FLIPBOOK

Dosen Pengampu: Abu Amar Bustomi, M. Si.
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2024
Dosen Pengampu: Abu Amar Bustomi, M. Si.
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2024
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan buku ini guna memenuhi tugas mata kuliah “Media dan Kritik Sosial”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Abu Amar Bustomi, M.Si selaku dosen pengampu. Tak lupa teman-teman dan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini. Dan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, mohon kritik dan sarannya agar lebih baik kedepannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan serta pengetahuan bagi pembacanya.
Surabaya, 14 Desember 2024.
Disinformasi di Media Sosial Terkait Teori Konspirasi Mainan Latto-Latto Naufal Hani Musyaffa (04020522071)
Di era digital saat ini, disinformasi telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat. Penyebaran informasi yang salah, atau hoaks, sering kali terjadi melalui media sosial, yang menjadi platform utama untuk berbagi berita dan informasi. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia, Facebook adalah platform yang paling sering digunakan untuk menyebarkan hoaks, dengan persentase mencapai 55,9% pada tahun 2022 1. Dalam konteks ini, salah satu contoh menarikdaridisinformasi adalahteorikonspirasiyangmunculseputarpermainantradisional latto-latto.
Disinformasi dapat didefinisikan sebagai penyebaran informasi yang salah dengan tujuan menipu atau memanipulasi opini publik. Di Indonesia, hoaks sering kali berkaitan dengan isu kesehatan, politik, dan pemerintahan. Penelitian menunjukkan bahwa selama periode2018hingga2023,terdapatlebihdari12.500kasuskontenhoaksyangteridentifikasi 2. Penyebaran informasi yang salah ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap media dan pemerintah, tetapi juga dapat menyebabkan kepanikan dan ketidakpastian.
Permainan latto-latto, yang melibatkan dua bola yang diikat dengan tali dan menghasilkan suara ketika dimainkan, telah menjadi tren di kalangan anak-anak dan remaja. Namun, di balik popularitasnya, muncul klaim-klaim aneh yang mengaitkan permainan ini dengan Illuminati dan Freemason. Beberapa unggahan di media sosial bahkan menyatakan bahwa kata "latto-latto" dalam bahasa Ibrani berarti "aku Yahudi". Klaim ini jelas tidak berdasar dan menunjukkan bagaimana disinformasi dapat merusak pemahaman masyarakat tentang budaya lokal.
Para ahli menjelaskan bahwa kata "latto" berasal dari bahasa Makassar yang berarti suaradariduabendayangbertabrakan.Teorikonspirasiinimunculsebagai responsterhadap kecemasan masyarakat terhadap fenomena baru dan menunjukkan bagaimana informasi dapat disalahartikan untuk menciptakan ketakutan.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo telah mengambil langkah-langkah untuk melawan penyebaran hoaks. Ini termasuk peningkatan literasi digital masyarakat melalui Gerakan Nasional Literasi Digital dan kolaborasi dengan komunitas lokal untuk menyebarkan informasi yang benar 3. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk selalu
mengecek kebenaran informasi melalui sumber-sumber terpercaya sebelum mempercayai atau membagikannya.
Disinformasi di media sosial adalah masalah serius yang memerlukan perhatian bersama dari pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat. Kasus latto-latto menunjukkan bagaimana teori konspirasi dapat muncul dari ketidakpahaman dan ketakutan terhadap hal-hal baru. Dengan meningkatkan literasi digital dan kesadaran akan pentingnya verifikasi informasi, kita dapat bersama-sama melawan penyebaran hoaks dan menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat.
Menarasikan Disinformasi Media Sosial (Lowongan Kerja Bodong) Niken Syaharani (04020522072)
Kalian pernah mendapatkan atau bahkan hampir tertipu dengan info lowongan kerja bodong? saat ini media sosial dapat dengan mudah menyebarkan segala informasinya termasuk mengenai lowongan kerja, dan setiap pengguna memiliki kesempatan yang sama untuk menyebarkaan infomasi, itu merupakann salah satu faktor informasi di media sosial berpotensi memiliki tingkat kepalsuan yang tinggi. Penipuan online merupakan kejahatan yang marak terjadi saat ini. Pengguna internet yang semakin meningkat ternyata membuka kesempatan yang lebih besar bagi para penipu online untuk mendapatkan uang atau keuntungan dari internet (Dirman & Cornelis, 2023). Ada banyak sekali pengguna internet yang mencari peluang melalui bisnis online, dan ini memberikan ide bagi para scammer (pelaku penipuan berbasis online) untuk meraup keuntungan. Ada banyak modus penipuan di dunia maya, mulai dari toko online hingga penawaran bisnis online. Penipuan yang berkedok bisnis online dapat tersamar dengan sangat baik, bahkan orang yang sudah sering bermain internet tidak sadar bahwa dia sedang tertipu.
Informasi palsu yang disebarkan secara sengaja di media sosial merupakan disinformasi media sosial, karena semakin maraknya penipuan yang berbasis online apalagi tentang informasi lowongan pekerjaan, yang target penipuannya adalah para pencari kerja yang mereka pasti sedang membutuhkan uang, untuk itu berikut adalah ciri-ciri lowongan kerja bodong yang perlu kalian waspadai :
1. Pekerjaan yang ditawarkan terkesan tidak penting dan sepele, para pekerja seperti tidak mengeluarkan usaha dalam melakukan pekerjaan tersebut, contohnya adalah jasa balas chat, jasa rating produk dan pekerjaaan semacamnya yang rata-rata dapat dilakukan secara work form home
2. Pekerjaan tersebut mengarahkan kalian untuk melakukan pembayaran, seperti dengan alasan biaya administrasi, transport atau seragam. Yang pada saat itu kalian masih belum diterima secara resmi di pekerjaan tersebut, pokoknya kalo disuruh bayar uang duluan jangan mau deh !
3. Gaji yang mereka tawarkan sangat besar bahkan melebihi rata-rata gaji dengan pekerjaanyangserupa,contohnyadalamlowonganpekerjaantersebutterteragaji cleaning servis di 5jt ++, kalian perlu mewaspadai ya
4. Alamat pekerjaaan tidak sesuai bahkan tidak tertera di google maps, jadi usahakan sebelum melamar pekerjaan, kalian mencari informasi mengenai
perusahaan tersebut, bisa lewat sosial medianya, linkdin perusahaan serta lokasi tepatnya dii google maps.
Nah itu dia beberapa tips untuk menyeleksi lowongan pekerjaan di sosial media ya, jika kalian sudah pernah tertipu atau hampir saja tertipu dengan lowongan kerja bodong,kalian bisa segera melaporkannya di kepolisian, karena pelaku dapat terkena tindak pidana karena telah
melangar Pasal 378 KUHP yang menjadi landasan hukum pidana Indonesia melarang terjadinya tindak pidana penipuan (Nurrazaq & Setyorini, 2024), yang menyatakan bahwa "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Buatkalianparapejuangpencarikerja,tetapsemangatdantetapselektifdalammelamar pekerjaan ya, jangan sampai dengan niat mencari kerja agar untung malah menjadi buntung.....
Terima kasih -!
Disinformasi Mengancam Kesehatan Nisrina Nandita (04020522073)
Arus perkembangan teknologi di zaman sekarang sangatlah pesat, media sosial saat ini seakan menjadi hal yang tidak bisa terpisahkan dari rutinitas sehari-hari. Beragam topik berita, informasi maupun cerita pribadi ada dalam satu platform dan terus menghasilkan informasi terbaru. Dibalik berita atau informasi yang selalu update menimbulkan suatu ancaman yang cukup serius, yaitu disinformas. Mengutip dari kompas, disinfomasi adalah informasi yang keliru, dan orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap menyebarkannya. Berbeda dengan misinformasi, yang merupakan kesalahan informasi tanpa niat buruk, disinformasi dirancang untuk mengelabui orang.
Fenomena ini memberikan tantangan terbesar masyarakat saat ini. Berita hoax menyebar begitu cepat sehingga masyarakat sulit membedakan antara fakta dengan fiksi. Penyebaran informasi palsu ini berakibat merusak tatanan sosial, seperti infomasi hoax terkait isu politik, konflik sosial, terutama kesehatan yang sering membuat publik banyak mengalami kesalahpahaman bahkan perpecahan. Adanya kasus pandemi COVID-19 kemarin menjadi contoh adanya kericuhan yang disebabkan oleh krisis kesehatan yang belum terjadi ditambah dengan munculnya berita teori konspirasi vaksin.
Tuduhan yang cukup menggemparkan adalah adanya microchip dalam kandungan vaksin COVID-19. Pernyataan yang tidak berdasar ini sangat cepat menyebar di semua platform media sosial dan membuat banyak masyarakat yang menolak vaksinasi, yang berakibat tidak hanya individu yang terpapar tetapi seluruh komunitas yang bergantung pada herd immunity. Hal ini menunjukkan seberapa bahayanya disinformasi pada hidup masyarakat. Banyak pengguna media sosial yang hanya menerima semua informasi mentah-mentah, tanpa ada tindakan memverifikasi kebenaran informasinya, juga didukung dengan algoritma media sosial yang cenderung menampilkan informasi sensasional dengan cepat dan akhirnya informasi palsu lebih dominan dibandingkan informasi fakta. Maka yang perlu dilakukan adalah adanya peran edukasi yang melawan disinformasi. Hal ini tidak bisamenajadi lebih baik jika hanya bantuan dari beberapa individu. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, akademisi, dan juga organisasi masyarakat. Selain itu, sebagai pengelola wilayah digital, mereka memiliki sumber daya untuk penekanan penyebaran hoax.
Disinformasi adalah tantangan besar di era digital yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak individu, pemerintah, dan platform media sosial. Dengan meningkatkan literasi digital dan kesadaran akan bahaya disinformasi, kita dapat bersama-sama membangun
masyarakat yang lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan. Perlu diingat bahwa melawan disinformasi tidak hanya tentang membela kebenaran, tetapi juga melindungi kehidupan bersama. Setiap langkah kita yang melawan disinformasi adalah salah satu upaya melindungi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat bersama.
Disinformasi di Media Sosial dalam Perspektif Teori Kritik Sosial
Nur Wachid Haidar Farras (0402052207)
Media sosial adalah ruang yang menghubungkan kita, tetapi juga menjadi ladang subur bagi disinformasi. Berita palsu, teori konspirasi, dan narasi manipulatif menyebar dengan mudah. Mengapa ini terjadi? Dan apa dampaknya pada masyarakat? Dari perspektif teori kritik sosial oleh Adorno, T. W., & Horkheimer, disinformasi di media sosial tidak hanya soal kebingungan atau salah paham. Ini adalah bagian dari dinamika kekuasaan. Teori ini mengajarkan kita untuk melihat bagaimana struktur sosial, ekonomi, dan politik menciptakan dan memperkuat ketidakadilan termasuk melalui informasi yang kita terima.
Platform media sosial tidak hanya alat komunikasi. Mereka adalah produk kapitalisme digital, di mana algoritma dirancang untuk mengejar keuntungan. Apa yang viral? Bukan yang benar, tetapi yang menarik perhatian meskipun itu kebohongan. Disinformasi bukanlah masalah individu semata. Ini menciptakan polarisasi, membelah masyarakat menjadi kelompokkelompok yang saling bermusuhan. Menurut Habermas dalam karyanya yang membahas teori kritik sosial, ini memperkuat status masyarakat yang terpecah lebih mudah dikendalikan.
Selain itu, disinformasi sering digunakan untuk mendiskreditkan perjuangan melawan ketidakadilan, seperti perubahan iklim atau hak asasi manusia. Dalam teori kritik sosial, kesadaran kolektif adalah kunci. Kita harus kritis terhadap apa yang kita baca, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana itu memengaruhi kita. Edukasi literasi digital adalah langkah penting untuk melawan gelombang disinformasi ini. Jadilah pengguna media sosial yang bijak. Bersama, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih adil dan benar.
5. Rajwa Rafi Saputra (04020522076)
Disinformasi adalah informasi yang salah atau menyesatkan yang disebarkan dengan sengaja untuk menipu atau memanipulasi opini publik. Berbeda dengan misinformasi, yang umumnya disebarkan tanpa maksud jahat, disinformasi memiliki tujuan tertentu, seperti mengacaukan situasi sosial, memengaruhi keputusan politik, atau menciptakan keuntungan bagi pihak tertentu. Istilah ini semakin relevan di era digital, di mana media sosial menjadi salah satu platform utama penyebaran informasi.
Media sosial memainkan peran signifikan dalam penyebaran disinformasi. Dengan sifatnya yang cepat, mudah diakses, dan viral, media sosial menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan informasi palsu. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti Facebook dan Twitter sering kali memprioritaskan konten yang menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan kebenarannya. Akibatnya, disinformasi dapat dengan cepat menyebar luas, menyebabkan
kebingungan, memecah belah masyarakat, dan bahkan mengganggu kestabilan politik dan sosial.
Presentasi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana disinformasi terjadi di media sosial, faktor-faktor yang menyebabkannya, serta dampak yang ditimbulkan. Selain itu, akan dibahas langkah-langkah yang dapat diambil oleh individu, organisasi, dan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penyebaran disinformasi adalah algoritma media sosial. Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna dengan memprioritaskan konten yang menarik perhatian, sering kali dalam bentuk berita sensasional atau kontroversial. Sayangnya, informasi yang benar dan berbobot sering kalah bersaing dengan disinformasi yang dirancang untuk viralitas.
Selain itu, polarisasi sosial dan politik juga memperparah penyebaran disinformasi. Ketegangan antara kelompok dengan pandangan berbeda sering kali dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu melalui penyebaran narasi yang salah. Disinformasi semacam ini biasanya dirancang untuk memperkuat prasangka atau memperlebar jurang perbedaan, yang akhirnya memperburuk konflik sosial.
Kurangnya literasi digital di kalangan pengguna media sosial menjadi penyebab lainnya. Banyak orang yang belum memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenaran informasi atau membedakan antara sumber yang terpercaya dan tidak terpercaya. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi informasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jenis-Jenis Disinformasi di Media Sosial
Salah satu jenis disinformasi yang paling umum di media sosial adalah clickbait atau judul sensasional. Judul-judul ini dibuat untuk menarik perhatian dan mendorong pengguna mengklik tautan, tetapi isi kontennya sering kali tidak relevan atau bahkan salah. Clickbait ini tidak hanya merugikan secara informasi, tetapi juga memperkuat siklus penyebaran disinformasi.
Jenis lain adalah hoaks, yaitu informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu atau membingungkan publik. Hoaks sering kali berkaitan dengan isu-isu sensitif, seperti kesehatan, politik, atau agama, yang dirancang untuk memengaruhi opini atau tindakan masyarakat.
Manipulasi foto dan video juga menjadi salah satu bentuk disinformasi yang semakin marak. Teknologi seperti deepfake memungkinkan pembuatan konten visual yang tampak nyata, tetapi sebenarnya telah dimanipulasi untuk menyampaikan pesan yang salah atau menyesatkan.
Disinformasi berbasis ideologi adalah jenis lain yang bertujuan memperkuat agenda atau keyakinan tertentu. Narasi ini sering digunakan untuk memperkuat dukungan terhadap kelompok tertentu atau melemahkan pihak yang dianggap lawan, dengan cara menyebarkan informasi yang tidak akurat atau bias.
Disinformasi di Media Sosial
Rajwa Rafi Saputra (04020522076)
Disinformasi adalah informasi yang salah atau menyesatkan yang disebarkan dengan sengaja untuk menipu atau memanipulasi opini publik. Berbeda dengan misinformasi, yang umumnya disebarkan tanpa maksud jahat, disinformasi memiliki tujuan tertentu, seperti mengacaukan situasi sosial, memengaruhi keputusan politik, atau menciptakan keuntungan bagi pihak tertentu. Istilah ini semakin relevan di era digital, di mana media sosial menjadi salah satu platform utama penyebaran informasi.
Media sosial memainkan peran signifikan dalam penyebaran disinformasi. Dengan sifatnya yang cepat, mudah diakses, dan viral, media sosial menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan informasi palsu. Algoritma yang digunakan oleh platform seperti Facebook dan Twitter sering kali memprioritaskan konten yang menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan kebenarannya. Akibatnya, disinformasi dapat dengan cepat menyebar luas, menyebabkan kebingungan, memecah belah masyarakat, dan bahkan mengganggu kestabilan politik dan sosial.
Presentasi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana disinformasi terjadi di media sosial, faktor-faktor yang menyebabkannya, serta dampak yang ditimbulkan. Selain itu, akan dibahas langkah-langkah yang dapat diambil oleh individu, organisasi, dan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi.
1. Faktor Penyebab Disinformasi
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penyebaran disinformasi adalah algoritma media sosial. Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna dengan memprioritaskan konten yang menarik perhatian, sering kali dalam bentuk berita sensasional atau kontroversial. Sayangnya, informasi yang benar dan berbobot sering kalah bersaing dengan disinformasi yang dirancang untuk viralitas.
Selain itu, polarisasi sosial dan politik juga memperparah penyebaran disinformasi. Ketegangan antara kelompok dengan pandangan berbeda sering kali dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu melalui penyebaran narasi yang salah. Disinformasi semacam ini biasanya dirancang untuk memperkuat prasangka atau memperlebar jurang perbedaan, yang akhirnya memperburuk konflik sosial.
Kurangnya literasi digital di kalangan pengguna media sosial menjadi penyebab lainnya. Banyak orang yang belum memiliki kemampuan untuk memverifikasi kebenaran informasi atau membedakan antara sumber yang terpercaya dan tidak
terpercaya. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi informasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
0. Jenis-Jenis Disinformasi di Media Sosial
Salah satu jenis disinformasi yang paling umum di media sosial adalah clickbait atau judul sensasional. Judul-judul ini dibuat untuk menarik perhatian dan mendorong pengguna mengklik tautan, tetapi isi kontennya sering kali tidak relevan atau bahkan salah. Clickbait ini tidak hanya merugikan secara informasi, tetapi juga memperkuat siklus penyebaran disinformasi.
Jenis lain adalah hoaks, yaitu informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu atau membingungkan publik. Hoaks sering kali berkaitan dengan isu-isu sensitif, seperti kesehatan, politik, atau agama, yang dirancang untuk memengaruhi opini atau tindakan masyarakat.
Manipulasi foto dan video juga menjadi salah satu bentuk disinformasi yang semakin marak. Teknologi seperti deepfake memungkinkan pembuatan konten visual yang tampak nyata, tetapi sebenarnya telah dimanipulasi untuk menyampaikan pesan yang salah atau menyesatkan.
Disinformasi berbasis ideologi adalah jenis lain yang bertujuan memperkuat agenda atau keyakinan tertentu. Narasi ini sering digunakan untuk memperkuat dukungan terhadap kelompok tertentu atau melemahkan pihak yang dianggap lawan, dengan cara menyebarkan informasi yang tidak akurat atau bias.
Randi Abdel Azizi (04020522077)
Salah satu produk perkembangan teknologi informasi dan Komunikasi yang telah memberikan dampak besar pada kehidupan Masyarakat salah satu di antaranya adalah media sosial. Dengan media sosial masyarakat dapat berkomunikasi, berbagi informasi, dan berinteraksi dalam mengekspresikan dirinya dengan mudah dan cepat. Media sosial telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari. Namun ada potensi dari media sosial untuk menggiring masyarakat dalam beropini baik secara positif maupun negatif. Media sosial dapat menjadi ajang polarisasi opini yang dapat menebarkan isu-isu sensitive yang dapat menimbulkan silang sengketa di Masyarakat yang pada akhirnya dapat menimbulkan perpecahan kesatuan bangsa. Dalam menghadapi pesta demokrasi pada tahun 2024 seiring dengan ditetapkannya calon legislatif dan pasangan calon presiden serta wakilnya maka polarisasi opini semakin merebak di Masyarakat.
Polarisasi politik, menurut sebuah artikel oleh Emilia Palonen, adalah alat politik diartikulasikan untuk membatasi batas antara “kita” dan “mereka” dan untuk mengintai komunitas yang dianggap sebagai tatanan moral. Palonen menulis bahwa “polarisasi adalah situasi di mana dua kelompok saling menciptakan melalui demarkasi perbatasan di antara mereka. Perbatasan politik yang dominan menciptakan titik identifikasi dan konfrontasi dalam sistem politik, di mana konsensus hanya ditemukan di dalam kubu politik itu sendiri”
Inti dari polarisasi politik adalah sejauh mana masyarakat memiliki sikap yang kuat dan bermoral tentang isu-isu politik dan sosial. Secara umum, sikap yang kuat cenderung relatif tahan terhadap pengaruh sosial, stabil dari waktu ke waktu, dan berpengaruh pada kognisi dan perilaku. Dengan demikian, keyakinan politik yang didukung orang dengan keyakinan moral yang kuat relatif sulit diubah, mendorong perilaku dengan cara yang signifikan, dan membentuk dasar intoleransi terhadap pandangan yang bersaing. Definisi kerja polarisasi politik, oleh karena itu, adalah sejauh mana warga Negara menjadi ideologis mengakar dalam nilai-nilai dan keyakinan politik mereka sendiri, sehingga meningkatkan kesenjangan dengan wargaNegarayang memegangnilai-nilai dankeyakinan politikyangberbeda.Polarisasi politik dengan demikianmemicupersepsi masyarakat sebagai perjuangan antara “kitaversusmereka,” dan dapat menghasilkan konflik timbal balik tingkat tinggi antara kelompok-kelompok yang bertentangan secara ideologis
Polarisasi melalui media sosial pada pemilu 2024 di Indonesia dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain:
1). Penyebaran informasi tendensius: Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang cenderung memihak pada salah satu kubu politik. Hal ini dapat memicu perpecahan di masyarakat dan memperkuat polarisasi antar pendukung partai politik.
2). Kampanye hitam: Media sosial seringkali menjadi tempat untuk menyebarkan kampanye hitam atau serangan pribadi terhadap kandidat atau partai politik lawan. Hal ini dapat memperburuk polarisasi dan menimbulkan ketegangan di antara pendukung.
3). Pembentukan filter bubble: Pengguna media sosial cenderung terpapar pada konten yang sejalan dengan pandangan politik mereka sendiri, membentuk filter bubble di mana mereka hanya terpapar pada opini dan informasi yang mendukung pandangan mereka. Hal ini dapat memperkuat polarisasi dan mengurangi kesempatan untuk berdialog antar pandangan yang berbeda.
4). Hoaks dan disinformasi: Media sosial rentan terhadap penyebaran hoaks dan disinformasi terkait pemilu. Informasi yang tidak valid atau hoaks dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap kandidat dan partai politik, memperkuat polarisasi, dan memicu konflik di Masyarakat
Hal ini terjadi karena adanya pengaruh media terutama media sosial, dimana masyarakat Indonesia belum sepenuhnya dapat memilah dan memilih berita serta informasi yang beredar di media sosial Untuk mencegah disintegrasi bangsa yang diakibatkan polarisasi media sosial dalam pemilu 2024 di Indonesia, dapat dilakukan beberapa langkah diantaranya;
Penyuluhan dan Edukasi Publik, Pengawasan Konten, Mendorong Diskusi yang Sehat, Penyebaran Informasi yang Akurat dan Keterlibatan Masyarakat. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan polarisasi opini akibat media sosial dalam pemilu 2024 dapat diminimalisir sehingga tidak terjadi perpecahan yang berakibat disintegrasi bangsa.
Polarisasi Politik di Era Digital, Kenapa Masyarakat Bisa Terpolarisasi?
Rayhan Faysal Haq (04020522078)
Polarisasi adalah sebuah peristiwa dimana masyarakat terpecah belah dalam berbagai kelompok. Terciptanya perpecahan tersebut dikarenakan perbedaan pendapat mengenai suatu pemahaman politik. Polarisasi sangat berbahaya dan bisa meretakkan persatuan di Indonesia. Polarisasi bisa semakin jelas dilihat pada masyarakat pada waktu-waktu tertentu seperti waktu menjelang pilpres dan pilkada.
Pada video penulis, penulis menjelaskan apa itu polarisasi politik pada era digital ini. Penulis mengambil contoh polarisasi ketika pada pemilihan calon presiden dan wakil presiden Indonesia. Pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia pada tahun 2024 sangatlah menarik perhatian. Dikarenakan era dewasa ini, masyarakat sudah banyak sekali yang menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Youtube, dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia memiliki tiga pasangan calon, yakni paslon nomor urut 01 Anies dan Cak Imin, paslon 02 Prabowo dan Gibran, dan paslon 03 Ganjar dan Mahfud. Masyarakat berada di perempatan jalan. Pilihan masyarakat banyak sekali, bisa memilih nomor urut 01, 02, 03, dan bahkan golput atau tidak memilih semuanya. Dengan banyaknya pilihan, masyarakat menjadi bingung mau pilih yang mana. Sehingga para paslon berusaha semaksimal mungkin untuk berkampanye demi bisa mendapatkan suara dari masyarakat.
Hal demikian mengakibatkan masyarakat berdebat untuk memilih calonnya. Masyarakat berdebat bahwa pasangan calon yang didukungnya adalah pasangan calon yang terbaik. Pendukung 01 merasa paslonnya adalah orang hebat, pendukung 02 merasa paslonnya adalah oranghebat,dan pendukung03merasapaslonnyaadalahoranghebat.Dengandemikian,semua pendukung merasa paslon yang didukungnya adalah orang yang paling hebat.
Pendukung 01 berkumpul dengan pendukung 01, pendukung 02 berkumpul dengan pendukung 02, dan pendukung 03 berkumpul dengan pendukung 03. Masyarakat berkumpul dengan golongannya masing-masing. Dan yangpalingparahadalahmasing-masing pendukung berdebat dengan orang lain mengenai paslonnya adalah orang yang paling hebat. Hal tersebut adalah polarisasi. Polarisasi sangat berbahaya karena bisa menyebabkan perpecahan persatuan Indonesia.
Terlebih lagi, kita berada pada era digital. Perdebatan tidak hanya terjadi secara offline atau tatap muka, tetapi bisa secara online. Bahkan orang tidak saling kenal di media sosial bisa saling berdebat mengenai paslonnya masing-masing. Begitu bahayanya polarisasi di era digital ini. Pada media sosial, banyak sekali hoaks-hoaks bertebaran yang bisa saja menyulut suatu
pendukung paslon tertentu. Dengan begitu, terjadilah perdebatan yang bisa sampai menjelekkan orang lain. Begitulah polarisasi yang terjadi di Indonesia.
Polarisasi Politik di Era Digital, Apa Kata Masyarakat Indonesia tentang Retreat
Kabinet Merah Putih?
Refana Ika Dania (04020522080)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polarisasi adalah pembagian kelompok yang saling bertentangan. Dalam konteks politik, polarisasi merujuk pada fenomena pembagian tajam antara dua kelompok atau lebih dengan pandangan yang sangat berbeda terkait isu tertentu. Pembagian ini sering kali disertai dengan sikap yang lebih ekstrem, di mana masing-masing kelompok tidak hanya memiliki pandangan yang berbeda, tetapi juga semakin memperburuk perbedaan tersebut. Polarisasi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti ideologi politik, pandangan sosial, atau bahkan gaya hidup.
Retreat Kabinet Merah Putih yang diadakan di Lembah Tidar, Magelang jadi topik hangat di media sosial, karena dianggap sebagai upaya untuk mempererat kerjasama antar anggota kabinet di tengah situasi politik yang terus berubah. Isu ini menarik perhatian publik karena banyak orang yang menilai kegiatan ini mencerminkan prioritas pemerintah. Di era digital, polarisasipolitiksemakinterasa,terutamadiIndonesia,dimanamediasosialjaditempatorangorang berbagi pendapat. Polarisasi politik di era digital itu sendiri terjadi ketika masyarakat terbagi jadi dua atau lebih kelompok dengan pandangan politik yang sangat berbeda. Media sosial, khususnya platform X, semakin memperkuat perbedaan pendapat ini karena memberi ruang bagi publik untuk mengungkapkan komentarnya secara langsung.
Namun, meskipun tujuan positif dari retreat ini, reaksi masyarakat yang tercermin dalam berbagai komentar di media sosial menunjukkan beragam pandangan yang mencerminkan polarisasi politik yang semakin tajam di Indonesia. Pada postingan yang diunggah oleh Prabowo Subianto di platform X (sebelumnya Twitter), yang memuat foto-foto kegiatan tersebut dengan caption "Padamu Negeri Kami Mengabdi," terdapat sekitar 1,4 ribu komentar dari masyarakat. Komentar-komentar ini terbagi menjadi tiga kategori utama: positif, negatif, dan netral.
Banyak netizen yang menanggapi retreat ini dengan kritik tajam, khususnya terkait dengan penggunaan anggaran negara. Sebagai contoh, salah satu komentar menyatakan: "Pikir menteri-menteri beneran ke Magelang buat digembleng secara militer, misalnya dengan mendaki gunung bawa 10 kg. Gak tahunya cuma camping doang dengan fasilitas lengkap, sampe ada sofa dan TV segala, inimah glamping staycation sekaligus piknik pake uang negara juga kan Pak?"
Komentar-komentar ini menggambarkan kekhawatiran banyak orang mengenai pengelolaan dana negara yang tidak tepat sasaran. Sebagian besar menganggap bahwa retreat ini tidak relevan dengan
prioritas pemerintah,apalagi di tengahtantanganbesar yang dihadapi negara,seperti krisis ekonomi dan ketidakpastian pendidikan.
Namun, di sisi lain, banyak pula netizen yang memberikan pandangan positif terhadap kegiatan retreat ini. Mereka melihat acara ini sebagai sebuah langkah strategis untuk memperkuat kedisiplinan dan sinergi di antara para menteri. Sebagai contoh, komentar yang muncul menyatakan: "Ini sesuatu yang sangat luar biasa dimulai dari kepalanya untuk disiplin, tidak ada lagi penjabat dilayani masyarakat, tetapi sebaliknya."
Komentar-komentar ini menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang mendukung upaya pemerintah untuk menjaga keselarasan dan kedisiplinan kabinet. Mereka percaya bahwa kegiatan ini dapat menguatkan visi dan misi pemerintahan yang lebih bersih dan terarah.
Sementara itu, terdapat juga komentar-komentar netral yang lebih bernada harapan daripada kritik tajam atau pujian berlebihan.Salah satu komentar netral yang muncul adalah, "Semoga menteri-menterinya benar-benar bekerja keras untuk kesejahteraan rakyat ya, Pak."
Komentar-komentar ini menunjukkan harapan masyarakat untuk melihat perubahan nyata dalam kinerja para menteri, dan mereka berharap kegiatan retreat ini bisa menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya sekedar acara simbolik.
Komentar-komentar yang muncul di Twitter terkait retreat Kabinet Merah Putih ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat memperkuat perbedaan pendapat dalam masyarakat. Polarisasi yang terjadi bukan hanya sekedar konflik, tetapi juga mencerminkan adanya ruang bagi masyarakat untuk mengungkapkan pandangan mereka yang beragam terhadap kebijakan pemerintah. Setiap individu memiliki perspektif yang berbeda, baik itu berupa dukungan, kritik, atau harapan yang membangun.
Dari perspektif Teori Kritis, interaksi di media sosial menciptakan ruang diskusi yang memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan kritik reflektif terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya menjadi platform untuk berbagi informasi, tetapi juga tempat bagi individu untuk mengeksplorasi dan menyuarakan pendapat mereka tentang kebijakan yang diambil pemerintah. Teori Kritis, yang dikembangkan oleh aliran pemikiran seperti Frankfurt School, menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mengkritisi kekuatan dominan dalam masyarakat, dalam hal ini, kekuasaan pemerintah.
Polarisasi politik di era digital bisa menjadi tantangan atau peluang, tergantung pada bagaimana masyarakat memanfaatkan ruang diskusi tersebut. Media sosial yang semakin berkembang membawa dampak besar dalam membentuk opini publik dan memperluas ruang diskusi politik. Meskipun sering kali menimbulkan perpecahan, platform digital ini juga memberikan kesempatan untuk terlibat dalam dialog yang lebih inklusif dan terbuka.
Akhirnya, meskipun polarisasi dapat menciptakan kesenjangan dalam masyarakat, dengan pendekatan yang bijaksana dan pemahaman yang lebih dalam, kita bisa memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk memperbaiki kebijakan dan memperkuat ikatan sosial, demi kemajuan bangsa.
Salsabila Ristama (04020522081)
Cyberbullying merupakan fenomena yang tak bisa dipisahkan dari realita kehidupan digital kita. Dari media sosial hingga aplikasi pesan singkat, bullying kini tidak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga di dunia maya, dengan dampak yang sering kali lebih mendalam. menurut data Unicef pada tahun 2022, Dini mengungkapkan 45 persen dari 2.777 anak di Indonesia mengaku pernah menjadi korban cyber bullying.
Para ahli kesehatan mental telah lama memperingatkan dampak berbahaya dari cyberbullying. Korban sering kali merasa tidak berdaya, bahkan ketika mereka tidak berada di depan layar. Efeknya bisa sangat merusak: kecemasan, depresi, kehilangan harga diri, bahkan dalam beberapa kasus, menyebabkan tindakan menyakiti diri atau pikiran untuk bunuh diri. Cyberbullying berdampak pada individu dari berbagai usia, namun remaja adalah kelompok yang paling rentan. Di usia ini, pencarian jati diri dan kepercayaan diri sangat rapuh. Ketika mereka terus-menerus diserang secara virtual, mereka kehilangan rasa aman bahkan di ruang digital yang seharusnya bisa menjadi tempat berekspresi.
Dari sisi sosial, kita melihat fenomena ini sebagai salah satu sisi gelap dari perkembangan teknologi dan kemudahan komunikasi. Akses internet yang terbuka, kebebasan berpendapat tanpa pengawasan, dan anonimitas yang ditawarkan media sosial membuat pelaku merasa tidak terkendali dan seolah-olah tak bertanggung jawab atas tindakannya.
Padaakhirnya,menghadapicyberbullyingmemerlukankesadarankolektif.Tidakhanya korban yang butuh dukungan, tetapi kita semua, sebagai bagian dari masyarakat digital, memiliki tanggung jawab untuk tidak menyebarkan kebencian dan untuk menjaga kesehatan mental satu sama lain. Cyberbullying adalah ancaman nyata yang harus kita hadapi bersama. Mari kita hentikan siber bullying. Untuk dunia digital yang lebih sehat dan aman.
Cyberbullying dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Shanti Wijayanti (04020522082)
Pesatnya perkembangan dalam bidang teknologi dan informasi menimbulkan perubahan pada peradaban manusia. Media sosial mengikutsertakan penggunanya ke dalam budaya baru yang dapat mengubah pola pikir dan perilaku manusia. Hal ini merupakan salah satu faktor banyak terjadinya kasus cyberbullying di media sosial. Karena kita tidak melihat dampaknya secaranyata,parapelaku merasaamansaat berkomentarpedas di mediasosial. Hal ini dicontoh oleh banyak orang lagi sehingga menjadi kasus berantai. Cyberbullying adalah tindakan bullying atau penindasan yang menggunakan teknologi untuk menyakiti orang lain dengan sengaja dan berulang-ulang. Hal ini dilakukan dengan mengintimidasi dan melecehkan korban melalui perangkat teknologi. Pelaku ingin melihat seseorang terluka dan melakukan banyak cara untuk menyakiti korban. Cyberbullying juga memungkinkan pelaku untuk menyembunyikan identitasnya dengan komputer. Hal ini yang membuat pelaku merasa aman tanpa harus melihat respon korban secara langsung.
Diantara bentuk - bentuk cyberbullying atau perundungan adalah sindiran, ejekan, hinaan, caci maki, ancaman, pelecehan, diskriminasi, persekusi, ujaran kebencian, serta umpatan-umpatan negatif lainnya yang mengandung unsur sara, contohnya menyangkut tentang agama, kesukuan, golongan, ras, dan bentuk yang lainnya. Beberapa kasus lain account media sosial dapat di-hack sampai disindir, dihina, dilecehkan di media sosial. Pada bentuk yang lain, account media sosial atau jejaring sosial seseorang diambil alih dan semua informasi bisa diganti-ganti tanpa sepengetahuan pemilik account.
Dampak yang ditimbulkan dari tindakan perundungan atau bullying kepada para korban, biasanya berupa rasa emosional seperti tersinggung, marah, kesal, menangis, stress, depresi, perasaan bersalah, mengurung diri, merasa tidak berharga atau terdiskriminasi, menjauh dari pertemanan atau lingkungan sosial dan emosi-emosi negatif lainnya. Pada beberapa kasus, korban bullying yang memiliki keberanian untuk menantang atau mengkonfrontasi para pelaku bullying, misalnya dengan cara mengajak para pelaku bertemu secara langsung atau hadir secara fisik, atau para korban yang menempuh jalur hukum dengan memilih untuk melaporkan para pelaku perundungan atau bullying pada pihak kepolisian, pada sebagian kasus yang lain, para korban yang tidak berdaya memilih untuk pasrah, menyimpan dendam, rasa trauma, serta terisolasi dari lingkungan sosial.
Kasus cyberbullying yang saya angkat menjadi topik dalam pembahasan tugas pembuatan video adalah kasus cyberbullying yang dialami oleh pubic figure bernama Renjun.
Ia merupakan idol dalam sebuah boygrup NCT dari Korea Selatan. Sebagai seorang publik figur memang sudah menjadi resiko akan dikenal oleh banyak orang dan menuai berbagai komentar akan segala hal yang dilakukan. Namun kasus cyberbullying yang dialami pada publik figur tidak dapat diwajarkan sama sekali. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi dan banyak memakan korban dari gangguan pada kesehatan mental hingga memutuskan untuk mengahkiri hidupnya sendiri. Renjun merupakan korban yang berhasil survive dari kejadian yang menimpa dirinya.
Berawal dari Renjun yang mendapatkan pertanyaan tentang bentuk wajahnya yang terlihat sedikit gemuk saat ia sedang melakukan live. Ia menaggapinya dengan berkata “Aku tidak berubah kok, aku tetap Renjun yang kalian kenal. Tolong jangan bersedih dan pergi”. Sebelumnya Renjun memang memiliki permasalahan terhadap kesehatan mental, sehingga memungkinkan ia harus manjalani pengobatan dan membuat bentuk tubuhnya sedikit berubah. Ternyata tanggapan netizen tentang perubahan tubuhnya itu dominan bersifat negatif, sehingga mengharuskan Renjun untuk melakukan hiatus atau berhenti sementara melakukan segala aktivitas dan pekerjaan dalam grupnya. Namun cobaan untuk Renjun masih terus berjalan bahkansaatiasedanghiatus.Iadigangguolehpenguntityangsangattoxic.Melakukanberbagai spam telpon, pesan, hingga mengganggu kehidupan Renjun.
Terlalu muak terhadap tindakan penguntit ini, Renjun akhirnya memperlihatkan pesan dan riwayat telpon penguntit tersebut yang menyebabkan nomor telpon penguntit ini juga ikut tersebar di media publik. Tindakan Renjun yang dilakukan hingga sejauh itu dapat diartikan bahwa penguntit itu sudah sangat mengganggu kehidupan Renjun. Selain itu para penggemar malah terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu pro terhadap tindakan Renjun dan kubu kontra terhadap penyebaran nomor telepon orang asing di ranah publik. Sayangnya, ada lebih banyak netizen yang membela penguntit itu dengan dalih nomernya yang tersebar, mengakibatkan hiatus Renjun diperpanjang. Pasti tidaklah mudah bagi Renjun melewati masa-masa tersebut, namun beruntungnya Renjun masih memiliki teman-temannya yangjuga bergabung dalam boygrup. Setelah empat bulan, Renjun akhirnya kembali bergabung dan melakukan aktivitasnya bersama teman-teman boygrupnya. Agensi berkata akan tetap memonitoring kondisi kesehatan Renjun selama ia beraktivitas setelah melakukan hiatus.
Berdasarkan kejadian yang dialami oleh Renjun NCT ini, dapat dilihat bahwa dampak pertama cyberbullying adalah dampak psikologis. Kemudian faktor pemicu hal ini bisa terjadi dikarenakan Renjun seorang publik figur, tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang dapat diwajarkan Mekipun masyarakat biasa,jugadapat menjadi korbancyberbullying.Penyebabnya dapat dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang bahaya media sosial, sehingga hal-hal yang
dipublikasi menjadi kurang terkontrol. Agar masyarakat biasa seperti kita tidak menjadi pelaku atau korban dari cyberbullying, kita harus terapkan Think Before Text. Berpikir sebelum mengetik, ataupun mengirim postingan. Kita harus benar-benar memikirkan dampak apa yang akan terjadi sebelum memutuskan untuk mengetik atau mengirim. Hal itu juga bisa membuat kita sadar akan batasan-batasan privasi demi keamanan diri.
Cyberbullying dan Kesehatan Mental: Ancaman Tak Terlihat di Era Digital Shiba Rosyida Aslamia (04020522083)
Di era digital yang serba terkoneksi, media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga membuka ruang bagi fenomena yang mengkhawatirkan: cyberbullying. Kekerasan berbasis daring ini sering kali sulit terdeteksi tetapi memiliki dampak mendalam, terutama terhadap kesehatan mental korbannya.
Cyberbullying mengacu pada tindakan intimidasi, penghinaan, atau pelecehan yang dilakukan melalui platform digital, seperti media sosial, aplikasi pesan singkat, atau forum daring.
Bentuknya beragam, mulai dari komentar negatif, penyebaran foto atau informasi pribadi tanpa izin, hingga ancaman langsung. Berbeda dari bullying tradisional, cyberbullying tidak mengenal batasan waktu atau tempat, sehingga korban dapat terus terpapar intimidasi, bahkan saat mereka berada di rumah sekalipun.
Dampak dari cyberbullying terhadap kesehatan mental sangat signifikan. Salah satu dampak paling umum adalah meningkatnya gangguan kecemasan dan depresi. Korban sering merasa takut, malu, atau tidak berdaya akibat serangan yang terus-menerus. Ketakutan ini dapat mengakibatkan isolasi sosial, di mana korban menarik diri dari interaksi dengan teman dan keluarga untuk menghindari rasa malu atau tekanan emosional.
Selain itu, cyberbullying juga dapat merusak harga diri korban, terutama pada anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan psikologis. Komentar negatif atau penghinaan publik dapat membuat mereka merasa tidak berharga, yang sering kali berkembang menjadi gangguan makan, perilaku menyakiti diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Penelitian menunjukkan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami pikiran atau tindakan bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak menjadi korban.
Tantangan utama dalam menangani cyberbullying adalah sifat anonim dunia maya. Pelaku sering merasa lebih leluasa untuk melakukan intimidasi karena mereka dapat bersembunyi di balik identitas palsu. Hal ini membuat upaya untuk menghentikan cyberbullying menjadi lebih sulit. Selain itu, sifat permanen dari konten digital seperti komentar atau gambar yang dapat dengan mudah tersebar luas menambah tekanan psikologis bagi korban.
Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan literasi digital, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, untuk membantu mereka mengenali tanda-tanda cyberbullying dan cara melindungi diri. Pendidikan tentang etika penggunaan internet juga perlu ditanamkan sejak dini untuk mencegah perilaku intimidasi daring.
Di sisi lain, platform digital harus lebih bertanggung jawab dalam memantau dan menghapus konten yang bersifat merugikan. Mekanisme pelaporan yang lebih mudah dan responsif perlu disediakan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan yang memadai. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengembangkan regulasi yang tegas untuk menindak pelaku cyberbullying.
Bagi korban, dukungan psikologis sangat penting untuk membantu mereka memulihkan kesehatan mental. Konseling atau terapi dapat menjadi cara efektif untuk mengatasi trauma yang dialami. Selain itu, lingkungan keluarga dan teman dekat harus memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan korban agar mereka merasa aman dan diterima.
Cyberbullying adalah ancaman tak terlihat yang dapat merusak kehidupan korban secara mendalam. Dengan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan penyedia platform digital, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan mendukung kesehatan mental semua penggunanya. Menghadapi era digital ini, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa teknologi tidak digunakan untuk menyakiti, melainkan untuk membangun hubungan yang positif dan saling mendukung.
Siti Nurjannah (04020522084)
Cyberbullying adalah bentuk perundungan yang terjadi di dunia maya, yang dapat melibatkan penyebaran rumor, posting foto atau video yang memalukan, pengiriman pesan yang menyakitkan, atau pengecualian seseorang dari grup online. Dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari perasaan tertekan dan cemas, hingga isolasi sosial dan penurunan harga diri. Bahkan, cyberbullying dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mental, seperti sakit kepala, sakit perut, gangguan tidur, hingga pikiran untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri.
Sebagai contoh, sebuah artikel di Tempo.co membahas tentang kasus cyberbullying yang dialami oleh seorang remaja, yang menyebabkan dia mengalami depresi dan gangguan kecemasan. Artikel tersebut juga menyoroti pentingnya peran orang tua dan guru dalam mencegah dan mengatasi cyberbullying.
Sementara itu, CNN Indonesia melaporkan tentang penelitian yang menunjukkan bahwa cyberbullying dapat menyebabkan penurunan harga diri dan peningkatan risiko depresi pada anak-anak dan remaja. Penelitian tersebut juga menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran akan bahaya cyberbullying, serta perlunya dukungan untuk korban cyberbullying. Namun, penting untuk diingat bahwa korban cyberbullying tidak sendirian. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk melindungi diri dan mencari bantuan. Blokir akun pelaku di media sosial dan platform online lainnya untuk menghentikan mereka mengakses dan mengirimkan pesan yang menyakitkan. Simpan bukti, seperti tangkapan layar pesan atau postingan yang bersifat bullying, untuk dilaporkan ke pihak berwenang atau platform tempat kejadian.
Laporkan kejadian cyberbullying ke platform tempat kejadian. Kebanyakan platform media sosial memiliki sistem pelaporan untuk menangani kasus bullying. Berbicaralah dengan orang dewasa yang dipercaya, seperti orang tua, guru, atau konselor, untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dalam mengatasi situasi.
Jika kesulitan mengatasi cyberbullying sendiri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dari terapis atau konselor. Mereka dapat memberikan dukungan dan strategi coping yang lebih efektifuntuk membantu mengatasi traumadandampaknegatifdari cyberbullying. Ingat, setiap orang berhak untuk merasa aman dan bahagia di dunia maya. Jangan biarkan cyberbullying menguasai hidup.
Cyberbullying dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental
Siti Umi Kulsum (04020522085)
Dunia maya merupakan tempat hiburan yang menyenangkan untuk berbagi dan berinteraksi. Namun pernahkan kamu merasa bahwa dunia maya tiba-tiba berubah menjadi medan perang karena komentar jahat, kata-kata yang seharusnya menghibur kini berubah menjadi senjata yang sangat menusuk. Itulah yang dinamakan dengan Cyberbullying.
Cyberbullying adalah perundungan yang dilakukan dengan menggunakann teknologi digital. Biasa dilakukan di media sosial, platform chatting, atau platform game. Kata-kata kasar, memposting foto orang lain tanpa izin, atau penyebaran rumor secara online adalah contoh tindakan dari cyberbullying.
Tindakan-tindakan negatif yang termasuk dalam cyberbullying salah satunya yaitu komentar jahat. Ketika seseorang mengirimkan kata-kata jahat yang menyakitkan seperti ancaman kepada orang lain pada kolom komentar di sosial media, maka itu termasuk dalam kegiatan perundungan secara online atau cyberbullying. Selain mengirimkan komentar jahat, mengunggah foto aib seseorang dengan sengaja tanpa izin baik pada sosial media apapun, hal itu jugamerupakantindakancyberbullying.Masih banyaktindakan-tindakandikatakansebagai tindakan cyberbullying, seperti menyebarkan rumor yang tidak benar secara online, memasuki akun orang lain tanpa izin, meniru dan mengatasnamakan orang lain untuk menyebarkan katakata tidak sopan, dan lain sebagainya.
Dampak psikologis yang dialami oleh korban cyberbullying, diantaranya korban dapat mengalami depresi, merasa cemas dan stress, merasa tidak berdaya, dan bahkan mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Selain itu, terdapat pula dampak sosial yang diakibatkan dari tindakancyberbullying,diantaranyakorbandapat menarikdiridarilingkungansosialdanmulai kehilangan akan kepercayaan diri. Sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi tindakan cyberbullying agar korban tidak terdampak dari tindakan ini.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi tindakan cyberbullying diantaranya, melindungi privasi media sosial dengan cara tidak memberikan beberapa informasi pribadi orang lain atau yang tidak dikenal. Tidak mudah terprovokasi dengan beberapa kalimat negatif yang sering dijumpai pada media sosial, selain itu perlunya memblokir akun-akun yang mencurigakan. Dan tak kalah penting, untuk korban agar tidak merasa takut untuk melaporkan pelaku cyberbullying kepada pihak yang berwenang. Karena ini merupakan salah satu upaya yang dapat membantu agar tidak terjadi tindakan cyberbullying yang berkelanjutan.
Beberapa upaya yang telah dijelaskan sebelumnya untuk mengatasi tindakan cyberbullying sangat penting dilakukan untuk mencegah dari tindakan cyberbullying yang berkelanjutan. Maka tentu saja hal ini merupakan tanggung jawab dari setiap orang. Dengan kebersamaandankekompakandariparamasyarakat,pemerintah,danlembagahukummelawan tindakan cyberbullying dan menciptakan dunia maya yang lebih baik, dengan cara melaporkan tindakan cyberbullying, mendukung korban, dan juga menyebarkan pesan atau komentar yang positif. Karena pada dasarnya, kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga harus digunakan dengan lebih bijak. #Bersamakitabisa.
Cyberbulling dan Dampaknya Bagi Kesehatan Mental
Siti
Zulfa Nur’zzatur Rohmah (04020522086)
Cyberbullying adalah tindakan perundungan yang terjadi di dunia maya. Bentuknya bisa sangat beragam, mulai dari menyebarkan rumor atau gosip yang tidak benar, mengirimkan pesan yang menghina atau mengancam, hingga memposting foto atau video yang mempermalukan seseorang tanpa izin. Tindakan ini dapat dilakukan melalui berbagai platform online, seperti media sosial, aplikasi pesan, atau forum diskusi.
Penyebab cyberbullying sangat kompleks dan bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keinginan untuk mendapatkan perhatian, rasa iri, atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi. Pelaku cyberbullying seringkali memiliki masalah dengan harga diri atau merasa tidak aman. Selain itu, anonimitas yang ditawarkan oleh dunia maya juga bisa mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak akan dilakukannya di dunia nyata.
Dampak cyberbullying terhadap korban sangat serius. Korban cyberbullying seringkali mengalami gangguan emosional, seperti depresi, kecemasan,danpenurunan hargadiri. Mereka juga bisa mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan berprestasi di sekolah. Dalam kasus yang ekstrem, cyberbullying bahkan bisa memicu tindakan bunuh diri.
Untuk mencegah cyberbullying, kita perlu melakukan beberapa upaya. Pertama, kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya cyberbullying. Kedua, kita perlu
mengajarkan anak-anak dan remaja tentang cara menggunakan internet dengan aman dan bertanggung jawab. Ketiga, kita perlu bekerja sama dengan platform media sosial untuk menciptakan lingkungan online yang lebih aman. Terakhir, kita perlu memberikan dukungan kepada korban cyberbullying dan membantu mereka untuk pulih.
Sebagai orang tua, kita memiliki peran penting dalam mencegah cyberbullying. Kita perlu mengawasi aktivitas anak-anak kita di dunia maya, mengajarkan mereka untuk tidak membalas tindakan bullying, dan mendorong mereka untuk melaporkan setiap tindakan bullying yang mereka alami. Sebagai individu, kita juga bisa berperan aktif dalam mencegah cyberbullying dengan tidak menyebarkan informasi yang tidak benar, tidak melakukan tindakan bullying terhadap orang lain, dan memberikan dukungan kepada korban cyberbullying. Penting untuk diingat bahwa cyberbullying adalah masalah serius yang harus kita hadapi bersama. Dengan bekerja sama, kita bisa menciptakan dunia maya yang lebih aman dan bebas dari kekerasan.
Peran Gender dalam Kehidupan Sehari-Hari Yashinta Dwi Septiani (04020522096)
Peran gender merupakan serangkaian harapan sosial yang menentukan bagaimana seseorang berperilaku sesuai identitas gender mereka. Dalam budaya yang masih dipengaruhi oleh stereotip tradisional, peran laki-laki dan perempuan sering kali terbagi secara kaku. Lakilaki diharapkan menjadi pencari nafkah utama, sedangkan perempuan lebih sering dikaitkan dengan peran domestik, seperti mengurus rumah tangga dan merawat anak. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, banyak masyarakat mulai mempertanyakan pembagian peran ini dan melihat bahwa tanggung jawab tersebut seharusnya dapat dibagi secara adil.
Menurut teori gender, peran dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aktivitas utama. 1) Aktivitas Produktif, yaitu segala bentuk pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, seperti pekerjaan formal maupun informal. 2) Aktivitas Reproduktif, meliputi pekerjaan rumah tangga, merawat keluarga, dan memastikan kebutuhan domestik terpenuhi. 3) Aktivitas Kemasyarakatan, yang mencakup partisipasi dalam kegiatan sosial dan politik. Ketiga aktivitas ini tidak seharusnya dibatasi oleh jenis kelamin, karena kemampuan dan kontribusi seseorang tidak ditentukan oleh gender mereka. Sayangnya, hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menerapkan pembagian peran secara tidak setara. Perempuan sering dibebani dengan tanggung jawab rumah tangga sekaligus peran produktif di luar rumah. Sementara itu, partisipasi laki-laki dalam pekerjaan domestik sering kali dianggap tidak lazim, sehingga menciptakan ketidakseimbangan beban kerja dalam keluarga.
Tantangan Stereotip Gender
Stereotip gender menjadi salah satu hambatan terbesar dalam mencapai kesetaraan gender.
Masyarakat sering kali menetapkan standar peran berdasarkan anggapan tradisional, misalnya bahwa perempuan harus pandai memasak, mengurus anak, dan menjaga rumah, sedangkan laki-laki harus kuat, mandiri, dan menjadi tulang punggung keluarga. Stereotip ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan, tetapi juga membebani laki-laki dengan ekspektasi yang tidak realistis.
Padahal, pembagian peran yang adil tidak hanya membawa manfaat bagi perempuan, tetapi juga laki-laki dan keluarga secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang berbagi tanggung jawab domestik cenderung memiliki hubungan yang lebih harmonis dan
mendukung satu sama lain. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan pembagian peran yang setara juga cenderung memiliki pandangan yang lebih positif terhadap genderdan peransosial mereka.Olehkarenaitu,pentinguntukmenghilangkanstereotipgender dengan cara meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesetaraan. Media massa dan iklan memainkan peran penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai ini kepada khalayak luas.
Kesetaraan Gender dalam Media dan Iklan
Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik tentang gender. Iklan, sebagai salahsatu bentuk media,seringkali menjadi alatuntuk memperkuat stereotipgender.Misalnya, perempuanseringditampilkandalamperandomestik,sedangkanlaki-lakidigambarkansebagai sosok yang aktif di dunia kerja. Namun, belakangan ini, banyak kampanye iklan yang mencoba mematahkan stereotip tersebut dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender. Salah satu contoh iklan yang menarik perhatian publik dalam isu kesetaraan gender adalah "Kecap ABC
- Bantu Suami Sejati Hargai Istri." Dalam iklan ini, ditampilkan seorang suami yang secara aktif membantu istrinya memasak di dapur. Pesan utama dari iklan ini adalah bahwa menghargai istri tidak hanya dilakukan dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata, seperti berbagi tanggung jawab domestik.
Pesan ini sangat relevan dengan nilai-nilai kesetaraan gender. Iklan ini menyoroti bahwa peran domestik, seperti memasak, bukanlah tugas eksklusif perempuan. Sebaliknya, laki-laki juga memiliki peran penting dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis dengan membantu pekerjaan rumah tangga. Pendekatan ini memberikan contoh positif kepada masyarakat bahwa peran gender tidak harus dibatasi oleh stereotip tradisional.
Kampanye iklan seperti "Kecap ABC" adalah langkah kecil tetapi signifikan dalam upaya mengubah norma gender di masyarakat. Iklan ini tidak hanya mempromosikan produk, tetapi juga menyampaikan pesan sosial yang relevan. Dengan cara ini, media dapat berfungsi sebagai agen perubahan yang mendorong masyarakat untuk mengadopsi nilai-nilai kesetaraan gender. Namun, perubahan ini tidak terjadi secara instan. Diperlukan konsistensi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan pelaku industri media, untuk terus mempromosikan kesetaraan gender melalui berbagai platform. Pendidikan dan kampanye kesadaran juga penting untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang peran gender.
Selain itu, perlu disadari bahwa kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan yang mendapatkan hak yang sama, tetapi juga tentang laki-laki yang diberi kesempatan untuk mengambil peran yang selama ini dianggap tidak maskulin. Dengan demikian, kesetaraan gender membawa manfaat bagi semua pihak dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Kesetaraan gender bukan hanya konsep teoretis, tetapi sesuatu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari hal sederhana seperti berbagi pekerjaan rumah tangga hingga mendukung pasangan dalam karier mereka, setiap individu dapat berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang setara.
Iklan "Kecap ABC" menjadi pengingat bahwa perubahan besar dimulai dari tindakan kecil.
Dengan menunjukkan contoh suami yang menghargai istrinya melalui tindakan nyata, iklan ini menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal serupa. Ini adalah langkah menuju perubahan budaya yang lebih besar, di mana peran gender tidak lagi menjadi batasan, tetapi justru menjadi peluang untuk saling mendukung. Kesetaraan gender juga penting dalam skala yang lebih luas, seperti dalam dunia kerja dan kebijakan publik. Misalnya, mendukung perempuan untuk mendapatkan akses yang sama dalam karier dan kepemimpinan, serta memberikan dukungan kepada laki-laki yang ingin mengambil peran lebih besar dalam keluarga. Semua ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk media, untuk terus menyuarakan pentingnya kesetaraan gender.
Peran gender dan kesetaraan adalah isu yang sangat relevan dalam masyarakat modern. Stereotip gender yang masih banyak ditemukan membutuhkan upaya bersama untuk diubah.
Iklan seperti "Kecap ABC - Bantu Suami Sejati Hargai Istri" adalah contoh bagaimana media dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan sosial yang positif dan membangun kesadaran tentang kesetaraan gender. Dengan langkah-langkah kecil seperti ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahwa peran dalam keluarga maupun masyarakat seharusnya didasarkanpadakemampuandankerjasama,bukanstereotip.Padaakhirnya,kesetaraangender akan membawa manfaat tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.