MENCARI HARAPAN

Page 1

ISSN: 9772442302127

THE EQUATOR Vol. 5/No. 4 Oktober - Desember 2017 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

MENCARI HARAPAN


2

PENGANTAR REDAKSI Halo, para pembaca yang budiman. Selamat datang di Biennale Jogja XIV Equator #4! Sepanjang tahun ini, tim Biennale Jogja telah bekerja mempersiapkan acara besarnya. Sejak Oktober hingga Desember, publik (khususnya Yogyakarta) disuguhi serangkaian acara yang bernaung di bawah payung Biennale Jogja XIV. Diterbitkan dalam periode waktu yang bersamaan dengan rangkaian acara tersebut, terbitan ini akan mengulas beberapa aktivitas yang sudah, sedang, dan akan dipertemukan dengan audiensnya di masing-masing ruang yang direncanakan. Biennale Jogja tahun ini mengusung tema STAGE OF HOPELESSNESS. Melalui elaborasi yang telah dilakukan tim untuk menjelajahi tahap-tahap yang membawa manusia dari ketidakpastian menuju harapan, rasanya penting kali ini untuk melihat bentuk-bentuk ekspresi turunannya yang berhasil digali dan dilahirkan dalam Biennale Jogja XIV. Maka, The Equator edisi ini ingin mendalami bagaimana bentuk-bentuk ekspresi ini membahasakan lahirnya kemungkinan untuk kita menemukan harapan dalam realitas yang mungkin kacau. Hendra Himawan dan Rio Raharjo, masing-masing dari tim Parallel Event dan Festival Equator, menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang gagasan, persiapan, dan pelaksanaan rangkaian acara tersebut. Festival Equator menggali ingatan-ingatan kita tentang momen kekacauan yang pernah atau mungkin sedang kita alami dalam hidup. Dihadirkan di ruang-ruang publik, metode ini mencerminkan upaya untuk mencuatkan perasaan-perasaan sakit yang justru sering kita coba kubur dalam-dalam. Sementara Parallel Event mencoba melihat bagaimana kerja-kerja kolektif kebudayaan bisa jadi alternatif jalan untuk terus memunculkan harapan di tengah situasi kacau ini. Dalam edisi ini kami juga ingin membagikan cerita-cerita pendek tentang tiga seniman Brasil yang melakukan residensi di Yogyakarta: Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza. Selain itu, ada Cibele Poggiali Arabe yang berkisah tentang titik temu pengalaman hidupnya di Brasil dan Yogyakarta. Dengan jenaka ia menganalogikan refleksinya dengan pengalaman bersepeda di jalanan Yogyakarta. Akhir kata, selamat menikmati suguhan Biennale Jogja XIV Equator #4. Tawaran ini mungkin tidak akan langsung menyelesaikan persoalan, malah justru menambahi deretan pertanyaan kita tentang realita, sebab barangkali kita terlena dan malah lupa memeriksa. Salam hangat, Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Oktober - Desember 2017, 1500 exp Penanggung jawab: Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4 Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari Kontributor: Hendra Himawan, Rio Raharjo, Cibele Poggiali Arabe, Hanggita


3

DAFTAR ISI 4|

Age of Hope: Afirmasi diri dan Cakrawala Harapan Hendra Himawan Kurator independen, penulis seni, dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

10|

Kekacauan Hari ini Rio Raharjo Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas

14|

Residensi Seniman Brasil Biennale Jogja XIV Equator #4 Wawancara bersama Hanggita Indrasari Dewi, Rudy Cahyono, dan Munif Rafi Zuhdi

20|

Mengayuh Sepeda di Yogyakarta Cibele Poggiali Arabe Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen, koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes

Indrasari Dewi, Rudy Cahyono, Munif Rafi Zuhdi Fotografi: Arsip YBY, Cibele Poggiali Arabe Foto sampul: Libstud Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum

Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD,

Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Rumata Artspace, Colliq

Puji’e Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

Age Of Hope : Afirmasi Diri dan Cakrawala Harapan Hendra Himawan Kurator independen, penulis seni, dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Pembukaan Parallel Event, Biennale XIV #4 di Ace House Dok: YBY


5

Aksi dan refleksi menjadi praksis dan model evaluasi yang dilakukan terusmenerus dalam menemu praktik ideal penyelenggaraan Biennale Jogja seri Equatordan singgungannya dengan medan sosial seni rupa Yogyakarta. Penyesuaian dan perubahan platform penyelenggaraan Parallel Event (PE) dilakukan sejalan dengan perubahan sosial politik di masyarakat, tanpa meninggalkan gagasan awalnya untuk menyisir keragaman dinamika praktik dan wacana seni kota berikut pelakunya. Berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya yang berfokus pada 'penciptaan peristiwa seni rupa' oleh komunitas seni lintas disiplin, kali ini PE dilakukan dengan menjemput dan merangkul keterlibatan ruang dan komunitas seni yang ada dan bergerak di Yogyakarta. Pola ini dipilih dengan tujuan melakukan pembacaan atas praktik pelaku seni, sekaligus mengoptimalkan potensi kesaling-terhubungan antar-ruang dan komunitas seni. Tawaran gagasan dalam aksi seni yang dilakukan akan digiring dalam kerangka pembacaan tentang kerumitan persoalan di wilayah khatulistiwa, sebagaimana yang menjadi basis gagasan dari Biennale Jogja seri Equator.Dialog, jejaring, dan kemitraan ruang dan komunitas seni akan menjadi fokus utama dalam kerja PE, dengan ketiganya menjadi beberapa modal penting dalam pelaksanaan Biennale Jogja XIV. Memulakan pembacaan atas praktik ruang dan komunitas seni dalam kerangka sistem sosial, diharapkan ikhtiar PE menemukan kerangka metodologi untukmencari rumusan tentang bagaimana: mengembalikan seni ke domain masyarakat.

Seni sebagai Sistem Sosial Medan sosial seni terkait dengan sebuah 'sistem', yang senantiasa didudukkan dalam istilah 'jaringan', 'medan', 'arena', atau bahkan 'dunia'. Hal ini layaknya yang dibicarakan H.S. Becker tentang dunia seni sebagai jaringan orang-orang yang bekerja sama, atau Bourdieu yang menyebut 'sebuah bidang hubungan antarposisi yang diduduki oleh para agen'. Membayangkan dunia sebagai sebuah sistem besar, masyarakat modern membagi diri mereka lebih banyak ke dalam subsistem yang berbeda, yang kemudian berkembang lebih profesional dan otonom;sistem seni adalah salah satunya, selain subsistem seperti ekonomi, agama, pendidikan, hukum dan media. Dalam pemahaman 'sistem komunikasi artistik' alaNiklas Luhmann, ketika seni didudukkan sebagai sebuah sistem sosial, maka yang berperan sebetulnya bukanlah agen, aktor ataupun praktik kolektivitas ala Becker, melainkan sebuah jalan menikung: praktik komunikasi seni yang terbangun di dalamnya. Komunikasi seni adalah komunikasi simbolis melalui medium karya seni, menghasilkan persepsi dalam wujud material, dan berfokus pada bentuk. Dihadirkan dalam praktik yang interaksional (sistem interaksi), seperti pameran, diskusi seni, atau peristiwa seni lainnya, dan diinisiasi oleh institusi (organisasi, ruang, komunitas) dalam rangka melontarkan gagasan pada masyarakat. Kubu berseberangan (gerakan protes) selalu muncul sebagai bentuk dinamisasi sistem sosial.Sistem interaksional sebagai ruang komunikasi bersifat sensitif dan ekstensif, bukan semata pada persoalan pengorganisasian seni, namun juga masyarakat secara


