Newsletter edisi 3 Biennale Jogja Equator #2

Page 1

1

Edisi 3, Oktober 2013 Terbitan dwibulanan | GRATIS

BUDAYA BERGERAK


2

PENGANTAR REDAKSI Newsletter The Equator kembali menyapa Anda pada edisi ketiga ini. Kembali kami hadirkan sejumlah artikel yang akan meneruskan perbincangan kita seputar Kawasan Arab, yang menjadi wilayah mitra Biennale Jogja (BJ) XII 2013. Sajian kami kali ini akan sekaligus mengantarkan kita menyambut BJ XII, yang dibuka kurang dari sebulan lagi. Melalui tulisannya, Arie Setyaningrum Pamungkas mengajak kita melihat kembali kebudayaan masyarakat Muslim masa kini, khususnya di Indonesia. Kita kerap menghubungkan Arab dengan Islam. Padahal, keduanya tidak mesti identik, menurut kandidat doktor kajian media dan kebudayaan masyarakat Muslim kontemporer ini. Kurator seni Nat Muller bercerita soal sinema Mesir dan bagaimana citracitranya direproduksi oleh seniman kontemporer Timur Tengah (kami sengaja mempertahankan istilah ‘Timur Tengah’ untuk artikel ini) untuk membicarakan isu-isu sosial dan politik populer. Tiga seniman Timur Tengah yang menggunakan potongan film Mesir sebagai material karya dibahas sebagai contoh. Program residensi seniman BJ XII juga sudah berjalan. Prilla Tania sudah pulang ke Indonesia dari residensinya di Sharjah, Uni Emirat Arab; Salwa Aleryani sudah kembali ke Yaman dari Yogyakarta. Syafiatudina mewawancarai Salwa dan membicarakan refleksinya sebagai seniman residensi di Yogyakarta selama sebulan. Dua seniman Indonesia lain sedang menjalani residensi di Kawasan Arab. Kami tampilkan foto mereka dari sana: Tintin Wulia di Sharjah, U.E.A. dan Duto Hardono di Kairo, Mesir. Seniman selanjutnya, Vincensius Christiawan (Venzha), baru saja berangkat ke Kairo untuk bergabung dengan Duto. BJ XII tidak hanya akan memajang karya-karya seniman Indonesia dan Kawasan Arab, namun juga punya program Parallel Events dan Festival Equator. Farah Wardani membagikan gambaran mengenai Festival Equator, sementara Budi Dharmawan menyampaikan selayang pandang kelompokkelompok partisipan Parallel Events dan kegiatan rancangan mereka. Semua itu kami rangkum di dalam edisi Budaya Bergerak ini. Judul itu kami pinjam dari salah satu mata acara Festival Equator. Mudah-mudahan bacaanbacaan ini dapat memandu perbincangan kita tentang tema dan acara BJ XII. Salam hangat, Redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap dua bulan diterbitkan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org. Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 600 - 800 kata dengan tema terkait hubungan IndonesiaArab dan wacana seputar biennale. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta
 Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Oktober 2013, 1000 exp Penanggung jawab: Yustina Neni Editor: Budi N.D. Dharmawan Editor bahasa: Syafiatudina Editor foto: Akiq A.W. Kontributor: Arie Setyaningrum Pamungkas, Nat Muller, Syafiatudina, Farah Wardani, Budi N.D. Dharmawan Fotografi: Tim fotografi Biennale Jogja Desainer: Anang Saptoto Distribusi: Sekretariat YBY Outlet Penyebaran Jakarta: Ruangrupa, IFI Jakarta, Komunitas Salihara, Dewan Kesenian Jakarta, dia.lo.gue Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Common Room, IFI Bandung, Galeri Soemardja, Tobucil Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI Jogjakarta, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space Surabaya: C2O Denpasar: Taman 65, Kopi Kultur Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615

Masyarakat memadati jalan Malioboro di kawasan Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan anak dari Sri Sultan HB X, 2011 Foto oleh: Hendra Panji Irawan

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


3

Indonesia Encounters The Arab Region 16 November 2013 - 6 Januari 2014 Yogyakarta, Indonesia

@biennalejogja

biennalejogja Agus Suwage, “Social Mirrors #3�, Trumpet, copper, wood and car audio systems, 2013

www.biennalejogja.org/2013


4

Esai

ARAB DAN PENGARUHNYA PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT MUSLIM KONTEMPORER Arie Setyaningrum Pamungkas Sosiolog

Beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan transformasi sosial yang luar biasa melalui proses Islamisasi, yang memengaruhi landskap kebudayaan di Indonesia. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa masyarakat Muslim Indonesia mulai mengadopsi identitas yang identik dengan simbol kebudayaan ‘Arab.’ Proses tersebut berlangsung secara masif dan mengalami percepatan, khususnya pada masa Reformasi, ketika simbol-simbol identitas keislaman tersebut dikomodifikasikan secara massal, sehingga menciptakan pasar baru. Kontestasi atas klaim ‘Islam yang otentik’ terjadi melalui pencitraan dan konsumsi itemitem yang diklaim sebagai wujud kesalehan sosial (public piety) masyarakat Muslim yang ingin mempraktekkan Islam secara ‘kaffah’ (menyeluruh atau total). Kebudayaan masyarakat Muslim (saya lebih suka menyebutnya demikian ketimbang ‘kebudayaan Islam,’ yang tidaklah identik dengan Arab) dan kebudayaan Arab tidak selalu serta-merta berkaitan dengan Islam. Talal Asad (2009), antropolog terkemuka di dalam kajian kebudayaan masyarakat Muslim, menjelaskan

bahwa untuk mengkaji kebudayaan masyarakat Muslim harus disertai pemahaman basis teologi Islam. Menurut Asad, secara teologis Islam adalah ‘satu’ kesatuan entitas. Pada dasarnya, semua Muslim, baik bermazhab Sunni atau Syiah, memiliki dasar fundamen keimanan yang sama, yakni 5 pilar rukun Islam: menyatakan syahadat keimanan pada Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya, menunaikan shalat, memberi zakat, menjalankan puasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji jika mampu. Sejarah perkembangan Islam selama beberapa abad sepeninggal Nabi Muhammad dan persebarannya ke berbagai wilayah, khususnya yang memiliki pre-existing culture, membentuk keragaman ekspresi keislaman kaum Muslim di berbagai penjuru dunia. Oleh sebab itu, pengertian atas ‘kebudayaan masyarakat Muslim’ lebih mewakili sebuah perspektif yang multidimensional, multikultural, dan bahkan pluralis (Gabrielle Marranci, 2008). Sebagian besar publik mengasumsikan bahwa ‘Arab’ identik dengan ‘Islam’ dan sebaliknya.


