
2 minute read
Pentigraf, Sagara
Surya Bukan Cahaya Melainkan Bahaya
Penulis: Hilwa Raisa (VIII F)
Advertisement
Tidak ada yang lebih manis untuk dilihat dari wajah tampan Surya. Sesuai namanya, Ia bukan cahaya yang menyinari, namun bagiku, ia adalah bahaya yang mengitari. Mungkin ini membingungkan, tetapi di balik pernyataan di atas ada suatu alasan yang kubilang aneh dan mungkin . . . sia-sia. Di sinilah aku, di depan laptop sembari terpaku menulis cerita ini. Membuat paragraf-paragraf yang menurutku seperti naik rollercoaster pakai daster. Baiklah, pasti kalian ingin tahu siapa itu aku. Atau malah ingin tahu siapa itu Surya? Perkenalkan namaku Aisa. Aku juga akan mengenalkan sahabatku, Litha. Di sini kami berdua menjadi tokoh. Sebenarnya Surya juga tokoh, tetapi aku anggap sementara Surya akan menjadi laki-laki yang biasanya didambakan siswi di sekolah. Namun ini agak berbeda, karena Surya tidak terkenal di sekolah. Aku dan Litha mengenalnya dengan cara yang beda, aku mengenalnya karena aku disuruh guru untuk memanggil siswa yang bernama Surya, sementara Litha mengenalnya karena mereka sama-sama anak basket. Aku dan Litha berdua sama, bersahabat. Kami berdua sama, sama-sama menyukai Surya. Intinya kami berdua kompak menyukai dan membahas segala tentang Surya. Tidak ada yang lebih kecil dari tahi lalat di atas bibir milik Surya. Bagiku itu lucu, atau biasanya aku dan Litha menyebutnya chococips mini. Kemarin Surya memberi kode bahwa ia menyukaiku di aplikasi berbasis internet. Aku otomatis senang dan terkejut, aku jadi teringat Litha. “Oiya, Tha! Kemarin Surya ngode gue kalau dia suka sama gue!” seruku senang. Aurel lantas ikut teriak, “Wah! Serius lo? Cie, Aisa!” kekehnya. Aku hanya bisa menahan semburat merah di pipi agar tidak merona karena malu. Litha lantas kembali diam, menatap ponselnya tidak fokus. “Tha, gue suka sama Surya bukan masalah hati kayak lo. Gue suka Surya karena dia lucu, itu aja, dan gue ngerti rasa suka lo ke Surya lebih besar dibandingkan rasa gue ke dia, Tha,” ucapku merasa bersalah karena membahas hal tersebut. Litha refleks terkekeh sembari menggeleng kuat. “Apaan, biasa aja kali. ‘Kan Surya cokiber, Sa. Gue seneng buat lo, selamat!” ucapnya terus tertawa. Aku semakin bingung, cokiber? “Cowok kita bersama, Sa. Kudet lo,” sahut Litha lagi. Sementara aku hanya bisa tertawa geli. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mengetahui bahwa Surya masuk sekolah hari ini. “Kantin, yuk? Siapa tau ketemu Surya. ” Litha tertawa. Kemudian aku menurut saja, kami berdua keluar kelas di jam istirahat ini, berharap akan berpapasan dengan Surya. Dan, jebret! Itu dia Surya sedang duduk di lapangan basket. “Itu, Sa! Itu Surya!” teriak Litha lantang. Astaga, mungkin Litha lupa dan tidak sadar saking ia terlalu senang. Akibatnya, Surya menoleh dan menghampiri kami berdua. Aku dan Litha hanya bisa mematung di tempat. Surya tersenyum menatapku sebelum berucap, “Pagi menjelang siang, Aisa. Mau ke kantin, ya?” sapanya . . . padaku. Sebelum menjawabnya, aku masih menunggu untuk ia menyapa Litha yang masih termangu di sampingku. “Aisa? Kok diem? Ayo ke kantin bareng,” sambung Surya lagi. Baik, Litha terlihat pecah sekarang. Surya seolah tidak melihat kehadiran orang yang tulus menyukainya. Beberapa detik setelah hening di antara kami bertiga, Litha meninggalkan aku dan Surya. Aku yakin Litha merasa cemburu dan sakit hati. Inilah yang aku bilang Surya bahaya, bahaya yang mengitari persahabatanku dengan Litha. 32