6

menyeluruh. Sehingga jika ditarik dalam garis lurus, organisasi, sistem interaksi, dan gerakan protes, semuanya merupakan sistem sosial yang relatif otonom, dapat mengambil bagian dalam proses salah satu subsistem yang dibedakan secara fungsional. Gerakan protes khususnya, menarik diri dengan melintasi perbatasan antara subsistem sosial untuk bereaksi terhadap apa yang dikomunikasikan di masyarakat secara keseluruhan. Berbagai jenis reaksi terhadap konsep estetis, seperti ulasan, kritik,dan perdebatan, adalah bentuk komunikasi dalam sistem seni. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua jenis komunikasi yang berbeda dalam sistem ini, pada akhirnya, ditentukan oleh karakter karya (atau peristiwa) seni tertentu. Hal ini dikarenakan potensi karya atau peristiwa seni sebagai objek pengamatan yang mampu mengundang polemik,serta menarik respons dan upaya kritik. Semua jenis komunikasi yang dihasilkan dalam 'jaringan' ini dilihat sebagai bagian dari sistem kesenian, karena mereka berkontribusi terhadap mode operasi dan siklus gerak sebuah sistem seni. Bentuk komunikasi dalam seni adalah objek utama yang menjadikan sistem sosial ini berbeda dengan yang lain.Hal ini dikarenakan aksi seni yang senantiasa simbolik, sehingga mampu menawarkan kemungkinan pembedaan antara imajinasi dan realitas. Sistem seni menyadari kemungkinan ini karena bermain dalam ranah persepsi, yang muaranya adalah membangun kesadaran-kesadaran hingga memicu aksi-aksi nyata untuk perubahan (dalam skala yang lebih luas—masyarakat). Tantangan bermain

dalam bentuk yang jelas merupakan hal sentral dalam cara kerja seni ketika berurusan dengan kenyataan. Menarik gagasan ini dalam ranah PE Biennale Jogja XIV, program ini berjalan dalam penegasan bahwa seni rupa Yogyakarta merupakan bagian penting dari sistem sosial masyarakatnya secara keseluruhan. Sistem ini tidak dipahami dalam jejaring struktur hierarkis dan berlapis, namun sistem sosial seni dimaknai dalam ranah bagaimana membangun komunikasi antara ruang, komunitas seni, dan Biennale Jogja XIV sebagai porosnya. Sistem komunikasinya yang simbolis memerlukan observasi dan pengamatan berjenjang jikakita hendak melihat bagaimana seni mampu menjadi medium untuk berbincang dalam lingkup lebih luas (masyarakat atau kawasan, misalnya). Maka upaya pelibatan ini sangat penting dalam membangun komunikasi, 'nyengkuyung' (mendukung, red.) Biennale Jogja XIV dalam menyisir persoalanpersoalan ketidakpastian hidup yang menjadi inti kuratorialnya. Jejaring Ruang dan Komunitas Karya seni tidak dapat melakukan apapun, dan bahkan tidak pernah ada, tanpa peran mediasi dari domain distribusi. Institusi yang bekerja dalam ranah ini (galeri, ruang seni, dan komunitas) bekerja layaknya 'pusat penerjemahan' atas karya yang ditujukan bagi masyarakat. Mereka memberi tempat pada karya seni dalam sebuah momen estetik dengan melibatkan banyak unsur: ruang fisik, karya seni, kurator, manajer, penonton, masyarakat, dan sebagainya. Karya seni akan memainkan perannya sesuai dengan sifat acara yang dilangsungkan; dan setiap aktivitas yang digelar oleh ruang seni


7

mempunyai pola, bentuk, dan medan tafsirnya sendiri. Maka sistem interaksi yang dibangun akan menentukan pola komunikasi, perbincangan, hingga efek, dan pengaruhnya bagi masyarakat secara luas. Dan jika mengaca pada praktik kesenian di Yogyakarta, distribusi dan mediasi seni menjadi hal yang dominan. Tumbuhnya ruang yang masif, dengan ragam aktivitas seni yang dihadirkan, boleh menjadi acuan bagaimana sebaran gagasan seni yang beragam tumbuh subur. Sebaran pengetahuan yang hilir mudik, tumpangtindih, saling sokong atau berbenturan, telah menumbuhkan dialog langsung maupun imajiner yang mewujud dalam tindakan kesenian yang nyata. Terlepas dari ideologi estetik yang diusung dan kecenderungan artistik yang menjadi praktik, kehadiran ruang-ruang ini menunjukkan bagaimana sistem sosial terbangun dan berkontribusi besar dalam membangun jaringan interaksional yang lebih luas:komunikasi, dialog, dan kemitraan. Dari beragam kepentingan dibalik setiap peristiwa seni yang dihadirkan, jejaring ruang dan komunitas seni yang dibangun dalam PE menjadi podium penting untuk membincangkan serangkaian isu, wacana, dan polemik yang beredar secara senyap maupun riuh dalam keseharian masyarakat, pun singgungannya dalam praktik di medan sosial seni rupa kita. Keterlibatan 29 ruang dan komunitas seni dalam spektrum kerja PE adalah modal utama untuk melakukan pemetaan bagaimana sistem sosial kesenian Yogyakarta memainkan perannya dalam sistem sosial masyarakat. Melalui 45

penyelenggaraan kegiatan seni (pameran, workshop, screening, dan diskusi) sepanjang gelaran PE, akan bisa ditakar sejauhmana seni rupa mampu menyentuh ranah persoalan diluar dirinya, hingga kemudian bisa menemu fungsi sosialnya. Beragam isu dan tema diangkat,mulai dari persoalan medium dan eksperimentasi seni, strategi dan siasat berkesenian, sejarah sosial dan pemikiran, wacana kontribusi pendidikan seni, isu lingkungan dan gender, hingga menyoal identitas kebangsaan. Kesemuanya bergerak dalam medan tafsir atas Age of Hope, narasi kuratorial yang telah diderivasi dalam tujuh sajian pembacaan:Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas kehilangan, Kepasrahan dalam ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada Keadaan, Penerimaan atas Kenyataan. Luasnya cakrawala gagasan dan medan tafsir atas tema kuratorial yang diusung masing-masing ruang dan komunitas senisebanding dengan luasnya cakrawala harapan pelaku seni atas segenap problematika dalam kehidupan sehari-hari. Harapan tumbuh dalam kerja-kerja seni yang tak luruh.Mereka hadir dan menggerakkan medan sosial seni rupa Yogyakarta, membangun jejaring interaksi, dan terus berkomunikasi dengan publik seninya. Praktik seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE merupakan bentuk afirmasi diri dan penumbuhan harapan yang berpijak dari optimisme mereka dalam memandang hidup. Afirmasi Diri dan Cakrawala Harapan Inti komunikasi dalam sistem seni adalah karya seni, seperti apa pun bentuknya.


8

Meski dalam bahasa simbol, karya mampu merangsang reaksi, secara langsung maupun tidak, dalam perbincangan maupun polemik yang berujung aksi. Praktik komunikasi ini berada dalam cakrawala harapan, dalam ambang pemikiran: bagaimana 'semestinya' dan bagaimana 'kenyataannya'. Peran ruang dan komunitas seni penting dalam membangun cakrawala harapan ini. Dan mesti kembali dipahami, sistem seni bukanlah struktur (hubungan) organisasi dan para aktor, melainkan rangkaian komunikasi yang tersusun secara sosial (dengan berbasiskan harapan). Di tengah realitas hidup yang samar dan medan sosial seni yang sumir, istilah 'seni itu melelahkan namun tak boleh berhenti' seolah menemukan taji. Gagasan A.C.Danto (dalam Maanen) bahwa karya seni selalu memiliki bentuk 'kegairahan' di dalamnya tampak mengejawantah. Dinamika seni yang riuh di Yogyakarta adalah bukti bagaimana para pelaku seni, komunitas, dan ruang-ruang seni mampu terus-menerus meneguhkan diri bahwa: seni mampu memunculkan harapan hidup dan membuat perubahan, apapun bentuknya, sekecil apapun,dengan membangun komunikasi dan menebar harapan bersama masyarakatnya. Seni tetap diyakini mampu membuat 'pernyataan kebenaran' tentang kenyataan, atau setidaknya memungkinkan untuk menguji sejauh mana kebenaran itu dialami. Membaca realitas atau pengalaman (dimana realitas tetap tidak ada), serta mencoba 'kemungkinankemungkinan lain' yang dianggap mungkin. Optimisme ini adalah afirmasi diri yang mewujud dalam kerja-kerja seni tanpa henti. Afirmasi diri juga menjadi cermin untuk membaca situasi sosial

masyarakatsekaligus silang sengkarut politik kesenian dengan polemik-polemik yang tak berkesudahan. Dalam riuhnya syak wasangka yang memicu singgungan dan benturan dalam medan seni, afirmasi diri dan cakrawala harapan menjadi titik balik untuk melakukan perubahan. Hal yang sama saat kita membedah narasi besar Biennale Jogja XIV, keterlibatan setiap ruang dan komunitas seni dalam Biennale menunjukkan bagaimana struktur ini menjadi kekuatan penting dalam menyingkap tabir kuratorial yang ditawarkan. Kehadiran ruang dan komunitas seni dengan segenap cakrawala harapan yang mereka bentang menjadi bentuk pengalaman-pengalaman 'melintas dari ketidakpastian hidup menuju harapan'. Luas dan Luwes: Kontekstualisasi Pembacaan global atas isu yang diusung dalam serangkaian kegiatan seni yang dilakukan menunjukkan bagaimana keragaman dan kesalingterhubungan masing-masing ruang dan komunitas seni dalam ranah praktik maupun wacana. Komunikasi, dialog, dan kemitraan ruang dan komunitas seni ini menjadi satu bentuk afirmasi yang melandasi rancang gerak aksi Parallel Event.Menjemput setiap ruang dan komunitas seni untuk berbagi pengetahuan bersama dalam menyikapi fenomena keseharian masyarakat dalam spektrum global dan aksi-aksi lokal menjadi pijakan penting.Spirit Biennale Jogja XIV adalah menjadi jembatan yang menjahit keragaman pemikiran, gagasan, dan praktik kesenian. Tawaran aksi yang dipresentasikan masing-masing ruang menunjukkan luas dan luwesnya sikapsikap pelaku seni dalam membaca gejala serta menyikapi perubahan realitas secara positif, taktis, dan menyentuh ranah yang paling dasar dari masyarakat.


9

Tawaran ragam aktivitas seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE menjadi semacam usaha untuk mencari fungsi seni bagi masyarakat.Program ini akan bergerak dalam kaidah praksis, merujuk pada sintesis teori dan praktik. Menjumput pengetahuan dari setiap aksi dan refleksi untuk diletakkan dalam kerangka konsep kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah jangkar yang diambil oleh PE (sekaligus Biennale Forum) sebagai jalan untuk melihat sejauhmana aktivitas seni menemu simpul-simpul fungsi dalam masyarakat. Tentu hal ini tidak mudah dan merupakan pekerjaan yang panjang jika melihat beragamnya dinamika praktik, ideologi, dan wacana yang diusung, namun kerja-kerja ini memang semestinya dilakukan secara konstrukif dan terus diupayakan, sebagaimana Biennale Jogja juga bergerak dalam ranah ini. Keyakinan ini dilandasi dasar bahwa seni menawarkan kesempatan untuk mendepositokan setiap realitas melalui representasi, dan membangun persepsi yang melahirkan dialog dan komunikasi.Kontekstualisasi dalam program PE secara spesifik akan berjalan pada spektrum: 'melihat bentuk dan pola konfrontasi yang muncul atas konstruksi perseptif yang telah eksis'hingga menengok munculnya'cara-cara pandang baru dalam melihat dunia'. Membaca bersama-sama isu-isu besar yang digali dari perjumpaan Biennale Jogja XIV dengan Brasil, merajut setiap tebaran gagasan ruang dan komunitas seni, serta mendudukkannya dalam konteks masyarakat hari ini.(HH)

Rujukan: van Maanen, Hans. 2009. How to Study Art Worlds, On the Societal Functioning of Aesthetic Values. Amsterdam: Amsterdam University Press. Becker, Howard. S & Howard P. Becker. 1982.Art Worlds. Berkeley: University of California Press. Luhmann, Niklas.2000. Art as a Social System. Stanford: Stanford University Press. Bourdieu, Pierre. 1993.The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Cambridge: Polity Press.


10

Kekacauan Hari Ini Rio Raharjo Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mempersoalkan bahwa realitas yang tidak selalu dalam keadaan baik-baik saja adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini.Rasanya akan menjadi menarik jika kita coba petakan secara sederhana seraya mempertanyakan, hal apa saja yang mendasari keadaan tersebut dan bagaimana ia layak dipersoalkan berdasarkan konteksnya, yakni kehidupan Yogyakarta hari ini. Jawaban atas pertanyaan ini kiranya dapat menjadi pintu masuk untuk menyelami realitas kita hari ini. Sejak zaman purba, benih-benih kebudayaan yang berupa kemampuan akal manusia telah lahir dan terus mengalami perkembangan yang tajam. Manusia berevolusi, begitu pula cara pandangnya, turut menggiring ke arah daya hidup pada zaman yang juga terus berkembang. Hal ini tampak dengan adanya beberapa kebudayaan yang tumbuh secara bertahap, yang diawali fase mitis, ontologis, dan pragmatis. Sementara—sebagai wujud dari kebudayaan—norma, aturan, konvensiterlahir dengan wujud ide, yang sifatnya abstrak, tak kasatmata, dan lokasinya hanya berada di dalam kepala atau alam pikir warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. Wujud kebudayaan tersebut banyak hidup bersama dan memberi jiwa pada masyarakatnya. Gagasan yang satu dengan lainnya

cenderung kait-mengait,membentuk sebuah sistem budaya Wujud lain yang beririsan dekat dengan kebudayaan adalah aktivitas atau tindakan manusia dalam masyarakat. Aktivitas ini mewujud pada pola-pola tertentu dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian menjadi sistem sosial. Manusia berkegiatan, berinteraksi, serta bergaul berdasarkan pola tersebut. Wujud terakhir dari kebudayaan adalah artefak atau bentuk kebudayaan fisik. Jenis ini berupa hasil fisik dari aktivitas atau perbuatan manusia. Sifatnya konkret, mulai dari hal yang sederhana sampai temuan termutakhir. Pada wujud ini, beberapa perubahan keadaan sudah mulai terasa dan memberi dampak cukup signifikan pada sistem sosial dan kesepakatannya. Meminjam pemikiran Yasraf Piliang tentang “dunia yang dilipat” sebagai pijakan merupakan pilihan yang cukup relevan untuk melihat kasus ini. Lebih jauh, konsep ini menempatkan kebudayaan pada konteks kekinian dan situasi yang sedang dijalaninya. Dengan demikian, kita jugaditempatkan pada suatu masa atau zaman yang cenderung terus-menerus mengalami perubahan,yang tumbuh begitu nyata dan cepat. Kita pun secara tidak langsung diajak untuk berwisata ke dalam sebuah dimensi yang penuh teka-teki, misteri, kontradiksi, halusinasi, dan


