6 minute read

Perbedaan Di Atas Keyakinan

tertentu, mengerjakan tugas serta belajar untuk materi yang akan diajarkan esok hari. Ini sangat penting, Apabila anda tidak bisa membuat prioritas belajar, maka anda akan keteteran dalam belajar, baik di sekolah atau pun di rumah. Dengan membuat dan memberikan prioritas pada pelajaran yang anda kurang kuasai, anda akan semakin mudah mengerti materi yang sedang anda prioritaskan untuk dikuasai, Anda juga bisa membuat jam tertentu untuk berlatih belajar dan lakukanlah kegiatan tersebut pada jam yang ditentukan. 4) Posisi Belajar: Pastinya hal tersebut sangan berperan bagi anda karena biasanya beberapa orang memiliki posisi belajar yang berbeda- beda misalnya, sambil tiduran dan adapula yang belajar di meja belajar dengan tenang.

Advertisement

Karena hal itu anda harus memperhatikan posisi anda saat belajar.

Karena posisi yang baik akan menghilangkan rasa malas saat belajar meski hal tersebut bekerja secara bertahap 5) Tindakan: Hal tersebut harus wajib dilakukan karena hal tersebut sangat berperan besar bagi anda, jika hal

tersebut tidak dilakukan pastinya ke 4 hal yang lain tidak akan bisa menghilangkan rasa malas saat belajar. Cara untuk mengatasi rasa malas adalah dengan melakukan langkah kecil. Bila anda melakukan tindakan, meski pun itu tindakan yang sangat kecil. Bila terus dilakukan secara terus menerus maka, perlahan tapi pasti anda akan memiliki kebiasaan untuk belajar dan disiplin yang baik.

Dengan begitu, anda bisa mengatasi kebiasaan malas belajar dalam diri anda.

Beberapa cara diatas tentunya bisa mengatasi rasa malas saat belajar. Simpulannya adalah rasa malas yang sering dijumpai para siswa saat belajar tersebut bisa dihilangkan dengan beberapa cara diatas dan yang bisa mengatasinya hanya orang itu sendiri serta tekad yang keras untuk memerangi rasa malas tersebut.

Judul : Maryam Penulis : Okky Madasari Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Februari 2012 Tebal : 275 hlm

Setelah tahun 2011 lalu masuk sebagai finalis 5 besar Khatulistiwa Literary Award akhirnya di tahun 2012 ini Okky Madasari penulis muda asal Magetan, Jawa Timur berhasil memenangkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012 dengan novelnya yang berjudul Maryam. Dewan Juri KLA 2012 memilih Maryam sebagai pemenang dengan pertimbangan sebagai berikut: Novel ini berhasil mengangkat masalah kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah dari hiruk-pikuk berita media dan kontroversi di sekitarnya ke tingkat yang berbeda. Ia menjadi kritik terhadap penindasan yang dilakukan pihak yang kuat terhadap yang lemah atas nama agama ( Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2012) Dalam novel ketiganya ini Okky mengangkat kisah Maryam, seorang perempuan penganut Ahmadiyah asal Lombok dengan kisah cintanya termasuk diskriminasi dan penderitaan yang dialami keluarganya karena terusir dari kampung halamannya sendiri karena berbeda keyakinan

Di novel ini dikisahkan bagaimana sebenarnya pengikut Ahmadiyah yang diwakili oleh keluarga Maryam sebenarnya telah sejak lama berbaur dengan masyarakat, hidup berdampingan dengan kaum muslim lainnya tibatiba saja menjadi kaum yang terusir sehingga mereka harus meninggalkan rumah yang telah mereka miliki selama puluhan tahun. Sejak kecil sebenarnya Maryam mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda antara kepercayaan yang dianut keluarganya dengan kaum muslim umumnya. Ia menyadari bahwa kaumnya memiliki masjid sendiri dan pengajian sendiri yang secara rutin dilakukan oleh kaum Ahmadiyah. Ketika beranjak dewasa Maryam semakin menyadari keeksklusifan kaumnya setelah ia menerima wejangan bahwa kelak ia harus menikah dengan sesama kaum Ahmadi. Awalnya hal itu bukan masalah bagi Maryam karena ia memang sedang menjalin hubungan dengan Gamal, yang juga penganut Ahmadi, sayangnya kisah cintanya kandas setelah kekasihnya ini berpindah keyakinan dan menyatakan bahwa segala sesuatu yang diyakini oleh keluarga mereka adalah sesat. Putus dari Gamal tak membuat Maryam terpuruk, ia melanjutkan hidupnya, lulus sekolah ia bekerja di Jakarta dan memiliki karir

