SATU DEKADE KHATULISTIWA

Page 1

ISSN: 9772442302264

THE EQUATOR Vol. 9/No. 2 April - Juni 2021 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

SATU DEKADE KHATULISTIWA


Pembaca yang baik, Kita berjumpa lagi dalam Newsletter “The Equator” edisi Juni 2021. Penyelenggaraan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 ini menjadi istimewa karena menandai satu putaran bola dunia yang menjadi misi dari seri khatulistiwa Yayasan Biennale Yogyakarta. Artinya, semenjak 2011, sepuluh tahun yang lalu, dimulai dari India, Biennale Jogja Equator telah bersinggah di lima titik dan diakhiri dengan kawasan Oseania. Untuk merefleksikan pengalaman tersebut, kami mencoba untuk melihat kembali perjalanan selama satu dekade, dengan meminta para pelaku dan inisiator gagasan Khatulistiwa untuk membagi pemikiran dan pandangan mereka tentang eksperimen geopolitik seni ini. Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, mencatat pelajaran-pelajaran penting dari pengalaman mengorganisir BJE, terutama bagaimana ideologi dan pemosisian berhubungan dengan sisi tata kelola. Dua anggota Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta, Eko Prawoto dan Nindityo Adipurnomo, membagi refleksi yang berbasis pada bagaimana ide awal khatulistiwa diformulasikan dan bagaimana gagasan tersebut dioperasikan dan dijalankan hingga satu dekade. Bagaimana Biennale Jogja Equator berkontribusi pada dinamika kota Yogyakarta sebagai hub bagi keragaman kebudayaan? Berkaitan dengan pelaksanaan BJ XVI Equator #6 2021, setiap bulan kami mengadakan forum publik untuk berbagi proses kuratorial dan program, yang hasilnya kami rangkum pula dalam newsletter ini. Edisi kali ini, Gladhys Elliona menuliskan catatannya tentang pelaksanaan Forum Publik Biennale #2 yang telah diselenggarakan April 2021 lalu dengan menghadirkan narasumber kolaborator Biennale Pierre Ajawaila (Ambon) dan Enrico Y Kondologit (Jayapura). Selamat Membaca!

Salam hangat, Tim Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org April-Juni 2021, 875 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Alia Swastika Fotografi: Dokumentasi penulis, YBY Foto sampul: Sakatoya Desainer: Titis Sekar


4 11 16 22 27 28 29

Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur

Khatulistiwa Sebagai Metode, Dekolonisasi Sebagai Aksi Oleh: Alia Swastika Eko Prawoto: Yogyakarta dan Imajinasi Budaya Warga yang Berdaya Nindityo Adipurnomo: Merefleksikan Khatulistiwa Setelah Satu Dekade Mengenal Oseania Melalui Negeri Kita

Profil Sakatoya Pengarah Artistik Pameran Arsip

Di balik Layar Bj XVI 2021 Profil Para Pengelola Kabar Selanjutnya

Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, PKKH UGM Galeri Lorong, Ace House

ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

KHATULISTIWA SEBAGAI METODE, DEKOLONISASI SEBAGAI AKSI Oleh: Alia Swastika (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, 2018-Sekarang)

Fasad Ruang Pamer BJ XIII Equator #3 2015: Hacking Conflict

Salah satu kesadaran penting yang muncul dari wacana khatulistiwa sebagai sebuah alternatif terhadap geopolitik kebudayaan secara luas adalah membangun spirit dekolonial dan solidaritas selatan global sebagai pijakan. Satu dekade adalah waktu yang terasa cukup pendek untuk bertarung dan berkelindan dengan gagasan yang utopis tentang internasionalisme baru, tetap cukup panjang untuk kita merekam dan mencatat demi membangun strategi baru. Bagi kami, eksperimentasi atas upaya membangun sebuah biennale (biennale making) merupakan jalan panjang yang tak ada ujung, dan sepuluh tahun seperti awalan saja untuk membangun fondasi bagi kerja bersama di masa depan.


5

Dekolonisasi sendiri adalah sebuah proses yang panjang dan tak bisa dikerjakan sendiri. Momen ketika kami mempersiapkan presentasi sepuluh tahun bersama khatulistiwa tiba-tiba menjadi relevan dengan munculnya gerakangerakan politik seperti Black Lives Matter di awal munculnya pandemic covid-19 2020 lalu, yang kemudian menjadi spirit yang meluas ke berbagai bidang, termasuk tuntutan terhadap perubahan radikal dalam struktur institusi seni di ranah global. Gerakan seperti Black Lives Matter juga membuka peluang munculnya diskusidiskusi serupa di sekitar tema gerakan solidaritas pada aspek-aspek politik kebudayaan yang lebih luas, termasuk di antaranya seni kontemporer. Wacana untuk mengkritisi, mempertanyakan dan “menggerogoti” dominasi kelompok kulit putih di Barat sesungguhnya telah dimulai dari beberapa dekade ini, yang kemudian dibungkus dengan terma-terma yang lebih berorientasi pada upaya merangkul “liyan”, seperti keberagaman, multikulturalisme, seni global, atau yang belakangan semakin acap digunakan: solidaritas global selatan. Gerakan BLM memberi momentum untuk menyatukan upaya-upaya sporadis ini menjadi sebuah kesadaran bersama yang lebih meluas. Bagi kami, dalam rangkaian panjang menelusuri khatulistiwa, pertanyaanpertanyaan mendasar tentang ekosistem dan struktur yang selama ini dipercaya tentang seni kontemporer selalu kami coba untuk dipertanyakan ulang, dan jawabannya barangkali bukanlah sesuatu yang dengan cepat bisa kami gapai dari udara. Ada banyak pengalaman baru yang mesti dimaknai, secara personal dan secara kolektif, sebelum akhirnya menjadi bentuk artikulasi bersama. Upaya produksi pengetahuan, karenanya, dimulai dari

proses membongkar pengetahuanpengetahuan yang kadung mapan dan disebarkan dalam teks-teks pendidikan formal, dan kemudian, amat pelahan, kami menulis ulang pengalaman untuk diartikulasikan sebagai pengetahuan baru, membangun epistimologi yang menggabungkan yang tertulis dan yang mesti digali kembali. Pembongkaran ini sendiri memunculkan momen ketegangan yang berharga: dialog dengan diri sendiri, mempertanyakan kepercayaankepercayaan yang awalnya terasa niscaya, atau seperti melucuti diri dari sistem dan meta narasi. Solidaritas Global Selatan, yang pada masa modern kemunculan negara bangsa pasca kolonial, salah satunya dimulai dari inisiasi Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955, yang menginspirasi beragam gerakan solidaritas lain di kalangan para aktivis, seniman, intelektual, pejuang hak perempuan, dan sebagainya. Perubahan besar situasi geopolitik dunia pasca Perang Dingin membuat wacana antiimperialisme dan neo-kolonialisme yang menjadi spirit utama Konferensi Asia, yang membayangkan sebuah tata dunia baru, membuat relasi antar gerakan ini terhambat dan spiritnya sempat pudar, tergerus pertentangan antara liberalisme/kapitalisme dan sosialisme/komunisme yang menjadi wacana propaganda utama dunia sepanjang akhir 1950an hingga pertengahan 1970an. Neo imperialisme dan neo-kolonialisme sendiri mewujud dalam berbagai aspek praktik kehidupan, tak hanya politik dan kekuasaan, tetapi juga ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Kesenian dalam konteks dunia yang demikian berubah menjadi sebuah disiplin


