Aceh Economic Review Edisi II April - Juni 2017

Page 1

Edisi April - Juni 2017

A Comprehensive In-depth Review of Aceh Economy

PENAS XV 2017

ISSN

2089-4465

9 772089 446550

ACEH SUKSES


Biro Perekonomian Setda Aceh


S a l e um si k a d e R

Drs. Muhammad Raudhi, M.Si (Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh)

Assalamualaikum wr.wb. Pembaca AER yang insya Allah selalu dalam lindungan Allah SWT. Alhamdulillah kita masih diberi kesem­patan untuk bertemu lagi dalam keadaan sehat wal afiat. Sambil menemani kopi pagi Anda, kami kembali menyajikan AER edisi April-Juni 2017. Laporan Utama edisi kali ini mengangkat tema ‘PENAS XV 2017 Aceh Sukses’. Mengingat daya tarik kegiatan berskala internasional yang mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi, rasanya sayang kalau sampai kita lewatkan. Ajang promosi, eksebisi, sekaligus apresiasi petani-nelayan empat tahunan ini telah dilaksanakan

dengan sukses. Hal ini diakui oleh banyak kalangan, tidak hanya dari masyarakat, Pemerintah Pusat, namun yang terpenting juga dari peserta. Sebanyak 35.000 dari 33 provinsi di Indonesia telah hadir ke Aceh pada tanggal 6-11 Mei silam. Kehadiran mereka telah membalikkan stigma negatif tentang Aceh selama ini. “Aceh sangat indah, aman, dan bersahabat,” demikian pengakuan mereka. Kami persilahkan para pembaca yang budi­man untuk mengupas lebih detil pada rubrik Laporan Utama. Pembaca AER yang budiman. Seperti biasa kami tetap menyuguhkan berbagai berita terkait perekonomian di Aceh maupun nasional. Dalam rubrik peluang usaha, kami sajikan liputan tentang usaha perawatan ternak yang mulai menggeliat di Banda Aceh. Juga, kami sajikan liputan tentang kisah seorang pemuda, Afri Wanda (23) namanya. Tidak seperti sarjana kebanyakan, Wanda – panggilannya lebih suka membuka lapangan kerja daripada mencari kerja. Setelah jatuh bangun dalam berbagai usaha, Ia suskses dalam Usaha Bimbingan Belajar. Usahanya baru setahun, namun sudah berhasil membuka dua cabang di Banda Aceh dan Bireuen – tanah kelahirannya dengan 70 orang karyawan. Pada rubrik sosok kami tampilkan Nek Asiah, seorang pengrajin tembikar (tanah liat) dari Desa Deah Tengoh, Meuraksa, Banda Aceh. Pembaca yang budiman, pada edisi kali ini, kami ajak anda jalan-jalan ke Tamiang. Kami sajikan lokasi wisata Sungai Kuala Parit yang sudah sangat popular justru di luar Aceh. Sungai bebatuan raksasa dengan air yang jernih ini sangat cocok pagi penggemar wisata ekstrem. Pembaca yang terhormat. Sebelum menutup sambutan ini, kami kutip kembali apresiasi Presiden Joko Widodo yang menjadi viral di media sosial. “Kalau bukan karena petani yang telah bekerja keras, kita mau makan apa? Kalau bukan karena nelayan, kita mau makan ikan apa? Pesan singkat ini bermakna sangat dalam. Aceh yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan, kiranya masih belum mampu menjadikan petani dan nelayan sebagai warga kelas satu. Padahal, semua kita tahu, kontribusi ekonomi daerah terbesar justru disumbangkan dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, kami menghimbau kepada kita semua, dengan suksesnya PENAS XV 2017 Aceh ini, mari kita wujudkan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia pada umumnya, dan Aceh pada khususnya. . [ ]

REDAKSI

Pelindung : Gubernur dan Sekretaris Daerah Ketua Pengarah : Asisten Keistimewaan Aceh, Pembangunan dan

Ekonomi Aceh Wakil Ketua Pengarah : Drs. Muhammad Raudhi, M.Si

(Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh)

Pemimpin Redaksi : Nurhayati, SE, M.Si

(Kabag. Administrasi Sarana Perekonomian pada Biro Perekonomian) Wakil Pemimpin Redaksi : H. Mulyadi Nurdin, LC, MH (Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh)

Anggota : M. Surya Putra, SE, M.Si

Syarifah Masyitah

Redaktur Pelaksana : Ketua : Aridiansyah Putra, SE Sekretaris : Warda, SE, Ak., MM Anggota : Nurdin, S.Pd

Muhammad Iqbal, S.STP, M.Si

Redaksi :

Ketua : Dian Agusta, S.STP, MA

Sekreataris : Dewi Ertika Pane, S.S

Anggota : Kemalawati, BA

Marzuki, S.Sos Zaldi Akmal, SE, MM Mahdani

Staf Redaksi : Anggota : Zaldi Akmal, SE, MM

Syaiful Ardy

Managing Editor : Suhendra, SE

T. Muda Syurmanshah, SE Dimas Aldrian

Wartawan : Mizla Sadrina, SE., Fauzan, Nazariandi, Mia, Miftah, Nanda, Aidil, Fitri, Jauhar, Febi, Lilis, Zulfurqan.

Redaksi/Kontributor : Jeliteng Pribadi, SE, MM, MA,

Said Muniruddin, SE, MA, Miftachuddin Cut Adek, SE, M.Si,

Kartunis : Deky Konsultan Media : Adi Warsidi, Yoserizal Desain Grafis/Layout : Amir Faisal Alamat Redaksi Kantor Gubernur Aceh, Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Aceh Jln. T. Nyak Arief, No. 219, Banda Aceh. Email: bulletin.aer@gmail.com

Selamat menikmati... Wassalam

Percetakan : PT AMG - Serambi Indonesia (Isi di luar tanggung jawab percetakan)


Daftar Isi

Laporan Utama

 Laporan Utama

6-9 Penas XV 2017 Aceh Sukses 10-11 Upaya Sejahterakan Petani 12-15 Petani Berbagi Kisah dengan Jokowi di Penas KTNA 16-19 Area Geltek Favorit Penas XV 20-23 Dibalik Sukses PENAS XV 2017 Aceh 24-25 Aceh Juara Umum Penas KTNA XV 26 Aceh Tengah Raih Stand Terbaik Penas XV 2017 se- Provinsi Aceh

Hal. 6 Peluang Usaha

 Analisa 27

PENAS dan Dilema Kemiskinan Petani-Nelayan di Aceh

 Lingkungan

28-31 Tatkala Sungai Brayeung Berubah Coklat Kental

Hal. 32

 Peluang Usaha

32-33 Azril, Berbisnis Kacang Tanpa Modal 34-35 Menjamurnya Pet Shop dan Polah Masyarakat 36-37 Wanda, Gigih Buka Lapangan Kerja di Usia Muda

Nanggroe

 Sosok

38-39 Asiah, Pengrajin Beulangong Tanoh Usia Lanjut,Penjaga Warisan Budaya Endatu

 Nanggroe

40 Ekspor Aceh Meningkat, Impor Menurun 41 Meugang, Merawat Tradisi Sultan 42-43 Biro Perekonomian Sosialisasikan dan Bina Pelaksanaan Program Raskin/Rastra Se-Aceh 44 KEK Arun Penggerak Utama Ekonomi Aceh

Hal. 40 Wisata

 Wisata

45-46 Kuala Paret, Surga Tersembunyi di Aceh Tamiang

Hal. 45


Surat Pembaca

Ir. Masnun, MSi | Kepala Dinas Pangan Aceh Saya sudah pernah baca majalah ini. Ini bagus majalahnya. Majalah ini bisa menjadi corong untuk mempublikasikan kerja-kerja pemerintah dan perkembangan pembangunan daerah. Terkait dengan PENAS XV tahun 2017, ini merupakan momentum penting bagi Aceh. Kegiatan empat tahun sekali ini dapat kita jadikan promosi bagi Aceh yang aman, damai dan makmur. Potensi pertanian Aceh sangat besar, namun belum mampu kita optimalkan. Dibandingkan daerah lain, produktifitas pertanian kita di atas rata-rata nasional. Ini saatnya kita membuktikannya. Mari kita sukseskan PENAS XV 2017 untuk mewujudkan kemakmuran petani dan nelayan kita. [jp]

Atik Wijayanti | Presiden Friendship Force Indonesia Wah boleh sekali. Majalahnya bagus. Saya sudah dua kali ke Aceh. Aceh sangat indah. Alamnya sangat kaya, sangat potensial untuk dikembangkan. Terutama potensi pariwisatanya. Saya melihat, objek wisata Aceh sangat indah. Mulai dari Aceh Besar, Banda Aceh, dan Sabang. Hanya perlu pembenahan dari sisi infrastruktur dan manajemen wisatanya. Misalnya di lokasi wisata, fasilitas toilet, kebersihan lokasi, kebersihan makanan dan penginapannya harus memadai. Aceh sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daerah wisata syariah terbaik di Indonesia. Oleh sebab itu, harus ada standarnya. Baik dari hotelnya, restaurannya, makanannya, serta pelayanannya. FFI sendiri merupakan organisasi yang mendorong persahabatan sedunia. Kita mendorong agar terjadi interaksi antar masyarakat dunia. Oleh sebab itu, kita sangat konsen dengan perkembangan kepariwisataan dan budaya. Aceh memiliki potensi yang besar dalam hal ini. [adek]

Akhmad Safiq | Pembina ALPHA-I (Asosiasi Alumni USAID) | Konsultan MCA-Indonesia Wah senang sekali bisa melihat majalah ini. Dari Kantor gubernur Aceh? Ini bagus sekali majalahnya. Majalah seperti ini sangat baik digunakan untuk mempublikasi programprogram pembangunan. ALPHA-I selama ini berusaha melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Majalah ini sangat sesuai dengan misi ALPHA-I untuk membangun masyarakat. Di Aceh kita pernah kerjasama dengan Pemko Banda Aceh pada tahun 2013-2014 membuat workshop penguatan kebijakan anggaran publik. Insya Allah ke depan kita bisa membuat kerjasama lagi dengan Aceh. Karena alumni USAID memiliki latar belakang yang beragam, kita bisa membantu Pemda Aceh untuk berbagai program kegiatan. [zaky]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

5


PENAS XV 2017 ACEH SUKSES

6

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


LAPORAN UTAMA

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

7

Foto : Sie Dok Penas XV


Kehadiran event berskala nasional di Banda Aceh telah mendongkrak motivasi masyarakat Aceh pada khususnya dan petani-nelayan se-Indonesia pada umum­ nya untuk saling berinteraksi, bersinergi dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka perbaikan mutu produksi pertanian dan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang.

Acara Pembukaan Penas XV - Foto : Sie Dok Penas XV

S

Berfoto dengan sapi unggulan pada Ekspo Ternak Penas XV - Foto : Sie Dok Penas XV

etelah sempat diragukan banyak pihak, Pekan Nasional (PENAS) Petani-Nelayan XV di Banda Aceh mencatat sukses besar. Pada­ hal, banyak pihak sebelumnya sempat meragukan kinerja panitia yang dinilai terlalu gemuk. Memang, awalnya terlihat kerja panitia agak lamban. Namun, berkat dukungan dan komitmen yang kuat dari Gubernur dr. Zaini Abdullah, panitia semakin terpicu untuk bekerja lebih keras lagi. Agenda nasional terbesar tahun ini diselenggarakan lima hari penuh pada tanggal 6-11 Mei 2017 di Stadion Harapan Bangsa Banda Aceh. Even Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) ini diikuti lebih 23.000 utusan se-Indonesia. Tak kurang ada 50 kegiatan ditampilkan mulai dari pembukaan oleh Presiden Joko Widodo, penghargaan kepada petani andalan,

8

aneka pameran, unjuk tangkas, gelar teknologi pertanian, hingga temu karya dan temu profesi pertanian. Antusiasme peserta dan warga masya­ rakat Aceh dalam menyambut PENAS XV sangat tinggi. Bahkan sebelum PENAS XV dibuka, ratusan warga dari berbagai daerah kerap mengunjungi dan berfoto di lokasi gelar teknologi (Geltek) yang sudah hijau dengan berbagai jenis tanaman padi, hortikultura, buah-buahan, dan tanaman perkebunan. Antusiasme warga semakin memuncak saat PENAS XV berlangsung. Tenda-tenda pameran, lokasi gelar teknologi pertanian dan pentas hiburan yang ditampilkan selama lima hari lima malam selalu penuh sesak. Setiap harinya, tak kurang 35.000 pengunjung berjejal memadati aneka kegiatan PENAS XV, terutama di waktu sore dan malam hari.

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

Kunci Sukses Keraguan banyak pihak terhadap nasib PENAS XV bukannya tanpa alasan. Panitia Pelaksana di daerah sudah dibentuk melalui SK Gubernur Aceh pada tahun 2016 silam. Namun, hingga berakhirnya tahun 2016, minim sekali capaian kemajuan pekerjaan. Memasuki awal Februari 2017, Ketua Panitia Pelaksana Daerah yang dikomandoi Sekretaris Daerah Aceh Drs. Dermawan, MM baru mulai bergerak. Ini pun digagas oleh Dinas Pangan Aceh selaku Koordinator Bidang Kesekretariatan Panitia Pelaksana Daerah. “Saya melihat teman-teman di dinas lain belum bergerak. Mereka sering bertanya kepada saya, apa yang harus mereka kerjakan. Padahal posisi mereka sama, koordinator bidang juga. Karena posisi saya dalam SK sebagai Sekretaris Panitia, maka mau tak mau saya harus mengerjakan apaapa yang belum dikerjakan,” ujarnya penuh semangat. Maka, Dinas Pangan pun mulai dengan membuat rapat-rapat. Mulai dari rapat bidang, hingga rapat evaluasi dan koordinasi dengan Panitia Penyelenggara Pusat di Jakarta. Dalam rapat evaluasi perdana di Kantor Setda Aceh (31/1) terungkap bahwa persiapan masing-masing bidang yang dikoordinir oleh masing-masing dinas terkait relatif sangat minim. Bahkan ada beberapa pekerjaan di beberapa dinas yang kemajuan pekerjaan­nya masih nol persen. “Kalau ada pertanyaan terkait Penas, ada yang perlu segera diselesaikan, tidak usah sungkan Bapak/Ibu bisa datang langsung ke sekretariat. Kami selalu ada di sini setiap hari hingga malam,” jelas Ir Lukman MSi, mantan Kadis Pangan Aceh dalam suatu rapat antar bidang awal Maret silam. Hal ini dibenarkan oleh Ir. Samadi, staf ahli yang sangat komit demi suksesnya PENAS XV. Senada dengan itu, Ir. T. Hanan, Koordinator Bidang I yang menangani Acara Pembukaan dan Apresiasi juga mengaku serupa. “Sudah beberapa malam terakhir kami selalu pulang sampai pukul 12:00 malam. Menyiapkan laporan dan bahan power point untuk rapat koordinasi dengan Pak Sekda,” paparnya lirih.


Laporan Utama

Kunjungan Gubernur ke Stadion Menjelang Penas - Foto : Sie Dokumentasi Penas XV

Gubernur Sidak Arena Geltek - Foto Sie Dok Penas XV

Rapat Kordinasi dan Inspeksi Mendadak Keraguan masyarakat terhadap jalannya pesta petani-nelayan terbesar tahun ini juga merambat di kalangan pemerintah. Makanya, Sekda meminta agar dijadwalkan rapat reguler panitia setiap Jumat untuk mengetahui kemajuan persiapan PENAS. Dalam rapat koordinasi perdana akhir Januari (31/1) silam, Sekda Aceh Drs. Dermawan MM tampak agak ketus. “Saya berharap gini, kita ini kan hitungan­nya tinggal 3 bulan lagi, Februari, Maret, April. Acara Tanggal berapa? Tanggal 6 Mei. Oleh sebab itu, semua bidang sudah harus selesai pada pertengahan April. Masa tadi ada bidang yang progressnya masih nol persen? Bagaimana itu?,” tanyanya dengan nada tinggi kepada forum. “Saya berharap masing-masing koordi­ nator bidang melaksanakan semua agenda yang sudah dituangkan dalam buku petun­ juk teknis pelaksanaan. Jangan ada lagi yang bertanya di dalam rapat tentang pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya,” pinta Sekda dengan nada ketus. Tak kalah seru, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah juga sangat konsen terhadap kegiatan ini. Itulah sebabnya, Gubernur bela-belain untuk mengunjungi kesiapan Stadion Harapan Bangsa yang akan dijadi­ kan lokasi PENAS XV nantinya. “Usai rapat kemarin (1/2), Abu Doto (panggilan akrab Gubernur-red) langsung mengajak ke stadion. Banyak hal yang beliau sarankan termasuk tentang kebersihan tempat, toilet, penghijauan dan rumput di lapangan. Abu Doto juga meminta agar pemasangan granit tangga dan teras ruang masuk utama VVIP harus selesai minggu depan. Rekanannya meminta kepada saya agar jangan bawa lagi Pak Gubernur

minggu depan karena dia khawatir belum siap, hehehe,” jelas mantan Kadis Pangan Aceh, Ir Lukman MSi sambil terkekeh. Penyegaran Panitia Memasuki bulan Maret, kekhawatiran akan suksesnya PENAS kian memuncak. Pasalnya waktu hanya tersisa dua bulan lagi ketika Gubernur merombak kabinetnya. Yang lebih parah lagi, beberapa pejabat eselon II (setingkat kepala dinas - red) yang menjadi kunci acara PENAS turut diganti. “Bagaimana kerja panitia PENAS seka­ rang ini Pak? Apa ada masalah?, “ tanya salah seorang pejabat yang tidak terkena mutasi kepada Jeliteng Pribadi, Koordinator Bidang Kesekretariatan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) PENAS XV dari Unsyiah. “Biasa saja, tidak ada kendala karena semua agenda kerja sudah dijadwalkan sejak awal. Bahkan kini cenderung lebih bersinergi karena hampir setiap hari ada rapat-rapat koordinasi,” jawabnya. Hal senada juga sempat mencuat di

tingkat pusat. Dalam rapat koordinasi antara Pantia Penyelenggara dengan Panitia Pelaksana Daerah di Kantor Sekre­ tariat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta pada 30 Maret 2017, Momon Rusmono, Sekretariat Panitia Pusat sem­ pat mengkhawatirkan kinerja Panitia Pelak­­ sana Daerah. Momon yang juga merupakan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian berujar, “Kita mengkhawatirkan pergantian Kepala Dinas di Aceh akan mengganggu persiapan pelaksanaan PENAS yang akan datang,” ujarnya lirih. Namun, pernyataan ini langsung di­ sang­gah oleh Kepala Dinas Pangan yang baru saja dilantik, Ir. Masnun, MSi. “Masalah pergantian pejabat Eselon II di Aceh tidak akan mengendurkan semangat kerja panitia pelaksana di daerah, justru akan semakin meningkatkan,” ujarnya dengan penuh semangat. “Sebagian Kepala Dinas yang dilantik bukanlah orang baru dalam kepanitiaan PENAS. Kami sendiri sebelumnya adalah koordinator sekretariat panitia pelaksana. Kami-kami adalah orang yang berada di garis terdepan. Justru kami-kami inilah yang berjibaku selama ini dalam menyukseskan PENAS di lapangan,” tambah mantan Kabag Keamanan Pangan di Dinas Pangan Aceh ini meyakinkan. [AER]

Sekda dan Kadis Pangan di Stand Ternak- Foto : Sie Dok Penas XV | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

9


Nelayan peserta PENAS XV menarik pukat di Gampong Jawa Banda Aceh Foto : Sie Dokumentasi Penas

UPAYA SEJAHTERAKAN PETANI Kunci dari pertanian adalah air. Sehingga saat ini pemerintah sedang membangun 49 waduk besar dari Sabang sampai Merauke. Pembangunannya paling gencar dilakukan di Nusa Tenggara Timur karena tingginya kebutuhan air di sana. Selain itu, membangun 30 ribu embung untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia. Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia)


Laporan Utama

D

alam pembukaan PENAS XV 2017 di Banda Aceh (6/5) lalu, Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah terus berupaya me­ ning­ katkan kesejahteraan petani dan nelayan. Ia mengajak masyarakat untuk mencintai mereka. “Kalau tidak ada petani yang bekerja keras, kita bisa makan apa. Kalau tidak ada nelayan, kita makan ikan apa,” paparnya yang disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin. Tahun ini, Jokowi mengharapkan kita tidak lagi mengimpor jagung. Kondisi per­ tanian Indonesia sanggup memenuhi kebutuhan jagung di Indonesia. Disebutkan bahwa selama periode Jokowi menjabat presiden hingga kini, jumlah impor jagung berhasil ditekan dari 3,6 juta ton menjadi hanya 900 ribu ton per tahunnya. Pengurangan angka impor bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani jagung. Salah satu petani yang naik ke atas panggung menyatakan bahwa produksi jagung dan harganya di beberapa daerah di Indonesia sudah merangkak naik. Harga jagung per kilogram di beberapa daerah bisa mencapai sekitar Rp 3.500 per kilogram. “Harganya mahal, tapi saya senang,” timpal Jokowi. “Jika harga jagungnya baik, maka petani bergairah untuk menanam karena menguntungkan, ” tambahnya Presiden juga memaparkan bahwa kunci dari pertanian adalah air. Sehingga saat ini pemerintah sedang membangun 49 waduk besar dari Sabang sampai

Presiden Joko Widodo mengajak beberapa petani berbincang di atas panggung sesaat sebelum membuka Pekan Nasional (Penas) XV Kontak Tani Nelayan Andalan di Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh, Sabtu (6/5) - Foto: Sie Dok. Penas XV

Merauke. Pembangunannya paling gencar dilakukan di Nusa Tenggara Timur karena tingginya kebutuhan air di sana. Selain itu, membangun 30 ribu embung untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia. ”Saya memerintahkan Mentan dan Mendes untuk bersinergi membangun embung desa di seluruh Indonesia,” ujar Jokowi. Begitu pula dengan perbaikan saluran Irigasi. Presiden menargetkan perbaikan 3 juta saluran irigasi dalam kurun waktu 3 tahun. Jokowi mengharapkan sarana yang

sudah disediakan pemerintah bermanfaat bagi hasil produksi petani. Di bidang komoditas pertanian, Jokowi meminta supaya gubernur dan bupati/walikota memperhatikan tanaman unggulan di daerahnya. Ia mencontohkan tanaman kakao, kopi, dan minyak atsiri. Ketiga komoditas ini memiliki harga dan permintaan tinggi. “Jangan terpaku pada tanaman tertentu saja, kita harus kembangkan dan remajakan komoditas kakao, ujar Jokowi. [Zulfurqan/ Adekjp]

Foto: Sie Dok. Penas XV | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

11


PETANI BERBAGI KISAH DENGAN JOKOWI DI PENAS KTNA Karena kalau tidak ada petani yang berkerja keras, kita mau makan apa. Kalau tidak ada nelayan yang juga bekerja keras, kita mau makan ikan apa. Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia)


Laporan Utama

S

ejak pukul 07.00 WIB, satu persatu petani, nelayan dan pihak terkait lainnya membanjiri stadion Hara­ pan Bangsa, Banda Aceh, Sabtu 6 Mei 2017. Ada sebanyak 35.000 lebih peserta yang menghadiri acara tersebut, sesuai undangan panitia. Kegiatan skala besar tersebut adalah Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) ke-15 yang dibuka langsung oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi). Presiden yang tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar pukul 10.00 WIB, memasuki arena lokasi pukul 10.30 WIB disambut salawat badar dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dia langsung menuju panggung utama. Sejumlah menteri dan kepala daerah tampak di sana. Dalam sambutannya, Jokowi mengi­ ngat­ kan tentang cerita masa kecilnya yang kerap didengar, untuk mencintai dan menghormati petani. “Karena kalau tidak ada petani yang berkerja keras, kita mau makan apa. Kalau tidak ada nelayan yang juga bekerja keras, kita mau makan ikan apa,” katanya. Jokowi lalu menceritakan pengala­ mannya dua tahun lalu ketika mengunjungi salah satu daerah penghasil jagung di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Harga jagung yang murah sekitar 1.500 – 1.700 per kilogram ‘memukul’ petani. Mereka

protes kepada presiden, karena salah satu penyebabnya adalah impor jagung yang mencapai 5,6 juta ton pertahun. Presiden kemudian rembuk dengan menterinya. Inpres kemudian dikeluarkan untuk mengurangi impor jagung dari luar. Petani di sana diajak untuk terus menanam jagung, hasilnya pada akhir 2016, im­ por jagung hanya 900 ribu kilogram. Diharap­ kan, tahun ini tidak ada lagi impor jagung ke Indonesia. “Petani jagung, dua orang saja silakan

naik ke mari,” kata Jokowi mengajak peserta. Tapi kemudian tiga orang naik ke panggung, mengambil tempat di samping Jokowi. “Ya sudah, tiga orang sudah cukup.” Phelip, petani asal Sulawesi Utara kemu­ dian diminta Presiden berbagi kisahnya. Dia mengaku melakukan budidaya jagung dengan sistem Jaja Legowo yang menggunakan varietas unggul. Jagung yang dihasilkan kisaran 7 – 8 ton perhektar pertahun, padahal sebelumnya hanya 2 – 3 ton perhektar pertahun.

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

13


“Harganya,” tanya Jokowi. Phelip menjawab cepat, “Harga 3.500 perkilogram.” Sebelum meninggalkan panggung, Phelip dihadiahkan sepeda oleh Presiden. Selanjutnya, petani jagung asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Syafie berbagi cerita. Dua mengaku menanam jagung varietas unggul hibrida yang mampu men­ dong­krak penghasilannya. “Dulu hanya 8 ton perhektar (pertahun), sekarang sudah 17 ton perhektar,” katanya. “Banyak sekali, 17 ton,” Jokowi mengu­ langi seakan tak percaya. Syafie tetap teguh pada ucapannya. Bahkan menurut Syafie, ada petani jagung di daerahnya yang telah membeli mobil mewah dan membuat rumah besar. Mendengar ini, Jokowi menyarankan sambil canda. “Kalau banyak uang, jangan beli mobil dulu, naik haji dulu dan meluaskan lahan tanaman.” Peserta yang hadir ikut tertawa. Jokowi lalu meminta kepada seluruh peserta agar pengalaman seperti itu harus ditularkan kepada petani maupun nelayan di seluruh Indonesia. Mendukung kesejahteraan petani, Presi­ den menyebutkan pemerintah Indone­ sia sedang gencar-gencarnya membangun waduk, karena kunci pertanian adalah air.

14

“Ada 49 waduk yang dibangun dari Sabang sampai Merauke. Di NTT paling banyak karena wilayah itu paling membutuhkan air.” Selain itu, juga dibangun embungembung kecil yang mencapai 30 ribu di seluruh Indonesia. Kemudian juga irigasi, yang dalam tiga tahun terakhir telah dibangun untuk mengaliri 3 juta hektar

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

lahan-lahan. Pada kesempatan yang sama, Gubenur Aceh Zaini Abdullah mengajak semua peserta Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA), untuk menikmati berbagai macam kuliner Aceh, selama mengikuti agenda tersebut. Penas KTNA diikuti oleh 35 ribu lebih petani,


Laporan Utama nelayan, pengusaha dan unsur pemerintah di seluruh Indonesia. “Khususnya kopi gayo dari kampung pak Presiden nomor dua,” kata Gubenur Zaini saat memberikan sambutannya. Kampung Presiden yang kedua yang dimaksud adalah Kabupaten Bener Meriah, wilayah penghasil kopi di dataran tinggi Gayo. Wilayah itu sempat ditinggali Jokowi selama empat tahun pada 1990-an. Para peserta juga diajak untuk melihat budidaya kopi arabika terbesar Indonesia yang ada di Bener Meriah dan Aceh Tengah. “Untuk bisa belajar bagaimana kopi di sana.” Zaini meminta seluruh peserta Penas KTNA untuk menjadi duta yang dapat mempromosi Aceh, bahwa wilayah yang pernah dilanda konflik dulunya sudah benar-benar aman dan nyaman. “Warganya juga ramah-ramah, saya atas nama masyarakat Aceh mengucapkan terimakasih yang tak terhingga,” ujarnya. Kegiatan itu menurutnya adalah misi besar bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan bagi petani dan nelayan agar menjadi tuan di negeri sendiri. Impian menjadi tuan rumah Penas KTNA telah lama diinginkan Aceh, karena wilayah paling barat Sumatera itu mempunyai warga yang umumnya petani dan nelayan. “Sektor pertanian dan perikanan merupakan penyerap tenaga kerja paling besar di Aceh,” kata Zaini. Sementara itu Ketua KTNA Pusat,

Winarno menyebutkan Penas KTNA adalah tempat berkumpul para petani, nelayan, pengusaha, peneliti dan pemerintah untuk belajar dan saling tukar pengalaman. Dia mengharapkan kegiatan tersebut mampu menumbuh-kembangkan minat anak-anak muda dalam membangun usaha dan bisnis di bidang pertanian dan kelautan. “Dalam kesempatan ini juga akan diberikan penghargaan oleh presiden kepada nelayan, petani dan pimpinan daerah yang berprestasi,” katanya. *** Setelah berlangsung hampir sepekan, Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) ke-15 berakhir pada Kamis 11 Mei 2017. Ketua KTNA, Winarno saat menutup kegiatan nasional tersebut di stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh mengharapkan sepulang dari Aceh, para petani dan nelayan untuk jadi pelopor bagi petani dan nelayan lainnya di semua daerah di Indonesia. ”Yang terpenting tetap menjaga kualitas semua produk agar mampu bersaing seba­ gai produk unggulan,” katanya. Pada kesempatan tersebut juga diumum­­kan bahwa Provinsi Aceh menjadi juara umum dalam Penas KTNA ke-15. Hadiahnya, diserahkan dua voucher hand tranctor karya anak bangsa yang diterima langsung oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Sementara itu Sekjen Kementerian

Pertanian RI, Hari Priyono menyebutkan bahwa bidang kelautan dan pertanian merupakan ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Pro­ gram yang dibuat pemerintah, ujarnya sangat bermanfaat bagi kedua bidang itu, yang dibuktikan dengan peningkatan pada produksi komoditi seperti beras. "Kita sangat mengharapkan peran aktif seluruh petani dan nelayan untuk menyongsong peran pembangunan di Indonesia," ujar Priyono. Atas nama Kementerian Pertanian, Priyono berterima kasih kepada Pemerintah Aceh yang telah menjadi tuan rumah yang sangat baik bagi puluhan ribu tamu yang hadir di Aceh. Priyono berharap spirit Penas Aceh bisa menjadikan para petani dan nelayan untuk lebih semangat dalam membangun ekonomi di daerah masingmasing. Penas KTNA disebutkan telah berhasil mempersatukan pelaku pertanian dari seluruh Indonesia dan beberapa negara lainnya. "Penas juga menjadikan pengetahuan dan pengalaman kita bertambah. Di tahun 2019 diharapkan Indonesia menjadi negara mandiri dan berdaulat dalam hal pertanian dan kelautan.” "Semoga petani dan nelayan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi salah satu penggerak ekonomi bangsa," kata Gubernur mengakhiri sambutan di hari penutupan. [Adi | Foto: Suparta]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

15


Saya minta seluruh SKPA terkait pem­bangunan pertanian, perikanan dan pariwi­sata, segera melakukan penataan kawasan tersebut lebih baik lagi, sehingga dapat menjadi tempat rekreasi keluarga dan objek wisata berbasis pengetahuan di bidang pertanian dan perikanan. Zaini Abdullah (Gubernur Aceh)

Foto: Sie Dok. Penas XV

AREA GELTEK FAVORIT PENAS XV


Laporan Utama

A

rea Gelar Teknologi (Geltek) yang berada di sebelah Tenggara Stadion Harapan Bangsa men­ jadi salah satu lokasi favorit pengunjung pada Pekan Nasional (PENAS) Petani-Nelayan XV Aceh. Area seluas 10 hektar ini memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. “Pemerintah Aceh sudah menyewa lahan tersebut senilai Rp 2 milyar selama 2 tahun sejak tahun 2016. Sejak saat itu, kita terus melakukan berbagai persiapan mulai dari persiapan lahan, pembibitan, hingga penanaman dan perawatan,”jelas Masnun, Kepala Dinas Pangan Aceh. “Kawasan Geltek kita persiapkan secara maksimal karena akan dikunjungi Presiden RI, Joko Widodo usai membuka PENAS

Foto: Sie Dok. Penas XV

Petani-Nelayan XV pada Sabtu (6/5/2017). Presiden rencananya juga akan melakukan panen dan inseminasi sapi di sana,” tambah Masnun. Awalnya banyak pihak yang meragukan bahwa lahan yang pernah dibanjiri air laut waktu masa tsunami dulu bisa diolah menjadi lahan pertanian subur. Bahkan, banyak kalangan di kepanitiaan-pun sem­­ pat meragukannya. Namun berkat kegigihan Ir Basri A Bakar MSi, koordinator Geltek, lahan kering ini berubah menjadi lahan pertanian yang subur dengan hasil panen yang memuaskan. Siapa sangka, di lahan yang pernah terendam air tsunami tersebut dapat tumbuh subur beragam jenis tanaman pangan seperti padi, padi ladang (gogo),

palawija dan hortikultura. Selain itu, juga terdapat berbagai komoditi perkebunan, buah-buahan, dan beberapa jenis ikan air tawar. Untuk menjaga ketersediaan air, dibangun dua unit embung (tempat penampungan air) yang cukup luas. Basri mengatakan bahwa kawasan ini merupakan salah satu contoh rekayasa pertanian. Beberapa tanaman memang sedang kita teliti untuk dibudidayakan lebih luas di Aceh maupun di Indonesia. “Padi gogo yang kita tanam di sini dari jenis Inpago. Inpago ini varietas lokal. Rasa nasinya lebih enak. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di musim kemarau. Kalau pun butuh air hanya sewaktu-waktu saja,”jelas Basri, yang juga merupakan Kepala Balai Penelitian

17

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L Foto: - JUN 2 017Penas | XV SieI Dok.


Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh. Tidak hanya itu, di salah satu sudut di kawasan ini juga ditanam Sorgum – sejenis gandum yang berasal dari Afrika. Bunga matahari ditanam berjajar di sisi utara jalan tembus dari jembatan simpang kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN) menuju jembatan simpang Lhong RayaLampeneurut. Salah seorang staf ahli panitia, Ir Teuku Iskandar MS mengatakan bahwa Sorgum banyak dikembangkan di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Objek Wisata Keluarga Padi dan aneka hortikultura yang meng­ hijau, melon, pepaya dan lainnya yang mulai berbuah, memancing warga untuk datang menikmatinya. Paling tidak hanya sekedar selfie atau foto keluarga. Dua minggu menjelang pembukaan, terutama pada sore hari, warga seputar kota Banda Aceh dan Aceh Besar berduyunduyun memadati lokasi ini. Berbagai lapisan kalangan, tua, muda, dan keluarga tampak asyik berfoto-ria. “Mumpung belum ditutup menjelang kedatangan Presiden,”kata mereka.

18

Salah seorang pengunjung, Miftachuddin (45) dari Gampong Lambada Lhok, Aceh Besar sangat takjub dengan pemandangan di sekitar. “Saya akan kembali lagi nanti bersama anak-anak,”ujarnya. Kawasan Agrowisata Antusiasme warga terhadap area Geltek memberi inspirasi kepada Pemerintah. Ren­ cananya, area Geltek ini akan dijadikan kawasan wisata keluarga berbasis penge­ tahuan di bidang pertanian dan perikanan. Hal ini disampaikan langsung oleh Guber­­ nur Aceh dr Zaini Abdullah dalam sambutannya saat penutupan Penas KTNA XV di stadion Harapan Bangsa pada Kamis (11/5) silam. “Saya minta seluruh SKPA terkait pem­ bangunan pertanian, perikanan dan pariwi­ sata, segera melakukan penataan kawasan tersebut lebih baik lagi, sehingga dapat menjadi tempat rekreasi keluarga dan objek wisata berbasis pengetahuan di bidang pertanian dan perikanan,” kata Zaini. Gubernur Zaini yang sangat terpukau ketika memperoleh hadiah buah pokat sebesar buah kelapa dari stand Aceh Tengah

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

mengajak semua peserta Penas untuk menerapkan pembelajaran yang diperoleh dari even nasional ini, agar produktivitas usaha tani dan nelayan Indonesia semakin maju. Zaini berharap pelaksanaan PENAS Petani-Nelayan XVI yang akan dilaksanakan di Sumatera Barat pada 2020 dapat berjalan lebih baik lagi.

Foto: Sie Dok. Penas XV


Laporan Utama

Foto: Sie Dok. Penas XV

Foto: Sie Dok. Penas XV

“Kami menyampaikan permohonan maaf manakala ada hal yang kurang nyaman dari pelayanan yang kami berikan. Mudah-mudahan kekurangan ini semakin mendorong kita untuk saling berbagi pengalaman agar Penas berikutnya dapat lebih baik lagi,” sebutnya. Sementara Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Pusat, Winarno Tohir menambahkan sepulang dari Aceh, para petani dan nelayan dapat menjadi pelopor bagi petani dan nelayan lainnya di semua daerah di Indonesia. Selain itu, tetap menjaga kualitas semua produk agar mampu bersaing sebagai produk unggulan. Secara terpisah, Dinas Pangan Aceh sangat mendukung lokasi Geltek Penas tersebut dijadikan arena agrowisata. “Kami bahkan sudah bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Unsyiah un­tuk menyusun langkah-langkah untuk mewu­ judkan harapan tersebut. Saat ini kami tengah menyusun proposalnya. Apabila disetujui DPR Aceh, kita akan segera menyusun studi kelayakan, rencana induk, kemudian rencana tindak, DED, sampai dengan implementasi di tahun 2018 yang akan datang,” katanya. [haris | AER]

Foto: Sie Dok. Penas XV | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

19


Foto: Sie Dok. Penas XV

DIBALIK SUKSES PENAS XV 2017 ACEH Pasukan Sidom (sidom – semut, red), mereka inilah yang sangat setia dan komit terhadap keberhasilan pelaksanaan PENAS ini tanpa kenal lelah. Merekalah yang pantas menerima penghargaan atas keberhasilan PENAS. 20

Syamsul (Sekretaris Dinas Pangan Aceh)

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Laporan Utama

K

egiatan akbar petani nelayan seIndonesia yang ke XV di Banda Aceh telah berakhir dengan sukses. Pesta rakyat empat tahu­ nan selama 5 hari sejak 6 hingga 11 Mei silam dihadiri oleh lebih 50.000 pengunjung setiap harinya. Sebanyak 23.000 peserta utusan dari 33 provinsi turut ambil bagian dalam ajang tersebut. Kini, semua peserta telah kembali ke daerah masing-masing dengan sejuta kenangan indah. Penas XV telah sukses. Pemerintah Aceh menuai pujian dari berbagai kalangan. Namun, sedikit yang mengetahui dinamika kerja yang dirasakan panitia pelaksana di daerah. Terlepas dari peran Panitia Penyeleng­ gara di Jakarta, panitia pelaksana daerah yang dikomandoi Sekretaris Daerah Aceh, Drs. Dermawan MM harus bersusah payah mempersiapkan segala sesuatu. Mulai dari menyiapkan tempat serta menyewa lahan, menanaminya, hingga merawat tanaman untuk dikunjungi Presiden dalam acara Gelar Teknologi Pertanian. Tidak

Ir. Samadi Staf Ahli Panitia Penas XV

Foto: Sie Dok. Penas XV

hanya itu, panitia harus bekerja siang malam menyulap ruang sederhana di Stadion Harapan Bangsa sehingga layak menyambut kehadiran Presiden dan tamutamu kenegaraan lainnya. Belum lagi merehab dan memperbaiki toilet serta menyiapkan pemondokan bagi puluhan ribu peserta di rumah-rumah penduduk di sekitar stadion. Meskipun ada 250-an orang panitia yang di SK-kan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah, namun seperti biasa, hanya sedikit yang bekerja. “Panitia pelaksana PENAS XV di daerah sudah bekerja sejak tahun 2016, meskipun belum bekerja maksimal. Struktur Kepani­ tiaan mengacu pada Petunjuk Teknis (Juknis), yakni dibagi dalam 7 bidang. Masingmasing bidang dikoordinir oleh SKPA yang berkompeten. Dinas Pangan ditunjuk seba­ gai Koordinator Bidang Kesekretariatan. Saya sendiri duduk sebagai Sekretaris Panitia Pelaksana Daerah,” ujar Ir. Lukman, MSi, Kepala Dinas Pangan Aceh kala itu. Membentuk Tim Monev “Sebagai Sekretaris Panitia, saya bertu­ gas mempersiapkan laporan kepada Pak Sekda selaku Ketua Panitia Pelaksana Daerah. Oleh karena itu, saya terus meman­ tau perkembangan pekerjaan bidangbidang lain. Namun, sampai akhir tahun 2016, persiapan yang dilakukan panitia sangat minim,” kenangnya. “Tidak enak juga rasanya jika saya terus mendesak Kepala Dinas lainnya untuk memacu persiapan PENAS yang menjadi tanggung jawabnya. Meskipun posisi saya di panitia sebagai sekretaris, tapi kami-kan selevel,” ujar alumni Fakultas Pertanian ini lirih. “Dengan mempertimbangkan semua ini, maka saya pun kemudian memu­ tuskan untuk melakukan kerjasama dengan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) membentuk tim Monitoring - Evaluasi (Monev) dan Pendampingan. Dengan adanya tim ini, saya berharap komunikasi

dengan SKPA lainnya dapat terjalin lebih baik lagi,” kenang Lukman. Salah seorang staf ahli panitia, Ir. Samadi menceritakan bahwa panitia telah bekerja sejak awal tahun 2016. Namun intensitasnya masih terbatas. Baru memasuki tahun 2017, panitia mulai bekerja lebih intensif. “Memang seperti itu, pada berbagai event, biasanya mendekati acara baru semua panitia bergerak,” jelas Samadi, staf ahli bidang kesekretariatan. Sebagai seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN), Samadi banyak mengenyam asam garam dalam kerja-kerja pemerintah. “Tidak semua jenis pekerjaan harus dimulai jauh-jauh hari. Banyak yang hanya bisa dilakukan menjelang hari-H, misalnya tentang akomodasi peserta, desain tempat acara, keamanan, kesehatan, transportasi, dll., akan lebih efektif kalau mendekati hari pelaksanaan setelah diketahui perkiraan jumlah calon peserta yang akan datang ke Aceh,” jelasnya. “Namun, berbagai persiapan fisik, tana­ man yang akan dipamerkan, tim petani yang akan ikut dalam perlombaan, perlu dipersiapkan lebih awal,” jelasnya. “Kita berharap Aceh tidak hanya jadi tempat penyelenggaraan Penas, namun bisalah mendapat nomor dalam berbagai event yang akan diperlombakan,” timpal Ir. Munawar Khalil, MS, Ketua Tim Monev dari Fakultas Pertanian Unsyiah. “Sejak rapat perdana pada tanggal 20 Januari 2017, Tim Monev yang juga dikelompokkan dalam 7 bidang sesuai kepanitiaan, langsing bekerja. Awalnya kita menyepakati metodologi monevnya. Kemudian, kita uraikan dalam bentuk pertanyaan mendasar yang menjadi kunci sukses bagi kerja-kerja panitia di semua bidang, menyangkut 5w 1 H, apa, siapa, dimana, mengapa, bagaimana, dll,” jelas mantan Pembantu II Fakultas Pertanian Unsyiah ini dengan nada serius. “Dari serangkaian rapat dan diskusi

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

21


Foto: Sie Dok. Penas XV

yang kita lakukan, kami menyusun matriks Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang akan memudahkan teman-teman panitia dalam bekerja. Matriks DIM memuat permasalahan utama yang terjadi di tiaptiap bidang berserta kondisinya saat ini dan rekomendasi bagaimana langkah yang harus ditempuh oleh panitia,” jelasnya panjang lebar. “Metode DIM ini kita adopsi dari Dewan Pengarah Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR) sewaktu melakukan monev rehabrekon tsunami di Aceh,” tambah Jeliteng Pribadi, SE, MM, MA, koordinator Tim Monev Bidang Kesektretariatan. Lebih jauh, mantan Pejabat Penghubung Dewan Pengarah BRR ini menjelaskan bahwa metode DIM biasa dilakukan di tingkat Kementerian, untuk memudahkan pimpinan dalam mengambil keputusan. “Metode ini sangat sederhana. Format­ nya langsung fokus pada permasalahan substansif, kondisi faktual saat ini, serta rekomendasinya. Kita tidak hanya mengang­ kat permasalahan, namun juga solusi yang dapat ditempuh oleh panitia,” jelas mantan PD IV Fakultas Ekonomi Unsyiah. “Namun perlu diingat, Tim Monev bukanlah eksekutor. Kita hanya bertugas untuk mengetahui duduk permasalahan yang dialami masing-masing bidang di Panitia PENAS, dan memberikan rekomen­ dasi bagaimana mengatasinya. Untuk ekse­kusinya, kita serahkan kepada panitia,” timpal Munawar lagi. Sementara itu, Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah, Dr. Ir. Agussabti, MSi yang menjadi penanggung jawab Monev memastikan timnya akan mendampingi dan membantu

22

penitia Penas semaksimal mungkin. “Kita mengerahkan sedikitnya 33 orang staf terdiri dari 15 orang dosen dan 18 orang staf surveyor dan administrasi. Tiaptiap bidang dalam kepanitiaan Penas akan didampingi oleh 2 orang dosen sesuai latar belakang ilmunya,” jelas Agus meyakinkan. Rapat, Rapat, dan Rapat Menyadari waktu pelaksanaan yang semakin dekat, Sekretariat Panitia yang dikawal oleh Ir. Lukman, MS semakin intensif bekerja. Setelah berdiskusi de­ ngan Tim Monev, Tim Ahli dan panitia kesekretarian lainnya, maka disepakati untuk mengadakan rapat regular setiap hari Kamis dengan Tim Monev. Hasil rapat ini selanjutnya akan dibawa pada rapat panitia daerah yang dipimpin langsung oleh Ketua Panitia pada setiap hari Jumat. “Selanjutnya, hasil rapat-rapat di tingkat panitia daerah akan kita bawa dalam rapat koordinasi dengan Panitia Penyelenggara Jakarta,” jelas Lukman. “Kegiatan Penas ini adalah agenda nasional. Kita hanya pelaksana di daerah. Ada banyak hal yang tidak bisa kita putus­ kan di daerah. Misalnya mengenai kepastian Acara Pembukaan oleh Presiden dan Penutupan oleh Wakil Presiden, kepastian jumlah peserta dari masing-masing daerah, dll.,” jelasnya lebih lanjut. “Warga perlu kepastian apakah rumah­ nya jadi dipakai atau tidak. Kalau jadi, tentu mereka akan merehab sedikit kondisi rumahnya, mengecat, memperbaiki WC, dll. Tapi kalau nanti setelah direhab tidak jadi dipakai, bagaimana? Kan mereka bisa marah,” jelas Junaidi, koordinator

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

pemondokan dan akomodasi. Semua permasalahan di atas diung­ kapkan Panitia Pelaksana Daerah dalam rapat koordinasi dengan Panitia Penye­ lenggara Pusat pada Rabu, 08 Maret 2017 di Gedung Serbaguna Setda Aceh. Sekda Aceh T. Dermawan menegaskan bahwa Pemerintah Aceh berkomitmen penuh untuk menyukseskan Penas ke XV, namun ada banyak hal yang harus dituntaskan di Jakarta. “Panitia Pelaksana di Aceh sudah mem­ buat komitmen dengan hotel-hotel dan juga penduduk di sekitar Stadion Harapan Bangsa untuk menyediakan pemon­­ dokan bagi 35 ribu tamu yang akan hadir di Aceh nantinya,” paparnya. “Tidak hanya itu, kita bahkan menyiapk­ an rompi khusus bagi supir mobil rental, tukang beca, dan ojek yang akan melayani tamu-tamu nantinya,” tambahnya. Koordinasi Intensif Dalam kesempatan rapat koordinasi tersebut, Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) yang menjadi Kepala Sekretariat Panitia Pusat meminta agar panitia lebih mening­ katkan koordinasi baik di daerah, maupun dengan panitia pusat. “Acara tinggal 51 hari lagi. Karena itu, semua seksi di tingkat provinsi dan pusat harus terus berkoordinasi sehingga segala kendala dapat segera diantisipasi,” pintanya. “Pastikan juga semua dukungan ak­ omo­dasi bisa lancar. Karena para pejabat negara dan duta besar akan hadir ke Aceh,” ujar Momon. Sementara, Ketua Umum KTNA Pusat,


Laporan Utama Winarno Tohir memastikan kehadiran 500 orang panitia yang terdiri dari Ketua KTNA dan pendamping dari seluruh Indonesia berikut Ketua KTNA Provinsi dan Kota se Aceh. Sekretaris Daerah Aceh, Drs. Dermawan. MM. Memimpin rapat koordinasi Panitia Penyelenggara dan Panitia Pelaksana Penas KTNA XV 2017 di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Banda Aceh 8/3/2017. Foto: Humas Setda Aceh Memacu Rehab Stadion dan Lokasi Gelar Teknologi Pemerintah Aceh menilai Penas XV sebagai kegiatan strategis untuk mempro­ mosikan potensi Aceh kepada seluruh masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional . Itulah sebabnya, Gubernur Zaini Abdullah sangat perhatian terhadap persiapan yang telah dilakukan panitia. Tak tanggung-tanggung, selain melakukan rapat evaluasi secara regular, meminta laporan tertulis, Gubernur juga turun langsung ke lapangan. Gubernur kerap kali meninjau langsung ke lokasi Penas di Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh maupun lokasi Gelar Teknologi Pertanian di lahan seluas 10 Ha di sebelah Selatan Stadion Harapan Bangsa, atau persis di depan Gedung LAN Aceh. Terhitung ada tiga kali Gubernur turun langsung meninjau kesiapan panitia di lapangan. Sementara Sekda Dermawan juga tak mau ketinggalan. Kunjungan pertama dilakukan Guber­ nur Zaini pada Selasa 7 Maret 2017. Gubernur Zaini yang didampingi Kepala Dinas Pangan, Ketua KTNA Pusat Winarno Tohir dan Ketua KTNA Aceh Zakaria Affan, memeriksa lokasi panggung utama di dalam stadion, serta sejumlah ruangan yang akan digunakan sebagai ruang tunggu VVIP, news room, kebersihan toilet, serta ketersediaan pasokan listrik.

Kebersihan dan keindahan taman juga mendapat perhatian Gubernur. “Harus kerja keras. Penataan pot-pot bunga serta pemeliharaan rumput juga harus diperhatikan,” ujar Gubernur Zaini. Kegalauan Usai Pergantian Kepala Dinas Di tengah intensifnya persiapan Penas, isu politik yang telah merebak di awal Maret akhirnya membuncah. Gubernur melantik 33 pejabat eselon II pada Jumat, 10 Maret 2017. Lebih setengahnya meru­ pakan pejabat yang baru. Yang cukup mengagetkan, beberapa kepala dinas yang langsung terkait dengan Penas diganti, termasuk Dinas Pangan, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan Perkebunan, serta Dinas Peternakan. Hal ini tentu saja membuat banyak kalangan merasa galau. Bagimana nasib Penas XV nantinya? Kegalauan ini sempat hinggap sampai ke panitia pusat di Jakarta. Hal ini terkuak pada rapat koordinasi lanjutan pada tanggal 31 Maret 2017 di kantor BPPSDMP di Kalibata, Jakarta. “Apa pergantian tersebut tidak berpe­ ngaruh terhadap kinerja panitia Penas di daerah? Apa tidak terganggu?,” tanya Momon Rusmono. Pertanyaan ini sontak dijawab tegas oleh Ir. Masnun, MSi, Kepala Dinas Pangan terpilih. “Sebagian besar pengganti di dinasdinas tersebut adalah orang lama yang juga menjadi pelaku utama dalam kepa­ nitiaan. Kami adalah orang-orang yang berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan di lapangan. Sehingga kami sangat memahami persoalan. Insya Allah, pergantian ini justru akan meningkatkan motivasi kerja panitia,” pungkasnya. Hasil rapat kali ini menyimpulkan bah­ wa masalah transportasi peserta masih

membutuhkan pembahasan lebih intensif. Seksi Transportasi akan mengadakan rapat tindak lanjut secara intensif dengan Departemen Perhubungan, PT. Angkasa Pura dan perusahaan maskapai penerbangan. Transportasi peserta dari Pulau Sumatera diusulkan menggunakan bus. Sedangkan transportasi udara diprio­ ritaskan untuk peserta dari luar Pulau Sumatera. PT. Garuda Indonesia telah melakukan perencanaan penambahan jadwal penerbangan pada H-5 hingga H+5 dan mengganti armada dengan yang lebih besar ukurannya. Ketua KTNA Nasional Winarno Tohir menilai bahwa persiapan yang dilakukan panitia daerah sudah jauh lebih baik. “Beberapa hal penting terkait audiensi dengan Presiden RI sedang dalam proses koordinasi. Saat ini, surat audiensi sudah sampai di Setneg,” jelas Winarno. Pasukan Sidom Dari sekian banyak cerita sukses di atas, pasukan pekerja (sidom – semut, red) turut memberi andil luar biasa atas sukses Penas XV Aceh. Setidaknya ada 5 orang anak muda yang siap berjibaku tak kenal lelah. Mengerjakan semua jenis pekerjaan, mulai dari menyiapkan draft power point, teknisi komputer dan printing, hingga mengangkat bangku, cuci piring, hingga membersihkan sisa-sisa nasi kotak dan pluk aqua di Sekretariat. Mereka bekerja tak kenal waktu. Memfasilitasi rapatrapat, hingga memasang spanduk. Semua dilakoni. “Mereka inilah yang sangat setia dan komit terhadap keberhasilan pelak­ sanaan PENAS ini tanpa kenal lelah. Merekalah yang pantas menerima peng­ hargaan atas keberhasilan PENAS,” ujar Syamsul, sekretaris Dinas Pangan Aceh. [adek | AER]

Sekretaris Daerah Aceh, Drs. Dermawan. MM. Memimpin rapat koordinasi Panitia Penyelenggara dan Panitia Pelaksana Penas KTNA XV 2017 di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Banda Aceh 8/3/2017. Foto: Humas Setda Aceh | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

23


Foto: Sie Dok. Penas XV

ACEH JUARA UMUM PENAS KTNA XV Kita semua telah berhasil mempersatukan para pemangku kepentingan tani dan nelayan dari Sabang sampai Merauke. Bawalah pulang yang baik dan bermanfaat untuk kemajuan pemba­ngunan pertanian dan perikanan di kam­pong saudara-saudara sekalian, jangan lupa ceritakanlah hal-hal yang dapat meyakinkan saudara-saudara kita lainnya untuk datang ke Aceh. 24

Zaini Abdullah (Gubernur Aceh)

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


P

rovinsi Aceh meraih juara umum pada Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan ke 15 Tahun 2017. Hal itu diumumkan oleh Ketua KTNA Pusat, Winarno Tohir, dalam penutupan Penas KTNA di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, Kamis (11/05). Kepada Provinsi Aceh, Winarno kemu­ dian menyerahkan dua voucher hand tranctor karya anak bangsa sebagai hadiah juara umum, yang diterima langsung oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Selain itu, penghargaan juga diserahkan kepada beberapa kepala daerah dan para petani yang berprestasi dalam bidang pertanian. Penutupan Penas KTNA tersebut ber­ lang­ sung meriah dengan menampilkan tarian massal oleh 500 penari. Acara tersebut ditutup langsung oleh Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah ditandai dengan pemukulan tambo. Lokasi Penas Ditetapkan Sebagai Arena Agro Wisata Gubernur Aceh, dr. H. Zaini Abdullah juga menetapkan arena Gelar Teknologi Pertanian dan Perikanan pada Pekan Nasional Petani Nelayan ke XV menjadi Arena Agro Wisata Aceh. Hal tersebut disampaikan Zaini Abdullah

Laporan Utama pada acara penutupan Pekan Nasional Petani Nelayan ke XV di stadion Harapan Bangsa. “Saya minta seluruh KPA terkait dengan pembangunan pertanian, perikanan dan pariwisata agar segera melakukan penataan kawasan tersebut lebih baik lagi,” ujar Zaini. Zaini mengatakan, kawasan tersebut nantinya akan dijadikan tempat wisata keluarga dan objek wisata berbasiskan pengetahuan di bidang pertanian dan perikanan. Zaini Abdullah mengatakan, sangat bersyukur karena pelaksanaan Penas secara keseluruhan telah berjalan dengan sukses. “Kita semua telah berhasil mempersatukan para pemangku kepentingan tani dan nelayan dari Sabang sampai Merauke,” kata Zaini. Zaini Abdullah mengajak semua peserta untuk menerapkan pembelajaran yang dipero­ leh dari Penas ini agar produktivitas usaha tani dan nelayan Indonesia semakin maju. “Bawalah pulang yang baik dan bermanfaat untuk kemajuan pemba­ ngunan pertanian dan perikanan di kam­ pong saudara-saudara sekalian, jangan lupa ceritakanlah hal-hal yang dapat meyakinkan saudara-saudara kita lainnya untuk datang ke Aceh.” ujar Zaini. Pada kesempatan tersebut, Zaini

Abdullah juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta penas, dan seluruh panitia pelaksanan baik di tingkat pusat dan juga di daerah. Ucapan terima kasih juga disampaikan Gubernur Aceh kepada arapat keamanan, dari TNI dan Polri serta seluruh warga maysarakat yang terlibat, baik lansung maupun tidak lansung dalam menyukseskan kegiatan Penas ini. Kepada puluhan ribu tamu yang masih di Aceh, Zaini mengajak semuanya untuk memperpanjang masa liburan di Aceh. Jikapun tidak bisa, Zaini meminta agar tamu Penas memenceritakan kondisi kedamaian Aceh. Gubernur memastikan, tidak ada keadaaan yang akan mengusik kedamaian dan keamanan di Aceh. Pada kesempatan itu, gubernur kembali mempromosikan tiga produk unggulan Aceh yang bisa dijadikan bekal oleholeh. Ketiganya adalah kopi gayo, keripik meuling dan dendeng aceh. Sementara itu, Ketua KTNA pusat Winarno Tohir meminta, sepulang dari Aceh, para petani dan nelayan untuk jadi pelopor bagi petani dan nelayan lainnya di semua daerah di Indonesia. “Tetap jaga kualitas semua produk agar mampu bersaing sebagai produk unggulan,” ujar Winarno. [Humas Aceh | AER]

25

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L Foto: - JUN 2 017Penas | XV SieI Dok.


ACEH TENGAH RAIH STAND TERBAIK PENAS XV 2017 SE- PROVINSI ACEH

H

asil membanggakan diraih oleh Kabupaten Aceh Tengah pada pelaksanaan Pekan Nasional (Penas) Petani-Nelayan XV 2017 di Banda Aceh setelah dipastikan meraih stand terbaik se- Provinsi Aceh. Tidak hanya itu, Aceh Tengah juga meraih terbaik II tingkat Nasional pameran Bidang Agribisnis Hortikultura. Kedua prestasi tersebut menurut Kepala Dinas Perta­nian Aceh Tengah, Rahmandi merupakan buah dari kerja­sama dan koordinasi yang baik dari jajaran terkait yang telah mempersiapkan produk yang dipamerkan selama pelaksanaan Penas.

Foto: Sie Dok. Penas XV

“Keberhasilan stand Aceh Tengah meraih yang terbaik di Aceh karena didukung kerjasama yang baik dari teman-teman selain produk terbaik yang kita tampilkan, ” ungkap Rahmandi, Jum’at 12 Mei 2017 di Banda Aceh. Atas prestasi tersebut Pemkab Aceh Tengah memboyong hadiah Rp. 30 Juta yang diserahkan langsung oleh Sekretaris Daerah Aceh, Dermawan, Rabu (10/05) pada acara malam festival kesenian daerah dalam rangka Pekan Nasional Petani-Nelayan XV 2017. [MK | AER]

Foto: Sie Dok. Penas XV

26

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Analisa

Jeliteng Pribadi, SE, MM, MA Dosen Jurusan Manajemen FEB Unsyiah, Alumni Georgia State University, Atlanta, USA/

P

PENAS DAN DILEMA KEMISKINAN PETANINELAYAN DI ACEH

etani dan Nelayan Indonesia tengah mengalami euforia. Pasalnya, Pekan Nasional (PENAS) Petani Nelayan XV yang dibuka Presiden Jokowi pada 6 Mei lalu tampak sukses. Namun, PR besar telah menanti. Bagaimana dengan kesejahteraan petani? Bagi Aceh, suksesnya PENAS XV memberi nilai tambah tersendiri. Namun, nasib petani dan nelayan tidak boleh lupa. Sayangnya, kesejahteraan petani dan nelayan Aceh hingga kini masih marginal. Penelitian yang dilakukan Bappeda Aceh dan Universitas Syiah Kuala tahun 2015 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk miskin di Aceh adalah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan petani. Kemiskinan di Aceh adalah masalah klasik. Hal ini merupakan imbas dari konflik berkepanjangan dan bencana tsunami. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan Aceh pada Maret 2012 sebesar 19,4 persen. Kemudian turun menjadi 17,6 persen pada Maret 2013. Angka kemiskinan Aceh kembali naik menjadi 18,05 persen pada tahun 2014. Namun, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah kembali mampu menurunkan angka kemiskinan berturutturut menjadi 17,08 (2015), 16,73 (2016), dan 16,89 pada Maret 2017. Tentu saja penurunan ini membuat kita optimis. Namun, angka kemiskinan Aceh yang tinggi menimbulkan keprihatinan. Bagaimana solusinya? Solusi Kemiskinan di Aceh BPS Aceh menyebutkan bahwa peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan Aceh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, san­ dang, pendidikan, dan kesehatan). Komoditi makanan yang berpengaruh besar adalah beras, rokok kretek filter, dan ikan tongkol/ tuna/cakalang. "Sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan hingga Maret 2017 adalah 74,96 persen. Angka itu berasal dari 72,08 persen di kota dan 77,84

persen di desa,� demikian yang dipaparkan. Data di atas sejalan dengan NilaiTukar Petani (NTP) yang kembali mengalami penurunan. NTP adalah rasio harga produksi petani terhadap harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertaniannya. BPS menyebutkan bahwa NTP per Maret 2017 turun sebesar 0,38 persen menuju angka 99,95 persen. Oleh sebab itu, untuk menekan angka kemiskinan di Aceh, sejahterakan Petani/ Nelayan. Bagaimana caranya? Ketahui masalah-masalah yang dihadapi petani/ nelayan, buat program kegiatan yang berbasis pemecahan masalah tersebut. Masalah Petani/Nelayan di Aceh Tidak perlu menjadi jenius kalau hanya untuk mengetahui masalah petani dan nelayan. Cukup dengan mengadakan diskusi kelompok fokus (FGD) dengan petani/nelayan. Atau kalau sangat malas, cukup membaca laporan penelitian atau membaca artikel dan berita di media massa, atau di google. Dari sekian banyak masalah yang dihadapi petani di Aceh, masalah sistem pengairan menjadi yang utama. Jamak kita lihat di Aceh, lahan pertanian kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim penghujan. Oleh sebab itu, manajemen pengairan/irigasi menjadi krusial. Apabila sistem irigasi sudah diperbaiki, baru kita melangkah ke upaya peningkatan bibit, teknologi pertanian dan perawatan tanaman,

serta teknologi pasca panen. Sementara itu, nelayan di Aceh memiliki masalah yang lebih kompleks. Banyak nelayan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan karena mereka sebenarnya adalah buruh nelayan. Karena keterbatasan modal, nelayan meminjam modal kepada tauke (mugee), kemudian hasil tangkapannya harus dijual kepada mugee dengan harga yang murah. Pola patron-klien ini telah terjalin puluhan bahkan ratusan tahun. Sementara awak kapal umumnya adalah buruh dengan upah yang minim. Masalah lainnya yang juga jamak dihadapi nelayan Aceh dewasa ini adalah stabilitas harga. Hal ini diakibatkan oleh minimnya cold storage dan industri pengolahan ikan yang tersedia. Sehingga, apabila hasil tangkapan melimpah, harga ikan menjadi anjlok seketika. Berangkat dari masalah-masalah ini, Pemerintah Aceh sekali lagi harus menyusun program kegiatan yang mampu mengatasi permasalahan kunci petani dan nelayan. Barulah kita dapat berharap Aceh menjadi daerah yang berdaulat pangan dan sejahtera. Bagaimana pendapat Anda? [ ]

27

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - JFoto: U N I Zulfurqan/AER 2 017 |


Foto: Zulfurqan/AER

TATKALA SUNGAI BRAYEUNG BERUBAH COKLAT KENTAL

28

Pripp...! Seseorang di pinggir sungai meniupkan peluit dengan kencang. Sontak bunyinya mengagetkan seluruh pengunjung. Sebagian besar pengunjung yang terdiri dari anak-anak, dikawal orangtuanya naik ke atas. Boat maupun perahu bebek gelagatan dikumpulkan pemiliknya. “Kok disuruh naik, belum sampe sejam pun,� protes seorang ibu-ibu yang menyewa boat. Sang pemilik sama sekali tidak menggubrisnya. | ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


J

am menunjukkan angka dua. Sinar matahari masih belum puas menyengat. Di depan rumah di Ie Masen Kayee Adang, saya dijemput oleh Hayatullah Zubaidi menggunakan Yamaha Vixion merah. Saya menyelimutkan badan dengan jaket kaos belang berwarna biru dengan dongker. Vixion terus berpacu menuju kawasan wisata sungai Brayeung Leupueng, Aceh Besar. Lokasinya menempuh jarak yang memerlukan sekitar satu jam lamanya. Beberapa kilometer setelah melewati pabrik PT Lafarge Cement Indonesia, Lhoknga. Dari jalan nasional, jarak sungai ini sekitar dua kilometer ke arah pedalaman. Jalannya terbilang sempit. Hanya muat dua mobil berukuran sedang. Itu pun pas-pasan. Setibanya di persimpangan menuju Brayeung, matahari bersembunyi di balik awan hitam. Jalannya nampak basah di pinggir bekas air hujan. Udaranya sedikit lembab. Sejuknya menembus jaket. Hayatullah asik berceloteh mengenai keindahan alam di kawasan itu. Sebelah kiri dan kanan jalan terbentang hamparan persawahan. Pegunungan terjal seolah ingin menghantam persawahan. Rimbunan pohon bersemayam di tubuhnya. Hayatullah sangat berhati-hati mengen­darai. Khawatir bila kondisi jalan yang basah bisa mengolengkan sepeda motor. Bila tiba di tikungan, ia akan menekan klakson. Memberi sinyal kalau ada kenderaan yang datang dari arah berlawanan.

Lingkungan Belum tiba kami di sana, di persim­ pangan tiga kami dihentikan oleh lelaki tambun. Menyodorkan tiket masuk. Di tiket pink itu tertera harga Rp 3.000 per orang. Namun ia mengiyakan saja ketika saya mengeluarkan lembaran uang Rp 5.000. *** Keunikan di Brayeung karena memiliki irigasi bertingkat enam. Seperti anak tangga. Akibatnya, arus air yang datang dari arah pegunungan menjadi perlahan. Di sinilah para pengunjung menenggelamkan badannya. Ketika kami tiba di sana suasana se­ makin dingin. Kabut menyelimuti sebagian pegunungan yang terlihat sangat jelas. Lokasi Brayeung terbilang sangat pelosok. Kondisinya masih cukup alami kendatipun ramainya pengunjung yang hadir. Lebihlebih pada hari libur. “Sang 15 minet tok ek tamanoe (sepertinya cuma 15 menit kita sanggup mandi),” kata saya kepada Hayatullah. “Nyoe, leupie that (Iya, dingin sekali),” balasnya. Kami pun menyeberang sungai dengan berjalan kaki di atas irigas yang terbuat dari semen itu. Tinggi airnya sedikit melewati mata kaki. Kami harus berhati-hati karena semen itu cukup licin. Saya mencari bagian yang sudah sedikit rusak sehingga nampak kerikil yang menempel. Setelah menyeberang, kami menitipkan baju kepada seorang penjual kios kecil. Imran nama pemiliknya. Kami bisa menitipkan barang asalkan nanti kami makan dan minum di tempatnya.

Rata-rata penjual di sana menjajakan aneka gorengan. Sangat nikmat bila dimakan usai menceburkan diri. Kami pun siap terjun ke sungai menggunakan celana pendek. Bagian atas tubuh kami dibalut manset hitam. Tampilan kami seperti ini menarik perhatian pengunjung lain. Bahkan kami sempat dianggap sebagi kru penyelamat di sana. Sungai Brayeung memiliki kualitas air yang jernih. Tersedia perahu bebek dan boat. Boatnya ada berukuran kecil dan sedang. Disewakan per jam. Boat kecil biaya sewanya Rp 30 ribu. Hanya boleh dinaiki empat orang. Sedangkan boat yang sedikit lebih besar disewakan Rp 40 ribu. Boleh naik lima orang. Sedangkan kami tak mau mengha­ biskan waktu menggunakan benda-benda itu. Saya dan Hayatullah lebih memilih berenang karena itu salah satu kegemaran kami. Pengunjung di Brayeung datang dari berbagai daerah. Bahkan ada pengun­jung yang berasal dari Medan. Beberapa pengunjung perempuan tidak menggunakan penutup kepala. Ada sebuah Di pamplet yang terletak di pinggiran. Bagian bawahnya sudah robek. Ada empat himbauan tertulis di sana. Pengunjung diharapkan berpakaian sopan. Dilarang berjudi, minum minuman keras, melanggar norma agama dan adat istiadat setempat, serta menjadikan kawasan ini sebagai lokasi yang islami. Sementara itu kami terus berenang. Kadang-kadang jarak renang kami sekitar

29

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - JFoto: U N I Zulfurqan/AER 2 017 |


50 meter menggunakan gaya dada. Gaya ini tergolong efektif bila ingin berenang lebih jauh lagi. Pengguna gaya renang seperti ini tidak akan mudah melelahkan tubuh. Nafas lebih mudah diatur. Tidak berselang beberapa lama, ba­dan kami mulai menggigil. Kaki kiri bergetar meskipun sudah dipegang kuat untuk menghentikan getaran. Air di area pegunungan ini terasa semakin dingin. *** Pripp...! Seseorang di pinggir sungai meniupkan peluit dengan kencang. Sontak bunyinya mengagetkan seluruh pengunjung. Sebagian besar pengunjung yang terdiri dari anak-anak, dikawal orangtuanya naik ke atas. Boat maupun perahu bebek gelagatan dikumpulkan pemiliknya. “Kok disuruh naik, belum sampe sejam pun,” protes seorang ibu-ibu yang menyewa boat. Sang pemilik sama sekali tidak menggubrisnya. Sebagian pengunjung lainny masih nampak keheranan. Sedikit demi sedikit sungai mulai sepi. “Ada apa?” tanya seorang pria di atas boat kepada kami yang masih berada di pinggir sungai karena kedinginan. Posisi kami berada sekitar 60 meter dari pengunjung yang sudah berkumpul. Mereka memperhatikan air sungai. Sementara kami masih nampak kebingungan. “Pakeun bang (kenapa bang)?” kami bertanya kepada pemilik yang tengah mengayuh benda berisi benda berisikan angin itu dengan suara keras. “Air sudah naik,” jawabnya. Saya memandang ke sungai. Dari kejauhan, air berwarna coklat perlahan mendekat. Hayatullah mengajak saya untuk menyeberangi sungai. Saya pun menolaknya karena tidak mau mengambil risiko. Lebih baik ambil jalan alternatif lain walaupun jauh daripada meregang nyawa di tempat itu. Hayatullah yang berada di air pun mengikuti saya untuk mengambil jalan lain. ***

Kami tidak berani lagi melewati irigasi. Tinggi yang tadi sedikit di atas tumit, sekarang sudah hampir mencapai lutut. Ditambah alas irigasi yang licin karena lumut. Arusnya semakin kuat. Menghantam bagian irigasi di bawahnya. Sampai irigasi yang terakhir. Suaranya yang lembut berubah menjadi sedikit lebih menderu. Pengunjung yang berada di seberang sungai mengambil jalan alternatif lain. Menuju jembatan Leupung yang terletak sekitar 500 meter dari posisi mereka. Kami juga mengambil jalan itu untuk menyeberang. Pakaian beserta dompet, dan handphone kami masih berada di seberang. Sambil bertelanjang kaki, kami menyusuri jalan itu. Setengah jalannya tidak beraspal. Setengahnya lagi berupa tanah dengan rerumputa. Beberapa kali Hayatullah mengeluh kesakitan di kakinya. Masih terdiri kerikul-kerikil tajam. “Kah Qan peu hana saket aki keuh (Qan, kakimu tidak sakit),” tanya ia. “Tidak,” jawab saya singkat. Pengunjung yang datang dari arah berlawanan menanyakan hal yang berbeda. “Ini kru penyelamat ya?” kata seorang lelaki dengan nada bertanya. Memang, sejak kami mulai berenang, sejumlah pengunjung nampak memperhatikan kami yang sedikit berbeda. Saya bersama Hayatullah memakai baju manset hitam. Sekilas kami nampak seperti atlet renang ataupun ahli renang. Mendengar pertanyaan itu, kami hanya tertawa saja. Sesampainya di sana, seluruh air sungai sudah berubah coklat kental. Kami sedikit berdiskusi dengan beberapa remaja mengenai kondisi air itu. Remaja ini kebanyakan merupakan kerabat pemilik warung yang sudah berjalan sejak kawasan wisata ini dibuka. Mirwan, bercerita bahwa perubahan kondisi air sungai seperti ini jarang terjadi. Kalau banjir paling besar

Foto: Zulfurqan/AER

datangnya setahun sekali. Tinggi airnya bisa merendam setengah warung milik ayahnya. Barang di warung dibiarkan basah begitu saja. Biasanya, yang paling sering rusak adalah kompor. “Orang di sini sudah peka kalau misalnya air sungai mulai naik,” tutur Mirwan. Foto: Zulfurqan/AER

30

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Lingkungan

Kepada kami, Imran menuturkan, jangan memaksakan diri melewati derasnya aliran air. Lebih baik mengambil jalan aman saja. Daripada hanya menyumbang nyawa di kawasan itu. Walaupun demikian, belum ada yang pernah meninggal akibat luapan air sungai. Tapi pernah terjadi, sepasang

pemuda terbawa arus, kemudian terjatuh ke irigasi paling bawah. Tersangkut di batuan besar. Kami sendiri melihat bagaimana kesiapsiagaan pengelola kawasan wisata ini menghadapi kondisi yang tidak diinginkan. Bahkan saya bersama Hayatullah dijemput Iqbal, menggunakan

sepeda motor sebelum tiba di jembatan. Padahal kami sama sekali tidak mengenal lelaki bertubuh gempal, dengan baju Barcelona FC itu. “Jembatan sengaja dipercepat pembangunannya untuk mengatasi keadaan sungai seperti ini,� terang Iqbal. [Zulfurqan | AER]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

31


ER

rqan/A Foto: Zulfu

Foto: Zulfurq

an/AER

Foto: Zulfurqan/AER

32

AZRIL, BERBISNIS KACANG TANPA MODAL | ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Peluang Usaha

P

ersoalan keuangan keluarga mendorong Teuku Azril (25) untuk terus membantu orang tuanya mencari nafkah sejak masa sekolahan. Beranjak dari sini, cintanya kepada dunia bisnis mulai tumbuh dalam jiwanya. Sekarang ia sudah memiliki bisnis kacang. Kacangnya gurih. Warnanya sekilas nampak sama dengan kacang lain pada umumnya. Tapi warna kacang satu ini lebih bersih. Ia menamakannya Kacang Manggeeng. Sesuai nama tempat kacang diambil di Kecamatan Manggeng, Aceh Barat Daya. Nama itu dianggap mudah diingat pelanggan. Ia juga ingin mempromosikan daerah asalnya sambil berjualan kacang. Di Abdya, kacang produksi dari daerah ini lebih berkualitas diban­dingkan daerah lain. Azril mencoba mem­ buktikannya sendiri. Hasilnya me­ mang benar. "Setiap daerah memiliki kelebihan masing-masing," tuturnya. Dua minggu sekali ia memesan kacang ini sebanyak 500 kilogram. Kacangkacang tersebut kemudian dise­leksi secara teliti setelah dibersihkan dan dijemur. Kebanyakan pekerjanya merupakan masyarakat sekitar ling­ kungan. Hampir seluruhnya berasal dari kalangan ibu-ibu sebanyak tujuh orang. Setelah dijemur, kacang tesebut dibagikan ke setiap rumah ibu-ibu untuk disortir. "Mereka juga kita bayar. Proses yang kita lakukan masih menggunakan cara manual," pungkasnya. Kata Azril, kacang kulit yang tidak lulus seleksi akan dijual menjadi kacang kupas. Karena sebenarnya kacang ter­sebut cuma tidak bagus bila dilihat kulitnya. Sedangkan isinya masih baik. Proses produksinya hingga siap jual dilakukan di tempat Azril tinggal sekarang, Lambaro Skep, Banda Aceh. Saat ini masih mengenyam bangku kuliah untuk mendapatkan gelar sarja­

Foto: Zulfurqan/AER

nanya. Sebelumnya ia sempat tidak kuliah selama tiga tahun sesudah menyelesaikan diploma tiga di salah satu perguruan tinggi di Aceh. Selama ini ia merasa sedikit kesulitan memproduksi kacang di rumah. Ia berharap ke depan memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi kacang. Kacang Manggeeng dijual dalam berbagai bentuk kemasan. Seperti kemasan botol, atau dalam bentuk plastik yang dibuat seperti sachet. Disesuaikan dengan permintaan pembeli. Harganya mulai Rp 1.000 hingga Rp 5.000. Kacang tersebut didistribusikan ke berbagai warung kopi, swalayan, dan kios-kios kecil. Lokasi daerahnya seperti di Sabang, Aceh Jaya, Aceh Besar, dan Banda Aceh. Khusus Sabang, kacang dijual kepada pemilik toko grosir. Mereka nantinya yang akan menjual kacang secara eceran. Sedangkan untuk daerah lain, pekerja di Banda Aceh sendiri yang akan turun untuk memasarkannya. "Pihak swalayan meminta kita membuat yang kemasan sepuluh ribu, tapi belum kita buat," tambahnya.