11

simulasi. Secara tidak sadar, kita telah masuk dan menikmatinya dalam konteks kehidupan kita hari ini. Memasuki era kebudayaan kontemporer, kita dihadapkan dengan sebuah pemandangan tentang realitas baru, penuh dengan warna sekaligus nuansa yang tak pernah kita duga sebelumnya. Banyak hal menarik yang disajikan, namun banyak pula yang menghanyutkan. Kita dapat hanyut dalam suatu wilayah kebudayaan baru, yang memberikan perasaan keterpesonaan dan kesenangan karena kekayaan tanda dan citranya. Tanda dan citra yang lebur bahkan melampaui dirinya sendiri. Begitu banyak tanda, kesan, serta tema yang sangat menggoda untuk disantap. Akan tetapi, itu semua perlahan akan runtuh dengan sendirinya. Runtuh akibat tidak adanya lagi batas antara penanda dan petanda yang sebelumnya berjalan beriringan. Organisme yang mengalami sebuah kekacauan merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kondisi kita hari ini. Beberapa organ tidak lagi berjalan sesuai dengan sistemnya. Otak menjadi dengkul, mata menjadi otak, telinga menjadi mulut,sehinggamanusia lebih mendahulukan bertindak daripada berpikir, mengedepankan apa yang dilihat daripada apa yang direnungkan, dan lebih banyak berbicara ketimbang mendengar. Lebih lanjut, hal tersebut juga disinyalir dapat terjadi karena adanya dominasi waktu terhadap ruang dan tindakan. Pada konteks ini, ruang dapat dijangkau dengan waktu yang singkat. Artinya, kita tidak memerlukan banyak waktu lagi untuk menuju ke sebuah dimensi ruang. Dengan temuan mutakhir yang lahir dari kecerdasan manusia, kita dengan cepat menuju ke suatu dimensi ruang tanpa

harus mengeluarkan energi untuk menjangkaunya. Kita dapat mengefisienkan waktu untuk melakukan banyak kegiatan di waktu yang sama. Namun, dibalik kenikmatan itu semua, justru lahir banyak kekacauan di dalamnya. Segala kebenaran kabur dan dapat menjadi kepalsuan, atau sebaliknya. Segala aktivitas dikerjakan dengan ketergesaan, sehingga kehilangan maknanya lalu terabaikan. Kekacauan ini lantas menjelma menjadi teks yang kabur, keburukan menjadi kebaikan, berubahnya dosa menjadi hiburan, kepalsuan menjadi suatu kebenaran. Kebudayaan yang kacaubalau ini akhirnya meninggalkan beberapa ketidakjelasan dan ketidakpastian pada kehidupan masyarakat kontemporer, masyarakat kita hari ini. Meski begitu, mau tidak mau, sadar tidak sadar, kondisi itu yang kita hadapi sekarang. Perkara mencari makna di antara ketidakjelasan dan ketidakpastian tersebut adalah pekerjaan kita hari ini. Ketidaksadaran dalam Sebuah Peristiwa Stage of Hopelessness merupakan sebuah respons yang tumbuh keluar sebagai buah dari keadaan saat ini. Keadaan ketika segalanya menjadi tidak jelas dan tidak pasti. Meski begitu, respons tersebut seyogyanya ingin menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani berharap. Berharap pada sebuah kenyataan yang semakin sulit untuk dipahami. Kenyataan yang hadir pada era baru ini begitu menggoda melalui pesona citra dan nuansanya, namun amat kacau di dalamnya. Namun di balik kekacauan itu, secara tidak sadar kita digiring ke satu titik untuk mendapatkan kesadaran baru. Lalu, bagaimana mendapatkan kesadaran baru tersebut?


12

Organizing Chaos diambil sebagai salah satu tema yang disiapkan untuk ditampilkan ke publik dan ditempatkan sebagai upaya untuk memunculkan kesadaran baru melalui peristiwa yang “seakan” tak wajar terkait situasi Yogyakarta hari ini. Memainkan ingatan masa lalu akan sebuah momen traumatis menjadi titik berangkat untuk memunculkan kesadaran baru. Memainkan ingatan masa lalu dalam konteks ini didekati dengan menggali ingatan masa lalu itu sendiri. Penggalian ingatan inidilakukan bukan pada lapisan kesadaran yang memiliki rekaman pengalaman menyenangkan, seperti menikmati keindahan pemandangan atau mencium semerbak wewangian bunga. Namun sebaliknya, digalidari pengalaman yang biasa saja, tidak cukup berarti atau bermakna, hingga hal-hal yang kurang enak, sehingga ia pun dilupakan dan kemudian ditempatkan pada lapisan ketidaksadaran. Lapisan ketidaksadaran yang tidak menyenangkan tersebut kemudian didesak masuk ke dalam lapisan ketidaksadaran personal. Segala hal yang kurang berkenan dan mengenakkan terakumulasi pada lapisan ini. Selanjutnya, ingatan pada lapisan inidirasa turut memengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak secara personal. Lantas, bagaimana membangun ingatan publik pada masa lampau? Pada tahap ini, kita diajak untuk lebih jauh masuk ke lapisan ketidaksadaran kolektif. Yang membedakan lapisan ini dengan lapisan di atas adalah sumber pengalamannya. Pengalaman pada lapisan ini bersumberdari pengalaman bersama (kolektif) yang mengakar pada masa lalu. Sejenis pengetahuan yang kita miliki sejak lahir dan kita tidak sadar telah memilikinya.

Pengetahuan tersebut diturunkan secara berulang dari generasi ke generasi, kepada setiap orang berdasarkan kulturnya,hingga kemudian pola asalnya, atau arketipe, dapat terbaca. Arketipe yang merupakan isi dari ketidaksadaran kolektif cukup berperan dalam menentukan cara setiap orang memandang suatu yang ada di sekelilingnya. Ia adalah bagian atau komponen yang letaknya di wilayah ketidaksadaran kolektif. Perannya begitu sentral untuk memengaruhi perilaku kita secara emosional. Sebagai contoh, seorang anak membawa pola asal ibunya, yang merupakan hasil dari pengalaman generasi sebelumnya yang terus berulang. Dengan begitu, sang anak secara tidak sadar mengikuti pola yang diwarisidari sang ibu. Ketidaksadaran itu pula yang menjadi tujuan dibalik rangkaian peristiwa yang ditata di hadapan publik. Secara tidak sadar, beberapa peristiwa yang hadir akan menyengat ingatan masa lalu masyarakatkarena ada warisan pengetahuan yang telah dimiliki. Lalu, publik akan memandang peristiwa ini sebagai sebuah momen penting. Penggalianulangakan hal tersebut dan memunculkannya dalam suatu momen atau peristiwa dirasa jadi satu cara yang turut melahirkan kesadaran baru. Pada konteks ini pula, peristiwa yang dihadirkan sebenarnya memiliki irisan dengan nilai kebudayaan Yogyakarta. Upaya penggalian ingatan publik ini digiring menuju sebuah mitos. Mitos sebagai konsep anutan yang berangkat dari permasalahan dan perubahan dengan beberapa kekacauannya, tumbuh serta berkembang di kehidupan masyarakat dewasa ini. Ia berdiri sebagai sesuatu yang


13

kontinu dan terkait dengan konteks zamannya. Mitos di sini tidak didefinisikan melalui pesan pada objeknya, melainkan melalui cara penyampaian pesan itu sendiri. Memuat pesan yang seakan-akan benar atau apa adanya, tetapi sebenarnya mengandung pesan lain yang ditutupi atau disembunyikan. Ketika segala sesuatunya terasa berjalan lazim, maka sebenarnya itu tak lazim. Alami dalam konteks ini diartikan sebagai sebuah peristiwa yang berjalan mengalir, bebas dari kepentingan atau setting-an. Namun, dibalik peristiwa itu semua, ada makna lain bahwa segala sesuatunya sebenarnya tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Semua itu adalah rekayasa yang sarat pandangan secara ideologis. Konsep pandangan tersebut yang sebenarnya ingin dicuatkan ke publik, bahwa kondisi kita hari ini sebenarnya tidak dalam hal yang wajar. Dengan begitu, beberapa peristiwa ini nantinya akan didefinsikan sendiri oleh publik. Melalui konsep seperti ini, diharapkan masyarakat lebih jeli untuk melihat makna lain dibalik peristiwa yang sering terjadi pada umumnya.Kondisi kehidupan kita kian hari kian berubah, dan jika tidak diingatkan, masyarakat kita akan terbuai dan tenggelam dalam situasi yang kacaubalau. Cara mengingatkannya adalah dengan membangun sebuah ungkapan kejadian yang dikondisikan seolah berjalan tanpa dikondisikan, guna menyadarkan masyarakat pada sebuah realitas yang tidak baik-baik saja.


14


15

YURI FIRMEZA

Residensi Seniman Brasil Biennale Jogja XIV Equator #4

Residensi ini berawal dari undangan yang dilayangkan Biennale Jogja. Ketertarikan pada isu tertentu terkait proses pengkaryaan saya baru muncul setelah saya tiba di kota ini. Sebelumnya, saya sudah punya beberapa ide. Tapi setelah saya sampai di Yogyakarta, barulah saya paham tentang alur dan dinamika kota ini, hingga kemudian memikirkan proyek yang akan saya kerjakan. Dukungan dan kesempatan selalu tersedia bagi kami untuk membicarakan proses pengerjaan karya. Bentuk dukungan itu dapat berupa dialog antarseniman, bersama kurator, maupun seniman Indonesia.Kendalanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan semangatnya. Tapi memang ada kendala. Salah satunya adalah bahasa. Sukar sekali melakukan pendekatan terhadap suatu konteks tanpa mengetahui bagaimana cara mengungkapkannya. Kesulitan lain yang saya alami pada awal masa residensi adalah perbedaan zona waktu. Tubuh rasanya jet lag, dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Akan tetapi, segala kendala itu bisa jadi hal baik dalam kaitannya dengan perbedaan konteks dan tempat kita di dunia ini. Perbedaan menuntut kita untuk memikirkan keberadaan dunia lain yang terkadang tidak kita anggap ada. Saya amat terkesan dengan dunia kesenian Yogyakarta, terutama skena musik eksperimental-independen: noise. Dua bulan kelihatannya waktu yang lama, tapi nyatanya hanya ada sedikit waktu untuk mengerjakan proyek yang ingin saya kembangkan lebih jauh. Menurut saya, penting untuk meninggalkan kesan pertama yang akan mengendap, sehingga tidak terasa klise. Hal ini selalu jadi bagian yang tersulit, terutama ketika berada di negara lain, di tengah budaya yang berbeda, serta hubungan dengan waktu, ruang, dan tubuh yang berbeda pula.


16

Residensi ini adalah kesempatan buat saya untuk datang dan memahami Indonesia secara mendalam, terlebih karena keluarga saya berasal dari Indonesia. Kunjungan ini adalah mimpi yang jadi nyata. Saya tidak tahu apa-apa tentang Yogyakarta sebelum datang kemari. Menarik sekali, di Yogyakarta kesenjangan sosial lebih sedikit terasa dibanding kota-kota lain yang sangat terpengaruh kapitalisme. Yogyakarta juga sangat kental keseniannya; ada sekolah seni dan galeri di manamana, namun secara bersamaan kehidupan tradisional masyarakatnya tidak luntur. Perpaduan yang sangat menarik. Ada keterbukaan untuk kreativitas, juga keanehan, misalnya terdapat komunitas transgender dan LGBT. Ini sangat dekat relasinya dengan seni karena seni butuh keterbukaan. Kesan pertama ini amat menarik sehingga saya memutuskan untuk kembali ke sini tahun depan. Program residensi ini mendukung proses kami berkarya. Kami mendapatkan apa yang kami butuhkan, serta didampingi asisten yang perannya sangat penting, sebab kami datang ke negara yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Selain itu, tersedianya ruang untuk tinggal, ruang untuk berkarya, serta pendanaan sangat mendukung proses kreatif saya, sehingga saya bisa mendedikasikan diri 100% pada karya. Tantangan yang paling sering dihadapi oleh seniman asing adalah bagaimana membuat karya yang tidak menyinggung masyarakat lokal. Itu sering terjadi di Brasil, seniman asing secara tidak sadar membuat karya yang menyinggung, sehingga masyarakat lokal menjadi kritis. Karena punya latar belakang personal, berkarya di Indonesia—di negara tempat keluarga saya pernah tinggal—menjadi beban untuk saya pribadi. Saya harus berupaya membuat konsep dan latar belakang karya dengan bahasa visual saya dapat dimengerti tidak hanya oleh saya dan keluarga, namun juga audiens yang datang dan melihat karya tersebut. Meskipun Indonesia dan Brasil terpisah jarak lebih dari 16 ribu kilometer, banyak hal ternyata sangat mirip. Meskipun saya orang asing, saya tidak merasa asing di sini.


DANIEL LIE

17


18


RODRIGO BRAGA

19

Sebenarnya, datang ke Indonesia bukanlah hal yang pernah saya bayangkan, mungkin karena persoalan jarak yang memisahkan. Tapi, saat kurator Pius Sigit mengunjungi studio saya di Rio de Janeiro, saya mulai menyadari bahwa mungkin tinggal di Indonesia dan mendapatkan inspirasi dari kebudayaan dan lanskap lain adalah satu peluang yang baik. Karya saya dibuat berdasarkan gagasan tentang displacement, dan dengan pertimbangan bisa mendapatkan pengalaman in loco di tempat baru yang berbeda, tiba-tiba kunjungan ke Yogyakarta terdengar sangat menarik. Saat tiba di Yogyakarta, saya sudah punya satu niat khusus: mengunjungi wilayah Gunung Kidul. Saya tertarik dengan kekhasan aspek sosial dan lingkungannya, tapi lebih spesifik lagi saya terpikat pada mitos Pulung Gantung, yang merepresentasikan cara orang lokal berhadapan dengan masalah, kepercayaan, dan kematian. Lalu, Pius memperkenalkan saya pada Emmanuel Subangun, seorang peneliti yang memiliki pengalaman panjang bersama masyarakat Gunung Kidul dan memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja secara langsung di Desa Wiloso selama beberapa hari. Memang ada beberapa tantangan yang saya hadapi saat berkarya di negara yang belum saya kenal. Di satu sisi, Yogyakarta terasa cukup akrab, mirip banyak kota di bagian utara Brasil. Di sisi lain, wilayah ini senantiasa memberi kejutan. Tentu saja butuh beberapa saat untuk bisa beradaptasi dengan perbedaan waktu, bahasa, dan mobilitas hingga akhirnya bisa merasa lebih percaya diri sebagai orang asing. Namun, tantangan terbesarnya terletak pada bagaimana berkarya dalam waktu yang amat terbatas, dengan isu yang dipahami oleh orang Indonesia namun tidak banal. Oleh sebab itu, karya saya lebih banyak menggunakan pendekatan subjektif, mengungkapkan bagaimana saya mengalami lanskap dan sejarah orangorang, cara saya membuka diri dan berdialog dengan tema tertentu, akan tetapi tetap universal dan arketipal. Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang saya merasa khawatir karena tantangan tersebut, namun saya juga merasa mendapatkan semangat ketika berada di tengahtengah alam dan masyarakat Gunung Kidul.


