Yayasan Biennale Yogyakarta

Page 1

ISSN: 9772442302189

THE EQUATOR Vol. 7/No. 2 April - Juni 2019 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

9 772442 302189


Salam hangat pembaca yang budiman! Menjajaki terbitan kedua di tahun ini, kami ingin menyampaikan beberapa tulisan terkait dengan kegiatan yang telah dilakukan. Tentunya, sehubungan dengan pelaksanaan Biennale Jogja Equator #5, kami telah memulai beberapa perjalanan untuk menyusuri daerah-daerah yang berada di wilayah Asia Tenggara. Perjalanan pertama dituliskan oleh Sita Magfira yang bekerja sebagai asisten kurator Biennale Jogja Equator #5. Sita Magfira, dalam kunjungan singkatnya menceritakan mengenai perjalanannya di Myanmar menceritakan bagaimana situasi kota dan relasinya dengan mereka yang hidup disana, terutama pertemuannya dengan para seniman yang tinggal dan bekerja disana. Cerita lain disampaikan oleh Akiq AW, kurator Biennale Jogja Equator #5 ini melakukan perjalanan ke Pontianak. Perjalanannya ke Pontianak ia terjemahkan kedalam refleksi pribadinya atas persoalan ruang ekspresi hingga problem keberlangsungan hidup, mulai dari persoalan seniman dan produksi hingga persoalan penonton dan apresiasi. Pengalaman mengenai perjalanan lainnya diceritakan oleh Fitri DK melalui sebuah wawancara yang menceritakan pengalamannya terlibat dalam acara “Democracy in Action” di Kuala Lumpur. Sedangkan Caroline Astipranatari, mahasiswa pasca sarjana Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, menulis mengenai perjalanan penelitiannya ke Vietnam. Caroline mencoba menjabarkan bentuk resiliensi dari pedagang di pasar tradisional terhadap kebijakan pembangunan oleh pemerintah lokal di Hanoi. Setelah beberapa tulisan mengenai perjalanan, kami ingin membagikan kegiatan kami yang sudah dan akan berlangsung. Kegiatan yang sudah berlangsung adalah Biennale Jogja Academy: Asana Bina Seni #1. Asana Bina Seni merupakan ruang belajar yang terbuka bagi siapapun yang tertarik mempelajari mengenai seluk beluk dunia kesenian. Asana Bina Seni #1 akan diawali dengan kelas Manajemen Seni dan Kuratorial selama bulan Mei. Sedangkan, bulan April yang lalu, bersama dengan Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, kami telah mengadakan pertemuan pertama dengan para seniman Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana oleh Biennale Jogja. Menyambut pelaksanaan Biennale Jogja Equator #5, kami juga membuat panggilan terbuka bagi seniman muda untuk mengirimkan proposal karya yang nantinya akan dipamerkan dalam Pra-Biennale Jogja Equator #5 dan akan dipilih kembali untuk dipamerkan pada Biennale Jogja Equator #5 bulan Oktober 2019. Pertemuan berikutnya melalui terbitan newsletter ini, kami akan menyampaikan cerita perjalanan lainnya, yang tentunya akan menambah wacana mengenai wilayah Asia Tenggara. Salam, Tim Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org April-Juni 2019, 1000 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunnisa. Kontributor: Akiq AW, Sita Maghfira, Caroline Astipranatari Fotografi: Sita Magfira, Fasha Rouf,


KONTRIBUTOR

4| Tur Kota, Pertemuan, dan Hal-hal Menarik Lainnya Oleh; Sita Magfira 10| Bagiku Seniku Bagimu Senimu Oleh: Akiq AW 14| Membuka Dialog dan Merebut Ruang Strategis Wawancara bersama Fitri DK Wawancara oleh: Khairunnisa

Sita Magfira

19| Pedagang vs Pemerintah: Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima dalam Menghadapi Kebijakan Pemerintah kota Hanoi Oleh: Caroline Astipranatari 27| Asana Bina Seni #1 30| Forum Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana

Caroline Astipranatari

SAMPUL

33| Pengumuman Pemilihan Seniman Muda Biennale Jogja Equator #5 35| Tentang Biennale Jogja

M. Fasha Rouf

Dok. Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat, Dok. pribadi penulis Foto sampul: M. Fasha Rouf Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, Inco pro, PKKH UGM,

Tirana Art House & Kitchen, Galeri Lorong, Toko Gerak Budaya ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

TUR KOTA, PERTEMUAN, DAN HAL-HAL MENARIK LAINYA (Catatan Perjalanan dari Yangon, Myanmar) Oleh: Sita Magfira, (Peneliti dan Asisten Kurator Biennale Jogja Equator #5)

“Lainnya” Foto oleh: Sita Magfira dan

Perjalanan saya ke Yangon cukup singkat. Hanya seminggu. Di waktu yang singkat itu, tidak mungkin saya lantas bisa memetakan Yangon dengan baik. Apa yang kemudian dapat saya bagikan hanyalah terkaan-terkaan atas Yangon. Sebuah usaha dari mengingat kembali dan menggabungkan antara apa yang alami dan saya pikirkan atasnya. Pagi pertama di Yangon saya lewati dengan berjalan kaki mengelilingi pusat kota bersama Yangon Heritage Trust (YHT). Lembaga independen ini fokus pada usaha menjaga kekhasan


5

bangunan-bangunan bersejarah di Yangon. Sejak sampai di Yangon sore hari sebelumnya, saya sudah menandai ada begitu banyak bangunan-bangunan lawas di kota itu. "Umpama Jakarta, ini seperti melihat Kota Tua ada di sana-sini," batin saya. Yangon memang salah satu kota dengan komposisi arsitektur kolonial yang paling lengkap di dunia dan kaya akan sejarah. Lansekap urbannya tampak menakjubkan dan beragam. Kita, misalnya, bisa melihat bangunan-bangunan penting dari berbagai agama di kota itu: Shwedagon Pagoda, katedral Katolik Roma dan Anglikan, gereja Kristen Metodis, masjid-masjid Sunni dan Syiah, pura-pura Hindu, Parsi, dan Sikh, sinagoga Yahudi, dan gereja Kristen Armenia. Mengutip pemandu tur dari YHT, "Ini menggambarkan bahwa Yangon adalah kota yang sangat kaya dalam hal sejarah, budaya, dan agama." Tapi kekayaan bangunan bersejarah di kota itu, sama seperti di banyak kota lainnya di dunia, berada dalam kondisi yang rentan. Berabad-abad diabaikan ditambah lagi dengan pembangunan kota yang makin cepat dan masif di Yangon, tidak sedikit bangunan berusia ratusan tahun dihancurkan. Mereka tergantikan dengan bangunan-bangunan baru; yang dirasa sesuai dengan kebutuhan pembangunan hari ini. YHT hadir dengan kesadaran perlunya ada perencanaan kota yang mengintegrasikan laku preservasi bangunan-bangunan bersejarah di dalamnya. Dalam tur kami, saya mendengar beberapa kisah tentang kerja-kerja mereka. Beberapa di antaranya

adalah pembuatan papan informasi tentang bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Yangon dan kerja pendampingan yang mereka lakukan untuk pembuatan aturan tentang bangunan peninggalan sejarah. Aturan yang dibuat tahun 2013 ini adalah aturan pertama di Myanmar yang membahas soal bangunan peninggalan sejarah. Saya juga mendengar kisah-kisah keberhasilan mereka dalam upaya advokasi menolak penghancuran bangunan bersejarah di Yangon. Satu di antaranya adalah Gandhi Hall yang sempat hendak dihancurkan untuk pembangunan kondominium. Gandhi Hall punya nilai sejarah sebab bangunan ini dulunya merupakan kantor The Rangoon Times, kantor bagi Mahatma Gandhi Memorial Trust, dan tempat dikeluarkannya Gandhi Hall Declaration pada Juli 1990 yang menyatakan pentingnya praktik demokrasi di Myanmar. Pembangunan di Yangon juga tampaknya tidak melulu soal merubuhkan bangunanbangunan lawas. Lewat Htein Lin, salah seorang seniman yang saya temui di Yangon, misalnya, saya dengar cerita tentang sebuah pohon besar di tengah kota, berusia ratusan tahun, yang ditebang demi pembangunan. Imaji tentang pohon besar itu dihadirkan Htein Lin dalam karya Recently Departed (2018). Soal pembangunan, hal lain yang menarik dari Yangon buat saya adalah tempat tinggal yang dibangun ke atas. Saat berkunjung ke rumah Moe Satt, seorang seniman performans, saya mengajukan pertanyaan yang naif sekali. "Apakah rumah di Yangon sedari dulu memang vertikal?"


6

Moe Satt lalu bercerita tentang bagaimana ia tumbuh besar di Yangon dan melihat apa yang disebut sebagai rumah berubah menjadi petak-petak yang menumpuk ke atas. Perubahan yang tentunya berkaitan dengan perkembangan penduduk dan ketersediaan lahan. Di tahun 2012, Myanmar Times merilis berita tentang populasi Yangon yang diprediksi akan meningkat dua kali lipat di tahun 2017, kurangnya tempat tinggal, dan kebutuhan untuk membangun kompleks-kompleks perumahan vertikal lainnya.¹

Foto oleh: Sita Magfira dan

Kebetulan empat seniman yang saya temui selama di Yangon selalu mengundang saya untuk berkunjung ke tempat tinggal mereka. Dari kunjungan ke rumah mereka saya belajar soal konsep tempat tinggal di Yangon. Htein Lin, yang usianya jauh lebih tua daripada tiga seniman lainnya dan termasuk seniman mapan, tinggal di kompleks yang disebut 'housing'. Sementara tiga orang lainnya merujuk tempat tinggal mereka sebagai 'flat'. Yang disebut sebagai 'housing' adalah kompleks dengan tidak terlalu banyak tempat tinggal tumpuk-menumpuk. Hanya ada empat tempat tinggal tumpuk-menumpuk dalam tiap bangunan di kompleks 'housing' Htein Lin. Di bawah masing-masing bangunan tersedia lahan parkir untuk mobil. Sementara tiga seniman lainnya (dua di antaranya kebetulan adalah suami istri) tinggal di satu bangunan tinggi yang disebut sebagai 'flat'. Ada banyak tempat tinggal yang tumpuk-menumpuk di dalamnya. Tempat tinggal Aung Ko dan Nge Lay, sepasang seniman, misalnya, berada di lantai delapan kompleks flat mereka. Meski begitu, baik tempat tinggal yang disebut housing dan flat sama-sama tampak tidak cukup besar sebagai studio


7

seniman-seniman yang saya temui itu. Apalagi, mengingat beberapa di antara mereka, khususnya Htein Lin, Nge Lay, dan Aung Ko, punya karya-karya instalasi berukuran masif. Htein Lin sendiri memiliki studio yang cukup besar di pinggiran Yangon; yang jaraknya sekitar 1 jam dari pusat kota dan bisa ditempuh menggunakan taksi dengan biaya sekitar Rp 300.000. Berbeda dengan Htein Lin, Nge Lay dan Aung Ko memilih untuk menggunakan rumah keluarga Aung Ko di desa yang berjarak 10 jam dari Yangon sebagai studio. Itu berarti mereka harus meninggalkan Yangon selama beberapa waktu untuk mengerjakan karya-karya instalasi mereka. Saat mengerjakan karya instalasi berukuran besar, mereka bisa memilih menetap di desa itu dalam hitungan bulan. Pilihan lainnya adalah menyewa tempat lain di pinggiran Yangon sebagai tempat berkarya. Ini tentu erat dengan mahalnya harga tempat tinggal di Yangon. Saya juga tidak bisa tidak tertarik melihat tidak adanya motor di jalanan kota Yangon. Di era ojek online seperti hari ini, rasanya jadi janggal dan berlebihan untuk bepergian sendiri di Yangon dengan harus menggunakan taksi. Tapi itu pilihan yang paling baik selain menggunakan bus atau berjalan khaki. Seorang kenalan asal Yangon mengatakan pemerintah Yangon melarang penggunaan motor dengan alasan keselamatan. "Supaya angka kecelakaan tidak besar. Juga bagus untuk lingkungan," katanya. Tapi dari Moe Satt, saya mendengar kisah bahwa larangan itu dibuat oleh rezim

militer karena takut akan keamanan mereka. Berdasar cerita Moe Satt, seperti yang kemudian saya dengar juga dari seorang kawan berkebangsaan Amerika yang melakukan banyak penelitian di Yangon, larangan ini mulai dibuat setelah sekelompok anak muda bersepeda motor menyalip ke sebelah mobil seorang petinggi militer dan membuat gestur tangan yang sedang menembakkan pistol ke arah petinggi militer itu. Kejadian itu membuat petinggi militer sadar bahwa pengguna motor bisa membahayakan keamanan mereka. Larangan penggunaan motor di pusat kota Yangon diberlakukan tidak lama setelah itu. Saat berkunjung ke studio Htein Lin yang berada di pinggiran Yangon, saya baru bisa melihat satu dua orang mengendarai motor. Menurut salah satu berita yang dilansir The Frontier,² sejak 2003, motor sebenarnya tidak saja dilarang di pusat kota Yangon tapi juga di 33 kota kecil yang berada dalam administrasi komite pembangunan kota Yangon. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pelarangan ini tidak seketat di pusat kota. Fleksibilitas ini kemudian bisa dihubungkan dengan ketersediaan transportasi umum dan keadaan ekonomi masyarakat. Selain bertemu seniman, saya juga berkesempatan berkunjung ke dua lembaga yang fokus pada gerakan sosial dan pendidikan. Masing-masing adalah The Third Story Project dan Mote Oo Education. The Third Story Project adalah kerja kolaboratif antara the Myanmar Storytellers and the Benevolent Youth Association dalam membuat buku cerita anak-anak yang kemudian disebarkan secara gratis ke anak-anak di berbagai penjuru Myanmar.


8

The Third Story Project menggandeng seniman-seniman Myanmar dalam proses pembuatan buku cerita, baik sebagai penulis pun ilustrator. The Third Story Project juga beberapa kali mengajak anak-anak untuk mengembangkan ide cerita buku-buku mereka. Tema-tema yang dihadirkan dalam buku-buku cerita itu banyak ragam dan menarik. Kita misalnya bisa menemukan nilai-nilai mendasar tentang perdamaian, toleransi, kesetaraan, keberagaman, lingkungan, demokrasi, dan hak-hak anak dalam buku-buku cerita yang dibuat mereka. Semuanya tentunya hadir dengan gaya tutur yang mudah dipahami anak-anak disertai dengan ilustrasi-ilustrasi penuh warna yang menyenangkan mata. Buku-buku cerita ini ditulis dalam Bahasa Burma dan cukup banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Menariknya, satu dua buku juga dibuat dengan gaya tutur visual saja, tanpa kata-kata. Sementara Mote Oo Education adalah organisasi yang fokus meningkatkan pemahaman tentang keadilan sosial lewat materimateri dan berbagai layanan pendidikan yang sesuai dengan konteks Myanmar. Mote Oo berangkat dari pandangan bahwa pendidikan di Myanmar perlu untuk mengikuti perkembangan pesat dunia di abad ke-21 ini. Contoh hasil kerja dari Mote Oo adalah buku-buku yang bisa digunakan sebagai bahan ajar di sekolahsekolah di Myanmar. Buku-buku ini misalnya membahas topik-topik seputar keberagaman dan toleransi, kesetaraan gender, sejarah Myanmar, demokrasi, partisipasi warga, dan sebagainya. Tersedia dalam Bahasa Burma dan Bahasa Inggris, buku-buku Mote Oo ada yang khusus untuk pelajar dan ada yang khusus untuk pengajar. Mereka bekerja sama dengan sekolah serta tenaga pengajar dalam menyebarkan buku-bukunya. Di bawah lisensi creative commons, buku-buku Mote Oo ini juga mudah diunduh oleh siapa saja. Hal lain yang juga dikerjakan oleh Mote Oo adalah pelatihan untuk pendidik. Inisiatif-inisiatif macam The Third Project dan Mote Oo tampak sangat beragam dan aktif di Myanmar. Menarik juga dicatat bahwa isu-isu macam keberagaman, toleransi, kesetaraan, dan demokrasi hadir dalam buku-buku yang dibuat keduanya. Baik melalui medium cerita anak-anak juga lewat buku-buku pelajaran yang umumnya digunakan dalam seting kegiatan belajar-mengajar formal. Ini tentu saja terkait erat dengan situasi sosial dan politik di Myanmar saat ini dan bisa dilihat sebagai ikhtiar untuk membuatnya lebih baik.