6

Karya Riyaz komu & Wimo Ambala Bayang BJ XI Equator #1 2011

pengetahuan modern, yang sering terasa terpisah dari realitas lingkungan sekitarnya. Gagasan estetika dalam institusi pendidikan modern itu dibentuk dalam kerangka sistem kehidupan “Barat” dan pelahan-lahan dipahami sebagai landasan berpikir dalam dunia seni di belahan selatan, yang kiranya memiliki sejarah dan lanskap budaya yang berbeda. Kesadaran untuk mempertanyakan praktik kolonialisme baru, yang terbentang dari Franz Fanon hingga pemikir masa kini seperti Walter Mignolo, melahirkan kajian-kajian kritis yang kemudian disebut sebagai orientalisme/oksidentalisme, pasca-kolonial(isme) (dan bertransformasi menjadi dekolonisasi), yang memberikan banyak sekali pengaruh pada pemikiran sejarah seni Abad 21. Salah satu refleksi yang menarik misalnya diberikan oleh Clementine Delis, yang menyatakan: “Modernitas, proyek peradaban barat, telah memantapkan dirinya sebagai dominasi atas pengucapan dan bidang representasi. Melalui epistemologi dan estetika, ekonomi politik dan kelembagaannya, ia telah memonopoli ranah pengalaman dan representasi. Tapi kita tahu betul bahwa monopoli atas realitas sejarah dunia juga diperparah dengan pengucilan dan penaklukan terhadap dunia makna yang lain. Kolonialitas berarti kemelaratan, penghapusan dan pembungkaman dunia lain. Di sisi lain dari monopoli modernitas atas kenyataan adalah berarti penghapusan kolonialitas. Estetika dekolonial menantang perpecahan modern / kolonial, merebut monopoli estetika modern, penghapusan


7

Penonton merespon karya Ika Vantiani BJ XV Equator #5 2019

kolonialitas dan dominasi kontemporer. Ini menyerukan 'akhir dari kontemporer”.1 Dalam teks yang disampaikan Deliss, secara provokatif, ia menyebutkan bahwa “akhir dari kontemporer” sebagai masa depan estetika dekolonial. Seni kontemporer yang sekarang telah menjadi tumpuan dari persilangan tidak hanya praktik kolonialisme gaya baru, melainkan juga hilangnya identitas-identitas seni lokal dari berbagai ruang yang terdesak. Khatulistiwa sendiri selama ini tidak dilihat sebagai sebuah kekuatan geopolitis—dalam pengertian memiliki momentum politik global seperti Asia Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, atau belakangan, Menasa (Middle east, North Africa and South Asia), namun lebih berposisi sebagai imajinasi bersama yang merujuk pada kondisi lanskap, pemisahan berbasis iklim, dan seringkali bersilangan pula dengan gagasan tentang kebudayaan dan sejarah yang sama. Kerja-kerja Biennale Jogja seri khatulistiwa merupakan upaya untuk mengumpulkan kembali narasi-narasi yang terpinggirkan karena kolonialisme, dan tergantikan oleh penyeragaman cara berpikir imperialis kulit putih. Dalam konteks dekolonisasi pengetahuan inilah, sebagaimana yang disebut oleh Linda Tuhiwal Smith, dekonstruksi adalah proses penting yang harus dilalui. Menurut Smith, membongkar cerita, mengungkap teks-teks yang melandasinya, dan menyuarakan halhal yang kerapkali diketahui lewat intuisi, tapi tidak dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi kekinian mereka. Lebih


8

lanjut, Smith melihat bahwa dalam kelompok terpinggir, melawan berarti menepi untuk bisa mendapatkan kembali jati diri serta menciptakan diri kembali. Masa lalu, cerita lokal dan global, komunitas, budaya, bahasa, praktekpraktek sosial dan masa kini merupakan ruang yang terpinggirkan, tetapi juga tempat harapan dan perlawanan. Dekolonisasi sebagai Aksi Jika mengulik kembali makna dekolonisasi, maka kita akan melihat bahwa salah satu nilai penting yang perlu digarisbawahi dari gerakan ini adalah aspek politisnya yang kuat, sehingga teori dan perspektif mesti ditempatkan sebagai bagian dari tindakan nyata untuk mengubah situasi. Aspek inilah yang pelan-pelan juga menjadi pijakan untuk setiap langkah dalam penyelenggaraan BJE sehingga kami mempunyai kontribusi (meskipun kecil) untuk memberi alternatif ideologi pada gagasan dan praktik seni global, terutama yang berkait dengan fenomena bienalisasi selama dua dekade terakhir, yang terlalu berkiblat pada biennale-biennale di negara Eropa/Amerika. Selain menggunakan spirit KAA sebagai inspirasi utama, BJE juga mengolah konsepnya dengan menyandarkan diri pada gerakan-gerakan seni pada periode sebelumnya seperti Sao Paulo Biennale di Brazil (yang dimulai awal 1950an) atau spirit Havana Biennale di Kuba pada akhir 1980an dan awal 1990an, yang telah merintis upaya-upaya dekolonisasi dalam sistem seni. Pembacaan ulang terhadap proyek-proyek rintisan ini menjadi penting untuk memperkuat gagasan antiimperialisme budaya dan melihat perlawanan apa yang muncul dari sana.

Pertama, kami melawan dengan bahasa Sebagaimana kita sadari, bahasa adalah sebuah ruang yang tidak bebas nilai. Pilihan kata, pilihan istilah, sesungguhnya merupakan gambaran dari posisi “politik” kita, sehingga selama penyelenggaraan BJE, selalu ada upaya untuk mengkritisi, membongkar dan merumuskan ulang istilah-istilah yang muncul untuk membagi wilayah-wilayah geopolitis dunia. Alasan mengapa BJE #1 bekerja sama dengan India, misalnya, juga dipengaruhi oleh upaya memeriksa kembali perihal frasa “ke Barat”. Pada awal lahirnya spirit kosmopolitanisme, gagasan Barat diarahkan pada para pedagang Arab dan India. Konteks pasca Perang dan kolonialisme lah yang kemudian membuat pengertian tentang Barat berubah, dan cenderung dimaknai untuk menyebut Eropa dan Amerika. Kemudian, istilah “Timur Tengah” misalnya, dibongkar untuk melihat pemisahan kartografis secara lebih kritis. Istilah ini sendiri sudah secara mapan digunakan di berbagai konteks akademi, misalnya penggunaan Peminatan Timur Tengah di jurusan Hubungan internasional di berbagai universitas di Indonesia. Jika melihat peta, kawasan Arab sendiri sesungguhnya tidak berada di arah “timur tengah” dari Indonesia; istilah Timur tengah diciptakan sebagai hasil dari cara pandang orang Amerika terhadap kawasan ini (yang secara geografis memang berada ke arah timur dari Amerika Serikat). Selama proses bekerja dalam BJE, kami berupaya meminimalisir penggunaan istilah Timur Tengah; dan menggantinya dengan kawasan Arab. Kedua, seni yang melampaui kubus putih, mendefinisikan ulang ruang; Biennale Jogja mulai menggunakan Jogja National Museum sebagai situs


9

Yustina Neni (Direktur YBY 2010-2016), Arham Rahman, Rain Rosidi di Nigeria 2014, dalam rangka persiapan BJ XIII Equator #3 2015

penyelenggaraan semenjak 2009, dan menunjukkan pendekatan ruang yang berupaya untuk mempertahankan karakter asli bangunan yang berdiri pada pertengahan 1950an. Beberapa kali para kurator dan artistik direktur mengintervensi ruang lebih jauh dan mengimajinasikan bentukan ruang baru yang keluar dari stereotipe mapan tentang ruang kubus putih museum atau tipe ruang industrial, sehingga menghasilkan kesan eksperimental, misalnya yang dilakukan oleh Wok the Rock sebagai kurator BJE Equator #3: Indonesia bertemu Nigeria (2015). Wok memanfaatkan area terbuka di pendapa Ajiyasa dan lapangan basket (pada saat itu) untuk membangun satu ruang yang menggarisbawahi perihal kuasa dan kontestasi. Seniman Nigeria, pada tahun yang sama, Olanrewaju Tejuoso membangun sebuah museum untuk merayakan persahabatan Asia Afrika di sebuah gudang yang telah lama diabaikan, membangunnya dengan cinta sehingga kita bisa melihat nyawa di sana. Ketiga, politik pendanaan dan institusionaliasi. Melalui BJE dan pendirian Yayasan Biennale Yogyakarta, ada upaya untuk membuat gerakan dan Inisiatif kesenian menjadi lebih formal dalam sebuah lembaga. Meskipun gagasan institusionalisasi seni seringkali diikuti oleh perubahan relasi kuasa dalam sebuah ekosistem, kami belajar untuk menghilangkan moda kerja yang terlampau hirarkis (meskipun ada pembagian kerja dan posisi pengambilan keputusan


10

yang tetap). Upaya institusionalisasi lebih dilihat sebagai langkah-langkah perihal visi dan keberlanjutan, ketimbang tentang penegakan kuasa dan penyusunan kanonkanon baru. Selama bekerja dengan Biennale Jogja seri Equator, kami menantang diri kami untuk keluar dari upaya-upaya standar berkait proses pendanaan terutama untuk donor internasional. Pada kenyataannya, sebagian besar pameran dan peristiwa seni internasional di Indonesia didukung oleh lembaga kebudayaan asing seperti Goethe Institut, British Council, Indonesian French Institute, dan lain sebagainya. Sebagian besar seniman yang menjadi bagian dari BJE tidak dapat dijangkau oleh funding-funding tersebut, sehingga kami harus berpikir strategi baru untuk merengkuh pendonor. Sebagian dari negara mitra yang menjadi ruang kerja kami juga tidak ditopang moda ekonomi seni yang berbasis pada industri, sehingga tidak mudah juga mendapatkan dukungan dari galeri atau kolektor. Akan tetapi, selama lima edisi penyelenggaraan, banyak sekali pihak-pihak yang membantu kami dengan berbagai cara, dan sebagian besar juga tidak memaksakan agenda, sehingga kami bisa bertahan dalam rentang masa dengan penuh bangga. Gagasan kedaulatan di atas kaki sendiri, yang menjadi jargon dalam perjuangan anti-imperialisme, seperti menjadi bagian dari spirit kami setiap kali kerja-kerja finansial ini terselesaikan. Refleksi-refleksi seperti tersebut di atas masih perlu dijabarkan lebih jauh melalui berbagai arsip yang menjadi saksi bagi pembelajaran dan proses kerja BJE. Tentu saja, refleksi semacam ini tidak dapat dilihat sebagai “hasil” dari upaya-upaya dekolonisasi yang diangankan oleh

Yayasan Biennale Yogyakarta melalui proyek Biennale Jogja Equator. Sebaliknya, refleksi ini adalah cara membaca praktik, di mana dekolonisasi adalah sebuah proses yang berlangsung secara terus menerus, dan beragam bentuk produksi pengetahuan yang muncul menyertainya adalah refleksi dari aksi-aksi kecil ini. Bagi saya, proses mendekolonisasi dunia seni menjadi pengalaman personal, karena setiap orang memiliki kesadaran dan cara pandang dunia yang berbeda. Akan tetapi, ketika pengalaman ini terbagi dalam sebuah platform bersama, ia berkembang dan membentuk kesadaran kolektif, dan karenanya, proyek semacam BJE menjadi ruang untuk membangun kesadaran politis kolektif tersebut. Saya sendiri, selama lebih dari satu dekade ini, mendorong diri saya untuk membongkar dan merumuskan ulang berbagai konsep seni dan beragam piranti institusi dan agensi modern yang kadung saya percaya selama masa belajar saya di sekolah formal. Biennale Jogja Equator menjadi sebuah sekolah baru yang tidak memberi saya gelar, tetapi memberi saya pengalaman untuk membalik kepercayaan yang niscaya atas dunia, dan semakin mendalami, saya makin percaya pada kekuatan nusantara di masa depan. Referensi: 1

Deliss, Clementine, dalam artikel "Decolonial Documents: Part Four" dimuat di majalah Frieze, diakses melalui https://www.frieze.com/article/decolonial-documentspart-four Smith, Linda Tuhiwal, Dekolonisasi Metodologi, Insist Press, Yogyakarta: 2008


11

Eko Prawoto*

YOGYAKARTA DAN IMAJINASI BUDAYA WARGA YANG BERDAYA

Pewawancara: Biennale Jogja selama 10 tahun ini telah berkontribusi terhadap gagasan dan tawaran relasi kuasa dalam konteks internasionalisme seni, terutama dengan keputusan untuk bekerja dengan kawasan khatulistiwa sebagai tema dan visi jangka panjang. Tentu ide untuk bekerja dengan wilayah geopolitik tertentu ini merupakan hasil diskusi panjang yang cermat atas berbagai fenomena seni kontemporer, termasuk berbasis pada ketimpangan terpaan pada negara-negara Barat dan Timur, Utara- Selatan. Bagaimana gagasan khatulistiwa pada awalnya diformulasikan? Apakah sejak awal ada kesadaran pasca kolonial yang membawa para pendiri Yayasan Biennale Yogyakarta untuk membangun konsep biennale yang berbeda dengan yang lain? Kalau kita ingin melacak lagi sejarahnya, sebenarnya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini berangkat dari meneruskan yang sudah ada. Beberapa kali sudah berlangsung Biennale Jogja lalu ini perlu dikemas seperti apa untuk supaya bisa jadi peristiwa seni


12

internasional, karena pada saat itu seperti ada keinginan agar Jogja juga memainkan peran untuk menjadi bagian dari dinamika seni global. Nah tentu dipikirkan berdasarkan potensi dan keunikan yang dimiliki. Waktu itu ada kesadaran untuk tidak mengambil format seperti negara-negara maju. Jadi (tidak jelas) biennale yang sudah lebih mapan seperti itu. Tapi sebetulnya tidak sekadar membuat BJ menjadi internasional tapi juga ada manfaat yang dipikirkan untuk kegiatan berkesenian dan juga dampak pada seniman-seniman di Jogja atau di Indonesia begitu. Waktu itu terlintas untuk mengaitkan dengan pembangunan infrastruktur dalam kesenian di Jogja khususnya dan juga membuat “branding” kotanya, dalam konteks ini Jogja sebagai kota budaya. Sebagai kota kebudayaan itu perlu ada sesuatu yang bisa mengingatkan dan memposisikan kotanya dalam setting yang lebih luas. Nah sesudah itu, bersama-sama kami semua mencari keunikan kotanya dan bagaimana ketika BJ akan diwujudkan sebagai event yang internasional? Bukan sekedar kemudian ada peserta-peserta yang datang dari luar tapi gagasan dasarnya itu yang menjadi lebih penting. Nah keunikan kita adalah pada posisi geografis kita sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa dan waktu itu dicoba bagaimana kita bisa menggandeng negara-negara yang di seputar khatulistiwa? Jadi khatulistiwa dianggap tema kerja begitu dan dilihat posisi geografisnya begitu. Tapi terlalu kecil kalau seputar tropical belt lalu diperluas menjadi wilayah di tropic cancer dan tropic capricorn. Nah ini sebuah belt yang lebih lebar lagi, 23° LU dan LS, lalu itu ada banyak negara. Tapi kemudian kita menyadari bahwa negara-negara itu memiliki kesamaan dan perbedaan. Pada waktu itu terlintas semangat bukan melawan tapi memberikan alternatif pada istilah dialog antara utara dan selatan. Akan tetapi, kita tidak mengikuti goepolitik utara-selatan justru memilih bekerja pada wilayah yang lebih horizontal. Ya gagasannya seperti itu awalnya. Pewawancara : Apakah ketika kita membatasi untuk bekerja dengan equatorial belt itu sebenarnya kita juga menyaran pada bentuk-bentuk seni tertentu? Bentuk kebudayaan tertentu juga yang itu berbeda misalnya dengan utara kalau kita bicara utara-selatan? Dalam kata lain, apakah pilihan geopolitis ini juga kemudian menjadi pilihan visi estetika? Narasumber : Ya benar karena situasi geografis pasti akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan. Ya ada banyak lapisan kalau kita lihat. Apakah kesamaan geografisnya, kesamaan iklim juga, juga


13

kesamaan ini pernah dijajah dan seterusnya jadi pernah jadi negara-negara kolonial, sejarah sosialnya juga, dan sangat beragam. Ada yang dikategorikan sebagai maju atau sedang berkembang, juga ada negara-negara pulau, benua, ada yang kepulauan atau yang lebih maritim. Nah kekayaan ini yang dilihat mungkin sangat potensial untuk jadi tema kerja nantinya. Saya juga baru menyadari ternyata kesenjangannya sangat lebar di antara negara khatulistiwa sendiri. Dan sejarah relasi kekuasaannya pun sangat kompleks. Ternyata ketika berbicara kesenian, kita bukan berfokus pada produk dan objek, tapi sebuah upaya untuk menggunakan kesenian sebagai alat analisis dan kemudian bermain dalam wacana. Jadi bagaimana kesenian diterapkan secara lebih utuh, kesenian sebagai alat untuk melihat kehidupan dalam dimensi yang lebih luas. Jadi bukan kesenian yang diisolasi dan dipajang pada dirinya sendiri tapi bagaimana kesenian ini dipakai untuk membentuk perspektif dan sikap kritis untuk melihat kehidupan di dalamnya. Dan ini ini temuan yang yang sangat penting menurut saya. Sehingga karya-karya yang terakumulasi dalam Biennale Jogja seri Khatulistiwa ini bisa jadi bahan kajian yang hampir tidak habisnya. Pewawancara: Bagaimana menurut Anda kita bisa membawa persoalan yang kita bicarakan ini agar bisa menjadi bagian dari pengalaman yang kita tawarkan kepada publik? Termasuk misalnya jika kita bicara pengampu kebijakan lebih luas, bagaimana kita bisa menunjukkan nilai penting dari Biennale Jogja Khatulistiwa? Bagaimana membangun dialog dengan banyak pihak sehingga tawaran BJE bisa menjadi urgensi bersama atau bahkan bisa menjadi bagian dari strategi kebudayaan? Narasumber: Jangka waktunya panjang sekali. Ini sebuah investasi kultural menurut saya. Juga menjadi ruang di mana mekanismemekanisme kerja yang konvensional juga dipertanyakan. Ada juga keinginan untuk memperluas pendekatan menjadi pendekatan yang inter atau transdisipliner. Kita juga mempertanyakan peran kampus; kampusnya tidak hanya kampus ISI misalnya, tapi juga kampus yang lain. Pewawancara: Kita bekerja dengan konteks politik yang berbeda, meskipun mempunyai banyak kesamaan berkaitan dengan pengalaman kolonialisme. Lalu juga pasca Perang Dunia, menjadi negara demokrasi, lalu terjadi Perang Dingin. Nah beberapa kali kemudian kita bekerja dengan negara seperti Nigeria atau Brazil yang


14

pengalaman demokrasinya menjadi chaos seperti kita. Setiap kali penyelenggaraan Biennale, kita seperti punya ruang untuk bercermin, melihat kenyataan kita melalui fenomena liyan. Nah, menurut Anda, apakah kesenian itu bisa mempunyai peran untuk memberi alternatif lain dari jalan-jalan politik arus utama? Narasumber : Dunia seni sendiri itu menurut saya ini bisa jadi metode kerja atau alat yang sangat kuat. Disiplin ilmu lain hampir tidak memiliki kapasitas sebagaimana seni. Kalau kita bicara tentang situasi dunia yang sangat terfragmentasi dan kesenjangan sosial yang sangat kasat mata, maka ilmu-ilmu yang kita pakai justru punya potensi untuk memperparah keadaan atau memecah belah, misalnya. Hanya dua disiplin yang menurut saya yang punya potensi untuk merangkul, untuk mengikat, satunya adalah kesenian. Jadi kesenian itu punya kapasitas untuk berbicara secara lebih inklusif. Yang satunya lagi environment. Tapi disiplin ilmu lain cenderung kemudian membuat jarak atau memilah, seperti itu. Nah kita bisa menggunakan kesenian ini karena kesenian ini multi interpretasi dan multi layer dan sehingga sangat cair sekali, sangat powerful, dan bisa sangat halus atau bisa kemudian sangat kasar, fisiknya kelihatan, bisa sangat kecil, bisa sangat besar, dan sebetulnya orang bisa mengakpresiasinya mulai dari yang paling fisik sampai kemudian yang paling intelektual. Nah potensi itu ada. Tapi lewat kesenian dan lingkungan, kerja membangun kesadaran menjadi platform yang sangat inklusif, menurut saya. Pewawancara: Bagaimana kita berbicara politik kebudayaan kota dalam konteks ini? Anda sendiri sebagai seniman sering terlibat di pameran, atau proyek-proyek kebudayaan seperti Gwangju Biennale. Gwangju sebenarnya itu bukan kota-kota yang dilihat sebagai pusat kebudayaan awalnya. Gwangju juga kalah dengan Seoul atau (nama kota) dengan Amsterdam, tetapi ketika mereka mempunyai peristiwa yang penting seperti biennale atau festival di (nama kota), infrastruktur kebudayaannya pelahan mulai terbangun. Tidak hanya membicarakan dalam konteks branding, tetapi membuat seni dan budaya bisa menerjemahkan ingatan bersama atau tindakan kolektif yang tidak dimungkinkan oleh sektor-sektor yang lain. Nah bagaimana Anda melihat Biennale Jogja dan juga punya potensi tidak hanya menciptakan infrastruktur tapi yang terpenting menurut saya juga ekologinya. Narasumber : Kita lebih sering bicara tentang physical planning, tata kota, tentang arsitektur, atau pengembangan kota, dan juga lagi-lagi itu fisik. Tapi


15

sangat jarang bicara tentang social planning. Lah siapa yang melakukan social planning itu? Institusi siapa yang membuat misalnya kota itu terintegrasi secara fisik, fungsional, dan aman dan nyaman dan bersih dan seterusnya itu secara fisik diatur. Tapi bagaimana secara sosial itu supaya penduduk kota itu bisa teranyam dengan harmonis? Di Yogyakarta, hal seperti itu belum ada yang merencanakan. Nah saya kira kesenian punya kapasitas itu. Karena bisa menyapa, bisa membuat platform bersama secara sosial karena bisa berkomunikasi ke banyak orang. Di negara yang sudah maju kesenian dipakai untuk tujuan semacam itu. Membuka kemungkinan bagi penduduk kota yang tergumpal-gumpal itu untuk bisa dijembatani dan bisa bertemu. Negara maju sangat sadar dengan peran itu. Pemerintahnya kaya dan mereka taruh uang banyak sekali supaya orang mau ketemu, bersinggungan. Karena dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah ketemu, seperti itu. Nah untuk Jogja untungnya kita masih punya tradisi yang kuat dan masih punya aktivitas-aktivitas sosial yang lain yang memungkinkan itu terjadi seperti itu, ikatan-ikatan komunikasi sosialnya. Kesenian ini akan sudah sangat diterima dan sudah sangat dikenal oleh masyarakatnya, oleh kotanya, dan ini bisa disebut keunikan juga. Makanya Jogja disebut kota budaya seperti itu. Yang saya kira ada potensi keterbukaan dan masyarakatnya yang sangat kompatibel dalam hal itu. Pewawancara : Dan semua pada awalnya justru digerakkan oleh komunitasnya, bukan top-down ya pak, bukan pemerintah punya program lalu dijalankan masyarakat. Sebagian besar kegiatan ini muncul dalam komunitas kreatif, inisiatif sendiri. Narasumber : Yogyakarta itu kota yang unik secara sosial sehingga menginspirasi seniman-seniman yang tumbuh di Jogja untuk membangun jaringan sosialnya sendiri atau memiliki tanggung jawab sosialnya sendiri atau peran sosialnya sendiri. Ini agak berbeda dengan apa yang kita lihat di tempat atau kota yang lain. Dan keterbukaan masyarakatnya memang mengagumkan. Masyarakatnya tidak kaget ketika berhadapan dengan seni yang muncul dalam berbagai bentuknya, apapun. Dan ketika beberapa kali karya-karya itu didisplay di ruang publik, hampir tidak ada vandalisme. Ini yang saya kagum dengan Jogja. *Eko Prawoto (Arsitek, Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta)


16

Nindityo Adipurnomo*

MEREFLEKSIKAN KHATULISTIWA SETELAH SATU DEKADE

Bagaimana Anda memetakan situasi seni global sekarang ini, terutama melihat beberapa inisiatif untuk mendobrak dominasi sejarah seni Barat (misalnya yang dipicu oleh Black Lives Movement), dan di manakah gerakan skala menengah seperti Biennale Jogja Ekuator memberikan kontribusi? Merespon pertanyaan di atas, bagaimana saya melihat dan menyikapi inisiatif-inisiatif kebudayaan yang mendobrak dominasi sejarah kesenian Barat (seperti yang dicontohkan misalnya dengan kemunculan-kemunculan gerakan yang dipicu oleh Black Lives Movement); mendobrak dominasi sejarah kesenian “barat”, dengan cara menukik mempersoalkan jantung kesenian (yakni estetika sebagai filsafat kesenian) “barat”; saya jadi teringat tulisan David Lyod “Di bawah Representasi - Rezim Ras dari Estetika” yang baru-baru lalu disebarkan di Academia. Saya belum mampu menempatkan respon pemikiran terhadap 'pendobrakanpendobrakan teoritis', belum bisa saya tangkap atau saya maknai apa-apa kecuali bahwa mungkin, ini menjadi suatu fenomena antitesa baru untuk mempersoalkan estetika. Dalam hemat pencermatan saya, upaya-upaya pemetaan seni secara global senantiasa mengandung bias perspektif konsep


17

'industri budaya' – di mana kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah kesenian, diciptakan dan diproduksi bukan saja karena kebutuhan semu saja, akan tetapi oleh karena nilai-nilai ekonomi yang direguk dari sifat-sifat komoditasnya. Hanya pada konteks manajemen produksi komoditas inilah, biasanya suatu upaya pemetaan produksi seni bisa dilakukan; baik pemetaan secara lokal maupun global. Pemetaan adalah upaya-upaya untuk sebisa mungkin menyorot dengan mencatat rekam jejak produksi karya seni, peristiwa-peristiwa kesenian, yang dipancarkan promosinya melalui berbagai macam forum/lembaga kesenian. Angkaangka statistik jumlah seniman dan artisan yang sangat kuantitatif sifat kegunaannya. Sekali lagi pemetaan produksi seperti ini bisa dilakukan atas nama kepentingan representasi tingkat lokal/nasional suatu negara, representasi tingkat wilayah maupun kawasan. Di luar arena pemetaan kuantitatif ini, masih mampukah kita membayangkan pemetaan jenis lain? Mungkin semacam 'pemetaan kualitatif', dimana fenomenafenomena kesenian yang terjadi sangat acak dan tidak teratur cara produksinya, jauh dari kehendak dan manfaat komoditasnya; tidak terduga dan tidak teroganisir kemunculannya, sehingga hanya kelompok elit tertentu saja yang mampu menandai cara ungkapnya. Yayasan Biennale Yogyakarta, dalam hal ini adalah agen produksi kebudayaan setara dengan industri budaya yang meniru rol model negara sebagai spirit korporasi besarnya. Negara dibayangkan sebagai pemegang monopoli kapitalisme industri budaya. Yayasan Biennale Yogyakarta, lengkap dengan struktur relasi

produksinya, memproduksi turunan gagasannya menjadi produk-produk Biennale Ekuator Jogja, Simposium Ekuator, Pendidikan Kuratorial, kepenulisan dan semua turunan produksi sampai ke tingkat paling bawah; akses bagi para pemagang dan relawan yang ingin belajar dengan bekerja dalam “produksi” kesenian. Semuanya secara terorganisir, berbasis pada data-data penelitian dan ilmu manajemen khusus, mengangankan target-target publik yang telah dipetakan secara rigid sebagai pangsa pengakses seni atau pasar dari semua produksi program yang tercipta. Posisi negara yang diwakili kehadirannya oleh lembaga seperti Dinas Kebudayaan dan Bekraf (sekarang menjadi Kemenparekraf) dengan semangat korporasi, predikat pemegang ISA (Ideology State Aparatus); yang menopang dan mengatur sebagian besar perencanaan anggaran untuk dikelola bersama Yayasan Biennale Yogyakarta. Namun mari kita tengok apa yang terjadi, dalam hemat pengamatan saya, yang justru berlangsung adalah semacam 'pseudo relasi kuasa' dalam pengertian yang khas, aneh dan lucu. Hal ini tercermin oleh jumlah dukungan anggaran yang tidak pernah jelas setiap tahunnya. Asas pertukaran ekonomi memang bukan merupakan dominasi spirit penyelenggaraan Biennale Jogja dari dulu. Negara yang mewakilkan representasi Ideologi Aparatus-nya pada Ditjen Kebudayaan, Dinas Kebudayaan, Bekraf dan Bappeda; nampaknya tetap konsisten mengesampingkan gagasan-gagasan alternatif dan radikal, acapkali menutup mata saja. Menunjukkan keragu-raguannya dalam mengapresiasi upaya baru pembongkaran identitas lokal yang


18

dipaksakan, penulisan kembali sejarah lokal, pendek kata adalah absensi negara atas investasi kesadaran politik masyarakat! Menurut perkiraan amatan saya, semua itu terjadi karena negara tidak/kurang patuh menjalankan konsep modern industri budaya. Implementasi politik anggaran kebudayaan masih digelayuti virus korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam kesempatan ini, dan dalam situasi janggal yang saya coba diskripsikan sebagai “pseudo relasi kuasa” dengan “pseudo industri budaya” pemerintah propinsi DIY yang notabene berlimpah Dana Istimewa (danais) sedemikian rupa, secara pribadi saya justru ingin menggaris bawahi peluang-peluang dan kesempatan yang terasa lucu namun semua itu selalu harus diperebutkan, diambil alih oleh Yayasan Biennale Yogyakarta. Sekali lagi harus direbut dan diambil alih! Beberapa contoh peluang yang telah diambil alih dan dipermainkan secara optimal oleh Yayasan Biennale Yogyakarta adalah: keleluasaannya dalam menentukan wilayah regional kerjasama bilateral di sepanjang garis ekuator, pengambilan topik-topik bahasan, otonomi seleksi struktur operasional (misalnya pemilihan direktur biennale, direktur artistik, kuratorkurator lokal dan kurator internasional), bahkan struktur Yayasan Biennale Yogyakarta sendiri, meskipun mati tak enggan hidup tak mau; masih bebas dari intervensi Ideologi Aparatus Negara. Pada akhirnya saya hanya ingin memaknai secara positif optimistik saja atas kejanggalan kondisi pseudo relasi kuasa dari pseudo industri budaya ala pemerintahan DIY, yang terefleksikan secara nyata pada konsep dukungan dan campur tangan pemerintah propinsi DIY

pada Biennale Ekuator Yogya hingga yang kelima kini. Bagaimana Anda melihat situasi pascakolonial dan perkembangan kapitalisme global telah memperluas kesenjangan produksi pengetahuan dengan hegemoni pengetahuan Barat dan meminggirkan sejarah seni lokal? Kapitalisme global terus bergulir, berubahubah bentuk manufernya dan daya kooptasinya. Contoh yang paling dekat ada di depan mata kita adalah bagaimana setiap negara-negara (kuat karena ekonominya) berusaha saling memantabkan posisi strategis, baik secara politik dan ekonomi dalam upaya mendapatkan, menguasai dan memainkan kepemilikan pengetahuan atas distribusi bakal-bakal vaksin Covid 19. Bahkan vaksin yang belum tercipta dan terwujud barangnya secara teruji pun, desain atas strategi distribusi pemasarannya sudah mulai dipergunjingkan secara kompetitif, menjadi cikal bakal alasan-alasan kolonialisme kapital. Jauh dari niat menyehatkan warganya! Dalam konteks kehidupan pasca kolonialitas sekarang ini, moda produksi pengetahuan adalah jargon yang membenarkan hampir semua cara produksi termasuk cara-cara eksploitasi dan monopoli halus pada semua lini kehidupan. Atas nama apa dan untuk siapa produksi pengetahuan itu dilakukan, cenderung semakin menunjukkan sifat-sifat yang tidak emansipatoris dengan misalnya membenarkan perang antar pengetahuanpengetahuan yang tidak relevan dan palsu! Seiring dengan meleburnya pemahaman kita tentang hegemoni pengetahuan “Barat” yang jelas-jelas didukung dan dibangun


19

oleh dasar-dasar produksi-produksi pengetahuan yang pernah dianggap terpinggirkan! Namun persoalan sesungguhnya saya kira justru terletak pada bagaimana produksi pengetahuan itu sendiri terhegemoni oleh pasar produksi pengetahuan yang menguasai dan memonopoli proteksi atas produksi-produksi pengetahuan pinggiran. Saya terutama, melihat dan mencurigai persoalan krusial dalam cara memberi kerangka/frame mengenai apa itu “produksi pengetahuan pinggiran”? Yang saya maksud adalah bahwa bentuk-bentuk eksotisasi, proteksi buta, atas cara-cara produksi pengetahuan pinggiran, sangat berbahaya! Karena cara produksi demikian berpotensi mengisolasi diri dari segala bentuk yang dianggap sebagai pengaruh yang berlebih-lebihan. Jadi, kembali kepada persoalan gagasan produksi pengetahuan, isu kesenjangan terbesarnya bagi saya adalah soal emansipasi kuasa atas pengetahuan itu sendiri. Situasi ideal seperti apa yang Anda bayangkan berkaitan dengan medan seni yang lebih terbuka pada pengetahuan dan praktik lokal dalam praktik seni global? Baru baru ini saya sering membayangmbayangkan sendiri, kalau tidak boleh menyebutnya sebagai “bermimpi”, ialah upaya saya memaknai ulang istilah translokalitas! Bagi saya, istilah ini sangat mengandaikan terjadinya peluang emansipatoris relasi kuasa dalam cara produksi pengetahuan masing-masing. Jauh dari perlindungan buta preservasi kelokalannya, tetap terbuka dialog antara kelokalan secara global!