20

Mengayuh Sepeda di Yogyakarta Cibele Poggiali Arabe (Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen, koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes)

"The travel begins where our certainties end." Franck Michel, antropolog. Jalan Malioboro di Yogyakarta: area di mana "kekacauan pinggiran" benar-benar terpisah dari "tengah". Sebuah kontras dari hal-hal klise dalam realitas yang berubah. Dok: Penulis

Saya biasanya mengaku senang mengunjungi Indonesia karena memberikan banyak kesempatan untuk latihan bersikap fleksibel, adaptif, dan sabar. Mungkin orang akan terkejut mendengar saya, yang berasal dari Brasil, berkata demikian. Paling tidak, dulu, saya bukanlah orang yang selalu datang terlambat—atau paling tidak


21

bukan satu-satunya. Sekarang, saya adalah orang yang selalu mendapat saran untuk lebih santai dan "tidak berpikir macam-macam"—sebuah frasa yang saya suka dari beberapa teman Indonesia saya. Seseorang yang tinggal di Indonesia atau mengenal orang Indonesia lebih dalam daripada saya mungkin akan bilang bahwa orang Indonesia sering kali tidak efisien; perlu waktu lama untuk menyelesaikan sesuatu, atau tidak mau menyampaikan realitas yang mengganggu demi menghindari konflik, atau bahkan bisa mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat. Meskipun itu bisa saja benar dalam beberapa hal, saya memilih untuk memberi perhatian pada hal-hal di luar perspektif itu. Setiap kali saya merasa berada di ujung tanduk frustrasi, saya melihat ketenangan pada orang-orang di sekitar; jika situasinya sudah terlalu absurd, tertawakan saja. Contohnya, waktu saya harus menunggu 3 jam sebelum akhirnya bisa mengambil beberapa foto tim proyek kami. Tiba-tiba segala ide dan rencana hilang; daripada menuntut sesuatu berjalan sesuai keinginan kita, akhirnya saya selalu memilih untuk menjalani saja apa pun yang akan terjadi. Sebelum ke Indonesia, saya merasa saya orang yang "go with the flow". Tapi, kemudian saya menemukan sesuatu yang baru dari istilah itu ketika berada di sini. Saya sebenarnya tidak suka menggeneralisasi, apalagi membandingkan Timur dan Barat secara simplistik. Kita amat beragam dan selalu ada banyak “pengecualian” di mana pun. Saat pertama

kali mengunjungi Asia, memang terasa perbedaan yang signifikan. Bagi saya sendiri, rasanya seperti logika dijungkirbalikkan. Reaksi orang-orang tidak sama, pertanyaan jadi tidak masuk akal, referensi kita berbeda, cara berpikirnya berada di jalur yang berbeda pula. Semuanya itu terasa makin kentara ketika Anda mulai tertarik belajar bahasa dan berkomunikasi dengan kebudayaan tersebut. Belajar Bahasa Indonesia, Memahami Masyarakatnya Bagi saya, perjalanan tentu saja selalu berurusan dengan bahasa. Struktur bahasa sangat erat terkait dengan cara kita berbicara, yang kemudian secara langsung terhubung dengan cara kita mengekspresikan diri. Yang satu menentukan yang lain; semuanya berkelindan dalam kebudayaan. Pemahaman bahasa berubah ketika kita memahami kebudayaan, dan kita dapat mendalami kebudayaan ketika mulai belajar bahasa. Hal itu memikat saya. Bagi saya, belajar bahasa Indonesia layaknya menyelami dunia yang tidak diketahui, di mana terkadang orang-orang menangkap maksud yang sama sekali bertentangan dengan apa yang coba saya ungkapkan. Saya mungkin sempat merasa disorientasi dan frustrasi. Saya mencoba mengamati dalam diam, mengingat lagi bagaimana seorang teman "bule" saya pernah berkata bahwa dalam bahasa Indonesia, seperti kebanyakan bahasa Asia lainnya, struktur frasanya berkebalikan dengan bahasa kita.


22

Saya ternyata sering mengawali kalimat dengan ekspresi yang biasanya digunakan orang Indonesia justru untuk mengakhiri kalimat... dan orang Indonesia biasanya menyampaikan pesan yang paling penting terlebih dahulu. Tidak heran saya sering mengalami kesalahpahaman. Sementara itu, intonasi dan volume suara saat berbicara menggunakan logika yang sama: terdapat penekanan pada inti pesan dan disesuaikan dengan perasaan yang ingin disampaikan. Terkadang, ada ekspresi yang dalam bahasa Indonesia dapat disampaikan hanya dengan satu kata dan intonasi tertentu, sementara dalam bahasa Inggris, Portugis, dan khususnya Prancis, perlu satu kalimat panjang yang rumit. Sering kali saya menemukan bahwa di ujung kalimat, biasanya dengan intonasi dan volume yang nyaris tidak kentara (bahkan kadang tidak ada), barulah diketahui "siapa" pihak yang dibicarakan dan juga "kapan" itu terjadi. Tiba-tiba informasi tentang waktu yang justru dianggap tidak penting itu malah membuat segalanya jelas. Seketika itu, bahasa "Barat" dan cara kami berbicara selama ini terasa sangat egosentris, terlalu formal, serta mengandung terlalu banyak detail dan aturan... agaknya kebudayaannya pun demikian. Mungkin terdengar klise, tapi saya tiba-tiba merasa sangat "kebarat-baratan". Dalam pengalaman selama tinggal di Indonesia, saya terkadang menemukan karakteristik yang sering kita baca soal "Timur" dan "Barat", sebagaimana dinyatakan oleh antropolog Franck Michel dalam bukunya En Route pour l'Indonésie (Perjalanan ke Indonesia):

“One phrase sums up the orientation of the Western mind: the end justifies the way. Even the horizontal structure of the phrase (subject-verb-complement) runs counter to the Asian way of thinking, a more vertical one: the words can often be interchangeable in a sentence, and here it gives us something like: the way justifies the end…” Beberapa Klise tentang Timur yang Ternyata Benar: Perasaan tentang Menjadi “Barat” Bagian Selatan Selama tinggal di Indonesia, saya menemukan banyak klise yang sepertinya benar terkait dunia "Timur" sebagaimana diungkapkan Michel. Saya merasa orang Indonesia menganggap masa kini lebih penting daripada masa yang akan datang. Mereka lebih mementingkan kualitas dari waktu yang dimiliki ketimbang waktu produktif. Menariknya, waktu produktif tidak diartikan sebagai masa penuh pencapaian dalam tempo yang singkat, melainkan saat di mana "interaction with patience is preferred over action in impatience". Dalam kerja-kerja kolektif keseharian, hal yang lebih penting adalah menghargai satu sama lain, mengambil jeda apabila diperlukan, dan tetap akur. "Slowness is essential, as opposed to urgency and stress..." Yang-batiniah lebih penting daripada yang-duniawi. "Being and knowing as opposed to appearances and haves" dan pada akhirnya "the economy of giving, as opposed to the market economy". Dalam hal keputusasaan dan tuntutan untuk terus bertahan hidup, yang diwarnai dengan kondisi kekurangan dan ketakutan pada dunia Barat, saya merasa bahwa di


23

Indonesia orang-orang bisa lebih hidup meskipun berkekurangan dan sering kali harus benar-benar "bertahan hidup" dalam arti harfiah. 10 tahun lalu, saat pertama kali melakukan perjalanan ke luar negeri, saya terkejut mendengar cerita seorang wanita Prancis yang baru saja kembali dari Brasil. Ia sangat kagum melihat orangPotret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta orang miskin di Brasil bisa terus tertawa dan kelihatan gembira meskipun mereka tidak berkecukupan atau bahkan tidak bisa makan. Saya tertohok saat mendengar bahwa ia merasa hal itu tidak lazim...

Kerajinan dari kolektif swadaya anarko-feminis Yogyakarta, Needle N' Bitch. Dok: Penulis

Saat ini, di Indonesia, saya berjumpa dengan tawa yang serupa. Meskipun Brasil dan Indonesia terpisah separuh lingkar bumi jauhnya, saya juga merasa bahwa kedua negara ini bertemu sebagai negara-negara Selatan. Memang benar bahwa semua tantangan yang harus dihadapi di Indonesia agaknya serupa dengan di Brasil, dengan taraf yang berbeda dan lebih kebaratbaratan (untuk tidak mengatakan "menyerupai Amerika"). Akan tetapi, saya tetap merasa seperti seseorang yang datang dari "Barat", khususnya belakangan ini, setelah saya sadar bahwa tawa orang-orang kecil di Indonesia itu bukan hanya karena mereka


24

orang "Timur", tapi bahkan ada lebih banyak tawa di Indonesia daripada di Brasil akhir-akhir ini. Stage of Hopelessness Saat pertama kali mendengar tema Biennale Jogja tahun ini, saya berpendapat bahwa tema itu tepat menyentuh pokok persoalan yang terjadi di Brasil saat ini, juga di dunia secara umum, termasuk Indonesia. Brasil dan Indonesia punya kemiripan dalam hal sejarah dan aspek-aspek lain. Contoh jelasnya, dalam hal lingkungan, keduanya adalah negara dengan kekayaan alam yang sama besarnya dengan ancaman kehancurannya. Dalam hal budaya—sejauh apa pun budaya dan agama kita berbeda—keduanya adalah negara dengan arus imigrasi yang besar, mengalami masa penjajahan panjang, dan bahkan keduanya pernah dijajah bangsa Portugis (meski di Indonesia lebih singkat). Oleh karena itu, kini kita memiliki keragaman etnis yang luar biasa. Namun, mental "terjajah" juga masih tersisa jejaknya dalam bentuk perasaan inferior dan perjuangan mencari identitas. Dalam bidang politik, kita mengalami kediktatoran militer yang represif sejak pertengahan 1960an hingga 1980an dan bahkan 1990an. Bagi saya, ini adalah alasan utama yang menyebabkan kedua negara tersebut memiliki banyak kemiripan dalam aspek sosial dan ekonomi. Brasil dan Indonesia hingga kini merasakan dampak dari pinjaman dan investasi politik internasional yang diberikan pada masa kediktatoran itu. Kita

harus menanggung utang yang justru menghambat pembangunan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam bidang sosial, kediktatoran itu memberikan pengaruh pola pikir patriarkal dan berpusat pada elite. Pemerintahan semacam itu juga turut memicu berkembangnya cara masyarakat bereaksi, baik terhadap bentuk perlawanan pada ekstremisme sebagai jalan untuk mempertahankan kekuasaan, maupun dengan ketakutan yang diciptakannya di masa lalu. Masih sulit keluar dari jeratan itu. Saat ini, saya bisa merasakan perbedaan setelah 10 tahun dimulainya (kembali) demokratisasi di kedua negara tersebut. Khususnya kondisi Brasil 10 tahun yang lalu. Saat itu orang-orang di Brasil selalu punya energi dan optimisme yang meluapluap, serta berpandangan bahwa masa depan akan penuh dengan harapan dan impian. Tahun 2016, awan kelabu pesimisme telah meliputi Brasil dalam bentuk krisis ekonomi yang menggulung kami. Saat itu, Presiden Dilma, seorang wanita lajang yang di masa mudanya menjadi pejuang anti-kediktatoran garis keras, dimakzulkan atas tuduhan rencana kebohongan dan beraliansi untuk tindak korupsi dengan seorang pria flamboyan yang sudah menikah. Tak jauh dari masamasa itu, saya tiba di Indonesia untuk pertama kalinya. Dan perbedaan suasananya membuat saya merasa hidup kembali. Saya tertegun khususnya ketika mengalami suasana Yogyakarta. Bukan hanya karena segala budaya "ketimuran" itu, namun juga karena ini mengingatkan saya pada situasi yang persis sama dengan Brasil 10 tahun silam.


25

Satu setengah tahun kemudian, segala sesuatunya berubah cepat, dengan kebangkitan ekstremisme di setiap aspek kehidupan masyarakat. Perekonomian Brasil terus menukik turun dengan tindak korupsi pemerintahan Michel Temer yang tidak terbayangkan sebelumnya, kurang lebih bisa disandingkan dengan absurdnya cara Trump memimpin pemerintahan. Di Indonesia, kebangkitan kembali fundamentalisme menyeruak melalui gerakan yang berujung pada penahanan Ahok—politikus Kristen keturunan Tionghoa—yang dilakukan oleh para demonstran berpakaian ala Arab; hal ini mengindikasikan adanya upaya untuk mengetatkan kendali yang bersifat konservatif pada masyarakat. Di Brasil dan Indonesia, "kebutuhan akan ketertiban" yang hadir beriringan dengan kebangkitan ekstremisme di seluruh dunia seperti memunculkan kembali gagasan lama yang salah kaprah bahwa pemberian konsesi kekuasaan pada militer dapat mengatasi kekacauan ini. Kita dibuat percaya pada keamanan "palsu", yang diatur dengan cara yang persis sama untuk memunculkan ketakutan dan perasaan tidak berdaya. Hal ini berisiko menjerumuskan kita dalam jeratan masa lalu yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. Dalam kondisi berusaha mengakhiri kekacauan dan situasi ketidakpastian ini, kita mungkin malah tidak menyadari penangkal untuk keluar dari situasi macam ini, yaitu: menghadapi realitas yang kacau dan tidak pasti ini.

Organizing Chaos “It is my conviction that there is no way to peace - peace is the way.” Thich Nhat Hanh, The Art of Power Ada salah satu klise yang ternyata benar tentang Indonesia dan "Timur" yang saya sukai, yaitu ada keteraturan dalam ketidakteraturan yang kita hidupi ini. Berbeda dengan kondisi dunia "Barat" di mana segala sesuatu tampak teratur padahal sebenarnya berantakan, kekacauan punya peran penting dalam masyarakat di Timur. Saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Cukup mengayuh sepeda di tengah keramaian jalanan Yogyakarta... di antara sepeda motor dan mobil yang menderu. Di tepi-tepi jalan, Anda akan melihat kekacauan yang paling tepat mewakili pernyataan di atas. Ada banyak becak (baik yang dikayuh maupun bermotor), delman, pedagang kaki lima, sepeda, pejalan kaki, sepeda motor berseliweran dari segala arah. Mobil-mobil keluar masuk parkiran, orang menggantikan peran lampu lalu lintas untuk mengatur jalannya kendaraan (biasa disebut "Pak Ogah", red)... tepi-tepi jalan adalah sebuah dunia tersendiri. Di dalam kekacauan ini, orang dapat berbaur dengan mudah dan bersepeda, karena setiap orang sadar dan terbiasa dengan segala kemungkinan datangnya orang atau kendaraan lain dari segala penjuru. Pada hari pertama menyaksikan kesemrawutan jalanan Yogyakarta, saya harus mengumpulkan keberanian dan nekat memenuhi ajakan teman saya untuk


26

bersepeda menuju sebuah acara. Malam harinya, saya bertemu dengan banyak orang yang penuh inspirasi dan energi, orang-orang yang berusaha tidak tunduk pada hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan. Malam itu, saya juga bertemu dengan orang-orang dari Survive! Garage; kini kami tengah mengerjakan sebuah proyek yang akan kami sajikan bersama dalam Parallel Event Biennale Jogja 2017. Setelah meninggalkan Yogyakarta tahun lalu, saya pikir saya tidak akan pernah lagi berani mengendarai sepeda di jalanan kota Brasil yang padat tanpa jalur khusus untuk sepeda... karena di Brasil tidak ada "kekacauan yang nyaman" sebagaimana di pinggir jalan raya Yogyakarta. Tapi nyatanya, sekarang saya malah bersepeda di Brasil. Age of Hope: Berkawan dengan Ketidakpastian Setelah tinggal di Yogyakarta selama tujuh bulan di tahun 2016 dan 2017, semangat yang saya rasakan saat bersepeda itu saya temukan pula dalam kerja-kerja para seniman rebel dan independen di Yogyakarta. Persisnya, hal itulah yang terus mengajak saya untuk kembali ke Indonesia. Mereka masih punya antusiasme dan semangat muda dalam tindakan, ekseperimen, kreativitas, dan keyakinan bahwa—dan mereka benar—segala sesuatunya itu mungkin. Sama seperti bersepeda di jalanan Yogyakarta. Ironisnya, justru di saat terdapat risiko besar bahwa dunia kita hari ini tidak berjalan dengan baik, di sanalah kita dapat

menemukan harapan. Jika masa depan pada awalnya tampak sangat tidak pasti, justru itu berarti segala sesuatunya mungkin terjadi, bahkan lebih baik. Melarikan diri dari kekacauan, atau bersama kekacauan, tidak akan menyelesaikan apa pun. Tindakan semacam itu juga tidak akan mampu menutupi luka-luka kita. Jawabannya akan tiba justru dengan merangkulnya, supaya kita dapat bersama-sama keluar dari situasi itu dengan kondisi lebih kuat, lebih terarah. Sama halnya dalam perjalanan dan dunia ini secara umum, berupaya menemukan keteraturan dalam kekacauan berarti bersikap terbuka pada ketidakpastian. Di titik inilah kita mulai menyingkap dan mengalami hidup serta diri kita yang sesungguhnya, mengupayakan fondasi yang lebih kokoh dan diri yang lebih stabil. Untuk hidup di dunia yang tidak stabil atau sementara, sebagaimana filsafat "Timur" mengingatkan kita tentang esensi dari hidup, manusia harus stabil dalam pikirannya. Dalam hal ini, cara hidup "Timur" mengajarkan banyak hal. Stabil dalam arti terus bergerak, dan khususnya, berusaha keluar dari klasifikasi biner atas segala sesuatu; tidak harus langsung menuju ke titik akhir, ambillah jalan memutar jika diperlukan; selalu berubah dan beradaptasi pada diri dan realitas yang lebih baik. Kita juga bisa berhenti, yang artinya ajek bergerak dalam suatu waktu, tidak menyerah, melainkan bergerak dengan cara yang berbeda. Bahkan kita dapat pula berhenti dari rutinitas dan rehat


27

sejenak dengan bersantai tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, kita pasrah pada kerapuhan. Kita tidak lagi berpikir macam-macam—seperti yang kerap kita lakukan, mendobrak arus kehidupan, memadamkan musik, dan mengayuh sepeda dengan goyah...

Agustus 2017: Bayangbayang masa lalu dalam parade karnaval di Yogyakarta, sebagai bagian dari peringatan kemerdekaan Indonesia. Ke mana kita menuju? Dok: Penulis

Saya masih ingat ketika suatu hari harus menghadiri rapat di bagian utara Yogyakarta, dan diburu waktu karena saya harus bersepeda dari daerah selatan. Maka saya terus mengayuh dengan cepat supaya tidak terlambat. Dalam perjalanan itu, saya merasa sangat efisien, terutama saat menyalip seorang lelaki tua yang mengayuh sepedanya dengan lamban. Lalu lampu lalu lintas menyala merah. Saya harus berhenti dan berhitung sekitar 120 detik—seperti tertera di panel elektronik lampu lalu lintas—hingga kemudian lampunya akan berganti hijau. Sekitar lima detik sebelum


28

kembali mengayuh, lelaki tua tadi lewat menyalip kami semua yang sedang bersiap akan bergerak, tanpa perlu berhenti. 3, 2, 1... dan saya mengayuh lagi dengan persneling tinggi, kembali mendahului pengendara sepeda itu. Paru-paru saya rasanya mau copot. Di perhentian lampu lalu lintas berikutnya, saya melihat lelaki tua itu lagi, dengan anggun bersepeda melewati pengendara lain di tengah persimpangan. Lelaki itu terus mengayuh sementara kami masih berhitung mundur menuju lampu hijau. Tidak jauh dari sana, melintas sebuah mobil yang terlalu besar untuk ruas jalan itu. Saya berhenti karena mobil itu berada tepat di depan saya. Sementara itu, di sebelah saya melihat lelaki tua itu lagi, memutari mobil tersebut lalu kembali bergabung dengan pengendara lainnya. Saya memacu sepeda kencang, sembari terus meyakinkan diri bahwa tentu saja semua usaha saya ini akan ada hasilnya. Pada akhirnya saya melihat lelaki tua itu lagi, tentu saja ia tertinggal jauh di belakang. Beberapa waktu kemudian, tepat ketika saya sedang menunggu lampu hijau sebelum berbelok, lelaki itu muncul lagi... melewati saya dengan tenang, wajah tetap segar, laju yang tetap dan santai, sementara saya? Ngos-ngosan, berkeringat, dan pedih. Saya tertawa. Selayaknya perjalanan hidup, berkunjung ke Indonesia adalah sebuah kesempatan untuk belajar rendah hati, mengendurkan tegangan, tetap termotivasi, dan mengesampingkan ide-ide awal demi bisa tetap bergerak maju. Justru perbedaan inilah yang membuat kita jadi manusia

yang lebih baik dari hari ke hari. Membuka perjumpaan dengan liyan sama artinya dengan (kembali) belajar tentang cara hidup bersama dengan baik. Orang-orang di Indonesia selalu mengajarkan pada saya tentang kualitas dari suatu waktu. Dan saya pulang ke kampung halaman dengan membawa niat untuk membagikan kisah tentang begitu banyak momen menakjubkan bersama mereka. Selepas tinggal dan bekerja di "negara Muslim terbesar di dunia"—seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak—dan di negara "Timur", saya pulang dengan keyakinan pasti bahwa selalu ada harapan dalam setiap manusia. Dan terlepas dari segala keyakinan, budaya, agama, dan perbedaan tersebut, pada akhirnya kita sama, menginginkan hal yang sama: tercipta kedamaian.


29

Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta


30


31

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.