Aceh Economic Review Edisi I Januari - Maret 2017

Page 1

Edisi Januari - Maret 2017

A Comprehensive In-depth Review of Aceh Economy

ISSN

2089-4465

9 772089 446550

ACEH SIAP MELAKSANAKAN PENAS XV 2017


Biro Perekonomian Setda Aceh 2

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


S a l e um si k a d e R

Drs. Muhammad Raudhi, M.Si (Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh)

Assalamualaikum wr.wb. Pembaca AER yang mulia. Alham­ dulillah kita bertemu lagi dalam edisi Januari-Maret 2017. Laporan Utama edisi kali ini mengangkat tema “Aceh Siap Melaksanakan Pekan Nasional (PENAS) Petani-Nelayan XV tahun 2017. Event akbar petani-nelayan ini akan dihadiri oleh tiga kementerian terkait, serta diikuti oleh seluruh Gubernur, Bupatidan/Walikota se-Indonesia. Wajar jika Penas menjadi agenda nasional yang sangat penting di tahun ini. Acara

yang rencananya akan dibuka langsung oleh Presiden Jokowi dan ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ini akan dilaksanakan di Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh pada tanggal 6-11 Mei 2017 nanti. Pembaca AER yang budiman. Selain laporan utama, seperti biasa kami tetap menyuguhkan berbagai berita terkait perekonomian nanggroe Aceh. Dalam rubrik peluang usaha, kami sajikan liputan tentang Azhari yang membuka usaha dendeng ikan leubim Desa Alue Deah Tengoh, Meuraksa, Banda Aceh. Dalam rubrik peluang usaha, kami sajikan usaha taksi online Ho-Jak yang digawangi seorang pemuda kreatif, Khairul Mubarak, namanya. Pada rubrik wisata kami sajikan liputan di Conservation Research Unit (CRU) di Sampoinet, Aceh Jaya. Pada kesempatan kali ini, kami berkesempatan mewawan­ carai seorang sosok pria paruh baya, Zubir Marzuki yang memproduksi tepung tapioka dengan merek Seulawah. Ia berhasil mengembangkan mereknya hingga ke Medan Sumatera Utara dengan memanfaatkan fasilitas Balai Benih Holtikultura milik Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh di Saree, Aceh Besar. Pembaca yang terhormat. Pada kesempatan kali ini, kami ingin menukilkan ucapan Cut Nyak Dhien yang dikutip Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani Indrawati dalam kuliah umumnya di Unsyiah awal tahun ini. “Penjagaan terbaik bagi generasi muda adalah contoh yang baik bagi Generasi Tua.” Oleh sebab itu, sebagaimana yang disampaikan Menkeu, kami juga ingin mengajak kita semua para generasi muda untuk mencontoh semangat pengorbanan yang dimiliki generasi tua dalam membangun bangsa. Aceh memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi provinsi yang makmur dan sejahtera di Indonesia. Melalui PENAS XV 2017 Aceh, mari kita wujudkan kedaulatan pangan di Aceh untuk Indonesia. [ ]

REDAKSI

Pelindung : Gubernur dan Sekretaris Daerah Ketua Pengarah : Asisten Keistimewaan Aceh, Pembangunan dan

Ekonomi Aceh Wakil Ketua Pengarah : Drs. Muhammad Raudhi, M.Si

(Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh)

Pemimpin Redaksi : Nurhayati, SE, M.Si

(Kabag. Administrasi Sarana Perekonomian pada Biro Perekonomian) Wakil Pemimpin Redaksi : H. Mulyadi Nurdin, LC, MH (Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh)

Anggota : M. Surya Putra, SE, M.Si

Syarifah Masyitah

Redaktur Pelaksana : Ketua : Aridiansyah Putra, SE Sekretaris : Warda, SE, Ak., MM Anggota : Nurdin, S.Pd

Muhammad Iqbal, S.STP, M.Si

Redaksi :

Ketua : Dian Agusta, S.STP, MA

Sekreataris : Dewi Ertika Pane, S.S

Anggota : Kemalawati, BA

Marzuki, S.Sos Zaldi Akmal, SE, MM Mahdani

Staf Redaksi : Anggota : Zaldi Akmal, SE, MM

Syaiful Ardy

Managing Editor : Suhendra, SE

T. Muda Syurmanshah, SE Dimas Aldrian

Wartawan : Mizla Sadrina, SE., Fauzan, Nazariandi, Mia, Miftah, Nanda, Aidil, Fitri, Jauhar, Febi, Lilis.

Redaksi/Kontributor : Jeliteng Pribadi, SE, MM, MA,

Said Muniruddin, SE, MA, Miftachuddin Cut Adek, SE, M.Si,

Kartunis : Deky Konsultan Media : Adi Warsidi, Yoserizal Desain Grafis/Layout : Amir Faisal Alamat Redaksi Kantor Gubernur Aceh, Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Aceh Jln. T. Nyak Arief, No. 219, Banda Aceh. Email: bulletin.aer@gmail.com

Selamat menikmati... Wassalam

Percetakan : PT AMG - Serambi Indonesia (Isi di luar tanggung jawab percetakan)


Daftar Isi

Laporan Utama

 Laporan Utama

6-9 Penas XV dan Momentum Modernisasi Pertanian Aceh 10-11 Memanfaatkan Momentum Penas 12-13 Adat Pemulia Jamee Sukseskan PENAS XV 14-15 Investasi Pada Sektor Perikanan Aceh 16-17 Tranformasi Kemasan Bisnis Ikan Kayu Aceh 18-19 Pertanian Sektor Andalan Pertumbuhan Ekonomi Aceh

Hal. 6 Peluang Usaha

 Analisa

20-21 Catatan dari Kuliah Umum Menkeu Dr. Sri Mulyani Indrawati: Membangun Fondasi Untuk Pertumbuhan Yang Berkelanjutan

 Peluang Usaha

22-25 Hojak, Melihat Peluang Transportasi Berbasis Online 26-27 Berawal Dari Niat

Hal. 22

 Opini

28-29 Tantangan Industri Perbankan di Aceh

Nanggroe

 Sosok

30-31 Zubir Marzuki, Bangkit Demi Negeri

 Investasi

32-33 FEB Unsyiah dan TICMI Buka Program Pendidikan Pasar Modal

 Nanggroe

34-36 Sekilas Tentang Jumlah Wisman ke Aceh 37 Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi 38-39 Nikmatnya Sate Taichan 40-41 Dari Pinjaman Rp 1 Juta Menghasilkan Rp 80 Juta Sebulan 42-43 Memberdayakan Produk Lokal Melalui OVOP 42-43 Memasuki Babak Baru Pertambangan dan Migas Aceh

Hal. 34 Wisata

 Wisata

44-46 Segarnya Keindahan Aceh Jaya dan Aceh Besar

Hal. 44


Surat Pembaca

Dr. Syurkani Ishak Kasim, SE, M.Econ | Direktur Pusat Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Wah hebat ini majalahnya. Terbitan Biro Ekonomi Pemda Aceh? Pembangunan daerah itu konsepnya tidak boleh parsial. Dia harus terintegrasi. Jangan berlomba membuat sesuatu yang dia tidak punya kapasitas. Karena untuk memulai sesuatu kan berat. Seperti orang usaha, kan. Orang usaha itu kadang-kadang kepingin pinjam kredit bank sekian ratus juta, buka toko. Harusnya kan orang selalu mulai dari apa yang dia mampu. Di daerah ini juga seperti itu, harusnya membangun sesuai dengan kapasitas. Mungkin hasilnya akan berbeda. Seperti misalnya ingin membangun jalan tol, harusnya kan disiapkan konektivitasnya dulu. Laut pun demikian juga. Maka perlu desain. Orang harus punya desain terlebih dahulu, dan kemudian harus konsisten. Dalam membangun itu, tidak hanya ingin meraih tujuan jangka pendek, tapi harus punya tujuan jangka menengah dan jangka panjang. [jp]

Dr. Srinita, M.Si | Dosen FEB Unsyiah/Anggota KADIN Pusat Wah majalahnya bagus banget, bisa sebagai promosi juga dalam bidang kepariwisataan, sumber daya alamnya dan keunikan budaya setempat kita tahu juga bahwa Barsela mempunyai wisata alam yang indah sekali. Kekurangan kawasan Barsela hanya di penataannya dan di infrastruktur untuk menunjang perkembangannya. Ke depan perlu perhatian yang khusus supaya potensi ekonominya bisa meningkat. [adek].

Sardin, S.Pd, M.Pd | Pendidik, Tinggal di Bireuen Wah bagus sekali majalahnya ini. Siapa yang menerbitkan? Oh Biro Perekonomian Pemda Aceh. Majalah ini secara teoritis bagus. Kita berusaha memberikan informasi pembangunan ekonomi dan bisnis ke masyarakat. Tapi saya yakin, manakala informasi tersebut ingin kita tindaklanjuti, itu pasti akan ada masalah. Karena ada banyak aspek yang menjadi tantangan dalam pembangunan Aceh. Mulai dari konflik kepentingan, hingga mental perilaku masyarakat yang mencari keuntungan pribadi ataupun kelompok. Inilah yang selalu menjadi tantangan dalam sejarah pembangunan Aceh dari dulu hingga sekarang. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah, juga masyarakat yang berharap dapat meningkatkan kesejahteraannya. [zaky] | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

5


PENAS XV DAN MOMENTUM MODERNISASI PERTANIAN ACEH

6

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


LAPORAN UTAMA

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

7

Foto : Dimas Aldrian


Mobile Rice Milling Unit (RMU)

M

ei 2017 ini merupakan momentum penting bagi sector pertanian Aceh. Dengan diselenggarakannya Penas Petani Nelayan XV pada tanggal 6-11 Mei 2017 di Banda Aceh, diharapkan dapat menjadi ajang bertukar informasi sekaligus mengangkat kearifan lokal Aceh dalam teknologi pertanian. Kebetulan, saat ini di Aceh sedang masa panen raya, hasil karya tanam serentak yang diprogramkan oleh pemerintah dan disepakati bersama oleh petani untuk mewujudkan ketahanan pangan khususnya beras di daerah dan nasional. Berarti sebentar lagi kita pun akan menikmati gurih dan wanginya nasi breueh pade baro (beras padi baru) diiringi sumringahnya senyum petani yang puas dengan hasil panennya. Pengorbanan dan penantian selama empat bulan tidak sia-sia. Bayangan kesejahteraan dan kemakmuran pun melintas di depan

8

mata jika pemerintah mampu memproteksi harga gabah atau beras pada neraca input dan output yang menguntungkan petani. Pengembangan mekanisasi pertanian, selalu dicirikan melalui inovasi, introduksi, selektivitas dan adaptasi alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk proses produksi, mulai dari prapanen hingga ke pascapanen. Alsintan yang cocok tidak harus selamanya yang berteknologi mutakhir namun harus selektif dan disesuaikan dengan lingkungan (adaptasi) yang cocok dengan kemajuan dan perkembangan di Aceh yang kini mulai membenah diri dalam penggunaaan alsintan untuk mengejar target produksi. Kini peran petani di Aceh perlahan mulai tergantikan oleh mesin pemanen yang dikenal dengan nama Combine Harvester. Kehadiran mesin yang mengkombinasikan antara pekerjaan pemanenan padi, perontokan gabah dan pencacah jerami, kini telah diintroduksi ke dalam sistem

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

pertanian kita. Sepanjang Aceh Barat Daya, Bireuen, Pidie Jaya, dan di sejumlah kabupaten/ kota lainnya di Aceh yang menurut Dinas Pertanian Aceh, jumlah Combine Harvester yang terdistribusi telah mencapai 515 unit atau meningkat 98.83% selama 2013-2016 (Serambi, 29/11/2016). Prof. Dr. Ir. Abubakar Karim MS, mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh mengungkapkan, pada tahun 2013 lalu, jumlah traktor 4 WD di Aceh sekitar 123 unit. Sementara, pada tahun 2016 sudah mencapai 163 unit atau bertambah 40 unit. Pertambahan terbesar terjadi pada traktor jenis tangan (hand tractor) mencapai 1.160 unit, dari 149 unit menjadi 1.309 unit. Kemudian mesin potong atau panen padi (combine harvester) bertambah 509 unit, ari 6 unit menjadi 515 unit. Mesin pemanen jagung bertambah 286 unit, dari 70 unit menjadi 356 unit. Power thrasher


Laporan Utama 448,414 hektare atau sudah mencapai 87,45 persen dari targetnya. Sementara jagung, realisasi tanamnya mencapai 71.048 hektar (118,41 persen), melampui target 68.000 hektare. Untuk kedelai, realisasi tanam baru mencapai 42,41 persen, atau 20.156 hektaredari targetnya 47.526 hektar. Perlunya Modernisasi Dengan modernisasi pertanian Aceh, maka akan adanya beberapa faktor yang akan berkembang, yaitu kondisi sosial ekonomi petani akan membaik, minat untuk bekerja di sektor pertanian kian meningkat, sehingga tenaga kerja bidang pertanian semakin terbuka, tuntutan peningkatan kebutuhan pangan; baik secara kuantitas maupun kualitas, peningkatan volume pertanian, harga jual produk yang lebih tinggi, harga sarana produk yang lebih murah Sekarang perkembangan teknologi begitu cepat, sehingga sistem kilang padi keliling (mobile RMU) lebih cepat dalam pelayanan dan disukai oleh petani. Pelayanan dengan RMU keliling ini akan mempermudah pelayanan kepada petani karena keterampilan RMU keliling ia juga memiliki alat pemecah (double roll yang produktif) dan pemutih biji beras yang berkualitas dan mengkilap (polisher canggih) untuk menghasilkan beras yang berkualitas, di mana dengan sistem mobile efisiensi produksi lebih terjamin dan

pelayanan petani lebih cepat. Kehadiran mekanisasi bukannya untuk menciptakan pengangguran tetapi memperluas peluang pekerjaan dan meningkatkan aktivitas ekonomi yang baru. Sebagai contoh dengan terpangkasnya waktu yang seharusnya dipergunakan untuk pemanenan, maka petani dapat memanfaatkan kelebihan waktunya untuk mengerjakan hal-hal produktif lainnya seperti: menanam jenis sayuran dan hortikultura, memelihara ikan, menternak hewan, atau berjualan di pasar. Untuk mendorong percepatan pengem­­ bangan modernisasi alsintan di Aceh, diperlukan dukungan dan kerja sama yang sinergis dan harmonis dari seluruh komponen utama (multi-stakeholders), meliputi Dinas Pertanian Tanaman Pangan, industri/swasta, lembaga penelitian yang dimiliki oleh seluruh perguruan tinggi di Aceh, termasuk Pusat Studi Mekanisasi dan Perbengkelan Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), serta LSM, masyarakat dan para petani yang selalu menggantung harapan. Tinggi harapan dari proses modernisasi pertanian melalui penerapan dan pengem­ bangan mekanisasi ini dapat memperkuat Aceh sebagai satu lumbung pangan Nasional, di mana hasil produksi pertanian terus meningkat, kesejahteraan petani tercapai, ketahanan dan kedaulatan pangan pun terwujud. (aer)

Foto : Dimas Aldrian

juga bertambah dari 89 unit menjadi 534 unit, serta sejumlah alat pertanian lainnya. Mewujudkan inovasi teknologi pertanian yang strategis, harus mampu untuk mendorong industrialisasi pedesaan yang dapat membangkitkan motivasi petani menjadi mitra yang baik dalam memenuhi bahan baku yang dibutuhkan, karena untuk pembangunan ekonomi Aceh, harus dimulai dari pembangunan pedesaan. Aceh harus mampu membangun industri hilir yang berorientasi pada ekspor. Karena jumlah alat yang baru dimiliki belum seimbang dengan luas lahan tanaman padi dan jagung yang telah intensif. Luas sawah baku di Aceh ada sekitar 310.746 hektare, tersebar di 23 kabupaten/ kota. Dari luas itu, sekitar 290.337 hektare, setiap tahun ditanami padi, jagung, kedelai, dan komoditas pertanian tanaman lainnya. Tanaman padi misalnya, pada tahun 2016 lalu, realisasi tanamnya telah mencapai | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

9


MEMANFAATKAN MOMENTUM PENAS

B

erulang kali pekerja itu mengayunkan gancu tanah papak lancip. Menggali tanah sebagai tempat instalasi kabel listrik di sekitar Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh. Sesekali ia berhenti. Kemudian menarik napas panjang. Keringat­ nya mengalir dari ubun-ubun. Bajunya basah. Pekerja lain nampak beristirahat sambil menghisap rokok gudang garam merah. Menghembuskan nafas bercampur asap lewat hidung dan mulutnya. Hisapan demi hisapan mereka nikmati. “Kita istirahat sebentar setelah memasang platform dan memperbaiki toilet stadion,” ujar kepala tukang Abdul Bahri (34). Bersama empat rekan kerjanya, Abdul duduk di depan salah satu pintu masuk stadion, Minggu (19/3). 100 meter dari sana, sejumlah pemuda

10

berlatih balapan motor. Suara raungan knalpotnya merambat ke telinga. Perbaikan sejumlah fasilitas di stadion dalam rangka menyambut Pekan Nasional (Penas) Petani dan Nelayan XV 2017 mulai 6-11 Mei. Stadion ini akan menjadi pusat perhelatan acara akbar yang bertemakan melalui Penas Petani dan Nelayan XV 2017 kita mantapkan kelembagaan tani nelayan dan petani hutan sebagai mitra kerja pemerintah dalam rangka kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan menuju kesejahteraan petani nelayan Indonesia. Lelaki yang akrab disapa Adul ini mengatakan, perbaikannya cuma di bagian penting stadion. Adul bersama rekannya diharapkan sudah menyelesaikan tugas pada April. Seluruh fasilitas stadion baru bisa direhap setelah Penas. Bahkan rembesan air di atap belum dapat

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

Dr. Ir. Agussabti M.Si ​Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah


Laporan Utama diperbaiki. Dikhawatirkan tidak siap menjelang Penas karena menyita banyak waktu. “Yang kita benahi yang kecil-kecil saja, yang besarnya tidak,” pungkasnya. Jumlah peserta dari yang hadir dari 34 provinsi di Indonesia diperkirakan mencapai puluhan ribu. Di event ini mereka akan saling menukarkan informasi berkaitan produk petani dan nelayan. Serta memamerkan produk unggulan. Presiden Joko Widodo akan membuka acara ini secara resmi. Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah Dr. Ir. Agussabti M.Si, mengharapkan, Penas bisa menjadi wadah bagi petani untuk saling bertukar informasi. Sehingga persoalan pertanian di Aceh secara khusus bisa teratasi. Tantangan pertanian di Aceh berkaitan dengan lahan, air, benih, dan pengelompokan jenis tanaman . “Di Aceh orang yang sedikit banyak memiliki lahan. Orang banyak sedikit memiliki lahan,” tuturnya saat menjadi pemateri di pengajian Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI). Ia menuturkan pemerintah harus membanatu memberdayakan para petani. Salah satu caranya dengan menyediakan pabrik olahan hasil pertanian. Sehingga hasil pertanian bisa bertahan lama serta memiliki nilai jual. Syarat pabrik ini tetap hidup bila bahan baku cukup tersedia. Di negara lain mereka membuat pengelompokan jenis tanaman pertanian. Misalnya di atas 200 hektar lahan hanya boleh ditanam pohon mangga. Akhirnya bahan baku pabrik olahan selalu cukup “Di Aceh para petani belum sejahtera,” imbuhnya. Promosi wisata Momen bersejarah ini turut diman­ faatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh untuk mempro­ mosikan wisata. Kemungkinan besar peserta Penas ingin berwisata ke sejumlah lokasi. “Semoga peserta terkesan dengan wisata di Aceh dan mempromosikannya ketika pulang kampung,” ujar Reza Fahlevi, Kepala Disbudpar Aceh. Reza menjelaskan, kepuasan peserta Penas menikmati objek wisata menen­ tukan mereka kembali suatu saat nanti ke Aceh atau tidak. Penyedia layanan wisata ditekankan untuk melayani wisatawan dengan baik. Disbudpar sudah berkoordinasi dengan pihak penyedia akomodasi, seperti perhotelan, restoran, transportasi, dan sebagainya. “Pengelola destinasi wisata harus siap menyambut tamu luar,” sambungnya. Nantinya, Disbudpar menyediakan

Drs. Reza Fahlevi, M.Si Kadisbudpar Aceh

informasi kepariwisataan di bandara, pelabuhan, dan melalui internet supaya mudah diperoleh peserta Penas. Disbudpar mengajak volunteer, duta wisata, dan sejumlah komunitas turut mempromosikan wisata Aceh. Ia menambahkan, Penas memiliki pengaruh kuat memperkenalkan wisata di Aceh. Makanya seluruh layanan kepari­ wisataan diharapkan berjalan sukses. “Kalau peserta Penas kecewa maka akan menjadi bumerang bagi kita,” paparnya. Wakil IV Inong Banda Aceh 2014 Riska Nanda menuturkan bahwa perkembangan pariwisata di Aceh sangat baik. Buktinya Aceh mampu menyabet dua kategori World Halal Tourism Award pada 2016. Salah satu destinasi terbaik di Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman. Saat ini sedang diperluas. Menurutnya, Aceh memiliki potensi wisata yang luar biasa. Mulai dari potensi alam, budaya, agama, dan bahkan situssitus peninggalan tragedi tsunami yang telah dikelola dengan baik. “Semua itu memiliki nilai jual sebagai objek wisata,” pungkas dara kelahiran Banda Aceh, 25 Juli 1994 yang akrab disapa Nanda ini. Katanya, daya tarik wisatawan dapat ditingkatkan dengan menyediakan fasilitas kebutuhan mereka. Fasilitas umum yang biasanya dibutuhkan seperti toilet dan musala di setiap lokasi wisata. Sebagai daerah yang menjunjung tinggi syariat Islam tentunya musala harus tersedia. Syariat Islam memiliki nilai jual tersendiri. Penerapan syariat Islam yang baik mampu meningkatkan minat wisatawan mengunjungi Aceh. Ia menjelaskan Pengaruh media dalam promosinya juga patut diperhitungkan. Media sosial dapat menjadi alat promosi

yang menjanjikan. “Pemerintah dapat bekerjasama dengan media penyiaran seperti televisi dan radio untuk mengekspos potensi wisata,” terangnya. Pelaksanaan Penas di Aceh diperkirakan dihadiri sekitar 30-an ribu peserta. Jelas Nanda, momen ini merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan. Masyarakat Aceh harus membuktikan bahwa Aceh merupakan daerah tujuan wisata yang tepat. Pemerintah tidak akan dapat bekerja sendiri tanpa dukungan masyarakat. “Masyarakat harus menjadi masyarakat yang sadar wisata dengan selalu menjaga objek wisata disekitarnya. Tentunya berdampak positif,” pungkas dara cantik yang kini aktif sebagai news reader dan presenter di TVRI stasiun Aceh itu. [Zulfurqan]

Riska Nanda Wakil IV Inong Banda Aceh 2014

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

11


12

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Laporan Utama

ADAT PEMULIA JAMEE SUKSESKAN PENAS XV

A

ceh terpilih menjadi tuan rumah pelaksanaan PENAS Petani-Nelayan XV Tahun 2017 dalam Rembug Utama KTNA di Malang tahun 2014 silam. Kepercayaan ini tak luput dari kerja keras Ketua Kontak Tani-Nelayan Andalan (KTNA) Aceh, Ir. Zakaria Affan, beserta seluruh tim dan utusan perwakilan Aceh. Pelaksanaan PENAS XV di ACEH direncanakan akan berlangsung pada tanggal 6-11 Mei 2017 mendatang. “Penas KTNA sudah dimulai sejak tahun 1971, tiga tahun sekali. Tujuannya untuk membangkitkan semangat, tanggung jawab, dan kemandirian petani-nelayan dalam meningkatkan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan. Sehingga petani dan nelayan dapat saling mengisi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia,” ujar Zakaria, Ketua KTNA Aceh sekaligus ketua pelaksana harian PENAS XV Aceh. Zakaria menjelaskan bahwa Penas XV Aceh akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acara akan difokuskan di Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh dan sekitarnya. Jumlah peserta diperkirakan akan mencapai 25.000 hingga 30.000 orang yang berasal dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. “Papua Barat mengatakan akan mengirim utusan sebanyak 1.000 orang lebih. Masyarakat kita di sekitar stadion Lhong Raya menyatakan dengan senang hati akan menerima tamu-tamu dari 33 provinsi di Indonesia untuk menginap di rumahnya,” ujar pria yang biasa disapa Jack dengan penuh semangat. Zakaria meminta kepada masyarakat untuk dapat melayani tamu-tamu Penas XV dengan baik. “Kita sebagai umat muslim dan juga adat kita dalam pemulia jamee, kita harus melayani tamu-tamu yang akan datang nantinya dengan sebaik-baiknya tanpa membedakan suku, ras, dan agamanya,” pintanya. Ketua Umum KTNA Nasional, Winarno Tohir mengungkapkan jumlah petani yang hadir dikoordinasikan oleh

Gubernur Aceh Meninjau kesiapan lokasi Gelar Teknologi di Belakang Stadion Harapan Bangsa barubaru ini

masing-masing kontingen provinsi. “Petani yang akan berangkat adalah wakil para petani di wilayahnya masingmasing, mereka adalah petani yang berpestasi, yang mempunyai usaha tani yang lebih baik dari petani lainnya,” jelas Winarno yang menyatakan jumlah peserta Penas yang mendaftar saat ini sudah mendekati angka 20 ribu petaninelayan. Lebih jauh Zakaria menjelaskan bahwa panitia telah membentuk tim pendamping untuk melayani tamu yang sangat banyak jumlahnya. “Panitia menyediakan satu orang pejabat pendamping (liason officer-LO) dari beberapa Dinas/Badan di jajaran Pemda Aceh untuk masing-masing provinsi. Mereka akan mendampingi kontingen mulai saat kedatangan, memfasilitasi pemondokan, hingga sampai pulang nantinya,” jelasnya. Penas XV Sajikan Aneka Kegiatan Kepala Dinas Pangan Aceh Ir Masnun MSi selaku Sekretaris Umum Penas KTNA XV menjelaskan bahwa acara Penas

dibagi dalam tujuh bidang dengan 45 kegiatan besar. Antara lain : Acara Pembukaan oleh Presiden Joko Widodo. Pada acara pembukaan, Presiden akan memberikan hadiah dan penghargaan kepada Kepala Daerah yang berhasil dalam mensukseskan pembangunan pertanian di daerahnya. Selanjutnya Presiden akan meninjau kegiatan Gelar Teknologi Pertanian dan Peternakan dimana Presiden akan melakukan panen padi dan melakukan inseminasi buatan. “Selain itu, ada pameran (expo) hasil-hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan di halaman depan Stadion Lhong Raya. Juga ada pertemuan Gubernur, Bupati/Walikota se- Indonesia,” tambah Masnun. “Peserta juga akan diajak melakukan widya wisata ke beberapa kota di Aceh seperti Bener Meriah dan Takengon untuk meninjau perkebunan kopi organik serta belajar teknik pembibitan dan produksi kopi. Peserta juga akan melakukan penanaman bibit kopi yang akan menjadi kenang-kenangan Penas XV 2017,” jelasnya lebih lanjut. [adek]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

13


14

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Laporan Utama

INVESTASI PADA SEKTOR PERIKANAN ACEH

D

engan luas laut lebih kurang 300.000 km2 dan dengan panjang garis pantainya mencapai 265km2 Provinsi Aceh memiliki potensi yang besar dan sangat menjanjikan di bidang kelautan dan perikanan. “Ini merupakan salah satu alasan yang baik untuk menarik investor agar datang ke Aceh,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Ir. T. Diauddin saat ditemui di kantornya, Kamis (30/3). Diauddin mengatakan Aceh memiliki potensi perikanan tangkap sekitar 270.000 ton/tahun, sedangkan yang ditangkap sekitar 165.000 ton/ tahun, sehingga masih ada potensi Aceh sekitar 60% lagi yang belum tergarap. “Ada beberapa hal penting yang harusnya diperhatikan untuk menarik minat dan mendatangkan investor perikanan ke Aceh, yang pertama adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu para nelayan yang bertujuan untuk menjaga kualitas ikan. Kedua, kecanggihan teknologi yang memadai, sehingga suatu saat nanti mencari ikan dapat menjadi menangkap ikan pada titik fishing grow. Faktor terakhir adalah lahan yang menjamin,” hemat Diauddin. Aceh memiliki dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), berupa WPP 571 Selat Malaka dan WPP 572 Samudera Hindia. Untuk WPP 571 berpusat central di daerah Lampulo dengan tingkat ke 7 di Indonesia. Lampulo sendiri adalah salah satu pelabuhan samudera perikanan yang

Pelabuhan Lampulo

dikelola oleh pemerintah daerah. “Banyak para investor ingin masuk ke Aceh, seperti yang sudah masuk ke daerah lampulo diantaranya PT. Lampulo Jaya Bahari dan PT. Nagata Prima yang khusus melakukan pengasapan tuna untuk dikirim ke Jepang. Akan tetapi, terlebih dahulu kita harus menjaga kebutuhan infrastruktur seperti lahan, kolam pelabuhan, dermaga, listrik, air, dan peralatan lainnya. Sehingga dengan tersedianya infrastruktur, para investor akan percaya dengan keberhasilan dan keterjaminannya berinvestasi dan datang ke Aceh,” pungkasnya. Dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan, cara yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh yaitu dengan mengatur tingkatkan harga ikan yang layak dan stabil. Harga ikan sangat ditentukan oleh kualitas ikan itu sendiri. Kemajuan teknologi seperti penggunaan satelit atau GPS yang berlaku di negara maju lainnya sebagai kemudahan dalam prosesnya juga diharapkan tersedia pada perikanan Indonesia dan Aceh. “Jika hanya terlalu maju dalam infrastruktur tetapi tidak diseimbangi dengan perkembangan ekosistem dapat menjadi hal yang merugikan atau bisa hancur. Sehingga ikan-ikan tidak sempat melakukan pemijahan dan perkembangbiakan. Ini perlu dipertahankan, sehingga ada peluang kepada spesies ikan untuk melakukan pemijahan,” tambahnya. Sebagai target kedepan dalam tahun ini, di pelabuhan Lampulo akan ada pembuatan tepung ikan, sosis ,

Ir. T. Diauddin Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh

dan nugget. “Tahun 2017 ini akan kita bangun pengalengan ikan bantuan dari DKI Jakarta yang tujuannnya adalah untuk meningkatkan kesejahteran nelayan dengan potensi yang sudah mereka garap mencapai 60%,” pungkas Diauddin. Untuk para investor ikan yang ingin berinvestasi pada perikanan Aceh diharapkan tidak ragu- ragu untuk masuk dan berinvestasi di perikanan Aceh, karena investasi di sektor perikanan Aceh aman dan aturan hukumnya sudah jelas tertera. Bila para investor ada keperluan tertentu agar dapat langsung menemui beliau di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh yang terletak di Jl. Tgk. Malem No. 7, Kuta Alam, Banda Aceh. [Lilis, Fitri]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

15


TRANFORMASI KEMASAN BISNIS IKAN KAYU ACEH

16

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Laporan Utama

H

ari sudah petang, namun tidak menyurutkan niat kami untuk mendatangi tempat produksi ikan kayu (keumamah) di daerah Lampulo, Banda Aceh. Langkah kami disambut ramah oleh pengusaha ikan kayu itu sendiri, yaitu Sri wahyuni dan Mulia Saputra selaku salah satu pihak yang mensponsori dana Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini melalui program Ipteks Bagi Masyarakat (IBM) oleh lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat Unsyiah. Ikan kayu atau yang sering disebut ikan keumamah ini adalah salah satu makanan khas Aceh berbahan dasar ikan tongkol atau ikan tuna. Melihat sejarah ikan kayu sendiri merupakan warisan perang, yang tatkala itu Aceh berada ditengah kondisi perperangan sehingga mengharuskan rakyat Aceh untuk terus bertahan hidup dengan alternatif membuat ikan kayu yang dapat bertahan hingga satu atau bahkan dua tahun lamanya. Saat ini ikan kayu telah memberi peluang usaha yang besar bagi UKM yang terletak di Lampulo yang saat ini juga digeluti oleh Sri Wahyuni. Ia telah merintis usaha ikan kayu yang ia beri nama Udin Bawal mulai tahun 2008. Hal ini didasari oleh semangatnya yang tinggi untuk bangkit dari kesedihan setelah bencana tsunami yang menerjang Banda Aceh kala itu, hingga ia memutuskan untuk mencari kesibukkan dengan selalu mengikuti pelatihan pelatihan pengasahan kemampuan (skill). Awal mulanya, bisnis ikan kayu ini ini dijual secara batangan, namun melihat kondisi pasar yang ternyata konsumen kurang tertarik untuk membelinya sehingga terpikir olehnya untuk mengemas ikan keumamah dalam bentuk lain yaitu salah satunya dalam bentuk kemasan kotak. “Akhirnya pada tahun 2013 usaha ini dibantu oleh Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Banda Aceh dan POM. Tahun

2014 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh membantu kotak kemasan sebanyak 3500 lembar dan bantuan dana dari Dinas Sosial sebanyak Rp 20 juta. Tahun 2015 Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM juga membantu kotak kemasan sebanyak 8000 lembar hingga berlanjut dengan bantuan IBM Unsyiah sampai saat ini. Peran pemerintah hingga saat ini masih cukup besar,” hemat Sri Wahyuni. Terkait dengan bantuan berupa pengabdian kepada masyarakat yang diberikan, IBM Unsyiah telah meluncurkan inovasi baru terhadap pengemasan ikan kayu ini dengan dibuatnya kemasan berbahan dasar rotan atau bambu. Menurut Mulia, memberi ide baru tentang bentuk kemasan yang tidak pernah dicoba sebelumnya ini intinya adalah dengan kemasan baru yang terbuat dari bambu tersebut membuat konsumen tertarik untuk membeli ikan kayu. Ia berharap konsumen tertarik karena mempunyai kemasan yang lebih bagus. Jadi para pengusaha kecil ini dapat meningkatkan penghasilannya. “Kemasannya yang unik menarik minat konsumen untuk membelinya. Hal ini akan berdampak dari semakin meningkatnya permintaan akan ikan kayu dengan kemasan bambu. Dengan demikian akan meningkatkan penjualan sehingga keuntungan menjadi meningkat,” tambahnya. Tak Hanya Pada Pengusaha Ikan Kayu Bantuan yang diberikan oleh Mulia melalui program ini tidak hanya diberikan kepada pengusaha ikan kayu saja tetapi juga untuk kelompok pengrajin bambu khusus untuk pembuatan kemasan ikan kayu. Pengrajin bambu tersebut dapat membuat kemasan produk ikan kayu ini seoptimal mungkin dan sebagus mungkin. ”Jadi kita bekerjasama dengan pembuat bambu dengan mesin pengepakan bambu menggunakan mesin, pihak kita membantu

menyediakan mesin khusus. Kerjasama ini juga menguntungkan UKM pembuat bambu. Keuntungannya adalah semakin banyaknya pesanan kemasan bambu yang unik tersebut sehingga akan meningkatkan penjualan kemasan tersebut. Secara tidak langsung, mereka juga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk membantu usahanya. Hal ini akan membantu masyarakat disekitarnya untuk dapat bekerja membuat kemasan bambu,” tegasnya kembali. Menyangkut dengan omzet, Sri Wahyuni menyebutkan awalnya omzet yang diperoleh sekitar Rp. 1 juta, tetapi setelah ada kemasan bambu ini ia dapat menghasilkan sekitar Rp. 3 juta perbulan. Menurut Sri Wahyuni untuk kemasan lama yang berisi 100 gram ikan keumamah yang masih mentah dijual seharga Rp. 14.000 dan untuk kemasan bambu dijual seharga Rp. 20.000, untuk kemasan yang lama dengan ukuran yang besar seharga Rp 35.000 dan kemasan yang baru Rp.40.000. ”Bukan dari segi harga membuat orang tertarik, tetapi karena keunikannya itu, tujuannya terkadang untuk dijadikan souvenir jadi mereka nggak perlu ikan kayunya tetapi yang diperlukan adalah tempat yang berupa bambu untuk dijadikan oleh-oleh,” ungkap Mulia. Walaupun bisnis ini cukup banyak memberi keuntungan bagi keluarganya, pihaknya mengaku memiliki kendala di bahan baku ikan. ”Kendalanya di bahan baku ikan, kadang-kadang harga ikan di TPI sangat tinggi seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Satu keranjang ikan mencapai Rp. 500 ribu,” aku Sri. Oleh karena itu sri wahyuni mengantipasi terjadinya pelonjokan harga ikan tersebut dengan men-stock ikan yang banyak di dalam freezer pada saat harga ikan sedang murah. Dalam dua freezer yang dimilikinya sanggup menampung sekitar 30 keranjang ikan. Untuk kedepannya ibu dua anak ini beharap agar usaha ikan kayunya lebih maju lagi dan lebih dikenal oleh masyarakat banyak dan juga dengan adanya kemasan baru ini dapat meningkatkan penjualannya sehingga akan menambah penghasilannya. “Semoga kedepannya pemerintah Aceh dapat terus membantu untuk memperluas tempat produksinya agar Saya bisa mempekerjakan masyarakat yang berada disekitar sini,” tutupnya. [Lilis / Febi]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

17


PERTANIAN SEKTOR ANDALAN PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH

S

ekitar 30 persen dari luas daratan Aceh adalah lahan pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu, pertanian dan pangan menjadi sektor andalan utama bagi pertumbuhan ekonomi Aceh, “ tandas Asisten Keistimewaan, Ekonomi dan Pembangunan Aceh, Drs Zulkifli HS, MM pada acara pembukaan Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2016 (6/11) lalu. Hal ini sebagaimana tercantum tercantum di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017 dimana dari sekitar 5 juta kependudukan di Aceh, 70 persen di antaranya tinggal di pedesaan

18

dan sekitar 70 persen dari mereka berprofesi sebagai petani. Sebab itulah pembangunan sektor pertanian menjadi salah satu program prioritas Pemerintah Aceh. Untuk diketahui bersama, dalam RPJM 2012-2017, setidaknya ada tiga komoditi pangan yang menjadi perhatian Pemerintah Aceh, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditegaskan dalam sasaran pembangunan nasional. Lebih lanjut, mantan Kepala Bappeda Aceh ini mengatakan bahwa pada akhir pelaksanaan RPJMA tahun depan, Pemerintah Aceh menargetkan capaian produksi padi sekitar 2,9 juta ton, jagung sekitar 249 ribu

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

ton dan kedelai 48 juta ton. Target-target ini tidak bisa dikatakan kecil. Oleh sebab itu perlu upaya dan kerja keras semua pihak untuk mencapainya. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama dan sinergisitas program semua pihak sehingga Aceh menjadi kawasan lumbung pangan nasional tahun 2017 dapat terwujud. Sebagai lumbung pangan, lahan pertanian di Aceh harus dijaga agar tidak di alihfungsikan menjadi areal pemukiman penduduk. Pada panen raya di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Kamis (16/3) Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah mengatakan dengan adanya regulasi alih fungsi lahan, dirinya tetap akan


Laporan Utama

Foto : acehprov.go.id

mempertahankan areal persawahan produktif agar tidak dijadikan permukiman penduduk. “Kini Aceh Besar memiliki luas lahan baku sawah 31.845 Ha, dan luas lahan produktif 29.818 Ha. Sedangkan realisasi tanam tahun 2016 seluas 11.641 Ha (105,54 persen) dari luas sasaran tanam 11.030 Ha,” pungkasnya. Pangan harus Tersedia dan Terjangkau Untuk diketahui bersama, dalam rangka mewujudkan ketersediaan pangan, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2006, tentang Dewan Ketahanan Pangan, yang menegaskan agar Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota membentuk Dewan Ketahanan Pangan. “Oleh karena itu, pemerintah juga harus mampu menjamin ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, sehingga masalah kerawanan pangan dan gizi tidak berdampak pada stabilitas sosial politik dan ekonomi bangsa,” tambah Zulkifli. Lebih jauh Pemerintah Aceh selain meningkatkan produksi pangan juga memberikan perhatian serius dan menjamin kemudahan akses pangan bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan Cadangan Pangan Pemerintah setiap tahunnya, serta bantuan pangan kepada kelompok

rentan dan transien. Dalam hal ini melalui dinas terkait Pemerintah Aceh senantiasa melakukan Operasi Pasar di berbagai daerah untuk memantau ketersediaan pangan yang terjangkau oleh masyarakat. “Kita berharap pada tahun-tahun berikutnya, jumlah kawasan rawan pangan ini dapat kita turunkan melalui berbagai program nyata dan efektif. Oleh sebab itu perlu perencanan dan evaluasi yang matang, sehingga program pertanian ketahanan pangan dapat diakomodir lebih detail dalam RPJM Aceh dan RPJM kabupaten/kota tahun 2017-2022,” jelasnya. [AER | Humas Pemprov Aceh]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

19


CATATAN DARI KULIAH UMUM MENKEU

DR. SRI MULYANI INDRAWATI:

MEMBANGUN FONDASI UNTUK PERTUMBUHAN YANG BERKELANJUTAN

A

da peluang dan harapan di balik banyak tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia untuk dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya yang lebih dulu maju di dunia. Demikian kesimpulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kuliah umumnya di Gedung AAC Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Kuliah umum dengan tema "Peran Fiskal Dalam Membangun Perekonomian Inklusif" itu diikuti oleh Rektor Unsyiah Prof. Dr. Samsul Rizal, Plt. Gubernur Aceh Soedarmo, seribuan lebih mahasiswa, dosen, dan para eksekutif di jajaran Pemda Aceh.

20

Mengawali kuliahnya dengan mengutip ucapan Cut Nyak Dhien, Sri Mulyani mengajak generasi muda untuk mencontoh semangat pengorbanan yang dimiliki generasi tua dalam membangun bangsa. Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara besar di dunia. Namun, sejumlah persoalan masih menyelimuti Indonesia seperti kemiskinan, korupsi, produktifitas dan daya saing, serta ketimpangan kekayaan. "Dalam sepuluh tahun terakhir angka kemiskinan berhasil kita tekan dari 17% menjadi 10%. Ke depan kita akan terus

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

berupaya menurunkan angka kemiskinan meskipun akan lebih sulit menjadikannya dalam single digit. Namun ketimpangan kekayaan justru meningkat," jelas Sri Mulyani. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dilihat dari Gini Ratio yang masih tinggi. Makin tinggi indeks gini, menunjukkan ketimpangan semakin besar. Jika suatu negara memiliki rasio gini tinggi, maka ketimpangan dalam masyarakat akan sangat jelas dan melemahkan kemampuan satu negara untuk tumbuh dalam jangka panjang.


Dr. Samsul Rizal, Plt. Gubernur Aceh Soedarmo, seribuan lebih mahasiswa, dosen, dan para eksekutif di jajaran Pemda Aceh. Mengawali kuliahnya dengan mengutip ucapan Cut Nyak Dhien, Sri Mulyani mengajak generasi muda untuk mencontoh semangat pengorbanan yang dimiliki generasi tua dalam membangun bangsa. Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara besar di dunia. Namun, sejumlah persoalan masih menyelimuti Indonesia seperti kemiskinan, korupsi, produktifitas dan daya saing, serta ketimpangan kekayaan.

“Pada tahun 1970, indeks Gini Ratio didominasi oleh Pulau Jawa dan Sumatera Indonesia tercatat hanya 0,33, namun pada masing-masing sebesar 58,4 dan 22,0 tahun 2015 justru meningkat menjadi persen. Sedangkan 48,3 persen kemiskinan 0.40, masih bahwa tinggi. Kita yang harus tersebar Lebih jauhitu ia menjelaskan ketimpangan terjadiberkerja di Indonesia saat ini dapat dilihatdi Papua, Sulawesi serta Kepulauan dari Gini Ratio yang masih tinggi. Makin tinggi indeks gini, menunjukkan ketimpangan semaksimal mungkin dengan menyusun Bali dan Nusa Tenggara,” tambahnya lagi. semakin besar. Jika suatu negara memiliki rasio gini tinggi, maka ketimpangan dalam masyarakat akan yang sangat jelas dan melemahkan kemampuanharapan satu negara untuk tumbuh dalam kebijakan lebih merata seperti jangka panjang. Bapak Presiden yang menginginkan Gini “Pada tahun 1970, indeks Gini Ratio Indonesia tercatat hanya 0,33, namun pada tahun 2015 justru meningkat menjadi 0.40, itu masih tinggi. Kita harus berkerja semaksimal mungkin Ratio Indonesia terus turun, ” katanya. dengan menyusun kebijakan yang lebih merata seperti harapan Bapak Presiden yang

dan desentralisasi dari sisi anggaran. Ini yang diharapkan agar masyarakat dari Sabang hingg Merauke dapat merasakan kualitas infrastruktur yang sama. Kita ingin menciptakan equalisa antar Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai Papua,” jelasnya panjang lebar.

Melalui upaya optimalisasi penerimaan Negara dan pengelolaan pembiayaan yang baik, ki berharap anggaran belanja Negara dapat lebih produktif, bekualitas dan menciptaka equalisasi. Inilah yang menjadi agenda utama dalam Program Tax Amnesti,” ujarnya.

Analisa

"Dalam sepuluh tahun terakhir angka kemiskinan berhasil kita tekan dari 17% menjadi 10%. Ke depan kita akan terus berupaya menurunkan angka kemiskinan meskipun akan lebih sulit menjadikannya dalam single digit. Namun ketimpangan kekayaan justru meningkat," jelas Sri Mulyani.

menginginkan Gini Ratio Indonesia terus turun,” katanya.

Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, Banda Aceh, 2017

Sumber: Presentasi Banda Aceh, 2017

Menkeu,

Unsyiah,

Dilema Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari segi pertumbuhan ekonomi, Indonesia merupakan negara ketiga tertinggi di dunia. Posisi pertumbuhan PDB rata-rata Indonesia tahun 2006-2015 tercatat sebesar 5,8%, di bawah China dengan pertumbuhan PDB 9,5% dan India 7,5%. Namun, dari segi pemerataan, masih memprihatinkan. "Kita melihat, ketimpangan menjadi momok pembangunan di sejumlah Negara. Dilema Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan Banyak Negara yang tinggi pertumbuhan Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari segi pertumbuhan ekonomi, Indonesia merupakan negara ketiga tertinggi di dunia. tetapi Posisi pertumbuhan PDB rata-rata Indonesia tahun 2006ekonominya, gap kesenjangan 2015 tercatat sebesar 5,8%, di bawah China dengan pertumbuhan PDB 9,5% dan India 7,5%. Namun, dari segi pemerataan, masih memprihatinkan. semakin melebar. Lihat saja China, Brazil, "Kita melihat, ketimpangan momokTony pembangunan di sejumlah Negara. Banyak Meksiko," ujarmenjadiistri Sumartono ini Negara yang tinggi pertumbuhan ekonominya, tetapi gap kesenjangan semakin melebar. Lihat saja China, Brazil, Meksiko," ujar istri Tony Sumartono ini dengan nada risau. dengan nada risau.

Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, Banda Aceh, 2017

Sumber: Presentasi Banda Aceh, 2017

Menkeu,

Unsyiah,

Lebih jauh Menkeu memaparkan data amntesti pajak hingga 31 Desember 2016 berupa pengakuan Aset sebesar Rp 4.297 Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, Banda Aceh, 2017 Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, trilyun, uang tebusan senilai Rp 107 trilyun Untuk itu, tambahnya, APBN merupakan instrumen fiskal yang sangat penting dalam pembangunanAceh, negara. Banda 2017 dari 616.566 wajib pajak. “APBN tidak hanya untuk Pusat, kita juga bicara tentang transfer ke daerah. APBN adalah alat “Melalui reformasi pajak, kita berharap untuk menciptakan equalisasi antar daerah. Untuk bisa melaksanakan segala fungsi pembangunan, maka itu, uang juga harus ditransfer ke daerah, desentralisasi dari sisi wewenang Untuk tambahnya, APBN merupakan instrument fiskal dapat menstimulus dan desentralisasi dari sisi anggaran. Ini yang diharapkan agar masyarakat dari Sabang hingga Merauke dapat merasakan kualitas infrastruktur yang sama. Kita ingin menciptakan equalisasi instrumen fiskal yang sangat penting dalam pembangunan dengan mengutamakan antar Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai Papua,” jelasnya panjang lebar. pembangunan negara. stabilitas perekonomian dalam negeri. Melalui upaya optimalisasi penerimaan Negara dan pengelolaan pembiayaan yang baik, kita berharap anggaran belanja Negara dapat lebih produktif, bekualitas dan menciptakan “APBN hanya untuk Pusat, kita juga Ke depan, perbaikan kualitas APBN akan equalisasi. Inilah yangtidak menjadi agenda utama dalam Program Tax Amnesti,” ujarnya. bicara tentang transfer ke daerah. APBN menjadi prioritas,” tambahnya. adalah alat untuk menciptakan equalisasi Dalam kesempatan tersebut, Menkeu antar daerah. Untuk bisa melaksanakan mengajak masyarakat, pengusaha segala fungsi pembangunan, maka dan terutama aparatur negara untuk uang juga harus ditransfer ke daerah, mensukseskan amnesti pajak. desentralisasi dari sisi wewenang dan “Bapak Rektor, Bapak Pj. Gubernur, Lebih jauh Menkeu memaparkan data amntesti pajak hingga 31 Desember 2016 berupa desentralisasi dari sisi anggaran. Ini para penyelenggara aparatur Negara, anda Sumber: Presentasi Menkeu,Aset Unsyiah, Banda Aceh, 2017 pengakuan sebesar Rp 4.297 trilyun, uang tebusan senilai Rp 107dengan trilyun dari 616.5 yang diharapkan agar masyarakat dari digaji dari uang negara. Bekerjalah wajib pajak. Sabang hingga Merauke dapat merasakan sungguh-sungguh. Gunakan kewenangan kualitas infrastruktur yang sama. Kita Anda dalam mengelola uang negara dengan ingin menciptakan antar Pulau disiplin dan penuh jawab. “Melalui reformasiequalisasi pajak, kita berharap instrument fiskaltanggung dapat menstimulus pembangu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi “Satu trilyun itu memang dengan mengutamakan stabilitas perekonomian dalam negeri. Ke depan,tidak perbaikan kua sampai Papua,” jelasnya panjang lebar. seberapa nilainya dalam APBN kita. APBN akan menjadi prioritas,” tambahnya. Melalui upaya optimalisasi penerimaan Tapi 1 trilyun itu bisa menggaji 9,4 ribu Negara dan pengelolaan pembiayaan orang guru senior. Menggaji 10 ribu Dalam kesempatan tersebut, masyarakat, pengusaha dan terutama yang baik, kita berharap anggaranMenkeu belanja mengajak anggota Polri, membangun 11.900 rumah Negara dapat lebih produktif, bekualitas amnesti prajurit pajak. TNI, membiayai 355 ribu keuarga aparatur negara untuk mensukseskan dan menciptakan equalisasi. Inilah yangparamiskin, mencetak 52.631 ha Negara, sawah baru, “Bapak Rektor, Bapak Pj. Gubernur, penyelenggara aparatur anda digaji da menjadi agenda utama dalam Program Tax menyediakan 306 ribu ton pupuk untuk uang negara. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Gunakan kewenangan Anda dalam Amnesti,” ujarnya. petani, membangun 3.541 meter jembatan, mengelola uang negara dengan disiplin dan tanggung dan penuh mengaspal 155 kmjawab. jalan,” paparnya. [Ahmad Haris]

Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, Banda Aceh, 2017

Sumber: Presentasi Menkeu, Unsyiah, Lebih jauh Ibu tiga anak ini menjelaskan bahwa struktur PDB Indonesia masih belum berimbang. Banda Aceh, 2017 “PDB kita masih didominasi oleh Konsumsi RT dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), sementara Ekspor dalam dua tahun terakhir masih minus,” ujarnya.

Lebih jauh Ibu tiga anak ini menjelaskan bahwa struktur PDB Indonesia masih belum “Kontribusi terhadap PDB masih didominasi oleh Pulau Jawa dan Sumatera masing-masing berimbang. sebesar 58,4 dan 22,0 persen. Sedangkan 48,3 persen kemiskinan tersebar di Papua, Sulawesi serta Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara,” tambahnya lagi. “PDB kita masih didominasi oleh Konsumsi RT dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), sementara Ekspor dalam dua tahun terakhir masih minus,” ujarnya. Selain itu, ekonom lulusan Universitas Illinois Urbana-Champaign, USA ini menilai pertumbuhan PDRB, kemiskinan, dan kontribusinya terhadap PDB juga masih belum proporsional. “Kontribusi terhadap PDB masih Selain itu, ekonom lulusan Universitas Illinois Urbana-Champaign, USA ini menilai pertumbuhan PDRB, kemiskinan, dan kontribusinya terhadap PDB juga masih belum proporsional.

“Satu trilyun itu memang tidak seberapa nilainya dalam APBN kita. Tapi 1 trilyun itu bisa menggaji 9,4 ribu orang guru senior. Menggaji 10 ribu anggota Polri, membangun 11.900 | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 | 21 rumah prajurit TNI, membiayai 355 ribu keuarga miskin, mencetak 52.631 ha sawah bar menyediakan 306 ribu ton pupuk untuk petani, membangun 3.541 meter jembatan, dan mengaspal 155 km jalan,” paparnya.


22

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


PELUANG USAHA

HOJAK, MELIHAT PELUANG TRANSPORTASI BERBASIS ONLINE | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

23


Peluang Usaha

C

uaca kota Banda Aceh yang sangat terik menghantarkan tim AER menuju sebuah warung kopi yang berada di daerah Lambhuk, disana kami dipertemukan dengan seorang aneuk muda asal kota juang yang sedang diperbincangkan karena ide briliannya dalam berbisnis. Khairul Mubaraq namanya, pemuda lulusan FISIP Jurusan Komunikasi ini menyambut kami dengan senyum sumringah. Dengan tidak menyianyiakan waktu kami langsung terlibat perbincangan santai mengenai aplikasi jasa penyedia transportasi berbasis online ini. “Sebenarnya ide untuk membuat bisnis ini telah muncul dari tahun 2010, namun kami baru meluncurkannya di awal tahun 2017. Ini semua berawal karena sulitnya wisatawan menemukan alat transportasi umum di Banda Aceh, jika ada pun harus dengan rental mobil. Sehingga kondisi itu dijadikan peluang untuk mengembangkan aplikasi transportasi berbasis online, HOJAK yang berasal dari bahasa Aceh yang berarti pergi kemana,” jelas Khairul Mubaraq selaku CEO HOJAK. Tidak mudah untuk mendapatkan investor bagi bisnis yang baru saja dimulai seperti ini, Khairul menceritakan berberapa penolakan yang ia dapatkan

24

sebelum akhirnya berhasil meluncurkan bisnisnya. “Susah mendapatkan keper­ cayaan dari investor lokal, kebanyakan menganggap bisnis kami ini hanya sebuah mimpi di siang bolong, khayalan yang tidak akan mendatangkan keuntungan. Hingga akhirnya, kami mendapat investor dari putra daerah yang berada di luar Sumatera hingga luar negeri seperti Jerman. Mereka adalah sosok-sosok pemuda yang masih percaya dengan mimpi, memiliki pemikiran yang terbuka serta ingin membangun perekonomian tanah kelahirannya,” cerita lelaki yang juga hobi traveling ini. Total hingga saat ini, para investor HOJAK telah mengucurkan modal hingga Rp. 2 Milyar untuk menjalankan bisnis ini. Karena mereka memiliki target bukan hanya di Aceh saja, namun dari Aceh untuk Indonesia. Aplikasi yang dirintis oleh Khairul bersama teman-teman nya kini menjadi terobosan baru transportasi di Banda Aceh. Saat ini, mereka sudah memiliki 600 mitra penyedia jasa yaitu di antaranya armada sepeda motor, mobil dan becak. Dalam melayani pelanggannya, HOJAK menyediakan tiga pilihan alat transportasi yaitu mobil (HO-CAR), sepeda motor (HO-BIKE), dan becak (HO-BECAK). “Untuk pengguna layanan ini sendiri bukan hanya msyarakat kota Banda

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Aceh, namun juga para wisatawan dari luar negeri seperti malaysia dan Brunnei Darussalam,� tambahnya. Bahkan untuk kedepan, manajemen HOJAK akan meluncurkan beberapa terobosan baru nya yaitu HO-FOOD, HO-SEND,dan HO-SERVICE. Tentunya inovasi ini akan semakin memudahkan para pengguna jasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kategori HO-Service, Khairul mengatakan salah satu hal kecil yang menginspirasinya dalam membuat pilihan ini adalah akan mudahnya para pengguna menemukan jasa-jasa yang sekarang sangat susah dicari seperti tukang potong rumput yang memang sangat dibutuhkan. CEO HOJAK juga menjelaskan, bagi pelanggan yang ingin menggunakan aplikasi HOJAK, aplikasi ini dapat diunduh di Google Playstrore untuk pengguna android dan di appstrore bagi pengguna Apple. Ada dua jenis aplikasi yang tersedia yaitu aplikasi bagi pengguna dan aplikasi bagi driver. Sangat mengejutkan, ternyata untuk progammer aplikasi ini berasal dari anak Aceh sendiri. “Memang di awal kami sulit mencari

progammer yang mampu membuat aplikasi ini, tetapi rupanya di Aceh sendiri banyak sekali pemuda hebat yang berprofesi sebagai progammer namun mereka bergerak secara underground sehingga kita tidak mudah mendeteksi keberadaan nya. Hingga kini HOJAK memiliki 4 progammer tetap yang meng-handle sistem kamiâ€?, ungkap putra daerah asal kota juang ini dengan bangga. Dengan aplikasi itu, pengguna tinggal memasukkan alamat penjemputan dan alamat tujuan, sehingga otomatis tarif akan muncul di layar Smartphone. Setelah itu tinggal menekan pemesanan, kendaraan akan datang menjemput. Khairul bersama 8 rekannya yang bergabung di dalam timnya berkomitmen menggerakkan transpor­ tasi berbasis online di Banda Aceh, selain untuk membantu wisatawan, dan warga Banda Aceh, juga menambah peluang pekerjaan. Jika kota lain memiliki Grab, Uber, dan Gojek. Maka Banda Aceh memiliki HOJAK, yang didirikan, dikelola, hingga dikemudikan oleh putra daerah. [Mia]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

25


BERAWAL

DARI NIAT

26

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


B

erwirausaha, hanya itu yang terlintas di pikiran Azhari (48). “Saya tidak punya ilmu membuat dendeng, tapi saya ingin berwirausaha,” ujar lelaki kini yang kini menekuni bisnis dendeng ikan leubim (kambing-kambing) khas Aceh dengan nama Po Teumurah itu, Sabtu (18/3). Menurutnya, yang terpenting adalah mencoba terlebih dahulu membuka usaha. Insyaallah Allah akan memberikan petunjuk. Saat dijumpai di rumahnya, Alue Deah Teungoh, Meuraksa, Banda Aceh, ia mengatakan mulai belajar membuat dendeng sejak 2013. Banyak ilmu diperoleh dari temannya yang sudah duluan membuat dendeng. Ia juga rajin mengikuti pelatihan wirausaha yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Bahkan ia sering belajar otodidak dengan mencari informasi dari internet. Internet menyediakan berbagai informasi mengenai teknik pembuatan dendeng. Tapi informasi di sana bersifat umum. Sedikit sekali yang membicarakan dendeng khas Aceh. Dendeng pertama yang ia buat berupa gilingan ikan. Rasanya tidak enak. Teksturnya keras setelah digoreng. Hari demi hari ia terus belajar. Kemudian ia memutuskan membuat dendeng seperti sekarang ini. Daging ikannya diiris tipistipis. Pertama kali produksi ia hanya mengolah 20 kilogram leubim. “Saat itu kan masih permulaan,” imbuhnya. Dendeng tersebut dijual ke sejumlah toko souvenir di Banda Aceh. Satu kotak dijual seharga Rp 35 ribu. Rasanya yang lezat membuat produk ini mendapatkan sambutan hangat dari kalangan pembeli. Umumnya peminat dendeng ini adalah para wisatawan. Mereka membawa pulang makanan khas Aceh ini ke kampung halamannya. Biasanya hampir seluruh produksi Azhari di toko souvenir laku. “Pemasarannya alhamdulillah lancar,” pungkasnya. Sekarang, sekali produksi dendeng

Peluang Usaha mencapai 50 kilogram. Ikan-ikan tersebut dibeli di Lampulo. Sebelum dibeli, ikan tersebut sudah terlebih dahulu dibersihkan. Soal mengiris ikan, Azhari mempekerjakan seseorang yang sudah mahir. Upah satu kilogram irisan ia bayar Rp 5.000. “Saya tidak bisa mengiris sendiri,” paparnya. Dendeng yang sudah diiris kemudian dibumbui dengan resep Aceh. Pengolahan dendeng dilakukan di kios kecil-kecilan miliknya. Letaknya tepat di samping tempat tinggalnya. Ia turut dibantu oleh istrinya, Zakiah (35). Setelah diolah, ikan tersebut direndam dengan bumbu dendeng sampai 14 jam. Tujuannya supaya bumbu tersebut meresap dengan baik ke dalam daging ikan. Barulah dijemur selama dua hari sampai kering. Cuaca sangat mempengaruhi pada tahap ini. Tahap akhir pengolahan dendeng yakni pengemasan. Azhari mengemas dendeng seberat 250 gram ke dalam kotak berwarna coklat. Jumlah kotaknya mencapai seratus. Komposisi dendeng ini terdiri dari ikan, bawang putih, bawang merah, ketumbar, dan lengkuas. Di kotak turut dicantumkan bahwa dendeng ini sudah memiliki izin edar dari dinas kesehatan dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika (LPPOM). Masyarakat menjadi lebih percaya terhadap produk tersebut. Membuat dendeng merupakan salah satu cara Azhari mempromosikan makanan khas Aceh. Aceh kaya akan budaya. Permintaan dendeng di Banda Aceh stabil. Kalau kunjungan wisatawan meningkat, maka permintaan dendeng khas Aceh ikut meningkat. Potensi besar kedatangan wisatawan ke Aceh yaitu pada pelaksanaan Pekan Nasional (Penas) Petani dan Nelayan XV 2017. Acaranya mulai 6-11 Mei di Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, Banda Aceh. Diperkirakan pesertanya mencapai sekitar 38 ribu orang. Peluang ini ingin dimanfaatkan oleh Azhari. Ia mau meningkatkan produksinya. Namun, selama ini kendala yang sering dialami berkaitan dengan ketersediaan

leubim yang minim. Terkadang ia terpaksa membeli leubim lebih banyak daripada biasanya. Kemudian disimpan di mesin pendingin. Saat stok leubim di pasar berkurang, ia sudah memiliki stok sendiri. “Saya pernah tidak buat dendeng sampai tiga bulan karena tidak ada bahan baku utamanya,” sambungnya. Kata Azhari, kelebihan ikan leubiem memiliki kekenyalan. Dagingnya tidak hancur saat diolah menjadi dendeng. Ditinjau dari harga, harga ikan leubim relatif terjangkau. Sebelum tsunami harganya cuma Rp 10 ribu, paling tinggi Rp 15 ribu. Sedangkan pascatsunami harga leubim meningkat drastis. Satu kilogram mencapai Rp 33 ribu. Hal ini disebabkan banyaknya pendatang luar Aceh yang membeli ikan ini untuk dijadikan bakso. Lancarnya bisnis bakso membuat orang Aceh sendiri ikut merambah bisnis ini. Sesuai hukum ekonomi, meningkatnya permintaan berimbas pada peningkatan harga barang. Usaha dendeng Azhari sangat membantu meningkatkan perekonomian keluarganya. Azhari mampu membiayai anaknya, Harsya, yang sudah menduduki bangku kelas empat sekolah dasar. Segala kebutuhan keluarganya tercukupi. Ia ingin terus memperluas bisnisnya. Mungkin ke depan ia akan merambah bisnis pengolahan keumamah. Keumamah adalah masakan khas Aceh. Bahan bakunya berupa ikan, biasanya tongkol. Ikan tongkol terlebih dahulu dikeringkan dengan cara dijemur. Kemudian direbus, lalu disalai. Ikan yang sudah kering diiris tipis-tipis dan dimasak. Terkadang orang luar Aceh menyebutnya ikan kayu. [Zulfurqan]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

27


TANTANGAN INDUSTRI PERBANKAN DI ACEH Oleh : Nur Elvi Sarah Praktisi Perbankan, Staf Account Officer Bank BCA, Banda Aceh

Tanpa terasa, tahun 2017 sudah masuk triwulan I. Hingga kini, perekonomian Aceh masih belum banyak berubah. Tekanan ekonomi terasa semakin berat. Kondisi ini sangat tampak pada industri jasa keuangan. Selain banyaknya kredit macet, perbankan kesulitan dalam menyalurkan modal kerja kepada pengusaha. Di samping sulitnya menemukan pengusaha yang kredibel, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (TI) pengusaha kita masih belum mumpuni.


T

idak dapat dipungkiri, kontribusi perbankan dalam mendukung transformasi perekonomian di suatu daerah sangatlah penting. Melalui dana yang dihimpun dan disalurkan kepada masyarakat, perbankan turut mendorong produktifitas dan nilai tambah usahanya. Oleh sebab itu, semakin besar pertumbuhan sektor perbankan di suatu daerah, akan semakin maju ekonominya. Hal ini tampak terasa di Aceh. Naik turunnya kinerja sektor perbankan tampak paralel dengan kondisi ekonominya. Namun, meskipun sektor riel tampak melemah, kinerja sektor perbankan tampak semakin membaik. Hal ini tidak terlepas dari tingkat ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian daerah yang ‘diprediksi’ akan terus membaik di tahun 2017 ini. Distribusi ‘kue pembangunan’ pemerintah, terutama proyek-proyek infrastruktur diharapkan akan semakin merata. Juga, penyerapan anggaran dapat dilakukan dengan maksimal. Sebagaimana yang dilaporkan Bank Indonesia Perwakilan Aceh, aset perbankan di Aceh pada tahun 2016 tercatat tumbuh sebesar 1.65% dengan nilai sebesar Rp 45,3 trilyun. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 5,1 persen dan pembiayaan 9,4 persen. Namun, kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) tahun 2016 mendekati batas ambang toleransi sebesar 3,41%. Dengan lancarnya Pemilukada barubaru ini, pertumbuhan aset perbankan di Aceh pada tahun 2017 paling tidak akan terus meningkat antara 2%-4%. MEA dan Kompetisi Ekonomi Memasuki pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kompetisi dunia usaha diperkirakan akan semakin ketat. Sehingga, sektor perbankan dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerjanya sesuai standard ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Konsekuensinya, perbankan di Aceh harus mampu memenuhi beberapa indikator yang selama ini masih menjadi isu klasik. Misalnya, masalah keterbatasan modal, sumber dana, SDM dan Teknologi Informasi. Tidak hanya itu, integritas, komitmen dan kinerja pengusaha di Aceh juga masih menjadi tantangan tersendiri. Dalam satu dekade terakhir saja, beberapa bank asing telah masuk ke Aceh. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti, mereka akan menguasai sektor keuangan perbankan di Aceh Oleh sebab itu, dukungan pemerintah dalam pembinaan dan keberpihakan terhadap perkembangan dunia usaha serta sektor keuangan perbankan lokal menjadi suatu keniscayaan. Bagaimanapun juga, pembangunan Aceh tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendirian. Kapasitas pengusaha lokal dan perbankan akan turut menentukan capaian pembangunan Aceh di masa depan. Hal yang sama justru semakin nampak pada industri keuangan-perbankan