5

Kiri: Karavan peziarah di Ramleh, karya Yahya Ibn Mahmud al-Wasiti (1236–1237 M) Sumber: http://en.wikipedia. org/wiki/File:Yahyâ_ibn_ Mahmûd_al-Wâsitî_005.jpg Kanan: Khusraw menemukan Shirin sedang mandi di sebuah kolam, karya Nizami (pertengahan abad ke-16 M) Sumber: http://en.wikipedia. org/wiki/File:Nizami_-_ Khusraw_discovers_Shirin_ bathing_in_a_pool.jpg

Asumsi ini tidak sepenuhnya keliru, meskipun merupakan generalisasi yang agak menyesatkan. Kita menyaksikan bahwa ekspresi budaya masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia saat ini, mengalami kecenderungan terhomogenisasi. Sejak dua dekade lalu, muncul anggapan bahwa pengaruh Islam pada kebudayaan lokal, misalnya yang sudah berlangsung beberapa abad di Jawa, tidaklah mewakili ekspresi keislaman yang ‘murni atau otentik.’ Ini mendorong sebagian besar Muslim di Indonesia untuk meninggalkan ekspresi kebudayaan lama di dalam kehidupan sehari-hari mereka, dengan motivasi untuk ‘berislam’ dengan lebih benar. Asumsi bahwa Islam kini identik dengan ‘Arab’ juga terjadi karena persepsi publik tentang representasi kebudayaan Arab cenderung didominasi oleh metafora kepentingan ‘Arab’ untuk mengislamisasi Indonesia. Publik lalu meniru apa yang selama ini muncul, terutama yang secara retoris dan visual dianggap mewakili kebudayaan Arab. Salah satunya adalah representasi bahwa Arab kontemporer identik dengan pembatasan ekspresi-ekspresi visual. Benarkah demikian? Pemahaman yang generalistis semacam itu muncul di dalam benak kita (negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia) karena kita hanya mengenal ‘Arab’ melalui apa yang kita saksikan dan mendominasi memori kita tentang budaya Arab kini. Pengetahuan tentang sejarah kebudayaan masyarakat Arab yang beragam, termasuk pertautannya dengan Islam selama beberapa abad, seakanakan lenyap atau tak pernah hadir. Arab, sebagaimana juga Indonesia, adalah masyarakat yang beragam dan masih terus mencari identitasnya sebagai ‘bangsa Arab.’ Sejak runtuhnya Dinasti Ottoman (kekhalifan Islam terakhir), yang menguasai Jazirah Arab hampir seabad lalu, pertarungan ideologi keislaman bermunculan—yang sebelumnya memang sudah mengalami kontestasi di kalangan sebagian masyarakat Arab. Pada saat bersamaan, kontestasi politik berbasis nasionalisme sekuler juga memengaruhi bentuk tatanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya bangsa Arab.


6

Kekosongan pengetahuan kita misalnya bisa saya gambarkan melalui pengalaman saya menyaksikan jejak pertautan kebudayaan Arab yang beragam, ketika mengunjungi museum-museum seni Islam di beberapa kota di Eropa selama masa studi doktoral saya. Saya takjub menyaksikan beragam ekspresi visual kebudayaan Arab, berupa peninggalan dari masa dinasti-dinasti kekhalifan Islam yang pengaruh kekuasaannya bahkan sampai ke Eropa. Ketakjuban itu semakin menggelora ketika saya menjelajahi dokumentasi manuskrip-manuskrip kuno yang penuh dengan gambar-gambar mengenai narasi kebudayaan masyarakat Arab, bahkan yang mewakili narasi jauh sebelum persebaran Islam. Pengetahuan ini tidak pernah saya peroleh sebelumnya dan sangat mengesankan, serta memengaruhi minat dan gairah studi saya untuk mengeksplorasi ‘visualisasi’ di dalam tradisi Islam dan kebudayaan masyarakat Muslim. Pada Oktober 2011 saya menemani beberapa tokoh publik Indonesia, beberapa tokoh pemimpin dan ulama Muslim serta rohaniwan Katolik dan Kristen Protestan, di Berlin. Mereka datang atas undangan pemerintah Jerman untuk dialog antariman. Di sana, kami berkunjung ke Islamic Art Museum Pergamon, bersama beberapa staf KBRI Berlin. Ada kejadian yang menggelitik saya tentang betapa ‘kosongnya’ pengetahuan kita tentang keragaman masyarakat Arab. Seorang staf museum, perempuan Jerman bergelar doktor bidang sastra Arab, sedang menjelaskan tentang sebuah artefak berupa dinding rumah kaum Kristen Allepo di Suriah pada abad ke-16. Dinding itu terbuat dari kayu, dengan ukiran bermotif floral, binatang, dan manusia, disertai kaligrafi Arab. Pada bagian muka pintu rumah ada tulisan “Assalammu’alaikum wa rahmatullah’I wabbarakatuh” dan “Bismillah ir Rahman ir Rahim.” Seorang staf KBRI yang kebetulan Muslim dan bisa membaca tulisan Arab (sebagaimana sebagian

besar Muslim Indonesia, yang bisa membaca dan atau menulis huruf Arab untuk melafalkan kitab suci Al Quran, tetapi kurang mengerti bahasa Arab) terkejut dan menanyakan keasliannya. Staf museum itu tersenyum dan memastikan artefak itu authentic, lalu menjelaskan pentingnya bagi orang-orang Kristen di Allepo pada masa Kekaisaran Ottoman untuk menempatkan simbol Islam pada muka pintu rumah mereka. Pertanyaan tentang cultural authenticity atau semacam itu acapkali mengisi ruang bawah sadar kita. Pengetahuan tentang representasi Arab yang beragam tidak selalu bisa kita peroleh hanya dengan menelusuri jejak masa lalu sejarah budaya bangsa Arab. Pengetahuan mengenai keragaman budaya Arab bahkan juga bisa diamati melalui sejarah diaspora bangsa Arab di luar Jazirah Arab. Di Indonesia, misalnya, kedatangan bangsa (etnis) Arab sejak berabad yang lalu memang dimovitasi oleh persebaran Islam melalui misi perdagangan dan pendidikan, yang memperoleh puncaknya justru di masa pemerintahan kolonial Belanda, pada abad ke-18 dan 19 (Michael Laffan, 2003). Migrasi etnis Arab ke Asia Tenggara, yang dikenal sebagai keturunan Hadrami, bahkan mengalami pembauran dengan kebudayaan lokal, termasuk di Indonesia. Diaspora bangsa-bangsa Arab, khususnya pascakolonialisme dan pasca-Perang Dunia II, ke Eropa dan mayoritas masyarakat Barat di luar Eropa (seperti ke Amerika Serikat, Australia, bahkan ke Amerika Latin) juga menarik untuk diamati. Dibandingkan diaspora bangsa Arab ke Indonesia, misalnya, yang cenderung didominasi oleh salah satunya misi penyebaran Islam, diaspora bangsa Arab ke ‘pusat’ peradaban modern bangsa-bangsa Eropa jauh lebih beragam, baik secara kesukuan, latar belakang kepercayaan, bahkan afiliasi politik mereka. Pertanyaan mengenai otentisitas kebudayaan bukan hanya menghantui para spectators (penyaksi atau penonton) kebudayaan Arab, melainkan juga menghantui benak orang-orang Arab diaspora. Menurut penelitian Engseng Ho


