Peta dan Peran Civil-society Organization Di Indonesia Paska Pemerintahan Wahid1 Oleh Juni Thamrin2
Konteks dan Tantangan Perubahan Konfigurasi petabumi gerakan NGOs di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) setting politik, ekonomi, sosial dan budaya pada aras internasional; (2) relasi kuasa dan komposisi aktor-aktor yang bermain pada aras nasional dan regional, terutama pemerintah, swasta, partai politik dan gerakan gerakan pro-demokrasi; (3) orientasi organisasi yang bersangkutan, terutama visi dan missi mereka, dan (4) bentuk kebijakan negara terhadap pembangunan, dalam arti seberapa besar akses dan kontrol masyarakat (miskin) dibuka secara umum. Keseluruhan aspek tersebut di atas mempengaruhi pilihan dan strategi yang diambil oleh masing-masing NGO. Secara umum, peran yang dijalankan oleb banyak NGO di Indonesia adalah sebagai alternatif pembawa layanan dasar bagi publik. Secara internasional peran dan keterlibatan kolektif NGOs dalam dunia ‘development’ dan penyeimbang agenda publik semakin menonjol. Di Indonesia, gerakan NGOs seperti yang dikenal sekarang ini, dimulai sejak dasawarsa 70-an. LP3ES, LSP, Yayasan Dian Desa, Yayasan Bina Swadaya merupakan contoh sejarah dan gerakan awal NGO Indonesia yang berorientasi pada integrasi masyarakat dalam pembangunan negara. Kontribusi utama mereka adalah mempromosikan modernisasi sosial-ekonomi diantara kelompok-kelompok marginal. Dasawarsa 80-an, gerakan NGO Indonesia semakin bervariasi, ditandai munculnya gerakan yang mengkritik konsep modernisasi yang dijadikan landasan pembangunan. Gerakan lingkungan hidup, bantuan hukurn struktural, gerakan konsumen mulai meramaikan peta bumi NGO di Indonesia. Mereka umumnya mulai mempertanyakan dampak-dampak yang dimunculkan dan proses pembangunan. Walhi sebagai salah satu simpul gerakan lingkungan hidup mulai memunculkan pertanyaan struktural mengapa lingkungan selalu dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi. YLBHI selalu mempersoalkan masalah-masalah struktural di seputar hak-hak berorganisasi bagi masyarakat marginal, hak normatif buruh, mempersoalkan perampasan tanah rakyat oleh pemodal besar yang berkolaborasi dengan penguasa serta mempertanyakan ketimpangan hubungan negara dengan civil society. Gerakan konsumen yang dimotori oleh YLKI rnulai mempersoalkan hak konsumen yang selalu diabaikan oleh kalangan produsen berskala besar. Sejak kekuasaan rezim autoritarian Orde Baru mencapai klimaksnya di dasawarsa 90-an, gerakan CSO dan NGO di Indonesia semakin ‘radikal’ dan 1
Disampaikan .pada diskusi terhatas yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation Asia Center Jakarta, tanggal 30 Oktober 2001 di Jakarta. 2 Ir. Juni Thamrin, MSc Soc. Dcv adalah sekretaris Jenderal the Indonesian Parthership on Local Governance Initiatives (IPGI), associate dan Conflict and Peace Research Network (Concern), board of director Pusat Analisis Sosial AKATIGA dan freelance consultant untuk CSO and Alternative Development. 1