Opini syariah. Semangat masyarakat Aceh dalam mewujudkan ekonomi dan bisnis syariah tampaknya belum mampu diikuti oleh industri syariahnya. Saya menilai, tantangan utama industri keuanganperbankan syariah di Aceh adalah pada inovasi produknya. Tidak dapat dipungkiri, dewasa ini, industri keuangan-perbankan syariah di Aceh masih sebatas jargon, belum pada sistem dan substansinya. Pelaksanaannya masih tetap sama dengan konvensional. Sehingga, masyarakat belum sepenuhnya beralih dari sistem konvensional kepada sistem syariah. Hal ini terlihat dari pelambatan pertumbuhan bahkan penurunan market share dibanding konvensional. Kinerja Sektor Keuangan-Perbankan Di tengah volatilitas ekonomi interna­ sional dan nasional akhir-akhir ini, lembaga keuangan perbankan dituntut untuk lebih kreatif. Terutama dalam hal persaingan dalam mengumpulkan dana nasabah, terlebih dana murah. Persaingan ini tidak saja terjadi antar lembaga perbankan baik konvensional maupun syariah, tetapi juga dengan lembaga keuangan non-bank seperti asuransi dan reksa dana. Oleh karena itu, beberapa dekade belakangan bank umum mulai mencari sumber dana nondeposito. Kemampuan perbankan dalam mengumpulkan dana pihak ketiga akan memperkuat likuiditasnya. Oleh karena itu perbankan harus mampu menggali dan mendapatkan sumber-sumber dana murah. Selain giro dari lembaga-lembaga bisnis, dana-dana organisasi sosial kemasyarakatan juga potensial untuk dilirik. Tantangan sumber pendanaan semakin tampak dengan munculnya lembagalembaga keuangan asing di Aceh. Baik bank, maupun non bank. Bank dan lembaga keuangan asing tersebut didukung sumber pendanaan yang besar dan murah dari induk perusahaannya di Hongkong, Korea, Jepang, maupun Malaysia. Sehingga, mereka mampu menawarkan tingkat suku bunga yang kompetitif kepada nasabah. Selain itu, dukungan teknologi dan infrastruktur lainnya akan sangat memanjakan nasabah. Tentu saja hal ini akan menjadikan pertandingan yang kurang seimbang antara perbankan asing, nasional, apalagi lokal. Langkah berikutnya yang harus dilakukan perbankan di Aceh adalah memperhatikan kualitas aset. Semua bank di Indonesia, baik konvensional maupun syariah dilanda pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit dan diiringi pula oleh peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Hal ini dikarenakan, faktor tekanan eksternal, seperti melemahnya ekonomi China dan ketidakpastian suku bunga The Fed yang masih akan mempengaruhi ekonomi domestik, termasuk sektor perbankan yang erat hubungannya dengan pembiayaan sektor riil. Oleh sebab itu, sedapatnya diupayakan agar NPL dapat ditekan

seminimal mungkin. Kalangan perbankan di Aceh harus tetap mewaspadai tren peningkatan pembiayaan bermasalah yang terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Tahun inipun, apabila tidak ada perubahan berarti, kondisinya relatif akan sama. Bahkan, tahun-tahun ke depan akan semakin sulit saja. Tantangan kualitas kredit (pembiayaan) yang buruk tidak hanya dihadapi oleh bank-bank pelat merah, bank swasta juga tak kalah seriusnya. Untuk itu, kalangan perbankan harus dapat memperketat standar underwriting. Pembiayaan dilakukan bukan sekedar untuk mengejar target pertumbuhan kredit, melainkan benar-benar untuk dapat mengembangkan usaha debitur. Sehingga, akan mampu mengkapitalisasikan usaha dan keuntungannya. Untuk itu, kalangan perbankan harus proaktif memonitor dan mensupervisi nasabah dalam menjalankan roda bisnisnya. Dalam hal penyelamatan atas pembiayaan bermasalah, perlu membentuk tim penyelesaian pembiayaan bermasalah. Seiring pula upaya pembenahan dan peningkatkan kompetensi SDMnya agar bisa mengatasi pembiayaan bermasalah, mampu melakukan restrukturisasi pembiayaan dan bahkan mencegah terjadinya pembiayaan bermasalah. Alternatif lain yang dapat dilakukan perbankan untuk meningkatkan ketersediaan dana adalah melalui sekuritisasi aset perbankan. Dalam konsep sekuritisasi asset ini, pihak perbankan mentransformasikan aset berisikonya (pembiayaan) ke dalam bentuk uang cash (uang segar) yang kemudian dapat digunakan untuk ekspansi usaha dan dapat pula disalurkan kembali ke pihak yang memerlukan dana. Uang segar tersebut diperoleh dari sebuah lembaga penerbit EBA yang membeli asset produktif dari suatu bank, misalnya pembiayaan rumah (KPR). Dengan adanya sekuritisasi, pihak bank tidak perlu menunggu lebih lama (10-15 tahun) untuk mendapatkan kembali dana yang sudah dikucurkan kepada nasabah. Selain tiga langkah di atas, dukungan ketersediaan teknologi informasi (TI) juga penting. Kita telah memasuki era digitalisasi. Penggunaan TI dalam banyak aspek kehidupan sosial semakin meluas. Kini, penggunaan smartphone dan internet sudah menjadi bahagian kehidupan yang tak terpisahkan. Konsekuensinya, financial digital sudah menjadi suatu keharusan dalam bisnis perbankan. Last but not the least, keberhasilan semua langkah di atas akan sangat ditentukan oleh kualitas SDM perbankan. SDM perbankan harus cakap, cerdas dan kreatif. Selain menguasai teori dan konsep prudentiality dalam mengelola aset dan DPK, bankir juga dituntut untuk mampu mencermati dan bergaul dalam kehidupan sosial. Untuk itu, kemampuan berkomunikasi dan memiliki kepribadian yang supel menjadi penting. Tentunya, dituntut pula untuk tidak gagap terhadap teknologi yang terus berkembang. [ ]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

29


Zubir Marzuki BANGKIT DEMI NEGERI

30

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Z

ubir Marzuki (46) tidak mempedulikan cemoohan orang kepadanya. “Daripada membuat tepung lebih baik membuat lem layang, lebih laku”. Ucapan temannya itu masih terngiang jelas dibenaknya. Ditemani segelas teh hangat di Zakir Kupi Simpang Surabaya, Banda Aceh, Zubir menceritakan bagaimana ia mengembangkan produk Tepung Tapioka Cap Seulawah. “Awalnya tidak ada yang mau membeli tepung kita,” ujarnya kepada Aceh Economic Review, Kamis (23/3). Ia menuturkan saat itu mereka belum mempercayai produk ciptaan lokal. Akhirnya Zubir memutuskan untuk memberikannya secara cuma-cuma kepada pembuat kue. Supaya mereka bisa membuktikan sendiri kualitas tepung. Pemilik merek kue Zulaikha dan beberapa lainnya di Medan turut mencobanya. Benar saja, semua merasa puas menggunakan tepung produksi anak Aceh itu. Hal ini membuat mereka ingin terus memakainya. Keinginan Zubir memproduksikan tepung berangkat dari kekhawatiran melihat kondisi perekonomian Aceh. Hampir seluruh produk yang menyebar di Aceh merupakan hasil luar daerah. Sedikit sekali produk olahan lokal. Ia pun memutar otak memikirkan produk yang paling sering digunakan masyarakat. Pikirannya berhenti pada tepung tapioka. Tepung tapioka itu terbuat dari bahan baku ubi yang tidak sulit diperoleh. Orang yang tidak paham ilmu pertanian pun bisa mengolah ubi menjadi sebuah produk. Ubi bisa diolah menjadi tepung secara moderen maupun tradisional. Sedangkan tepung tapioka cap seulawah diolah secara tradisional. Kata Zubir, harga tepung tradisional lebih mahal di pasaran daripada tepung moderen. Satu kilogram tepung moderen harganya Rp 5.000. Tepung tradisional harganya bisa

Sosok mencapai Rp 20.000. “Beda jauh,” terang staf Dinas Pangan Aceh itu. Pabrik tepung cap seulawah berada di Balai Benih Holtikultura, Saree, Aceh Besar. Pemiliknya Dinas Pertanian Aceh. Zubir dipercayakan memproduksi tepung di sana bertujuan memperbanyak produk lokal. Sebelum dikelola oleh Zubir atas permintaan kepala dinas pada 2015, fasilitasnya belum memadai. Zubir terpaksa merogok kocek pribadinya untuk memperbaiki fasilitas yang ada. Di Saree, proses penjemurannya cukup sulit. Kelembapan udaranya tinggi. Penjemuran tepung pun dialihkan ke sebuah sebuah gudang kecil milik pemerintah daerah di Gelumpang Minyeuk, Pidie. Di sana sekaligus pengemasan. Satu kemasan berisi satu kilogram tepung dari lima kilogram ubi yang diolah. Tepung ini sudah menjadi tepung favorit baik di Aceh maupun bagi sejumlah pengusaha kue di Medan. Permintaannya cukup banyak. Pengusaha kuliner sangat menyukai menggunakan tepung ini untuk membuat adonan kue. Hasilnya sesuai seperti yang diinginkan. Tepung ini disebutsebut lebih berkualitas dibandingkan tepung termahal dari Jawa. “Dapur pendopo juga menggunakan tepung kita. Tapi mungkin gubernur tidak tahu,” imbuhnya. Proses pengolahannya, ubi yang didatangkan dari Medan terlebih dahulu dikupas. Kemudian digiling serta diayak. Ubi tersebut kemudai direndam dan diendapkan selama empat jam. Patinya yang diambil kemudian dijemur selama dua hari hingga kering. Selanjutnya digiling sekali lagi dengan kadar kehalusan yang sudah ditentukan. Akhirnya jadilah tepung yang siap dikemas. Walaupun banyak peminatnya, Zubir tidak sanggup lagi memproduksi tepung itu. Biaya operasionalnya yang tinggi menjadi alasannya. Gaji Zubir sebagai pegawai negeri sipil tidak sanggup membiayai itu semua. Zubir merasa cukup sedih menghadapi kondisi ini. Padahal, sekarang harga ubi di Medan cuma Rp 350 per kilogram. Biasanya harga per kilogram sebesar Rp 1.100. Ia mencoba mencari bantuan dengan membuat pinjaman di bank. Sayangnya ditolak.

“Sekarang pelanggan banyak mengeluh karena produksi tepung sudah tiga bulan berhenti,” pungkasnya. Namun Allah memberikannya jalan. Pemerintah bersedia membangun pabrik tepung tapioka di Lamtamot, Aceh Besar, dengan biaya Rp 3,5 miliar. Pabrik itu akan dibangun beberapa bulan ke depan. Zubir menjadi pengelolanya. Diharapkan, kehadiran pabrik ini bisa mengurangi angka pengangguran. Prediksinya, total kebutuhan biaya operasional pabrik yang baru mencapai Rp 600 juta sebulan. Sudah termasuk gaji pekerjanya yang berasal dari kalangan ibuibu 80 orang. Bahan baku yang diperlukan sebulan 150 ton. Sedangkan laba bersih per bulan Rp 250 juta. “Operasionalnya mahal karena usaha ini padat karya,” tuturnya. Ia mengatakan, selama ini bahan baku untuk membuat tepung berasal dari Medan. Ke depan ia merencanakan menggerakkan petani di Lamtamot, Lamteuba, untuk menanam ubi. Dibutuhkan 200 hektar lahan untuk mencukupi kebutuhan pabrik baru itu selama setahun. Tidak membutuhkan skill khusus supaya bisa mengolah ubi. Orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu bisa melakukannya. “Asal mau semua pekerjaan bisa dilakukan,” pungkasnya. Ia berharap ke depan banyak anakanak Aceh yang menciptakan produk lokal. Pemerintah tentunya harus hadir membantu mereka menggapai cita-cita mulia ini. Terciptanya produk lokal bisa meningkatkan perekonomian Aceh. [Zulfurqan]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

31


32

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Investasi

FEB UNSYIAH DAN TICMI BUKA PROGRAM PENDIDIKAN PASAR MODAL

F

akultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (FEB Unsyiah) jalin kerjasama dalam program pendidikan pasar modal dengan The Indonesia Capital Market Institute (TICMI). Kerjasama tersebut ditandai dengan penandatangan Memorendum of Understanding (MoU) antara kedua belah pihak, Senin (3/4) kemarin di aula kampus FEB Unsyiah. Penandatangan kerjasama dilakukan oleh Dekan FEB Unsyiah Prof Dr Nasir Azis MBA dan Direktur Utama TICMI Mety Yusantiati. Turut hadir pada kesempatan itu Direktur Regional I PT Bursa Efek Indonesia Dedy Priadi, para Ketua Jurusan di lingkungan FEB Unsyiah, serta para dosen. Mety Yusantiati menjelaskan bahwa penandatanganan kerjasama dengan FEB Unsyiah ini merupakan salah satu dari lebih 30 Perguruan Tinggi di Indonesia yang menjadi agenda kerjasama TICMI pada tahun 2017. “Kerjasama dengan Perguruan Tinggi terpilih di Indonesia untuk tahun ini kita jadwalkan di 30 Perguruan Tinggi,” jelas Mety saat memberikan sambutannya, Senin (3/4). Dengan dilakukannya jalinan kerjasama

tersebut, Mety berharap dalam jangka waktu tertentu perguruan tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan reguler yang mengacu pada silabus pelatihan dan sertifikasi Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) secara mandiri. Dia menambahkan, TICMI memiliki misi mengangkat pengetahuan pasar modal di Indonesia, dan TICMI akan terus meningkatkan jumlah sumber daya manusia berkualitas dan memiliki pengetahuan serta keterampilan dalam bidang pasar modal. “Jalinan kerjasama yang terjalin antara TICMI dan FEB Unsyiah ini hendaknya dapat berjalan dengan baik, dan kami berharap mahasiswa-mahasiswi di Aceh, khususnya di FEB Unsyiah dapat menjadi lulusan WPPE berkualitas,” pungkasnya. Acara yang dipaketkan dengan Seminar Nasional ½ hari ini diikuti oleh 300-an mamasiswa dan puluhan dosen yang memadati Aula. Seminar dengan tema Investasi Mudah, Masa Depan Cerah, Ekonomi Aceh Bergairah ini dipandu oleh pakar keuangan dan pasar modal dari FEB Unsyiah, Dr. Said Musnadi MSi. Mengutip Robert K Tyosaki, Said Musnadi mengajak peserta

seminar untuk tidak lagi bekerja demi uang. Tapi bagaimana cara agar uang bekerja untuk kita. “Investasi cerdas di masa muda, akan menuai hasil melimpah di masa tua,” ujarnya. Dedy Priadi dalam paparannya mengatakan bahwa selama ini kita hanya menjadi konsumen dari berbagai perusahaan besar. Apa yang kita konsumsi, yang kita makan, yang kita pakai, mobil yang kita kenderai, motor yang kita gunakan, semua diproduksi oleh perusahaan anggota bursa. “Kenapa kita hanya menjadi konsumen saja kalau ternyata kita juga bisa memiliki perusahaan tersebut?” tanyanya kepada audiens. “Beli saham produk-produk yang kita konsumsi, maka kita otomatis menjadi pemilik perusahaan tersebut,” jelasnya Sementara Dekan FEB Unsyiah Prof. Dr H Nasir Azis MBA mengucapkan terimakasih kepada TICMI yang telah memilih FEB Unsyiah dari 30 Perguruan Tinggi terpilih untuk bekerjasama dalam Program Pendidikan Pasar Modal oleh TICMI di tahun 2017 ini. “Mudah-mudahan jalinan kerjasama ini bisa menguntungkan kedua belah pihak dn bisa terlaksana dengan baik,” ungkapnya. [aer]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

33


SEKILAS TENTANG JUMLAH WISMAN KE ACEH

34

Rombongan mahasiswa Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia bersama tim Forum Aliansi Masyarakat dan Intelektual Aceh (FARMIDIA) dan mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mengunjungi Museum Tsunami di Banda Aceh. | ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |Museum ini merupakan salah satu destinasi wisata terbaik di Aceh sekaligus media pembelajaran tentang dahsyatnya tsunami yamg terjadi pada 26 Desember 2004.


NANGGROE

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

35


Mahasiswa UPSI mengunjungi salah satu toko souvenir di Punge, Banda Aceh.

J

umlah wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui pintu kedatangan Provinsi Aceh mengalami peningkatan pada Februari 2017 sebanyak 2.930 orang atau mengalami peningkatan sebesa 15,90 persen dibandingkan dengan Januari 2017. Namun mengalami penurunan 12,62 persen dibandingkan Februari 2016. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Mahyuddin saat menggelar konferensi pers berita statistik di kantor BPS Aceh di Banda Aceh, Senin (3/4). “Secara kumulatif pencapaian jumlah wisman Januari-Februari 2017 menurun sebesar 40,28 persen terhadap periode yang sama tahun 2016,” paparnya. Katanya, wisman terbanyak pada Februari 2017 berasal dari Malaysia yaitu sebanyak 2.410 orang. Mengalami peningkatan dari Januari 2016 sebesar 21,78 persen. Empat besar wisman lainnya pada Februari 2017 berasal dari Tiongkok (77 orang), Filipina (47 orang), Perancis (44

orang), dan Inggris (40 orang). Secara kumulatif Januari-Februari 2017, lima besar wisman terbanyak adalah Malaysia (4.389 orang), Tiongkok (164 orang), Perancis (87 orang), Inggris (78 orang), dan Jerman (77 orang). Ia menambahkan, bila dilihat dari jumlah wisman menurut wilayah, maka pada Februari 2017 wisman terbanyak berasal dari ASEAN yang berjumlah 2.486 orang, meningkat sebesar 21,74 persen dibandingkan Januari 2017. Kemudian disusul oleh Eropa sebanyak 222 orang, mengalami penurunan 13,95 persen dibandingkan Januari 2017. Selanjutnya dari wilayah Asia (tanpa ASEAN) 140 orang. Tingkat Penghunian Kamar Februari 2017 Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Aceh pada Februari 2017 sebesar 49,35 persen. Mengalami peningkatan sebesar 9,57 persen dibandingkan Januari 2017. Jika dibandingkan dengan Februari 2016

Mahasiswa UPSI Malaysia beserta tim FARMIDIA dan mahasiswa Unsyiah ketika mengunjungi Museum Aceh yang memiliki ragam informasi tentang ragam budaya, dan sejarah Aceh.

36

juga mengalami peningkatan 0,89 poin. Sedangkan TPK akomodasi lainnya pada Februari 2017 sebesar 27,46 persen. Mengalami peningkatan 1,33 poin jika dibandingkan Januari 2017. Namun menurun sebesar 2,72 poin terhadap Februari 2016. “Rata-rata lama menginap total pada Februari 2017 pada hotel bintang adalah selama 2,11 hari, lebih tinggi dibandingkan akomodasi lainnya yaitu selama 1,20 hari,” pungkas Mahyuddin. Ia menjelaskan bahwa pada Februari 2017, rata-rata lama menginap tamu asing di hotel bintang lebih tinggi dibandingkan dengan tamu nusantara. Begitu juga pada akomodasi lainnya. Tercatat rata-rata lama menginap tamu asing pada hotel bintang selama 2,69 hari. Sedangkan tamu nusantara selama 2,08. Rata-rata lama menginap tamu asing pada akomodasi lainnya adalah selama 2,97 hari. Sedangkan tamu nusantara selama 1,17 hari. [Zulfurqan]

Mahasiswa UPSI Malaysia antsusias mendengarkan penjelasan sejarah Aceh oleh mahasiswa Unsyiah. Aceh dan Malaysia memiliki keterkaitan sejarah yang kuat pada masa dulu.

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Nanggroe

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI

P

ada Maret 2017 di Banda Aceh mengalami deflasi sebesar -0,15 persen, Meulaboh -0,06 persen, dan Lhokseumawe -1,40 persen. Secara agregat untuk Aceh pada Maret 2017 menglami deflasi -0,51 persen. “Deflasi yang terjadi di Aceh disebabkan oleh penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) kelompok bahan makanan -2,91 persen dan sandang -0,02 persen,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Mahyuddin saat memaparkan berita resmi statistik, Banda Aceh, Senin (3/4). Sedangkan kelompok lainnya yang mengalami kenaikan indeks, yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,72 persen, kesehatan 0,62 persen, perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar 0,44 persen, pendidikan, rekreasi, & olahraga 0,07 persen, dan transportasi, komunikasi & jasa keuangan 0,003 persen. Laju inflasi tahun kalender Maret

2017 untuk Banda Aceh 0,32 persen, Lhokseumawe -1,93 persen, Meulaboh 1,68 persen, dan Aceh -0,19 persen. Inflasi “year on year” (Maret 2017 terhadap Maret 2016) untuk Banda Aceh sebesar 3,08 persen, Lhokseumawe 3,61 persen, Meulaboh 4,72 persen, dan Aceh 3,45 persen. Komponen inti untuk Aceh pada Maret 2017 mengalami inflasi sebesar 0,10 perseb, komponen yang harganya diatur pemerintah mengalami inflasi 1,34 persen, dan komponen bergejolak mengalami deflasi -3,21 persen. Maret 2017, Provinsi Aceh Deflasi -0,51 Persen Pada Maret 2017 berbagai harga komoditas di Aceh sevara umum menunjukkan adanya penurunan. Hal ini ditandai dengan turunnya IHK dari 122,55 pada Februari 2017 menjadi 121,92 persen pada Maret 2017 atau terjadi deflasi -051 persen, Inflasi tahun ke tahun untuk Aceh

3,45 persen. “Dari 259 jenis barang dan jasa mengalami perubahan harga untuk Aceh pada Maret 2017, 139 jenis barang dan jasa menunjukkan adanya penurunan harga dan 120 jenis barang dan jasa mengalami kenaikan harga,” pungkas Mahyudin. Beberapa komoditas di Aceh yangg mengalami kenaikan harga pada Maret 2017 antara lain adalah rokok kretek filter dengan andil sebesar 0,0903 persen, tarif listrik 0,0571 persen, tukang bukan mandor 0,0540 persen, angkutan udara 0,0488 persen, udang bassah 0,0311 persen, daging ayam ras 0,0266 persen, dan pepaya 0,0242 persen. Sedangkan beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain adalah tongkol dengan andil -02155 persen, beras -01524 persen, cabai rawit -0,1048 persen, kembung -0,0685 persen, dan tarif pulsa ponsel -0,0547 persen. [Zulfurqan]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

37


NIKMATNYA

SATE TAICHAN

38

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Nanggroe

J

umat malam (24/3) ribuan sepeda motor lalu-lalang di Jalan Teuku Panglima Nyak Makam, Lampineung. Jam sudah menunjukkan pukul 20.15 wib. Lampu kuning trotoar menerangi jalan. Malam ini jalan nampak lebih padat daripada biasanya. Tidak sedikit para muda-mudi yang nampak di atas sepeda motor berboncengan sambil tertawa. Di saat orang lain ria menikmati malamnya, Iqbal Fajar (20) asik mengipasngipas sate daging ayam. Tangannya juga cekatan meramu bumbu sate. Kemudian diolesi menggunakan kuas kecil. Dikipas lagi hingga satenya matang. Sate pun siap disajikan kepada pelanggan yang sudah menunggu. Satu per satu pesanan di antar. Sementara itu masih ada sejumlah kertas pesanan. Digantung menggunakan penjebit sedemikian rupa di sehingga mudah dilihat. Usaha bernama Sate Taichan Kuy ini baru saja dibuka. Lokasinya di Lampineung, tepat di depan Adi Coffee. Bersama temannya, Mirza Ashadi Prawighra (20), Iqbal mengumpulkan modal usaha mencapai tujuh juta rupiah. Uang tersebut digunakan untuk membeli gerobak kecil, serta kebutuhan untuk membuat sate. Sedikit demi sedikit modal usaha yang mereka keluarkan mulai kembali. “Saya buka usaha berdua sama kawan. Kalau sudah balik modal, keuntungannya akan kami bagi bersama,” ujarnya saat ditemui Aceh Economic Review. Iqbal menjual sate mulai sekitar pukul 17.30 wib hingga pukul 23.00 wib. Laku semua atau tidak dagangannya, bila waktu tutupnya tiba, mereka tetap tutup. Tetapi biasanya dagangannya habis terjual pukul 21.30 wib. Semalam mereka mampu menghabiskan daging ayam sampai delapan ekor atau 250 tusuk. Pada malam Sabtu dan Minggu pelanggan yang datang lebih banyak. Umumnya, pelanggan sate ini berasal dari kalangan pemuda. Menu sate yang tersedia seperti sate chantong Rp 15 ribu, sate chantok Rp 15 ribu, sican wings Rp 15 ribu, can wings Rp 16 ribu. Sedangkan menu tambahannya yakni lontong, nasi putih, sambal, dan keurupuk. Sambalnya sendiri terdiri dari varian rasa yaitu, sades (sangat pedas), dan lumayan pedas, dan kacang. Kecuali sumbangan pembinaan pendidi­ kan kuliahnya di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Lampeuneurut, Aceh Besar, Iqbal bertekad supaya dirinya mandiri uang jajan maupun kebutuhan bahan perkuliahan. Biaya kuliah yang mahal tidak ingin ia bebankan kepada ayah ataupun ibunya. “Padahal

sudah bilang sama orang tua supaya tidak dikirim lagi uang jajan, tapi masih aja dikirim,” pungkas Iqbal sambil tersenyum. Sementara itu, Mirza menuturkan, orang tuanya sempat tidak menyetujui keinginannya berjualan. Perlahan ia memberikan pengertian hingga idenya pun diterima. Ayah Mirza beprofesi sebagai polisi. Sedangkan ibunya merupakan pegawai negeri sipil di salah satu rumah sakit di Banda Aceh. “Kalau mengharap uang dari orang tua belum cukup,” tutur mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah itu. Katanya, selama ini usaha berjalan, respon pelanggan cukup baik. Ditambah lokasi strategis yang sangat mendukung usaha itu. Lapak Sate Taichan mereka sewa kepada Adi Kupi. Lokasi ini dipilih karena sebelum Adi Coffee adalah tempat berkumpulnya vespa

matic. Mirza salah satu anggotanya. Baik Mirza dan Iqbal mengaku kegiatan mereka berwirausaha tidak mengganggu kegiatan mereka. Sebab kebanyakan jadwal kuliah berlangsung pada pagi hingga siang hari. Selebihnya mereka gunakan mempersiapkan kebutuhan berjualan. Misalnya memotong ayam, membuat saus sambal, dan sebagainya. Setelah dipotong daging ayam tersebut langsung ditusuk. “Kita mengatur waktu supaya tetap bisa berjualan,” pungkas Mirza. Selama ini promosi yang dilakukan melalui mulut ke mulut kepada temantemannya. Seiring dengan besarnya pengaruh media sosial, mereka juga menggunakan instagram dan line. Terkadang mereka meminta temannya yang ngetrend untuk memposting foto Sate Taichan di instagramnya. [Zulfurqan]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

39


40

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


Nanggroe

DARI PINJAMAN Rp 1 JUTA MENGHASILKAN Rp 80 JUTA SEBULAN

R

atusan botol plastik dibungkus rapi di sisi kanan depan rumah panggung kayu di Gampong Illie, Ulee Kareng, Banda Aceh. Puluhan kotak sabun beserta isinya berjejer rapi di sisi kiri tangganya. Peralatan rumah siap dipindahkan. Sementara itu, dua sangkar bergantungan tanpa burung di dalamnya. Rumah ini disewa oleh Muhammad Idris Harahap (50) bersama istrinya Ellia (47) sejak 2011. Idris merupakan warga Banda Aceh, daerah asalnya Sumatera Utara. Istrinya Aceh tulen. Masa sewa rumah berakhir pada 31 Maret. Mereka akan pindah ke rumah baru hasil penjualan sabun Mu’tabar. Lokasinya masih di Illie, tepat di samping pabrik miliknya dengan luas 10x7 meter yang merupakan hibah Pemerintah Aceh melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh. “Pemerintah sangat mendukung usaha saya,” ujar Idris saat ditemui oleh Aceh Economic Review, Minggu (26/3). Di rumah kecil itu Idris memproduksikan sabun Mu’tabar. Sabun cair dengan perkembangan pasar luar biasa bila dilihat dari proses jadinya. Seorang lelaki yang dulunya meminjam uang usaha dari Baitul Mal Aceh Rp 4 juta, sekarang mampu menjual produknya hingga Rp 80 juta sebulan. Sebelumnya, modal pertama kali yang ia keluarkan sebanyak Rp 1 juta. Awalnya, sabun cair yang diproduksikan cuma 10 liter sebulan. Sekarang sudah mencapai tujuh sampai dengan delapan ton. Walaupun penjualannya sudah mentereng, Idris tidak gelap mata. Setiap satu liter penjualan, Rp 500 dari keuntungannya disumbangkan kepada lembaga pengajian, anak yatim. Sabun Mu’tabar buatannya tidak kalah saing dengan produk sabun nasional. Bisa digunakan untuk mencuci mobil, piring, pakaian, dan mengepel. Idris, pria ramah itu memperoleh pengetahuan membuat sabun sejak bekerja di sebuahnperusahaan

sabun di Sumatera Utara. Promosi sabun ini dilakukan melalui kelompok pengajian, teman-teman, pameran, dan melalui iklan di media. Kini, produknya telah diperjualbelikan ke sejumlah kabupaten/kota di Aceh, seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireueun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Bener Meriah, Takengon, Gayo Lues, dan Langsa. Sabun dikirim ke daerah tersebut dua minggu sekali melalui agen. Kiriman untuk setiap daerah 200 lusin, termasuk dalam bentuk kemasan botol dan jerigen. “Jumlah produk kita belum sanggup memenuhi permintaan pasar karena keterbatasan modal,” pungkasnya. di kediamannya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Idris tidak menyangka bahwa usahanya bisa berkembang seperti sekarang ini. Dari rakyat kecil ia sudah bisa berkenalan dengan sejumlah pejabat penting yang memberikannya dukungan. “Dulunya saya tidak yakin bisa seperti ini. Tapi saya yakin

berkembang,” pungkasnya. Hal yang paling dinantikan Idris sekarang adalah keluarnya izin edar dari Menteri Kesehatan. Dengan demikian, pemasaran produk yang sudah bersertifikasi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika (LPPOM) ini bisa dilakukan keluar daerah. Hadirnya pabrik hibah pemerintah sangat membantu memenuhi persyaratan Kemen­ trian Kesehatan. Kendala produksi sabun Mu’tabar terda­ pat pada ketersediaan bahan bakunya. Hampir semuanya berasal dari luar daerah. Ia berharap di Aceh tersedia bahan baku pembuatan sabun. Sehingga biaya opera­ sional­nya irit. [Zulfurqan]

| AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

41


MEMBERDAYAKAN PRODUK LOKAL MELALUI OVOP

O

ne Village One Product (OVOP) pertama kali dicetus足 kan oleh Jepang pada 1979. Program tersebut mengem足 bangkan ekonomi regional yang berhasil meningkatkan kualitas produk lokal menjadi produk unggulan daerah.

42

Kemudian produk tersebut bisa bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Program ini terbukti efektif meningkat足 kan kesejahteraan masyarakat pedesaan, dinamisme ekonomi gampong, pening足 katan pendapatan daerah, dan solidaritas sosial dengan menciptakan produk yang

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

unik serta memiliki nilai tambah. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Banda Aceh menerapkan OVOP ini. Hal tersebut disampaikan oleh Sekdakota Banda Aceh Ir Bahagia DiplSE saat membuka acara pemetaan produk-produk UMKM Lokal Menjadi Produk Unggulan Daerah (PUD)


Nanggroe komitmen yang jelas dari semua pihak. Khususnya para pelaku UMKM. Mulai dari pemeliharaan kualitas produk agar sesuai standar, packaging yang menarik, serta pemenuhan syarat-syarat sebagai sebuah produk berkualitas. Dampaknya, produk lokal di Banda Aceh bisa bersaing dengan produk luar melalui program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Saifullah Muhammad, selaku Ketua OVOP mengatakan, semua UMKM yang diundang sangat antuasias hadir mengenalkan produk mereka untuk dipetakan sebagai produk unggulan daerah. Semua UMKM disurvei untuk dirangkingkan. Sekitar 40 atau 50 UMKM rangking teratas akan dibina. Melalui pembinaan diharapkan bisa meningkatkan grade dari produk-produk UMKM di Banda Aceh. “Banyak produk yang sudah bagus, tapi belum ada kemasan. Yang seperti ini nanti akan kita bina,” imbuhnya. [Zulfurqan]

yang bersertifikasi OVOP, Rabu (5/4) di Aula Lantai IV Balaikota Banda Aceh. Kegiatan ini diikuti oleh 250 UMKM di Banda Aceh dengan menampilkan produk-produk mereka. “Pemko Banda Aceh sangat konsisten dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat

melalui peningkatan Produk Unggulan Daerah/Lokal (PUD) yang bernilai dan bisa bersaing dengan produk-produk dari daerah lainnya,” pungkasnya. Menurutnya, pengembangan produk lokal melalui OVOP harus diperhatikan dan dibina serius dengan | AC E H E CO N O MI C R E VI E W | E D I S I JAN UAR I - MAR E T 2 017 |

43


Segarnya Keindahan

ACEH JAYA DAN ACEH BESAR 44

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |


WISATA

S

ambil menyelam minum air. Pepatah itu mungkin cocok dialamatkan kepada Alfi, Caca, dan Ica yang berwisata ke Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet, Aceh Jaya. Dalam perjalanan ke sana, mereka turut menikmati beberapa keindahan alam Aceh Besar. Sabtu (26/3), hari itu mungkin menjadi saat paling membahagiakan bagi ketiga anak muda itu. Caca bahkan sampai tidak sadar air mata membasahi kedua pipinya. Di depan gerbang CRU, Alfi dan Ica tersenyum. Tertawa kecil melihat polah sahabatnya yang kegirangan melihat gajah. Lokasi CRU ini berada 24 kilometer dari jalan nasional masuk ke dalam. Pendirian CRU Samponiet sendiri merupakan langkah untuk menanggulangi konflik manusia dengan gajah liar di kawasan itu. Kawasan CRU dipayungi pepohonan menjulang tinggi. Empat gajah jinak berteduh di bawahnya. Tingginya mencapai tiga meter. Bulunya keras dan jarang-jarang. Makanannya berupa pelepah kelapa muda. Menggunakan belalai, gajah mengupasnya. Hanya bagian dalam yang dimakan. Biasanya, gajah dimandikan di sungai pada sore hari. Letaknya sekitar 100 meter dari tempat gajah biasa berisitirahat di CRU. Mereka dimandikan pada kedalaman sungai tidak sampai sepinggang orang dewasa. Saat dimandikan, mereka nampak imut, penurut, dan manja. *** Aceh Jaya merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Barat pada 2002. Kabupaten ini menyimpan panorama alam nan eksotis dan sejarah yang menarik. Berdasarkan sejarah, penduduknya dike­ nal khas. Karena sebagian dari mereka merupakan keturunan Portugis. Kala itu kapal prajurit Portugis terdampar di sana pada abad ke-16. Seperti diketahui orang Portugis memiliki kulit putih, dan berambut pirang bermata biru. Akhirnya mereka ditawan oleh pihak kerajaan pada waktu. Lama kelamaan mereka memeluk Islam. Kemudian menikah dengan penduduk setempat. Keturunan mereka yang semakin sedikit masih bisa dijumpai di Kecamatan Jaya. Aceh Jaya memiliki banyak potensi alam. Baik dari segi pariwisatanya maupun potensi ekonomi. Sepanjang perjalanan menuju Aceh Jaya jika dari Banda Aceh, hamparan laut biru menemani pengguna jalan. Salah satu keindahan alam di Aceh Jaya adalah puncak Geurutee. Fenomena pertemuan laut dengan pegunungan bak sihir yang membuat penikmatnya terpikat. Ingin rasanya berlama-lama di sana. Memandang dua pulau kecil yang terlihat dari puncaknya.


Wisata Ditambah perpaduan birunya langit bercampur putih bersih awan. Sepoi angin menghampiri wajah. Sambil menikmati mie goreng, segelas air di sebuah kafe, menambah keakraban bagi Caca, Ica, dan Alfi. Ketiga pemuda itu bertekad petualangan menghampiri anugerah tuhan tidak hanya berhenti di sana. Saat sore hari, hamparan senja membuat puncak Geurutee kian seksi. Di puncak Geurutee, kesejukannya tidak bisa dibandingkan kawasan kota yang padat kenderaan. Walaupun jalannya sekitar empat meter, tapi kawasan Geurutee tidaklah sepi. Mobil pribadi dan minibus melewati. Tapi jangan berharap bisa melihat bus besar di sini. Kondisi itu tidak akan memungkinkan. Pengguna jalan diharapkan lebih berhati-hati saat melewati pegungungan itu. Jalannya yang sempit ditambah jurang terjal di sisi jalan. Serta tidak sedikit jalan berlubang. Sedangkan sisi satunya lagi adalah tanah keras bercampur bebatuan besar. Dari Banda Aceh, sebelum menuju Aceh Jaya harus melalui Aceh Besar. Selama perjalanan menuju puncak, mata akan dimanjakan dengan pemandangan laut. Jalannya masih mulus sebelum tiba ke kawasan pegunungan. Beberapa objek wisata mudah saja dinikmati karena lokasinya berada tepat di pinggir jalan. Misalnya seperti kawasan Lhoknga, Lhok Seudu, dan Pantai Teluk Jantang yang terletak di Aceh Besar. Pantai Teluk Jantang. Pantai ini berada di Desa Jantang Meunasah Krueng Kala Pasie, Kecamatan Lhoong. Pantai ini cukup rindang karena terdapat pepohonan cemara menjulang tinggi. Dilengkapi tempat duduk di bawahnya. Tapi kawasan ini terlihat sepi. Hanya nampak beberapa orang yang sedang membuat kapal yang diperuntukkan bagi nelayan. Maju ke depan sedikit lagi, kita bisa

46

menemukan spot alam lainnya. Wisatawan harus mengeluarkan tenaga untuk menaiki tangga di perbukitan. Bagi yang membawa kenderaan harus memarkirkan kepada penjaga di bawah. Biayanya Rp 15 ribu per sepeda motor. Sebelum tiba di spot yang dituju, ada ilalang setinggi satu meter lebih. Banyak pendatang berfoto ria di sana. Di atas bukit, nampak air laut yang berpadu antara biru muda dan pekat. Rombongan ikan kecil menari di dalamnya. “Alfi, Caca, coba lompat,” celutuk Ica sambil tersenyum. *** “Aku kalau enggak ada gajah nanti nangis,” ujar Caca saat memulai perjalanan menuju ke CRU. Caca merupakan salah satu mahasiswa yang sangat mencintai keindahan alam. Ia geram melihat maraknya penebangan hutan. Menurutnya, masuknya gajah liar ke arah perkampungan masyarakat karena ekosistemnya sudah rusak. Perusaknya adalah manusia yang tidak bertanggungjawab. Mereka cuma memikirkan kebutuhan sendiri. Pada dasarnya, kerusakan itu tidak akan pernah terjadi jika manusia saling menjaga dan merawat hutan. Sepanjang perjalanan, Caca terus saja bercerita mengenai kekhawatirannya itu. Gajah pertama yang mereka jumpa di CRU bernama Isabela. Isabela sudah berumur 25 tahun. Butuh waktu yang lama bagi si pawang untuk melatih gajah-gajah itu. Hewan setinggi sekitar tiga meter itu berhasil menyihir ketiga mahasiswa ini. “Cium,” pinta pawang gajah. Tanpa membantah, belalai Isabela menyentuh kepala Ica. Ica pun tertawa sambil melakukan beberapa kali lompatan kecil. Mereka bertiga asik mengelus gajah. Sambil berfoto ria dengan gajah yang dibawa dari Sare, Aceh Besar. Semua menjadi fotografer bagi yang lain. Menurut

| ACEH ECON OM I C R E V I E W | E DIS I JA NUA R I - MAR E T 2 0 1 7 |

informasi, biasanya gajah-gajah itu diajak bermain keluar. Namun sementara, gajah berada di CRU. Karena dipergunakan untuk shooting Laptop si Unyil. Sebuah acara televisi di Trans 7 yang kerap menemani waktu siang. *** Caca kembali menangis. Kali ini air matanya keluar karena sikap usil anakanak yang mengganggunya berfoto dengan gajah. Ia pun minta supaya rencana pulang ditunda dulu. Sambil menunggu kepulangan mereka, Caca, Alfi, dan Ica diajak ke sebuah sungai bernama Sarah Deue. Perjalanan dari CRU ke sungai itu mencapai 30 menit. Melewati jalan yang dipenuhi bebatuan. Jalannya naik turun serta melewati dua aliran sungai setinggi hampir mencapai lutut. Perjalanan menggunakan motor terpaksa berhenti setibanya di tempat pembangunan irigasi baru. Mau tidak mau, kali ini dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati sungai yang dipenuhi bebatuan besar nan licin hingga tiba di tempat pemandian. Hutan lebat sisi kiri dan kanan sangat rindang. Airnya jernih lagi sejuk. Lokasi pemandian berada sedikit di atas. Jika melompat tidak akan sampai mengenai dasar sungai. Kesegaran air mampu menghilangkan penat yang menyerang tubuh. Sungai ini terletak di bawah kaki pegunungan Ulu Masen. Batuan di pertepian sungai terukir rapi. Air sungai mengalir, menyentuh lembut batuan kokoh itu. Sesekali suara burung memecah kesunyian. Suaranya jelas seperti dipantulkan. Kawasan sungai ini masih sangat alami. Tidak ada sampah peninggalan wisatawan. Bila khawatir akan lapar di sana maka harus membawa persediaan makanan sendiri. Di sana tidak tersedia kios yang menyediakan makanan ringan untuk mengganjal lapar. [Furqan]



Biro Perekonomian Setda Aceh


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.