7

“Dibandingkan diaspora bangsa Arab ke Indonesia yang didominasi misi penyebaran Islam, diaspora bangsa Arab ke Eropa lebih beragam secara kesukuan, kepercayaan, bahkan politik.” (2006), kaum Hadrami Indonesia kini berusaha menelusuri kembali jejak otentisitas identitas kebudayaan nenek moyang mereka. Mereka berusaha membangun koneksi dengan tanah asal mereka, Hadramaut di Yaman, dan meningkatkan pertautan kebudayaan. Generasi kedua dan ketiga imigran-imigran Arab di Eropa juga mengalami proses yang hampir serupa. Mereka berusaha untuk mencari ‘tempat’ di mana kontestasi identitas kekinian mereka dibenturkan dengan sejarah masa lalu mereka. Hal ini khususnya dipicu peristiwa 11 September 2001, yang mempengaruhi konstelasi politik dan interaksi bangsa Arab diaspora khususnya di Eropa (dan atau Barat). Pengetahuan mengenai keragaman budaya Arab khususnya yang diperoleh melalui peran gerakan diasporik (diasporic movement) memberi kita gambaran lain mengenai ‘budaya Arab’ dari yang diwakili secara mainstream melalui media. Pengetahuan mengenai dinamika budaya kontemporer yang berlangsung di Jazirah Arab juga penting untuk mengetahui bagaimana kontestasi identitas bangsa Arab berlangsung di tanahnya sendiri. Kontestasi ini bukanlah suatu proses yang berlangsung secara tunggal. Hegemoni kekuatan budaya kelompok atau bahkan suku yang dominan saat ini tentu memengaruhi proses tersebut. Demikianlah sedikit gambaran mengenai betapa beragamnya ‘Arab,’ baik sebagai sebuah entitas kebudayaan yang terus bergerak maupun sebagai

sebuah ‘bangsa’ yang mempengaruhi kebudayaan lain, termasuk Indonesia. Pengetahuan semacam ini membantu menjelaskan kepada kita tentang klaim yang mengadopsi identitas budaya yang dianggap sebagai ‘Islam Otentik.’ Islam tidak melulu identik dengan Arab, begitu pula sebaliknya. Berlin, 20 Desember 2012 Arie Setyaningrum Pamungkas adalah sosiolog UGM yang mengkaji kebudayaan, kandidat doktor di bidang kajian media dan kebudayaan masyarakat Muslim kontemporer di Institute for Asian and African Studies, Humboldt University, Berlin. Minat kajian berikutnya adalah pada ekspresi visual kebudayaan masyarakat Muslim kontemporer khususnya di Indonesia dalam bingkai kontestasi ideologi Islamisme dan pasca-Islamisme. Referensi Utama: Asad, Talal (2009). The Idea of an Athropology of Islam. Qui Parle Vol. 17 No. 2 Brenner, Suzanne (2011). Public Moralities in the Public Sphere: Democratization, Islam, and Gender in Indonesia. American Athropologist 113 (3) Ho, Engseng (2006). The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley: University of Californian Press. Kailani, Najib (2010). ‘Muslimizing Indonesia Youths: The Tarbiyah Moral and Cultural Movement in Contemporary Indonesia’, in Medinier Remy, 2010 (ed), Islam and the 2009 Indonesians Election, Political and Cultural Issues: The Case of Prosperous Justice Party (PKS). Bangkok: IRASEC. Kuiper, Kathleen (2010). Islamic Art, Literature and Culture. New York: Encyclopedia Brittanica. Laffan, Michael (2003). Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds. London: Routledge Curzor. Marranci, Gabrielle (2008). The Anthropology of Islam. London, New York: Berg.


8

Salwa Aleryani bekerja di Langgeng Art Foundation saat menjalani residensi di Yogyakarta. Foto: Arief Sukardono/Dok. BJ XII

BERJALAN DAN BERGERAK DENGAN TANAH: WAWANCARA DENGAN SALWA ALERYANI Syafiatudina


9

Sebelum masa residensinya berakhir, Syafiatudina berbicara dengan Salwa Aleryani, seniman asal Yaman, mengenai salah satu karya yang akan ditampilkan di Biennale Jogja XII dan refleksinya selama tinggal di Yogyakarta. Kita berada di ruang kerjamu. Bisakah kamu sedikit bercerita tentang karya yang sedang kamu kerjakan? Sebetulnya ini ruang galeri di Langgeng Art Foundation, namun di sini saya sedang mengerjakan sebuah karya yang merupakan kreasi ulang dari karya lain. Pertama dibuat akhir 2011. Ini adalah penutup got yang dibuat dari karpet dan tanah. Karya ini meniru bentuk penutup got dengan menggunakan tanah gembur. Saya membuat cetakan dan memakainya untuk mencetak tanah sehingga berbentuk menyerupai penutup got. Seperti membuat istana pasir. Karya ini merupakan bagian dari suatu gagasan besar. Saya selalu tertarik dengan pertanyaan, apa artinya merasa berada di rumah di tengah ruang publik. Saya mulai menelusuri makna rumah itu sendiri. Inilah salah satu karya di mana penutup got yang biasanya ada di luar dibawa ke dalam ruangan. Ini adalah penutup got yang biasa ada di Yaman atau.... Bukan. Soal ukuran, ini ukuran standar penutup got di seluruh dunia. Pada 1960-an dan 70-an, banyak penutup got besi dibuat oleh pabrik lokal. Dahulu mereka punya motif lokal. Kini penutup got diproduksi di pabrik yang lebih besar dan bentuknya menjadi serupa. Saya mencoba membuat motif ini untuk mengenang praktik pembuatan masa lampau dengan membuatnya lebih berlanggam. Apakah karya ini mudah dipindahkan? Tidak, tidak mudah. Dan itu juga satu hal yang menjadi pikiran saya ketika mengerjakan karya ini. Besi sendiri sulit dipindahkan karena sangat berat.

