennale ini juga berlangsung pertunjukan dari salah satu senimannya yaitu Agnes Christina yang bercerita mengenai bagaimana prose migrasi leluhurnya dari China ke Indonesia dengan menggunakan media kertas kalkir yang kemudian dinarasikan oleh Agnes di hadapan publik, membuat publik menyaksikan seperti pembawaan pada cerita wayang beber yang perbedaannya terletak pada pembawaan Agnes yang melihatkan alur dari narasi gambar yang satu ke gambarnya yang lain. Selain dari pertunjukan yang dihadirkan pada saat pembukaan, terdapat juga karya dari Fika Ria Santika yang sifatnya partisipatoris. Karya yang berjudul “Tumpuk Lapis Tampak Isi: Rona 7” berupa kain dari hasil benang yang disongket


43

kemudian kain tersebut justru diminta untuk dilepaskan benangnya satu demi satu yang dimaksudkan adalah sejauh mana Fika bisa memaknai satu persatu dari benang yang ditenun tersebut karena keterkaitannya dengan bagaimana falsafah budaya Minangkabau tempatnya berasal. Pada pameran ini dari ke 16 pesertanya dipilih 5 seniman yang nantinya akan mengikuti perhelatan pameran utama Biennale Jogja pada 20 Oktober 2019 hingga 30 November 2019; proses penjurian dilakukan oleh Faruk HT (budayawan), Nasir Tamara (akademisi), Nindityo Adipurnomo (seniman), Eko Prawoto (arsitek), dan Zamzam Fauzanafi (akademisi). Dari ke-5 seniman yang terpilih diantaranya adalah Wisnu Ajitama, Yosep Arizal, Meliantha Muliawan, Kelompok Pendulum dan Kelompok Studio Malya. Dari ke-5 yang terpilih kemudian akan diberi bimbingan lebih lanjut dengan kurator untuk persiapannya dalam pameran utama Biennale Jogja. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu juri dari Pra Biennale ini, Nindityo Adi Purnomo beranggapan bahwa pengapdosian open call ini merupakan upaya metode untuk mendapatkan karya dari beberapa seniman muda yang berkaitan dengan tema yang digagas oleh Biennale. Pada pameran Pra Biennale ini menurut Nindityo banyak terlihat pula fenomeda yang berbeda dengan era seniman-seniman yang terdahulu, menurutnya seniman-seniman muda sekarang banyak yang menunjukan tentang bagaimana eksplorasi medium atau meterialistik.


44

Dalam pameran Pra Biennale Jogja ini terdapat pembacaan yang cukup menarik bahwa gagasan yang ingin coba diungkapkan oleh pesertanya melalui riset dengan output berbagai medium yang cukup menarik dengan mengungkapkan isu-isu pinggiran yang sebenarnya tidak jauh dari lingkungan terdekat. Hasil dari eksplorasi medium dengan penyajian yang dihadirkan di ruang pamer juga merupakan bentuk dari bagaimana para seniman muda ini mempertimbangkan materialnya yang kemudian dikorelasikan kembali dengan gagasan yang diangkat. Dari gagasan yang diangkat oleh beberapa seniman ini merupakan isu yang ringan yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari yang kadang isu tersebut masih tidak terlalu dilihat keberadaannya. Pembacaan gagasan dari para seniman muda Pra Biennale ini nantinya akan melalui bimbingan dari kurator Biennale dan beberapa praktisi. ini hingga 20 Agustus 2019.


45

Seniman Partisipan Biennale Jogja Equator #5 19 seniman Asia Tenggara dan 33 seniman Indonesia

Abdul Semute (Surabaya)

Ipeh Nur (Yogyakarta)

Angki Purbandono (Yogyakarta)

Khairulddin Wahab (Singapura)

Anida Yoeu Ali (Kamboja/Amerika Serikat)

Khonkaen Manifesto (Isan) Ling Qiusumbing Ramilo (Manila)

Arif Setiawan (Pontianak) Made Bayak (Gianyar) Arisan Tenggara (Asia Tenggara) Meliantha Muliawan (Yogyakarta) Bing Lathan (Sanggau) Moe Satt (Yangon) Bounpaul Phothyzan (Vientiane) Moelyono (Tulungagung) Citra Sasmita (Denpasar) Mukhlis Lugis (Makassar) Cut Putri Ayusofia (Banda Aceh) Muslimah Collective (Narathiwat) Deden Sambas (Bandung) Nasirun (Yogyakarta) Dian Suci Rahmawati (Yogyakarta) Nerisa del Carmen Guevara (Manila) Ferial Afiff (Yogyakarta) Nge Lay (Yangon) Gan Siong King (Kuala Lumpur, Malaysia)

Nguyen Thi Thanh Mai (Hue)

Gegerboyo (Yogyakarta)

Nguyen Trinh Thi (Hanoi)

Hendra Priyadhani “Blangkon” (Yogyakarta)

Pathompon Mont Tesprateep (Bangkok)

Hildawati Soemantri Sidharta (Jakarta)

Pisitakun “Tukijo”Kuntalaeng (Bangkok)

Ika Vantiani (Jakarta)


46

Pendulum (Yogyakarta) Popok Tri Wahyudi (Yogyakarta) Ratu Rizki Saraswati (Jakarta) Ridwan Alimuddin (Polewali-Mandar) Roslisham Ismail a.k.a Ise (Kuala Lumpur/Kota Bharu) Sutthirat Som Supaparinya (Chiang Mai) Suvi Wahyudianto (Madura/Yogyakarta) Studio Malya (Yogyakarta) Tajriani Thalib (Polewali-Mandar) Tamarra (Yogyakarta) Tran Luong (Hanoi) Vandy Rattana (Kamboja) Yennu Ariendra (Yogyakarta) Yin Yen Sum (Kuala Lumpur) Yosefa Aulia (Bandung) Yosep Arizal (Yogyakarta) Yoshi Fajar (Yogyakarta) Wisnu Ajitama (Yogyakarta)


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.