yang cukup baik. Ia memiliki kekasih yang baru, Alam, yang bukan seorang Ahmadi. Hubungan ini tentu saja tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun Maryam tidak peduli, ia memilih jalan hidupnya sendiri. Maryam meninggalkan keluarganya. Keluarga Alam sendiri tidak keberatan kalau anaknya menikah dengan Maryam dengan syarat Maryam bersedia menginggalkan keyakinannya. Maryam akhirnya memilih meninggalkan keyakinannya agar dapat menikah dengan Alam, sayangnya pernikahan ini tidak berjalan mulus. Maryam yang tidak kunjung memiliki anak sering dikaitkaitkan oleh mertuanya yang meganggap itu adalah hukuman akibat kepercayaan yang pernah dianutnya. Maryam akhirnya tidak tahan dan memilih bercerai dan kembali kepada orang tuanya di Lombok. Sayangnya setiba di kampung halamannya, ia tidak menemukan dimana keluarganya berada karena keluarganya telah diusir oleh penduduk setempat karena keyakinan yang dianutnya. Dimana keluarganya berada? Dengan disertai rasa bersalahnya karena selama ini ia telah meninggalkan keluarganya Maryam bertekad untuk mencari dimana keluarganya berada. Novel ini merupakan karya ketiga dari Oky Madasari setelah Entrok dan 86. Seperti kedua novel sebelumnya novel ketiga ini mengangkat realitas sosial yang hidup di masyarakat kecil yang tertindas. Dalam Maryam Okky dengan berani mengangkat tema sensitif tentang perbedaan keyakinan yang beberapa tahun belakangan ini menjadi sorotan pemberitaan media yaitu soal kekerasan yang menimpa kaum Ahmadiya.

Berdasarkan risetnya inilah Okky berhasil menulis novel Maryam plus CD yang berisi lagu-lagu karyanya sendiri. Karenanya tak heran novel ini tampak begitu membumi, ditulis dengan kalimatkalimat sederhana tanpa harus kehilangan esensi dari apa yang hendak diangkat penulisnya. Okky juga berhasil mengetengahkan karakter dan perasaan Maryam secara kuat melalui kisah cintanya, pengorbanannya, dan konflik yang dihadapinya karena perbedaan keyakinan. Sayangnya Okky tampak kurang mendramatisir beberapa peristiwa yang sesungguhnya bisa membuat novel ini lebih dramatik lagi sehingga dapat meninggalkan kesan yang lebih mendalam lagi bagi pembacanya. Novel ini tidak menjelaskan apa itu Ahmadiyah dengan ajarannya namun ia mengangkat sisi manusiawi dari kaum Ahmadiyah yang meruapakan salah satu kaum yang terpinggirkan dan kerap mengalami aniaya baik secara sosial maupun fisik. Novel yang dibungkus dalam kisah personal tentang cinta dan hubungan Maryam dengan keluarganya ini membuka mata hati kita tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang memiliki lambang burung Garuda yang

Untuk menguatkan kisahnya kabarnya penulis melakukan riset mendalam selama 6 bulan di Lombok termasuk mendatangi lokasi pengungsian kaum Ahmadiyah di Gedung Transito dan wawancara dengan orang-orang Ahmadi yang rumahnya dirusak massa.

gagah yang sedang mencengkram semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sumbangan terbesar novel ini pada kita semua adalah bagaimana melalui novel ini kita dapat melihat sisi manusiawi kaum Ahmadiyah dari sudut pandang para Ahmadi yang walaupun dikucilkan, bahkan dianiaya sedemikian rupa namun mereka tetap memegang teguh kepercayaan mereka. Dengan bijak Okky tidak menyimpulkan benar atau salahnya ajaran ini, novel ini juga bukan novel pembelaan terhadap kaum Ahmadiyah melainkan novel yang membuat pembacanya melihat sisi lain dari apa yang sering kita baca dan saksikan di berbagai media tentang Ahmadiyah. Melalui novel ini Okky seakan hendak menyuarakan kaum yang selama ini tidak mampu bersuara karena dianggap sesat sehingga keadilan bukan hak mereka. Bukan menyuarakan ajaran mereka melainkan menyuarakan ketidakadilan dan derita dari mereka yang tertindas. Tidak hanya bagi kaum Ahmadiyah melainkan bagi mereka yang tersisihkan karena perbedaan keyakinan. Sebagai sebuah novel yang mengangkat tema ketidakadilan novel ini ditutup dengan sebuah surat permohonan yang menggugah yang ditulis Maryam untuk para penguasa “Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. Kami hanya mohon keadilan. Sampai kapan kami harus menunggu?” Okky Madasari, pemenang KLA 2012 kategori Prosa saat memberikan sambutan di malam Anugerah Khatlusitiwa Literary Award ke 12 20112012 di Plaza Senayan, 29 November 2012

This article is from: