Buku Panduan Memahami UU PPMI: Kelebihan dan Kelemahan UU PPMI

Page 1

Buku Saku

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA KELEBIHAN DAN KELEMAHAN UU PPMI 2018



Buku Saku MEMAHAMI UNDANG-UNDANG Perlindungan PEKERJA MIGRAN INDONESIA KELEBIHAN DAN KELEMAHAN UU PPMI 2018

Nasib pekerja migran Indonesia tidak hanya ditangan buruh migran tetapi ditangan kita semua sebagai satu bangsa. Mari mengawal peraturan UU PPMI dan bersama-sama memperjuangkan hak-hak Pekerja migran Indonesia


Buku Saku Memahami Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia : Kelebihan dan kelemahan UU PPMI Tim Penulis : Savitri Wisnuwardhani Boby Alwy Daniel Awigra Oky Wiratama Risca Dwi Yatini Sulisyowati Wike Devi Penyuting dan Editor: Savitri Wisnuwardhani Citra Hamidah Sampul dan Tata Letak : Dimas Randy Prahara Program kerjasama : Jaringan Buruh Migran, SBMI, LBH Jakarta, HRWG, Solidaritas Perempuan dan KSBSI Di Dukung oleh : TIFA FOUNDATION Diterbitkan Oleh : Jaringan Buruh Migran a/n The Institute for Ecosoc Rights Jalan Tebet Timur Dalam VI C No 17 Jakarta Selatan Telp dan fax : (021) 8304153 jaringan@buruhmigran.or.di Fanpage : Jaringan Buruh Migran FB : Jaringan Buruh Migran – jbm twitter : @jariburuhmigran IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) blogspot : jaringanburuhmigran.org website : jaringan.buruhmigran.or.id


Daftar Isi

Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

1

Perlindungan Awak Kapal Melalui Peraturan Pemerintah

9

Perlindungan Pekerja Migran Melalui Kontraktual (Perjanjian)

17

Satu Atap Untuk Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

27

Kelemahan dan Kelebihan UU PPMI No 18 Tahun 2017: Perlindungan Sistem Penanganan Kasus & Bantuan Hukum Pekerja Migran

35

Kelemahan dan Kelebihan Sistem Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia

45

Kelemahan dan Kelebihan UU PPMI : Tata Kelola Migrasi Pelayanan Publik Kepada Pekerja Migran Indonesia

53

Lampiran Komparasi UU 39 TAHUN 2004 dan UU PPMI TAHUN 2017

63




Kata Pengantar Refleksi Advokasi UU Pekerja Migran Indonesia Hingga saat ini, semenjak kran penempatan pekerja migran Indonesia yang dulu dikenal dengan nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari tahun 1969-an melalui PP No 4 tahun 1970 yang mana di perkenalkannya Program Antar Kerja Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN), maka penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri mulai melibatkan pihak swasta (Suparno2008). Hampir empat dekade setelahnya, perlindungan bagi pekerja migran Indonesia masih minim dan belum menyentuh akar masalah karena adanya kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan yang orientasinya bisnis untuk melakukan penempatan pekerja migran Indonesia. Bahkan pemberian peran kepada perusahaan penempatan atau yang biasa kita kenal den-

gan sebutan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta), semakin di legitimasi melalui undang-undang No 39/2004, sebuah payung hukum yang seharusnya memberikan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia, namun ternyata justru melemahkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Banyak literatur yang diterbitkan baik dari lembaga riset, laporan dari beberapa instansi pemerintah dan masukan dari organisasi buruh migran dan pegiat buruh migran yang merekomendasikan UU 39/2004 Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri harus direvisi. Selain itu juga banyak seruan dan kampanye yang dilakukan buruh migran, organisasi buruh migran dan organisasi pemerhati buruh migran


yang meminta agar UU 39 tahun 2004 direvisi. Seruan dan kampanye yang terus menerus dilakukan akhirnya membuahkan hasil. Di tahun 2010, tepatnya di bulan November, revisi UU 39/2004 menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR-RI selama lima tahun dan menjadi Prolegnas Prioritas setiap tahunnya. Di tahun 2012, revisi UU 39/2004 mulai dibahas intensif di DPR RI dan pada 5 Juli 2012, Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan Revisi UU 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) menjadi RUU inisiatif DPR RI. Di tahun yang sama pula, tepatnya 12 April 2012, melalui Sidang Paripurna DPR RI, Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak - Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya diratifikasi oleh Indonesia dan melalui UU No 6 Tahun 2012. Konvensi PBB akhirnya men-

jadi salah satu hukum positif di Indonesia. Sayangnya, semangat ratifikasi Konvensi PBB 1990 tidak sama dengan semangat membahas revisi UU 39/2004. Hingga pada akhirnya di bulan Oktober 2014, proses pembahasan RUU PPILN yang sudah sampai di tahapan Panitia Khusus (Pansus) antara Pemerintah dan DPR, berakhir pada pembahasan tingkat I. Pada pembahasan tingkat I, kesepakatan yang dihasilkan Pansus pada waktu itu, hanya merubah judul RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri menjadi RUU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan bersepakat merubah kata TKI menjadi Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Jaringan Buruh Migran (JBM) yang pada saat bernama JARI PPTKLN (Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri), selama 4 ta-


hun (2010-2014) terus mengawal proses pembahasan Revisi UU 39/2004 di DPR RI. Proses pengawalan yang dilakukan JARI PPTKLN tidak hanya selalu hadir pada sidang pembahasan tetapi juga berkampanye baik ke media massa dan media sosial untuk menyuarakan usulan JARI PPTKLN. Selain itu team kerja JARI PPTKLN juga melakukan serangkaian audiensi kepada pemangku kebijakan untuk memastikan isi revisi UU sesuai dengan semangat perlindungan. Meski revisi UU 39/2004 tidak selesai dibahas di DPR periode 2009 – 2014, JARI PPTKLN yang kemudian bertransformasi menjadi Jaringan Buruh Migran (JBM) tetap mengkampanyekan kepada publik agar revisi UU 39/2004 masuk dalam Prolegnas. Bersama-sama dengan berbagai organisasi baik anggota JBM maupun mitra JBM, terus mengkampanyekan pentingnya adanya perlindungan

hukum bagi pekerja migran Indonesia kepada semua pihak terutama pengambil kebijakan yakni DPR dan Pemerintah. Pada tanggal 09 Januari 2015, dalam Sidang Paripurna DPR RI, DPR menetapkan Revisi UU 39/2004 masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015. Setelah dua tahun pembahasan Revisi UU 39/2004 di tingkat Panitia Kerja ( Panja) antara Komisi IX dan beberapa Kementerian dan satu badan (Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-RB, Kemenko PMK, serta BNP2TKI), akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2017, dalam Sidang Paripurna DPR RI, revisi UU 39/2004 menjadi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pada 22 November 2017, melalui UU


No 18 Tahun 2017, UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia berlaku secara efektif dan menggantikan UU No 39/2004. Jaringan Buruh Migran bersama dengan anggota JBM yang beranggotakan 28 organisasi yang berada di dalam dan di luar negeri, yang terdiri dari organisasi buruh migran, organisasi buruh dalam negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran terus melakukan pengawalan agar isu krusial JBM yang telah disuarakan sejak tahun 2010 masuk dalam UU PPMI. Beberapa bentuk pengawalan JBM diantaranya tidak hanya selalu hadir dalam setiap pembahasan Panja tetapi juga memberikan masukan kepada anggota Panja ketika sedang break rapat. Selain itu juga JBM rutin melakukan audiensi kepada beberapa fraksi di DPR yang merupakan anggota Panja dan juga melakukan audiensi kepada

beberapa kementerian yang merupakan anggota dari Panja RUU PPMI. Tidak hanya melakukan audiensi, JBM juga melakukan roadshow ke media dan mengajak media serta masyarakat lainnya untuk bersama-sama mengawal pembahasan RUU PPMI. JBM juga aktif menginformasikan update perkembangan pembahasan isi RUU melalui media sosial JBM agar pekerja migran Indonesia yang ada di luar negeri dapat mengikuti perkembangan rapat sehingga pekerja migran Indonesia memahami isi RUU dan diharapkan dapat bersuara bila usulan mereka belum diakomodir dalam RUU PPMI. Dari berbagai kegiatan advokasi yang dilakukan oleh JBM dan juga berkolaborasi dengan organisasi jaringan JBM, beberapa usulan perbaikan dalam UU PPMI telah diakomodir diantaranya : 1) Pengurangan peran swasta dalam


penempatan PMI. Dalam UU PPMI, peran swasta tidak lagi melakukan perekrutan dan pendidikan tetapi hanya menempatkan; 2) Pemerintah diberikan peran yang lebih besar dalam proses migrasi mulai dari pemberian informasi, pendidikan dan pelatihan, pengadaan layanan satu atap hingga penanganan kasus tidak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri; 3) Peran pemerintah daerah lebih diperbesar dalam proses migrasi termasuk melibatkan peran serta pemerintah desa (desentralisasi kewenangan migrasi); 4) Pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat, daerah dan badan sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan; 5) Penguatan fungsi atase ketenagakerjaan di luar negeri dalam menangani migrasi ketenagakerjaan PMI; 6) Sanksi yang diberlakukan tidak hanya kepada korporasi dan perorangan tetapi juga kepada pejabat; 7) Adanya pasal meminimalisir terjadin-

ya konflik kepentingan dalam proses migrasi; 8) PMI tidak boleh dibebani biaya penempatan (zero cost) bagi PMI; 9) Rezim asuransi TKI yang berorientasi pada profit diganti dengan BPJS dan 10) Pembatasan pembuatan aturan turunan yang dimandatkan hanya 2 tahun sejak UU PPMI berlaku. Pembatasan pembuatan aturan turunan menjadi penting karena belajar dari implementasi UU 39/2004, masih ada peraturan turunan yang dibuat setelah lebih dari 10 tahun UU 39/2004 disahkan. Meski terdapat beberapa kelebihan dari UU PPMI, masih ada kelemahan UU PPMI yang perlu diperbaiki dalam aturan turunan UU PPMI. Beberapa kelemahan dan rekomendasi JBM dalam perbaikan UU PPMI akan dijelaskan oleh oleh tim penulis di dalam buku saku JBM. Harapannya, buku saku ini dapat membantu dan me-


mandu semua pihak yang peduli akan perlindungan PMI agar PMI mengetahui hak-haknya termasuk layanan perlindungan yang dimandatkan dalam UU PPMI. Selain itu juga, dengan memahami kelebihan dan kelemahan dari UU PPMI, seluruh elemen masyarakat bersama-sama turut mengawal peraturan turunan UU PPMI. Mengutip salah satu prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) mengatakan bahwa “no one left behind� (tidak boleh ada yang tertinggal), diartikan bahwa untuk isu pekerja migran Indonesia, sebagai subjek kebijakan, PMI harus dilibatkan tidak hanya dalam pelaksanaannya tetapi dalam proses pembuatan kebijakan sehingga migrasi aman benar-benar terwujud bagi pekerja migran Indonesia. Jakarta, 08 Agustus 2018 Jaringan Buruh Migran


Peringatan Hari Buruh Migran Internasional setiap bulan Desember adalah momentum yang penting bagi para buruh migran dan masyarakat luas untuk mengingatkan Negara agar sadar akan kewajibannya menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak buruh migran. Jaringan Buruh Migran bergerak menuju istana negara untuk menyampaikan keprihatinan bahwa Negara masih setengah hati melindungi para pekerjanya di luar negeri. Sumber : Dokumentasi JBM


Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017 Perlindungan yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial. Perlindungan dalam UU ini memiliki tujuan untuk: a. Menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia; b. Menjamin Perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran Indnesia dan keluarganya. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Dilihat dari definisi dan tujuannya, UU ini setidaknya memiliki semangat dalam menggeser paradigma lama yang lebih kental aspek bisnis penempatan daripada aspek Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI). Tidak lagi berorientasi pada peningkatan produktivitas dan daya saing melalui optimalisasi pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja melainkan sudah mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi PMI sebagai manusia dan warga Negara. Selain itu, subjek perlindungan tidak lagi terbatas pada calon PMI/ PMI seperti dalam UU No. 39/2004, namun juga sudah memuat jaminan Perlindungan terhadap hak keluarga sebagaimana yang dimandatkan dalam Konvensi PBB

1


1990 tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. A. Perlindungan Sebelum dan Setelah Bekerja Perlindungan dalam UU PPMI diatur secara lebih sistematis dan komprehensif dalam bab tersendiri yaitu terdiri dari aturan Perlindungan sebelum, selama, dan setelah bekerja berjumlah sebanyak 20 pasal, serta aturan terkait Perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial yang berjumlah sebanyak 6 pasal. Pengaturan Perlindungan terhadap PMI sebelum bekerja (Pasal 8) mencakup 2 aspek yaitu administratif dan teknis. Adapun Perlindungan yang bersifat administratif meliputi kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan serta penetapan kondisi dan syarat kerja seperti surat keterangan perkawinan, surat keterangan ijin pihak keluar-

2

ga, surat keterangan sehat, sertifikat kompetensi kerja, paspor, visa kerja, perjanjian penempatan, dan perjanjian kerja. Sementara terkait proses yang dipersyaratkan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Badan (Pasal 12 ayat 2). Perlindungan pada aspek teknis meliputi antara lain sosialisasi informasi, pendidikan dan pelatihan, fasilitas pemenuhan hak, pelayanan dalam bentuk layanan terpadu satu atap (LTSA), jaminan sosial, penguatan pegawai fungsional, dan pembinaan serta pengawasan. Bagian ini juga memuat tugas dan tanggung jawab atase ketenagakerjaan (Pasal 15) dalam hal melakukan verifikasi terhadap mitra usaha (agen perekrutan) di luar negeri dan pengguna jasa. Atase ketenagakerjaan juga berkewajiban untuk membuat serta mengumumkan daftar mitra usaha dan peng-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


guna jasa yang bermasalah secara periodik berdasarkan verifikasi tersebut. Hasil verifikasi akan digunakan sebagai bahan rekomendasi dalam pemberian ijin penempatan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI) yang bermitra dengan mitra usaha yang masuk dalam daftar bermasalah (blacklisting). Lebih lanjut, bagian Perlindungan sebelum bekerja mengatur tentang isi perjanjian kerja, jangka waktu perjanjian kerja, prosedur perpanjangan perjanjian kerja, serta sanksi administratif bagi PPPMI (Pasal 19 ayat 2) yang tidak menempatkan calon PMI sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja. Pada aturan mengenai Perlindungan setelah bekerja (Pasal 24), UU ini membaginya ke dalam 5 cakupan isu yaitu fasilitas kepulangan hingga daerah asal, penyelesaian hak, fasilitas pengu-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

rusan PMI sakit/meninggal dunia, rehabilitasi dan reintegrasi sosial, serta pemberdayaan bagi PMI dan keluarganya. Selebihnya, bagian ini lebih banyak mengatur mengenai kewajiban PPMI untuk melaporkan data kedatangan dan kepulangan PMI (Pasal 25) serta kewajiban dalam hal pengurusan PMI yang meninggal dunia (Pasal 27). B. Penempatan PMI pada Pemberi Kerja Perseorangan UU No. 18 Tahun 2017 memberikan kewenangan pada 3 institusi untuk melakukan penempatan PMI (Pasal 49) yaitu Badan, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI), dan Perusahaan yang menempatkan PMI untuk kepentingan perusahaan. Penempatan yang dilakukan oleh Badan dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemerintah kedua Negara (asal dan tu-

3


juan) atau pada pemberi kerja berbadan hukum (Pasal 50). Tidak disebutkan secara eksplisit dalam isi UU mengenai penempatan PMI pada pemberi kerja selain berbadan hukum, namun dari pasal diatas mengenai penempatan oleh badan, maka dapat dengan jelas diketahui bahwa penempatan PMI pada pemberi kerja yang bukan berbadan hukum (perseorangan) dilakukan oleh PPPMI dengan persyaratan dan tata cara yang diatur dalam babbab sebelumnya. PMI yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan biasa disebut sebagai PRT Migran merupakan kelompok rentan karena jenis pekerjaannya yang digolongkan dalam kategori 3D (dirty, dangerous, and difficult). PRT Migran yang 90% diantaranya adalah perempuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM ham-

4

pir di setiap tahapan migrasi. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya terjerat menjadi korban perdagangan orang. Catatan penanganan kasus Solidaritas Perempuan sepanjang 2015-2017 menunjukkan jumlah persentase perempuan pekerja migran yang menjadi korban perdagangan orang adalah sebanyak 80%. Perempuan yang hendak bekerja keluar negeri seringkali dimanfaatkan oleh pihak/oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan dari mengeksploitasi mereka sejak pra keberangkatan, masa kerja, hingga kepulangan. Bisnis penempatan yang diakomodir dalam UU No. 39/2004 serta pengabaian Negara dalam menjalankan tanggung jawab untuk menyelesaikan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh PRT Migran menyebabkan menguatnya ketidakadilan terhadap PRT Migran. Sayangnya, UU No. 18/2017 kembali

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


gagal dalam melihat persoalan dan kebutuhan spesifik perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri dengan tetap menyerahkan tanggung jawab penempatan pada PPPMI yang merupakan pihak swasta. Di sisi lain, UU ini memberikan ruang bagi PRT Migran untuk memilih bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum atau bekerja secara mandiri namun dengan resiko ketenagakerjaan yang menjadi tanggung jawab PMI sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 63. Namun kelemahan dari pengaturan mengenai PMI perseorangan ini adalah belum menyebutkan jenis-jenis pekerjaan yang menjadi kategori PMI perseorangan termasuk apakah pekerja domestik (PRT Migran) dapat bekerja pada pemberi kerja selain perseorangan.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

C. Maksimalisasi Perlindungan Hak PMI oleh Negara Dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, peran swasta dinilai sangat dominan di semua tahap migrasi mulai dari memberikan informasi, pendataan, pengurusan dokumen, menyelenggarakan pendidikan, pra-pemberangkatan, penampungan, medical check-up, proses pemberangkatan, penyelesaian masalah hingga mengurus kepulangan. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan PMI/keluarganya memiliki situasi rentan terhadap berbagai pelanggaran HAM serta menjeratnya ke dalam persoalan-persoalan yang rumit. Melalui UU No. 18/2017 negara memiliki legitimasi yang kuat untuk memberikan jaminan, Perlindungan, dan pemenu-

5


han hak PMI dan keluarganya dengan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan PMI. Dalam UU ini, tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralisasi dengan pelibatan pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga desa. Penguatan peran pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah menunjukkan komitmen negara untuk memberikan perlindungan kepada PMI dan penghormatan hak asasi manusia. Sementara itu tugas dan tanggung jawab PPPMI dalam UU baru adalah mencari peluang kerja, menempatkan, dan menyelesaikan masalah (Pasal 52). Dari uraian diatas, secara keseluruhan substansi UU PPMI telah mengadopsi semangat perlindungan dalam Konvensi Migran 1990 meskipun belum pada seluruh aspek migrasi. Namun begitu, UU ini masih perlu penguatan ter-

6

utama pada aspek Perlindungan perempuan migran yang jumlah kasus-kasus kekerasan maupun pelanggaran haknya masih berbanding lurus dengan jumlah penempatannya. Rekomendasi Dari analisis undang-undang di atas serta melihat persoalan-persoalan yang masih kerap dialami oleh Pekerja Migran Indonesia, maka terdapat beberapa poin rekomendasi untuk penguatan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, antara lain: 1. Peraturan pelaksana harus mengatur secara jelas dan proporsional mengenai fungsi, tugas, dan tanggungjawab antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu peraturan pelaksana juga harus mengatur mengenai mekanisme koordinasi dan pengawasan terkait tata kelola migrasi dari pra ke-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


berangkatan, di Negara tujuan hingga kepulangan 2. Kementerian Ketenagakerjaan harus membuat kategorisasi jenis-jenis pekerjaan PMI perseorangan termasuk pekerja domestik dan memastikan PMI perseorangan juga mendapat layanan yang sama dengan PMI lainnya dengan berdasarkan pada prinsip non-diskriminasi, sensitif gender, dan HAM 3. Pemerintah perlu mengintegrasikan Perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial ke dalam program repatriasi dan reintegrasi sosial yang inklusif serta komprehensif dengan melibatkan keluarga PMI, pemerintah desa, dan masyarakat sipil 4. Pemerintah harus membuat MoU atau perjanjian kerjasama dengan Negara-negara tujuan dengan

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

memasukkan jaminan Perlindungan terhadap hak-hak keluarga pekerja migran 5. Pemerintah harus memastikan pembentukan LTSA harus terintegrasi dengan LTSP/LTSA yang sudah ada agar pelayanan migrasi lebih cepat terealisasi, efektif dan efisien, misalnya dengan LTSA/LTSP BNP2TKI atau Penanaman Modal, Pajak dan Pariwisata 6. Pemerintah harus menentukan standar pelayanan minimal yang akan diterapkan di semua LTSA dan memastikan menggunakan pendekatan HAM dan perspektif gender. *** ( Penulis : Risca Dwi, Solidaritas Perempuan)

7


Foto Irmana Ubaidillah (Anak Buah Kapal) yang sedang memperbaiki jaring penangkap ikan di Gabon Afrika. Sumber foto : SBMI

8

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Perlindungan Awak Kapal Melalui Peraturan Pemerintah Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.504 pulau. 65 persen dari 467 kabupaten/kota berada di pesisir yang panjangnya mencapai 99.093 kilometer. Tidak heran jika Indonesia menjadi negara nomor dua produsen utama dalam industri perikanan di seluruh dunia setelah Tiongkok. Secara geografis salah satu kekuatan Indonesia adalah kelautan. Dilihat dari tingginya permintaan di industri perikanan, perekrutan awak kapal perikanan grafiknya naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 menurut data World Bank, tenaga kerja yang bekerja di sektor perikanan berjumlah 4.105 755 orang dan mayoritas 70 persen bekerja sebagai nelayan. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Data Kementerian Luar Negeri tahun 2014 ada 262.869 awak kapal perikanan yang bekerja di luar negeri, tersebar di Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan hingga Puerto Rico. Data pasti masih belum jelas. Dilihat dari segi kasus yang dialami, data IOM tahun 2016 memperlihatkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga (14%) dari keseluruhan korban dari berbagai negara. Dari 284 korban tersebut, 15 orang masih anak-anak. Data Serikat Buruh Migran Indonesia, sebanyak 104 orang awak kapal perikanan menjadi korban perdagangan orang yang dilakukan perusahaan kapal ikan Taiwan. Setelah disahkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, carut

9


marut mengenai kebijakan Perlindungan pekerja migran yang bekerja di sektor awak kapal perikanan ataupun niaga sudah terjawab. Pada pasal 4 Undang Undang tersebut menegaskan ruang lingkup Perlindungan pekerja migran tidak hanya yang bekerja di darat saja tetapi juga yang bekerja di laut.

Masalah yang Dialami Oleh Pekerja Awak Kapal : Sebelum Bekerja dan Saat Bekerja Berdasarkan data SBMI, terdapat 12 permasalahan yang dialami pekerja awak kapal sebelum bekerja yakni : 1.

Undang Undang ini juga menegaskan bahwa sejak diundangkannya pada tanggal 22 November 2017, seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan kekacauan aturan dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan perundang undangan yang tidak berlaku itu adalah : Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013 tentang penempatan dan perlindungan ABK Perikanan, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

10

Perekrutan oleh calo yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan perekrut 2. Informasi palsu. Dalam melakukan perekrutan para calo memberikan informasi palsu. Demi uang, mereka menjanjikan lowongan kerja di luar negeri yang gajinya besar dan prosesnya juga cepat serta bisa diatur. Parahnya, tidak ada informasi pembanding dari pemerintah yang menjadi pertimbangan calon awak kapal 3. Calon awak kapal membayar biaya hingga enam

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


puluh juta untuk biaya proses pembuatan dokumen, penampungan dan pemberangkatan. Bagi awak kapal yang tidak memiliki modal, mahalnya biaya penempatan berakibat pada penahanan dokumen berharga seperti jaminan sertifikat tanah, KTP, KK, Ijazah, Akta Kelahiran 4. Jaminan sosial atau asuransi awak kapal berbeda dengan kebanyakan asuransi pekerja migran, asuransi yang dibelinya hanya menanggung kecelakaan kerja dan kematian 5. Pelatihan calon awak kapal yang dilakukan oleh perusahaan perekrut tidak memiliki standar, dikerjakan secara serampangan sehingga terkesan formalitas saja 6. Pelaksana pelatihan juga tidak terkoneksi dengan lembaga sertifikasi profesi, sehingga untuk

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

pengajuan dokumen buku pelaut harus nembak dengan membayar jutaan rupiah. Selain itu sarana dan prasarana lembaga pelatihan untuk awak kapal masih sangat minim 7. Selain sertifikatnya nembak, penerbitan buku pelaut juga rentan dengan pungutan liar dan pemalsuan 8. Perjanjian Kerja Laut yang dibuat oleh perusahaan perekrut sangat memperbudak, karena tidak diberi waktu yang cukup untuk memahami apa isinya, penandatanganan dilakukan dalam waktu yang mepet menjelang pemberangkatan, pilihannya jika tidak menandatangani maka gagal berangkat. Isi Perjanjian Kerja Laut juga tidak ada standarnya, gajinya paling kecil dibanding dengan awak kapal dari negara lain, ada mekanisme

11


jaminan sebesar 1000 dolar jika tidak selesai kontrak dua tahun maka uang tersebut menjadi milik perusahaan, dalam perjanjian tersebut juga ada persetujuan pembayaran gaji dengan cara delegasi, yaitu awak kapal hanya menerima 50 dolar per-bulan, sisanya dipotong 10 bulan untuk jaminan, dan sisanya diserahkan kepada agen untuk kemudian ditransfer kepada keluarga, model seperti ini rentan sekali dengan penggelapan 9. Perusahaan perekrut tidak memiliki izin dari kementerian ketenagakerjaan 10. Tidak ada penertiban terhadap perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan izin namun tetap merekrut dan mengirimkan awak kapal 11. Peralihan izin SIUPPAK ke izin SIP3MI yang diterbit-

12

kan menteri ketenagakerjaan belum terumuskan. Pada Saat Bekerja, terdapat 14 masalah yang seringkali dialami pekerja awak kapal yakni: 1.

2. 3.

4.

5.

6.

Jam kerja awak kapal sangat panjang hingga 20 jam, terutama pada saat penangkapan ikan; Tidak diberi makan yang layak; Kekurangan air bersih, mandi air laut, air bersihnya hanya satu atau dua gayung untuk membilas; Kamar tidurnya juga tidak layak, sempit dan dekat dengan mesin yang bising; Menu makanannya membosankan karena selain tidak sesuai dengan lidah orang indonesia, menunya tidak ganti-ganti; Kekerasan fisik seperti dianiaya oleh kapten atau

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


7.

8.

9.

10.

11.

12.

oleh orang yang diperintahkan oleh kapten; Jadwal sandar tidak teratur sehingga untuk memenuhi kontrak dua tahun; Dokumen kapal tidak lengkap mengakibatkan awak kapal ditangkap otoritas perairan negara tertentu; Diperintah melakukan penangkapan ikan yang dilarang oleh hukum internasional; Cara penggajian, awak kapal hanya menerima gaji 50 dolar/bulan diatas kapal pada saat sandar, sisanya di delegasi sesuai perjanjian kerja laut, sistem ini merugikan karena rentan penggelapan; Awak kapal mengerjakan sesuatu yang berbahaya seperti mengecat tubuh kapal ditengah laut; Mengorbankan awak kapal untuk memperoleh asuransi kapal;

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

13. Dalam masa sandar, awak kapal tetap bekerja tidak diberikan waktu untuk liburan. Rekomendasi Berdasarkan masalah yang dialami pekerja awak kapal, Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Perlindungan awak kapal harus menjamin adanya Perlindungan yang memastikan : 1.

Pemberian layanan informasi tentang syarat, tahapan dan perusahaan perekrut yang sah harus ada sejak level pemerintah desa 2. Membuka akses BLK Kelautan yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan KKP tidak hanya untuk peserta didik sekolah formal, tetapi juga bisa digunakan untuk pelatihan awak kapal perikanan 3. Memastikan adanya standar yang mengatur mod-

13


4.

5.

6.

7.

8.

9.

14

ul kurikulum pelatihan di BLK dan dapat di implementasi BLK yang digunakan harus terintegrasi dengan lembaga sertifikasi Pelayanan dokumen bagi awak kapal terintegrasi dengan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Adanya standar perjanjian kerja laut yang mengatur kondisi kerja, hak, kewajiban, upah, dan sengketa. Perjanjian kerja laut isinya harus ditulis dalam dua bahasa yakni bahasa negara asal dan bahasa negara penerima Adanya batasan waktu untuk penyesuaian izin dari SIUPPAK kepada Izin Kemnaker untuk perusahaan awak kapal Adanya standar kapal yang diperbolehkan untuk tempat kerja awak kapal dalam perjanjian kerjasama penempatan Adanya MoU antar negara mengatur menge-

10.

11.

12.

13.

14.

nai standar kapal yang diperbolehkan beroperasi di perairan bebas untuk kepentingan keselamatan dan perlindungan awak kapal Adanya mekanisme monitoring perusahaan perekrut awak kapal yang dilaporkan kepada pemerintah dan adanya mekanisme pengecekan ulang dari pemerintah terhadap laporan monitoring perusahaan perekrut awak kapal. Kewenangan monitoring awak kapal di LN juga menjadi juridiksi dari Atase ketenagakerjaan Atase harus melakukan cek fisik kapal terlebih dahulu sebelum job order disahkan Menjamin adanya mekanisme penanganan kasus atau penyelesaian sengketa untuk awak kapal yang mengalami kasus selama bekerja Menjamin adanya per-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


lindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk awak kapal sebelum berangkat. *** (Penulis : Boby Alwy, SBMI)

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

15


Foto tanda tangan perjanjian kontrak kerja PMI

16

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Perlindungan Pekerja Migran Melalui Kontraktual (Perjanjian) Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengatur pelbagai jenis Perlindungan. Undang Undang ini membagi dua jenis Perlindungan yaitu : 1.

Perlindungan Administratif meliputi keabsahan dan kelengkapan dokumen serta penetapan kondisi dan syarat kerja 2. Perlindungan teknis meliputi sosialisasi informasi, pendidikan & pelatihan, jaminan sosial, layanan pemenuhan hak PMI, penguatan pegawai, Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), serta pembinaan & pengawasan Untuk Perlindungan administratif, dalam UU PPMI diatur

mengenai empat perjanjian yaitu : 1.

Perjanjian Tertulis antar pemerintah negara asal dan tujuan 2. Perjanjian Kerjasama Penempatan yaitu perjanjian tertulis antara Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan Mitra Usaha (Agency) atau Pemberi Kerja yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak dalam rangka penempatan dan Perlindungan PMI di negara tujuan penempatan1 3. Perjanjian Penempatan yaitu Perjanjian tertulis antara P3MI dan Calon PMI yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak, dalam rangka penempatan PMI di negara tu-

1

Pasal 1 angka 12 UU No 18/2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

2

Pasal 1 angka 13 UU No 18/2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

17


juan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan2 4. Perjanjian Kerja yaitu perjanjian tertulis antara PMI dan Pemberi Kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara pekerja migran dan majikan di negara tujuan1 Bagi PMI, Perlindungan melalui mekanisme kontraktual atau perjanjian merupakan hak hukum paling kuat dan paling jelas yang dimiliki oleh PMI yang ditandatangani sebelum keberangkatan. Selain perjanjian kerja juga ada beberapa dokumen yang diperlukan bagi PMI sebelum bekerja. Beberapa dokumen dikategorikan da1

lam dua hal yakni dokumen persyaratan yang meliputi KTP, KK, Buku Nikah, Izin Keluarga (pasal 5 UU PPMI) dan dokumen penempatan yang meliputi Sertifikat Kesehatan, Sertifikat Kompetensi, Paspor, Visa Kerja, Kartu Peserta Jaminan Sosial, Perjanjian Penempatan dan Perjanjian Kerja (pasal 13 UU PPMI). Selain PMI, (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) P3MI sebagai perusahan penempatan harus memiliki Perjanjian Kerjasama Penempatan dan beberapa dokumen lainnya seperti Akta Pendirian, Surat Izin Operasional dari Kementerian Ketenagakerjaan, dan dokumen kepesertaan modal dan bukti setoran deposito (pasal 54 UU PPMI). P3MI juga harus memiliki perjanjian penempatan dengan calon PMI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka 14 UU No 18/2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

18

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Bila P3MI tidak memiliki perjanjian kerjasama penempatan, maka P3MI tidak dapat mengajukan Job Order dari luar negeri. Meski tahapan proses dalam UU 39/2004 hampir sama dengan UU PPMI, namun terdapat kebaharuan dalam UU PPMI yakni sebelum pengajuan Job Order, UU PPMI mensyaratkan tiga dari empat perjanjian harus dipenuhi yakni a. perjanjian tertulis antar pemerintah negara asal dan tujuan, b. perjanjian kerjasama penempatan dan c. perjanjian penempatan. Ketiga perjanjian tersebut merupakan syarat dalam pengajuan Job Order yang disahkan oleh Perwakilan Indonesia di luar negeri. Setelah itu di dalam negeri, untuk pengajuan Surat Izin Perekrutan (SIP2MI) juga harus disahkan oleh Badan, dan Surat Pengantar Rekrut yang juga harus disahkan oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi/Kabupaten/

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Kota. Fungsi dan Manfaat Dokumen Perjanjian 1.

Perjanjian tertulis sebagai instrument atau alat yang mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan hubungan kerja; 2. Sebagai pedoman pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak; 3. Memudahkan para pihak dalam dalam mencari acuan apabila terdapat perbedaan pendapat tentang pelaksanaan hak dan tujuan. Tujuan Dokumen Perjanjian 1.

Menjamin kepastian adanya hubungan kerja; 2. Memastikan status hubungan kerja; 3. Memastikan hak dan kewajiban antara PMI, P3MI dan Pemberi Kerja.

19


Syarat Sah Suatu Perjanjian

Isi Perjanjian Penempatan

Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHP), suatu perjanjian dianggap sah bila memenuhi empat hal yakni :

Merujuk pada Permenaker 22 Tahun 2014, sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat P3MI; 2. Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon PMI; 3. Nama dan alamat calon Pemberi Kerja; 4. Hak dan kewajiban para pihak (PMI & P3MI); 5. Jabatan dan jenis pekerjaan calon PMI; 6. Mekanisme sengketa; 7. Lamanya proses; 8. Besaran biaya penempatan dan cara pembayarannya; 9. Tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah; 10. Akibat atas terjadinya pelanggaran oleh salah satu pihak; 11. Tanda tangan para pihak (PMI & P3MI).

1.

Adanya kesepakatan kedua belah pihak, artinya pembuatan perjanjian tidak boleh ada unsur pemaksaan; 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, artinya para pihak yang membuat perjanjian adalah orang yang sudah dianggap dewasa (bukan dibawah umur atau gila); 3. Adanya sesuatu yang diperjanjikan; 4. Sesuatu yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

20

Kapan dan Berapa Rangkap

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Perjanjian Dibuat?

Penempatan

Merujuk pada pasal 20 Permenaker No 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI, dibuat 4 rangkap, disampaikan kepada PMI, P3MI, Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten, dan Badan. Perjanjian Penempatan ditandatangani oleh calon PMI dan P3MI setelah proses seleksi.

yang meliputi kerja, upah dan tata cara pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, serta fasilitas dan Jaminan Sosial dan/atau asuransi; 6. Jangka waktu perjanjian kerja; dan 7. Jaminan keamanan dan keselamatan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja. Masalah dalam Perjanjian, Perlindungan di atas Kertas?

Isi Perjanjian Kerja Berdasarkan pasal 15 ayat 2 UU PPMI, sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama, profil, dan alamat lengkap Pemberi Kerja; 2. Nama dan alamat lengkap Pekerja Migran Indonesia; 3. Jabatan atau jenis pekerjaan Pekerja Migran Indonesia; 4. Hak dan kewajiban para pihak; 5. Kondisi dan syarat kerja

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Menurut data BNP2PMI, pada tahun 2013, dari sekitar 96 ribu kedatangan di terminal kedatangan Selapajang-Soekarno Hatta, 20% (19.741) di antaranya melaporkan adanya masalah. Enam masalah terbesar yang diadukan adalah PHK sepihak, majikan bermasalah, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan dan pelecehan seksual. Tiga diantaranya adalah pelanggaran kontrak.

21


Data kasus SBMI 2014, dari 321 kasus yang ditangani hampir 60% dipekerjakan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja dan 100% tidak memegang dokumen Perjanjian Penempatan dan 65 % tidak mengetahui Perjanjian Penempatan. Implikasinya besar, seorang pekerja migran harus dipenjara karena mengundurkan diri sebagai calon pekerja, dan dianggap melanggar perjanjian penempatan yang tidak pernah dipahami.

3.

4.

5. Beberapa temuan lapangan yang dikumpulkan oleh Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) terkait dengan pelanggaran kontraktual adalah: Calon PMI tidak diberi waktu yang cukup untuk mengerti isinya sehingga tidak diberi kesempatan untuk negosiasi isi perjanjian 2. PMI menandatangani

6.

1.

22

7.

perjanjian dalam situasi terancam karena penendatanganan dilakukan sebelum penerbangan, ini mengakibatkan calon PMI terpaksa menandatanganinya P3MI tidak memfasilitasi penandatanganan perjanjian penempatan dengan berbagai alasan salah satunya adalah dokumen rahasia Calon PMI tidak mendapatkan salinan perjanjian PMI sulit mendapatkan salinan dokumen perjanjian Penempatan yang disimpan di institusi pemerintah Terjadi substitusi perjanjian dimana perjanjian kerja yang sudah ditandatangani diganti dengan perjanjian kerja baru yang tanpa pengesahan dari KBRI/KJRI/KDEI Perjanjian dibuat dalam bahasa asing yang tidak dimengerti

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


8. Penyelesaian sengketa perjanjian penempatan apakah di pusat atau dan daerah atau luar negeri, serta tidak memperhatikan relasi kuasa yang muncul. Dalam banyak kasus muncul intimidasi pada pekerja migran yang memberanikan mengadukan kasusnya kepada institusi terkait 9. Perjanjian kerja laut tidak memiliki standardisasi, ada standar syahbandar, KUHD, dan dikembangkan sendiri oleh perusahaan perekrut dengan memasukkan sistem jaminan, jika tidak selesai maka uang jaminan menjadi milik perusahaan 10. Standar perjanjian tidak sama dengan standar negara tujuan Meskipun desain perlindungan PMI melalui perjanjian itu ada, namun hampir tidak bisa ditegakkan. Pelanggaran perjanjian oleh majikan, tidak

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

bisa digugat karena pihak yang digugat berada di luar negeri, terlebih saat ini tidak ada santunan risiko PHK dalam BPJS. Kalaupun digugat di luar negeri, mekanisme penyelesaian seringkali tidak merujuk pada dokumen perjanjian dari Indonesia, di sisi lain akses PMI atas bantuan hukum di luar negeri sangat terbatas. Rekomendasi 1.

Harus ada standardisasi perjanjian kerja dan perjanjian penempatan termasuk perjanjian kerja laut 2. Informasi tentang standar perjanjian harus masuk dalam layanan informasi di tingkat pemerintahan desa 3. Perjanjian antar negara dalam bentuk MoU harus memastikan kondisi kerja layak 4. Perjanjian Kerja ditulis dalam dua bahasa yang

23


5.

6.

7.

8.

dimengerti pekerja migran dan dapat berlaku di dua negara Memastikan dokumen perjanjian dipegang oleh pekerja migran dan anggota keluarganya Dokumen perjanjian masuk dalam sistem online yang terintegrasi dan dapat diakses dengan mudah tanpa syarat oleh pekerja migran Adanya layanan penyelesaian sengketa di LTSA dan Atase Ketenagakerjaan di negara tujuan Memastikan peran serikat buruh dan civil society terlibat dalam negosiasi, penandatanganan, dan penyelesaian sengketa perjanjian kerja dan atau perjanjian penempatan.

*** (Penulis : Boby Alwy, SBMI)

24

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

25


Foto PMI yang bermasalah saat sedang di penampungan KBRI dan akan dipulangkan ke Indonesia. Mereka memanfaatkan waktunya untuk berkumpul di aula penampungan untuk belajar memasak, mengaji, dll. Sumber foto : HRWG

26

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Satu Atap Untuk Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara asal pekerja migran terbesar di kawasan regional. Setidaknya, lebih dari sembilan juta pekerja migran Indonesia bekerja di seluruh dunia (data BPS dan Bank Dunia). Di luar negeri, pekerja migran dari Indonesia mengalami situasi kerentanan dan kerap menjadi objek eksploitasi; baik dalam hal ketenagakerjaan; gaji tidak dibayar, hingga masalah tindak pidana perdagangan manusia, dan hukuman mati. Upaya perbaikan kualitas perlindungan dan pelayanan pekerja migran Indonesia harus diupayakan baik pada masa sebelum keberangkatan di dalam negeri, maupun saat bekerja di luar negeri melalui aturan turunan dari UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Indonesia (PPMI). Perlindungan bagi PMI Selama Bekerja Dalam UU PPMI yang baru, terdapat setidaknya sepuluh (10) pasal yang mengatur mengenai Perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri yaitu pasal 7, 9, 10, 21, 22, 23, 39, 45, 46, dan 47 UU PPMI. Undang-undang PPMI, pasal 21 menyebutkan setidaknya ada delapan macam Perlindungan yang harus diberikan oleh Perwakilan RI di luar negeri meliputi; a) pendataan dan pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan, b) pemantauan dan evaluasi pemberi kerja dan kondisi kerja, c) fasilitasi pemenuhan hak pekerja migran, d) fasilitasi penyelesaian kasus ketenagakerjaan,

27


e) pemberian layanan jasa konsuler, f) pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa fasilitasi jasa advokat, g) pembinaan pekerja migran, h) fasilitas repatriasi. Perlindungan yang mendasar untuk pekerja migran Indonesia adalah aksesibilitas terhadap informasi mengenai permintaan pekerja migran, baik yang berasal dari mitra usaha maupun calon pemberi kerja di negara tujuan. Pada pasal 22, UU PPMI menyebutkan bahwa untuk peningkatan hubungan bilateral di bidang ketenagakerjaan dan Perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, Pemerintah Pusat menetapkan jabatan atase ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tertentu. Implikasi dari adanya UU No. 18/2017 adalah pentingnya Perwakilan RI dan Atase

28

Ketenagakerjaan untuk menjadi ujung tombak Perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Mereka harus memiliki perspektif hak asasi manusia, di mana mereka wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi dan kebebasan fundamental setiap pekerja migran Indonesia, sesuai dengan standar HAM internasional. Sementara dalam UU 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) hanya disebutkan dua macam Perlindungan yang diberikan yaitu pemberian bantuan hukum dan pembelaan atas pemenuhan hak-hak pekerja migran Indonesia. Selanjutnya mengenai Perlindungan pekerja migran di luar negeri pada saat itu, diatur lebih lanjut dalam PP No.3/2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Dalam PP No.3/2013, hanya diatur enam macam Perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri meliputi; a) pembinaan dan pengawasan; b) bantuan dan perlindungan kekonsuleran; c) bantuan hukum; d) pembelaan dan pemenuhan hakhak PMI; e) perlindungan dan bantuan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan internasional; dan f) upaya diplomatik. Dalam Pasal 15, PP No. 3/2013 juga disebutkan dengan jelas bahwa perlindungan pekerja migran selama masa penempatan atau di negara tujuan diberikan oleh Perwakilan RI. Perlindungan tersebut diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum negara setempat, serta hukum dan kebiasaan internasional.

Dengan mempertimbangan pentingnya peran atase ketenagakerjaan dan Perwakilan RI diluar negeri, berikut adalah hak-hak dasar pekerja migran yang harus dihargai, dilindungi, dan dipenuhi oleh mereka berdasarkan konvensi internasional: 1.

2. 3.

4.

5. Hak-hak Dasar PMI yang Harus Dilindungi

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Hak untuk hidup (ICCPR Pasal 6; Konvensi Pekerja Migran Pasal 9) Bebas dari diskriminasi (ICCPR Pasal 2 dan 26) Bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (ICCPR Pasal 7; Konvensi Pekerja Migran Pasal 10) Pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum (ICCPR Pasal 16; Konvensi Pekerja Migran Pasal 24) Bebas dari perbudakan, diperhambakan dan kerja wajib (ICCPR Pasal 8; Konvensi Pekerja Migran

29


6.

7.

8.

9.

10.

30

Pasal 11; Konvensi Kerja Paksa ILO; Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (ICCPR Pasal 9.1; Konvensi Pekerja Migran Pasal 16.1) Hak atas kesehatan (ICESCR Pasal 12; CERD Pasal 5(e)(iv); CEDAW Pasal 12 dan 14(b); CRC Pasal 24 dan 25; Konvensi Pekerja Migran Pasal 28 (yang merujuk pada hak khusus untuk menerima penanganan kesehatan darurat)) Hak atas pendidikan (ICESCR Pasal 13 dan 14; CRC Pasal 28 dan 29; ICERD Pasal 5(e)(v); Konvensi Pekerja Migran Pasal 30) Hak atas perumahan yang layak (ICESCR Pasal 11; CEDAW Pasal 14(2); CRC Pasal 16(1) dan 27(3); ICERD Pasal 5(e)(iii)) Hak atas kecukupan pangan dan air (ICESCR Pasal 11; CRC Pasal 24(2)(c); CE-

DAW Pasal 14(2)) 11. Kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (ICCPR Pasal 18, 19 ; Konvensi Pekerja Migran Pasal 12(1)) 12. Kebebasan untuk bergerak (Konvensi Pekerja Migran Pasal 8; ICCPR Pasal 12) 13. Hak atas urusan pribadi/ privasi (ICCPR Pasal 17; Konvensi Pekerja Migran Pasal 14) 14. Hak untuk tidak dirampas harta bendanya (Konvensi Pekerja Migran Pasal 15) Masalah yang dihadapi saat ini adalah negara tujuan tidak melaksanakan implementasi sesuai dengan standar HAM dalam mengatur dan melindungi pekerja migran. Hal ini membutuhkan kemampuan diplomasi yang mumpuni, agar di negara tujuan, hak-hak pekerja migran harus terus dilindungi dan diutamakan.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Saat ini, fokus harus diarahkan pada dua kelompok pekerja paling rentan yaitu mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan sektor perikanan, terutama nelayan. Diperlukan kebijakan yang mumpuni dan sinergis antar kementerian dan lembaga terkait, dengan mengidentifikasi seluruh kerentanan yang berpotensi pada terjadinya situasi kerja tidak layak, rentan eksploitasi, dan tindak kejahatan lainnya yang akan menimpa pekerja migran Indonesia di luar negeri. Selain itu, Konvensi Pekerja Migran 1990 mengakui, masalah hak asasi manusia yang terlibat dalam migrasi menjadi lebih serius dalam kasus migrasi irregular1. Pasal 68 dan 69 Konvensi Pekerja Migran 1990 menegaskan kewajiban negara peserta untuk mengambil langkah-lang-

kah untuk memastikan situasi irregular tidak terus berlangsung. Rekomendasi Sehubungan dengan masalah yang kerap terjadi terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri, berikut adalah rekomendasi kepada pemerintah pusat Indonesia untuk membuat aturan turunan mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia: 1.

Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan RI bersama-sama membuat standar mekanisme rekrutmen atase ketenagakerjaan yang transparan, non-diskriminasi, dan menjunjung tinggi Perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri 2. Memperkuat peran atase

1

Konvensi Pekerja Migran, preamble

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

31


ketenagakerjaan untuk melakukan inspeksi ketenagakerjaan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri, termasuk dan tidak terbatas pada pekerja domestik, konstruksi, dan anak buah kelapa hingga daerah terpencil dan yang berada dalam tahanan 3. Meningkatkan kapasitas atase ketenagakerjaan dalam bidang ketenagakerjaan, perspektif HAM dan gender, penanganan kasus perdata dan pidana, serta pelayanan untuk konsultasi hukum kepada pekerja migran Indonesia di luar negeri 4. Untuk mengurangi risiko adanya masalah ketenagakerjaan, Perwakilan RI dan Atase Ketenagakerjaan harus memastikan di setiap kedatangan dan perpanjangan kerja, bahwa pekerja migran memiliki

dokumen perjanjian kerja yang sesuai dengan standar HAM internasional 5. Atase ketenagakerjaan juga paling tidak harus memiliki salinan elektronik dokumen perjanjian kerja pekerja migran Indonesia di luar negeri. Komite Pekerja migran dan ILO telah mengindikasikan, negara harus memastikan pekerja migran memiliki ketentuan kerja yang eksplisit dan tertulis di dalam bahasa yang dapat dipahami yang menguraikan tugas, jam kerja, upah, hari istirahat, dalam sebuah kontrak yang bebas, adil dan sepenuhnya disetujui2 6. Perwakilan RI harus memastikan bahwa job order yang diberikan oleh negara tujuan telah diverifikasi terlebih dahulu oleh pemerintah atau kementerian yang berwenang di negaranya. Hal tersebut

2

UN Committee on Migrant Workers, General Comment No. 1 on migrant domestic workers, 2010 CMW/C/GC/1 [40]; UN Committee on Migrant Workers, General Comment No. 2 on the rights of migrant workers in an irregular situation dan members of their families, 2013 CMW/C/GC/2 [63]; ILO Forced Labour Recommendation, 2014 (No.23

32

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


penting untuk mencegah adanya job order yang tidak sesuai dengan permintaan dan terjadinya masalah ketenagakerjaan terhadap pekerja migran Indonesia 7. Perwakilan RI memastikan adanya desk khusus pengaduan kasus dan permintaan layanan secara online dan offline yang sesuai standar HAM internasional, terjangkau, non-diskriminasi, dan mudah diakses oleh pekerja migran untuk mempercepat layanan dan upaya perlindungan pekerja migran di luar negeri termasuk layanan perpanjangan kontrak melalui pusat Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di luar negeri 8. Pusat Perlindungan PMI di luar negeri yang dijalankan oleh Perwakilan RI harus melibatkan pekerja migran dalam proses pembangunan

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

dan implementasinya. Misalnya dalam pembuatan program pembinaan, kerjasama penanganan kasus, pelibatan inspeksi ketenagakerjaan, dan diseminasi informasi mengenai peraturan negara setempat, verifikasi mitra usaha, dan sebagainya. Karena pekerja migran mengetahui situasi kerentanan dan masalah yang kerap mereka alami. *** (Penulis : Daniel Awigra dan Wike Devi, HRWG)

33


Bareskrim Mabes Polri melakukan Berita Acara Wawancara terhadap NK di RPTC terkait dengan kasus dugaan traffiking yang dialaminya, didampingi oleh Solidaritas Perempuan. Sumber : Penanganan kasus/Solidaritas Perempuan

34

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Kelemahan dan Kelebihan UU PPMI No 18 Tahun 2017 : Perlindungan Sistem Penanganan Kasus & Bantuan Hukum Pekerja Migran Potret Kasus Pasca Lahirnya Undang-Undang No.18 Tahun 2017 Pasca diperbaharuinya Undang-undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri menjadi Undang-undang No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), bukan berarti permasalahan yang terjadi terkait perlindungan bagi pekerja migran sudah terpenuhi dengan baik. Berdasarkan data BNP2TKI per Maret 2018, data Penempatan pekerja berdasarkan PPTKIS berjumlah 19.694 (Sembilan Belas Ribu enam ratus sembilan puluh empat) orang yang bekerja sebagai pekerja migran1 . Telah kita

ketahui bersama bahwa banyaknya kasus pekerja migran yang bermasalah berasal dari pekerja migran yang berangkat dari tanah air melalui PPTKIS. Kasus pekerja migran yang menjadi korban penyiksaan, pekerja migran menjadi budak serta baru-baru ini ramai menjadi sorotan perbincangan terkait meninggalnya pekerja migran indonesia Milka Boimau yang bekerja di Malaysia. Kemudian banyak calon pekerja migran menjadi korban penipuan salah satunya di Brebes, Jawa Tengah 13 orang menjadi korban penipuan calo. Belasan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) mendatangi Mapolres Brebes, Jawa Tengah. Mereka mengadu kare-

1

http://www.bnp2tki.go.id/2018

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

35


na merasa ditipu oleh sebuah lembaga kursus yang akan memberangkatkan ke Jepang. Sedikitnya ada 13 orang yang mengadukan dugaan penipuan tenaga kerja ke Polres Brebes. Para calon TKI ini berasal dari Kecamatan Losari Brebes. Mereka mengaku sudah mengeluarkan uang jutaan rupiah agar bisa bekerja di negeri sakura tersebut2 .

UU PPMI dalam mengatasi permasalahan pekerja migran Indonesia yang tak kunjung tuntas? Hadirnya UU PPMI Nomor 18 Tahun 2017 dituntut untuk mengakomodir hak-hak pekerja migran, beserta juga dengan peraturan turunannya.

Selain itu, kita dapat merefleksikan praktik ketidakadilan yang dialami pekerja migran Indonesia di pabrik pengolahan sarang burung Maxim Malaysia serta razia terhadap pekerja migran tak berdokumen di Malaysia. Salah satu faktor terjadinya hal tersebut dikarenakan lemahnya akses penegakan hukum, bantuan hukum serta peran pengawasan dari pemerintah.

Berbicara mengenai perlindungan, maka harus diketahui dahulu makna dari kata perlindungan. Menurut kamus Black’s Law Dictionary, pengertian perlindungan ialah “to protect a person from further harrashment or abusive service of process or discovery�. Aristoteles menyebutkan dalam hal perlindungan hukum khususnya terhadap hakhak tenaga kerja haruslah meliputi beberapa aspek yakni aspek pembangunan

Lantas, bagaimanakah peran 2

UU PPMI Mengakui Jaminan Perlindungan dan Bantuan Hukum

https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3754183/jadi-korban-penipuan-belasan-

calon-tki-lapor-polisi-di-brebes diakses pada tanggal 25 April 2017 Jam 14:06

36

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


perangkat Undang-Undang, aspek pembangunan aparat penegak hukum, dan aspek pembangunan terhadap kesadaran masyarakatnya. Dalam konteks perlindungan pekerja migran, oleh karenanya tak cukup hanya dengan lahirnya atau berubahnya suatu Undang-Undang saja, namun hal ini juga harus diikuti dengan aspek penegak hukum, dan kesadaran masyarakat. Pada prinsipnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) nomor 18 Tahun 2017 mengakui hak untuk memperoleh perlindungan dan bantuan hukum bagi pekerja migran. Hal ini tertuang di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g yakni : “ Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak : g. memperoleh perlindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan. “ Mengakomodir Hak Mendapatkan Pendampingan, Mediasi, Advokat

Selain itu, ketika pekerja migran selama bekerja di negara penempatan, UU PPMI pun memberikan hak bagi pekerja migran untuk mendapatkan pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa fasilitas jasa advokat oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Perwakilan Republik Indonesia. Adanya Sanksi Pidana bagi Badan Hukum, Pejabat, dan Individu Sanksi pidana banyak diatur di dalam UU PPMI ini, yakni sanksi terhadap orang yang

37


menempatkan pekerja migran yang tidak memenuhi persyaratan, orang perseorangan yang melakukan penempatan pekerja migran diancam pidana selama maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar 15 Milyar rupiah. Pejabat yang sengaja memberangkatkan pekerja migran yang tidak memenuhi persyaratan dokumen, dan sengaja menahan pemberangkatan juga mendapat ancaman sanksi pidana. Terkait dengan beban pembiayaan yang berlebih kepada pekerja migran juga terdapat ancaman sanksi pidananya. Baiknya ialah dengan tegas UU PPMI menyebutkan pengurus Korporasi juga dapat dipidana. Namun, angin segar ini harus diimplementasikan kepada pihak kepolisian yang kadang kali sulit menghukum pidana pengurus korporasi karena subjeknya ialah badan hukum.

38

Bantuan Hukum Tidak Diatur Lebih Rinci Walaupun UU PPMI memandatkan adanya perlindungan hukum bagi pekerja migran yang diatur secara khusus pada bagian ketujuh UU PPMI, namun hal tersebut hanyalah sebatas gambaran umum saja, tidak dijelaskan tersendiri bantuan hukum seperti apa yang berhak didapatkan oleh Pekerja migran jika terlibat masalah atau kasus. Akses mengenai bantuan hukum pun tidak terintegrasi dengan Undang-Undang Bantuan Hukum di Indonesia yakni UU nomor 16 Tahun 2011, yang mana di dalamnya disebutkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan bantuan hukum bagi setiap warga negaranya. Selain itu, UU PPMI memberikan peluang besar ke-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


pada pekerja migran untuk tunduk pada Peraturan perundang-undangan Negara tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional. Permasalahannya ialah pekerja migran sejak awal tidak dibekali pengetahuan yang rinci mengenai hukum yang berlaku di negara penempatan, dan tidak dibekali dengan buku panduan khusus untuk bekerja di negara tertentu. Tidak Ada Mekanisme Khusus bagi Pekerja Migran untuk Mengakses Keadilan Dalam UU PPMI belum diatur mengenai mekanisme khusus pekerja migran untuk mendapatkan keadilan, misalnya gambaran umum mengenai menempuh jalur perdata terhadap PPTKIS yang melakukan pelanggaran, maupun mekanisme pidana yang dapat ditempuh. Hanya saja baru diatur secara

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

umum mengenai Penyelesaian Perselisihan dengan cara musyawarah, melalui dinas tenaga kerja setempat, hingga gugatan ke Pengadilan. Indonesia sendiri sudah memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Small Claim Court). Hal ini dapat dilakukan oleh pekerja migran yang dirugikan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja untuk menggugat sederhana ke Pengadilan Negeri Setempat. Small Claim Court tersebut, haruslah dengan objek perkara yang nilainya di bawah Dua Ratus Juta Rupiah, dan hanya bisa untuk perkara wanprestasi (ingkar janji), dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) serta pihak penggugat tidak boleh lebih dari 1 (satu) orang kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama. 39


Namun Perma 2/2015 tentang Small Claim Court ini hanya dapat digunakan apabila Penggugat dan Tergugat berdomisili di wilayah Pengadilan yang sama3. Apabila pekerja migran berdomisili di Bandung, sementara Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerjanya berada di wilayah Jakarta Timur, maka tidak bisa diajukan gugatan sederhana ini. Hal-hal seperti ini belum diketahui oleh pekerja migran, pemerintah maupun pendamping pekerja migran, padahal hal ini merupakan peluang untuk mengakses keadilan bagi pekerja migran, disamping hanya menempuh proses pidana saja. Berbagai Jenis Sanksi yang Hanya Berupa Sanksi Administratif UU PPMI pun mengatur mengenai sanksi bagi PPT-

KIS yang menyalahi prosedur berupa : tidak menempatkan pekerja migran sesuai dengan jabatan dan jenis pekerjaan yang tercantum di perjanjian kerja, tidak melaporkan data kepulangan pekerja migran, tidak bertanggung jawab terhadap perlindungan pekerjanya yang ditempatkan ke luar negeri. Dalam UU PPMI disebutkan berbagai macam jenis sanksi administratif yang berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, dan pencabutan izin. Pemberian sanksi administratif ini sering menempuh birokrasi yang sulit dan rumit dari petugas Pengawas Ketenagakerjaan untuk segera menerbitkan nota pemeriksaan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 33 tahun 2016 tentang tata cara penga-

3

Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015

40

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


wasan ketenagakerjaan. Apabila dibandingkan dengan UU Nomor 39 Tahun 2004, bantuan hukum diatur hanya pada satu pasal yakni pasal 80 yang berbunyi4 : 1. Dengan pertimbangan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain; a. Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional; b. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan. Hingga UU 39/2004 berlaku belum ada Peraturan Pemerintah khusus yang mengatur mengenai bantuan

hukum bagi pekerja migran. Sedangkan dalam pasal 17 dan 20 Peraturan pemerintah nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri meskipun telah disebutkan mengenai perlindungan namun tidak secara tegas mengatur mengenai teknis pemberian bantuan hukum misalnya mekanisme mengakses bantuan hukum, pengadilan mana yang berwenang dan mekanisme restitusi bagi pekerja migran. Selain itu kewenangan memberikan bantuan hukum di dalam PP nomor 3 Tahun 2013 menjadi tugas PPTKIS pada masa penempatan5. Hal tersebut sangatlah berisiko apabila PPTKIS diberikan wewenang memberikan bantuan hukum, dikarenakan pelakunya terkadang dari PPTKIS itu sendiri, dan tugas bantuan hukum seharusnya negaralah yang memberi-

4

Pasal 80 UU nomor 39 Tahun 2004

5

Pasal 25 PP nomor 3 Tahun 2013

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

41


kannya kepada warga negara Indonesia, khususnya pekerja migran. Berbeda dengan UU Nomor 18 Tahun 2017, dimana tidak ada kewenangan PPTKIS dalam memberikan bantuan hukum, namun di dalam UU PPMI yang baru, hingga kini belum ada Peraturan Pemerintah khusus yang mengatur mengenai mekanisme bantuan hukum bagi pekerja migran. Rekomendasi : 1. Dalam PP turunan UU PPMI, harus termuat teknis mekanisme pemberian bantuan hukum yang transparan dan partisipatif; 2. Harus memasukkan apabila pekerja migran akan menggugat, pengadilan manakah yang berwenang, apakah Pengadilan Negeri biasa atau Pengadilan Hubungan Industrial;

42

3. Dapat pula dimasukkan mekanisme Small Claim Court (SCC) di dalam PP turunan; 4. Adanya pengaduan atau laporan di tingkat kabupaten dalam hal ini ialah suku dinas tenaga kerja, sehingga pekerja migran tidak perlu lagi melapor ke instansi pusat; 5. Bantuan Hukum harus menjadi satu bagian di dalam Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) dan harus ada mekanisme penanganannya, serta terintegrasi dengan sistem online, sehingga perkembangan kasusnya dapat dipantau; 6. LTSA dapat bekerjasama dengan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) daerah sesuai dengan UU bantuan hukum nomor 16 tahun 2011; 7. KBRI perlu menyediakan informasi dan layanan pengaduan online yang mudah diakses

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


dan dilayani oleh petugas-petugasnya; 8. Adanya mekanisme banding (appeal); 9. Adanya MoU penanganan kasus pekerja migran atau SOP penanganan kasus antar negara; ***(Penulis : Oky Wiratama, LBH Jakarta)

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

43


Foto PMI yang bekerja di Malaysia jatuh sakit dan harus membayar biaya rumah sakit senilai sekitar RM13.736/45juta rupiah, namun ia tidak dapat mengklaim jaminan sosial/asuransinya. Sumber : internet/liputanbmi.com

44

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Kelemahan dan Kelebihan Sistem Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia

Jaminan Sosial merupakan bentuk perlindungan untuk menjamin seluruh rakyat termasuk Tenaga Kerja Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Sayangnya dalam UU 39/2004, mandat pemberian jaminan sosial diberikan oleh swasta melalui konsorsium TKI sehingga perlindungan yang seharusnya tidak dibisniskan menjadi dibisniskan dan dikomersialisasikan. Akibatnya pekerja migran yang seharusnya mendapatkan haknya, kerap kali sulit untuk mendapatkan hak asuransinya. Atas dasar pertimbangan tingginya kasus terutama kasus klaim asuransi, tahun 2017 kebijakan mengenai jaminan sosial bagi PMI dibahas dan disahkan melalui Permenaker No 7 tahun 2017 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Menilik kembali landasan perlindungan sosial bagi PMI, perlindungan sosial telah tertuang dalam UUD 1945, baik pada pembukaan maupun pada beberapa pasalnya yang mana telah memberikan landasan hukum normatif kuat, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial. Pertama, pada Pembukaan UUD 1945 disebutkan, bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia ditujukan: “... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia� Kedua, perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak setiap warga negara juga diamanatkan dalam

45


UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Ketiga, diperlukan adanya suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial pada skala nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......” Keempat, beberapa pasal di dalam UUD 1945 juga lebih mempertegas pentingnya hidup layak bagi warga negara, misalnya: Pasal 27 ayat 2 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Berkaca dari uraian di atas, hak pekerja baik itu didalam maupun di luar negeri harus mendapatkan perlakuan

46

yang setara dan sama. Termasuk juga untuk mendapatkan Jaminan Sosial. Mandat UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS No 24 tahun 2011 sebagai badan pelaksana jaminan sosial mengatur mengenai dua jaminan sosial yakni (1) Jaminan Sosial Kesehatan dan (2) Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Program dari dua Jaminan Sosial meliputi : (a) Jaminan kesehatan (b) Jaminan Kematian (c) Jaminan Kecelekaan Kerja (d) Jaminan hari Tua (e) Jaminan Pensiun. Permenaker No 7 tahun 2017 : Angin Segar atau Angin Badai untuk PMI? Permenaker No. 7 tahun 2017 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial pengganti asuransi tenaga kerja Indonesia. Dalam Permenaker tersebut, PMI mendapatkan dua

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


manfaat dari lima manfaat jaminan sosial yakni jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JK) dengan biaya premi Rp 370.000 untuk masa pertanggungan 31 bulan dan dibayar oleh PMI. Sementara jaminan hari tua (JHT) bersifat optional atau pilihan.

dibayarkan kepada BPJS terdata dan dapat diakses secara publik.

Berbeda dengan Permen No 1/2012 tentang Asuransi TKI, Permenaker ini lebih melindungi PMI dalam hal pertama, keamanan kepesertaan jaminan sosial dalam bentuk diberikannya KTA. KTA ini dapat diakses langsung oleh PMI tanpa harus melalui PPTKIS seperti praktik pada Asuransi Konsorsium. Kedua, PMI mengetahui bahwa dirinya peserta BPJS. Ketiga, keluarga PMI yang meninggal dunia lebih cepat dan mudah dalam mengajukan klaim meninggal dunia kepada BPJS Ketenagakerjaan. Keempat, data kepesertaan termasuk jumlah premi yang

1.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Sayangnya, perlindungan melalui Permenaker No 7 tahun 2017 tidak dapat menjawab kebutuhan PMI di negara tujuan. Hal ini dilihat pada : PMI tidak mendapatkan hak yang sama seperti pekerja yang ada didalam negeri. Misalnya, pekerja/ buruh di dalam negeri mendapat lima manfaat jaminan sosial berupa JKN, JKK, JK, JHT dan JP 2. Premi BPJS ditanggung oleh PMI itu sendiri. Sementara pekerja/buruh di dalam negeri, hanya menanggung 2% dari 5,7% untuk JHT, 1% untuk JKN dan jaminan pensiun itupun sifatnya sharing antara pemberi dan pekerja 3. Jaminan kecelakaan kerja (JKK) untuk pekerja

47


dalam negeri mendapatkan benefit walaupun hanya mengalami kecelakaan minor sementara PMI tidak mendapatkan perlakuan sama dan hanya mendapatkan p e rawa t a n / t re a t m e n t setelah sampai di Indonesia. Adapun biaya-biaya yang lain sifatnya reimburse itupun harus dengan persyaratan dokumen yang sulit didapat seperti nota dari kedutaan, medical record rumah sakit, bukti pembiayaan dari rumah sakit dan harus ada saksi 2 orang. Artinya, Permenaker ini tidak secara maksimal memberikan perlindungan bagi PMI selama di luar negeri padahal PMInya berada di luar negeri dan tidak semua diasuransikan oleh pihak majikan 4. Jaminan kecelakaan kerja bagi PMI hanya bisa didapatkan bila PMI mengalami cacat anatomi

48

seperti patah tulang, putus organ tubuh. Sedangkan terdapat kasus, PMI di Singapura mengalami kecelakaan kerja jatuh dari lantai 7 dan mengalami kebocoran paru-paru dan hanya bisa berbaring sehingga tidak mampu bekerja dan membutuhkan perawatan yang sangat intensif. PMI tersebut di pulangkan ke Indonesia dalam keadaan butuh perawatan. Ketika mengajukan klaim ke BPJS TK untuk mendapatkan treatment dan santunan kecelakaan, ternyata dia hanya mendapatkan perawatan hingga bisa berjalan dan tidak mendapatkan santunan. Padahal secara organ tubuh mengalami cacat fungsi karena paru-paru bocor 5. BPJS Ketenagakerjaan memiliki program return to work (RTW)/ kembali bekerja yang dikhususkan kepada tenaga kerja

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


korban kecelakaan kerja yang tidak mampu lagi bekerja di tempat semula sehingga perlu pelatihan khusus agar bisa ditempatkan di bagian lain. Treatment hanya diperuntukkan untuk pekerja/ buruh dalam negeri 6. BPJS Ketenagakerjaan juga memiliki program PAK (Penyakit Akibat Kerja). Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul/terlihat setelah beberapa tahun setelah buruh/ pekerja bekerja. Buruh/ pekerja di dalam negeri dapat mengklaim program ini walaupun sudah 3 tahun tidak bekerja. Sayangnya program ini tidak dapat diakses oleh PMI. Sementara banyak kasus misalnya PMI yang sakit karena terkena paparan peptisida/bahan kimia lain yang berdampak sakit berkepanjangan. PMI tidak mendapatkan manfaat dari program ini.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

Padahal PMI sangat rentan pada penyakit akibat kerja 7. Permenaker BPJS TKI juga tidak memasukkan jaminan kesehatan yang dapat diakses oleh PMI di negara tujuan. Padahal tidak semua PMI diasuransikan oleh pemberi kerja sehingga PMI ketika sakit/rawat inap harus mengeluarkan biaya sendiri. Sedangkan di beberapa negara biaya kesehatan non warga negara lebih tinggi hingga mencapai 300% dan harus dibayar di muka/di awal treatment 8. BPJS Ketenagakerjaan tidak menanggung risiko yang sering dialami PMI seperti gagal berangkat, gagal penempatan, PHK sepihak, gaji tidak dibayar, masalah hukum. Sementara pada permenaker sebelumnya, resiko-resiko tersebut ditanggung oleh asuransi TKI. Di sisi

49


lain, praktik yang terjadi sekarang, karena BPJS ketenagakerjaan tidak menanggung hal-hal yang disebutkan diatas, PPTKIS mengasuransikan ke Askrindo untuk kasus gagal penempatan, gagal berangkat, PHK sepihak dan gaji tidak dibayar. Manfaat asuransi Askrindo diberikan kepada PPTKIS/penjamin. Sedangkan PMI tidak menerima manfaat yang dulu didapatkan 9. Biaya angkutan yang dituangkan dalam Permenaker 7/2017 sangat minim sedangkan posisi pekerja migran sulit diakses. Untuk korban JKK untuk angkutan darat diberikan maksimal sebesar Rp.1.000.000, angkutan laut diberikan maksimal sebesar Rp. 1.500.000, dan angkutan udara maksimal sebesar Rp.2.500.000. dengan minimnya biaya yang ditanggung dalam

50

permenaker maka siapa yang akan menanggung kelebihan biaya tersebut, negara atau pemberi kerja ini tidak jelas pengaturannya. 10. Manfaat bagi PMI yang meninggal atau cacat total dalam hal pemberian beasiswa masih diskriminatif bila dibandingkan dengan buruh/pekerja di dalam negeri. Plafon untuk beasiswa bagi anak buruh/pekerja di dalam negeri mencapai 12juta/ tahun. Sedangkan beasiswa untuk anak PMI yang meninggal diberikan kepada satu orang anak dari tingkat SD hanya 500.000/tahun, SMP 750.000/tahun, SMA 1.000.000/tahun, Universitas 1.500.000/tahun. Skema pembiayaan tidak memenuhi kebutuhan pendidikan saat ini. 11. Permenaker No 7/2017 tidak mengatur adanya mekanisme banding bagi

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


pencari keadilan dalam mengajukan klaim asuransi bila dibandingkan dengan Permenaker sebelumnya. 12. Meskipun terdapat banyak permasalahan dalam Permenaker No 7/2017, tetapi dalam UU PPMI No 18/2017 di pasal 29 ayat 4 memandatkan untuk risiko tertentu yang tidak tercakup dalam jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah atau swasta.

4.

5.

Rekomendasi 1.

Dimungkinkan adanya pemberian PBI bagi PMI seperti halnya kasus nelayan di dalam negeri yang mendapatkan PBI BPJS kesehatan 2. Menambah jenis tanggungan risiko dalam BPJS dari 6 menjadi 13 atau lebih 3. Jaminan sosial PMI tidak

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

6.

7.

boleh menjadi ladang bisnis atau komersialisasi PMI dapat mengakses program-program BPJS ketenagakerjaan lainnya seperti RTW, PAK dan pinjaman kredit rumah atau perbaikan rumah Mandat dari Pasal 31 ayat 2 tentang penempatan ke negara-negara tujuan salah satunya harus memiliki sistem jaminan sosial atau asuransi yang melindungi pekerja migran, harus diimplementasikan melalui perjanjian kerjasama antara BPJS dengan jaminan sosial di negara tujuan dan atau rumah sakit pemerintah untuk menghindari masalah-masalah yang telah disebutkan di atas Ada lembaga banding bagi pencari keadilan terhadap klaim asuransi yang tidak bisa terselesaikan Tidak ada diskriminasi antara pekerja dalam

51


negeri dan pekerja migran terkait dengan manfaat yang diterima. Oleh karena manfaat JKK dan JKM bagi PMI harus masuk dalam revisi PP No 44 tahun 2015 8. Jaminan sosial agar dapat meng-cover pembiayaan medical check-up. ***(Penulis : Yatini Sulistyowati, KSBSI)

52

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

53


Gambaran suasana dan kondisi Layanan Terpadu Satu Atap/LTSA/ LTSP di Indramayu. Namun, menurut pengamatan lapangan JBM, PMI masih kesulitan dan kebingungan untuk mengurus sendiri dokumen kerja sehingga tetap didampingi calo/sponsor ketika mengurus dokumen di LTSA Indramayu karena belum ada alur informasi yang dipahami oleh PMI ketika mengurus dokumen di LTSA dan kurangnya sosialisasi terkait adanya pelayanan Kantor LTSA kepada calon PMI di desa-desa. Sumber Foto: Dokumentasi JBM

54

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Kelemahan dan Kelebihan UU PPMI : Tata Kelola Migrasi Pelayanan Publik kepada Pekerja Migran Indonesia Definisi dan perwujudan pengaturan mengenai tata kelola migrasi bila dibandingkan antara UU 39/2004 dengan UU No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia terdapat pergeseran yang mana UU PPMI lebih jelas mengatur peran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta mengatur mengenai tugas dan fungsi kementerian dan badan. Potret Suram Tata Kelola Migrasi PMI melalui UU 39/2004 Pengaturan yang lebih jelas dalam UU PPMI didorong oleh berbagai permasalahan yang terjadi akibat dari pelaksanaan UU 39 tahun 2004. Dalam UU 39/2004, tugas dan peran pemerintah tidak jelas. Hal ini dilihat dari pasal 5 ayat 1 dan 2 yang mana Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

peran dan tugas pemerintah adalah mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggara penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Selain itu dalam pelaksanaannya pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenang dan/ atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah. Implikasi dari pasal 5 ayat 1 dan 2 ini menyebabkan pertama, tersentralistiknya layanan migrasi kerja mulai dari layanan dokumen, pendidikan dan pelatihan hingga penanganan kasus yang dilakukan di Jakarta atau kota besar lainnya. Akibatnya peran pemerintah daerah tidak jelas dalam melindungi buruh migran Indonesia. Kedua, dengan adanya tugas pemerintah mulai dari mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi menyebab-

55


kan pemerintah tidak bisa secara obyektif menjalankan perannya. Sebagai pelaksana sekaligus berperan mengawasi secara obyektif kegiatan yang dilakukan sendiri, dapat menyebabkan pertentangan atau konflik didalam dirinya. Meskipun pengawasan ini dapat diartikan positif sebagai pengawasan internal di dalam tubuh pemerintah sendiri, namun ketika pemerintah melakukan pengawasan eksternal kepada PPTKIS atau kepada buruh migran, siapa yang akan menilai kinerja pengawasan eksternal yang dilakukan oleh pemerintah? Oleh karenanya, kedua peran ini seharusnya diemban oleh dua pihak yang berbeda satu dari yang lain atau harus ada pembagian peran jelas siapa yang menjadi regulator (membuat regulasi dan pengawasan) dan operator (melaksanakan kebijakan).

Ketiga, Turunan dari UU 39/2004 yakni Pepres No 81 tahun 2006 tentang BNP2TKI menciptakan konflik antara BNP2TKI dengan Kemnaker yang tertuang pada pasal 41 karena tidak menjelaskan hubungan antara BNP2TKI dan Kemnaker, apakah masing-masing berdiri sendiri atau terpisah-pisah ataukah keduanya wajib melakukan kerjasama. Keempat, dalam hal koordinasi dan pengawasan antar kementerian dan badan untuk menghilangkan ego sektoral dalam UU 39/2004 justru tidak jelas dan berakibat pada lemahnya pengawasan. UU 39/2004 tidak mengamanatkan mekanisme antar lembaga pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan. Misalnya pasal mengenai pembinaan ada di pasal 86 dan pasal 95. Di pasal ini diatur tugas pembinaan dilakukan oleh dua

1

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya BNP2TKI dikoordinasikan oleh Menteri

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

56

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


instansi yakni BNP2TKI dan Kemnakertrans. Sama halnya di pasal pengawasan dimana BNP2TKI juga berwewenang untuk melakukan pengawasan (pasal 95 ayat 2b) dan Kemnakertrans dan Kementerian Luar Negeri juga dimandatkan untuk melakukan pengawasan (Pasal 5,7 dan 92). Diperjelas pula bahwa tugas pengawasan menurut peraturan turunan UU 39/2004 mengenai PP No 4 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dilakukan oleh kementerian yang bertanggungjawab pada urusan ketenagakerjaan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri. Dalam PP tersebut telah diatur mengenai apa saja yang harus diawasi, kewenangan

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

dan mekanisme pengawas ketenagakerjaan dalam mengawasi serta mekanisme koordinasi pengawasan baik di tingkat kabupaten, provinsi, pusat dan luar negeri. Sayangnya dalam PP tersebut tidak diatur mengenai periodisasi pengawasan yang dilakukan dari tingkat daerah hingga luar negeri serta tidak diamanatkan mengenai mekanisme pertanggungjawaban pengawasan yang sudah ada kepada publik sehingga publik mengetahui mengenai laporan pengawasan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Tata Kelola Kelembagaan melalui UU PPMI : Menuju ke Arah Perbaikan untuk Perlindungan PMI Dalam UU PPMI yang disahkan pada 22 November 2017, telah menjawab sebagian besar permasalahan yang disebabkan oleh UU 39/2004. Hal ini dapat dilihat, pertama, adanya distribusi kewenangan layanan mi57


grasi buruh migran dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (desentralistik). Pembagian kewenangan ini diatur jelas di pasal 39 hingga pasal 43. Pembagian kewenangan ini tidak hanya di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan hingga tingkat desa. Desa diberi amanat untuk memberikan lima layanan perlindungan yakni pemberian informasi, verifikasi data dan pencatatan termasuk memfasilitasi pencatatan kependudukan PMI, pemantauan keberangkatan dan kepulangan hingga pemberdayaan. Kedua, pembagian peran pemerintah dalam hal mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi lebih jelas. Di pasal 45, kewenangan untuk mengatur, membina dan mengawasi adalah tugas dari Kementerian dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja. Sedangkan kewenangan

58

untuk melaksanakan kebijakan yang didalamnya termasuk menyelenggarakan pelayanan penempatan (G to G) dilakukan oleh Badan. Diharapkan dengan pembagian kewenangan antara regulator dan operator, maka kerja pemerintah lebih maksimal. Ketiga, konflik kelembagaan yang terdahulu antara BNP2TKI dan Kemenaker telah terselesaikan melalui pasal 46 ayat 2 yang mana kedudukan badan meskipun tetap diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden, namun dalam mekanisme kerja tidak lagi di “koordinasikan” tetapi “melalui” Menteri2 . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata dikoordinasikan tidak jelas apakah mempunyai makna mengatur atau melakukan koordinasi. Sedangkan “melalui” menurut KBBI dapat diartikan “melewati”. Diharapkan dengan melalui,

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


hubungan Badan dengan Menteri lebih jelas dalam hal melakukan kerjasama dalam tata kelola migrasi PMI. Keempat, tugas pembinaan yang didalamnya memuat unsur koordinasi dalam UU PPMI di pasal 75 ayat 1 dan 2 tidak lagi dilakukan oleh dua instansi seperti UU 39/2004 melainkan satu instansi yakni pemerintah pusat dan daerah termasuk fungsi pengawasan. Dengan diberikan tugas koordinasi dan pengawasan kepada pemerintah pusat dan daerah, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Badan sebagai pelaksana kebijakan termasuk tugas pengawasan pelaksanaan jaminan sosial yang ada di tingkat daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pasal 47 UU PPMI)3 . Kelima, peran kelembagaan pemerintah baik di daerah maupun pusat dalam pen-

anganan kasus seperti yang tertuang di pasal 77 UU PPMI tidak hanya mediasi saja seperti dalam UU 39/2004 tetapi ada peran lembaga yudikatif untuk membantu menyelesaikan permasalahan PMI. Sayangnya peran kelembagaan pemerintah pusat dan daerah untuk penanganan kasus sebelum ke ranah yudikatif hanya sebatas pada pengawasan ketenagakerjaan saja dan tidak pada penyelesaian perselisihan seperti bila melihat pada UU No 24 tahun 200 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial dimana peran pemerintah tidak hanya sebagai pengawas ketenagakerjaan saja tetapi pemerintah juga terlibat aktif melalui dikeluarkannya nota upaya penyelesaian yang tidak tercapai antar pihak sehingga pemerintah dilibatkan ketika kasus dibawa di pengadilan (pasal 4 dan 5 UU PHI).

2 Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala Badan yang diangkat oleh Preseiden dan bertanggungjawab melalau Menteri. 3 Beberapa tugas Badan : mencabut SIP2MI, verifikasi dokumen PMI, pengawasan pelaksanaan pelayanan jaminan sosial, fasilitasi, rehabilitasi dan reintegrasi purna Pekerja Pekerja Migran Indonesia, pemberdayaan sosial dan ekonomi purna Pekerja Migran Indonesia.

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

59


Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) : Diatur dalam UU PPMI Kebaharuan dalam UU PPMI yang tidak ada di UU 39/2004 mengenai pengaturan pembentukan layanan terpadu satu atap/pintu di tingkat daerah (pasal 38) sehingga pemerintah daerah memiliki mandat untuk membentuk LTSA. Secara UU, keberadaan LTSP pada saat itu bukan menjadi mandat daerah sehingga pembentukan LTSP membutuhkan upaya besar dalam pendiriannya, meskipun pada prakteknya, keberadaan LTSP/LTSA telah ada tahun 2008 di Provinsi NTB. Misalnya di Provinsi NTB, dasar hukum pembentukan LTSP melalui Pergub NTB No 32 Tahun 2008. Konsep LTSP yang dibangun pada saat itu adalah untuk menyatukan seluruh instansi yang ber4

tugas memberikan layanan terhadap dokumen PMI dalam wadah satu atap. LTSP melibatkan unsur instansi di tingkat daerah seperti Disnakertrans NTB, BP3TKI, Imigrasi Mataram, sarana kesehatan, bank peserta program (BRI), konsorsium asuransi, pelayanan pajak BFLN dan maskapai penerbangan (Merpati). Hingga sekarang sebelum UU PPMI disahkan, pemerintah telah meresmikan 16 LTSP4. Sayangnya di beberapa LTSP/ LTSA misalnya di Indramayu, LTSP/LTSA belum memenuhi standar tata kelola pemerintahan berbasis HAM karena PMI masih kesulitan untuk mengurus sendiri dokumen kerja dan tetap membutuhkan calo/sponsor ketika mengurus dokumen di LTSP. Pengamatan lapangan yang ditemukan di LTSP/LTSA Indramayu, sponsor/calo juga ikut bersama-sama dengan

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/12/27/p1mfc6359-16-daerah-di-

indonesia-miliki-layanan-terpadu-pengurusan-tki

60

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


PMI menguruskan dokumen. Hal ini dikarenakan : 1) masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung terutama alur informasi yang dipahami oleh PMI ketika mengurus dokumen di LTSP/LTSA; 2) keberadaan LTSP/LTSA masih jauh dari kantong PMI sehingga membutuhkan biaya transportasi yang cukup mahal untuk menjangkaunya; 3) informasi dokumen yang perlu disiapkan di LTSP/LTSA belum dapat menjangkau PMI di pelosok-pelosok desa sehingga tidak sedikit PMI yang harus pulang lagi untuk mengambil dokumen; 4) pengurusan dokumen persyaratan kerja masih bersifat offline dan harus datang ke LTSP/LTSA dan, 5) penyimpanan dokumen kerja (perjanjian kontraktual) dan scan dokumen jati diri belum tersimpan di LSTA sehingga bila PMI mengalami masalah maka LTSA tidak dapat membantu secara maksimal hak-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

hak perdata maupun pidana PMI. Akibatnya, CPMI masih bergantung pada calo/sponsor dalam mengurus dokumen hingga berangkat. Rekomendasi untuk Peraturan Turunan UU PPMI Meskipun telah ada perbaikan dalam UU PPMI dalam hal kelembagaan dan tata kelola migrasi tenaga kerja yang awalnya berorientasi kepada bisnis menjadi berorientasi kepada pelayanan publik, namun UU PPMI tidak dapat diimplementasikan secara maksimal bila tidak ada peraturan turunannya. Dari 28 peraturan turunan mandat UU PPMI, Pemerintah rencananya akan memangkas menjadi 14 peraturan turunan. Oleh karena itu, JBM merekomendasikan dalam peraturan turunan : 1.

Mengatur mengenai mekanisme standar pe-

61


layanan minimal di dalam LTSA dimana dalam standar pelayanan minimal, layanan LTSA harus online dari tingkat desa sampai luar negeri, terjangkau, terinformasikan, bebas pungli, transparan, dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan. Selain itu fungsi LTSA sebagai edukasi kepada warga agar mengurus dokumen kerja sendiri. Bila layanan yang ada jelas, tidak ada pungli, bermanfaat dan tegas harus mengurus dokumen sendiri seperti pengurusan KTP maka PMI akan mampu mengurus dokumen persyaratan kerja sendiri sebagai bagian dari perlindungan awal sebelum bekerja ke luar negeri 2. Mengatur kejelasan mengenai tahapan migrasi kerja mulai dari verifikasi dokumen jati diri, surat

62

izin, sertifikasi kesehatan, sertifikasi keterampilan kerja, dokumen penempatan seperti perjanjian penempatan dan perjanjian kerja, paspor, visa kerja, kartu kepesertaan BPJS yang tersosialisasikan di dalam gedung LTSA dan di masyarakat umum sehingga masyarakat dapat mengurus persyaratannya sendiri tanpa bantuan pihak lain 3. Memastikan kewenangan untuk menerbitkan SIP2MI apakah menjadi kewenangan Kemanker atau Badan. Jika tidak ada kepastian kewenangan, akibatnya dapat terjadi perebutan kewenangan menerbitkan SIP2MI. Dalam definisi UU PPMI pasal 1 huruf 17 disebutkan SIP2MI (Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia) adalah surat yang diberikan oleh kepala badan ke

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


perusahaan penempatan PMI. Namun di pasal 39 huruf l disebutkan bahwa tugas pemerintah (Menteri) yang menerbitkan dan mencabut SIP2MI). Apakah peran Badan hanya sebagai “kurir� SIP2MI yang dibuat oleh Kemnaker untuk diserahkan kepada P3PMI atau Badan memiliki otoritas juga untuk membuat SIP2MI seperti pemerintah (Menteri) 4. Meskipun dalam UU PPMI sudah dimandatkan untuk melakukan pengawasan namun pasal terkait dengan pengawasan sangat umum. Berkaca dari PP Pengawasan TKI (peraturan turunan UU 39/2004), kedepan untuk optimalisasi implementasi UU PPMI, diperlukan PP terdiri mengenai pengawasan. Bila dalam PP No 4 Tahun 2015 telah mengatur mengenai ru-

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

ang lingkup pengawasan, mekanisme pengawasan dan mekanisme koordinasi antar instansi baik dari tingkat daerah hingga di luar negeri, maka PP Pengawasan yang terbaru selain mengatur tiga hal ini juga harus mengatur mengenai alur, tata cara pengawasan yang lebih detail, mekanisme pelaporan kepada publik dan koordinasi dengan lembaga lain terkait dengan pengawasan ketenagakerjaan PMI. 5. Memastikan peran dan tugas pemerintah dalam hal pengawasan (pasal 76 UU PMI) agar pemerintah terlibat aktif melalui nota pengawasan yang dibuat oleh pemerintah dan memastikan ruang lingkup keterlibatan organisasi pekerja migran atau masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan dan

63


pengawasan baik di tingkat daerah hingga pusat. ***(Penulis : Savitri Wisnuwardhani, JBM)

64

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


LAMPIRAN

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

65


66

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

67


68

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

69


70

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

71


72

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

73


74

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

75


76

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

77


78

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

79


80

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

81


82

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

83


84

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

85


86

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

87


88

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

89


90

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

91


92

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

93


94

Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017


Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya Menurut UU No. 18 Tahun 2017

95




TENTANG JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)

Terbentuknya Jaringan Buruh Migran dimulai dari terciptanya koalisi

masyarakat sipil mengawal kebijakan buruh migran pada tahun 2010, dimana pada tahun itu dengan nama JARI PPTKLN. JARI PPTKLN terbentuk untuk merespon revisi UU 39/2004 yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Selama kurang lebih 4 tahun JARI PPTKLN juga aktif dalam mengawal revisi UU 39/2004. Pada 12 September 2014, JARI PPTKLN bertransformasi menjadi Jaringan Buruh Migran (JBM), yang tidak hanya bertugas untuk mengawal revisi UU 39/2004 tetapi juga mengawal kebijakan perlindungan buruh migran, penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN dan Internasional. JBM terdiri dari 28 organisasi yang berada di dalam dan di luar negeri yang terdiri dari organisasi buruh migran, organisasi buruh dalam negeri dan organisasi yang peduli pada buruh migran. Struktur JBM terdiri dari tiga presidium yakni 1) Legislasi (PJ: Serikat Buruh Migran Indonesia); 2) Penanganan kasus (PJ: LBH Jakarta); dan 3) Perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN dan internasional (PJ: HRWG) dan Sekretariat JBM yang bertugas untuk menunjang kerja-kerja presidium dan anggota JBM. Anggota JBM: SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JALA PRT, PBH-BM, Migrant Aids, The Institute for Ecosoc Rights.

jaringan@buruhmigran.or.di | Fanpage : Jaringan Buruh Migran FB : Jaringan Buruh Migran – jbm | twitter : @jariburuhmigran IG : Jaringan Buruh Migran (JBM) | blogspot : jaringanburuhmigran.org website : jaringan.buruhmigran.or.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.