Aceh Economic Review Edisi III Juli - September 2016

Page 36

Nanggroe

TERAMPIL LEWAT ROTAN

T

angan perempuan itu begitu cekatan mengait belahan rotan dari satu sisi ke sisi lainnya. Seperti menganyam tikar. Namun ia bukan sedang mengayam tikar. Ia menyusun rotan – rotan itu begitu rapi untuk dijadikan tudung saji. Dari tangan perempuan itu sudah ratusan tudung saji berhasil dibuatnya. Inilah perkerjaan Mariana sehari-hari. Disela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, ia menghabiskan waktu untuk membuat berbagai kerajinan dari bahan baku rotan. Pekerjaan ini sudah ia geluti sejak masih kecil. Ibunyalah yang mewariskan keahlian itu. “Sudah zaman nenek kami dulu melakukan pekerjaan ini,” ujar Mariana sore itu memperlihatkan tudung saji yang sedang dibuatnya. Di Desa Kuh, Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar ini, kebanyakan ibuibu membuat kerajinan tangan berbahan rotan. Bahkan beberapa rumah penduduk terlihat ibu-ibu berkelompok melakukan pekerjaan yang sudah turun-temurun ini. Mereka membuka usaha kecil – kecilan dengan menganyam rotan menjadi perabot rumah tangga. Dari rotan tersebut mereka bukan hanya bisa menghasilkan tudung saji saja. Namun berbagai macam bentuk lainnya juga bisa mereka ciptakan. Seperti guci, keranjang, raga parcel, vas bunga, topi, aga boh labu, dan beberapa bentuk lainnya yang merupakan keperluan sehari – hari. Mariana mengakui, dalam satu hari ia bisa menghasilkan dua hingga tiga buah tudung saji ukuran besar. “Kadang sehari siap satu,” jelas perempuan beranak dua ini. Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga membuatnya harus berbagi waktu, antara ‘mengurus; rotan dengan mengurus rumah. Pun begitu perempuan berusia 35 tahun ini sangat senang diajak bicara mengenai kerajinan rotan. “Kebanyakan ibu-ibu di sini belajar sama saya,” ujarnya.

36

Mardiana juga pernah diundang oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal untuk mengajarkan cara membuat kerajinan berbahan rotan kepada perempuan di desa lain. “Kalau sekarang mau saja, tetapi waktu sangat terbatas.” Ujarnya lagi. Bahkan satu bulan lalu ia mengajarkan mahasiswa yang sedang ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desanya. Rotan – rotan tersebut ia beli dari daerah Leupung dan Gurah. Bila dari kedua daerah itu juga tak tersedia ia terpaksa membeli dari pasar, meski dengan harga sedikit lebih mahal. Rotan kering dijual dengan harga Rp. 8.000 per kilo. Nah untuk membuat satu tudung saji ukuran besar diperlukan tiga kilo. Mariana sendiri tak pernah mendapatkan pelatihan bagaimana cara membuat kerajinan dari rotan. Pun begitu, barang-barang yang mereka hasilkan penuh dengan kreasi. Motif yang paling banyak seperti tudung saji motif bunga, bintang lima, enam, dan dua belas. Harganya juga beragam. Mulai Rp. 15 ribu sampai Rp. 100 ribu. Harga disesuaikan dengan besar kecilnya barangnya. Mariana sendiri, sebulan memperoleh pendapatan sekitar Rp. 800 ribu dari penjualan barang kerajinannya. “Kendalanya hanya pada modal, karna untuk memperoleh rotan kering tersebut kami harus membeli dengan harga agak mahal. Kadang rotan kering juga sulit kita dapatkan,” ujarnya. Perabot rumah tangga berbahan rotan hasil olahan Mariana dijual di pasar Aceh. Namun ada juga beberapa perempuan yang menjualnya di pinggir jalan besar. Salah satunya Wardiah. Sore itu saat media ini berkunjung, Wardiah sedang melayani pembeli yang singgah di kiosnya. Tempat ia berjualan sangat sederhana, ukuran hanya dua kali empat meter, atap terbuat dari plastik tenda warna biru sedangkan lantai dari papan, tak ada dinding. Bermacam barang berbahan rotan terdapat di sana.

| ACEH ECON OM IC R E V IE W | E DI S I J UL I - S E P T E MB E R 2 0 1 6 |

“Piyoh, na raga lagak – lagak htat nyoe (mampir, ini ada keranjang bagus – bagus)” Pinta Wardiah kepada setiap orang yang memerhatikan keranjang – keranjang rotan yang ia jajakan tersebut. Berbeda dengan Mariana, perempuan satu ini belum begitu mahir dalam mengolah rotan kering menjadi keranjang dan sebagainya. Wardiah mendapatkan barang – barang hasil rotan ini, dari ibu – ibu pengrajin rotan di desanya. Mengingat keadaan ekonomi keluarganya yang serba kekurangan, Wardiah memberanikan diri membuka usaha rotan ini. Baginya yang tak bisa membuat sendiri rotan – rotan tersebut, untuk mendapatkan barang – barang itu bukanlah hal yang mudah. Untuk mendapat kepercayaan dari orang – orang kampung ia harus memiliki modal awal lebih kurang Rp.1,2 juta. Modal tersebut ia dapatkan dengan meminjam ke kerabat terdekat. Kemudian setelah memiliki sedikit barang yang ingin dijual, barulah ia ajukan pengambilan kredit ke Bank Pengkreditan Rakyat Mustaqim Cabang Lhoknga. Tidaklah banyak keuntungan yang ia dapatkan. Jika ia membeli satu jenis barang dengan harga sekitar Rp. 30 ribu, maka yang ia jual hanya Rp. 60 ribu. Satu bulan ia bisa mendapatkan keuntungan Rp. 500 ribu. Laba tersebut sebagian ia gunakan untuk melunasi biaya kreditnya. Matahri semakin condong ke barat, peluh tampak membasahi wajah Wardiah. Hari itu hanya dua tudung saji yang terjual. Namun, ia tetap setia duduk di tepi jalan itu menunggu pembeli. “Bagaimana tidak setia, tidak ada pencarian lain selain ini. Ke sawah pun kan ada musimnya,” ujar perempuan berusia 32 tahun ini. “ Saya hanya berharap pemerintah bisa membantu memberikan modal usaha. Saya ingin membuka grosir alat-alat rumah tangga dari rotan,” harapnya. [Zulmasry]


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.