Teras Pers Edisi Oktober 2016

Page 1

EDISI XXVI OKTOBER 2016

Meneroka Alternatif: Menjelajah Budaya Alternatif di Yogyakarta LIPUTAN UTAMA

Derap Kemunculan Budaya Alternatif di Yogyakarta

04

POLITIK KITA

Polemik Dispensasi SPP: Mempertaruhkan Nilai Humanis

10


Ignasius Dicky Takdare (kiri) dan Albertho Wanma, inisiator pameran seni rupa bertajuk “Remahali” yang diadakan di Bentara Budaya Yogyakarta (20/10). Remahali berasal dari bahasa suku Sentani yang berarti “ratapan”. Dicky dan ALbertho mencoba meratapi berbagai permasalahan di Papua melalui karya-karya visual mereka dalam pameran tersebut Fotografer: Gregorius Dimas B.

EDITORIAL Josep Heath dan Andrew Potter dalam bukunya Rebel Sell (2004) menyoal kehadiran segala bentuk kebudayaan alternatif. Singkat kata, keduanya melihat segala produk budaya yang alternatif dan kontra, tak lebih sebagai sebuah gagasan utopis belaka. Alih-alih menciptakan sebuah tatanan budaya yang “revolusioner” di masyarakat, bentuk-bentuk kebudayaan ini justru mengingkari semangatnya. Mereka lantas tenggelam dalam sisi euphoria-nya semata tanpa menawarkan nilai-nilai yang lebih dalam. Namun, ada baiknya bila kebudayaan tak dilihat dalam kerangka yang hierarkis ­antara yang bernilai dan tidak. Budaya bagaimana pun ­ wujudnya, merupakan hasil dari proses ­intelektual manusia yang panjang dan kompleks. Apa pun jalurnya, budaya merupakan per­wujudan cara bertahan hidup yang menyiasati zaman. Sejarah mencatat, kemunculan ­beberapa budaya alternatif di Indonesia sedikit banyak bertaut erat dengan kondisi sosial, ekonomi ­ dan politik yang memunculkan kesengkarutan. Pada rezim kediktatoran Orde Baru ­ mendikte Indonesia, kelompok masyarakat terutama ­ anak muda- berusaha untuk menunjukkan ­ekspresi resistensi mereka. Sebuah zine berjudul “Kemerdekaan Bawah Tanah: Poster Café dan ­ Revolusi yang Tersembunyi” mencatat bahwa di Jakarta ada andil para pelaku subkultur punk di balik reformasi 1998. Sifat alternatif dari sebuah kebudayaan akan terlampau sempit bila hanya dilihat dari sudut pandang output-nya saja. Budaya dapat juga dipahami sebagai sebuah semangat yang dibagikan dan dihidupi oleh beberapa kelompok masyarakat. Derap budaya alternatif di Yogyakarta sendiri juga patut diperhitungkan. Sebagai kota yang menyandang predikat dimana kebudayaan terus memperbaharui dirinya, bentuk-bentuk ­budaya alternatif perlu ditinjau ulang. Sejauh ini belum ada catatan yang komprehensif ­mengenai laku budaya alternatif serta konteks-konteks yang melatari kemunculannya di Yogyakarta. ­Sedangkan budaya alternatif di Yogyakarta sendiri semakin berkembang. Untuk itu, Teras Pers edisi kali ini ber­ usaha mengawali langkah tersebut. ­“Mengangkat harkat dan martabat” budaya alternatif di Yogyakarta dengan menelusur kembali sejarah ­ kemunculan derapnya. Bentuk-bentuk budaya alternatif tersebut dikerucutkan menjadi be­ berapa sektor: musik, seni rupa, media massa dan gaya hidup. Hiruk pikuk di sektor tersebut dianggap mewakili identitas budaya alternatif Yogyakarta sendiri.

DAFTAR ISI LIPUTAN 1 04-06

KOMUNITAS 18-19

LIPUTAN 2 07-09

SEKITAR KITA 20-21

POLITIK KITA 10-11

SUDUT 22-23

SENI BUDAYA 12-13

SOSOK 24

DJENDELA RANA 14-15

KOMIK 25-26

LITBANG 16-17

TIM REDAKSI PEMIMPIN UMUM Ryan Sara Pratiwi WAKIL PEMIMPIN UMUM Agustinus Negara PEMIMPIN REDAKSI Aloysius Bram WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Benedith Maria EDITOR Christina T Nicholas Ryan Aditya REPORTER Gregorius Dimas B. Ayumi Danuswari Nadia Fika P. Chintya Deavy Ardelia Karismurti

LITBANG Artyastiani P Monica Kasihana D LAYOUTER Maria Heris Devina Katarina Natalia ILUSTRATOR Adi Surya Samodra Judith Brenda FOTOGRAFER Regy Eka Deasilda Amalo Monang Widyoko Gregorius Christian H. MARCOMM Novita Sri Rejeki Dewa Ayu Indah K.P.


LIPUTAN UTAMA

Derap Kemunculan Budaya Alternatif di Yogyakarta Meruntut akar kata alternatif, berarti ia merupakan sesuatu yang di luar arus utama. Lantas budaya a­ lternatif bisa dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai semangat untuk memberikan tawaran atau ­pilihan lain dari sesuatu yang menjadi arus perbincangan umum. Kemudian ada hal-hal yang diciptakan untuk menempuh jalur baru. Bisa jadi karena “si pemain” sudah merasa bosan dengan arus utama atau tidak ada jalan lain dari arus utama. Yogyakarta sebagai salah satu basis kebudayaan di Indonesia sendiri tidak dapat memungkiri kehadiran semangat serta ekspresi alternatif tersebut.

Ilustrasi oleh Adi Surya Samodra

kerap berartikulasi sebagai kritik. Street art misalnya, satu bentuk seni rupa alternatif yang merupakan bagian dari protes terhadap ruang mainstream itu sendiri. “Malam dibikin, pagi bisa dinikmati publik. Itu seperti halnya pameran karena mengambil jalur singkat dan tidak terlalu berlebihan. Toh pameran intinya karya dipajang, publik menikmati. Orang ­merasa sama-sama pameran karena gagasannya sampai,” tambah Samuel. Menurutnya, tujuan seorang ­seniman adalah memberikan gagasan terbaik dan ter­ barunya untuk di-publish. Yang tadinya merasa pameran di ruang kecil saja ­ ­ sudah bagus, kemudian banyak yang diterima ­ ­untuk pameran di galeri hingga menjadi se­ niman yang ­ profesional. Fenomena itu bisa dianggap sebagai kemajuan atau malah ke­ munduran, ber­gantung dari perspektif orang yang ­ melihatnya. “Kalau yang melihat dari sisi ­ideologi, merasa bahwa yang benar adalah orang yang selalu setia dalam pekerjaannya. Kemudian yang pameran di galeri ­ dianggap ­sudah mainstream. Perspektif publik kan tentu beragam. Tergantung mau dilihat pakai kacamata apa,” imbuhnya. Banyaknya “pemain” dalam ranah seni rupa di Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri. Kurang lebih lima ribu seniman dan calon seniman tersebar di Yogyakarta, itu pun masih di sektor lukis. Semua individu ngotot untuk hadir dan memproklamasikan dirinya. “Masing-masing ingin melukis, ingin dilihat, ingin hidup dari lukisannya. Seniman yang melakukan profesinya adalah dia yang sudah yakin dengan pilihan itu lalu mengambil langkah-langkah profesi yang profesional,” kata Samuel. Budaya Alternatif dan Musik di Yogyakarta

Terdapat beberapa sektor ­kebudayaan bertendensi alternatif yang tumbuh subur dan menjadi barometer. Salah satunya pada sektor seni rupa. Samuel Indratma, ­ ­ saksi sekaligus pelaku dari alih wahana ­ ­ pakem seni rupa pada waktu itu memaparkan, bahwa ­ kemunculan bentuk alternatif seni rupa tidak dapat dilepaskan dari konteks senioritas yang kental di antara senimannya. Seni rupa ­menganggap arus utama dimilki oleh senimanseniman senior. “Sehingga para seniman di bawahnya merasa harus mencari jalan baru ­

untuk mengekspresikan dirinya,” kata Samuel di awal perbincangannya dengan Teras Pers. “Hampir dari semua sektor menempuh jalurjalur seperti itu. Ketika jalur utama padat, jalur lain adalah pilihan,” tambahnya. Pada medio 90-an, orang ­menganggap bahwa pameran di rumah kontrakan maupun indekos adalah sebuah kebanggaan. Lalu muncul ­ kemungkinan-kemungkinan baru. ­ Selain sebagai cara bertahan hidup, ­kemunculan ekspresi alternatif tersebut juga

04

Belantika seni musik alternatif di Yogyakarta juga memiliki kisahnya sendiri ­ dalam upaya menandingi budaya arus utama. F.X. Woto Wibowo atau yang dikenal dengan nama Wok The Rock, seniman multidisiplin, menganggap bahwa budaya alternatif sarat dengan kritik atas dominasi, budaya kon­ sumerisme, dan hedonisme. Ia menambahkan, inti dari budaya alternatif adalah do it yourself. “Jangan nunggu orang lain. Dari apa yang ­sudah ada, cari cara lainnya,” kata pria yang akrab disapa Wowok tersebut.

Wok The Rock Selama Wowok berkecimpung di ­skena musik alternatif, terdapat beberapa sosok yang mempunyai semangat untuk ­ menjadi alternatif dengan bereksperimen ­ melalui karya-karyanya. “Di tahun 1980-an, musisi ­ asal Yogyakarta bernama Sapto Raharjo mem­ populerkan musik elektronik ­ komputeristik yang mengambil sampling dari gamelan. Kreativitas Sapto Raharjo itu lantas menjadi pemicu timbulnya gerakan-gerakan alternatif di ranah musik di Yogyakarta,” tutur Wowok.

Lantas berbagai jenis musik indie mulai tumbuh dengan pesat dan menjadi ­ identitas baru bagi anak muda. Hal ini menjadikan Yogyakarta sebuah wadah dan titik temu orang-orang dari latar belakang yang ­berbeda, sehingga akulturasi budaya khususnya ­ budaya tanding (counter culture), dapat mudah ter­ jadi. Pada awal kemunculannya, kota ­Yogyakarta diwarnai berbagai jenis musik ­indie yang terentang dari beragam genre musik seperti ska, hardcore, punk, hingga reggae. “Setiap genre itu memiliki infrastruktur sendiri yang terdiri dari komunitas, pergerakan, media, dan wadah tersendiri,” tandas Wowok. Budaya alternatif, menurut Wowok, selalu berkebalikan dari trend. Ada semangat anti-trend di situ karena trend dianggap

05


LIPUTAN UTAMA

Hidup Mati Budaya Alternatif: Pergulatan Budaya Alternatif di Yogyakarta Bung Sam

Mengkontekstualisasikan Lagi Semangat Media Alternatif Semangat untuk menciptakan ­sesuatu di luar patron juga mewabah di kalangan mereka yang selama ini berkecimpung di ­ ranah media massa. Informasi menggenangi ke­ seharian masyarakat ketika media massa konvensional semakin terkonvergensi dalam jaringan internet. Seiring dengan semakin terjangakaunya akses kepada internet, ­mayoritas orang kini turut menjadikan media massa ­online menjadi prioritas. Secara manasuka, siapa saja bisa mengaksesnya dan secara manasuka pula, siapa saja bisa berpartisipasi ­untuk turut menyebarkan informasi. Lantas tak dapat dipungkiri, media ­online sendiri membelah dalam dikotomi antara yang alternatif dan arus utama. Ber­bagai situs berita yang ada mayoritas me­ rupakan korporasi besar dan bermotif keuntungan. Khalayak media baru lebih bebas menentukan sendiri apa isu yang dianggap penting, dan mereka juga memiliki kesempatan secara luas

untuk turut memproduksi dan menyebarkan informasi itu sendiri. Kira-kira begitu ­menurut Edward S. Kennedy, pemimpin redaksi situs opini-satir yang akhir-akhir ini mengemuka, Mojok.co. “Namun di sisi lain media-media dalam jaringan ini lemah karena prosedur gatekeeping yang lebih longgar ketimbang media konvensional,” papar pria yang juga penulis buku Sepakbola Seribu Tafsir ini. Kondisi yang saat ini terjadi ialah ­ edia online berlomba untuk menyuguhi pem­ m bacanya dengan beragam informasi sehingga konsumen pun kebanjiran akan in­formasi. “Ada kejenuhan yang terjadi bila di saat yang sama, semua media online mem­berikan ­informasi yang sama, hanya itu-itu saja. ­Makanya muncul gagasan untuk membuat media dengan suguhan yang berbeda, dengan memberi konten yang lebih santai dan nggak terpaku dengan suatu isu,” ujar Edward ketika membicarakan Mojok.co sebagai salah satu pionir media dengan konten alternatif. Mojok.co sendiri memberikan kebebasan kepada para penulisnya dalam ­ berkarya yang membuat Mojok.co tidak ter­ kurung dalam batasan-batasan tertentu. “Kamu mau ngomong apa, itu ­kebebasanmu,” kata Eddward. Ia menganggap bahwa ke­ bebasan dalam menulis merupakan suatu wujud demokrasi. Terlebih para penulis ­ di ­ Mojok.co mayoritas adalah kontributor. ­“Kebebasan menulis itu menurut saya adalah wujud dari demokrasi, dan itulah tujuan dari terciptanya Mojok.co ini,” papar Edward.

Media Alternatif Semangat alternatif di sektor musik mempunyai kondisi yang rawan ketika terda-

pat pihak-pihak yang menyetir selera pasar. Aris Setyawan, musikolog dan juga pelaku di sektor musik alternatif berpendapat bahwa industri musik secara general melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. “Segenap entitas yang berkuasa di industri ­seperti label, distributor dan media arus utama, adalah pihak-pihak yang me­nyetir bagaimana selera dan trend musik harus dinaikkan sekarang, atau diganti besok saat ­sudah jenuh,” tutur Aris yang juga kontributor di JakartaBeat.Net. Hal inilah yang menjadi ­ancaman bagi tumbuh kembang ­bentuk-bentuk musik alternatif. Kontrol industri terhadap selera pasar tersebut kemudian membuat peluang musikmusik alternatif sulit memperoleh apresiasi. Heru Wahyono, vokalis band kenamaan Shaggy Dog, memaparkan ada hal-hal yang berpotensi menjadi implikasi yang merugikan bagi musik alternatif ketika kondisinya ­sedemikan rupa. Para pelaku yang bermain di skena ­alternatif/ indie adalah mereka yang banyak me­

Aris Setyawan

Foto oleh Gregorius Christian H.

sebagai bentuk produksi budaya yang tidak kritis. Mengajari orang untuk tidak ­ kritis, mengajari orang untuk konsumtif, hanya mendapatkan kulitnya saja, tidak bisa memahami lebih dalam. “Makanya anak-anak alternatif itu tidak suka dengan yang namanya trend. Misalnya kita mengenakan sesuatu tapi nggak tau maknanya, hanya ikut-ikutan saja,” ujar Wowok yang juga merupakan ­inisiator ­netlabel YesNoWave Music. Menurutnya, ­ budaya alternatif harus selalu dikritisi dalam per­ ­ kembangannya. Jika sudah menjadi ­populer, maka sifat ­alternatifnya telah hilang.

Budaya alternatif merupakan strategi gaya hidup yang secara aktif menolak kepercayaan, adat istiadat, dan praktik kebudayaan yang mendefinisikan masyarakat modern kontemporer. Muncul dari semangat kontra kultur, budaya alternatif mengkritik sistem yang menyeragamkan selera masyarakat. Semangat untuk keluar dari patron yang mendominasi inilah yang menjadi pembeda antara yang alternatif dengan arus utama. Geliat budaya alternatif di Yogyakarta dapat diamati dalam bidang musik, seni rupa, dan media massa. Wujud dari semangat budaya alternatif yang tertuang di beberapa sektor tersebut hingga saat ini masih bertahan dan eksis. Kendati tak dapat dipungkiri, terdapat hal-hal yang sedikit banyak mengancam keberadaannya.

Musik Alternatif

(Gregorius Dimas B./Benedith Maria)

06

07


Heru Wahyono

lakukan eksperimen terhadap ­musikalitasnya. “Eksperimen tersebutlah yang kadang mem­ buat dahi berkerut bagi yang kupingnya terbiasa mendengarkan musik populer.” Selain itu, permasalahan lainnya adalah dalam hal distribusi. Berbeda dengan musisi yang terikat oleh suatu manajemen—di mana ­distribusi dapat dilakukan secara lebih luas—distribusi yang dilakukan oleh musisi indie dilakukan melalui jaringan komunitas ­ dan menggunakan dana pribadi musisi. Media Massa Alternatif Hal serupa tak hanya terjadi pada musik, tetapi juga pada gerak budaya lain seperti media-media massa alternatif. Selama ini media-media massa alternatif cenderung kurang terlihat di masyarakat karena ­distribusinya yang terbatas. Distribusi mediamedia alternatif seperti zine biasanya ber­ putar di lingkaran komunitas dan tidak menjangkau masyarakat luas. “Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk produksi ditambah anggaran untuk distribusi menjadi tantangan bagi

supaya bisa hadir ­ mempresentasikan karya. Kamar kos-kosan jadi tempat pameran, sampai ke rumah-rumah kontrakan itu ­dianggap sebagai ruang alternatif,” lanjut Samuel ­Hendratma yang akrab disapa Bung Sam ini. Kehadiran para seniman muda ­ jelas mengambil peran penting dalam ­ kehidupan seni rupa, baik dalam rangka melanjutkan yang sudah ada ataupun memperbaharui budaya dengan gagasan-gagasan alternatif baru. Lagi—kiranya sebagaimana juga pada

seni musik dan seni-seni lainnya—media sosial mempunyai sumbangsih yang cukup besar dalam memasarkan para seniman baru yang jumlahnya cukup banyak, khususnya di kota Yogyakarta. (Gregorius Christian H./Odilia Fenta)

Foto oleh Gregorius Bramantyo

media-media alternatif untuk ­ berkembang kalau bergantung pada format cetak. Walau demikian, media alternatif nggak akan mati. Mungkin suatu saat memang tidak banyak kelihatan, tapi lain waktu kelihatan lagi,” jelas Panjul selaku pelaku media online mojok.co. Perkembangan teknologi dan ­internet diakui oleh Panjul telah memberi ­kesempatan sangat besar bagi media-media alternatif untuk menyampaikan aspirasinya ­ kepada masyarakat. Tidak hanya media-media alternatif, internet juga mampu memberi ­ ­ruang bagi masing-masing orang untuk men­ jadi penulis dan jurnalis. “Di Info Cegatan Jogja, semua orang bisa jadi jurnalis. Kalau menurut konsepnya, prinsip kerja jurnalis kan menyebarkan informasi. Setidaknya, orangorang bisa menulis kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya. Kemarin ini misalnya, aku habis posting kecelakaan di ring road,” jelasnya. Lebih lanjut, Panjul juga meyakini bahwa suatu saat nanti seluruh media adalah media alternatif. Argumennya ter­ sebut tampak meyakinkan jika melihat trend perkembangan media massa alternatif yang ­ memanfaatkan jejaring internet. Seni Rupa Alternatif Di samping seni musik dan ­ media ­massa, ada pula jalur alternatif ­untuk seni rupa, yang dewasa ini pun semakin ­dikembangkan. Namun permasalahan tetap membayangi perupa-­perupa yang ­memilih jalur ­alternatif, khususnya dalam hal ­ ­ senioritas. Samuel Hendratma, seniman seni rupa ­ ­ Yogyakarta menjelaskan perihal ­tersebut, “dalam ­konteks seni rupa, arus utamanya dimiliki oleh seniman­ -seniman senior. Lalu, seniman muda yang baru muncul dan merasa bosan dengan arus utama ini memunculkan alternatif-alternatif budaya baru.”

Aris Setyawan

Seni rupa sebagai suatu seni yang mengandalkan indera penglihatan dalam ­menangkap estetika memerlukan ruang ­secara fisik untuk mempresentasikan karya. Pada ­aspek tersebutlah permasalahan terjadi; tidak semua seniman mendapat kesempatan untuk melakukan pameran di galeri utama. Sulitnya para perupa muda untuk masuk dan membaur ke dalam arus besar seniman senior ­merupakan alasan paling dominan. “Dengan demikian orang harus menciptakan ruang ­ ekspresinya

08

09


POLITIK KITA

Polemik Dispensasi SPP: Mempertaruhkan Nilai Humanis “Ketika kampus sendiri menggaungkan humanisme sebagai nilai yang diunggulkan, tapi kebijakan (dispensasi SPP) justru dihapuskan, itu malah tidak humanis kan?” Unggul, inklusif, dan humanis; ­demikian tiga patah kata yang secara ­sederhana menggambarkan visi dan misi ­ Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Berbagai tindakan atas dasar poin ketiga humanis—yang dengan kata lain membangun kepedulian ter­ hadap kaum lemah—pun dilakukan, salah satunya dengan memberikan toleransi ­permohonan ­dispensasi SPP, baik untuk SPU, SPP tetap, maupun SPP variabel. Namun setahun belakangan ini, kabar beredar menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah dihapuskan. Protes sayup-sayup terdengar, beberapa mahasiswa menyayangkan keputusan pihak kampus yang sepertinya diperburuk pula oleh lemahnya sosialisasi. Salah satu tanggapan datang dari Banu, mahasiswa FISIP UAJY semester tujuh yang pernah terbantu dengan ­ kebijakan ­dispensasi SPP. Ditemui di kampus (26/09/16), selain menyayangkan visi misi humanis yang kesannya dikhianati—ia mengaku ­belum pernah mendapat sosialisasi menyoal ­ penghapusan dispensasi SPP. “Kalau gak salah pengumuman yang sifatnya terbuka juga belum ada,” ­paparnya. Untuk mengkonfirmasi masalah ­sosialisasi terlebih kebenaran isu, Teras Pers menyambangi kantor Wakil Dekan II ­FISIP UAJY. Anita Herawati atau biasa disapa Anita me­ nyambut hangat kedatangan kami, dan pada awalnya membenarkan kabar ­penghapusan dispensasi SPP. “Benar dan berlaku untuk semua fakultas, karena itu diputuskan di ­rapat Wakil Dekan I dan II bersama-sama dengan ­kantor

keuangan,” jelasnya (20/09/16). ­ Namun seiring dengan bergulirnya­w ­awancara, ia ­mengungkapkan bahwa sebenarnya ke­bijakan tersebut masih ada, hanya saja prosedurnya yang diubah. “Tidak melalui fakultas, tapi ­suratnya langsung ke Wakil Rektor II,” katanya lagi. ­Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ­ “kecolongan” kerapkali terjadi ketika mahasiswa me­lakukan KRS. Jika dulu yang membuka sis-tem KRS adalah fakultas, sekarang langsung dari kantor keuangan. Perubahan kebijakan tersebut diakui Anita cukup efektif untuk menanggulangi mahasiswa yang ingin melakukan kecurangan, baik dengan memalsukan surat dispensasi ataupun berpura-pura sudah ­membayar. Keterangan lain disampaikan oleh Tri Prasetyas, Kepala Kantor Keuangan ­Universitas Atma Jaya. Menurut versinya, pada dasarnya kebijakan dispensasi SPP bagi mahasiswa bukanlah sebuah kebijakan yang sifatnya “hitam di atas putih”. Selama ini dispensasi menjadi dimungkinkan bagi mahasiswa yang membutuhkan, justru karena Kantor Keuangan mempertaruhkan nilai humanis yang selama ini menjadi landasan Atma Jaya. “Gimana ­rasanya kalau ada orang tua yang datang ke sini nangis-nangis minta anaknya dibolehkan ujian dulu,” tuturnya. Namun kenyataannya tidak sedikit pula mahasiswa yang menyelewengkan kelonggaran tersebut. Tyas memaparkan bahwa beberapa kali pihak universitas mendapati

10

Ilustrasi oleh Judith Brenda

mahasiswa terlibat kasus penyelewengan ke­ bijakan ini. “Ada yang nunggak jutaan ­ternyata dipakai untuk pacarnya,” jelasnya. Hal serupa juga dipaparkan oleh ­Anita. “Ada yang dipakai buat bisnis, banyak juga yang SPP-nya dipakai untuk membiayai gaya hidup dia,” terangnya. Alih-alih untuk alasan yang disampaikan di awal—seperti tidak bisa membayar karena sakit atau kondisi ­keluarga— uang yang sudah ada justru di­gunakan untuk membiayai hal-hal di luar kepentingan akademik. Tak dinyana, berbagai penyelewengan kelonggaran dispensasi SPP tersebut membuat pihak universitas merugi. Anita ­memaparkan bahwa pihak universitas harus menanggung beban kurang lebih sejumlah 1 miliar rupiah. Hal tersebutlah yang menurut Anita membuat pihak universitas memperketat sistem pem­ berian dispensasi SPP kepada mahasiswa. Selain itu, pihak universitas juga melihat ­ bahwa penyelewengan tidak hanya me­rugikan pihak ­ universitas, namun juga mahasiswa yang selama ini telah tertib membayar ­segala biaya pendidikan. “Kalau ternyata mampu tapi minta dispensasi SPP, apa justru tidak merugikan mereka yang selama ini memba­ yar?” tuding Anita. Lantas bagaimana dengan simpangsiur kabar yang beredar di mahasiswa? Tidak sedikit mahasiswa yang tidak tahu, atau tahu tapi tidak terlalu jelas. “Sebenarnya sudah ya dulu, di pertemuan orang tua mahasiswa untuk mahasiswa tiap tahun. Kalau dulu saya tulis di sini juga. Terus ada banner, tapi gak

tahu hilang ke mana banner-nya,” jelas Anita, menanggapi masalah sosialisasi. Menilik jawaban Anita, sosialisasi belum dilakukan secara maksimal. Mungkin ­ karena kurangnya perhatian pihak kampus, atau bisa jadi karena mahasiswa yang kurang peka. Namun sangat kurangnya informasi yang diperoleh mahasiswa terkait dispensasi SPP dapat menjadi patokan bagi universitas untuk lebih gencar melakukan sosialisasi. Bagaimanapun, jika memang harus mengubah kebijakan, sosialisasi yang menyeluruh sebaiknya dilakukan, sebab—mengutip pendapat Banu— tidak semua mahasiswa UAJY mampu secara finansial. Terakhir, di sebuah forum yang diselenggarakan oleh BEM FISIP, pihak dekanat melalui Wakil Dekan I, Arum Yudarwati berjanji akan menuangkan hal-hal terkait dispensasi SPP dalam buku pedoman. “Ke depan buku pedoman akan mencakup hal-hal yang lebih luas, termasuk mengenai dispensasi SPP,” ­tutupnya. (Christina Tjandrawira/Aloysius Bram)

11


SENI BUDAYA

Meraba Proyeksi Video Mapping

Lazimnya, video merupakan salah satu media komunikasi untuk memvisualisasikan sebuah pesan. Entah pesan itu bermuatan informasi atau bermuatan hiburan, video merupakan salah satu medium yang mem­ ­ punyai kekuatan lebih dibanding medium yang lain. Perpadu-padanan audio dan visual membuat video mempunyai kompleksitasnya tersendiri. Walau kompleks, namun bukan tidak mungkin video dialih-wahanakan untuk berbagai keperluan, termasuk sebagai sebuah seni yang disebut video mapping. Video mapping adalah sebuah bentuk kesenian multimedia kontemporer yang menarik. “Didalamnya melibatkan musik, grafis, video, teknik digital, dan teknik panggung yang melibatkan sebuah tim,” papar Ishari Sahida atau yang kerap disapa Ari Wulu, penggagas komunitas Jogja Video Mapping Project (JVMP). Video mapping sendiri menemukan bentuknya yang sangat kompleks karena ia membutuhkan penyesuaian dengan medium dimana video diproyeksikan. Sebagaimana namanya, hasil ­ akhir video ini akan diproyeksikan ke sebuah ­gedung atau bangunan arsitek sebagai sebuah seni pertunjukkan. “Sehingga membutuhkan penyesuaian atau mapping dengan bentuk ­ ­gedungnya sendiri”, jelas Ari. Riwayat video mapping di Indonesia sendiri belum menempuh sejarah yang panjang. Sejauh ingatan Ari, pertama kali ­ video mapping disodorkan kepada masyarakat sebagai sebuah produk seni adalah ketika ­Gedung Museum Fatahillah di Jakarta menjadi wahana proyeksi video grafis garapan seniman asal Inggris di tahun 2011. Pun demikian dengan video mapping di Yogyakarta sendiri. Kehadirannya yang relatif baru belum banyak memunculkan seniman-seniman video mapping itu ­ ­ sendiri. Selama ini, video mapping di Yogyakarta sendiri masih digawangi oleh JVMP yang diben-

tuk oleh Ari dan seorang kawannya bernama Raphael Donny pada 2011. Ari melihat bahwa membuat video mapping merupakan kemampuan yang bisa dipelajari oleh banyak orang tanpa harus bergantung dengan pihak lain.

Kiri-Kanan Foto oleh Dessy Astria Lestari

“Saya pun yakin video mapping itu bisa dilakukan oleh saya dan teman-teman saya,” tukas Ari. Lantas dibentuklah JVMP sebagai wadah bagi seniman-seniman video mapping sekaligus menjadi wahana ­pembibitan ­seniman-seniman video mapping di ­Yogyakarta. Ketika awal video mapping disodorkan kepada khalayak di Yogyakarta, tidak sedikit dari mereka takjub dengan per­tunjukan grafis yang terproyeksi ke sebuah bidang dari ­bagian suatu bangunan. Selain takjub Ari sendiri me­ maparkan bahwa juga tidak sedikit pula yang menganggap aneh kehadiran video ­mapping sebagai kesenian. Ari menceritakan, ketika JVMP memproyeksikan karya video mereka di Kandang Menjangan, Krapyak, ­Yogyakarta, 2015 lalu, respon masyarakat sempat buruk. “Mungkin karena bagi mereka ini hal yang baru sehingga pesan yang ditangkap dari video tidak utuh,” papar Ari. Proses Pengkaryaan Pembuatan sebuah video mapping sendiri biasanya melibatkan proses kerja yang panjang dan multidisiplin. Proses pengkaryaan video mapping di JVMP sendiri diproses dari hasil kerja divisi yang satu ke divisi yang lain. JVMP sendiri memiliki beberapa divisi yang mengampu beberapa jobdesk seperti ­bagian storyboard, bagian konten videographer, ­ bagian konten animasi, bagian sound, ­director, dan beberapa bagian lainnya. Waktu yang dibutuhkan pun tidak sebentar. Ari bercerita bahwa rata-rata penggarapan satu video memerlukan waktu ­ selama satu bulan. “Itu hanya untuk video yang berdurasi lima sampai sepuluh menit”, papar Ari. Hingga saat ini, video dengan durasi terlama yang pernah dibuat oleh JVMP adalah

12

Kiri-Kanan Foto oleh Erwin Octavianto

sepanjang 30 menit. “Waktu itu termasuk cepat bikin video dengan durasi sepanjang itu, karena kira-kira selesai dalam 40 hari saja,” terang Ari. Video mapping sebagai sebuah kesenian sendiri membutuhkan biaya yang ­ tidak sedikit. Untuk satu kali pertunjukkan biasanya dibutuhkan biaya sekitar 30 juta ­rupiah. “Biaya segitu biasanya untuk ­keperluan awal pengkaryaan video sampai eksekusi ter­masuk menyewa beberapa proyektor,” jelasnya. Melihat waktu yang ditempuh untuk berporses serta biaya yang tidak murah tersebut, menjadi mahfum bila pertunjukkan video mapping itu sendiri tidak banyak diselenggarakan. Denyut video mapping di Yogyakarta sendiri termasuk rutin diadakan dibanding ­kota-kota lain. Hal ini karena sejak tahun 2014 yang lalu, salah satu helatan seni terakbar di Yogyakarta, Festival Kesenian ­ Yogyakarta (FKY), mulai menggandeng video mapping sebagai salah satu kesenian yang menjadi mata acara festival tahunan tersebut. Dengan menjadi bagian dari FKY, video mapping di Yogyakarta yang dikoordinasi oleh JVMP menjadi

lebih terjamin. Hal ini karena video mapping menjadi lebih terjamin dari segi sumber daya dan dana. Menerawang Masa Depan Video Mapping Kedepan, Ari sendiri berharap ­festival video mapping dapat ­diselenggarakan. Harapannya di tahun 2017 nanti, JVMP ­ sendirilah yang dapat menginisasi cita-cita ­ tersebut. Ia sendiri juga berharap semakin banyak yang tertarik dengan kesenian video mapping ini sendiri. Sehingga JVMP ­ sebagai wadah yang selama ini telah bertekun dalam kesenian digital ini, dapat menjadi sarana belajar. Selain itu ia juga bermimpi bahwa ­ kedepan, video mapping di Indonesia juga tidak lantas meninggalkan identitasnya sebagai sebuah kesenian global dengan cita ­ rasa lokal. “Kehadiran video mapping memberikan media alternatif untuk media apapun di Yogya, entah itu budaya tradisional atau modern”, ­ungkapnya mengakhiri wawancara. (Cynthia Deavy F./ Nadia Fika Pradipta)

13


Indie bukan Industri Ketika segala hal mulai diindustrikan, termasuk juga dengan selera musik. ­Beberapa kalangan mulai jengah dengan keadaan ini, sehingga dimulai lah gerakan ­anti-mainstream. Indie, begitu sebutannya, merupakan singkatan kata dari Independent. ­ Bagaikan ­ angin segar bagi mereka yang lelah mendengarkan bentuk musik yang ‘industrial’ dan ­cenderung berpola sama. Band indie berani menawarkan isu-isu sensitif dalam lirik mereka. Kritik, politik, dan menggelitik adalah kekuatan mereka dalam menyajikan ­ sebuah karya. Bukan karena mereka tidak biasa mengangkat hal yang melankolis, tetapi untuk ­me­ngingatkan saja apa yang lupa dibawakan dalam musik mainstream. The Adams, Orkes ­Moral Pengantar Minum Racun (OM PMR) merupakan segelintir dari nama-nama band ­indie yang telah hadir mewarnai permusikkan negeri. Selain dari segi musik, hal menarik yang patut disoroti adalah penggemar. Bergaya santai, cuek dan didominasi oleh kaum adam. ­ ­Selain itu yang menarik juga adalah ikatan yang kuat antara band dan penggemarnya. Pada ­sela-sela lagu anggota band akan mengajak bercanda penggemarnya, ataupun sengaja tidak menyanyikan lirik lagu sekedar untuk mendengarkan penggemar mereka yang bernyanyi. (Deasilda Amalo) Fotografer: Regy Eka/ Monang Widyoko


LITBANG PANDANGAN MAHASISWA TERHADAP BUDAYA ALTERNATIF DI YOGYAKARTA Bukan hanya dikenal sebagai kota ­pelajar, Yogyakarta juga akrab disapa sebagai kota ­multikultur. Selain budaya asli, budaya asing pun masuk dan berkembang hingga menciptakan bentuk budaya baru yang menarik yang dipahami ­sebagai budaya alternatif. Salah satu rujukan ­ budaya alternatif yang berkembang diantaranya, seni ­ ­mural, musik indie, tempat belajar informal, dan sebagainya. Budaya yang dianggap baru ini kemudian menimbulkan pro dan kontra. Hal ini, membuat Teras Pers tertarik dalam melakukan riset sederhana mengenai perkembangan budaya alternatif di kota Yogyakarta. Teras Pers melakukan wawancara terhadap mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta secara acak. Di antaranya, berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN), dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). F.A. Satria Angga Pratama, mahasiswa UAJY, mengungkapkan bahwa dirinya tidak ­begitu memahami perkembangan budaya ­ alternatif, ­namun kepada Teras Pers ia merujuk pada salah satu bentuknya seperti mural. ­ Baginya, mural ­ ­ merupakan sebuah media yang dapat digunakan sebagai pe­ ­ nyampai aspirasi bagi kaum minoritas.“Banyak yang menggunakan mural untuk menyampaikan ­aspirasinya, seperti street art yang ada di jalanan,” kata Satria (2/9). Senada dengan Satria, Miftahul ­ Jannah, mahasiswa UMY, menilai keberadaan budaya ­alternatif justru membantu menyuarakan ­pendapat orang-orang tertentu. Menurutnya, budaya ­alternatif bisa diterapkan di Yogyakarta asal tidak melanggar norma-norma yang berlaku. “Selama tidak melanggar norma-norma yang ada, sah-sah saja untuk berkembang di sini,” jelas Miftahull. Sementara itu, mahasiswa UIN, Mita ­Karunia, merasa bahwa budaya alternatif ketika budaya lain mulai terancam keberadaannya. “­Budaya alternatif kan budaya yang ada karena menjadi alternatif ketika budaya lain terancam,” ungkapnya. Afini Muslihah, mahasiswa UNY menyatakan meski ia tak begitu paham banyak tentang budaya alternatif, ia mendukung jika

­udaya tersebut berkembang di Indonesia. Sama b halnya dengan budaya lain, budaya ­ alternatif pun juga harus di-filter dan disesuaikan dengan norma yang ada di Yogyakarta. Perspektif kontra pun turut diungkapkan oleh Mayang Pinasthi, mahasiswa ­ UGM. Ia m ­emandang Yogyakarta masih ­ sangat menghargai budayanya sendiri dan budaya ­ daerah lain. Tetapi baginya, budaya alternatif ­ yang dianggap baru belum tepat diterapkan di Yogyakarta. Dari kelima mahasiswa yang Teras Pers ­temui, semuanya memandang budaya ­ alternatif baik adanya ketika budaya tersebut tidak ­melanggar norma. Meski ada yang merasa budaya tersebut tidak cocok untuk Yogyakarta dan ada pula yang merasa budaya alternatif bisa berkembang dengan baik di kota ini. Sehingga baik buruknya budaya, tergantung dari setiap orang yang menerimanya sendiri. Selain itu, Teras Pers juga menyebarkan kuesioner secara acak terhadap mahasiswa di ­Yogyakarta mengenai pandangan mereka terhadap budaya alternatif. Berdasarkan hasil data kuesioner yang Teras Pers bagikan kepada beberapa teman mahasiswa secara online, diketahui sebanyak 54.5% respons mengetahui tentang budaya altrnatif sedangkan 45,5% respons mengaku belum me­ngetahui budaya tersebut. Meski begitu, ditemukan juga hasil sejumlah 80% respons mengaku tidak begitu mengikuti perkembangan budaya alternatif secara baik. Bicara soal budaya alternatif muncul ­sebagai gerakan pendukung suara kaum ­minoritas, menurut hasil kuesioner Teras Pers terdapat 43,8% mengiyakan pernyataan tersebut, sedangkan 56.3% mengaku tidak menyetujuinya. Meski begitu, mereka memiliki beberapa alasan untuk menyatakan ya atau tidaknya. Seperti penilaian bahwa, “Hanya sebagai bentuk perlawanan oleh kaum minoritas. Namun lebih jauh lagi ingin mencoba menghilangkan patokan-patokan yang selama ini ada dan dijadikan sebagai alat mengkebiri segala sesuatu yang tidak diakui oleh mayoritas.” (Monica Kasihana D./ Artyastiani P.)

16

17


komunitas

Berbagi Keriaan Bersama Sekut u Imajiner “Diawali dari sebuah obrolan tengah malam, beberapa anak muda mulai bercerita tentang hal yang membahagiakan juga resah di dalamnya. Dan mereka terbentuk menjadi sebuah sekutu dengan ribuan imajinasi di benaknya.”

Sekutu Imajiner mencoba memberikan ­suasana baru dengan menggabungkan berbagai karya seni dan beberapa acara lainya dalam event perdana mereka, yang diberi nama Pelan Tapi Parti. Acara ini diselenggarakan pada ­bulan Mei 2016, bertempat di rumah Araya ­selaku salah satu anggota di daerah ­Sagan. ­Menghadirkan konsep house gigs dengan ­ menyulap sebuah teras rumah menjadi ­ panggung, sederetan acara mengisi parti ­ untuk mereka penikmat musik, seni rupa, film, sablon, merchandise, kartu tarot ­ hingga angkringan. Pelan Tapi Parti yang digelar ­ semalaman ini kemudian memberikan sebuah ruang alternatif untuk berkumpul, ber­interaksi dan berkesenian bagi anak-anak muda di ­Yogyakarta. “Pelan Tapi Parti dibuat dengan ­konsep one stop entertainment, jadi kami ingin dalam satu tempat banyak hiburan yang bisa temanteman nikmatin di sini. Dan ini yang masih ­jarang kita temui di Jogja. Kebetulan juga kita masih muda jadi semangat buat hal-hal baru kenapa nggak kita kembangin sekalian,” jelas Kevin, salah seorang anggota lainnya.

Genap satu tahun kolektif ini hadir mengisi dinamika sosial-budaya yang ber­ kembang di Jogja, tepatnya akhir ­September 2015. Adalah Sekutu Imajiner, kolektif ­dengan konsen pada budaya alternatif, yang berisi sekumpulan anak muda yang memiliki ­ latar belakang dan minat berbeda-beda. Terbiasa berkarya dengan sepenuh hati, kolektif ini pun jadi cukup diperhitungkan. “Kami kepengin buat sesuatu, karya ataupun event yang ramah dilihat, ramah dikantong dan kita nggak mikir dapat untung berapa, yang ­ penting orangorang pada senang dengan karya kita,” ­ungkap Kevin salah satu anggota Sekutu ­ majiner (26/9). Pada dasarnya, Sekutu Imajiner ­terbentuk dari obrolan tengah malam ­mengenai lokalitas band-band di Jogja juga kebosanan menjadi penonton hingga kegelisahan tentang

belum adanya band yang personilnya me­ rupakan generasi ‘95 ke atas. “Kalau ­nonton konser kadang merasa nggak menikmati full acaranya, karena kebanyakan pengisi acaranya “angkatan tua”, dan mereka udah samasama kenal. Kami ngerasa kikuk dan asing waktu nonton,” jelas Kanosena, salah seorang punggawa Sekutu Imajiner ketika ­menjelaskan cikal bakal berdirinya ­ kolektif ini. Dimulai dari situ, tak selang berapa lama Kaka—begitu ia disapa—berserta teman-temanya berpikir ­untuk membuat acara sendiri dan tetap me­ ngangkat lokalitas di dalamnya. Awalnya musik dan bazar ­merupakan fokus mereka yang pertama dalam ­mengadakan event. Akan tetapi, beberapa ide dan ketertarikan banyak bermunculan dari mereka yang beranggotakan orang-orang multidisipliner. Tak melulu monoton pada satu konsep acara,

18

Meskipun baru genap setahun, kolektif yang beranggotakan Kanosena, ­ Kevin, Ical, Araya, Yoga, Yudis, Akbar dan beberapa nama lainnya tergolong cukup aktif ­ ­ menyelenggarakan acara. Di event selanjutnya, ­ ­ Sekutu ­ Imajiner bekerja sama dengan salah satu ­ Festival Komunitas Seni di Jogja, mengadakan screening film dalam acara Ruang Kasih Tayang yang menayangkan enam film dari beberapa moviemaker. Tak hanya menonton, di sana juga diadakan pameran poster dari para seniman dan properti yang ada di dalam film, dengan tujuan agar penonton dapat merasakan “roh” dari film tersebut.

studio itu sudah layak disebut sebagai studio. Di tengah perkembangan dan ­berbagai macam hal yang kian menuntut, ­ Sekutu ­Imajiner cukup percaya bahwa hidup terlalu singkat untuk tak merasa bahagia. Sejalan ­ dengan misinya untuk menciptakan wahana keriaan berbasis kekeluargaan, maka dalam setiap acaranya mereka selalu membawa ­semangat itu. Sekumpulan anak muda ini juga mengakui bahwa mereka dipersatukan ­karena ­kolektifitas yang diawali dari teman-main dengan selera humor yang sama. ­“Sebenarnya kami nggak punya pengalaman buat acara, kami juga beda kampus, beda interest, beda disiplin ilmu, beda karakter. Tapi kami punya satu persamaan, sama-sama suka bercanda dan itu yang membuat kami semakin utuh,” terang Kaka sembari tertawa. Ke depan, bermacam aktivitas yang dilakukan Sekutu Imajiner ­ diharapkan dapat menjadi ruang bagi anak muda di ­ Yogyakarta untuk lebih berani berkarya dan ­ mengeskpresikan diri “Lewat acara Sekutu ­ Imajiner, kami ingin menjadi saksi dan wadah bagi terbentuknya seniman, moviemaker dan musisi baru,” tutup Kevin. (Ayumi Danuswari)

Selain membaurkan berbagai ­ unsur seni di setiap kegiatannya, di bulan yang sama yaitu Agustus 2016 mereka menggelar sebuah acara bernama Studio Banding ­dengan menghadirkan beberapa band Indie untuk ­ tampil di Studio Gigs di Jogja, seperti Srirati Dharma, Temaram, Marsmolys, dan The Sailor & The Wave. Nantinya diharapkan acara Studio Banding seperti plesetan istilah aslinya yaitu Studi Banding dapat mengunjungi beberapa studio di Jogja dan membandingkan apakah

19


SEKITAR KITA ­ olitik UAJY, yang kerap disapa Siska, bersedia P menceritakan pengalaman buruknya berkaitan dengan isu keamanan Babarsari. Kejadian tidak mengenakkan tersebut dialaminya ­sekitar ­bulan April 2016 lalu. Ia ­menceritakan kronologi demi kronologi kejadian kepada awak Teras. “Awalnya aku lagi tidur siang, ­terus ­tiba-tiba ada yang ngetok pintu kosan, lalu aku keluar dan tiba-tiba dia langsung ­nonjok, aku mau ngelawan tapi gak bisa, terus dia kabur,” kata Siska.

Babarsari Gotham City, benarkah? Ilustrasi oleh Adi Surya Samodra

Babarsari kembali bergejolak, isu keamanan lagi-lagi dipertanyakan. ­ ­ Setelah hampir beberapa tahun daerah ini jauh dari kata “kejahatan”. Kini kita kembali harus mendengar kata tersebut. Babarsari Gotham City, sebagian besar dari kita mahasiswa yang tinggal di Babarsari, maupun ­berkampus di ­ Babarsari dan sekitarnya, pasti pernah mendengar kalimat itu. Ya, kalimat itu ­berasal dari sebuah kota dalam sekuel superhero ­Batman yaitu Gotham City. Singkat cerita kota tersebut selalu penuh dengan kejahatan, dan sering juga disebut sebagai kota-nya para penjahat. Lantas, mengapa kata Gotham City kini dikait-kaitkan dengan Babarsari? Pantas kah Babarsari menerima selipan kata itu? Usut punya usut, kata “Gotham City” tersematkan karena akhir-akhir ini dalam rentang waktu satu tahun, daerah Babarsari dipenuhi dengan tindak kejahatan. Tak bisa di-

pungkiri, banyak dari mahasiswa yang ­tinggal maupun beraktivitas di sekitaran ­ Babarsari merasa khawatir. Bagaimana bisa area yang sejatinya merupakan area pendidikan, di mana berisikan banyak Universitas, dan juga sarana pembelajaran lainnya ini bisa ­ dikategorikan sebagai daerah yang identik dengan tindak ­kejahatan. Kita sebagai bagian dari civitas ­akademika Universitas Atma Jaya ­Yogyakarta (UAJY), patut pula peka terhadap isu ­keamanan yang menimpa Babarsari ini. ­ Selain berada pula pada lingkup daerah Babarsari, ternyata ada pula mahasiswi UAJY yang ­pernah menjadi korban terkait isu ini. Teras Pers berhasil mewawancara dua orang korban yang mengalami kejadian naas tersebut. Franciska Oktaviani, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

20

Setelah kejadian itu, Siska sempat melapor ke Polsek Depok Barat, namun hingga kini tidak terurus kasusnya, lantaran sulitnya mencari pelaku. “Ya aku sempat ke polisi ­karena disuruh temanku, kan wajahku waktu itu kena tonjok, tapi dari polsek minta aku buat surat dulu ke rumah sakit, tapi abis ngurus ke rumah sakit, terus ke polisi lagi, ­ sampai sekarang tidak diurus,” lanjutnya. Selain Siska, ada satu lagi mahasiswa UAJY yang enggan disebutkan namanya, juga mengalami hal serupa. Kejadian itu terjadi sekitar Juli 2016 dini hari, narasumber sedang berjalan pulang ke kosnya di daerah Tambak Bayan, lalu digoda oleh seorang pemabuk. Meski tidak terjadi tindakan yang tidak ­diinginkan, namun tetap saja membuat rasa cemas narasumber ketika itu. Tindak kejahatan di Babarsari yang menimpa Siska dan narasumber lain, patutnya menjadi perhatian bagi semua pihak, baik dari mahasiswa, warga sekitar, kampus, dan yang terpenting pihak keamanan (berwenang). Pihak berwenang sejatinya mengamankan ­beberapa titik lokasi yang sering terjadi tindak kejahatan. Namun begitu, ketika awak Teras Pers menyambangi kantor Polsek Depok Barat ­ lantaran ingin mendapat informasi ­seputar keamanan Babarsari, tidak ada satupun ­ informasi yang didapat karena masalah birokrasi. Akhirnya awak Teras Pers mencari informasi ke Kantor Kecamatan Depok untuk memperoleh informasi seputar keamanan di wilayah Babarsari. Awak Teras Pers berhasil me­ wawancarai Aris Widiyantara selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ­Kecamatan Depok terkait isu keamanan yang terjadi di daerah Babarsari. Ketika ditanya

mengenai jumlah kriminalitas di Babarsari, Aris berpendapat bahwa Babarsari dan ­sekitarnya merupakan daerah paling rawan akan tindak kriminalitas dibandingkan dengan daerah di Kecamatan Depok yang lain. “Jadi, memang, paling banyak itu kejadian disekitaran Tambak Bayan, Babarsari dan Seturan.” jelas Aris. Berdasarkan data lansiran ­Kecamatan Depok, dalam enam bulan terakhir, ­ terjadi sepuluh tindak kriminalitas di Babarsari dari jumlah total 40 tindak kriminalitas di Kecamatan Depok bagian Barat. Rata-rata ­ tindak kriminal yang paling sering terjadi ­ adalah pencurian kendaraan dan gadget ­ ­untuk kejahatan pidana serta tawuran untuk kejahatan perdata. Korban dan tersangka ­ yang terlibat kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Aris mengakui bahwa tempat yang paling diincar untuk melakukan kriminalitas adalah ­rumah kost. Terkait dengan upaya pencegahan dan penanggulangan kriminalitas, Aris juga menghimbau jika terjadi tindak kriminalitas harus segera dilaporkan kepada polsek di daerah tersebut. Atau bisa lewat Bhabinkamtibmas. Untuk masing-masing polsek mengirimkan dua Bhabinkamtibmas. Begitu pun degan koramil, mengirim dua Babinsa. “Kalau mengalami tindak kejahatan bisa langsung menghubungi satuan tersebut, agar penanganannya lebih mudah dan cepat,” tambahnya. Meskipun sudah tersedia ­ berbagai layanan untuk menjamin keamanan di ­ daerah Babarsari, pada akhirnya, keamanan ­ ­lingkungan juga menjadi tanggung jawab bersama. Masyarakat tidak boleh ­ meremehkan keadaan dan bersikap sembrono. Polisi dan pihak berwenang lainnya juga ­ diharapkan tanggap dalam menerima laporan dan ­ keresahan masyarakat agar masalah dapat ­ dengan cepat diselesaikan. (Nicholas Ryan Aditya/ Ardelia Karismurti)

21


SUDUT tergantung tahun berapa, media apa, dan jenis media cetak apa yang ditulis,” ­jelasnya saat ditemui di ruang kerja. Perbedaan jumlah kontraprestasi juga ditentukan sesuai dengan turunnya SK dan jenis media yang digunakan. Saat ini sudah turun SK terbaru yakni mulai berlaku sejak Mei 2016.

Ilustrasi oleh Adi Surya Samodra

Prosedur Kontraprestasi: Kurangnya Sosialisasi “Saya tidak tahu menahu ­ adanya ­kontraprestasi. Kalau mahasiswa yang ­menulis di media bisa dapat kontraprestasi, kan ­lumayan juga dapat uang,” begitu ujar Maria Atika, salah satu mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya (UAJY) yang beberapa kali kerap menulis di media cetak. Ketidaktahuan beberapa mahasiswa mengenai kontraprestasi bukanlah hal yang utama. Ketidakjelasan jumlah kontraprestasi yang didapatkan oleh mahasiswa pun juga menjadi problematika kebijakan yang telah dibuat. Hal ini dialami oleh Epin Solanta yang akrab disapa Epin. “Ya, benar, saya sempat mendapat ­kontraprestasi

dengan jumlah yang berbeda setiap kali menulis, namun masalah ini sudah selesai karena adanya perubahan SK,” kata Epin, Senin (3/10). Awak Teras Pers kemudian ­mencari tahu tentang kebijakan mengenai ­ kontraprestasi atau insetif kepada mahasiswa yang aktif menulis di media, khususnya media cetak. Ketidakjelasan jumlah kontraprestasi yang diberikan semata-mata ditakis oleh Vita Noor Prima Astuti, M.Hum, Kepala Kantor ­Humas, Sekretariat, dan Protokol (KHSP) UAJY. “Jumlah kontraprestasi yang diberikan oleh KHSP

22

Setiap jenis media yang ditulis me­ miliki kontraprestasi yang berbeda-beda pula. Jika menulis di koran nasional akan ­mendapatkan kontraprestasi sebesar Rp. 700 ribu. Kemudian, untuk di koran lokal ­sebesar Rp. 400 ribu. Sedangkan, jika ­ menulis di tabloid akan mendapat sejumlah Rp. 500 ­ ribu. “Media cetak yang dipublikasikan juga akan disaring terlebih dahulu, karena jumlah ­kontraprestasi akan menentukkan media cetak yang ­kredibel atau tidak,” tutur Vita. Media cetak yang terbilang newbie atau masih baru jelas dirasa kurang kredibel dan bahkan tidak akan diberikan kontraprestasi bagi ­penulisnya.

ada prosedurnya,” tegas Vita ­kembali. Kurang efektifnya sosialisasi atas kontraprestasi tersebut juga menimbulkan ­ ketidakjelasan bagaimana seharusnya mendapatkan ­kontraprestasi, berapa jumlah kontraprestasi, dan apa syarat-syarat penulisan. Berkaca lagi, bahwa kebijakan dibuat bukan hanya demi kepentingan yang ­ membentuk, tetapi juga bagi yang menganutnya. ­ Kebijakan kontraprestasi diadakan sebagai bentuk penghargaan dan ­ kerinduan untuk menyulut mahasiswa agar ­ lebih aktif menulis. “Semoga dengan ­adanya informasi soal kontraprestasi ini dapat mencerahkan kekeliruan persepsi mahasiswa mengenai kontraprestasi, selain itu juga memberi motivasi mahasiswa untuk aktif menulis di media,” tutup Vita dengan senyum hangat. (Ryan Sara Pratiwi)

“Mahasiswa yang menulis di media pun memiliki banyak syarat-syarat agar bisa mendapatkan kontraprestasi,” ­ ungkapnya, Selasa (4/10). Syarat-syarat yang perlu ­ ­dipatuhi ­adalah mahasiswa yang menulis adalah ­ mahasiswa aktif UAJY. Penulisan harus ­ilmiah, bukan berita dan harus ­dipublikasikan pada kolom khusus opini. Tulisan beraroma motivasi dan pendapat yang dilandaskan ­ pada teori. Pemberian kontraprestasi ini pun dibatasi hanya satu nama per bulannya, dan pengajuan maksimal satu tahun dari tanggal dipublikasikannya tulisan tersebut. ­ ­ “Dengan terbatasnya dana kontraprestasi yang diberikan, maka penulis yang mendapatkan ­ kontraprestasi pun juga dibatasi,” katanya lagi. Lika-liku kontraprestasi ini pun sebenarnya perlu diperhatikan. “Pihak KHSP ­ pun sudah menyerahkan sepenuhnya hal-hal seperti ini kepada unit-unit dekanat di tiap fakultas untuk disosialisasikan,” kata Vita. Protes dan kritik sudah menjadi makanan sehari-hari, akibat mahasiswa yang kurang memperhatikan prosedur dan sikap acuh tak acuh terhadap kebijakan yang ada. “Protes itu sering terjadi, apalagi karena sebenarnya ada mahasiswa yang tidak ­mendengarkan, ­padahal

23


sosok

KOMIK

BERTUKAR TANGKAP DENGAN ZEN RS Nama lengkapnya Zen Rahmat Sugito. Zen RS, begitu ia biasa mendaku dan mengada lewat tulisan-tulisannya. Pria yang sejak 1988 tumbuh besar di Cirebon ini sedang mampir di Yogyakarta untuk menghelat diskusi bukunya yang ter-anyar, “Simulakra Sepakbola”. Isinya adalah antologi esai sepakbola yang selama ini ia tulis, baik yang sudah pernah diedarkan maupun yang belum. Memang bagi mereka yang tak akrab betul dengan sepakbola dan yang tak dalam betul menyelami kepenulisan, bisa jadi merasa asing dengan nama Zen. Seikat pula dengan itu, bisa jadi juga merasa asing dengan esai sepakbola. Zen pun mengamininya. Bahkan ia pun membagikan cerita bahwa tidak jarang ia ­berhadapan dengan orang-orang yang ­mendebat dan memandang konyol tulisan sepakbola. ­Kebanyakan dari mereka berujar bahwa esai sepakbola tak lebih dari suatu usaha untuk meng-hiperbola-kan sepakbola. “Saya pernah bertemu dengan seorang anak yang esok harinya akan menghadapai ujian akhir nasional. Tapi di hari Minggu ia memilih untuk menempuh perjalanan sejauh 50 km dengan mobil bak terbuka hanya demi nonton Persib B ­ andung.” Zen lantas melanjutkan, “Lewat peristiwa itu, semakin tegas bahwa sepakbola sudah menjadi gejala dan fenomena sosial. Sehingga akan kelewat sayang bila diabaikan dan tak dicoba untuk lebih dalam ditinjau,” tegasnya. Zen mengenang bahwa di tahun kedua, ketika ia mengenyam pendidikan Sekolah Dasar ­ (SD), sejatinya langkah di ranah kepenulisan sepakbola sudah ia rintis. Pertandingan sepakbola antar kelas yang hadiahnya setandan pisang, ­ditulis olehnya sebagai pengalaman di buku catatan. “Kebetulan waktu itu disimpan oleh ibu,” kenang Zen. Dirinya semakin getol dengan kepenulisan sepakbola, ketika ia merantau ke Yogyakarta untuk ­melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi negeri. Masa-masa kuliah itulah, ketika ia begitu dekat dengan dunia gagasan dan ide, Zen mulai mengeksplorasi tulisannya.

secara mengejutkan mengandaskan tim-tim kuat hingga meraih trofi EURO 2004 itulah yang diolah dan dikristalkan oleh Zen dalam esainya yang berjudul “Pragmatisme Sepakbola sebagai ­Keindahan yang Lain”. “Bisa dibilang itu adalah awal saya benar-benar serius menulis sepakbola,” tukas Zen. Lantas ketika Zen tinggal berkeluarga di Bandung, ia bertemu dengan kawannya yang memiliki spirit dan visi yang sama tentang kepenulisan ­sepakbola. Lantas mereka menginisiasi salah satu situs ­alternatif yang menampung football writing bernama ­panditfootball.com Kini kepenulisan sepakbola di ­ Indonesia lantas menemukan tantangannya. Media yang me­ ngalir dalam jaringan internet, menurut Zen, menawarkan keuntungan sekaligus muslihat yang dapat membuat kepenulisan sepakbola mandeg, sekedar sebagai gaya hidup bila tak diolah. Kini ia harus bisa inklusif dan meliterasi para pecandu sepakbola, utamanya supporter klub lokal. Fungsi itu tidak main-main ketika kondisi persepakbolaan di Indonesia masih bobrok-bobrok saja. “Selama ini pengelolaan informasi mengenai sebuah klub di ­Indonesia tidak fair karena dikooptasi oleh elit klub itu sendiri,” papar Zen. Banyak kasus bagaimana perubahan dapat didorong dari luar dan hal ter­sebut menjadi tantangan football writing sebagai salah satu sumber literasi sepakbola. “Sekarang tinggal bagaimana supporter di tribun terliterasi. Selama ini supporter buta tentang proses p ­ atgulipat yang terjadi di klub. Penting sekali literasi sepakbola masuk kesana,” tutup Zen. (Aloysius Bram)

Hingga sampailah di tahun 2004. Ketika salah satu media dalam jaringan yang menjadi langganan esai-esai Zen tayang, membuka rubrik Bola Kultural. “Lantas saya bilang, pengen ­nulis di situ,” tukas Zen percaya diri. Itu karena ia merasa bisa menulis dan sepakbola pun ia khatam. ­Sehingga jadilah ia menulis. Momen ketika Yunani

Ilustrasi oleh Adi Surya Samodra

24

25


26

Salah satu pengunjung sedang melihat-lihat kaset dan piringan hitam di salah satu lapak dalam Cassette Store Day 2016 di Bentara Budaya ­Yogyakarta (8/10) Fotografer: Gregorius Dimas B.

KOMIK

Ilustrasi oleh Adi Surya Samodra



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.