Azril menceritakan sudah memulai bisnis kacang sejak berada di bangku kuliah diploma tiga yakni pada 2013. Saat itu belum bisa fokus berbisnis karena kesibukannya menjalani kuliah yang hampir selesai. Usahanya semakin berkembang ketika ia dibantu oleh adiknya yang berkuliah di Banda Aceh. Produsiknya semakin meningkat pada 2015. Ia menjelaskan, usaha yang dibangun­ nya sekarang tanpa modal. Ia meminta kepada ibunya yang sehari-hari membuat kacangsejenis ini, untuk mengirimkan kacang itu dari kampung. Kacang tersebut kemudian dijual ke warung-warung kawasan Beurawe. Sedikit demi sedikit ia berhasil mengumpulkan uang senilai satu juta rupiah. Uang tersebut diputar lagi untuk berbisnis. Sekarang, penjualan kacang itu sebulan sebanyak Rp 30 juta. Belum dikurangi seluruh biaya operasionalnya. Penjualan kacang terkadang ada naik turunnya. Salah satu momen yang meningkatkan penjualan pada masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak sekali kegiatan pengumpulan masyarakat demi tujuan kampanye. Ketika itu Kacang Manggeeng banyak dipesan sebagai snack. "Tapi waktu ramadhan penjualannya menurun," imbuhnya. Selama berbisnis, menurutnya, pebis­ nis harus memahami bagaimana cara memasarkan produknya. Masya­rakat perlu mendukung pengusaha lokal dengan membeli produknya. Ia mengharapkan, ke depan banyak lahir produk lokal. Padahal Aceh memiliki potensi mengembangkan produk sendiri. Inovasi produk bisa dimulai dari hal yang paling mudah. "Buatlah hal mudah dulu, yang mungkin dikerjakan," jelasnya. [Zulfurqan | AER]

Foto: Zulfurqan/AER | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

33


Foto: Dimas/AER

MENJAMURNYA PET SHOP DAN POLAH MASYARAKAT

34

Mempunyai binatang peli­haraan membuat pemiliknya me­­miliki tingkat stres lebih rendah dan cenderung lebih jarang sakit dibanding yang tidak memelihara hewan. Oleh karena itu semakin hari banyak orang yang sadar akan manfaat ini. Bisnis pet shop ini kian menjanjikan karena memelihara hewan seperti menjadi kebanggaan tertentu bagi orang yang berada di kelas menengah. Dan pula tersedianya jasa dokter hewan profesional yang kebanyakan adalah lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah.

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Peluang Usaha shop yang dikatakan sebagai toko pertama Menjamurnya Pemilik Kucing di Banda Aceh. Toko ini berada di Jalan Memang jika sehari-hari kita jarang Seulawah, Seutui. Tampak dari luar, toko melihat warga kota Banda Aceh yang ini memang tidak begitu besar namun memelihara kucing premium ini, paling sudah memberi tanda bahwa ia adalah hanya beberapa yang kita ketahui. Namun pet shop dengan berbagai pakan hewan rupanya sudah ratusan ekor jumlah kucing yang di sediakan. Kami bertemu dengan peliharaan yang tersebar di kota ini. salah satu karyawannya dan mengetahui Terbukti dengan adanya hari libur atau hari bahwa toko ini milik Irwansyah seorang raya Idul Fitri kemarin, semua pet shop di pencinta binatang yang juga berprofesi Banda Aceh penuh dengan titipan hewan sebagai driver. Toko yang hampir berusia peliharaan yang mencapai 80 ekor per 7 tahun ini menyediakan berbagai tokonya. Jika dihitung dari 5 pet shop yang ER makanan, peralatan mandi, obat-obatan A s/ tersebar di Banda Aceh, berarti terdapat 400 a im D Foto: hingga jasa perawatan dan segala aksesoris ekor lebih kucing peliharaan yang di rawat. alah satu jurnal penelitian kese­ yang dibutuhkan hewan peliharaan Anda. Maka bisa ditarik kesimpulan sederhana hatan mengungkapkan bah­ wa Dan yang menarik­ nya, pet shop ini juga dari menjamurnya pet shop ini bahwa mem­punyai binatang peli­haraan menyediakan jasa periksa kesehatan kesejahteraan sebagian besar masyarakat membuat pemiliknya me­­miliki langsung ke rumah ataupun di toko oleh Banda Aceh sudah meningkat lantaran tingkat stres lebih rendah dan cenderung seorang dokter hewan profesional. kebutuhan hewan peliharaannya telah lebih jarang sakit dibanding yang tidak Omset per harinya bisa mencapai 3-5 masuk ke dalam kebutuhan primernya. memelihara hewan. Oleh karena itu juta rupiah, mulai dari perawatan mandi Bisnis pet shop ini kian menjanjikan semakin hari banyak orang yang sadar kucing yang tiap hari mereka layani dan karena memelihara hewan seperti menjadi akan manfaat ini. Namun untuk perawatan juga penjualan segala pakan dan aksesoris kebanggaan tertentu bagi orang yang hewan peliharaan ini tentunya banyak hewan seperti kandang dll. Untuk hewan berada di kelas menengah. Dan pula hal yang harus diperhatikan mulai dari yang diperjualbelikan di toko ini hanyalah tersedianya jasa dokter hewan profesional kesehatan, tampilannya dan berbagai kucing dan permintaannya selalu ada dari yang kebanyakan adalah lulusan Fakultas aksesoris lainnya. Tak ayal kebanyakan konsumen yang bukan hanya dari kota Kedokteran Hewan Unsyiah. orang berpendapat bahwa memiliki hewan Banda Aceh saja namun juga Sigli, Bireuen Nah tunggu apalagi, sepertinya bisnis peliharaan sama dengan menambah satu dan Lhokseumawe. ini dapat Anda lirik sebagai peluang yang anggota keluarga di rumah jika dihitung Rentang harga yang ditawarkan menarik. [Mia| AER] segala kebutuhannya. untuk mengadopsi kucing di sini mulai Stigma di masyarakat bahwa hobi dari 1,2 juta rupiah hingga 3,5 juta memelihara binatang hanya di miliki rupiah untuk jenis Maine Coon yang penduduk kota besar kalangan menengah paling banyak di cari konsumen. saja, namun kini terbantahkan karena Dan untuk persediaan kucing di di provinsi Aceh khususnya kota Banda sini, selain dari titipan orang-orang Aceh saja kita telah bisa menemui bebe­ yang ingin menjual peliharaannya, rapa komunitas pencinta binatang juga dari peternakan kucing di tertentu seperti jenis sugar glider, kucing Surabaya, Jawa Timur. Biasanya persia, burung, hamster, bahkan hewan kucing jenis Persia & Persia Pig reptil seperti ular. Tentunya hal itu bisa Nose di kirim dari sana. Untuk menghasilkan ladang bisnis yang baru jasa perawatannya sendiri mulai seperti pet shop (toko hewan peliharaan). harga Rp 30.000,- untuk mandi Di kota Banda Aceh sendiri, sejak biasa hingga Rp 100.000,tahun 2011 telah tumbuh bisnis pet shop untuk mandi dengan treatment dan yang kini ter data hingga tahun 2017 tertentu. Dalam sehari, pet shop terdapat lebih dari 5 pet shop yang sudah ini menerima jasa perawatan Foto : Dimas/A ER beroperasi. Tim AER mengunjungi pet kucing hingga 15 ekor.

S

35

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 | Foto: Dimas/AER


Foto: Zulfurqan/AER

WANDA, GIGIH BUKA LAPANGAN KERJA DI USIA MUDA Saya benar-benar ingin membuka lapangan kerja yang gak ada matinya, awalnya sempat ngelirik ke bisnis kuliner. Namun, karena tidak berkompetensi di sana saya berpaling ke dunia pendidikan. Afri Wanda Alpha Learning Center (ALC)


Peluang Usaha

K

einginan Afri Wanda (23) ber­ bisnis memuncak ketika semester tujuh kuliah di jurusan Ekonomi Pembangunan (EKP) Universitas Syiah Kuala. Mulai dari bisnis online shop, event organizer, jasa pengetikan dan penerjemahan bahasa Arab dan Inggris, pernah digelutinya. Tapi semuanya gagal. Bahkan, lulusan EKP ini sempat bera­ sumsi salah pilih jurusan karena latar belakang keluarganya di bidang kesehatan dan pendidikan. Bukan bidang ekonomi. Hal ini juga pernah membuat ibunya khawatir dimana putranya akan bekerja setelah lulus. Menurut ibunya, lowongan kerja bidang ekonomi sangat kecil dibandingkan lulusan bidang pendidikan dan kesehatan. Pada 20 Maret 2016, Wanda meresmikan jasa bimbingan belajar (bimbel) Alpha Learning Center (ALC). Sekaligus menjawab kekhawatiran ibunya selama ini. “Saya benar-benar ingin membuka lapangan kerja yang gak ada matinya, awalnya sempat ngelirik ke bisnis kuliner. Namun, karena tidak berkompetensi di sana saya berpaling ke dunia pendidikan,” papar lelaki kelahiran Matang Glumpang Dua, Bireuen, 24 April 1994, kepada Aceh Economic Review beberapa waktu lalu di Banda Aceh. Lokasi bimbel ALC di Jalan Prada Utama, Banda Aceh. Jumlah seluruh tenaga kerjanya 70 orang. Sedangkan siswa yang mendaftar sudah mencapai 80 siswa. Di ulang tahun pertama bimbel ALC telah membuka satu cabang di Bireuen, yaitu di Jalan Bireuen – Gayo (Simpang Gunci) Kecamatan Juli kilometer 5,8. ALC melatih tenaga pengajarnya supa­ ya memiliki standar kompetensi yang baik. Sistem belajar di ALC menggunakan metode accelerated learning. Kata Wanda, metode ini telah terbukti dapat meningkatkan percepatan daya tangkap siswa satu sam­ pai dua kali lipat. Metode ini diterapkan

Foto: Zulfurqan/AER

berdasarkan modalitas belajar siswa baik visual, audiotori maupun kinestetik sehingga proses belajar-mengajar lebih efektif. Di samping itu juga sebelum belajar siswa diwajibkan untuk mengaji 10-15 menit supaya siswa dekat dengan Alquran dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Bimbel ALC fokus mengajar siswa setingka SD, SMP dan SMA. Ia mengatakan, ALC memiliki visi men­ jadi bimbingan belajar terbesar dan terbaik di Indonesia pada 2026. Kehadiran bimbel ini diharapkan mampu mendidik siswa agara berkarakter qurani menggunakan metode handal dan teruji. Harapannya, ALC dapat melebarkan sayap ke daerah dan kabupaten di Indonesia melalui sistem franchise (waralaba) dan mitra. “Lulus kuliah nanti bunda, kita yang akan buka lowongan kerja untuk orang lain,” Wanda mengingat kembali perkataan yang pernah dilontarkan kepada ibunya.

Bimbel ALC dibangun dengan cita-cita menjadi keberkahan bagi semua pihak, sekaligus menurunkan angka pengang­ guran melalui penyediaan lowongan kerja. Salah satu mimpi ALC pada 2026 adalah membuka 200 cabang bimbel ALC di seluruh Indonesia. “Selama ini belum ada tantangan yang begitu serius,” pungkasnya. Berkat bimbel yang didirikannya, sekarang ia sudah bisa hidup mandiri. Menurutnya, pada hakikatnya, para sarjanalah yang harus menyiapkan lapa­ ngan kerja. Sehingga angka pengangguran berkurang. “Jika para sarjana harus mencari pekerjaan, lantas siapa yang akan membuka lapangan kerja,” imbuh tamatan MAS Jeumala Amal pada 2012 itu. [Zulfurqan | AER]

37

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 | Foto: Zulfurqan/AER


Foto: Lilis/AER

Asiah PENGRAJIN BEULANGONG TANOH USIA LANJUT, PENJAGA WARISAN BUDAYA ENDATU

Kami beli biasanya untuk 1 truk pelepah rumbia bisa sampai 400 ribu Rupiah, untuk jerami 10 ribu Rupiah per-karung, ini mahal, oleh karena itu kami mengharapkan pemerintah mau membantu kami dalam menjaga warisan endatu ini. 38

Asiah (Pengrajin beulangong tanoh)

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Sosok

D

i tengah pesatnya perkembangan teknologi dan modernisasi bu­ daya, tampaknya tidak memiliki pengaruh yang begitu berarti bagi para pengrajin beulangong tanoh di kawasan Ateuk Jawo yang berada di kecamatan Baiturrahman Banda Aceh ini. Bagaimana tidak, usaha ini digeluti oleh wanita-wanita yang sudah berusia lanjut. Mereka bisa saja memilih tidur dan beristirahat di saat usianya yang senja, namun dengan kegigihan dan tekad wanita-wanita pengrajin tembikar ini memilih duduk dari pagi hingga sore hari untuk membuat tembikar yang didasari dari bahan tanah liat ini. Sungguh miris jika kita menyadari generasi sekarang sudah terbawa oleh arus globalisasi yang membuat lambat laun warisan budaya punah seketika jika tidak ada penerus untuk melestarikannya. Saat itu pukul menunjukkan 16.13 WIB. Desa Ateuk Jawo memang memiliki keistim­ ewaan khusus. Langit terlihat begitu cerah dan sangat terik. Setelah bertanya pada warga setempat tibalah tim AER di sebuah rumah salah satu pengrajin. Tampak sisi depan rumah dipenuhi oleh beberapa beulangong tanoh yang sedang di jemur. Lantas mata kami tertuju pada seorang wanita yang sedang duduk dan membuat beulangong tanoh. Asiah namanya. Salah satu perempuan yang tinggal di Ateuk Jawo yang telah berusia lanjut dan sudah puluhan tahun melakukan aktivitas usahanya membuat tembikar tanah. Walau sudah lanjut usia, namun masih kuat untuk melakukan pekerjaannya seperti anak muda pada umumnya. Selain ibu Asiah kami juga disambut hangat oleh dua orang anak laki-laki yang berusia sekitar di bawah 7 tahun yang menghampiri dan langsung berada di belakang kemanapun langkah kaki kami berjalan. Seiring berjalannya waktu dae­ rah Ateuk Jawo kian berkembang pesat. Hal ini bisa kita lihat dari adanya peningkatan jumlah pen­­­duduk dan tanah-tanah yang semula kosong kini mulai dibangun rumah. Disuguhkan segelas teh, kami mendengar keluh kesah Asiah. Ia mengaku kalau pengrajin beulangong tanoh di Ateuk Jawo sudah tidak banyak lagi. ”Disini memang tidak banyak lagi orang-orang yang membuat beulangong tanoh, hanya 10 orang yang masih memproduksinya,” tutur Asiah. Penghasilan Tidak Selalu Tetap Pendapatan pengrajin tem­

Foto: Lilis/AER

bikar tanah bisa mencapai 400 ribu Rupiah per-hari, karena kendalanya tidak bisa siap dalam sehari dan bahkan bisa memakan waktu berbulan, para pengrajin tembikar belum tentu dapat memperoleh uang 400 ribu Rupiah tersebut dalam sehari namun harus menunggu beberapa hari bahkan bisa sebulan tergantung kepada barang jadi beulangong tanoh. Dalam sehari ia mampu membuat seba­ nyak 30 unit beulangong tanoh dengan harga yang juga bervariasi sesuai dengan ukuran, mulai dari 12 ribu hingga 20 ribu Rupiah. Jika mengambil banyak, harga yang semula 12 ribu bisa diberi 8 ribu Rupiah. Tentu sangat murah, tak sebanding dengan proses pembuatannya. Beulangong yang baru saja dibuat tidak dapat langsung dijual. Beulangong tanoh ini harus memiliki beberapa tahapan seperti proses penjemuran, pengolesan dengan tanah merah hingga proses pembakaran. Waktu yang dibutuhkan dalam memproses hingga menjadi beulangong yang siap pakai juga tidaklah sebentar. Pembakaran beulangong tanoh tidak membutuhkan alat pemanas khusus, tetapi mereka membu­ tuhkan lahan kosong, jerami, sabut kelapa dan pelepah rumbia dengan jumlah yang banyak. “Kami beli biasanya untuk 1 truk pelepah rumbia bisa sampai 400 ribu Rupiah, untuk jerami 10 ribu Rupiah per-karung, ini mahal, oleh karena itu kami mengharapkan pemerintah mau membantu kami dalam menjaga warisan endatu ini,” tambahnya. Untuk pemasaran, pengrajin beulagong tanoh tidak susah dalam menjualnya, karena banyak dari agen penjualan khusus (Muge) yang datang jauh-jauh untuk langsung membeli dan menjual dipasar. “Itu setiap hari ada yang datang mau beli, tapi kadang- kadang juga belum siap karena butuh waktu yang sedikit lama, tapi kalau ada barangnya, satu pun tidak tersisa. Terlebih jika mau meugang yang tradisi

orang Aceh wajib ada, kami kewalahan dalam memproduksinya,” kata Asiah. Tanah Produksi Yang Sulit Didapat Harapan ke depan Ibu Asiah dan juga para pengrajin beulangong tanoh yang berada di kawasan Ateuk Jawo ini adalah bantuan dari pemerintah yaitu berupa modal usaha. Seperti disediakannya lahan khusus bagi para pengrajin, lahan untuk membakar dan lahan untuk mengambil tanah. “Kami sebenarnya butuh tanah produksi dan lahan tempat untuk tetap bisa memproduksi tembikar yang sudah nenek-nenek kami wariskan. Hanya saja saat ini, semua harga tanah di Ateuk Jawo meningkat drastis yaitu 500 ribu Rupiah per-meter, kami tidak sanggup dengan harga yang demikian,” imbuhnya. Menurut salah satu desainer batik Aceh, Cut Azzetta Abdullah, jika dilihat dari segi ekonomi untuk mempromosikan Aceh, ada kiranya pemerintah membuat satu toko khusus kerajinan tanah khas Aceh yang nantinya dapat membantu para masyarakat dan turis yang ingin membeli. Terlebih membantu para pengrajin beulangong tanoh untuk menambah pendapatan dan kesenjangan di keluarganya. Sehingga harga yang dijual tidak murah sekali, mengingat proses pembuatannya sangat rumit dan dengan biaya di zaman sekarang yang serba mahal. Jika pemerintah ambil andil dan mem­­ bantu pengrajin ini, maka warisan beulangong tanoh ini tidak akan punah. Sehingga beberapa pengrajin yang sudah beralih profesi bisa melanjutkan usaha turuntemurun ini seperti dulu. Tidak seperti di desa Neusu, Penyeurat, dan Ateuk Munjeng yang dulunya sangat terkenal dan bahkan dikenal sebagai sentral usaha beulangong, kini punah seiring waktu. Jangan sampai beulangong tanoh di Ateuk Jawo juga mengikuti jejak mereka yang mati, perlahan demi perlahan. [Febi-Lilis | AER]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

39


Nanggroe

Foto: Zulfurqan/AER

EKSPOR ACEH MENINGKAT, IMPOR MENURUN

A

ceh memiliki pelabuhan yang bisa melakukan ekspor maupun impor. Walaupun demikian, sebe­ lumnya, ekspor komoditi asal Aceh rata-rata melalui pelabuhan di Sumatera Utara. Namun, perlahan ekspor melalui pelabuhan di Aceh mengalami kemajuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, total ekspor komiditi asal Aceh periode Maret 2017 mencapai US$13,50 juta. Dimana 50,22 persen atau US$ 6,78 juta nilai ekspor dilakukan melalui pelabuhan Sumatera Utara. Sedangkan 49,78 persen atau US$ 6,72 juta nilai ekspor dilakukan melalui pelabuhan di Aceh. “Sebelumnya, perbedaan angkanya cukup jauh,” ujar Kepala BPS Aceh, Mahyuddin, Selasa (2/4/2017) di Banda Aceh. Mahyuddin mengharapkan supaya ekspor melalui pelabuhan di Aceh terus mengalami peningkatan. Ia menambahkan, komoditi yang dieks­ por periode ini merupakan non migas. Sedangkan komoditi minyak dan gas

40

(migas) tidak ada. Komoditi non migas yang diekspor, seperti ikan dan udang, buahbuahan, garam, belerang, kapur, bahan bakar mineral, bahan kimia organik, pupuk, dan mesin/peralatan listrik. Lanjutnya, ekspor komoditi non migas pada Maret 2017 mengalami peningkatan sebesar 79,18 persen dibandingkan Februari 2017. Apabila dibandingkan dengan nilai ekspor pada Maret 2016 juga meningkat sebesar 1.934,80 persen. Pencapaian nilai ekspor periode Januari – Maret 2017 meningkat 53,37 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016. Sementara itu, nilai impor Provinsi Aceh pada Maret 2017 tercatat 449.705 USD. Nilai ini menurun sebesar 52,08 persen dibandingkan Februari. Bila dibandingkan dengan Maret 2016 juga mengalami penurunan sebesar 71,28 persen. Penca­ paian nilai impor periode Januari – Maret 2017 menunjukkan penurunan sebesar 52,45 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016. [Zulfurqan | AER]

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, total ekspor komiditi asal Aceh periode Maret 2017 mencapai US$13,50 juta. Dimana 50,22 persen atau US$ 6,78 juta nilai ekspor dilakukan melalui pelabuhan Sumatera Utara. Sedangkan 49,78 persen atau US$ 6,72 juta nilai ekspor dilakukan melalui pelabuhan di Aceh.

Foto: Zulfurqan/AER | ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


Nanggroe

MEUGANG, MERAWAT TRADISI SULTAN

P

asar Ulee Kareng, Banda Aceh ramai sejak subuh, Jumat 26 Mei 2017. Lapak-lapak daging digelar di hadapan areal pertokoan sepanjang jalan. Lalu lintas mulai macet sejak matahari terbit, warga memburu daging. Tak terkecuali Nurdin, seorang warga Ulee Kareng yang mencari daging di sana. “Harga daging memang mahal, tapi kami harus membelinya. Ini untuk merayakan tradisi,” ujarnya. Tradisi yang dimaksudkan adalah tradisi Meugang. Warga Aceh mengonsumsi daging lebih banyak untuk menyambut Ramadan dan hari raya. Biasanya dirayakan dua hari. Kondisi ini pula yang membuat harga daging melonjak naik. Daging satu kilogram ditebus Nurdin, dengan harga Rp 150 ribu. Padahal biasanya hanya Rp 100 ribu – Rp 120 ribu. Dalam merayakan tradisi Meugang, warga Aceh tak biasa dengan daging beku yang dijual di market-merket dengan harga lebih miring, Rp 80 perkilogram. Warga tetap akan memburu daging dari sapi lokal, walau mahal. Penjual daging, Jamal mengakui daging yang dijajakannya memang dihargai mahal. Sapi lokal Aceh yang dibelinya juga harus ditebus mahal dari peternak. “Setiap Meugang memang seperti itu, dan semua warga juga membelinya.” Soal harga daging, Gubernur Aceh Zaini Abdullah sebelumnya telah mengeluarkan imbauan, agar menjual daging paling tinggi Rp 130 ribu perkilogram. Tapi penjual tak menggubrisnya. Usai membeli daging, Nurdin mem­ bawa pulang lengkap dengan bumbubumbu. Di rumah istrinya memasak aneka rasa khas Aceh, dari masak kuah merah,

rendang Aceh, sie rebuh sampai masak putih. Masakan ini bisa dinikmati sampai beberapa hari saat Ramadan. Pasar-pasar daging dadakan muncul di seluruh pelosok Banda Aceh. Di pasar Peunayong, Darussalam, pasar Seutui, Batoh Lueng Bata dan bahkan di sudutsudut desa. Aktvitas lainnya hampir lumpuh, warga larut dengan tradisi yang sudah turun temurun ini. Sesuai tradisi, orang kaya biasanya membeli daging dalam jumlah banyak, kemudian membagikan kepada anak yatim atau tetangganya yang miskin. Bagi pria baru menikah, akan jadi aib kalau meugang tak membawa pulang daging ke rumah mertuanya. Meugang bukan hanya diperingati menjelang Ramadan. Sehari jelang Idul Fitri dan Idul Adha, tradisi ini tetap dilakoni warga Aceh. Tapi meugang Ramadan selalu lebih meriah, karena ramadan berarti akan berpuasa sebulan penuh ke depan. Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman mengatakan sesuai riwayat dulu kala, tradisi Meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar

Muda yang berkuasa tahun 1607-1636 M. Bahkan Meugang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau UndangUndang Kerajaan. Saat Meugang dulunya, kerajaan memerintahkan kepala desa untuk mendata warga miskin. Daging kemudian dibagikan kepada mereka secara gratis, sebagai wujud kemakmuran kerajaan dan perhatian pimpinan kepada warga. “Meugang memiliki makna selain untuk menguatkan silaturrahmi juga wujud kegembiraan menyambut bulan suci,” sebutnya. Meugang tak hanya soal makanan, tapi juga membangkitkan hidupnya sektor ekonomi. Peternak dapat menjual sapi, kerbaunya dengan harga yang baik, membuat pedagang bergairah. Selain daging, bumbu dan bahan masakan juga akan laku keras di hari itu. Transaksi ekonomi berjalan sampai lebaran. Sejak masa kesultanan dulu, tradisi Meugang terus dirayakan sampai kini. Warga merawatnya untuk menjaga amanah Sultan. [Adi W | AER]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

41


Sumber; Dok. Biro Perekonomian Setda Aceh

BIRO PEREKONOMIAN SOSIALISASIKAN DAN BINA PELAKSANAAN PROGRAM RASKIN/RASTRA SE-ACEH Dari beberapa tugas Bulog, salah satu­nya adalah menyediakan dan menyalurkan beras dari gudang Bulog kepada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Dalam mengelola ketersediaan stok, Bulog memiliki 33 ribu ton yang tersebar di seluruh wilayah Aceh. Cukup untuk menyalurkan lebih kurang 6 bulan ke depan. Bapak/Ibu tidak usah khawatir mengenai keadaan stok beras kita. 42

Muhammad Junaidi (Perwakilan Kepala Perum Bulog Divre Aceh)

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |


B

iro Perekonomian Setda Aceh melaksanakan sosialisasi dan Pem­ binaan Pelaksanaan Program Raskin/Rastra Se-Aceh pada tang­gal 26 s.d 27 April 2017 di Idi, Aceh Timur. Sosialisasi dan pembinaan ini dilak­ sanakan sebagai salah satu upaya untuk menindaklanjuti program strategis pemerintah untuk menekan angka kemis­ kinan. Sebagaimana diketahui, kemiskinan meru­ pakan kondisi sosial yang muncul akibat dari perkembangan situasi dan kondisi makro sosial ekonomi secara menyeluruh. Program Raskin/Rastra meru­ pakan salah satu upaya yang dirancang dan dilakukan selama ini oleh Pemerintah untuk mengurangi berbagai permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, maupun di Aceh pada khususnya. Program ini terus digalakkan dengan tujuan dapat mengurangi beban Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui pemenuhan seba­ gian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein. Keberhasilan Program Raskin/Rastra diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu: Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat Waktu, Tepat Kualitas, dan Tepat Administrasi. Inilah yang menjadi perhatian utama Pemerintah Aceh dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat. Pernyataan ini disampaikan Gubernur Aceh yang diwakilkan oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Drs. Syaiba Ibrahim dalam sambutannya di acara tersebut. Lebih lanjut Syaiba menjelaskan bah­ wa untuk Aceh, pagu Raskin/Rastra tahun ini ditetapkan sebesar 68.661.000 kg dengan jumlah sasaran penerima sebanyak 381.450 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Dibanding tahun 2016, jumlah pagu Raskin/Rastra sebesar 64.209.600 kg dan jumlah sasaran 356.720 RTS-PM. Berarti, dalam setahun terakhir, terdapat kenaikan pagu Raskin/Rastra sebesar 4.451.400 kg atau 6.93%. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan penerima manfaat sebanyak 24.730 KPM. Sosialisasi sekaligus pembinaan ini menghadirkan nara sumber yang sangat berkompeten dari Dinas Sosial Aceh diwakili oleh Hersie Malahayatie Shandra, A.KS, M.AP, Wahyudin selaku Kepala Badan Pusat Statistik Aceh, dan Kepala Perum Bulog Divre Aceh yang diwakili Muhammad Junaidi. Sebanyak 85 orang peserta dari seluruh Aceh sangat antusias mengikuti jalannya acara selama dua hari ini. Mengawali sosialisasi, Muhammad Junaidi menjelaskan bagaimana Perum Bulog melakukan penyediaan stok dan kualitas beras dalam distribusi Rastra. “Dari beberapa tugas Bulog, salah satu­ nya adalah menyediakan dan menyalurkan beras dari gudang Bulog kepada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Dalam mengelola ketersediaan stok, Bulog memi­ liki 33 ribu ton yang tersebar di seluruh

Nanggroe wilayah Aceh. Cukup untuk menyalurkan lebih kurang 6 bulan ke depan," jelasnya. "Bapak/Ibu tidak usah khawatir mengenai keadaan stok beras kita,” tambah Junaidi meyakinkan. Dalam kesempatan tersebut, Junaidi juga menjelaskan kendala tahun 2016 yang tidak pernah terjadi sebelumnya di mana Aceh mengalami tunggakan HPP beras sebesar Rp22 milyar. Tertunggaknya ini terjadi diakibatkan oleh proses penyele­saian MBA 1 terlambat dibuat oleh masing-masing Pemkab dan Pemko. Kemiskinan Rumah Tangga Berbasis Data Terpadu Wahyudin, Kepala Badan Pusat Statistik Aceh menjelaskan polemik yang terjadi dalam mengukur kemiskinan masyarakat Aceh. Dalam pengukurannya, kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan makro dan mikro. Kemiskinan makro hanya memberi gambaran umum seberapa banyak persen­ tasenya. Tetapi kita tidak mengetahui siapa dan di mana orangnya. Sedangkan kemiskinan mikro, kita bisa mengetahui siapa dan di mana masyarakat miskin tersebut. Inilah gambaran rumah tangga sasaran BPS dalam Program Perlindungan Sosial 2015-2019. “Pada September 2016, angka kemis­ kinan Aceh mencapai 16,43% dan kita targetkan pada 2018 akan ditekan menjadi 15%. Dengan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) ini banyak informasi-informasi yang dapat kita peroleh yang akan menjadi sasaran kita. Pada PBDT 2015, kita sudah mendata masyarakat Aceh lebih dari setengahnya, yaitu 58% dari sekitar 1,27 juta rumah tangga yang ada di Aceh. PBDT ini sudah berhenti pada tahun 2015 dan dilanjutkan dengan Mekanisme Pemutakhiran Mandiri (MPM) dari basis data yang ada,” papar Wahyudin. Lebih jauh Wahyudin menjelaskan bahwa angka kemiskinan Aceh selalu menurun dari tahun ke tahun. Pada September 2015, tingkat kemiskinan Aceh sebesar 17,11% dan September 2016 menjadi 16,43%. "Namun mengapa raskin/rastra malah meningkat tahun 2017 ini? Hal ini bukanlah karena ada peningkatan kemiskinan, me­ lain­­­­kan kemampuan pemerintah untuk memberikan bantuan rastra yang semakin meningkat," jelasnya. Data BPS mengungkapkan bahwa komoditi pangan memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat kemiskinan di Aceh, yakni sebesar 76,17%. Sementara, komoditi sandang dan papan memiliki pengaruh sebesar 23,83%. Komoditi beras di perkotaan memiliki pengaruh sebesar 16,36% dan 24,37% di pedesaan. Pengaruh komoditi terbesar kedua adalah rokok kretek filter. Di perkotaan, pengaruhnya tercatat sebesar 13,04% dan di pedesaan sebesar 10,66%. Sisanya dipengaruhi oleh komoditi ikan, daging sapi, dan cabai merah.

Peran TKSK Dalam Program Rastra Melalui upaya dinas sosial, Hersie Malahayatie Shandra menjelaskan peran strategis Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam pendampingan program Rastra. TKSK berfungsi sebagai koordinator, administrator, dan fasilitator di mana TKSK sangat efektif berada di kecamatan-kecamatan. Pemahaman TKSK itu sendiri adalah seseorang yang diberi tugas dan kewenangan oleh Kementerian Sosial dan atau Dinas/Instansi Sosial selama jangka waktu tertentu untuk melaksanakan dan membantu penyelenggaraan kesejah­ teraan sosial sesuai dengan wilayah penu­ gasan di kecamatan. “Verifikasi kerap dilakukan untuk men­ da­patkan sasaran TKSK yang berhak, namun masih belum menemui titik terangnya. Jadi saya berharap para teman-teman TKSK menggunakan momen MPM dari BPS Aceh terkait mendapatkan data yang betul-betul tepat sasaran. Berdasarkan pengalaman, di daerah Aceh Besar, pembagian Rastra tidak sesuai dan kurang tepat sasaran karena untukmenghindar konflik misalkan, maka Pak Keuchik berinisiatif membagi rata Rastra tersebut kepada warganya, mau kaya atau miskin akan dapat, inilah yang salah,” jelas Hersie. Lebih jauh, ia menerangkan mengenai tepat jumlah, yaitu 15 kg untuk setiap rumah tangga sasaran penerima manfaat per bulan. Lainnya adalah tepat harga, yaitu Rp.1.600,-/ kg uang tebus. Ia juga memberikan apresiasi kepada Aceh Timur yang telah membebaskan kepada masyarakat terkait dengan harga uang tebusnya. Kemudian ada tepat waktu, yaitu disediakan pada minggu pertama atau kedua setiap bulannya, walau pada kenyataan di lapangan tetap ada yang tiga atau empat bulan sekali. “Lebih lanjut ada tepat mutu dan administrasi, di mana beras yang dibeli harus sesuai dengan kualitas yang didapat, serta dengan dokumen yang tepat untuk pencairan dan pertanggungjawaban. Dan adanya pelaporan secara online oleh Dinas Sosial sehingga data yang di input menjadi lebih cepat,” paparnya. [dms/JP/AER]

Sumber; Dok. Biro Perekonomian Setda Aceh

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I APR I L - J U N I 2 017 |

43


Nanggroe

Grafis : Dimas/AER

KEK ARUN PENGGERAK UTAMA EKONOMI ACEH

A

ceh memiliki hak 46% saham atas Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe (KEKAL). Diharapkan saham tersebut bertambah men­ jadi 51% saham enam tahun ke depan. Kepemilikan saham sebesar itu menjadikan Aceh sebagai pemilik saham dominan. Pemerintah Aceh bisa juga bekerjasama baik dalam konsep joint venture maupun joint operation dengan mitra strategis yang prioritasnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah beroperasi di kawasan KEKAL. BUMN dan investor strategis yang lain juga akan dilibatkan sejauh memiliki kemampuan dan bisnis yang sesuai dengan rencana pengembangan KEKAL. Perusahaan pengelola KEKAL ini selanjutnya akan mela­ kukan kerjasama pengelolaan aset dengan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) selaku wakil Pemerintah dalam kepemilikan aset eks kilang Liquefied Natural Gas (LNG) Arun. “Karena tingginya keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha pengelolaan kawasan KEKAL, selaku pihak yang diberi hak kelola, Pemerintah Aceh dapat mengambil saham mayoritas tanpa harus menyetor dana investasi,” pungkas Ketua Tim Percepatan KEK Fakhrulsyah Mega saat konferensi pers di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Banda Aceh, beberapa bulan lalu.

Ketua Tim Percepatan KEK Fakhrulsyah Mega (Kiri)

44

Mengurangi pengangguran Konsep pengembangan KEKAL yang diupayakan oleh Pemerintah Aceh akan mampu menjadi penggerak ekonomi utama di Aceh. Total investasi yang akan masuk ke KEKAL diperkirakan mencapai $US 3,54 miliar. Dengan jumlah potensi investasi sebesar ini diperkirakan KEKAL akan mampu menciptakan lapangan kerja langsung bagi lebih kurang 30.000 orang. Kegiatan ekonomi yang akan dikem­ bang­ kan di kawasan KEKAL juga akan menimbulkan multiplier effect yang akan menggerakkan berbagai kegiatan usaha di luar kawasan KEKAL. Diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja baru sampai sekitar 200.000 orang. Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabu­ paten Aceh Utara dan Pemerintah Kota Lhokseumawe diperkirakan akan memperoleh sharing penda­ patan sampai sekitar Rp1,7 T per tahun dari investasi revitalisasi aset kilang LNG Arun dan sekitar Rp100 miliar kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Badan Usaha Pengelola KEKAL. Pendapatan ini akan menjadi sumber utama pengganti dana otsus yang akan dipangka sampai 50% pada tahun 2022 dan akan hilang secara total pada tahun 2027. “Kondisi ini akan berbeda jauh jika mengikuti konsep pengembangan KEKAL yang diusulkan oleh Konsorsium yang di pimpin oleh PT Pertamina,” ungkap Fakhrulsyah. Biaya investasi yang dikeluarkan oleh pengelola KEKAL untuk tiga tahun pertama hanya sebesar Rp170 miliar. Biaya itu digunakan untuk memperbaiki jalan, pagar, drainase dan biaya operasional Badan Usaha Pengelola KEKAL. Dengan struktur pembiayaan 70% pinjaman dan 30% ekuitas maka dana yang perlu dikeluarkan mitra strategis nantinya hanya sekitar Rp50 miliar.

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

Sisanya dapat diperoleh dari pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya. “Dengan investasi sekecil itu nantinya Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) dan investor strategis akan dapat meraup ratusan miliar rupiah tiap tahun dari usaha yang dikeluarkan,” tambahnya. Perbandingan yang sering dibuat misal­ nya antara KEK Sei Mangkei yang diusulkan oleh badan usaha dengan KEK Maloy Batuta yang diusulkan oleh pemerintah daerah. KEK Sei Mangkei dinilai mengalami progres yang lebih cepat jika dibandingkan KEK Maloy Batuta. Membandingkan KEK Arun Lhokseumawe dengan KEK lainnya tentu tidaklah relevan. Sebagai gambaran, proses pembangunan KEK Sei Mangkei di mulai dari lahan kosong. Proses pengusulannya sendiri membutuhkan waktu 5 tahun. Persyaratan kelengkapan infrastruktur dan kelembagaan paska keluar­ nya PP KEK Sei Mangkei baru diperoleh satu bulan sebelum masa berakhirnya masa yang ditetapkan oleh Sekdenas tigas tahun. Kondisi ini tentu berbeda dengan KEKAL, hampir seluruh infrastruktur dasar di kawasan KEKAL termasuk pelabuhan, jalan, drainase, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, air bersih dan Instalasi Pengolahan Air Limbag (IPAL) telah tersedia. Sementara itu, KEK Sei Mangkei masih membutuhkan tahunan untuk mendapatkan investor yang bersedia membangun infrastruktur dasar kawasan untuk mendukung pengembangan industri. Sedangkan KEKAL telah memiliki infrastruktur yang siap dioperasikan. “Bahkan sebagaimana kita ketahui bersa­ ma di daerah ini telah dibangun infra­struk­tur kilang migas beserta infrastruktur pendukung termasuk sekolah, fasilitas olah raga, rumah sakit dan lain sebagainya,” tutur Muhammad Abdullah, Anggota Tim Percepatan KEKAL. [Zulfurqan | AER]


Kuala Paret, SURGA TERSEMBUNYI

Wisata

DI ACEH TAMIANG

Sungai indah dengan batu-batuan yang membentuk ngarai berkelok-kelok. Belum lagi hijau pepohonan yang menambah indah pemandangan. Inilah Kuala Paret, surga tersembunyi dari Aceh Tamiang.

45

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | Foto: E D I Swisataacehtamiang.blogspot.com I APR I L - J U N I 2 017 |


Wisata

S

etiap orang, pasti menginginkan saat liburan berada di tempat yang menyenangkan, baik bersama teman maupun keluarga. Banyak orang yang lebih memilih tempat wisata yang alami dengan alasan jenuh akan rutinitas atau kesibukan perkotaan. Tak heran bila ternyata tempat-tempat yang bernuansa alam menjadi incaran para wisatawan. Tapi, di mana tempat yang menakjubkan atau yang tidak biasa untuk dikunjungi? Yang pastinya tidak perlu jauh-jauh keluar negeri. Belakangan ini, nama Kuala Paret memang ramai diperbincangkan di dunia maya dengan foto-fotonya yang bertebaran di media sosial. Tak ada yang menduga, ternyata di daerah Aceh Tamiang ada lokasi wisata seindah ini. Kuala Paret merupakan sebuah sungai yang indah dengan batu-batuan yang membentuk ngarai cantik yang berkelokkelok, berada dalam kawasan perkebunan PT. Ampli yang berada di Desa Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang. Jarak dari pusat Kota Kuala Simpang lebih kurang ditempuh dalam 3 jam perjalanan lamanya yang dapat dilalui dengan menggunakan sepeda motor ataupun mobil. Jika perjalanan dimulai dari kota Kuala Simpang, pengunjung harus melintasi Jalan Medan-Banda Aceh. Setelah tiba di persimpangan tiga Semadam, pengunjung harus memilih jalan menuju desa Pulau Tiga.

46

Dari desa tersebut perjalanan menuju Desa Aloy (lokasi Kuala Paret) yang jaraknya kirakira 20 Km. Perjalanan untuk menikmati Kuala Paret ini sedikit menantang. Berpetualang adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perjalanan menuju Kuala Paret. Kondisi jalanan yang belum diaspal, berbatu serta berbukit, melewati pohon rindang dan lebat menjadikan perjalanan sebagai tantangan penguji kesabaran. Sejatinya, keindahan alam tetap terpancar selama perjalanan. Di sepanjang perjalanan pengunjung akan disambut dengan pemandangan bukit-bukit yang hijau serta perkebunan kelapa sawit yang terbentang di sisi kiri dan kanan. Sebutan “Kuala� sendiri merujuk pada hamparan pasir dan batuan kecil yang ada di sana. Memang seperti Kuala atau pantai. Sementara disebut “Paret� (dialek Tamiang untuk parit) karena sejatinya itu adalah sebuah parit besar atau sungai kecil. Dari namanya memang rasanya kurang menarik, namun siapa sangka tempat ini justru menyuguhkan pesona alam yang menawan.. Salah satu daya tarik objek wisata ini adalah bentuk bebatuan yang abstrak dan berkelokkelok yang dialiri air yang berwarna agak kehijuan dan jernih. Indah sekali. Terlebih jika kita melihatnya dari puncak bukit. Tampak aliran air yang jernih itu seperti untaian batu zamrud yang dibiarkan begitu saja. Tidak hanya keindahan bebatuan yang

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I A P R I L - J U N I 2 0 1 7 |

Foto: wisataacehtamiang.blogspot.com

ada di sekitar aliran sungai saja yang menarik disini. Tetapi panorama tebing yang sangat tinggi disertai tanaman hidup di dinding tebing di lokasi wisata ini juga menjadi sesuatu pesona yang luar biasa untuk menjadikan diri kita lebih bersyukur dengan rahmat yang telah Allah SWT berikan di Bumi Muda Sedia ini. Udara pegunungan yang segar akan membuat anda betah berlamalama disana. Rasa gerah selama perjalanan akan luntur ketika mandi atau bermain air pada alur sungai yang lebih tenang. Jadi, bagi yang sedang berada di Aceh Tamiang sempatkanlah berkunjunglah ke Kuala Paret ini. Kuala Paret merupakan lokasi wisata yang tepat bagi siapapun yang ingin relaksasi dan menjauhi kepenatan kota. Eksplorasi keindahan alamnya dan nikmatilah perjalanan yang memacu adrenalin ini. [Ela | AER]

Foto: lsmpessat.blogspot.co.id



Biro Perekonomian Setda Aceh


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.