“Praktik Seni Global” yang mengangankan pelaku seni- dimana pelakunya adalah warga kesenian global, salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah translokalitas. Praktek kesenian translokalitas mengasumsikan penghargaanpenghargaan terhadap varian konsepkonsep estetik (filsafat kesenian) secara lokal, namun sekaligus terhubung/terkoneksi dengan kelokalankelokalan lain yang masing-masing memiliki kadar kemampuan berbeda-beda dalam cara perubahannya. Beberapa proyek seni yang saya jalankan secara pribadi dalam sepuluh tahun terakhir ini saya impikan sebagai cara memaknai translokalitas tersebut. Bagaimana membayangkan infrastruktur seni yang berbasis pada ekologi nusantara, misalnya? Atau bagaimana membayangkan kesetaraan akses, kesempatan dan relasi kuasa, dalam dua puluh tahun ke depan, misalnya? Membayangkan infrastruktur seni yang berbasis pada ekologi nusantara bagi saya selalu terkait dengan pertanyaan tentang apa dan untuk apa infrastruktur kesenian itu? Sekali lagi dalam konteks kesenian sebagai bagian dari mesin-mesin industri budaya, maka infrastruktur terjadi 'by design', melibatkan perencanaan, pengorganisasian, penanaman modal dan klaim-klaim keuntungan di bawah bayangbayang spirit korporasi. Infrastruktur yang bersifat ekonomi kapitalistik demikian ini, biasanya akan mengandaikan kesenian hanya sebagai cara produksi media; dan bukan media sebagai politik representasi estetika.


20

Karena media yang diproduksi dalam kesenian sejenis inilah, yang selalu memiliki kemudahan 'highlight' komodifikasi yang memungkin terbentuknya pasar bebas. Tren pembangunan infrastruktur seni semacam ini sangat besar gelombang kekuatannya di dunia, yang nyaris tidak bisa dihindari, apalagi ditolak. Maka bagi saya pribadi, infrastruktur seni yang berbasis pada ekologi nusantara harus dibangun, terutama dari cara produksi pengetahuan yang terletak di antara celahcelah analisa kritis persoalan perubahan kearifan lokal, menggali dan mengkritisi sejarah lokal, membangun politik identitas kelokalan, semua itu merupakan preparat potensi estetika (filsafat seni) beragamnya kesenian lokal; yang selanjutnya harus ditempatkan satu tahap lebih tinggi dari sekedar pelatihan-pelatihan kreatif dalam menguasai dan memaknai kembali medium sebagai seni. Dari sana, saya berharap infrastruktur seni yang terutama berbasis pada ekologi nusantara akan muncul dengan caranya sendiri, menandingi dan melengkapi patron yang dicanangkan secara seragam. Hasil-hasil apa yang telah dicapai dalam penyelenggaraan BJE yang menurut Anda menunjukkan keberhasilan mendobrak gagasan pusat pinggiran dalam medan seni global? Atau bagaimana BJE berhasil menawarkan konsep alternatif atas penyelenggaraan peristiwa seni internasional? Klaim atas upaya untuk menunjukkan keberhasilan mendobrak gagasan pusatpinggiran dalam medan seni global, dalam hemat pemikiran saya; permasalahannya terletak pada pertanyaan balik: siapa atau kelompok masyarakat mana yang merasa perlu melakukan klaim tersebut? Kelompok

masyarakat mana pula yang melihat dan menandai perbedaan-perbedaan antara pusat dan pinggiran. Dialog terbuka antara subyek dan obyek menjadi penting di sini. Dalam hal ini, BJE sebagai suatu platform penyelenggara akan kembali mendapatkan gugatan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: -apakah BJE adalah sebuah platform untuk memamerkan dan mempertunjukkan (show off) klaim-klaim dari ekstraksi dan representasi perbedaan-perbedaan pusat dan pinggiran, sementara metode produksinya mungkin masih tetap dikerjakan secara memusat? Jauh dari upaya-upaya partisipatori emansipatif? -atau apakah BJE adalah sebuah metode itu sendiri, yang memang membuka diri sebagai suatu ajang, medan perebutan dialog antara pusat dan pinggiran? Yang dengan demikian, mensyaratkan partisipasi emansipatoris bagi bukan saja karya-karya seni berbau dikotomi pusat dan pinggiran, peristiwa seni dikotomi pusat dan pinggiran, maupun gagasan-gagasan estetika dikotomi pusat dan pinggiran; akan tetapi juga memberikan penekanan partisipasi emansipatoris manajemen produksi pusat dan pinggiran. -Pertanyaan atas pembangunan kesadaran BJE pada upaya memaknai ulang definisidefinisi publik/kepenontonan, selera penonton, menandai publik pangsa pencerna pengalaman berkesenian beserta semua implikasi produksi pengetahuan yang berlangsung. (Industri budaya membentuk selera dan kecenderungan-kecenderungan massa), sehingga hampir bisa dipastikan bahwa sebuah Biennal; lambat laun berhasil


21

membentuk selera tertentu masyarakat melalu tradisi kepenontonannya. Menimbang dan memperhitungkan ketiga pertanyaan tersebut, maka saya beranggapan bahwa BJE tengah berada dalam track record yang secara politis benar, dalam upaya mengetengahkan dan atau menjadi perebutan medan dialog antara pusat dan pinggiran. Namun dalam cara manajemen produksinya, masih sangat memungkinkan untuk lebih membuka peluang partisipatori emansipatif. Langkah-langkah ke depan apakah yang masih harus dilakukan—misalnya oleh sebuah organisasi seperti Yayasan Biennale Yogyakarta—untuk mencapai cita-cita bersama? Saya menjabat dua kali sebagai anggota dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta. Saya harus mengakui bahwa kedudukan saya pada kursi empuk lembaga untuk kedua kali ini sudah bermasalah secara aspek regenarasi, karena seharusnya tidak lama lagi saya keluar. Dalam angan-angan saya, struktur kelembagaan Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai pengampu Biennale Jogja Ekuator dengan seluruh turunan produk program lainnya, baik itu symposium ekuator, pendidikan kuratorial, pendikikan kritik dan kepenulisan dsb. Kalau saya kembalikan pada pemikiran mendalam atas “keperihatinan” fenomenafenomena serba pseudo. Pada satu sisi adalah fasisme dan otoritarian negara sebagai monopoli kapitalisme industri, seperti yang baru saja ini telah ditunjukkan

oleh pemerintah dengan memaksakan Omnibuslaw undang-undang “ciptaker”. Maka segera terlihat bahwa ideologi kapitalisme liberal adalah suprastruktur aparatus negara yang bahkan segera ditindaklanjuti oleh suprastruktur pendidikan, hukum/adat, dan masih banyak lainnya. Maka wajar kalau kemudian kita berpikir bahwa Yayasan Biennale Yogyakarta serta merta wajib menyadari posisi politisnya! Lembaga ini harus betulbetul mampu dan taktis menempatkan diri sebagai intelektual organik sejati yang setara posisi politis dalam ulang-alik dialog krtitis dan analitis dengan strata ideologis aparatus negara yang sesungguhnya.Bagi saya hanya ada satu saran yang relevan: setiap anggota Yayasan Biennale Yogyakarta dalam posisi struktur apapun, harus sudah lebih mapan/selesai dalam arti ekonomi, namun pada saat yang sama harus paham benar teori konsep-konsep industri budaya modern dan mengikuti perkembangan global mengenai hal ini. 22 Oktober 2020 *Nindityo Adipurnomo (Seniman, Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta)


22

MENGENAL OSEANIA MELALUI NEGERI KITA Oleh: Gladhys Elliona (Penulis seni, Mahasiswa Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Program Pasca Sarjana, UGM)

“Di antara dua samudera dan dua benua.” Begitu kita sering diajarkan tentang geografi kepulauan Indonesia saat di sekolah dulu. Kalimat itu sesungguhnya mencerminkan betapa kita sudah dekat dengan kebudayaan maritim Hindia dan Pasifik secara bersamaan. Hingga kini, Indonesia menjadi tetangga Oseania yang paling dekat secara geografis, namun masih jarang perbincangan mengenai hubungan kita dengan bangsa-bangsa Pasifik. Dalam perbincangan Membaca Oseania dari Rumah Sendiri, kita disadarkan bahwa kebudayaan Pasifik tidak sejauh yang kita perkirakan. Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista sebagai kurator Biennale Jogja XVI memandu kita ke perkenalan awal tentang jejak Oseania dan kebudayaannya yang ada di Indonesia pada saat ini. Budaya Material Papua dan Pasifik Enrico Yory Kondologit adalah seorang antropolog dan kurator Museum Lokabudaya Universitas Cendrawasih; berbincang dengan pemandu diskusi mengenai budaya material dan permuseuman di


23

Papua. Sebagai pengantar, Enrico memperkenalkan kita pada berbagai bentuk budaya material yang ada di Papua melalui berbagai artefak arkeologis dan fakta antropologis. Enrico menerangkan bahwa, artefak budaya yang dimiliki oleh kurang lebih 250 kelompok etnis di Papua memiliki ikatan erat dengan orang Mikronesia dan Polinesia. Ia memberi contoh berbagai kesamaan bahan alat rumah tangga seperti penggunaan kulit kayu di berbagai bahan segala peralatan, bahwa konektivitas sistem keluarga dan sosial bisa dilihat dari kesamaan pembuatan totem penyu sebagai simbol kesuburan; begitu pula dengan kesamaan bentuk piring makan orang Asmat dan orang Trobriand Islands yang ada di Papua Nugini yang menggambarkan kehidupan kolektif di dalam sistem sosial kelompok etnis. Selain alat rumah tangga, alat transportasi juga menjadi tanda eratnya hubungan Papua dengan bangsa-bangsa Oseania. Kebutuhan kelompok etnis Papua pesisir mencakup perahu dan dayung yang kemudian menciptakan identitas unik dari tiap klan. Identitas ini tercermin dari ukiran muka perahu yang berbeda dari tiap kampung dan kelompok etnis. Muka perahu ini selain menjadi simbol identitas juga merupakan amulet atau jimat keselamatan bagi para pelaut. Dayung yang diukir juga dibuat khusus untuk melengkapi perahu di tiap kelompok; dengan kata lain perahu dan dayung memiliki ukiran yang senada. Alat musik dan ritual adat Pasifika juga tercermin dalam kebudayaan Papua, misalnya alat musik triton dan tifa, serta penggunaan alat bayar mas kawin dengan babi dan berbagai aksesoris hewan laut.

Menurut Enrico, degradasi budaya di Papua juga dirasakan oleh bangsa Pasifik; bahwa kesadaran orang Pasifik dan Papua tentang budaya asli mulai berkurang karena masuknya modernisasi dan pembangunan. Untuk menanggulanginya, berbagai upaya pelestarian dengan cara baru juga dilakukan, misalnya dengan kajian tertulis dan perekaman video budaya material untuk rekonstruksi budaya. Enrico memandang bahwa budaya lisan Papua menjadi suatu bentuk kelemahan untuk diseminasi pengetahuan turun temurun yang menyebabkan kurangnya perekaman budaya secara tertulis sebagai bukti sejarah; apalagi menurut berbagai cendekia Oseania, kebudayaan Pasifik yang masih lengkap dan murni bisa dilihat di Papua. Ini menjadi sebuah contoh nyata tidak bisa melihat hitam putih dalam pelestarian budaya, tapi teknologi dan modernisasi juga bisa memberikan keuntungan bagi pelestarian. Pergerakan Kolaborasi di Ambon Teknologi dan modernisasi juga memudahkan anak muda di Ambon dari latar belakang agama dan keluarga yang berbeda untuk menjadi dekat melalui seni dan mewujudkan rekonsiliasi. Peter Ajawaila sebagai bagian dari Paparisa Ambon Bergerak mengemukakan tentang linimasa pergerakan kolektif di Ambon yang terpantik dari konflik horizontal tahun 1999 antara kelompok Muslim dan Kristen. Perbedaan agama di Ambon menyebabkan segregasi walau sudah mereda di tahun 2004. Pierre dan teman-teman segenerasinya yang bersekolah keluar Ambon merasakan kotanya menjadi berbeda pascakonflik; utamanya di aspek solidaritas dan toleransi keberagaman yang ia pernah rasakan sewaktu kecil.


24

Berangkat dari keresahan akan pemisahan yang ada karena konflik, Ambon Bergerak lahir mengumpulkan berbagai komunitas muda yang ada di Ambon di tahun 2009. Ambon Bergerak ada sebagai gerakan penyatuan yang bersifat kolaboratif antara kelompok seni muda. Pemuda Ambon mulai menunjukkan signifikansi suara mereka melalui keterlibatan di berbagai kampanye sosia, seperti pada tanggal 11 September 2011 yang menjadi momentum pemuda Ambon dari tempat yang dianggap rusuh, gerakan Ambon Bergerak menyuarakan isu di sosial media ke berbagai petinggi media untuk mengubah pandangan media massa agar tidak menyesatkan pandangan publik hanya ke dokumentasi konflik masa lalu. Kebersamaan ini kemudian juga membuka ruang untuk berjejaring dan memperluas resonansi isu, baik daring maupun luring. Seni sebagai media ekspresi dipandang Pierre sebagai hal yang mempromosikan kegiatan kolaboratif; selain itu, seni juga merupakan bentuk yang menarik perhatian audiens yang lebih luas. Berbagai agenda seni yang dilakukan oleh kolektif yang tergabung dalam Ambon Bergerak yang bertujuan untuk memberikan ruang berkarya bagi seniman muda maupun kampanye isu-isu sosial; beberapa proyek tersebut antara lain Art for Peace, Trotoart, Konspirasi Puisi, Urban Genitals, Ambon Art Walk, hingga menggunakan seni sebagai respon isu lingkungan seperti di Kepulauan Aru yang dengan kampanye #SaveAru. Banyaknya program dan kolektif yang dinaungi membuat Ambon Bergerak merasa perlu membuat ruang yang lebih terpusat dan memudahkan komunikasi antar kolektif, maka lahirlah Paparisa Ambon Bergerak sebagai sentra kegiatan pemuda dan seni di Ambon. Di tahun 2020,

Ambon Creative Expo diadakan untuk memperluas kembali suara muda Ambon dan memperbaharui khazanah kreativitas di era industri kreatif. Hal ini menjadi cermin bahwa dinamika seni lintas disiplin di Ambon lebih cair dan menjadi alat rekonsiliasi sosial yang dekat dengan komunitas. Perihal Repatriasi dan Keberlanjutan Gerakan Mengenal suara seni dari timur Indonesia yang membuat kita sadar akan kayanya pemikian dan lapisan pengetahuan di wilayah tersebut. Museum Lokabudaya memiliki koneksi yang baik dengan berbagai institusi di luar negeri untuk keperluan reparasi, metode ekskavasi, dan perawatan benda-benda. Bicara permuseuman juga tidak lepas dari soal repatriasi, yang ternyata juga menjadi isu penting di Papua. Enrico menyampaikan bahwa data budaya material Papua paling banyak disimpan di Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Hal ini juga terkait dengan sejarah Museum Lokabudaya yang terikat dengan Rockefeller Foundation di Amerika Serikat. Koleksi yang ada di museum ini sebagian besar merupakan hasil ekspedisi Asmat dan Wamena yang ditemukan Michael Rockefeller. Koleksi yang ada juga sudah pernah berada di Museum of Metropolitan Arts di New York City sebelum akhirnya dikirim kembali saat Universitas Cendrawasih berdiri. Selain itu, upaya repatriasi berbagai budaya material lain, seperti artefak dari Raja Ampat di Troppenmuseum dan patung pakis masyarakat adat Skouw di Swiss sedang coba diwujudkan melalui studi banding dan korespondensi antar institusi.


25

Bagi Enrico, Arnold Ap yang merupakan kurator pertama di Papua dan peneliti antropologi menjadi sosok panutan yang semangatnya ingin ia teruskan. Salah satu filosofinya tentang artefak adalah bahwa benda-benda budaya material di museum adalah entitas yang hidup bukan hanya benda mati. Arnold Ap juga dipandang memiliki program kuratorial yang inovatif pada di tahun 1978. Ia membentuk kelompok musik Mambesak di mana setiap personilnya harus bisa menghafal cerita di balik artefak musik yang mereka mainkan, sehingga mereka bisa memperkenalkan budaya Papua. Grup ini berdiri dalam ancaman operasi militer, sampai Arnold Ap meninggal pada saat mencoba mengungsi ke Papua Nugini Cerita tentang Arnold Ap ini masih relevan hingga sekarang di konteks pergerakan pemuda di timur Indonesia. Pierre menyampaikan bahwa gerakan kesenian dan kepemudaan di Ambon berumur singkat karena bagi pemuda di sana, berkarier di bidang seni bukan jadi pilihan yang mampu menopang keberlanjutan hidup dan perkembangan diri. Perbincangan ini menjadi refleksi penting tentang wajah seni dan pergerakan sosial masyarakat Oseania di Indonesia; yang semestinya lebih mampu berdaya dan melanjutkan terus setiap inisiatif yang diawali dari semangat kemandirian. Berdiri Kokoh dengan Identitas Lokal Melalui pembicaraan bersama Enrico Yory Kondologit dan Peter Ajawaila, suara-suara tentang seni dan pergerakan di timur Indonesia semakin memiliki resonansi. Ini merupakan tanda


26

signifikan bahwa terlihat jelas terdapat usaha untuk mengembangkan identitas lokal melalui diseminasi pengetahuan, terlepas dari pusat-pusat kebudayaan kanon; bahwa setiap tempat di kepulauan Indonesia memiliki isu kebudayaan masing-masing yang perlu diperhatikan. Perhatian yang dimaksud bukan agar pemangku kepentingan kebudayaan -- yang ada di Jawa khususnya -- memberi usaha pemajuan semata, tetapi memberi kesempatan yang luas, misalnya dengan membuka akses infrastruktur atau fasilitas untuk mengamplifikasi seni dan aktivisme yang sudah terbangun. Tentu saja, walau hal ini juga memberi potensi intervensi dari kepentingan politik identitas pemangku kepentingan kebudayaan di pulau Jawa, keterbukaan akses dan inklusi juga dapat memberi pondasi bagi pemberdayaan secara mandiri dan merdeka berekspresi. Dalam diskusi yang berlangsung, terasa belum adanya kesamaan suara dalam melihat seni sebagai media aktivisme di masa sekarang. Semangat Arnold Ap menggunakan budaya material sebagai bagian dari aktivisme kebudayaan Papua, misalnya, mulai Enrico jadikan sebagai inti dari kerja kebudayaannya; walau memang terasa bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan secara terang-terangan di kondisi represi yang ada di Papua saat ini. Sementara, Ambon Bergerak telah memiliki rekam jejak aktivisme digital dan berbasis kepemudaan yang mampu mewadahi keresahan anak muda di Maluku; namun pendeknya usia aktivisme seni yang mereka lakukan disebabkan oleh pandangan bahwa seni tidak memiliki keberlanjutan karier yang baik, pula, regenerasi menjadi sesuatu yang belum mampu dijanjikan karena masalah yang serupa. Ketidaksamaan suara ini tentu merefleksikan timpangnya akses kebudayaan, utamanya dalam memperluas jaringan dan intensitas diskusi antarkelompok kebudayaan yang ada di timur Indonesia. Isu seni dan aktivisme di timur Indonesia ini menjadi penting untuk digarisbawahi dan dirumuskan solusinya agar kesempatan dan pertumbuhan seni budaya dapat terus memperkuat komunitas dan mendorong ekosistem yang lebih dinamis di masa yang akan datang.


PROFIL 27

Pengarah Artistik Pameran Arsip

Sakatoya

Komunitas Sakatoya adalah kolektif seni yang bergerak di wilayah manajemen produksikesenian dan produksi karya teater. Semenjak 2018 karya-karya teater Sakatoya berfokus pada isu ekologi dengan berpijak pada dramaturgi keterlibatan penonton. Karya teater yang sudah dipentaskan antara lain:Octagon Syndrome (2018, Hibah Seni PKKH UGM),Karnaval Terakhir (2018/ 2019),Cosmicpollutant (2018, Pesta Boneka #6 / 2019, ARTJOG MMXIX),Egg of Damselflies (2020, PUPA Puppet Lab), The Happy Family (2018, FKY #30 / 2019; FTRN, ISI Yogyakarta / 2021, Helateater, Komunitas Salihara). Karya lainnya ialah MEMINDAI (Instalasi interaktif) &Pura-Pura Radio #1yang ditampilkan pada Pameran Asana Bina Seni: “Your Connection Was Interrupted”, Yayasan Biennale Yogyakarta(2020). Di tahun 2021, Sakatoya jugamelakukan kolaborasi virtualbersama kelompok teater dari Inggris, Zoo Co dengan tajuk Care Krisis, yang merupakan salah satu project terpilih program Connecting through Culture Grant 20/21British Council. Di wilayah manajerial, Sakatoya mengelola 2 program, yakni Partnership Program dan Inhouse Program. Melalui kedua program tersebut, Sakatoya aktif melakukan kerja-kerja keproduksian bersama seniman/kelompok dari bidang seni apapun, baik lokal maupun internasional. Surel: komunitas.sakatoya@gmail.com / Instagram : @komunitassakatoya.


28

Di Balik Layar BJ XVI 2021 Profil Para Pengelola Ladija Triana Dewi (Yogyakarta,5 Mei 1994) Manajer Program Lulus dari jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta pada 2021. Sejak 2016 menggeluti kerja seni budaya di bidang manajerial event seni rupa serta menaruh minat pada literasi dan praktik kuratorial. Saat ini sedang mendalami isu mengenai Manajemen Sumber Daya Manusia di balik layar perhelatan seni. Aktif menulis di berbagai artikel dengan tema pengalaman kerja praktik pengelolaan event seni, isu kolektif serta teks pengantar pameran. Pada 2018, bersama teman-teman menginisiasi kolektif Kantin Kurasi yang hingga saat ini aktif dengan kegiatan praktik kuratorial dan project seni multidisiplin. Rahayu Sulasti Antini (Yogyakarta 29 Maret 1994) Manajer Kantor dan Administrasi Memulai kiprahnya di bidang seni budaya khususnya dalam bidang manajemen administrasi event sejak menjadi mahasiswa di STMM MMTC Yogyakarta tahun 2013. Berangkat dari volunteer pada tahun 2014, berpengalaman lebih dari 5 tahun mengikuti beberapa event bergengsi di Kota Yogyakarta mulai dari Festival Kesenian Yogyakarta (kini kebudayaan), Ngayogjazz, Sumonarfest, Jogja Literature Festival, Pekan Seni Grafis Yogyakarta hingga Biennale Jogja.

Putri R.A.E Harbie (1994, Denpasar) Asisten Kurator Lulusan S1 Sinematografi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang dengan tugas akhir penyutradaraan film essay berjudul "Tuan Spies" (2017), saat ini sedang menyelesaikan tesis di program Magister Tata Kelola Seni Pascasarjana ISI Yogyakarta. Pernah menjadi programmer festival film pendek Internasional di Bali selama 2 tahun, magang sebagai arsiparis dan dokumentasi di Indonesian Visual Art Archive di tahun 2018, menjadi staf katalog post-event dalam FKY 2019, serta menjadi asisten manajer produksi pameran Biennale Jogja XV EQUATOR #5 2019.


29

Kabar selanjutnya Nantikan pembukaan pendaftaran sukarelawan Biennale Jogja XVI Equator #6 Indonesia with Oceania. 25 Juli 2021 https://bit.ly/SukarelawanBiennaleJogjaXVI *Pendaftaran ditutup tanggal 25 Agustus 2021


Indonesia with Oceania October 6th - November 14th 2021


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XV 2019) – Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XVI 2021) karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XVI dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale).


Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.