Teras Pers Edisi Juni 2016

Page 17

bangi ke­ diaman Faried Jayen, Ketua Pemuda Pancasila DIY di Kalasan, Sleman. Menurut Faried, peran PP di mata masyarakat tidak seperti namanya yang me­ nyandang nama ‘sakral’. PP sangat ­diindentikkan dengan ‘Pemuda Preman’ dan ‘Antek-antek Orde Baru’, sehingga saat ini PP malah menjadi momok bagi masyarakat. Dalam pandangannya, momok ini diakibatkan oleh tingkah beberapa oknum. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi para pe­ ngurus baik dari tingkat pusat sampai ke daerah. “Image terhadap PP harus dirubah. Kalau tidak, maka organisasi ini hanya akan ­ tinggal nama saja, atau lebih menyedihkan lagi, ­organisasi ini akan didemo dan dituntut untuk dibubarkan,” terang Faried. Bukan rahasia umum lagi, PP harus berani menentang apa yang bertentangan ­dengan Pancasila. Material apa pun yang ­berkebalikan dengan Pancasila, harus lenyap. “Pemuda ­Pancasila adalah pembeking usaha-usaha dunia hitam. Dari situ, kita (PP) dapat meng­hidupkan organisasi karena selama ini kas Pemuda ­Pancasila tidak pernah diisi oleh yang namanya sumbangan anggota,” ungkap Faried yang juga merupakan tokoh dari organisasi Generasi Muda Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI (GM FKPPI). Keberadaan berbagai kelompok ­vigilante (menegakkan hukum dengan caranya sendirired) juga mendapat tanggapan dari masyarakat ­Yogyakarta. Ki Demang Wangsyafuddin, salah satu anggota dari Forum Persaudaraan Umat ­Beriman (FPUB), menganggap bahwa keberadaan ­Ormas di Yogyakarta sifatnya sah-sah saja, ­ karena ­sudah dijamin lewat undang-undang. Tujuan dari Ormas pun juga harus sesuai dengan Pancasila. “Sikap intoleran harus dihindari. Sebab ada beberapa anggota Ormas yang cenderung tidak mau terbuka terhadap anggota Ormas lain yang berbeda,” ujar Ki Demang. Selain itu, K.H. Masrur Ahmad, pendiri Pondok Pesantren Al Qodir Cangkringan, juga menganggap bahwa keberadaan Ormas m ­ emang mewakili keberagaman masyarakat yang ada di Yogyakarta. Baik Ormas yang bersifat ke­ agamaan, kedaerahan ataupun bukan keduanya, semua adalah bagian dari dinamika masyarakat Yogyakarta. Hal yang disayangkan adalah ketika Ormas justru menggunakan kekerasan dalam me­ nyampaikan pendapatnya. Semua Ormas seharusnya bisa bermusyawarah ketika

­ enanggapi isu-isu yang ada di ­ m Yogyakarta, ­bukan malah melakukan aksi kekerasan. “Semua Ormas harus saling menghormati kepercayaan yang di­miliki satu sama lain. Tidak ada alasan bagi suatu ­Ormas untuk membenci Ormas lain hanya ­karena perbedaan keyakinan. Semua Ormas harus ­ mampu bekerjasama dengan baik,” kata Masrur. Stefanus Nindito, dosen Sosiologi ­Univeritas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), mem­ berikan pendapatnya terhadap eksistensi ­Ormas di ­ Yogyakarta. Selama Ormas tidak meng­ intervensi hak dari anggota Ormas lain, maka pada ­ dasarnya baik-baik saja. Sebenarnya, ­intinya bukan masalah baik dan buruk, namun batasan di mana anggota Ormas itu bisa ber­ tindak ­karena setiap tindakan mempunyai kon­ sekuensi dan ada sanksi dari undang-undang. Ketika ter­jadi ­perusakan, pemukulan atau tindak kekerasan, tidak ada ­ alasan bagi Ormas untuk me­ ­ lakukannya karena tiap individu memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. “Tetapi kalau soal baik atau buruknya suatu Ormas, setiap Ormas punya hak untuk berserikat, ber­ sekutu, karena itu di­ jamin dalam ­undang-undang. Jika dasar tin­dakan yang dilakukan adalah ideologi tertentu, itu akan menjadi persoalan, karena ideologi suatu ke­lompok berbeda dengan ­ideologi negara,” jelas Nindito. Ia juga melontarkan tanggapannya mengenai isu ‘komunisme’ belakangan ini yang banyak mengikutsertakan Ormas. Anti ideologi tertentu, apa pun ideologinya, ideologi menjadi catatan ilmu pengetahuan sejarah, tapi yang menjadi patokan tindakan adalah hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Anti kekerasan adalah yang paling penting. Jika ­komunisme dikaitkan dengan catatan kekerasan, hal ini merujuk pada fakta sejarah yang terjadi di Indonesia, atau yang lebih ­ dikenal dengan ­istilah pemberontakan. Namun komunisme pada dasarnya adalah sebuah ideologi. Kekerasan adalah sebuah tindakan. Mengapa orang yang melakukan kekerasan pada golongan yang ­ dianggap sebagai anggota PKI tidak mendapat ­ stigma buruk? Padahal mereka lebih banyak melakukan kekerasan. “Maka, sistem berpikir masyarakatlah yang harus diubah, jangan mudah memberi stigma tertentu. Ini adalah konstruksi berpikir yang harus diubah,” terangnya.

(Gregorius Bramantyo/Benedith Maria)

15


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.