9

Foto oleh: M. Fasha Rouf

Hal menarik lainnya adalah bagaimana orang-orang di Yangon berpakaian dan bersolek. Mengingat Yangon adalah kota terbesar di Myanmar, menarik melihat banyak sekali orang yang memakai longyi - kain tradisional yang dipakai oleh perempuan dan laki-laki dalam keseharian. Atau bagaimana mereka (umumnya perempuan dan anak-anak) memakai thanaka (masker wajah tradisional) saat berkegiatan di luar rumah. Buat saya, thanaka tampak seperti bedak dingin, Tentu saja saya kemudian membandingkannya dengan bagaimana kita di Yogya yang hanya menggunakan kain tradisional di acaraacara tertentu. Rasanya juga sulit membayangkan kita mau keluar rumah - apalagi untuk bekerja dengan memakai bedak dingin di wajah. Bagi saya, ada kesahajaan sekaligus sikap apa adanya di dalam diri orang-orang Myanmar ini jika dilihat dari bagaimana mereka mematut diri. Yang tentu saja bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan fakta bahwa Myanmar baru membuka diri terhadap dunia luar sekitar delapan tahun lalu. Saya penasaran, semisal saya punya kesempatan berkunjung lagi ke Yangon dalam katakanlah 10 tahun ke depan, apakah saya masih bisa melihat orang-orang memakai longyi dan thanaka di jalanjalan kota itu? Keterangan: ¹ https://www.mmtimes.com/special-features/148-property-myanmar/2775-seeking solutions-for-housing-shortages-in-myanmar.html ² https://frontiermyanmar.net/en/yangons-two-wheeled-conundrum


10

BAGIKU SENIKU BAGIMU SENIMU (Catatan Perjalanan dari Pontianak, Kalimantan Barat) Oleh: Akiq AW (Kurator Biennale Jogja Equator #5)

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat

Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya berkesempatan bertukar pengalaman dengan teman-teman pelaku seni dari beberapa daerah, yang kemudian membuat saya berfikir kembali tentang halhal yang selama ini kita terima apa adanya. Mulai dari persoalan ruang ekspresi hingga problem keberlangsungan hidup, mulai dari persoalan seniman dan produksi hingga persoalan penonton dan apresiasi. Ada sebuah perasaan yang janggal ketika mendengarkan cerita-cerita itu; hal yang sama tapi sama sekali jauh berbeda ketika diperbincangkan di Jogja. Saya menjadi curiga apakah ini yang disebut dengan sindrom rumah cermin, kemanapun kita memandang maka yang ditemukan adalah diri sendiri? Saya merasa hal ini terjadi karena arogansi dan keblinger saya bahwa saya berasal dari pusat kesenian? Pusat kesenian yang saya maksud adalah Jogja itu sendiri. Apakah teman berbicara saya juga terkungkung dalam asumsi-asumsi pusatpinggiran yang selama ini dipercayai? Kira-kira beberapa hal berikut ini, yang coba saya jabarkan dalam tulisan ini mungkin bisa menggambarkan mengapa saya merasa seperti itu.


11

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat

Hal pertama yang saya lihat adalah pada cara pandang; bagaimana kita melihat diri dan dunia dimana kita hidup sehari-hari. Ada perasaan bahwa kesenian dan profesi sebagai seniman menghendaki kita berada diatas kenyataan sosial, di satu sisi banyak seniman selalu membicarakan hal-hal adiluhung, yang awam dianggap tak sanggup memahaminya. Disisi lainnya bahwa seniman, dan untuk menjadi “seni”, harus membicarakan diri sendiri dan berlagak menjadi suara kebijaksanaan masyarakatnya. Dalam beberapa tingkat dan bentuk, pandangan ini hadir di semua tempat. Di pusat, dia muncul dalam bentuk gaya hidup hedonistik bersampul nilai-nilai progresif, di pinggiran dia berubah menjadi elitisme yang gagap melihat perubahan masyarakatnya. Di pusat, setiap hari karya seni diproduksi tanpa kenal nilai hidupnya, di pinggiran karya seni terhambat diproduksi karena tak kenal kepentingan masyarakatnya. Di Jogja, keberadaan dan kehadiran 'penonton' atau yang lebih luas disebut khalayak seni, dianggap menjadi tolak ukur yang valid atas sebuah perhelatan. Bahwa ketika pameran seni mengundang interaksi muda-mudi ber-selfie, itu sudah dianggap sebagai bentuk partisipasi masyarakat atas kegiatan seni. Bahwa ketika setiap minggu nyaris tak satu kalipun Jogja tanpa kegiatan seni, itu dianggap bahwa seni sudah mendapatkan relevansinya di masyarakat. Bisa dibilang bahwa karya seni adalah manifestasi dari cita-cita karir seniman yang jika digali lebih jauh akan sangat terasing dari nilai-nilai dan praktik hidup senimannya; tidak


12

semuanya tapi banyak. Apakah mungkin, dalam membicarakan seni yang berlandaskan kebebasan-kemandirian, tapi disaat bersamaan patron-patron bermodal uang berkeliaran menata wacana menebar ketergantungan? Lihat saja saat ini, ketika arus modal beralih ke kiblat lain, pasar menjadi sepi, tak ada lagi suara lantang penentangan. Jogja hanya berisik oleh politik elektoral, hiruk pikuk rerasan primordial dan kumpul-kumpul membahas proposal. Seniman berkumpul tidak lagi membicarakan gagasan dan peristiwa sosial tapi lebih memilih membicarakan hobi dan berita-berita kriminal. Di tempat lain, anak-anak muda bisa dengan santai memajang lukisannya di dinding kafe, tanpa beban ukuran dan material karya, sembari mengeluh kurangnya ruang pameran, kurangnya apresiasi pengunjung. Dalam kerangka kerja menuju Biennale Jogja Equator #5, saya melakukan perjalanan ke Potianak pertengahan bulan Maret lalu. Saya mengamati peran besar korporat khususnya industri rokok dalam mempengaruhi iklim berkesenian, dengan munculnya penghargaan, duta-duta kreatif dan juga pendanaan untuk acara seni lokal. Ada perusahaan rokok yang merangkul komunitas anak muda, menumbuhkan mental dan praktek yang saya sebut sebagai seni viral. Mereka membiakkan apa yang disebut dengan local hero atau influencer yaitu seniman atau penghibur lokal yang menghasilkan karya yang viral, yang memiliki tentu saja pengaruh berantai di dunia media sosial.

Dokumentasi: Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat

Praktek kesenian sekarang sejajar sejalan dengan iklan, berebut perhatian menggunakan kontras dan banalitas, yang hanya seusia satu pencetan jari ke pencetan jari berikutnya di layar telepon pintar. Tapi tentu saja masih ada yang lain, yang memilih menjalani keseniannya dalam sunyi di tengah-tengah masyarakatnya. Saya


13

bertemu dengan seniman muda Dayak yang juga menjadi tatung, orang yang mendapatkan 'panggilan' untuk menjadi penerus para leluhur dalam praktek-praktek ritual di dunia sekarang. Dia memiliki tanggung jawab sosial-kultural dalam ritual dan sistem kemasyarakatan, dan secara bersamaan menjalankan profesi sebagai pengajar dan musisi, yang berkarya dan aktif dalam skena seni di kotanya. Ritual-ritual dia pahami sebagai upayanya menjaga keberagaman dan kerukunan masyarakatnya. Entah di pusat atau di pinggiran, wajah seni akan berwujud serupa dengan pelakunya, setabiat dengan ideologi manusia dan masyarakatnya. Ketika membicarakan seni di pinggiran, seringkali acuannya adalah konteks mapan seni liberal barat, ya seni yang sekarang kita sokong ini. Standar-standar yang seringkali diasumsikan, persis menjadi persoalan di sebagian besar wilayah. Ketika pelukis menaruh harga karya di balik caption, langsung dianggap tidak paham bagaimana estetika seni tinggi. Ketika pengunjung memegang karya di galeri, langsung tidak dianggap mengerti tentang kesenian. Pun dalam soal formal, ada standar bentuk dan isi yang kemudian di-justifikasi dengan sejarah seni. Ini adalah hantu bagi seniman-seniman otodidak yang mendapatkan bahan dan ukuran dari kondisi lokal dan pengetahuan dari praktek keseharian. Seni sebagai bagian dari superstruktur harusnya dibentuk oleh praktek-praktek produksi yang sangat lokal, yang unik dari konteks masyarakat satu dengan yang lainnya. Jika di Tegal minggu lalu ada yang mengeluh bahwa seniman memperlakukan karyanya sendiri dengan 'sembarangan', maka bukankah itu ukuran dari praktek produksi yang ada disana? Di kota-kota yang belum terkooptasi dengan pakem-pakem seni mapan, kesempatan memperbincangkan nilai-nilai dan aturan sangat terbuka. Tumbuh berkembang dengan masyarakat dan praktek produksi lokal mungkin menjadi salah satu cara menjawab keluhan-keluhan seniman atas kurangnya minat masyarakat dan infrastruktur seni lokal. Sebagai penganut taat sekte kesenian sudah seharusnya kita menyebarkan ajaran kesenian dan memperbanyak amal jariyah kesenian yang berguna untuk masyarakat di mana kita tinggal. Bukan malah asyik masyuk dengan diri dan agenda ekonomi personal saja.


14

MEMBUKA DIALOG DAN MEREBUT RUANG STRATEGIS Wawancara bersama Fitri DK

Dokumentasi pribadi

Malaysia saat ini bisa dibilang sedang memasuki masa baru sejak Mahathir Mohamad menjabat sebagai perdana menteri di tahun 2018. Era baru bagi rakyat Malaysia ini disambut dengan baik, terlebih lagi dengan terbukanya ruang untuk berdiskusi dan berdialog terkait dengan persoalan dan isu-isu yang terjadi di masyarakat. Ketakutan untuk mengkritik pemerintah pun dirasa semakin menghilang, salah satunya dengan adanya acara Democracy in Action. Democracy in action merupakan sebuah acara yang digagas oleh sebuah lembaga bernama FORSEA (Forces of Renewal for South East Asia). FORSEA sendiri berupaya untuk mengkampanyekan keadilan dan demokrasi di wilayah Asia Tenggara. Acara Democracy in Action pada tanggal 13-17 Februari merupakan sebuah acara pameran seni yang melibatkan dan mengundang para seniman yang bekerja pada isu gerakan sosial. Taring Padi sebagai salah satu kelompok seni yang aktif membicarakan mengenai isu-isu sosial dan politik dalam karya-karyanya, diundang untuk terlibat dalam kegiatan pameran di Democracy in Action. Fitri DK sebagai salah satu anggota Taring Padi,


15

berkesempatan untuk hadir dalam pameran Democracy in Action bersama dengan kelompok Dendang Kampungan. Kali ini, Nisa dari Biennale Jogja, berkesempatan untuk berbincang bersama Fitri DK mengenai pengalamannya terlibat dalam acara Democracy in Action bulan Februari lalu. Nisa : Awal keterlibatan dalam acara ini gimana Mbak? Fitri : Awalnya dihubungi oleh dari pihak Democracy in Action, langsung oleh kuratornya. Waktu itu yang menghubungi adalah Intan Rafiza. Diundang kesana sebagai Taring Padi dan Dendang Kampungan. Kalau Taring Padi itu diundang untuk terlibat dalam pameran Democracy in Action. Dan Dendang Kampungan itu untuk acara malam kebudayaan, seperti musik, dan namanya adalah Seiring Sejalan. Awalnya kami ditawari untuk ikut dalam beberapa acara, pameran, presentasi, bazar, dan musik. Cuma masalahnya, enggak semua anggota Dendang Kampungan itu di Taring Padi. Kalau mau mengundang Taring Padi, hanya ada empat anggota Dendang Kampungan yang terlibat. Pada akhirnya mereka mengundang Taring Padi dan Dendang Kampungan yang versi lengkap. Ternyata memang banyak yang datang rombongan, seperti Pangrok Sulap dari Sabah.

Dokumentasi pribadi

Nisa : Jadi untuk pamerannya Taring Padi menampilkan karya apa Mbak? Fitri : Untuk pamerannya Taring Padi, kami bawa karya yang seri menyikapi pemilu, itu karya yang paling baru. Juga kami menampilkan karya 'All Mining Is Dangerous'. Karya yang kedua merupakan karya kolaborasi Taring Padi bersama komunitas Just


16

Seed di Portland, Amerika. Isu yang coba diangkat adalah kami mengkritisi tambang di masing-masing negara. Tambang di Indonesia seperti apa dan tambang di Amerika bagaimana, lalu kami membuat dua panel. Yang satu dikerjakan Taring Padi dan satunya dikerjakan oleh Just Seed, tapi sebenarnya itu nyambung. Jadi kalau dijahit dijadikan satu itu enggak kelihatan dan memang itu satu kesatuan. Nisa : Kegiatan selain pameran, tadi Mbak Fitri sempat menyebutkan soal presentasi. Bentuk presentasinya seperti apa Mbak? Fitri : Jadi hari pertama tanggal 13 Februari itu kami presentasi bersama Shaq Koyok. Yang dibicarakan bukan hanya mengenai karya apa saja yang ditampilkan atau pernah dibuat, tapi lebih mengarah ke aski atau kegiatan apa saja yang pernah dilakukan di negara masing-masing. Dari pihak penyelenggara mempertemukan Taring Padi dan Shaq Koyok dalam satu sesi, karena dari kurator sendiri melihat Taring Padi dan apa yang dilakukan oleh Shaq Koyok. Misalnya, Shaq Koyok lebih ke karya-karya mengenai masyarakat adatnya dan Taring Padi condong ke isu sosial politik, yang mana sebenarnya sama. Nisa : Shaq Koyok sendiri praktiknya yang menarik apa Mbak, kalau boleh cerita sedikit. Fitri : Satu hari kita sempat ke Desa Temuan di Kuala Lumpur. Jadi dahulu orang asli sana, tinggal di Desa Temuan tapi sekarang mereka tergusur karena pertumbuhan kota. Akhirnya mereka sekarang dipindahkan. Desa Temuan ya, sebenarnya adalah desa adat. Sebenarnya 5 enggak sengaja makan ayam goreng dan ada tulisannya mengenai desa itu. Dan

ternyata salah seorang teman mengenalkan dengan seniman darisana. Nama, senimannya si Shaq Koyok ini. Sejak desanya digusur, karya-karyanya semua tentang masyarakat adat. Dia sendiri kurang dapat ruang, saat pemerintahan Najib. Hampir semua seniman sebenarnya yang karyanya mengkritik pemerintah, sama pemerintahan Najib kan dihalang, salah satunya si Shaq ini. Dia justru dapat penghargaan dari pemerintah Australia kalau enggak salah dan sejak itu dia punya motivasi untuk semangat berkarya terus. Karyanya realis, ditempatkan di tikar, dan menggabungkan dengan kerajinan dari masyarakat adat, kemudian dia gambar. Nisa : Selain Shaq Koyok ketemu siapa lagi Mbak yang menarik ceritanya? Fitri : Ada Pangrok Sulap. Pangrok Sulap itu dari Sabah dan awal mulanya mereka memang tertarik dengan Taring Padi, terutama dari teknik cukil kayunya. Tentu dengan tema yang berbeda tapi masih terkait dengan isu sosial dan politik. Juga bagusnya, tema seperti ini mudah diterima masyarakat disana. Bagusnya mereka merekrut anggotanya dengan pembelajaran bukunya Taring Padi. Terakhir Rizo, salah satu pemimpin dari Pangrok Sulap memborong buku "Taring Padi Seni Membongkar Tirani" hampir 40 buku untuk dibagikan gratis ke anak-anak muda disana, terutama mereka yang masih bingung. Banyak yang jadinya tertarik dan ikut gabung bersama Pangrok Sulap. Fokusnya memang cukil kayu dan kemudian ditransfer ke silk screen untuk dibuat kaos. Ada cerita menarik lagi, selama ini orang yang tahu soal Kuala Lumpur hanya datang ke Menara Kembar, tapi aku pribadi enggak tega. Sempat foto tapi karena memang diajak dan kami tidak


17

Dokumentasi pribadi

bisa menolak. Dan setelah tahu kisahnya dari teman-teman Pangrok Sulap bahwa kekayaan alam Sabah dikeruk untuk pembangunan di Kuala Lumpur, salah satunya Menara Kembar itu, kami langsung tidak mau upload fotonya. Masyarakat sana, di Sabah, tidak bisa menikmati kekayaan alam mereka. Kekayaan Malaysia itu ya dari Sabah, bukan dari Kuala Lumpur. Nisa : Situasi kesenian disana saat ini gimana Mbak berarti? Banyak yang membicarakan isu sosial dan politik berarti? Fitri : Iya, jadi karyanya banyak yang bicara soal sosial dan politik secara terbuka. Mereka sendiri juga kaget sebenarnya, pameran berlangsung secara aman karena dahulu era Najib agak susah. Sekarang di era baru Mahathir mereka mau berusaha acara seperti ini dipertahankan. Mungkin karena masa transisi jadinya bisa aman, jadi mereka mau terus berusaha kalau acara seperti pameran harus terus ada, takutnya nanti ternyata kelamaan pemerintahan Mahathir melarang, kita juga enggak tahu, jadi mereka terus berupaya. Sebenarnya juga mungkin posisinya disana, yang menurutku "istimewa", mereka lama berada dalam situasi seperti di jaman Soeharto. Dan sekarang mereka berada di situasi baru, di mana mereka bisa berekspresi. Salah satu yang berkesan Pangrok Sulap itu, mereka kuat secara teks tapi juga memperhatikan segi artistiknya juga.


18

Nisa : Ada tanggapan yang berkesan dari pengunjung saat melihat karya yang ditampilkan enggak Mbak? Fitri : Disana pamerannya senimannya selalu ada terus di dekat karyanya dan orang beneran tanya. Disini juga ada sih, kayak waktu SURVIVE! pameran di Jogja Contemporary itu juga banyak yang nanya. Tapi kemarin hampir semua audiens yang datang mereka tanya, "kalau karya ini dipasang di jalanan, reaksi orang gimana?". Mereka tanya sampai penerapannya. Jadi dialog itu benar-benar terbangun antara audiens dengan mereka yang mengikuti pameran. Karena kalau di Malaysia menyikapi pemilu itu bisa dibilang agak mengerikan. Kalau ketahuan siapa yang bikin, bisa ditangkap. Untuk ngomong soal pemilu itu sensitif, disini juga, tapi pemlihan kata dan tema itu memang penting. Nisa : Apa ada poin lain yang kemudian jadi menginspirasi untuk bisa diterapkan disini enggak Mbak? Fitri : Secara audiens, acara ini cukup banyak. Karena acara ini ditempatkan ditengah-tengah pusat perbelanjaan. Jadi acaranya mengambil tempat di selasar di salah satu pusat perbelanjaan digunakan untuk bazar. Dekat sana juga ada ruang publik untuk nongkrong-nongkrong itu disewa sebagai panggung. Dekat panggung dibuat dua ruang, White Box dan Black Box. Black Box itu memang hitam semua untuk ruang pamer dan White Box itu untuk conference. Kami juga kemarin sempat tanya kenapa memilih di pusat perbelanjaan? Bagi mereka itu mencoba merebut ruang strategis untuk membicarakan isu yang berbebeda. Karena mereka datang kesana biasanya hanya untuk belanja dan nongkrong. Tapi usaha ini bagi mereka sebagai bentuk

merebut ruang strategis untuk menciptakan dialog yang lain dengan audiens yang berbeda. Aku sendiri jadi mikir, sebenarnya ini ide yang bagus. Kadang kala kalau kita mau buat acara serupa, pasti dapat pandangan nyinyir, "wah, ngomongin kerakyatan kok di dalam mall. Ngomongin kerakyatan kok di dalam hotel", gitu ya. Tapi sebenarnya kalau audiens kita itu-itu aja, terus edukasinya dimana? Kalau mencari tempat yang berbeda dengan audiens yang beragam itu kan, pesannya malah jadi semakin luas ya tersebar sebenarnya kalau melihat kesana. Oke juga kan sebenarnya.


19

PEDAGANG VS PEMERINTAH: STRATEGI BERTAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DALAM MENGHADAPI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA HANOI Oleh: Caroline Astipranatari

Dokumentasi pribadi

Pasar Nga Tu So dalam Perubahan Pasar Nga Tu So merupakan salah satu pasar terbesar yang menerima pembelian grosir dan ritel di Hanoi, Vietnam. Pasar Nga Tu So terletak di pusat kota Hanoi tepatnya di distrik Thanh Xuan yang telah dibangun dan digunakan sejak tahun 1987 sebagai salah satu produk dari adanya kebijakan ekonomi yang baru yaitu Doi Moi yang disahkan satu tahun sebelumnya. Pasar Nga Tu So ini juga lebih dikenal dengan sebutan pasar persimpangan karena letaknya tepat berada di persimpangan yang terkenal atau sering disebut dengan crossroads. Awalnya pasar Nga Tu So¹ terdiri dari empat bidang penjualan yaitu pakaian, produk industri, alas kaki, dan kain. Pasar ini memiliki area seluas lebih dari 8.000m2 dengan 754 bisnis rumah tangga yang tetap. Setelah tiga puluh tahun bertahan, sekarang pasar Nga Tu So hanya menyisakan 454² bisnis rumah tangga kecil termasuk 15 pasar kelas pertama, 65 pasar kelas dua, 311 pasar kelas tiga dan 63 pasar tidak beraturan dan didominasi oleh pedagang bahan makanan segar maupun olahan pada pagi hari.


20

Dalam perjalanannya, pasar Nga Tu So pernah menjadi sasaran proyek investasi untuk membangun trade center. Akan tetapi dalam prosesnya pembangunan tersebut mengalami hambatan karena dirasa tidak sesuai dengan masterplan pembangunan Hanoi dan akhirnya pembangunan tersebut dibatalkan. Kemudian pada tahun 2013 wakil ketua Komite Rakyat Hanoi Nguyen Van Suu menyarankan untuk menghentikan pembangunan pasar Nga Tu So sebagai pusat komersial dan mempertahankan peran pasar tersebut menjadi pasar tradisional.³ Akan tetapi, pada tahun 2014 Komite Rakyat mengeluarkan keputusan no. 4095/QD-UBND dan Keputusan No. 98/QD-UBND yang direncanakan pada bulan Agustus 2009 yang menyetujui hasil penawaran untuk memilih investor untuk melaksanakan proyek pembangunan pusat perdagangan. Ketika pembangunan sudah mencapai 50%. berdasarkan pengumuman no.83/TB-VP tanggal 7 April 20174 kantor Komite Rakyat Hanoi menyimpulkan bahwa Komite Rakyat Distrik Dong Da setuju mengusulkan rencana untuk berinvestasi dalam pembangunan persimpangan jalan dan pembangunan daerah hunian mewah Royal City. Pembangunan tersebut berdampak pada berhentinya pembangunan pasar Nga Tu So menjadi pasar departemen perdagangan aset Vietnam. Hingga sekarang belum ada keputusan dan regulasi yang disahkan oleh Komite Rakyat mengenai kelanjutan pembangunan yang telah diputuskan sebelumnya. Hal ini membuat kondisi bangunan utama pasar Nga Tu So dalam kondisi yang sekarat didukung dengan 4 kondisi infrastruktur yang semakin menurun. Sanitasi lingkungan yang buruk

membuat pasar dengan mudah memiliki genangan air ketika hujan datang. Pasar Nga Tu So bahkan telah dianggap telah merusak keindahan kota karena kondisinya yang kumuh. Jika kita masuk ke bagian dalam pasar pada siang hari, terdapat satu bagian pasar yang terlihat seperti gudang terbuka dengan kondisi yang sangat kotor dan berdebu. Bagian tersebut juga digunakan oleh pedagang untuk meletakkan barang seperti meja, kursi, sepeda, dan lemari bekas yang sudah tidak dapat lagi dipakai di kiosnya. Ditambah dengan pembangunan crossroads yang mengambil beberapa lahan penting seperti area parkir dari pasar Nga Tu So turut menyumbang kondisi pasar sekarang yang semakin sepi pengunjung. Ms. Yue (65) salah satu pemilik kios tersenyum sedih dan mengungkapkan bahwa lima tahun belakang ini kondisi pasar sangat sepi oleh pembeli. Pedagang Kaki Lima di Pasar Nga Tu So Hal yang menarik ketika kita datang ke pasar Nga Tu So sekarang adalah banyaknya jumlah pedagang makanan segar seperti sayur, buah, telur, dan daging yang berjualan di trotoar area pasar daripada di bangunan utama pasar. Setiap hari mereka mulai berjualan pada pukul 03.00 hingga pukul 12.00 waktu setempat atau sampai barang dagangan yang mereka bawa sudah habis. Pedagang kaki lima yang berjualan di area sekitar pasar Nga Tu So memiliki rentang usia yang beragam, ada yang masih muda di usia dua puluhan ada juga yang sudah berada di usia empat puluh tahun ke atas. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah pertanian dan peternakan yang berada di area sub-urban ataupun rural seperti Ha Tay dan Tanh Oai. Setiap hari


21

Dokumentasi pribadi

mereka harus pulang-pergi menempuh perjalanan selama tiga jam dari rumah ke pasar Nga Tu So. Hal tersebut membuat para pedagang memiliki akses yang mudah untuk mendapat barang dagangan dengan harga yang murah dengan kualitas yang bagus. Para pedagang kaki lima yang berada di area sekitar pasar Nga Tu So memiliki sejarah yang berbeda hingga pada akhirnya bisa berjualan di area ini. Yang pertama adalah para pedagang yang sejak awal berjualan di pasar Nga Tu So sekitar dua hingga lima tahun yang lalu menempati trotoar sebagai tempat menggelar lapak mereka dan bertahan hingga sekarang. Yang kedua adalah para pedagang yang pada awalnya memiliki atau menyewa kios di bangunan utama pasar, saat itu pasar Nga Tu So masih dalam kondisi yang sangat terawat dan memiliki banyak pembeli yang datang setiap hari dari pagi hingga malam. Akan tetapi sejak kurang lebih lima tahun yang lalu, kondisi pasar mulai menurun sebagai dampak dari pembangunan yang ada di sekitar pasar dan berpengaruh pada jumlah pembeli yang terus menurun. Sedangkan dalam waktu yang sama kondisi di sekitar pasar justru semakin ramai dengan pembeli. Hal ini yang mendorong para pedagang untuk memutuskan pindah berjualan ke trotoar area sekitar pasar. Setiap hari pedagang kaki lima di area sekitar pasar Nga Tu So menggunakan terpal untuk menggelar barang dagangan mereka


22

agar ringkas, mudah dibereskan dan mudah untuk dibawa. Setiap hari mereka datang ke pasar dari kampung halamannya dengan menggunakan motor yang dilengkapi dengan bronjong dua tingkat agar dapat menampung banyak barang. Sepeda motor yang digunakan akan diparkirkan di trotoar tepat di tempat mereka berjualan. Tujuannya agar mereka memiliki semacam tempat untuk menyimpan barang dagangan yang telah dipesan sebelumnya, atau tempat untuk menyimpan barang dagangan yang belum digelar. Para pedagang datang ke pasar untuk berjualan sendiri, sepeda motor yang dekat dengan lapak mereka mempermudah para pedagang ketika hendak menggelar dan meringkas barang dagangan mereka.

Dokumentasi pribadi

Pedagang Kaki Lima dan Ketahanan Nasib kelanjutan pembangunan pasar Nga Tu So yang terus menggantung membuat kondisi pasar semakin jauh tertinggal dari proyek pembangunan yang berada di sekitar pasar. Pemerintah seolah-olah tak acuh akan nasib pasar Nga Tu So dan membiarkannya semakin menurun seiring waktu. Hal tersebut justru membuat jumlah pedagang kaki lima di sekitar pasar Nga Tu So semakin bertambah. Jumlah yang meningkat tidak menjamin semua baik-baik saja, para pedagang juga memiliki masalah yang mereka hadapi setiap harinya seperti razia dan kasus korupsi dalam pemungutan pajak harian oleh pihak pemerintah distrik maupun manajemen pasar yang tidak sesuai dengan keputusan dari Komite Rakyat yang berlaku. Bagi para pedagang kaki lima,


23

trotoar menjadi area yang sangat penting baik dalam menunjukkan eksistensi mereka yang menjadi bagian dalam pasar Nga Tu So maupun sebagai tempat untuk melakukan transaksi dengan para pembelinya. Trotoar di Hanoi dibagi menjadi dua bagian, bagian trotoar yang dekat dengan bangunan disebut dengan trotoar bagian dalam sedangkan bagian trotoar yang dekat dengan jalan disebut dengan trotoar bagian luar. Pembagian area trotoar di sekitar pasar Nga Tu So dapat dilihat secara jelas dengan adanya garis kuning sebagai pembatas yang dibuat oleh pemerintah distrik. Bagian dalam trotoar merupakan hak untuk para pemilik bangunan, sedangkan bagian luar trotoar merupakan area publik yang menjadi tanggung jawab langsung pemerintah distrik. Oleh karena itu untuk berjualan, para pedagang harus membayar sewa sebesar 3.000.000 VND setiap bulan kepada pemilik rumah yang bagian depannya mereka tempati. Pada pagi hari dari pukul 04.00 hingga pukul 09.00, para pedagang kaki lima menggelar lapaknya di trotoar bagian luar yang merupakan area publik. Meskipun tidak ada hukum sah yang berlaku, akan tetapi di antara sesama pedagang memiliki kesepakatan untuk tidak berjualan di area trotoar bagian luar apabila di area trotoar bagian dalam tersebut sudah ada yang menyewa. Keputusan yang diambil tersebut ada hubungannya dengan pola perilaku para pembeli yang ada di Hanoi. Mereka cenderung lebih memilih pedagang yang lebih dekat dengan jalan karena lebih mudah untuk memilih dan membayar barang yang akan mereka beli tanpa harus turun dari motor ketika berbelanja. Ketika para pedagang telah mendengar suara peringatan dari pedagang lain bahwa razia

akan segera dimulai, mereka kemudian akan segera memindahkan barang dagangan ke area trotoar bagian dalam. Dengan memindahkan barang dagangan ke bagian dalam trotoar, berarti para pedagang menempati area yang legal karena mereka telah membayar uang sewa ke pemilik bangunan. Dalam posisi tersebut, para pedagang tidak memiliki alasan untuk terkena razia dari pemerintah distrik maupun manajemen pasar. Kemudian jika orang dari pemerintah distrik maupun manajemen pasar sudah tidak terlihat lagi, para pedagang akan memindahkan kembali barang dagangannya ke trotoar bagian luar seperti semula. Denda yang ditetapkan oleh pemerintah jika pedagang kaki lima terkena razia ketertiban pasar ada dua jenis nominal. Yang pertama, jika para pedagang hanya tertangkap basah sedang proses memindahkan barang dagangannya dari di area trotoar bagian luar ke area trotoar bagian dalam, pihak manajemen pasar dan pemerintah distrik tidak menyita barang dagangan mereka akan tetapi mereka harus membayar denda sebesar 150.000 VND. Yang kedua, ketika terjadi razia terlihat para pedagang masih melayani pembelinya di area trotoar bagian luar maka barang dagangan akan disita oleh pihak pemerintah distrik dan manajemen pasar kemudian mereka harus membayar denda sekaligus untuk menebus barang dagangan sebesar 500.000 VND. Untuk meminimalisir kemungkinan terkena razia dan membayar denda yang nominalnya dirasa cukup berat, para pedagang sangat mengandalkan relasi yang terbentuk di antara pedagang. Pedagang yang mulai melihat mobil dari pihak pemerintah distrik dan manajemen pasar akan langsung


24

Dokumentasi pribadi

berteriak dan diikuti oleh pedagang lainnya hingga semua pedagang yang ada bisa segera memindahkan barang dagangannya. Setiap hari rata-rata para pedagang kaki lima membawa barang dagangan hingga seberat 1 ton saja. Berdasarkan keputusan no. 56/2016/QD-UBND5 tertulis bahwa para pedagang kaki lima akan dikenakan pajak harian bergantung dengan seberapa besar barang bawaan mereka. Para pedagang yang membawa barang seberat 0,5 ton diwajibkan membayar pajak harian sebesar 8.000 VND. Sedangkan pedagang yang membawa barang dagangan seberat 1 ton mereka perlu membayar pajak harian sebesar 15.000 VND. Faktanya, pihak pemerintah distrik dan manajemen pasar menetapkan harga pajak harian tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Setiap hari para pedagang yang berada di trotoar semua harus membayar pajak sebesar 20.000 VND tanpa melihat seberapa banyak mereka membawa barang dagangan. Dari kedua kasus yang dialami langsung oleh pedagang kaki lima di area sekitar pasar Nga Tu So dapat dilihat ada dua pola yang terbentuk bagaimana mereka menghadapi pihak pemerintah baik pemerintah distrik maupun manajemen pasar. Hal ini ada hubungannya dengan bentuk negara dan pemerintahan Vietnam itu sendiri. Sebagai negara yang sosialis dengan partai tunggal,


25

Vietnam menerapkan kebijakan yang satu arah dan menempatkan pemerintah sebagai enforcer dan masyarakat sebagai objek hukum. Karena masyarakat sudah dalam jangka waktu yang lama menjadi objek dari kebijakan yang represif di mana mereka tidak memiliki kuasa yang cukup untuk bisa berkontribusi terhadap kebijakan yang berlaku, mereka akhirnya melakukan resistensi diri yang bisa disadari maupun tidak disadari. Cara-cara para pedagang dalam menyusun strategi sangat dipengaruhi oleh posisi mereka dalam struktur pemerintahan. Dalam upaya untuk menghindari razia, para pedagang sadar betul bahwa dengan menggunakan trotoar bagian luar merupakan tindakan yang melanggar kebijakan yang berlaku, akan tetapi mereka juga secara sadar mengetahui batasan apa yang dapat mereka lakukan untuk bertahan dari kebijakan pemerintah yang mereka hadapi. Bisa dikatakan strategi yang mereka lakukan hanya dalam tingkatan melanggar kebijakan yang berlaku sebagai bentuk eksistensi mereka sebagai bagian dari pasar. Strategi yang dilakukan oleh pedagang hanya bertujuan agar mereka dapat berjualan setiap hari tanpa memiliki masalah dengan pihak pemerintah, akan tetapi dalam waktu yang sama mereka dapat mendapat keuntungan semaksimal mungkin. Batas aman yang disadari oleh para pedagang kaki lima terhadap pihak pemerintah dapat dilihat dari kasus korupsi pemungutan pajak harian. Berbeda dengan razia, kasus penarikan pajak yang tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku oleh pihak pemerintah cenderung didiamkan saja oleh para pedagang. Tidak ada upaya

yang dilakukan oleh pedagang untuk mengakali atau mengkritik pihak pemerintah yang melakukan korupsi pajak harian meskipun mereka tahu bahwa mereka dirugikan dengan penarikan jumlah pajak yang tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Hal ini mempertunjukan bahwa para pedagang sadar tidak dapat melawan kebijakan yang berlaku dengan posisi mereka sekarang sebagai pedagang. Justru dengan melawan mereka akan memiliki resiko yang lebih besar daripada melanggar, mereka dapat kehilangan lapak untuk berdagang sepenuhnya. Sikap yang diambil oleh para pedagang dapat dikatakan sebagai sebuah resiliensi atau ketahanan karena strategi dan sikap yang dilakukan oleh para pedagang di trotoar tidak mengubah fakta bahwa nasib mereka dalam jangka waktu yang panjang di pasar Nga Tu So sepenuhnya berada di tangan pihak pemerintah. Sikap yang mereka ambil tidak terjadi begitu saja melainkan hasil dari perubahan yang terjadi pada lingkungan mereka yang juga merubah strategi untuk beradaptasi. Para pedagang kaki lima yang berada di area sekitar pasar Nga Tu So bisa dikatakan dalam kondisi yang rentan secara fisik terhadap renovasi pasar maupun pembangunan di area sekitar pasar. Berbeda dengan pedagang yang menyewa kios di bangunan utama pasar, para pedagang yang ada di trotoar bukan merupakan tanggung jawab manajemen pasar sepenuhnya. Jika terdapat pembangunan atau renovasi pasar yang mengharuskan adanya relokasi bagi pedagang, maka yang menjadi prioritas pertama untuk mendapat tempat sementara adalah pedagang yang menyewa kios di bangunan utama pasar.


26

Para pedagang kaki lima harus menentukan nasibnya sendiri dalam mencari tempat pengganti untuk berjualan. Sekarang mereka hanya akan terus berjualan setiap harinya tanpa tahu kapan kebijakan mengenai pembangunan pasar Nga Tu So selanjutnya akan diputuskan dan bagaimana nasib mereka ketika hal tersebut terjadi.

Keterangan: ¹ Nga Tu dalam bahasa Indonesia berarti persimpangan. ² Lihat https://www.gso.gov.vn/default.aspx?tabid=720 ³ Lihat http://hanoimoi.com.vn/Tin-tuc/Kinh-te/614487/co-royal-city-dung xay-trung-tam-thuong-mai-nga-tu-so4 Lihat http://hanoimoi.com.vn/Tin-tuc/Phong-su-Ky-su/868837/nhin-tu-du an-cho-nga-tu-so 5 Lihat Ban hành giá dịch vụ sử dụng diện tích bán hàng tại chợ trên địa bàn thành phố Hà Nội (regulasi dari pemerintah Vietnam yang mengatur mengenai pajak untuk para pedagang di pasar tradisional).


27

ASANA BINA SENI #1 Ilustrasi logo dibuat oleh: Irindhita 'Ayash' Laras Putri

Belakangan ini kita melihat bagaimana inisiatif-inisiatif sekolah alternatif dan ruang belajar komunal menjadi fenomena yang menyebar secara luas dalam kehidupan masyarakat. Ada kesadaran warga dan kelompok sipil untuk mengambil alih tanggung jawab dalam hal pendidikan, dan membangun visi bersama yang didasarkan pada situasi yang langsung dihadapi. Pendidikan-pendidikan alternatif juga membuka kesempatan yang lebih setara antara pengajar dan peserta belajar, sehingga ada pembiasaan pula atas gagasan relasi sosial yang lebih setara. Dalam dunia kesenian, model-model pembelajaran alternatif juga menjadi bagian dari skena baru yang memberi kontribusi cukup signifikan pada meluasnya wacana tentang seni dan bagaimana ia memberi dampak pada kehidupan sosial. Dalam sejarah pendidikan seni di Indonesia, model pendidikan alternatif ini banyak ditemukan dalam bentuk sanggar-sanggar, di mana seniman senior memberikan bimbingan kepada yang lebih muda, termasuk dalam pembentukan ideologi. Belakangan model mentoring juga menjadi bagian dari penyelenggaraan proses belajar informal bagi para seniman, yang biasanya melekat dengan Program-program residensi. Dengan meluasnya praktik-praktik karya seni dan kecenderungan interdisiplinnya yang semakin kuat, maka ada banyak wacana baru yang menarik untuk dibicarakan. Peristiwa-peristiwa seni yang semakin beragam juga membutuhkan ketrampilan dan kerja keras dari mereka yang bergerak dalam hal manajemen dan produksi, yang menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam sebuah skena seni. Peran kurator juga menjadi semakin penting dalam


28

berbagai perhelatan ini, terutama untuk memberi visi dan menjadikannya sebagai model pembelajaran bersama. Dalam konteks seni rupa Jogja, faktor-faktor ini penting untuk terus dipertemukan dan dibicarakan. Ada banyak pelaku-pelaku seni baru yang tertarik dengan berbagai isu dan perkembangan seni, tetapi belum mendapatkan ruang belajar yang berkelanjutan atau yang memungkinkan mereka untuk terjun langsung dalam praktikpraktik berkesenian. Ada banyak sekali peristiwa seni, ruang atau pertunjukan seni, yang kemudian memberikan kemungkinan bagi penonton atau yang hidup berdasarkan semangat swadaya dan diinisiasi oleh warga sendiri. Untuk dapat memperluas fungsi dan kemanfaatannya bagi komunitas kota yang lebih luas, maka diperlukan pembentukan jejaring dan peningkatan kapasitas sumber daya, termasuk sistem regenerasi sehingga ada keberlanjutan bagi aktivitas, program dan organisasi seni. Terinspirasi melalui lembaga belajar Asana Bina Widya yang sempat populer pada masanya, Asana Bina Seni diinisiasi sebagai ruang belajar bagi masyarakat umum yang tertarik untuk mempelajari seluk beluk dunia kesenian. Ada tiga materi utama yang menjadi awalan bagi Asana Bina Seni putaran #1(*) tahun 2019 yaitu: ● Manajemen seni ● Kuratorial ● Apresiasi seni Kelas-kelas ini akan dibuka untuk umum, dengan pengampu yang berbeda-beda pada setiap pertemuannya. Pada putaran pertama ini akan dilaksanakan selama satu bulan penuh dengan materi manajemen seni dan kuratorial. Dalam seminggu, kelas akan berlangsung sebanyak tiga kali; dua kelas untuk manajemen seni dan satu kelas untuk kuratorial. Kemudian menjelang pertengahan tahun kelas apresiasi seni akan berlangsung pameran di mana


29

para peserta bisa secara langsung mengorganisir kegiatan tersebut. Para pengajar akan dipilih dari mereka yang sudah berpengalaman di bidangnya, dan akan membuka kemungkinan model kerja lintas ilmu sehingga pelaku seni bisa belajar dari bidang-bidang yang lain. Setiap kelas belajar akan dibatasi untuk 15-20 peserta per sesi sehingga memungkinkan diskusi dan interaksi yang intensif dengan para pengajar. Diharapkan dengan inisiasi Biennale Jogja atas kelas-kelas ini ada ketertarikan yang lebih mendalam bagi masyarakat umum untuk terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan seni, dan untuk memperluas distribusi pengetahuan seni kepada khalayak. Dengan demikian seni bisa menjadi sebuah ruang belajar bersama yang mendorong interaksi yang dinamis, pemikiran yang kritis, serta dialog yang terbuka di antara berbagai kelompok masyarakat.


30

FORUM RIMPANG NUSANTARA DAN RESIDENSI KELANA

Pada awal tahun ini Biennale Jogja Equator #5 telah mengumumkan program residensi (Residensi Kelana) yang bekerja sama dengan Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat (Rimpang Nusantara). Residensi Kelana sendiri merupakan bentuk residensi yang tidak bermukim dan pada satu lokasi, tetapi seniman akan bergerak terus, menyisir wilayah di mana mereka ditempatkan. Para kurator Biennale Jogja Equator #5 telah memilih tiga seniman untuk terlibat dalam program Residensi Kelana; Ferial Afif, Nur 'Ipeh' Hanifah dan Suvi Wahyudianto. Rimpang Nusantara pun telah memilih untuk fase pertama ini sebanyak lima seniman, yaitu Rahmadiyah Tria Gayatri (Palu), Arif Setiawan (Pontianak), Syamsul Arifin (Madura), Cut Putri Ayasofya (Aceh), dan Tajriani (Sulawesi Barat). Pertemuan perdana diadakan selama satu minggu lamannya. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mempersiapkan para seniman, baik Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana sebelum masingmasing pergi melakukan perjalanan. Membayangkan sebuah bentuk perjalanan, diharapkan para seniman yang terlibat dapat memposisikan diri mereka sebagai “etnografer”. Etnografer dalam hal ini tidak diartikan secara harafiah, bahwa mereka “diharuskan” menjadi etnografer. Namun, memposisikan diri sebagai etnografer dirasa penting jika para seniman akan bekerja dengan komunitas atau masyarakat setempat. Harapannya, dalam bentuk karya yang dihasilkan, tidak hanya merepresentasikan komunitas dan masyarakatnya saja tapi juga bisa mempresentasikan dirinya sendiri (seniman) serta hubungannya dengan komunitas atau masyarakat di mana ia bekerja.


31

Praktik lain yang coba diangkat melalui pertemuan pertama ini selain etnografi adalah bagaimana para seniman yang akan melakukan perjalanan memahami ragam praktik berkesian; seperti seni berbasis riset dan riset artistik. Kedua praktik ini juga cukup menjadi pokok pikiran sebagai acuan jalannya pertemuan pertama ini. Perbedaan diantara riset artistik dan seni berbasis riset yang paling mendasar adalah pada tujuan penggunaannya. Riset artistik ditujukan untuk meneliti diri sendiri (seniman) untuk merefleksikan pengalaman artistiknya, mengevaluasi, dan kemudian dapat mengembangkan praktiknya. Pada seni berbasis riset, digunakan untuk menelaah dan mengamati fenomena sosial dalam kehidupan sebuah komunitas untuk mendukung proses berkaryanya - juga si seniman memposisikan dirinya sebagai pengamat. Melalui kerangka pemikiran yang dibangun untuk pertemuan pertama ini, dibuatlah serangkaian acara berbentuk diskusi dan sedikit praktik di lapangan selama kurang lebih lima hari. Hari pertama, dimulai dengan kegiatan lokakarya bersama Etnoreflika untuk mempelajari mengenai praktik visual etnografi. Selama proses perjalanan nanti, para seniman tentu akan mendokumentasikan, baik itu suara, gambar, maupun video sehingga lokakarya ini diadakan untuk mendukung proses tersebut. Hari itu pula, para seniman diminta untuk melakukan sedikit praktik di lapangan dengan melakukan wawancara di wilayah sekitar Cemeti.


32

Karena ini adalah pertemuan pertama seluruh seniman, di hari kedua, sebagai perkenalan, para seniman melakukan presentasi mengenai karya-karya mereka dan praktik kerja yang mereka lakukan selama ini. Hari ketiga, para seniman yang berasal dari luar Yogyakarta, mereka melakukan kunjungan ke beberapa studio seniman dan ruang seni untuk mendapatkan sedikit perkenalan mengenai praktik seni yang ada di Yogyakarta. Setelah itu, dilanjutkan dengan sesi presentasi oleh Yando Zakaria, yang membagikan pengalamannya bekerja dengan masyarakat adat, khususnya mengenai Undang-undang Masyarakat Adat. Sesi terakhir di hari ketiga ditutup oleh presentasi dari Nurlaela Lamasitudju dari Palu, yang menceritakan mengenai kerja dari SKP HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia). Nurlaela menggambarkan bagimana kerja SKP HAM, tidak hanya rekonsiliasi, tetapi kerja sama yang melibatkan pemerintah, dan membangun kesadaran individu dalam memposisikan diri saat bekerja bersama masyarakat atau komunitas tertentu. Kunjungan pun dilanjutkan pada hari keempat dengan tujuannya adalah Walhi Yogyakarta yang aktif mengadakan kegiatan untuk penyadaran dan penyelamatan lingkungan hidup. Hari keempat ini pun ditutup dengan melanjutkan mendengarkan dan berdiskusi melalui presentasi yang diberikan oleh Mella Jaarsma, Irfanuddin Ghozali, dan Verry Handayani, yang praktik berkeseniannya banyak menggunakan riset dan berbasis komunitas. Hari kelima, para seniman diajak untuk melihat isu terkini yang hangat mengenai wilayah Yogyakarta, yaitu isu pembangunan. Pembangunan masif yang terjadi di Yogyakarta dirasa penting untuk membangun kesadaran mengenai permasalahan yang terjadi di sekitar mereka. Maka dirancanglah kunjungan ke karst di Gunung Kidul, di mana pembangunan hotel dan resort marak terjadi. Tentunya pembangunan ini tidak ekologis karena merusak ekosistem karst yang juga merusak sumber air disana.


33

PENGUMUMAN PEMILIHAN SENIMAN MUDA BIENNALE JOGJA EQUATOR #5 Sepanjang 14 Maret-16 April 2019, Jogja Biennale Equator #5 membuka kesempatan “Panggilan Terbuka Seniman Muda”. Panggilan terbuka ini ditujukan bagi seniman muda domisili Yogyakarta dengan usia tidak lebih dari 35 tahun, baik individu maupun kelompok, untuk terlibat dalam Biennale Jogja Equator #5. Kami mengucapkan Penghargaan dan Terima Kasih yang besar kepada seluruh pelamar “Program Panggilan Terbuka Seniman Muda" Biennale Jogja Equator #5. Total lamaran yang kami terima hinggal 16 April 2019 ada sebanyak 45 proposal. Tidak mudah bagi tim kuratorial Biennale Jogja Equator #5 untuk melakukan proses seleksi. Akhirnya, berdasar kriteria yang sudah ditetapkan, kami berhasil memilih 16 seniman yang karyanya akan dipamerkan dalam ajang Pra-event Biennale Jogja Equator #5 pada 2-20 Agustus 2019 nanti.


34

Dari pameran tersebut, nantinya akan dipilih 5 seniman (3 seniman individu, 2 seniman kelompok) untuk berpartisipasi dalam gelaran Biennale Jogja #5 Indonesia bersama Asia Tenggara. Seniman terpilih akan mengembangkan karyanya bersama dengan tim kuratorial Biennale Jogja #5 serta akan mendapat subsidi karya dari Yayasan Biennale Yogyakarta. Selamat untuk 16 seniman terpilih berikut: 1. Riski Yanuar 2. Barasub (Kelompok) 3. Meliantha Muliawan 4. Rokateater (Kelompok) 5. Eldhy Hendrawan 6. Marten Bayuaji 7. Fika Ria Santika 8. Niose Brut (Kelompok) 9. Pendulum (Kelompok) 10. TacTic Plastic (Kelompok) 11. Yozep Arizal 12. Wisnu Ajitama 13. Agnes Christina 14. Kukuh Hermadi 15. Siam Chandra Artista 16. Studio Malya (Kelompok)


35

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.