Jadi, karya ini meniru sifat besi. ‘Penutup got’ ini sulit dipindahkan bukan karena berat, melainkan karena rapuh. Saya pikir banyak karya yang saya buat sekarang tidak mudah dipindahkan. Ini tidak saya rencanakan sejak awal. Akhir-akhir ini saya cenderung tertarik dengan bentuk yang tidak mudah dipindahkan dan bentuk ini cocok dengan topik bahasan yang saya gunakan. Di dalam sebuah perbincangan, seseorang pernah bertanya bagaimana saya memindahkan karya ini. Pada saat itu, saya tidak berpameran secara internasional. Saya selalu berpameran di mana saya berada, jadi saya bisa memberikan perhatian lebih atau menciptakan ulang karya saya sendiri. Akan tetapi, kegelisahan ini muncul di dalam pikiran saya belum lama ini, mungkin baru tahun lalu. Saya masih belum tahu apakah kegelisahan ini akan mengubah cara saya mendekati atau mengolah sesuatu supaya menghasilkan bentuk yang bertahan lebih lama. Juga karena pada Biennale ini kamu tidak akan hadir sebelum dan selama pameran. Iya, dan hal ini telah terbukti menjadi masalah. Karena kebanyakan karya yang saya buat selama saya tinggal di sini merupakan karya yang perlu dibuat dan diciptakan pada saat itu juga oleh saya sendiri. Jadi saya tidak tahu apakah ini adalah bagian dari kegagalan saya menyesuaikan diri pada kondisi bahwa saya tidak akan berada di sini. Saya juga tidak mau membuat rencana sebelumnya. Jadi, inilah saat pertanyaan semacam itu muncul. Apakah kamu akan kemudian memutuskan membuat karya tertentu yang dapat menyesuaikan kondisi ini? Atau apakah kamu akan menciptakan kondisi ini dan melewati berbagai proses agar membuatnya terlaksana? Itu semua sangat tergantung. Di dalam presentasimu, kamu menunjukkan ketertarikan pada jalan raya yang saya pikir sangat berhubungan dengan tema kuratorial Biennale Jogja XII, yaitu mobilitas. Saya ingin


10

bicara lebih jauh soal jalan raya sebagai tema dan menghubungkannya dengan film yang kamu tunjukkan di dalam presentasimu. Katakanlah hal pertama yang memancing pertanyaan soal jalan raya adalah film ini. Hal pertama yang menarik dari film ini adalah cara Pasolini merekamnya. Ada banyak simbolisme. Dia berjalan melewati orang-orang yang menyiapkan dan membangun jalan raya. Ada bagian di mana mereka bernyanyi dan berbaring di jalan itu. Maknanya simbolis sekali, di samping aspek fungsionalnya. Setelah itu dia merekam sepatu orang-orang ini. Lalu dia merekam jendela; jendela pajangan toko dengan berbagai benda di dalamnya, seperti sepatu dan buncis kalengan. Dengan ini dia membahas apa arti jalan raya bagi Yaman. Akankah Yaman dihancurkan oleh modernitas dan kapitalisme? Bagi saya, selain bahwa hal ini sangat berkaitan dengan diskusi, saya melihatnya sebagai acuan visual. Namun demikian, film itu juga mengingatkan saya tentang hal lain. Tumbuh di Sana’a yang dahulu tidak diaspal seperti sekarang, saya ingat ketika bermain bola, anakanak saling berbagi informasi soal jalan mana yang akan diaspal. Sering terjadi pengaspalan. Itu melambangkan gagasan tentang masa depan. Saya tidak yakin gagasan macam apa itu. Sebagai anak kecil, saya ingat kesukaan saya pada aspal yang segar, bersih, dan hitam. Orang-orang meninggalkan jejak kaki mereka pada aspal itu, karena masih basah. Jadi, saya kira hubungan dengan jalan raya ada tiga tingkatan. Pertama adalah film itu yang menggambarkan masa lalu yang tidak saya alami. Sejak akhir 1960-an hingga awal 70-an. Kedua adalah awal 1990-an yang saya alami ketika masih kecil. Ketiga adalah sekarang, beberapa dekade setelahnya, saat banyak jalan raya rusak karena jarang atau tidak dirawat. Situasi sekarang dan juga hubungannya dengan ingatan masa lalu saya tentang jalan raya. Waktu saya masih kecil, pembangunan jalan raya dilakukan bersamaan dengan saat Yaman selatan dan utara bersatu.

Jadi ada banyak harapan. Dan di dalam film, jalan raya dibangun setelah jatuhnya kerajaan. Sekarang, janji untuk memperbaiki jalan ini telah menjadi retorika mengenai perubahan setelah 2011. Kembali ke film, saya bisa menghubungkan banyak acuan visual lain yang masih relevan sekarang. Seperti bingkai rekaman sepatu yang dikaitkan dengan hubungan kita dengan jalan raya yang kita lewati. Dan juga hubungan kita saat mengebut melewatinya. Apa hubungan kecepatan dengan pengalaman kita tentang kota; tentang ruang? Apa artinya berdiri di tanah yang rata dan yang tidak? Apa artinya terhadap hubunganmu dengan tanah? Di dalam Biennale ini, kita mencoba berhubungan dengan kawasan lain. Adalah sangat menggoda untuk melihat berapa banyak kemiripan yang kita punya. Khususnya dengan banyaknya saluran informasi seperti internet. Akan tetapi, dengan kehadiranmu di sini, dan sekarang kita mengobrol, saya jadi bertanyatanya seberapa jauh yang saya tahu, tidak hanya soal Yaman, namun juga tentang diri kita sendiri. Saya kira itu sulit sekali. Itu butuh kepekaan dan pemahaman tertentu. Bahkan untuk saya yang ada di sini, pemahaman saya tentang masyarakat di sini sangat terbatas. Untuk lebih memahami saya perlu tinggal di sini lebih lama. Tidak menggunakan ‘penyaring’ seperti asisten, staf Biennale. Agar dapat berinteraksi dengan orang yang berbeda dan mengunjungi kota-kota lain. Saya tidak bilang semua orang harus ahli di dalam suatu bidang, tetapi lebih baik kita punya pemahaman yang lebih tentang bagaimana halhal berlangsung di dalam konteks lokal. Mudah sekali bagi kita untuk menemukan hal-hal di sini yang mirip dengan di Yaman. Namun demikian, saya pikir lebih penting untuk memperhatikan nuansa yang berbeda yang masih dirasa penting. Kita selalu mencari kemiripan, yang tentunya baik, namun perbedaan juga penting untuk membangun pemahaman.


Wawancara dengan Equator

REPETISI NIRMASA: IKONO-POP DAN SINEMA MESIR DI DALAM SENI KONTEMPORER DARI TIMUR TENGAH Nat Muller Kurator independen

Maha Maamoun, “Domestic Tourism II� (2005)

Bagi seniman kontemporer dari Timur Tengah, sinema Mesir merupakan piala harta karun citra ikonografis dan referensi populer: dari ikon layar Mesir Soad Hosni dan piramida yang senantiasa telegenik, sampai adegan kekerasan polisi di dalam film-film laga. Film Mesir adalah materi sumber utama untuk mempertanyakan isu-isu budaya populer dan visual, historiografi, narasi dan representasi, juga isu-isu sosial dan politik.

11


12

Sejak 1930-an, ditandai berdirinya Studio Misr pada 1935, hingga 1990-an industri film Mesir tiada tandingnya di Kawasan Arab. Studio Misr merupakan studio film lengkap pertama di Afrika dan Timur Tengah. Sejak 1940-an Studio Misr memproduksi sekitar 50 film setahun dan tetap independen hingga 1960an. Kawasan Arab, atau Timur Tengah dan Afrika Utara, sangatlah heterogen dan beragam di dalam hal etnis, budaya, agama, dan bahasa, namun semua orang tahu film dan bintang film Mesir. Kebanyakan orang Arab mengerti dialek Mesir karena luasnya penyebaran film Mesir. Mesir merupakan pengekspor utama budaya populer di Kawasan Arab. Kini kebanyakan negara punya industri sinema sendiri, dan walau Mesir masih memproduksi film skalanya tidak sebesar 20–30 tahun lalu. Investasi datang dari Kawasan Teluk dengan festival film bergengsi dan anggaran besar dari Qatar dan Uni Emirat Arab. Mungkin kini musik pop dan video klip telah menggantikan sinema sebagai budaya populer.

Raed Yassin, “The New Film� (2008)

Mesir sangat kaya dengan citra ikonografis dan telegenik, yang kerap digunakan sutradara Mesir dan juga Barat di dalam film mereka, sebagai latar belakang atau hiasan, atau referensi sejarah atau acuan yang mudah dikenali. Padang gurun yang luas, gambar-gambar etnografis Kairo dan masyarakatnya, dan tentunya piramida dan benda purbakala lain.


13

“Kawasan Arab sangatlah heterogen dan beragam di dalam hal etnis, budaya, agama, dah bahasa, namun semua orang tahu film dan bintang film Mesir. Kebanyakan orang Arab mengerti dialek Mesir.� Kadang merupakan perjuangan bagi seniman visual kontemporer di Mesir untuk melepaskan diri dari beban ikonografi Mesir dan bagaimana Mesir telah digambarkan sepanjang sejarah di dalam fotografi, film, dan medium lain. Banyak seniman kontemporer Mesir yang aktif secara internasional ingin menghindari budaya visual Mesir Kuno, yang telah banyak dipakai, juga ikonografi dan bahasa gambar masa lampau, yang kerap terasa klise dan norak. Salah satu strategi untuk memisahkan diri dari ikonografi dominan ini adalah melawan api dengan api, dengan cara memberi ikonografi alternatif dari sejarah melalui budaya populer. Berikut akan dibahas tiga contoh seniman yang mengambil sinema populer Mesir sebagai titik tolak mereka. Dengan menyunting potonganpotongan film temuan, mereka membangun narasi alternatif dan mempertanyakan serangkaian isu terkait konteks sosial politik, penulisan dan penyampaian sejarah, serta representasinya kemudian. Mereka juga menelaah bagaimana citra dan bentuk imajiner yang mana dapat menciptakan atau menolak adegan filmis tertentu. Perlu juga disebutkan, ketiga seniman yang akan dibahas mengambil sumber material film dari VHS dan VCD. Kebanyakan adalah film sebelum 2000. Dengan menggunakan teknologi ini, mereka memasukkan tidak hanya estetika gambar yang kasar, namun juga daya tarik populer dan nilai ekonomis budaya film di Mesir, sebagai sesuatu

yang dapat digandakan, dibagikan, diedarkan, dan disebarkan lagi dan lagi. Dengan hanya menggunakan material gambar yang dikenali penonton Mesir dan Arab, para seniman ini menggarisbawahi bagaimana objek film ini telah menjadi bagian dari ranah umum. Bahkan gambar yang kasar dan buruk kualitasnya itu membuatnya terasa asli, selain juga menunjukkan masa pakai film VHS dan VCD tersebut. Banyak film Mesir telah hilang karena tidak dikonservasi. Saat VHS dan VCD tidak lagi dipakai, film-film ini akan hilang selamanya. Seniman Mesir Maha Maamoun dikenal luas khususnya karena karya fotografinya dan ketertarikannya pada ikonografi pariwisata. Di dalam karyanya, dia melihat bagaimana Kairo selalu direpresentasikan dengan cara yang sangat generik: perahu layar di Sungai Nil, piramida, sphinx, Pasar Khan Khalili, dan tempat-tempat ikonis lain. Di dalam “Domestic Tourism II� (2008) Maha memusatkan perhatiannya pada citra-citra yang paling terkenal dan ikonografis: Piramida Giza. Videonya merupakan ikhtisar cuplikan film-film Mesir yang menggunakan Piramida Giza sebagai latar belakang. Di dalam banyak film Barat, Piramida digambarkan dikelilingi gurun luas dan hampa, jauh dari pembangunan urban. Di dalam film Mesir, Piramida sering difungsikan sebagai perumpamaan, metafora, tentang bagaimana Mesir bergulat di antara masa lalu dan daya modernitas.


14

Maha mengambil materialnya dari lebih dari seratus film dan videonya memiliki struktur waktu berputar—atau bak piramida: mulai dengan filmfilm baru dari tahun 2000, lalu mundur teratur ke 1990-an, 80-an, 70-an, 60-an, 50-an, dan maju kembali secara urut ke 1960-an, 70-an, 80-an, 90-an, 2000. Maha memutuskan membuat titik awalnya sebagai titik akhir karena tidak mau memitoskan periode mana pun dari sejarah kontemporer Mesir. Seniman video dan pembuat film Lebanon Rania Stephan tertarik dengan sejarah film di Kawasan Arab. Proyeknya yang telah memenangi penghargaan, “The Three Disappearances of Soad Hosni” (2011) bekerja pada dua tataran paralel. Video ini mengenang Soad Hosni, diva sinema Mesir sejak 1959 hingga 1991, dan juga sejarah perfilman Mesir. Soad Hosni membuat lebih dari 80 film selama lebih dari 30 tahun karirnya. Karya Rania merupakan biografi sang aktris misterius, yang pada 2001 melemparkan diri dari jendela kamar hotelnya di London; Rania menuturkan kisah hidup Soad melalui filmnya. Pada saat yang sama film dokumenter eksperimental ini juga mengisahkan sejarah perfilman Mesir, sejak masa keemasannya hingga kematiannya, dengan hanya menggunakan potongan VHS film-film Soad Hosni. Di dalam karyanya, Rania mengajukan pertanyaan fundamental sinema: kapankah fiksi sinematis menjadi dapat dipercaya dan meyakinkan. Kapankah kita dapat menghentikan ketidakpercayaan kita dan membenamkan diri di dalam sebuah narasi. Apakah Soad Hosni yang ditunjukkan Rania merupakan Soad Hosni yang sesungguhnya? Atau apakah Soad Hosni memang cuma ‘hidup’ di dalam film-filmnya? Rania berpendapat, kita hanya bisa mengenal Soad melalui film-filmnya. Struktur film Rania mengikuti struktur Tragedi Yunani, dengan prolog, tiga adegan, dan epilog. Bagian awal menunjukkan Soad muda yang kekanakan, ikon sekular rezim baru Nasser pada 1950-an dan 60-an. Ini adalah masa keemasan

perfilman Mesir. Banyak film masa ini seperti Bildungsroman atau pembentukan seorang bintang. Pembentukan Mesir. Pada adegan kedua, Soad telah menjadi diva: wanita sensual, dewi yang menginspirasi, dengan banyak adegan percintaan yang vulgar—yang di Mesir masa kini tidak mungkin lolos sensor. Pada adegan terakhir, kita melihat Soad yang lebih tua. Ini adalah film-film dari 1970-an dan 80-an. Film-film masa ini mengangkat soal kekerasan, kesakitan, drama, kehilangan, penolakan, pengkhianatan, dan akhirnya kematian. Film-film ini juga melambangkan matinya perfilman Mesir karena negara berhenti mendanainya, juga korupsi dan mengerasnya masyarakat Mesir akibat neo-liberalisme. Hadirnya saluran televisi satelit dan berkembangnya fundamentalisme Islam juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap memburuknya perfilman Mesir. Di dalam karyanya, seniman Lebanon Raed Yassin kerap mereferensikan budaya pop dan film Mesir. Bagi Raed, budaya pop menawarkan kepada kita gambaran dinamika sosial dan politik suatu masa. Karyanya mengundang kita untuk merangkul budaya pop Arab, khususnya Mesir, dan menghargai kekayaannya. Di Kawasan Arab, budaya pop—film atau musik—dianggap shaabi, berselera rendah, vulgar, klas rendah, biasa. Raed ingin mengubah itu dengan membuatnya jadi fokus praktik keseniannya. Untuk proyeknya “The New Film” (2008) Raed menyunting adegan-adegan film Mesir dari 1980-an dan 90-an (genre realisme baru), yang sepenuhnya bertempat di kantor polisi atau instansi pemerintah, di dalam sebuah rangkaian. Latar ruang kantor yang tertutup dan generik ini melambangkan Mesir yang tertutup, di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan biasa dilakukan polisi dan penguasa. Di dalam setiap kantor ada satu penanda yang konstan: potret Presiden Hosni Mubarak di dinding. Tentu kemunculan Mubarak yang


15

“Lookout into the dessert, Egypt, ca. 1920” Foto oleh Lehnert & Landrock.

terus-menerus, mengawasi setiap adegan, ini sangat simbolis. Suara latar yang dimasukkan Raed ke dalam film ini adalah lagu yang dibawakan oleh penyanyi shaabi—populer—Shaaban Abdel Rahim, yang terkenal karena liriknya yang politis: sangat anti-Israel, anti-Amerika, namun pro-Mubarak. Akan tetapi, video Raed juga bermuatan hiburan komikal: dia mengulangulang latar kantor tertutup lagi dan lagi. Kantor menjadi simbol administrasi kediktatoran di mana selama lebih dari 30 tahun segalanya diulangi lagi dan lagi. Kemandekan politik dan sosial, setidaknya hingga 2011. Itulah mengapa judul Raed “The New Film” sangat ironis: sesungguhnya tidak ada hal baru sama sekali. Apa yang ditunjukkan karya Raed, Rania, dan Maha kepada kita adalah bahwa film Mesir, secara gaya dan tema, merupakan termometer yang baik untuk mengukur suhu politik dan sosial atas apa yang terjadi di Mesir. Dengan menyunting material dari sumber-sumber cuplikan temuan dengan cara-cara tertentu yang mereka miliki, para seniman ini menunjukkan bahwa di samping skenario film, masih ada banyak inang narasi yang dapat digali dari film-film ini. Nat Muller adalah kurator dan kritikus independen berbasis di Rotterdam. Ketertarikan utamanya termasuk perpotongan estetika, media, dan politik; seni media dan seni kontemporer dari dan di Timur Tengah. Kerap berkontribusi untuk sejumlah terbitan seni, Nat juga telah menulis banyak esai untuk katalog dan pameran tunggal seniman dari Timur Tengah. Tulisan ini dicuplik dari presentasi Nat Muller di Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta, 6 September 2013.


16

FESTIVAL EQUATOR: PERSEMBAHAN BIENNALE JOGJA XII UNTUK MASYARAKAT JOGJA KINI Farah Wardani Direktur Artistik BJ XII Equator #2


17

Biennale Jogja (BJ) telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan seni dan budaya di kota Yogyakarta, sejak pertama dicetuskan pada 1988, dan merupakan ajang seni rupa kota yang bisa dikatakan paling konsisten di Indonesia. Acara ini telah menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta, sebagai salah satu ajang yang paling mewakili keunikan karakteristik dunia seni rupa di kota ini dan secara tak langsung juga merefleksikan perkembangan masyarakatnya. Festival Equator adalah satu bagian integral dari Biennale Jogja sejak memulai platform Equator dengan BJ XI 2011, dan akan diteruskan pada BJ XII tahun ini. Posisi Festival Equator (FE) dalam BJ tidak semata sebagai program pengiring belaka, tetapi merupakan program pendukung yang sangat penting untuk mengukuhkan BJ sebagai sebuah hajatan publik yang digagas masyarakat seni dengan mengajak keterlibatan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat di dalam hal ini bukan saja sebagai konsumen atau penonton tapi juga partisipan, dan Festival ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi inisiatif-inisiatif komunitas serta publik untuk saling berinteraksi dan bertemu.

