4 minute read

Suara Terbungkam, Nasib Pedagang Terlupakan

Pasar darurat yang dihuni sekitar 20 pedagang mebel itu tampak sangat sepi dari pengunjung. Bahkan hanya ada tiga pedagang yang berjaga di kios masing-masing. Salah satunya Mebel Ny. Arris yang keluarganya termasuk salah satu pendiri pasar mebel pada 50 tahun lalu. Diwakili anaknya, Afifah, mereka termasuk salah satu yang menolak pembangunan Industri Kecil dan Menengah (IKM).

Alasan penolakan tersebut, Afifah menjelaskan perjuangan mendirikan pasar mebel bukanlah hal mudah. Dari bergotong royong membabat alas hingga sempat bangkrut karena insiden kebakaran yang terjadi beberapa tahun lalu. Tentu menimbulkan luka batin tersendiri di hati mereka. Selain itu, alasan lain penolakannya yakni sosialisasi dari pemerintah yang dirasa kurang transparan karena melibatkan sebagian pedagang yang ada. Hal itu menimbulkan kekecewaan bagi sebagian pedagang yang tidak ikut dilibatkan dalam perbincangan.

Advertisement

Mereka tiba-tiba mendapatkan surat berisi tanda tangan yang menjadi persetujuan relokasi pasar. Akibat sosialisasi yang terbatas, kesalahpahaman antara pedagang dan pihak pemerintah pun terjadi. Pedagang berbondong-bondong menggelar penolakan ke Kantor Pemerintah Kota Surakarta di Jl. Sudirman, pada 5 Januari 2022 lalu. Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa dan Kepala Dinas Perdagangan Kota Surakarta Heru Sunardi mengadakan audiensi yang dihadiri 10 perwakilan paguyuban pasar mebel. Audiensi yang berjalan sekitar dua jam tak membuat niat pemerintah merelokasi pasar terhenti. Pemerintah menganggap pedagang membangkang dan tak manut program pembangunan. Spanduk bertuliskan “pemilik mebel” yang masih terbentang di depan kios diturunkan polisi. Penggusuran terus berjalan dan pedagang terpaksa meninggalkan pasar pada Senin, 23 Mei 2022 lalu.

Bukan hanya pemerintah yang menganggap pedagang membangkang, komentar nyelekit dari pemberitaan di kanal YouTube Berita Surakarta ikut mengintimidasi.

“Aneh. Mau diperbaiki dan ditingkatkan penghasilannya kok nolak, berfikir logika dong, nanti nyesel. Pak wali itu orangnya terbuka, seharusnya dibicarakan dengan baik, jangan emosi dan buruk sangka,” tulis akun PuXXX pada Februari lalu.

Komentar lain dari GoXXX mengatakan, “Di atur ora gelem, iku dipindah sementara, maringono mbalik neh, pikirane cekak [Diatur tidak mau, itu dipindah sementara, nanti juga bisa kembali, pikirannya pendek].”

Komentar tersebut menyudutkan pedagang yang tergusur, menganggap mereka tak mau diajak maju. Padahal pembangunan IKM hanya menguntungkan sebagian pedagang dan merugikan lainnya. Hanya 20 orang dari total 80 pedagang yang bisa kembali ke pasar mebel. Saksi perjuangan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup.

“Digusur dan tidak boleh kembali lagi, ya secara tidak langsung pasar ini mau dimatikan,” ujar Afifah pada Senin, 19 September lalu dengan raut wajah memerah karena kesal mengingat kejadian kala itu.

Bukan Pasar Biasa

Pedagang lain yang juga menyayangkan keputusan pemerintah dalam pembangunan Sentra IKM ini, yakni Sutini, 57 tahun. Dia membuka kios di Pasar Mebel Gilingan sejak tahun 1983. Pasar Mebel Gilingan di mata Sutini bukan lagi kompleks pasar. Di dalamnya terjalin hubungan kekeluargaan dan kehidupan bertetangga yang harmonis.

“Kalau hanya pasar, ya bukan. Kami di sini sampai punya RT dan RW,” ujarnya.

Sejalan dengan penjelasan Afifah sebelumnya. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah diakuinya belum dilakukan secara menyeluruh. Ada pedagang yang tidak sepenuhnya memahami maksud pemindahan pasar ini. Mereka terpaksa menandatangani surat persetujuan dengan dalih supaya segala urusan segera diselesaikan. Sosialisasi memang dilakukan berulang kali bahkan dibarengi dengan audiensi. Namun, hal ini tidak menutup fakta bahwa tidak semua pedagang menangkap tujuan utama pemindahan pasar mebel serta alasan di baliknya.

Selain itu, pedagang juga tidak memiliki kewenangan apa-apa. Sehingga satu-satunya tindakan yang bisa ditempuh adalah mengikuti seluruh arahan pemerintah. Mau tidak mau membuka kios baru di Pasar Darurat yang terletak di Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari.

Sutini menambahkan, setelah dipindahkan ke Pasar Darurat, jumlah pengelompokan kios semakin diperkecil. Pedagang yang semula memiliki tiga kios, hanya difasilitasi dua kios. Begitu pun pedagang yang memiliki lima kios, kini hanya dapat membuka tiga kios. Hal itu dilakukan lantaran keterbatasan tempat.

Dituntut Produksi Sendiri

Pukul 10.00 WIB, di pasar darurat kedua, tepatnya berada di seberang pasar darurat yang dihuni Afifah dan Sutini. Lelaki berbaju biru 50-an tahun itu bersedia menanggapi permasalahan pembangunan IKM ini. Pak Kelik, begitulah ia sering disapa.

Kelik mengaku sudah menempati pasar selama 25 tahun. Ia ikut kecewa dengan program pemerintah. Menurutnya sosialisasi yang dilakukan mendadak, belum selesai tawar menawar dan menghasilkan kesepakatan, tetapi sudah dieksekusi. Dampaknya adalah pendapatan yang menurun drastis.

“Pasti berubah, ini kan area baru jadi harus memberi tahu pelanggan kalau kita pindah,” terangnya sembari duduk.

Dirinya mengaku bersedia untuk dipindah, tetapi pembangunan di pasar yang baru diselesaikan terlebih dahulu. Harapannya hanya meminta pemerintah untuk prihatin dan peduli dengan masyarakat.

Kemudian Kelik menjelaskan bahwa sentra IKM fokus pada tahap produksi. Sehingga diharapkan setiap usaha mempunyai brand sendiri. Mulai dari pemilihan kayu, pemecahan kayu, pembuatan desain, finishing, packing, sampai marketing karena tujuannya untuk ekspor. Namun, hal ini tidak sesuai dengan keadaan pedagang di mana mereka hanya kulakan (menerima produk langsung jadi) lalu dijual kembali.

Meskipun demikian, pedagang akan mendapatkan pembekalan seperti teori pemasaran luar negeri dan kualitas mutu. Sementara bagi yang tidak masuk nantinya, akan dibuatkan pasar di Bong Mojo.

Kelik mengaku dengan adanya tahapan penjaringan, tidak semua pedagang akan tertarik untuk masuk. Alasannya karena modal yang diperlukan juga sangat besar. Ia menuturkan, “Melihat kemampuan saya sendiri, baik keahlian atau modal, saya tidak mampu. Sehingga pembekalan ini diikuti anak saya. Perdagangan ke luar negeri itu kan butuh keahlian macam-macam dari surat-menyurat maupun bahasa. Saya sudah nggak mau rekoso mempelajari hal ini.”

Selain pembekalan, pemerintah juga memberikan kompensasi berupa pasar darurat dan tidak ada pungutan retribusi. Meskipun ketersediaan listrik masih terbatas dan pedagang terpaksa harus menerima. Jika mau memasang sendiri, biaya yang diperlukan selama satu setengah tahun dirasa ma hal, terlebih dalam kondisi yang tidak stabil saat ini.

Korban Kebijakan Pemerintah

Audiensi yang digelar bersama di Kantor Pe merintah Kota Surakarta, salah satunya dihadiri oleh Sutarmi, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Mebel. Wanita yang akrab disapa Nyemuk itu melakukan aksi protes dengan menulis surat penolakan ke Dinas Perdagangan Surakarta, Dinas Tenaga Ker ja dan Perindustrian Surakarta, Pemasangan spanduk di Kawasan sekitar Pasar Mebel, hingga audiensi. Namun, semuanya tak membuahkan hasil.

“Melawan kebijakan pemerintah merupakan suatu yang sulit, terlebih bagi warga yang tidak memiliki kekuasaan, seringkali mustahil untuk menang. Pedagang pun tergusur dan terpaksa untuk pindah ke Bong Mojo, lokasinya juga masih ham paran tanah bekas makam Tionghoa,” terangnya sambil memandangi span duk pembangunan IKM yang terben tang tepat di seberang rumahnya.

Pembangunan Sentra IKM yang menelan anggaran miliaran ini memang mempunyai tujuan mendorong kesejahteraan masyarakat. Pelaku industri mebel yang tergusur boleh kembali dengan melewati tahap kurasi. Namun, Nyemuk meyakini bahwa sedikit yang berniat untuk masuk sebab modal yang dibutuhkan jauh lebih besar, standar operasional yang diterapkan sulit, dan kesulitan mengoperasikan sarana dan prasarana yang lebih modern dari sebelumnya.

Pasar mebel pada dasarnya adalah pasar tradisional yang harus dipertahankan ciri khas kearifan lokalnya. Sedangkan, pasar mebel yang dibangun untuk dijadikan sentra IKM, tentu berbeda. Oleh karena itu, Nyemuk menganggap program yang dicanangkan pemerintah kurang tepat untuk diterapkan di lokasi Pasar Mebel Gilingan.

“Ibu jualan ini sudah 30 tahun. Kebiasaan kita kan seperti ini, sebetulnya tujuannya (pembangunan IKM) itu bagus, tapi saya pribadi tidak mampu. Kita itu ibarat ikan air tawar yang dipindah ke air laut, ya tidak bisa. Sebenarnya programnya Pak Wali itu bagus, cuma menurut saya salah tempat,” ujarnya kecewa.

Nyemuk menambahkan apabila para peda

This article is from: