


























Tidak terasa, kita sudah setengah menjelangi
tahun 2023 ini Redaksi PSYGHT kembali lagi menemani kalian dengan menghadirkan PSYGHT
Magazine dengan tema yang baru dan belum pernah dipijak sebelumnya. Pada kesempatan edisi baru kali ini, redaksi PSYGHT telah memiliih topik yang cukup berat dibandingkan edisi sebelumnya nih!
PSYGHT Magazine edisi ke-20 ini mengangkat tema Gender Dominance. Kira-kira, PSYGHT Friends merasa familiar dengan tema ini gak ya? Apakah PSYGHT friends tahu bahwa pendekatan ini melihat bagaimana komunikasi bekerja (atau tidak bekerja) antara laki-laki dan perempuan serta menunjukkan bahwa hubungan kekuasaan dapat dilihat dalam percakapan sehari-hari dan perilaku nonverbal kita loh!
Topik ini dipilih PSYGHT karena penggunaan gender dan bahasa terjalin erat, dan pendekatan dominasi merupakan kerangka kerja yang berguna untuk memahami bagaimana kekuasaan dan hierarki sosial tercermin dalam pola linguistik. Pendekatan dominasi terhadap gender dan penggunaan bahasa mengkaji bagaimana bahasa gender memperkuat atau menantang struktur kekuasaan yang ada, dan bagaimana gender dibangun dan diekspresikan melalui bahasa. Oleh karena itu, PSYGHT Magazine edisi ke-20 kali ini diharapkan dapat mengedukasi pembaca mengenai bagaimana peran gender memengaruhi banyak sisi dan situasi dalam kehidupan kita di saat apa pun.
Pada edisi ke-20 ini, PSYGHT mengulas film, podcast, dan lagu yang berkaitan dengan ilmu Psikologi dan gender dominance, serta membuat beberapa karya seni tulis-menulis, seperti cerita pendek dan puisi. Beberapa karya seni tersebut diciptakan oleh anggota dan non-anggota PSYGHT 2022/2023. PSYGHT juga akan mencantumkan opini-opini yang dimiliki oleh beberapa mahasiswa melalui beberapa rekomendasi lagu dari PSYGHT, serta playlist Spotify yang berkaitan dengan gender dominance.
PSYGHT berharap edisi ini dapat menambah wawasan pembaca dan juga semakin terbuka mengenai gender dominance dan psikologi. Dari edisi ini pula, pembaca dapat melihat bagaimana pendekatan dominasi terhadap gender dan bahasa dapat menjelaskan dinamika kekuatan yang berperan dalam percakapan kita sehari-hari!
Enjoy reading and feel inspired, PSYGHT Friends!
Best Regards, Andien Arlin Putri
Pemimpin Redaksi PSYGHT 2022/2023
Salam redaksi............................................................................................................................................
Daftar isi...........................................................................................................................................................
Komite...............................................................................................................................................................
Topik #1: Lini Masa Kesetaraan Gender di Dunia.........................................
OGT (Oh, gitu, toh): Gender dan Sexualitas: Apakah keduanya
sama?.................................................................................................................................................................
OGT (Oh, gitu, toh): Kekerasan dalam Hubungan
Romantis.........................................................................................................................................................
OGT (Oh, gitu, toh): Toxic Masculinity Bagi Mental Health LakiLaki.........................................................................................................................................................................
Ulas-tulis: podcast...............................................................................................................................
Topik #1: Dominasi Antar Gender di Era Modern........................................
OGT (Oh, gitu, toh): Gender Dysphoria: Apakah termasuk
Gangguan Mental................................................................................................................................
Kata-katanya: “Pandangan Mahasiswa Atma Jaya tentang Dominasi Gender”................................................................................................................................ OGT (Oh, gitu, toh): Budaya Patriarki dalam Masyarakat
Pojok seni: puisi.......................................................................................................................................
Pojok seni: cerita pendek............................................................................................................ Pojok seni : puisi eksternal........................................................................................................ Ulas-tulis: buku........................................................................................................................................
Kesetaraan gender adalah topik yang tidak pernah habis dibahas Tidak henti-hentinya para pendukung gerakan ini menyuarakan suaranya setiap tahun. Demo, kampanye, kegiatan relawan, dan cara lain telah diupayakan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender ini. Bahkan pemerintah juga sudah berupaya untuk memperjuangkan hal ini dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang kesetaraan gender dalam implementasinya pada lingkungan kerja. Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah membentuk suatu kementerian yang khusus untuk memberdayakan perempuan. Akan tetapi, sayangnya pelaksanaan kesetaraan gender di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diperjuangkan, membuat para pendukungnya harus terus berusaha dengan giat agar mimpi mereka dapat tercapai. Namun, sebelumnya, apakah kita semua tahu sejarah terkait kesetaraan gender, terutama di Indonesia? Kalau belum, yuk kita belajar bersama lewat artikel ini!
Sejarah perjuangan kesetaraan gender sebenarnya sudah dilakukan sejak
dahulu Secara global, kesetaraan gender bermula dengan aksi unjuk rasa yang terjadi di Amerika pada tahun 1908 (Mustinda, 2020). Unjuk rasa ini akhirnya memunculkan peringatan Hari Perempuan Sedunia pada tanggal 28
Februari 1909. Hal ini sebagai bentuk pengakuan agar dapat memberikan perempuan haknya untuk berpendapat dan berpolitik. Di Indonesia sendiri, terdapat tokoh yang populer memperjuangkan kesetaraan gender, yaitu R A Kartini.
Pada abad ke-19, R.A. Kartini memperjuangkan agar para perempuan di masanya bisa mendapatkan pendidikan yang baik, seperti apa yang ia dapatkan pula. Cara yang digunakan oleh R.A. Kartini sangatlah apik karena dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai sesama perempuan Walaupun begitu, ia tidak merendahkan lawan jenisnya untuk mendapatkan hak-haknya tersebut. Ia banyak menuliskan pemikirannya akan kesetaraan gender dan ia mengirimnya ke Belanda, kepada teman-temannya yang berada di sana. Buah pikirannya pun bahkan sampai dimuat pula di surat kabar
Belanda
Belanda yang bernama De Hollandsche Lelie, yang merupakan majalah
khusus untuk memuat perjuangan kesetaraan gender pada perempuan.
Dalam satu karya yang dimuat, Kartini bercerita terkait pandangannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya yang membuat hatinya sangat pedih, mengingat zaman ia hidup adalah zaman kolonialisme yang biasanya
berkaitan dengan perbudakan dan lain sebagainya. Namun, teman-teman
Belandanya merasa kagum karena Kartini punya semangat untuk
memperjuangkan hak, tidak hanya perempuan saja, tetapi juga tujuan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, yakni kemerdekaan (Marzuqi, 2020).
Meskipun sudah ada tokoh yang berjasa besar dalam pergerakan
kesetaraan gender, tetap saja pelaksanaannya masih dapat dikatakan jauh
dari mimpi yang ada. Pada film ‘Laskar Pelangi’ contohnya, ada satu tokoh perempuan yang dipandang sebelah mata karena ingin bersekolah, karena biasanya perempuan dianggap hanya perlu mengurus urusan rumah tangga saja (Anak, n.d.). Namun, seiring berjalannya waktu, kesetaraan gender sedikit demi sedikit telah didapatkan oleh perempuan. Hal yang dapat kita lihat salah satunya adalah terkait kesempatan untuk bersekolah. Seperti yang bisa kita lihat, pada saat ini sudah ada perempuan-perempuan yang bisa bersekolah, bahkan sampai ke tahap yang tinggi, yakni perkuliahan dan juga ada yang melanjutkan sampai pada jenjang S3. Walaupun begitu, tetap masih ada perempuan-perempuan di tempat lain yang masih belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak, yang salah satu alasannya adalah pandangan terkait kesetaraan gender yang dianut dalam keluarga. Selain dalam hal pendidikan, perempuan zaman sekarang sudah mulai dapat melamar pekerjaan untuk bisa bekerja. Namun, sekali lagi, tingkat penerimaan perempuan dalam pekerjaan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga masih ada kesenjangan dalam hal pekerjaan ini (Wahyuni, 2020).
Mari kita kembali pada zaman sekarang. Walaupun kesempatan untuk perempuan dalam kesetaraan gender sudah lebih terbuka dari yang sebelumnya, tetap masih ada saja perempuan yang masih belum mendapatkan kesempatan kesetaraan tersebut. Salah satu akibat dari hal ini adalah kekerasan pada rumah tangga ataupun kekerasan seksual, yang biasanya menyasar pada perempuan di dalam hubungan yang terjalin (Sulistyowati, 2021).
(Sulistyowati, 2021). Di sisi lain, kesetaraan gender juga harus setara. Arti dari hal ini adalah apapun gender kita jangan lupa untuk tidak merendahkan ya gat , a
agi ga harus mengambil andil dalam kesetaraan gender. Yakinlah ketika kita berusaha melakukan bagian kita, tetap akan ada dampak positif yang bisa dirasakan orang-orang di sekeliling kita.
PENULIS: YORA VIOLETTA SUPARMAN (2020), YUSTISIA KRISNAWULANDARI PUTRI (2020)
DESIGNER: ADINDA BUNGA (2020), ASTARI ARFIANA (2020)
Penulis: Shanes Felicia Chandra (2021)
Designer: Bernardia Putri Ayuningtyas (2020), Astari Arfiana (2020)
Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)
Di zaman sekarang, masih
banyak sekali orang yang
menyalahartikan kata “gender” dan “seksualitas”. Pemahaman yang
super salah kaprah ini adalah buah
dari pengetahuan mengenai
reproduksi yang buruk dan setengah-setengah mengenai seksualitas maupun gender manusia.
Alhasil, banyak yang berpikir bahwa
sah-sah saja menyakiti atau
memisahkan orang-orang yang
mengekspresikan seksualitas atau
gendernya secara berbeda karena yang selama ini diperkenalkan ada di dunia hanyalah dua jenis yang
mutlak Namun, sebenarnya apa sih
perbedaan gender dan seksualitas?
Apakah keduanya adalah hal yang sama?
Jawabannya adalah tidak sama.
Gender dan seksualitas merupakan hal yang berbeda. Walaupun
demikian, terdapat kaitan antara gender
gender dan seksualitas.
Gender merupakan perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Menurut Haryadi dan Abrisam (2020), gender
merujuk pada keragaman peran, fungsi, dan identitas yang merupakan hasil konstruksi sosial atau bentukan masyarakat. Pemaknaan fungsi gender itu sangat kontekstual, bisa berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, juga satu budaya dengan budaya lainnya. Pembahasan mengenai gender biasanya melekat dengan kualitas sifat maskulin dan feminin
Sementara itu, seksualitas lebih
dari sekedar perbuatan seksual atau
siapa melakukan apa dengan siapa. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), seksualitas merupakan aspek hidup manusia yang
mencakup seks, identitas dan peran
gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman, dan reproduksi (Haryadi & Abrisam, 2020). Seksualitas sendiri dapat
dialami dan diekspresikan dalam
pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, kebiasaan, peran, dan relasi.
Meskipun seksualitas bisa
mencakup semua dimensi ini, tidak
semuanya dapat selalu dialami atau
diekspresikan.
Dari hal tersebut, maka dapat
terlihat bahwa seksualitas itu tidak
sama dengan gender. Walaupun
pada kenyataannya kedua hal
tersebut memiliki hubungan antara
satu sama lain, gender itu lebih
merujuk ke arah fungsi atau peran
yang dimiliki oleh jenis kelamin
tertentu. Sebaliknya, seksualitas
merupakan cara pandang atau
persepsi seseorang mengenai hasrat
dalam melakukan perbuatan
seksual. Dalam majalah ini, kami
akan membahas mengenai gender, atau peran dari setiap jenis kelamin
dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Haryadi, S K , & Abrisam, C (2020) Memahami
Gender dan Seksualitas : Masih ada kesalahpahaman
soal gender dan seksualitas sampai hari ini.
Magdalene Primer
Penulis: Shanes Felicia Chandra (2021)
Designer: Kimberly Billy Yulianto (2022), Astari Arfiana (2020)
Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)
Banyak sekali anak muda sekarang yang menjalin hubungan asmara atau berpacaran. Pacaran merupakan masa di mana dua orang saling mengenal satu sama lain, yang bertujuan untuk lebih memahami dan mengerti kepribadian pasangannya. Akan tetapi, mulai bermunculan kasus-kasus mengenai kekerasan dalam hubungan pacaran. Salah satu contoh kasusnya adalah seorang mahasiswi Universitas Pelita Harapan yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan pacaran. Mahasiswi berinisial AS itu melaporkan laki-laki berinisial BJK atas tindakan aniaya disertai dengan ancaman yang dilakukan kepada dirinya sejak Juni 2022, ketika keduanya sedang menjalin hubungan. Korban mengatakan bahwa dirinya sudah mengalami kekerasan dari mantan kekasihnya itu sebanyak lima kali dan kasus tersebut dilaporkannya ke kepolisian dan Komnas Perempuan.
Dari contoh kasus di atas, sebenarnya kekerasan dalam berpacaran itu seperti apa sih? Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan, meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2018). Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga,
sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Menurut Wolfe dan Feiring (2000), kekerasan dalam pacaran sendiri didefinisikan sebagai segala usaha untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual, atau psikologis yang mengakibatkan luka atau kerugian
Menurut Kemenpppa (2018), ada beberapa bentuk kekerasan dalam pacaran, di antaranya yaitu kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan, dan serangkaian tindakan fisik yang lain. Kekerasan emosional atau psikologis, seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan, menjelek-jelekkan, dan lainnya. Kekerasan ekonomi, seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya, seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Kekerasan seksual, seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman
Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui
perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Tindak kekerasan ini dapat
dialami oleh perempuan maupun laki-laki
Hampir setiap tahunnya terdapat angka kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Sebenarnya, siapa saja bisa menjadi korban KDP (Kekerasan Dalam Pacaran), baik laki-laki maupun perempuan, tetapi korban didominasi oleh kaum perempuan yang lebih banyak mengalami kekerasan dalam pacaran. Hal ini didukung dari sumber Komnas Perempuan (dalam Ridwan, 2006). Berdasarkan hasil penanganan kasus kekerasan di 14 daerah di Indonesia, tercatat bahwa dari 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan, kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang orang terdekatnya (40%), serta tindak pemerkosaan di komunitasnya sendiri (32%). Pola ini berlaku di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Yogyakarta, di daerah yang miskin dan penuh konflik, maupun di daerah yang diwarnai kedinamisan ekonomi serta budaya, seperti
Surabaya dan Sulawesi Selatan.
Data dari Youth Risk Behaviour Survey CDC dan National Intimate Partner and Sexual Violence Survey (Centers for Disease Control and Prevention, 2020) menunjukkan bahwa:
Hampir 1 dari 11 siswa perempuan dan sekitar 1 dari 14 siswa SMA
laki-laki melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik dalam
pacaran pada tahun 2019.
Sekitar 1 dari 8 siswa sekolah menengah atas perempuan dan 1 dari 26 siswa laki-laki melaporkan pernah mengalami kekerasan dalam pacaran dalam setahun terakhir.
Sebanyak 26% perempuan dan 15% laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan/atau penguntitan oleh pasangan, mengalami kekerasan tersebut sebelum berusia 18 tahun.
Selain itu, Studi dari Amerika Utara menunjukan terdapat 76% siswa perempuan dan 85% siswa laki-laki mengalami kekerasan dari segi fisik, psikologis, atau seksual dalam hubungan berpacaran. (Amar & Gennaro, 2005; Forbes & Adams-Curtis, 2001; Simonelli, Mullis, Elliott, & Pierce, 2002; Smith, White, & Holland, 2003 dalam Rini, 2022). Temuan ini menunjukan bahwa kekerasan dalam berpacaran tidak hanya dialami oleh perempuan, namun juga oleh laki-laki, meskipun beberapa temuan menunjukkan perempuan menduduki angka kekerasan dalam berpacaran yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.
Berdasarkan pemaparan di atas, kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang mengkhawatirkan, yang setiap tahunnya memiliki kenaikan dalam jumlah kasusnya. Hubungan berpacaran seharusnya diisi dengan sikap saling menghargai, menjaga, dan penuh dengan kasih sayang, tetapi, pada kenyataannya, sering kali diliputi oleh tindakan kekerasan. Hal tersebut menjadi penting untuk diketahui. Jika ada teman
terdekatmu yang terkena kekerasan dalam hubungan atau kamu sendiri merasakannya, jangan sungkan menghubungi bantuan profesional, ya!
Daftar Pustaka
Centers for Disease Control and Prevention. (2020). Preventing teen dating violence. Factsheet. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2018). Waspada Bahaya Kekerasan Dalam Pacaran https://www kemenpppa go id/index php/page/read/31/1669/waspadabahaya-kekerasan-dalampacaran#:~:text=Kekerasan%20dalam%20pacaran%20atau%20dating,masih%20belum%20begitu%20mend apat%20sorotan
Ridwan (2006) Kekerasan berbasis gender Purwokerto : Pusat Studi Gender
Rini, R (2022) Bentuk dan Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran Perspektif Perbe Wolfe, D. A., & Feiring, C. (2000). Dating violence through the lens of adolescent romantic relationships. Child Maltreatment, 5, 360-363.
Pernahkah anda mendengar perkataan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis? Jika pernah, maka kalimat tersebut merupakan salah satu contoh toxic masculinity yang terjadi di lingkungan anda. Lalu, apa itu toxic masculinity?
Menurut Putra (2023), toxic masculinity merupakan pemikiran sempit tentang sifat maskulinitas pada laki-laki. Toxic masculinity mengacu kepada maskulinitas, di mana seorang laki-laki harus menunjukkan dominasi, kekerasan, dan kontrol untuk menunjukkan kekuasaan dan kedudukan superior mereka secara asertif (Green Hill, 2022). Misalnya, stigma sosial bahwa laki-laki harus bersikap lebih kuat dari perempuan secara implisit menyatakan laki-laki harus memendam emosinya ketika menghadapi masalah. Bahkan, laki-laki yang sifatnya berbeda dengan kebanyakan lakilaki lain, seperti menyukai grup boyband dari Korea, akan dianggap kurang maskulin oleh orang di sekitarnya.
Konsep sosial terhadap gender bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis ada kalanya dapat membuat laki-laki cenderung memendam perasaannya. Frąckowiak-Sochańska (2021)
mengatakan pola perilaku tersebut dapat
menyebabkan efek negatif terhadap mental health.
Selain itu, toxic masculinity itu sendiri juga dapat
menimbulkan social trauma terhadap laki-laki
(Frąckowiak-Sochańska, 2021). Pedović dan
Hedrih (2019) mengatakan bahwa social trauma
yang belum dihilangkan hanya akan memberikan
konsekuensi negatif tidak hanya dalam aspek sosial
namun juga terhadap individu termasuk aspek fisik, kognitif, pola perilaku, dan emosional. Morrison (2020) menambahkan bahwa toxic masculinity
menyebabkan proses penyembuhan trauma laki-laki terganggu.
Banyak sekali hasil dari penerapan toxic masculinity ke arah yang negatif. Tidak hanya pada laki-laki, tetapi toxic masculinity juga merugikan perempuan. Menurut Putra (2023), selain memberikan efek negatif terhadap mental health, membiasakan toxic masculinity dan tetap menjadikannya sebagai stigma sosial dapat berpotensi besar bagi seorang laki-laki yang mengikutinya untuk melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), bahkan menganggap pelecehan seksual sebagai hal yang wajar. Hal ini dikarenakan laki-laki yang diperlakukan dengan toxic masculinity mengikuti sebagaimana ekspektasi lingkungan yang diinginkan banyak orang—menjadi dominan dan berkuasa sehingga individu tersebut dipengaruhi oleh perilaku negatif.
Dari segi mana pun, toxic masculinity merupakan asumsi tersembunyi yang tidak terpuji, meskipun realitanya banyak orang yang mewajarkan. Faktanya, banyak pihak yang dirugikan dari kedua gender akibat penerapan toxic masculinity. Oleh karena itu, laki-laki tidak boleh terjebak oleh stigma
sosial yang merugikan kedua gender ini. Hanya karena berbeda gender saja, bukan berarti perempuan atau sesama laki-laki diperbolehkan menerapkan toxic masculinity pada laki-laki.
abcdeKrupuk Podcast (KruPod)
adalah sebuah podcast komedi yang
dibawakan oleh sekumpulan lakilaki yang senang nongkrong dan bertukar pikiran mengenai beberapa topik yang tidak bermakna. Dengan
filosofi kerupuk, topik yang
dibawakan dianggap sebagai
pelengkap dari hari-hari para pendengarnya. Walaupun demikian, setiap penyiar podcast ini memiliki
pandangan masing-masing terhadap
suatu masalah, terutama topik-topik
sosial yang memiliki stigma. Hal
inilah yang menjadi topik utama
dari setiap podcast yang dibawakan oleh mereka.
abcdeEpisode podcast yang akan
dibahas saat ini berjudul “Pria Lebih
Dominan Dibanding Wanita?” yang
disiarkan sejak Oktober 2020.
Pembicara dalam episode ini terdiri
dari tiga sahabat karib, yaitu Yabes
Glenn, Rico Yehezkiel, dan Ketut
Surya Putra. Dalam episode ini, mereka bertiga membahas mengenai
pengalaman mereka masing-masing
mengenai dominasi gender.
abcdeSalah satu permasalahan yang
diangkat dalam podcast ini adalah
dominasi gender dalam zaman
sekarang dibandingkan dengan
zaman dahulu. Salah satu caster menceritakan bahwa pada zaman ini, perempuan dianggap lebih barbar
daripada perempuan dalam zaman dahulu. Jika membahas mengenai perempuan di zaman dahulu, tepat pada saat zaman Kartini, perempuan memang dianggap sebagai seseorang yang berada di belakang laki-laki.
Misalnya, perempuan dalam budaya Jawa diharuskan untuk berjalan jongkok. Ditambah lagi, pakaian
pada zaman itu tidak nyaman untuk digunakan dalam beraktivitas, seperti kain jarit yang sangat ketat. Hal ini, menurut para caster dari podcast ini, menunjukkan bahwa adanya ketidaksetaraan gender dalam budaya Indonesia pada zaman dulu. Maka dari itu, emansipasi wanita sangatlah penting untuk dijunjung tinggi pada zaman itu.
abcdeTidak hanya membahas
mengenai masa lalu, dalam podcast
ini, salah satu caster menceritakan
pengalamannya berhadapan dengan
perempuan di zaman sekarang. Pada
zaman ini, perempuan dianggap
lebih barbar dan bersikap lebih
berani untuk melakukan sesuatu hal
terhadap laki-laki pada saat ini
Contoh nyata yang dibawa dalam
podcast ini adalah fenomena ketika
seorang perempuan menampar
seorang laki-laki Berbeda jika
sebaliknya laki-laki melakukannya
kepada perempuan, dalam kasus ini, perempuan dianggap sangat bagus
melakukan tindakan pemukulan
tersebut terhadap laki-laki
abcdeMenurut para caster di podcast
ini, terlihat bahwa laki-laki pada
saat ini menjadi pengambil
keputusan terbesar terutama dalam
hubungan. Ada pula caster yang
menceritakan pengalaman ketika
seorang perempuan meminta untuk
diperlakukan setara dengan laki-laki.
Namun, pada akhirnya, perempuan
itu juga meminta laki-laki untuk
bersikap lebih sopan dan lembut
Hal ini menurut para caster
menciptakan standar ganda untuk
para perempuan, berbalik daripada definisi kesetaraan dalam gender.
abcdeDalam penghujung podcast, para caster mendapatkan ide baru mengenai dominasi gender. Jika membahas mengenai dominasi gender pada zaman ini, sebenarnya dominasi gender itu relatif bagi setiap orang. Manusia itu dapat
berkembang, maka dominasi gender
itu muncul sebagai hasil dari gender
tertentu yang meningkatkan kompetensinya masing-masing.
Bagaimana suatu gender itu dapat
mendominasi tergantung dari
kemampuan gender tersebut untuk bisa lebih unggul daripada gender
lainnya. Walaupun kata
“kesetaraan” pada intinya adalah
bagaimana setiap gender bisa saling
setara dan adil, menurut caster di podcast ini, kesetaraan tidak akan ada jika setiap gender masih tetap berkompetisi untuk menjadi lebih unggul dari satu sama lain.
abcdeSecara kesimpulan, podcast ini sangatlah unik karena membahas
mengenai kesetaraan gender dan dominasi gender dari kacamata lakilaki. Hal itu dapat menjadi keunggulan dari podcast ini karena pada zaman sekarang, lebih banyak literatur dan artikel yang membahas mengenai kesetaraan gender dari sudut pandang feminis atau sudut pandang perempuan. Jika temanteman ingin tahu lebih dalam mengenai podcast ini, bisa scan QR di bawah ini, ya!
Krupuk Podcast. (2020, Oktober). Pria lebih dominan dibanding wanita [Audio Podcast].
Penulis:LuciousFelixSasmita(2022),MelisaVitaliaFransiska(2022)
Designer:KimberlyBillyYulianto(2022),AstariArfiana(2020)
Editor:YustisiaKrisnawulandariP (2020)
Kalian tau gak sih, sekarang masih sering terjadi dominasi gender? Lalu, apa itu dominasi gender? Dominasi gender adalah suatu sistem sosial yang menggambarkan posisi dominasi gender tertentu. Dominasi gender terjadi karena perempuan dipandang sebagai sosok yang dikagumi, pendiam, dan berkomitmen secara seksual (Sanday, 2001). Tidak jarang perempuan dituntut untuk dapat bekerja, mengurus anak, dan sebagainya (Aljohani, 2016). Seringkali, laki-laki dianggap wajar jika mendominasi. Dalam sebuah hubungan, mungkin saja ada yang mendominasi hubungan tersebut, antara pria atau wanita. Menurut Maestripieri (2012), hubungan yang romantis biasanya akan terlihat dominasinya sejak awal. Namun, pasangan yang terlalu dominan dapat menyebabkan ketidakseimbangan hubungan (Maestripieri, 2012).
Dominasi gender dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positif dari dominasi gender adalah tingkat pengakuan yang lebih tinggi ketika jenis kelamin seseorang sesuai dengan pekerjaan atau tugas dari gender tersebut (Pansky, Oren, Yaniv, Landa, Gotlieb, dan Hemed, 2018). Misalnya, seorang pria yang mendaftar kerja sebagai teknisi disebuah gedung perkantoran, kemungkinan untuk diterima akan lebih tinggi ketimbang perempuan yang mendaftar Hal jni terjadi karena profesi teknisi didominasi oleh pria Nah,
selanjutnya, efek negatif dari dominasi gender adalah stereotip salah satu gender yang dianggap kurang mampu menjalani suatu profesi (Morgenroth & Ryan, 2018). Dampak negatif berikutnya, menurut Parker (2018), perempuan lebih mungkin dilecehkan secara seksual di tempat kerja. Tentu hal ini menjadi kekurangan dari adanya dominasi gender. Menurut Sanday (2001), terjadinya dominasi pria dapat menimbulkan konflik identitas yang mengakibatkan perasaan terhina bagi pria yang lain. Hal ini terjadi karena mungkin pria yang lain merasa minder dan merasa didominasi oleh pria yang lebih mendominasi.
Selain dalam hal pekerjaan, dominasi gender juga sering terjadi dalam sebuah hubungan. Menurut Seidman (2015), tidak jarang wanita memilih untuk mendominasi suatu hubungan. Secara umum, dalam sebuah hubungan akan dipimpin oleh laki-laki dan yang mengambil keputusan. Namun, hal ini ditentang oleh Female-Led Relationship atau biasa disingkat FLR (Davenport, 2022). Menurut FLR, wanita juga berhak untuk berekspresi akan keunikan mereka, seperti kasih sayang, empati, dan kesadaran emosional.
Salah satu hal yang memengaruhi munculnya dominasi gender adalah adanya
budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Di budaya Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat, serta menciptakan ketimpangan gender
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Secara tersirat, sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan (Bressler, Charles E. 2007). Istilah ini juga
mengacu pada “kekuasaan laki-laki”, yaitu berlangsungnya dominasi lakilaki atas perempuan yang direalisasikan melalui berbagai cara (Kamla Bashin, 1996: 1). Oleh karena itu, tak jarang terjadi kekerasan dan eksploitasi
pada perempuan.
Selain itu, terdapat juga kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sehingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Secara biologis, perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga fungsi-fungsi sosial maupun kerja dengan masyarakat juga berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah dan publik, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah dan domestik. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat, di mana kontrol atau dominasi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan kaum perempuan, ketidakadilan gender akan terus berlangsung. Ideologi ini dianggap sebagai salah satu dari basis penindasan perempuan, karena menciptakan watak feminisme dan maskulin yang melestarikan patriarki, membatasi gerak dan perkembangan perempuan, serta memproduksi dominasi kaum laki-laki (Nunuk P & Murniati A, 2004: 80).
Tentunya, untuk memerangi dominasi gender dalam kehidupan seharihari, kesetaraan gender menjadi kunci utamanya. Di Indonesia sendiri, terdapat juga peraturan perundang-undangan mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Tahun 2012 yang mendukung konsep kesetaraan gender. Upaya-upaya ini diharapkan dapat menjamin kesetaraan hak-hak asasi, penyusun kebijakan yang proaktif mengatasi kesenjangan gender, dan peningkatan partisipasi politik.
Meski demikian, keluarga juga memegang peranan penting dalam pengajaran konsep kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan apa yang telah diajarkan dalam sebuah keluarga akan diterapkan oleh anak-anak mereka nantinya saat mereka dewasa. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dominasi gender (Harvard, 2018):
Mengekspos anak-anak dengan hal-hal yang dapat bertentangan dengan stereotip yang ada di sekitar kita. Contohnya adalah menunjukkan wanita tidak harus selalu menjadi ibu rumah tangga, melainkan dapat bekerja di bidang konstruksi, salah satu bidang pekerjaan yang selalu dikaitkan dengan laki-laki.
Membagi tanggung jawab secara adil kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Contohnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan masing-masing mendapat kesempatan yang sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Mengekspos diri dengan ras dan budaya yang berbeda dengan stereotip gender yang ada di sekitar kita melalui berbagai media, seperti buku atau media sosial. Selain itu, kita juga bisa berteman dengan teman yang berasal dari budaya dan ras berbeda.
Biarkan anak-anak untuk lebih mengeksplorasi dunia dan berekspresi secara bebas. Berikan aktivitas yang beragam kepada masing-masing anak. Anak laki-laki tidak harus selalu bermain sepakbola atau mobil dan anak perempuan tidak harus selalu bermain boneka atau rumahrumahan.
Ajarkan anak laki-laki untuk lebih berani dan terbuka dalam membicarakan kekhawatiran atau kesedihan mereka. Di sisi lain, kita juga tetap bisa mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan.
Berikan juga kesempatan yang setara kepada anak-anak perempuan untuk mendapat pendidikan yang layak, beropini, berpartisipasi dalam membuat keputusan, dan bekerja.
Dapat disimpulkan bahwa dominasi gender merupakan salah satu permasalahan yang cukup serius. Bagi kedua belah pihak, masing-masing memiliki tanggung jawabnya sendiri. Namun, hal itu tidak berarti bahwa diskriminasi terhadap salah satu gender merupakan hal yang benar. Oleh karena itu, kesetaraan gender dapat menjadi kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini. Keluarga menjadi pengajar pertama bagi anak-anak mereka yang nantinya apa yang telah didapatkan dalam keluarga mereka, akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hingga mereka dewasa.
Tidak hanya itu, konsep pemahaman mengenai kesetaraan gender juga menjadi hal yang sangat penting dalam menciptakan integrasi dan memajukan negara. Karena itulah, mari kita bangun kesempatan yang sama dan adil bagi kedua gender demi menciptakan kehidupan yang lebih nyaman dan aman.
Daftar Pustaka
Aljohani, N (2016, April) Gender / Dominance; Gender Approach 7(4) Retrieved March 25, 2023, from https://www ijser org/researchpaper/GenderDominance--Gender-Approach pdf
Davenport, B (2022, November 22) Female-Led Relationship: All You Need to Know About This Shift Live Bold and Bloom Retrieved March 26, 2023, from https://liveboldandbloom com/05/relationships/female-led-relationships
Jacobsen, J (2022, August 4) 10 Ways to Deal With Alpha Males in Relationships Marriage com Retrieved March 26, 2023, from https://www.marriage.com/advice/relationship/how-to-deal-with-an-alpha-male-in-a-relationship/ Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi Kehidupan Kemahasiswaan (2021, April 25) Retrieved March 25, 2023, from https://studentactivity binus ac id/tfi/2021/04/kesetaraan-gender-dalam-lingkup-organisasi-kehidupan-kemahasiswaan/ Maestripieri, D (2012, May 13) Are You Dominant or Subordinate in Your Romantic Relationship? Psychology Today Retrieved March 26, 2023, from https://www psychologytoday com/us/blog/games-primates-play/201205/are-you-dominant-or-subordinate-in-your-romantic-relationship Margono, A (2015) Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita pada Novel-Novel Karya Abidah El Khalieqy
Penulis: Ariellah Sharon Mohede (2021)
Designer: Adeline Natasha (2022), Astari Arfiana (2020)
Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)
Di zaman modern, identitas dan ekspresi gender menjadi h yang penting, terutama di negara-negara maju. Dengan semakin terbukanya masyarakat akan berbagai identitas gender di luar batas-batas tradisional, seperti pria dan wanita, tidak mengherankan bahwa semakin banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk melakukan coming out. Coming out adalah istilah yang digunakan ketika seseorang mengakui dan mengungkapkan aspek tertentu dalam dirinya yang mungkin selama itu terselubung atau tidak diketahui oleh orang lain, antara lain seperti orientasi seksual dan romantis mereka, dan tentunya identitas gender mereka (UNC LGBTQ Center, n.d.).
Di sisi lain, peningkatan akan kesadaran dan penerimaan ini juga telah memicu semakin banyak orang untuk mempertanyakan aspek-aspek tersebut dalam diri mereka, tak terkecuali aspek gender.
Menurut WHO (n.d.), gender sendiri merupakan sekumpulan karakteristik pada pria dan wanita, atau laki-laki dan perempuan, yang dibentuk secara sosial. Karakteristik ini dapat mencakup norma, perilaku, dan peran tertentu,
aupun hubungan yang mereka miliki dengan satu sama lain. Gender rhubungan dengan identitas gender, tetapi dua hal ini tidaklah sama.
mentara gender lebih berkaitan dengan sex atau jenis kelamin yang didasari oleh fisiologi seseorang, identitas gender lebih mengacu pada gender yang dirasakan dan dialami oleh seseorang secara internal, yang dapat sejalan atau tidak sejalan dengan fisiologinya (WHO, n.d.). Pada sebagian orang, identitas gender internal yang tidak sejalan dengan gender fisiologis dapat mengarah pada apa yang disebut sebagai gender dysphoria Secara umum, gender dysphoria adalah sebuah kondisi psikologis ketika individu merasa bahwa perasaan dan pengalaman yang ia miliki atas gendernya tidak sesuai dengan gender yang sudah ditetapkan baginya saat lahir, yang kemudian dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau emosi negatif (Magalhães & Magalhães, 2017). Oleh karena gender dysphoria merupakan pengalaman yang bersifat internal, gejalanya juga cenderung tidak terlihat langsung dan lebih memengaruhi perasaan dan keinginan dalam diri individu. Dilansir dari American Psychiatric Association (2022), gejala gender dysphoria dapat mencakup antara lain keinginan kuat individu untuk menghilangkan alat kelaminnya dan menekan perkembangan karakteristik jenis kelaminnya yang lain, untuk memiliki alat kelamin dan karakteristik jenis kelamin yang berbeda, dan untuk diperlakukan seperti orang dengan gender yang berbeda. Seseorang juga dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki perasaan dan reaksi yang biasa dimiliki oleh orang dengan gender yang berbeda. Berhubung dengan itu, tidak jarang bagi orang dengan gender dysphoria untuk menginginkan operasi atau penggunaan hormon untuk mengekspresikan identitas gender yang mereka rasakan (NHS, 2020).
Di sisi lain, meskipun gejala-gejala ini berlangsung secara internal, mereka dapat berdampak pada berbagai aspek hidup dan memengaruhi kegiatan sehari-hari. Dalam konteks sekolah atau pekerjaan, gender dysphoria yang tidak tertangani dapat mengarah pada pemutusan hubungan studi atau kerja, bahkan pengangguran (Mayo Clinic, 2022). Gender dysphoria juga seringkali mengarah pada kesulitan dalam hubungan, kecemasan, depresi, self-harm (upaya untuk menyakiti diri sendiri), gangguan makan, dan penyalahgunaan zat, di antara lain. Selain itu, orang dengan gender dysphoria tidak jarang mengalami diskriminasi, yang tentunya dapat mengarah pada stres dan keraguan untuk mencari bantuan (Mayo Clinic, 2022). Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri (de Freitas dkk., 2020).
Singkatnya, gender dysphoria, jika tidak diatasi, dapat memberikan dampak yang besar pada individu. Lalu, apakah hal ini menandakan bahwa kondisi ini adalah sebuah gangguan mental? Faktanya adalah, gender dysphoria masih merupakan salah satu kondisi psikologis yang tercantum dalam standar klasifikasi diagnostik internasional, seperti International Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) (Rodríguez dkk., 2018). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak upaya yang telah dikerahkan untuk mengubah persepsi kondisi ini sebagai suatu penyakit. Misalnya, pada 2019, WHO memelopori upaya ini dengan menghapus gender dysphoria dari manual diagnostik mereka. Daripada menyebutnya sebagai suatu gangguan atau disorder, kondisi ini sekarang hanya dianggap sebagai suatu ketidaksesuaian atau incongruence (Haynes, 2019). Selain itu, banyak juga bermunculan gerakan-gerakan yang secara spesifik berupaya untuk “mendepatologikan” kondisi ini (Rodríguez dkk., 2018).
Salah satu hal yang mendorong hal ini adalah pertimbangan bahwa membiarkan gender dysphoria untuk tergolong sebagai suatu gangguan hanya menyebabkan stigma (BBC News, 2019), yang seperti telah disinggung sebelumnya, dapat mengarah pada diskriminasi. Sementara itu, setidaknya sebagian dari gejala psikologis dan dampak negatif dari kondisi ini justru dikarenakan stresor dan penilaian negatif dari lingkungan sekitar yang seringkali dialami oleh mereka yang memilikinya (de Freitas dkk., 2020). Hal ni sejalan dengan penemuan yang menunjukkan bahwa banyak dari upaya
bunuh diri yang dilakukan oleh individu dengan gender dysphoria berhubungan dengan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat (Kaptan dkk., 2021).
Sebaliknya, terdapat studi yang telah menemukan bahwa dukungan sosial dan penerimaan berhubungan positif dengan penurunan emosi negatif pada orang dengan gender dysphoria (Budge dkk., 2014 dari Romani dkk., 2021).
Terutama dalam masa transisi perubahan gender, dukungan dari keluarga juga ditemukan dapat meningkatkan resiliensi dan kualitas hidup individu, serta menurunkan gejala depresi dan kecemasan (Kaptan dkk., 2021). Hal ini pun menunjukkan bahwa dampak gender dysphoria dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perlakuan orang di sekitar individu, dan bahwa perlakuan yang positif dapat meringankan gejala-gejala negatif. Dalam kata lain, selama individu mendapatkan dukungan sosial yang cukup dan merasa diterima dengan pilihan-pilihan yang ia buat atas dirinya, gender dysphoria seharusnya tidak perlu di-label sebagai suatu “gangguan”.
Jika disimpulkan, gender dysphoria adalah suatu kondisi serius yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan individu. Apakah kondisi ini merupakan suatu gangguan mental masih merupakan isu yang diperdebatkan
hingga sekarang, tetapi yang pasti adalah bahwa masyarakat modern sudah semakin dapat menerima dan menormalisasikan individu dengan gender dysphoria. Masyarakat modern sudah semakin menyadari bahwa me-label
kondi i i i b i b h han ah ada k alah ahaman dan s bukti bahw gankan gejala a melabeln ima.
Bersa angun masya dan bantu pada merek
Kata-katanya:
Penulis:RobertJohannesThianto(2021)
Designer:KarinaBerlianfa(2020), AstariArfiana(2020)
Editor:YustisiaKrisnawulandariP.(2020)
Apa kata mahasiswa UNIKA Atma Jaya mengenai dominasi gender?
Tim redaksi PSYGHT 22/23 melakukan wawancara singkat dengan mahasiswa dari berbagai fakultas mengenai pandangan mereka terhadap hal seputar dominasi gender.
“Dominasi gender adalah ketimpangan yang terjadi antara kedua gender karena salah satunya mendominasi yang lain, seperti misalnya pekerjaan pilot cenderung didominasi oleh pria.”
“Dominasi gender menurut aku adalah ketidakseimbangan antara gender yang satu dengan yang lain dan memberikan dampak negatif pada gender yang terdominasi.”
“Dominasi gender itu ketika suatu peran masyarakat lebih didominasi oleh satu gender. Misalnya, laki-laki lebih pantas untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin ketimbang perempuan.”
- (Margareth Ade Lorna Benediksien Mendrofa, Ilmu Komunikasi, 2021)
Dominasi gender menurut aku sebuah pengaruh yang kuat dari salah satu gender, entah itu dari laki-laki atau perempuan, terhadap berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, agama, dan ekonomi.”
- (Nicholas Hendra Saputra, Manajemen, 2021)
“Dominasi gender sebetulnya adalah sikap diskriminasi yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada seperti faktor lingkungan dan adat istiadat, sehingga adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal status sosial, pekerjaan, pendidikan, rumah tangga dan lain sebagainya. Contoh sikap ini seperti budaya patriarki yang memandang laki-laki sebagai tulang punggung, maka kedudukan kaum laki-laki itu di atas perempuan.”
- (Mauritius Vilkanova Malek, Ilmu Komunikasi, 2020)
Penulis : Nabilla (2021) Designer : Aliyah Mutiara (2022), Astari Arfiana (2020)
judul “Pengantar Gender dan ya Rokhmansyah (2013), berasal dari kata patriarkat.
ang menempatkan peran lakiuasa tunggal, sentral, dan ementara itu, perempuan p lemah, inferior, dan harus ehendak laki-laki. Sistem mendominasi kebudayaan
babkan adanya kesenjangan n gender yang memengaruhi
ai aspek kegiatan manusia
Perempuan seringkali tidak sama dengan laki-laki dalam
berbagai hal, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, dan hak untuk membuat keputusan dalam hidup mereka sendiri. Hal ini menyebabkan
perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior.
Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini, di tengah
berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan. Budaya patriarki juga hadir di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain di dunia. Meskipun Indonesia
merupakan negara yang majemuk dengan beragam etnis, budaya, dan agama, namun budaya patriarki masih sangat kuat di dalam masyarakatnya.
Hal ini tercermin dalam beberapa aspek kehidupan di Indonesia, seperti di dalam keluarga, di bidang pendidikan, pekerjaan dan persepsi masyarakat
terhadap kekerasan seksual pada perempuan (Ghizali, dkk, 2002).
Di dalam keluarga, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang
harus bertanggung jawab atas kehidupan keluarga dan perempuan dianggap
sebagai pendamping yang harus tunduk pada kehendak laki-laki (Abdullah,
Penting bagi setiap individu untuk meningkatkan kesadaran diri tentang
budaya patriarki dan bagaimana hal ini memengaruhi diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membaca dan mempelajari
topik-topik terkait kesetaraan gender, serta mendiskusikan isu-isu ini dengan
teman atau keluarga. Selain itu, setiap individu dapat memberikan kontribusi dalam mendorong kesetaraan gender dalam lingkungan sekitarnya, seperti di keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan
mendukung kesetaraan gender dan mempromosikan akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan.
Setiap individu dapat mengambil tindakan nyata untuk memerangi
budaya patriarki dan mendukung kesetaraan gender, seperti mendukung kampanye yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan laki-laki, serta memperjuangkan hak-hak perempuan dalam lingkungan sekitar. Selain itu, setiap individu dapat menjadi contoh yang baik dalam memerangi budaya patriarki dengan menghargai kesetaraan gender, tidak mendiskriminasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia bagi semua orang, terlebih lagi bagi perempuan. Dengan kontribusi dari setiap individu, maka kita dapat memerangi budaya patriarki dan menuju ke kesetaraan gender, serta menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Abdullah, A. F. (2005). Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah Bagaimana Mengatasinya. Gema Insani. Anwar, 2017 Implikasi Budaya Patriarki Dalam Kesetaraan Gender Di Lembaga Pendidikan Madrasah (Studi Kasus pada Madrasah di Kota Parepare) Jurnal Al-Maiyyah
Ghizali, dkk. (2002). Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Rahma Yogyakarta. Irianto, S (2006) Perempuan & Hukum Yayasan Obor Indonesia
Jauhariyah, W (2017) Jurnal Perempuan Online Dikutip pada April 2023 dari: http://www jurnalperempuan org/blog2/-akarkekerasanseksual-terhadap-perempuan
Palulungan, dkk (2020) Perempuan, Masyarakat Patriarki dan Kesetaraan Gender Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)
Rokhmansyah, A (2013) Pengantar Gender dan Feminisme Penerbit Garudhawaca
by
Membahas mengenai dominasi
gender dan kesetaraan gender, ada
lagu-lagu yang mungkin dapat
menginspirasi, salah satunya adalah
lagu yang dibawakan oleh girl group
asal Korea Selatan yang baru saja
melangsungkan konser di Jakarta
kemarin. Siapa lagi kalau bukan BLACKPINK.
BLACKPINK adalah sebuah girl
group beranggotakan empat personil
asal Korea Selatan dari agensi YG
Entertainment yang sangat mendunia
pada saat ini. Diskografi mereka yang
menarik dan bermacam-macam
membuat banyak orang dapat
tertarik dengan lagu-lagu mereka.
Lagu-lagu mereka, baik diskografi grup maupun individu, memiliki
makna yang dapat terhubung pada para pendengarnya. Salah satunya
adalah lagu ‘Kill This Love’ yang dirilis pada tahun 2019. Lagu ini
bercerita tentang perasaan
perempuan terhadap relasi
percintaannya yang bukannya
membawa perasaan positif, malah membuat dirinya menjadi terkekang
DaftarPustaka
Koreaboo (2019 April 25) Producer Behind BLACKPINKs “KILL THIS LOVE”
Speaks Up About The Meaning Of The Song - Koreaboo https://wwwkoreaboocom/news/producer-behind-blackpinks-kill-love-speaksmeaning-song
P (2019, April 16) BLACKPINK Reveals Meaning Of Kill This Love KpopmapKpop KdramaandTrendStoriesCoverage https://wwwkpopmapcom/blackpinkreveals-meaning-of-kill-this-love/
Penulis: Yora Violetta Suparman (2020)
Designer: Meivannie Aurielle Eldi (2021)
dan tidak bisa merasakan cinta yang sebenarnya.
Tak hanya itu, photocard yang merupakan barang komplementer yang biasa ada dalam album, juga menggambarkan para personil yang terlihat terluka akibat kekerasan yang terjadi pada hubungan percintaan.
Dikutip dari Kpopmap (2019), salah satu personilnya, yaitu Jenni, mengatakan bahwa lagu ini ingin menyampaikan keinginan untuk lepas dari toxic relationship yang dijalani dan membuat perempuan seperti tidak punya kekuatan untuk menghentikan hal tersebut. Selain itu, Bekuh Boom selaku produser lagu ini juga mengatakan hal yang serupa, bahwa lagu ini bercerita tentang domestic abuse yang seringkali ada dalam suatu hubungan. Lagu ini ditujukan tidak hanya untuk pendengar, tetapi juga pendengar laki-laki, mengingat bahwa kekerasan dalam hubungan bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Dengan lagu ini, produser berharap bahwa pendengarnya dapat merasa memiliki semangat untuk keluar dari hubungan tersebut (Koreaboo, 2019).
Di dunia yang kita tempati, terdapat dominasi gender yang nyata. Di mana laki-laki dianggap superior, dan perempuan seringkali diabaikan.
Mereka dididik sejak kecil, agar patuh dan tak banyak bicara. Lalu saat dewasa, mereka dikurung, dalam batas-batas yang tak terhingga.
Tapi perempuan tak luput, mereka berjuang agar terdengar. Melawan ketidakadilan yang mereka rasakan, menantang dominasi gender yang ada.
Mereka tak ingin lagi, terus disalahkan karena jender mereka.
Mereka ingin punya hak yang sama, di dalam dunia yang sama-sama kita huni.
Laki-laki dan perempuan, berjalan seiring dalam satu langkah.
Tak ada lagi dominasi gender, hanya kesetaraan dan saling menghargai.
Penulis : Nabilla (2021)Penulis: Novie Dhiana Anggriani Putri (2020)
Designer: Yasinta Tiara Arnanda (2021)
Bagaimana rasanya menjadi pribadi yang dibatas-batasi hanya karena
memiliki gender tertentu? Bagaimana rasanya diragukan hanya karena gender yang dianggap tidak sesuai dengan hobi ataupun kemampuan yang dimiliki? Amerta dan Mahesa. Kisah ini tentang mereka. Kisah dari sepasang sahabat yang memiliki sifat, hobi dan kemampuan yang bertolak belakang.
Amerta adalah seorang gadis yang tangguh, ia menyukai aktivitas fisik, seni bela diri dan seringkali mengikuti
petualangan alam yang bisa dikatakan cukup ekstrim. Sedangkan Mahesa adalah seorang laki-laki yang memiliki perasaan cukup sensitif.
Berbeda dengan Amerta yang menyukai petualangan, Mahesa lebih senang berdiam diri di dalam ruangan, membuat karya puisi romansa dan membuat pola design baju. Sifat dan kemampuan yang bertolak belakang ini entah kenapa malah membuat mereka dekat satu sama lain, walaupun seringkali direndahkan oleh lingkungan mereka.
Panggilan itu membuat sang gadis menoleh dari kegiatan berjalannya di lorong kampus, senyumannya terukir saat mengetahui bahwa Mahesa-lah yang memanggilnya.
"Amerta!"
Pagi ini mereka memang sengaja bertemu untuk membahas sesuatu, walau kelas mereka sebenarnya diliburkan.
“Gimana? Gimana persiapan kamu soal kompetisi panjat tebing nanti?"
Pertanyaan itu membuat Amerta
menghela napasnya, ia menuntun
Mahesa untuk duduk di taman sebelum membahas hal tersebut lebih
dalam. “Sulit, sepertinya banyak orang meragukan ku. Mereka tertawa saat aku mendaftar. Bahkan, pihak
penyelenggara saja berulang kali
bertanya Katanya, tidak ada wanita yang ikut selain aku.” Mahesa ikut
tersenyum pahit, ia mengusap punggung sahabatnya itu. Di pahanya terdapat buku yang di dalamnya terdapat banyak sekali karya-karya indah milik Mahesa.
Puisi, cerita bahkan pola baju.
“Kalau begitu, buktikan! Kamu kan hebat, Ta. Aku yakin sebanyak apapun lawanmu walaupun itu laki
laki pas-” ucapannya terpotong saat buku karyanya diambil begitu saja oleh Deva. Seorang laki-laki yang
sedari dulu selalu merendahkan
dirinya dan Amerta Ia juga salah
satu lawan dari Amerta pada
perlombaan panjat tebing nanti.
Deva tertawa, menjatuhkan buku Mahesa ke tanah Entah apa tujuannya. Hal itu membuat Amerta bangkit begitu saja dari duduknya sedangkan yang mempunyai buku hanya diam dan menunduk.
“Apa sih maksudmu?!” seru Amerta, ia maju dan menarik kerah baju Deva.
“Apa?! Mau pukul? Kalian ini kebalik ya? Mahesa seperti perempuan! Amerta jagoannya. Hahaha!”
Setelah Amerta menarik kerah baju Deva, beberapa orang mahasiswa lainnya yang melihat insiden tersebut mencoba untuk memisahkan mereka. Amerta yang terbawa emosi mencoba meneriaki
Deva, namun Mahesa mencoba untuk menenangkan sahabatnya dan membawa Amerta pergi dari situasi tersebut.
Mahesa membawa Amerta ke ruangan kosong untuk menenangkan dirinya. Dia mencoba membujuk Amerta untuk membiarkan masalah tersebut, karena menurutnya tidak ada gunanya untuk menanggapi orang yang tidak memiliki empati dan sikap menghargai orang lain.
Namun Amerta tetap emosi dan merasa perlu membuktikan
kemampuannya pada kompetisi
panjat tebing nanti.Mereka berdua kemudian mulai mempersiapkan diri untuk kompetisi dan berlatih secara intensif.
Mahesa memotivasi Amerta dalam
melatih fisik dan membangun kepercayaan dirinya, sementara Amerta membantu Mahesa dalam
mengembangkan bakatnya di bidang seni.
Pada akhirnya, pada saat
perlombaan, Amerta berhasil menunjukkan kemampuannya dan memenangkan kompetisi tersebut
melawan Deva. Dia merasa sangat bahagia dan berterima kasih atas
dukungan dan semangat yang diberikan oleh Mahesa selama persiapan kompetisi.
Keberhasilan Amerta pada perlombaan tersebut membuat Deva
terkesan dan akhirnya ia meminta
maaf atas perlakuannya yang merendahkan Amerta dan Mahesa.
Dia menyadari kesalahan dan berjanji untuk mengubah sikapnya.
Melalui kisah ini, kita belajar bahwa sikap rendah hati, empati, dan menghargai orang lain sangatlah penting. Meskipun terkadang kita
menghadapi diskriminasi atau stereotip tertentu, kita dapat mengatasi hal tersebut dengan
semangat, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang terdekat kita.
Hari demi hari kulewati
Ku tanamkan rasa syukur dalam jiwaku
Bagaikan matahari yang terbit di pagi hari
Kubangun semangat demi menggapai cita
Jalanan yang berduri itu
Tidak menggangguku berjalan
Dibawah terowongan gelap tanpa cahaya
Kulalui semua itu
Masa depan adalah tujuanku
Sayap yang lelah kebangkitkan
Terbang menuju cahaya
Yang sudah lama kudambakan
Jika teman-teman ingin karyanya dimuat dalam majalah PSYGHT edisi selanjutnya, bisa langsung hubungi Redaksi PSYGHT di Instagram @psyghtfpuaj
Judul: Self Made Man: One Woman's Journey Into Manhood and Back Again
Penulis: Norah Vincent
Tebal: 274 halaman
Tahun Terbit: 2006
abcdeApa yang akan terjadi jika seorang wanita mencoba untuk hidup sebagai pria selama 18 bulan?
abcdeHal ini dilakukan oleh Norah Vincent, seorang jurnalis yang mencoba untuk memahami bagaimana pria menghadapi dunia yang berpusat dalam budaya patriarkis. Dalam buku “Self Made
Man: One Woman's Journey Into Manhood and Back Again”, pembaca dapat memahami pengalaman langsung yang dirasakan oleh Norah ketika melakukan eksperimen selama satu setengah tahun untuk memahami bagaimana laki-laki hidup di tengah masyarakat
abcdeEksperimen ini bermula dengan Norah Vincent, seorang penulis dari Los Angeles Times, yang memutuskan untuk mencoba menjadi pria karena terinspirasi oleh para teman-temannya yang merupakan seorang waria. Darihal tersebut, ia berpikir mengapa banyak pria ingin menjadi seorang wanita. Norah pun akhirnya mencoba kebalikannya, yaitu mencoba menjadi pria untuk beberapa jam. Dalam waktu yang singkat, ia menyadari bahwa terdapat perbedaan interaksi antara pria dengan wanita. Hal ini membuatnya ingin makin tahu teritorial yang tidak pernah ia jelajahi, yaitu bagaimana pria bekerja dalam masyarakat, khususnya di New York.
abcdeDengan ide itu, akhirnya Norah memutuskan untuk melakukan eksperimen singkat sebagai pria selama satu setengah tahun. Ia menamai dirinya sebagai Ned, seorang pria yang bekerja di bidang pemasaran. Norah juga melakukan banyak sekali persiapan dalam menjadi seorang pria, seperti melakukan latihan vokal, mencukur rambut, dan berolahraga agar fisiknya menyerupai seorang pria.
“SELF MADE MAN: ONE WOMAN'S JOURNEY “SELF MADE MAN: ONE WOMAN'S JOURNEY INTO MANHOOD AND BACK AGAIN” INTO MANHOOD AND BACK AGAIN”
abcdePada awalnya, Norah tidak merasa takut hidup sebagai Ned. Ia mendapatkan relasi yang baik bersama teman-temannya ketika bekerja. Ia juga sempat ikut dalam liga bowling dan menjalin pertemanan yang intim dengan sesama pria. Sebagai Ned, Norah juga merasakan mendatangi klub malam sebagai pria, bersaing mendapatkan penjualan yang tinggi di pekerjaannya, dan mencoba untuk melirik wanita.
abcdeSelama 18 bulan, Norah melakukan hal tersebut dan makin menyadari bahwa ada bentuk budaya laki-laki dan fungsi laki-laki dalam masyarakat. Dalam buku ini, Norah mempelajari kode etik ketika seorang pria sendirian, tidak hanya apa yang dibicarakan, tetapi juga apa yang dilakukan oleh pria. Ia juga memahami makna di balik keheningan, gestur fisik yang terjadi antara para pria, dan cita-cita maskulinitas para pria. Dalam penyamaran inilah, Norah menyelidiki tekanan ekspektasi sosial dan berusaha memahami apa arti dari kejantanan para pria. Norah juga memahami dan mengeksplorasi bahwa pria tidak hanya mendapatkan prestige dan penghargaan saja. Pria juga harus memiliki tanggung jawab yang besar sebagai laki-laki, ayah, pasangan, atau pencari nafkah.
abcdeSebagai seorang wanita yang menyamar menjadi pria, Norah malah mengungkap beberapa kebenaran yang pahit mengenai kontribusi perempuan terhadap ketidaksetaraan gender. Banyak perempuan yang malah memberikan Norah pengalaman buruk atau menyulitkan Norah sebagai lakilaki pada saat itu. Norah merasa kecewa, terutama mengingat dirinya sebenarnya seorang wanita dan bahwa kesetaraan gender pada zaman ini malah memicu ketidaksetaraan yang lebih besar
abcdeBuku ini pada akhirnya menegaskan dan meledakkan stereotip terhadap pria dan wanita dan peran gender dalam masyarakat, walaupun
pada akhirnya Norah mengatakan bahwa menjadi seorang pria merupakan hal yang sangat sulit dan merupakan pengalaman yang kontradiktif dan membutuhkan perhatian besar dari kedua jenis kelamin. Walaupun
pembahasan buku ini sangatlah bagus, sangat disayangkan bahwa Norah
Vincent akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada tahun 2022 yang lalu.
Daftar Pustaka
Vincent, N (2006) Self Made Man: One
Woman's Journey Into Manhood and Back Again. New York: Penguin Group.
Penulis: Yustisia Krisnawulandari P (2020)-Ketika Chef menjadi Istri Raja-
Director: Yoon Sung-sik
Script writer: Park Gye-Ok & Choi Ah-il
Cast: Shin Hye-sun, Kim Jung-hyun, Choi Jin-hyuk, Bae Jong-ok, Cha Cheong-hwa
Release date: 14 Februari 2021
Jumlah episode: 20
Sebagai penikmat beberapa serial drama Korea, Mr. Queen menjadi salah
satu serial favorit bagi PSYGHT untuk direkomendasikan kepada pembaca.
Dalam beberapa minggu belakangan ini, Mr. Queen meraih banyak peminat
terutama di situs layanan streaming Netflix, sehingga PSYGHT memutuskan
untuk mengulas drama ini. Drama ini juga merupakan salah satu karya terbaik Yoon Sung-sik.
Bermula dari seorang koki pria yang bertukar tubuh dengan ratu di dinasti
Joseon, Jang Bong-hwan (Choi Jin-hyuk) harus menjalani kehidupan yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya.
Drama ini berisikan konflik internal kerajaan
dikemas dalam jalan cerita dengan sangat
menarik, sehingga membuat setiap episode
dalam serial drama ini terasa emosional.
Di setiap episode dari serial drama ini
terdapat adegan humor dan romantis yang
porsinya sudah sangat sesuai. Terlebih lagi, kemampuan Shin Hye-sun dalam memainkan
karakter sebagai ratu patut diacungi jempol.
Shin Hye-sun berakting dengan sangat luwes dan ketika dipasangkan dengan karakter raja Cheoljong (Kim Jung-hyun) rasanya seperti melihat kombinasi yang pas. Interaksi antara mereka berdua kerap kali mengundang gelak tawa, apalagi melihat tingkah ratu yang konyol.
Dalam karyanya yang kali ini, selain menuangkan banyak adegan komedi dan romantis, Yoo Sung-sik juga mengangkat isu terkait gender dominance yang sesuai dengan tema artikel majalah kali ini Gender dominance
ditunjukkan oleh Jang Bong-hwan (Choi Jin-hyuk) yang tadinya pria bertukar tubuh dengan seorang wanita. Selain itu, dijelaskan pula hierarki kerajaan pada masa itu, dimana koki kerajaan haruslah seorang pria dan ratunya tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.
Sayangnya, meskipun nama kerajaan dan rajanya asli, namun alur cerita di drama ini tidak sesuai dengan sejarah aslinya. Serial ini juga tidak dapat ditonton semua kalangan umur karena terdapat hal-hal dewasa. Jadi, drama ini kurang direkomendasikan bagi seseorang yang ingin mempelajari sejarah Korea. Hal ini dikarenakan produsernya sendiri sudah mengklaim bahwa serial drama ini keseluruhannya merupakan fiksi.
Penulis: Chelsea Jetrolin Wijaya (2022)
Designer: Yasinta Tiara Arnanda (2021)
Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)
Daftar Pustaka: Stefanie, C. (2021, Februari 16). Review Drama: Mr. Queen. CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210215191824220-606557/review-drama-mr-queen
Rekomendasi PSYGHT:
minasi gender memang merupakan topik yang tidak kunjung gar makin terinspirasi, berikut kami telah menyusun bersama ylist untuk menemani kalian. Playlist ini berisikan berbagai macam lagu yang mengingatkan diri kita mengenai kesetaraan gender. Semoga playlist ini dapat mengingatkan kita agar dapat berkontribusi dalam menjaga kesetaraan peran gender kita masing-masing. Tanpa berlama-lama lagi, yuk dengarkan lagu pilihan dari kami.
The Power Of Equality– Red Hot Chile Peppers
Freedom – Beyonce feat Kendrick Lamar
Independent Women - Destiny Child
Black or White – Michael Jackson
You Don’t Own Me - Lesley Gore
Kill This Love - BLACKPINK
Amendment- Ani DiFranco
I Am Woman - Emmy Meli
Born this Way – Lady Gaga
Respect – Aretha Franklin
Equal Right – Peter Tosh
Girl on Fire - Alicia Keys
One Love – Bob Marley
Imagine – John Lennon
Equal Right – Ishawna
9 to 5 - Dolly Parton
Penulis:Yustisia Krisnawulandari Putri (2020)
Designer: Meivannie Aurielle Eldi (2021)
AstariArfiana(2020)