KOTA CINTA Bollywood KM 0, Tari massal, 25 Desember 2011, Koreografi oleh Alicia Kasih (Jakarta Broadway Team). KOTA CINTA adalah bagian dari Festival Equator BJ XI. Foto: Dokumentasi BJ XI

Hal tersebut sudah direalisasikan pada FE dua tahun lalu yang ditangani oleh sutradara teater Joned Suryatmoko, dengan mengadakan serangkaian program lokakarya dan proyek interaktif bersama sejumlah anak sekolah dan warga di empat kabupaten di Yogyakarta, mengembangkan tema religiositas yang diusung BJ XI 2011. Karena BJ XII punya premis kuratorial pertemuan seniman Indonesia– Arab, maka Festival Equator pun menyelaraskan tema-tema programnya dengan itu. Premis pertemuan Indonesia–Arab ini diharapkan untuk bisa hadir di dalam rangkaian program FE pada berbagai tingkatan, mulai dari menghibur, produktif, eksperimental, sampai edukatif. Bagaimana pun, pengembangan program FE tidak sekadar ‘merayakan’ atau menggunakan tema tersebut sebagai ‘tempelan’ semata. Tujuan FE adalah: 1) Memberikan wawasan pengetahuan yang beragam dan mendalam tentang hubungan Indonesia–Arab selama ini dengan cara-cara yang kreatif; 2) Menjadi ajang pertemuan dan interaksi berbagai komunitas yang terkait, serta mengakomodasi inisiatif mereka secara relevan dan kondusif, tanpa terjebak menjadi ajang kontestasi atau propaganda agama/ideologi atau kepentingan politik; dan 3) Menghadirkan cara-cara baru menghadirkan isu hubungan Indonesia–Arab yang diharapkan memberi pemikiran dan ruang dialog bagi masyarakat. Dengan sejumlah tujuan tersebut, FE berusaha menghadirkan cara-cara baru mengakomodasi inisiatif-inisiatif ini, terutama untuk menghindari reproduksi cara-cara yang sudah ada—misal memindahkan acara-acara pesantren ke FE atau seperti menjadi Festival Istiqlal. Isu Islam jelas menjadi bagian yang lekat dari hubungan Arab–Indonesia, namun diharapkan FE dapat menghadirkan berbagai dimensi lain dari identitas Arab, Arab–Indonesia, atau Islam–Indonesia. Berbeda dari dua tahun lalu, FE BJ XII tahun ini tidak mengambil wilayah empat kabupaten tetapi memfokuskan pada dua titik wilayah di Yogyakarta, yaitu pesisir dan sentral – yang dimanifestasikan dengan dua bagian utama:


18

Upacara Kembul Sewu Sedulur di Bendung Kayangan, Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto: Dokumentasi BJ XI

Proyek Khusus Festival Equator dan Festival Budaya Bergerak. Proyek Khusus FE mengambil lokasi di satu bagian wilayah D.I. Yogyakarta yang jauh dari pusat, yaitu Pasar Glagah, Kulonprogo. Di sana akan diadakan serangkaian kerja kreatif oleh kelompok Ketjil Bergerak dengan warga dan pelaku pasar yang mengeksplorasi relasi pengetahuan Arab窶的ndonesia dari sisi ilmu astronomi. Proyek Khusus FE ini juga ingin melibatkan sejumlah seniman dari kawasan Arab yang dijadwalkan melakukan residensi setelah pembukaan BJ, sebagai kolaborator. Hasil dari proyek ini akan dipamerkan di dalam Festival Budaya Bergerak BJ XII, sebuah hajatan keluarga yang mencakup berbagai acara kesenian dan edukasi, diselenggarakan pada akhir Desember 2013 di Plaza Ngasem, Jeron Beteng. Seiring dengan itu, FE juga mencakup serangkaian fringe programs, yang menitikberatkan kolaborasi dengan sejumlah inisiatif dan komunitas seni di Yogyakarta yang mewakili berbagai dimensi dunia kreatif saat ini. Serangkaian program tersebut adalah: Lomba Komik BJ XII bekerjasama dengan DGTMB Award (Komunitas Dagingtumbuh), yang dimulai awal Oktober ini; pemutaran film dan seminar bersama Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), 2-7 Desember; dan kompetisi blog kreatif bersama LIR Shop, yang akan dijalankan selama BJ XII berlangsung. Jadi, banyak sekali yang bisa dilakukan di BJ XII saat ini, tidak hanya menjadi penonton. Kami tunggu Anda bergabung!


19

PARALLEL EVENTS BIENNALE JOGJA XII Budi N.D. Dharmawan

Program Parallel Events (PE) kembali hadir pada perhelatan Biennale Jogja (BJ) XII kali ini, mendampingi program utama pameran karya para seniman dari Indonesia dan Kawasan Arab yang telah dipilih oleh tim kurator. Seperti PE BJ XI 2011 lalu, tim PE BJ XII kembali mengundang kelompok dan komunitas untuk menggagas acara lintas keilmuan untuk merespon tema yang disodorkan oleh tim kurator BJ XII. Bentuk acara yang diajukan para peserta PE pun beragam, dari penelitian, pameran, diskusi, lokakarya, seminar, dan pemutaran film.

Dokumentasi proses kerja KNYT SOMNIA

Dari sejumlah proposal yang diterima, panitia memilih 13 kelompok untuk berpartisipasi di dalam program PE BJ XII. Ketiga belas kelompok ini telah mengikuti serangkaian lokakarya bersama tim PE untuk mematangkan rencana


20

kegiatan masing-masing. Ketiga belas kelompok tersebut adalah: Colliq Pujie, DEKA-EXI(S), Habitus Ainun, O2, Hide Project Indonesia, KNYT SOMNIA, Kandang Jaran, Insignia Indonesia, Kelompok Belajar 345, PEREKs, Paguyuban Kali Jawi dan Arkom Jogja, Kaneman, serta Makcik Project. Seperti disebut di atas, masing-masing kelompok diharuskan merancang acara lintas keilmuan dengan melibatkan seniman, ilmuwan, dan masyarakat. Makcik Project misalnya, merupakan kelompok yang terdiri dari seniman, peneliti, dan penulis. Di dalam proyeknya, kelompok ini berproses bersama komunitas waria Yogyakarta, agar dapat menjadi bagian dari masyarakat; melebur tanpa perlu dikhususkan. Kelompok O2, contoh lain, terdiri dari fotografer, pelukis, ekonom, dan arsitek. Mereka tertarik dengan isu-isu budaya masyarakat yang spesifik, untuk menggali keunikan budaya lokal dan mengolahnya melalui medium seni rupa. Dengan topik potret masyarakat Muslim di Gunung Kidul, kelompok ini merencanakan antara lain kegiatan penelitian, dokumentasi, serta presentasi temuan dan karya. Lain lagi kelompok DEKA-EXI(S), yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Mengajak beberapa rekan dari luar bidang seni rupa, kelompok ini menggarap proyek tentang kaum Arab Pasar Kliwon, yang merupakan komunitas warga keturunan Arab Indonesia terbesar di Surakarta. Hasil kerja mereka akan dipresentasikan di dalam kegiatan pameran, pertunjukan, dan instalasi.

Kiri: Dokumentasi proses kerja KNYT SOMNIA Tengah: Dokumentasi proses kerja Makcik Project Kanan: Dokumentasi proses kerja Colliq Pujie

Di dalam proyeknya, kelompok Insignia Indonesia ingin melakukan perluasan ide, proses, distribusi, dan konsumsi seni melalui kolaborasi penciptaan di antara seniman, ilmuwan berbagai bidang, dan masyarakat. Bentuk kegiatan yang mereka rencanakan di antaranya kolaborasi penciptaan karya dan pameran di ruang terbuka. Tidak kalah menarik, kelompok Colliq Pujie di dalam proyeknya mengangkat soal aksara variasi Arab yang digunakan di Sulawesi Selatan. Kelompok diskusi


21

“Dan kamu tidak akan tahu Aku mungkin saja bertemu dengan beberapa perempuan kampung yang baik” Pemutaran film asing dengan teks bahasa sehari-hari waria. Dokumentasi proses kerja Makcik Project

independen seni dan budaya yang anggotanya terdiri dari mahasiswa berbagai kampus, baik berasal dari Sulawesi Selatan maupun daerah lain ini akan memaparkan temuan-temuannya melalui lokakarya, pameran, dan pertunjukan seni. Bagaimana masyarakat Indonesia memandang Arab menjadi fokus proyek yang digagas oleh kelompok Habitus Ainun. Kelompok mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM ini ingin membuat konstruksi baru tentang asumsi kita soal Arab, sehingga perbincangan kita soal Arab tidak berhenti pada Islam dan unta. “Serat Menak” menjadi topik yang digarap oleh Kelompok Kaneman. Kisah “Serat Menak” disadur dari kitab Qissai Emr Hamza, karya sastra Persia pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766–809). Kisah “Serat Menak” masih dipentaskan sebagai pertunjukan wayang orang di Desa Tutup Ngisor, Magelang. Hide Project Indonesia akan mengetengahkan persoalan modal kapital yang kini sudah bergerak melintasi batas geografis negara. Kelompok ini ingin menciptakan suasana membaca informasi yang tidak lazim dan menyampaikan bahwa sering kali, uanglah penggerak utama di dalam dinamika politik dan sosial. Kelompok Belajar 345, yang terdiri dari mahasiswa berbagai disiplin ilmu, tertarik dengan pertemuan Islam formal dengan budaya populer dan budaya lokal di Yogyakarta. Mereka ingin meneliti bagaimana pertemuan ini kemudian mewujud sebagai produk budaya yang material (memiliki bentuk). Demikianlah beberapa gambaran kegiatan kelompok-kelompok yang berpartisipasi di dalam program PE BJ XII. Gelaran kegiatan para partisipan PE ini nantinya akan dinilai oleh tim juri yang ditunjuk oleh panitia PE BJ XII. Seluruh kegiatan PE akan dilaksanakan sepanjang masa perhelatan BJ XII, yaitu selama November 2013 hingga Januari 2014.


22

Berita Equator

DAFTAR SENIMAN BIENNALE JOGJA XII Ahmed Mater (SAU) Agung Kurniawan (IDN), Agus Suwage (IDN) Asuncion Molinos (ESP) Ayman Yousri (PSE) Basim Magdy (EGY) Dina Danish (EGY) Duto Hardono (IDN) Eko Nugroho (IDN) FX Harsono (IDN) Handiwirman Saputra (IDN) Hassan Khan (EGY) HONF (IDN) Jasmina Metwaly (EGY) Leonardiansyah Allenda (IDN) Magdi Mostafa (EGY) Mobius (ARE) Mohamed Abdelkarim (EGY)

Nasir Nasrallah (ARE) Otty Widasari (IDN) Pius Sigit Kuncoro (IDN) Prilla Tania (IDN) Radhika Khimji (OMN) Restu Ratnaningtyas (IDN) Reza Afisina (IDN) Salwa Aleryani (YEM) Samuel Indratma (IDN) Syagini Ratna Wulan (IDN) Take to The Sea (EGY/ITA) Tintin Wulia (IDN) Tiong Ang (NLD) Tisna Sanjaya (IDN) UBIK (IND) Ugo Untoro (IDN) Venzha Christiawan (IDN) Wael Shawky (EGY)


23

KABAR RESIDENSI DAN PERTUKARAN SENIMAN Atas, kiri dan tengah: Dok. Tintin Wulia Atas kanan: Tintin Wulia berfoto bersama Khalid Almikdadi, Ayad Alqaragholi, dan Mahmoud Aboud, dok. Ayad Alqaragholi Deret bawah:Aktivitas Duto Hardono di Kairo, dok. Adam Sam (relawan BJ XII di Kairo)

Platform residensi dan pertukaran seniman merupakan hal baru yang dilakukan di dalam Biennale Jogja kali ini. Pada Agustus 2013, BJ XII mengirim seniman Indonesia Prilla Tania ke Sharjah, Uni Emirat Arab, dan mendatangkan seniman Yaman Salwa Aleryani ke Yogyakarta. Pada September 2013, dua lagi seniman Indonesia dikirim untuk residensi di Kawasan Arab: Tintin Wulia ke Sharjah, U.E.A. dan Duto Hardono ke Kairo, Mesir. Venzha Christiawan dari Indonesia awal Oktober ini berangkat ke Kairo untuk bergabung dengan Duto, sementara di Yogyakarta kami masih menunggu dua seniman dari Kawasan Arab yang akan segera datang: Dina Danish dari Mesir dan Ahmed Mater dari Arab Saudi. Berikut ini beberapa foto dari residensi Tintin di Sharjah dan Duto di Kairo.


24

Organizer

Main Supporter

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

Official Partner

Partner Venue

Supporter

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Partner media


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.