

KABAR baik ZAMAN bagi SEGALA
Memahami & Menerapkan Alkitab


pengantar
Kabar Baik bagi
Segala Zaman
Memahami dan Menerapkan Alkitab
Albert Einstein ternama karena rambutnya yang acak-acakan dan rumus terkenalnya
E = mc2. Namun tidak banyak orang yang mengetahui bahwa ia menghabiskan 30 tahun terakhir hidupnya untuk menyelidiki teori yang tidak pernah ditemukannya—teori yang ia tahu dalam hatinya akan ditemukan suatu saat kelak. Einstein meyakini bahwa ada satu teori agung yang akan menjelaskan tentang kaitan dari seluruh kekuatan di alam semesta ini.
Pencarian Einstein berlanjut hingga kini. Sebagian orang menamainya Teori Medan Terpadu. Yang lain menyebutnya sebagai Teori Tunggal yang Akbar. Teori itu mungkin paling dikenal dengan sebutan Teori Segalanya.
Meskipun saya dan Albert Einstein tidak mempunyai banyak kemiripan, saya juga penasaran
dengan gagasan mengenai adanya satu Teori Tunggal yang Akbar untuk Alkitab—teori tunggal yang sederhana nan cerdas yang mencakup seluruh fakta yang ada dari Kejadian hingga Wahyu, seluruh
ajaran Kitab Suci, dan meringkasnya sedemikian rupa sehingga seorang bocah kecil pun akan sanggup memahaminya.
Mengapa demikian? Karena dengan memahami
Teori Tunggal yang Akbar dari Alkitab, maka tersingkap pula isi hati dan pikiran Allah serta apa yang terpenting bagi-Nya baik untuk masa kini maupun sepanjang kekekalan. Kita akan ditolong untuk menghayati kekuatan besar yang sepatutnya menggerakkan hidup kita dan alasan utama bagi penciptaan kita sebagai manusia.
Pencarian saya mendapat hasil pada suatu malam ketika sedang bersantap dengan seorang pengajar di sekolah Alkitab. Saya bertanya kepadanya mengapa ada begitu banyak pasal dalam kitab Keluaran yang berisi petunjuk-petunjuk terperinci yang seakan tiada habisnya untuk pembangunan Kemah Pertemuan. “Oh, mudah saja,” ujarnya. “Allah sendiri hendak berdiam di tengah umat-Nya!” Jawaban sederhana itu menjadi kunci yang membuka makna Kitab Suci. Saya mendapati bahwa kunci utama itu cocok dengan seluruh kisah Alkitab dari awal hingga akhir. Bahkan, dalam salah satu pasal terakhir dari Alkitab, Rasul Yohanes menulis tentang puncak dari penglihatan luar biasa yang diterimanya:
Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang
berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah
Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu sudah berlalu” (wahyu 21:1-5).
Allah menciptakan kita untuk menjadi bagian dari satu komunitas yang saling mengasihi dengan Dia sebagai pusat-Nya. Karena Allah adalah kasih, Dia menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya agar kita bisa mengalami kedalaman kasih-Nya— tidak hanya bersama-Nya tetapi juga dengan sesama manusia.
Kejatuhan manusia di kitab Kejadian pasal 3 itu seumpama gempa bumi yang meretakkan tujuan Allah atas kita. Pada intinya, dosa menghancurkan hubungan dengan sesama, komunitas, dan persekutuan dengan Pribadi yang menciptakan kita.
Namun Allah tidak pernah menyerah dengan rencana awal-Nya! Setiap kitab dalam Alkitab, setiap kisah dalam lembar demi lembar, menceritakan upaya tak kenal lelah yang dilakukan-Nya demi membawa kita kembali kepada-Nya—hingga puncaknya, Dia menjadi sama seperti kita dan kemudian mati di atas kayu salib guna menghapus jurang yang memisahkan kita dari-Nya.
Ketika Anda menyadari bahwa yang terutama dari Alkitab bukanlah peraturan melainkan hubungan, cara Anda membaca Kitab Suci akan berubah. Dan ketika Anda memahami bahwa yang terutama dalam firman Allah bukanlah hukum melainkan kasih, Anda akan dapat menyelami isi hati Allah yang menciptakan Anda bagi diri-Nya.
Halaman-halaman berikut ditulis untuk membantu
Anda memahami dan menerapkan Alkitab. Namun selagi
Anda mengarungi perjalanan penting ini, ingatlah untuk menjadikan “Teori Tunggal yang Akbar” itu sebagai acuan utama yang memandu Anda hingga ke tujuan.
Jack Kuhatschek
langkah pertama
Memahami Keadaan Asli
langkah
langkah ketiga
Menerapkan Prinsip Umum pada Masa Kini
PEMIMPIN EDITOR: Tim Gustafson
PENERBIT: Our Daily Bread Ministries
PENULIS: Jack Kuhatschek
EDITOR PELAKSANA: J. R. Hudberg
PENERJEMAH: Yoki
EDITOR TERJEMAHAN: Dwiyanto, Natalia Endah
PENYELARAS BAHASA: Marlia K. Dewi
PENATA LETAK: Mary Chang
SAMPUL & ILUSTRASI: Jeremy Culp
PERANCANG INTERIOR: Steve Gier
GAMBAR INTERIOR: (hlm.1) Jeremy Culp; (hlm. 7) Marcello via StockXchng; (hlm.21) Agnes Scholiers via RGBStock; (hlm.31) Constantin Giuhat dan Linden Laserna via StockXchng.
Bacaan Alkitab merupakan kutipan dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia © LAI 1974.
© 2015 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia.
ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI!
Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.
Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening
a/n YAYASAN ODB INDONESIA
Green Garden 253-300-2510
Daan Mogot Baru 0000-570195
Taman Semanan Indah 118-000-6070-162
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet.

Yayasan ODB Indonesia
Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui: WhatsApp: 0878-7878-9978
E-mail: indonesia@odb.org
Dukung kami dengan klik di sini.

Dalam film klasik Back to the Future (Kembali ke Masa Depan), seorang remaja dari dekade 1980-an memasuki sebuah mesin waktu (mobil DeLorean yang telah dimodifikasi) dan melaju kencang meninggalkan jejak berapi untuk kembali ke dekade 1950-an. Kotanya tetap sama, tetapi semuanya berubah. Para wanita berkuncir kuda dan mengenakan kaos kaki model kuno dan berbicara dengan kalimat seperti, “Amboi, elok rupawan pria itu!” Para pria tampil klimis dengan sisiran rambut rapi ke belakang dan mengenakan baju hangat khas masa itu dan celana panjang model baggy. Ketika mobil menepi ke SPBU, masih ada petugas berseragam yang segera keluar untuk mengisi tangki bensin, mengelap kaca depan, dan memeriksa oli. Harga bensin hanya 5 sen per liter, begitu juga harga sebotol Coca Cola. Ketika menonton film itu, kita tersentak dengan kenyataan betapa ganjilnya kehidupan di masa lalu dan alangkah banyaknya hal yang telah berubah.
Kita juga menyadari bahwa banyak hal yang masih tetap sama. Masa remaja tetap adalah masa yang canggung, baik kini maupun di masa lalu. Para remaja masih harus mengalami
masa-masa sekolah, mengerjakan PR, berpesta, berteman, dan cinta pertama. Orang-orang masih melaju di jalanan sambil mendengarkan lagu kesukaan mereka dari radio. Bocah lakilaki masih suka mengisengi saudari mereka, dan meskipun Coca Cola tidak lagi berharga 5 sen, orang masih suka meminumnya.
Jadi, apa bedanya?
Kita juga menemui pengalaman serupa ketika kita membaca Alkitab. Banyak hal terasa ganjil atau asing. Orang-orang dalam Alkitab mengenakan sandal, mengendarai unta, dan tinggal di kemah. Mereka mempersembahkan korban binatang dan menganggap daging babi itu ‘haram’. Mereka beribadah pada hari Sabtu dan bekerja pada hari Minggu. Ketika seorang wanita tidak bisa memberikan keturunan, ia mengizinkan suaminya menikahi hamba perempuannya. Benar-benar suatu dunia yang jauh berbeda!
Tentu saja, banyak hal tetap terlihat sama. Para tokoh di Alkitab bergumul melawan godaan dan tantangan untuk beriman kepada

kali, Alkitab memperlihatkan betapa Allah dengan sabar dan penuh kasih memelihara umat-Nya dan memanggil mereka untuk mengasihi-Nya dan sesama.
Allah. Demikian pula kita. Kita bisa ikut merasakan penderitaan Ayub meski ia hidup 4.000 tahun yang lalu. Para suami tetap harus mengasihi istri mereka dan anak-anak tetap harus menaati orangtua mereka. Sering kita merasa para penulis Alkitab sedang berbicara langsung kepada kita dengan memberikan kekuatan, penghiburan, dan harapan. Berulang kali, Alkitab memperlihatkan betapa Allah dengan sabar dan penuh kasih memelihara umat-Nya dan memanggil mereka untuk mengasihi-Nya dan sesama.

Perasaan ganjil tetapi tidak asing yang dialami ketika kita membaca Alkitab (atau menonton film mengenai dekade 1950an) merupakan akibat dari adanya jarak dalam sejarah. Meskipun kita memiliki banyak kesamaan dengan para tokoh di Alkitab, kita terpisah jarak sejauh 2.000 hingga 4.000 tahun dengan mereka. Mereka hidup di zaman, waktu, dan budaya yang berbeda, serta bercakap-cakap dalam bahasa yang berbeda pula. Kita tidak mungkin dapat mengabaikan jarak dalam sejarah dan budaya itu apabila kita hendak memahami dan menerapkan Alkitab.
Perjalanan Lintas Waktu
Di satu sisi, memahami dan menerapkan Alkitab adalah seperti melangkah ke dalam mesin waktu. Kita harus melintasi rintangan waktu, bahasa, budaya, dan geografis demi memahami para tokoh Alkitab dan bagaimana firman Allah diterapkan dalam keadaan yang mereka hadapi. Kita akan mempelajari caranya pada bab ini.
Lalu, setelah memahami bagaimana firman Allah diterapkan bagi orang-orang pada abad lampau, kita melangkah lagi ke dalam mesin waktu dan kembali ke abad ke-21. Sekarang kita mampu merenungkan bagaimana Kitab Suci diterapkan pada waktu dan budaya kita saat ini dan pada masalah yang kita hadapi. Itulah tujuan dari bab berikutnya.
Mesin waktu kita dibangun dari berbagai alat yang tersedia bagi para pembelajar Alkitab masa kini. Dengan sejumlah alat itu, kita sanggup melintasi rintangan yang memisahkan kita dari dunia zaman Alkitab.
Melintasi rintangan waktu. Karena peristiwa-peristiwa dalam Alkitab terjadi ribuan tahun yang lalu, kita dihadapkan pada satu masalah utama dalam memahami semua peristiwa itu: kita tidak berada di sana! Oleh karena itu, kita sering kali kekurangan informasi penting menyangkut konteks sejarah yang melatarbelakangi terjadinya semua peristiwa tersebut.
Hampir setiap surat di Perjanjian Baru ditulis untuk membahas suatu masalah tertentu atau sejumlah masalah dalam hubungan
baru mereka dengan Allah di dalam Yesus: Jemaat di Galatia berupaya untuk dibenarkan melalui hukum Taurat; jemaat di Korintus menghendaki jawaban bagi pertanyaan soal pernikahan, karunia rohani, dan daging persembahan berhala; Timotius ingin mengetahui cara untuk menegakkan ketertiban dalam gereja.
Apabila kita tidak memahami persoalan atau pertanyaan tersebut, membaca surat-surat itu hanya akan seperti menguping pembicaraan seseorang di telepon. Kita membaca apa yang ditulis oleh penulis Alkitab, tetapi kita tidak mengetahui alasan ia menuliskannya. Hal yang sama juga berlaku ketika kita membaca Mazmur dan kitab-kitab para nabi. Kita hanya mengetahui separuh dari kisah sesungguhnya!
Contohnya, dalam suratnya yang pertama Yohanes menulis: Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah
(1 yohanes 4:1-3).
Perikop itu sering disalahtafsirkan sebagai cara untuk menguji kerasukan setan. Akibatnya, perikop tersebut salah diterapkan. Misalnya, ketika bertemu dengan seseorang yang mungkin kerasukan setan, kita diminta untuk “menguji roh” dengan bertanya kepada orang itu, “Apakah Yesus Kristus telah datang sebagai manusia?” Jika orang itu memang dirasuki roh jahat, ia akan menjawab “Tidak.” Namun jika orang itu menjawab “Ya”, kita menganggap bahwa ia tidak kerasukan setan. Itu adalah contoh umum dari upaya menafsirkan perikop secara terpisah dari latar belakang sejarahnya. Jika membaca dengan teliti bagian itu, kita akan melihat bahwa Yohanes tidak sedang memberikan petunjuk untuk menguji kerasukan setan melainkan untuk membedakan antara nabi yang benar dari yang palsu (ay.1). Dan nabi palsu yang dimaksudkannya adalah mereka
yang menyangkal bahwa Kristus yang ilahi telah benar-benar menjadi manusia, karena mereka percaya bahwa “daging” dan materi itu jahat.
Bagaimana kita mengetahui hal itu? Ada beberapa cara untuk mempelajari latar belakang sejarah dari perikop tersebut atau perikop mana pun. Salah satunya adalah dengan mencari petunjuk dalam kitab atau perikop itu sendiri. Di 1 Yohanes 2:19, kita menemukan bahwa para nabi palsu itu pada awalnya pernah menjadi bagian dari gereja: “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita” (2:19). Yohanes menyebut mereka “antikristus” (ay.18)
Salah satu tujuan dari suratnya adalah untuk memperingatkan para pembacanya mengenai mereka: “Semua itu kutulis kepadamu, yaitu mengenai orang-orang yang berusaha menyesatkan kamu” (ay.26). Ada banyak pernyataan lain di dalam surat Yohanes, baik terang-terangan maupun terselubung, yang memberi kita informasi tambahan mengenai keadaan yang dihadapi para pembacanya dan alasan ia menulis kepada mereka. Ketika kita menelusuri latar belakang sejarah dari sebuah kitab atau perikop, ada baiknya juga kita membaca bagian-bagian Alkitab lain yang berkaitan. Sebagai contoh, Mazmur 51 ditulis oleh Daud setelah perselingkuhannya dengan Batsyeba. Kita bisa membaca tentang Daud dan Batsyeba di 2 Samuel 11–12. (Keterangan di atas teks Mazmur 51 memberi tahu kita mengapa mazmur itu ditulis. Ketika keterangan tidak diberikan, sebuah kamus atau tafsiran Alkitab sering menyebutkan bagian-


peristiwa dalam
Alkitab terjadi ribuan tahun yang lalu, kita dihadapkan pada satu masalah utama dalam memahami semua peristiwa itu: kita tidak berada di sana!
bagian lain yang berkaitan). Demikian juga ketika mempelajari kitab Filipi, ada baiknya kita menelusuri pula kitab Kisah
Para Rasul, yang memuat keterangan mengenai cikal bakal berdirinya jemaat di Filipi (lihat kisah para rasul 16).
Semakin banyak kita mengetahui latar belakang sejarah dari sebuah bagian dari Alkitab, semakin baik kita diperlengkapi untuk memahami pesan dari penulisnya. Memperoleh keterangan seperti itu bisa sama dengan menemukan kepingan puzzle yang hilang. Ketika kepingan itu diletakkan di tempat yang seharusnya, keseluruhan gambarnya menjadi jauh lebih jelas.
Melintasi rintangan bahasa. Kenyataan bahwa Alkitab ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani daripada dalam bahasa Indonesia atau Inggris telah menciptakan rintangan yang berarti untuk memahami pesan di dalamnya. Siapa saja yang berusaha mempelajari semua bahasa itu akan segera menyadari betapa sulit untuk menguasainya. Syukurlah, mereka yang ahli dalam bahasa asli Alkitab telah melintasi rintangan itu bagi kita dengan menerjemahkan bahasa asli Alkitab ke dalam bahasabahasa lain. Bahkan dalam bahasa Inggris, ada banyak versi terjemahan yang bisa dipilih.
Untuk bahasa Inggris, ada terjemahan ekuivalen formal seperti New American Standard Bible dan English Standard
Version—Alkitab Terjemahan Baru termasuk jenis terjemahan itu. Ada terjemahan ekuivalen fungsional atau dinamis seperti New International Version dan New Living Translation Alkitab Bahasa
Indonesia Sehari-hari atau Bahasa Indonesia Masa Kini termasuk jenis itu. Kemudian ada terjemahan bebas seperti New Testament in Modern English oleh J. B. Phillips.
Setiap jenis terjemahan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Terjemahan ekuivalen formal berusaha sedekat mungkin mengikuti susunan kata dalam bahasa Ibrani atau Yunani, tetapi hasil pengkalimatannya sering kali terdengar janggal dalam bahasa Inggris.
Terjemahan bebas lebih mementingkan kejelasan makna ketimbang susunan kata. Terjemahan seperti itu mudah dibaca tetapi memberikan kesan bahwa Alkitab ditulis pada abad ke-21. Sebagai contoh, dalam terjemahan pertama The Living Bible dari Mazmur 119:105, kata pelita diterjemahkan menjadi “senter”!
Para pembelajar Alkitab yang cermat akan memanfaatkan kelebihan dari semua jenis terjemahan itu. Setiap terjemahan dapat memberikan pencerahan mengenai apa yang sesungguhnya disampaikan oleh si penulis dalam bahasa aslinya.
Melintasi
rintangan budaya. Peristiwa-peristiwa di Alkitab berlangsung di tengah budaya yang berbeda-beda: Mesir, Kanaan, Babel, Yahudi, Yunani, dan Romawi (itu baru sebagian kecil). Oleh karena itu, bukan hal yang aneh apabila dalam Alkitab, kita menemui adat istiadat atau kepercayaan yang terlihat ganjil. Kita merasa demikian karena semua itu begitu berbeda dengan budaya abad ke-21.
Apa yang dimaksud dengan terafim dan mengapa Rahel mencuri itu dari ayahnya (kejadian 31:19) ? Mengapa Yunus takut terhadap orang Niniwe? Siapakah orang Samaria, dan mengapa ada kebencian mendalam antara mereka dengan orang Yahudi (yohanes 4:9) ? Bagaimana keadaan kota Korintus, dan apakah jemaat di Korintus menghadapi godaan tertentu karena mereka tinggal di sana? Ketika kita memahami jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut, kita pun memperoleh pencerahan baru dengan melihat bagaimana firman Allah diterapkan melalui tindakan tokoh-tokoh Alkitab dalam menghadapi beragam ketakutan, konflik, dan godaan.
Bayangkan kita sedang menyelidiki kitab Amos dan mendapati ayat berikut: “Pada waktu Aku menghukum Israel karena perbuatan-perbuatannya yang jahat . . . tanduk-tanduk mezbah itu dipatahkan dan jatuh ke tanah” (amos 3:14). Ayat itu tak bermakna bagi kita di abad ke-21, tetapi kamus atau ensiklopedia Alkitab akan membantu kita memahami apa yang dimaksud oleh Amos.
Jika menelusuri penjelasan kata mezbah atau tanduk, kita mendapati bahwa mezbah di Bait Suci memiliki semacam tanduk pada keempat sudutnya. Darah korban persembahan dioleskan pada tanduk-tanduk itu.
Di zaman Perjanjian Lama, banyak orang Yahudi meyakini mezbah sebagai tempat perlindungan. Mereka yang mencari keselamatan akan pergi ke Bait Suci dan memegang tanduk mezbah itu. Amos memperingatkan bahwa bangsa Israel akan berlari ke mezbah dan mendapati bahwa tanduk-tanduknya (yaitu, tempat perlindungannya) telah hilang!
Memang mustahil mempelajari Alkitab tanpa menyelami budaya
Timur Tengah kuno. Ketika kita semakin memahami budaya kuno tersebut, kita akan semakin ditolong untuk mampu melintasi rintangan yang ada di antara dunia kita dengan mereka.

semakin
memahami budaya kuno tersebut, kita akan semakin ditolong untuk mampu melintasi rintangan yang ada di antara dunia kita dengan mereka.

Kita bisa mengetahui banyak tentang budaya dalam Alkitab hanya dari membaca kitab atau perikop yang sedang dipelajari.
Sebagai contoh, kitab-kitab Injil dipenuhi oleh petunjuk mengenai cara hidup orang di Palestina pada abad pertama. Kita tahu bahwa bangsa Yahudi berada di bawah kekuasaan Romawi (LUKAS 3:1) dan menanti-nantikan kedatangan Mesias untuk membebaskan mereka dari musuh (LUKAS 1:71). Kita juga memperoleh pemahaman mengenai keseharian hidup di zaman Alkitab: kegiatan usaha (LUKAS 16:1-18), pernikahan (YOHANES 2), pemakaman (YOHANES 11), pengupahan (MATIUS 20:1-16), perpajakan (MATIUS 22:15-22), dan seterusnya.
Melintasi rintangan geografis. Ada orang yang beruntung bisa mengunjungi tanah Israel. Sekembalinya dari sana, mereka berkata bahwa kisah-kisah Alkitab terasa begitu hidup dalam cara-cara yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Mereka yang belum pernah mengunjungi Tanah Suci juga bisa menikmati pengalaman tersebut dengan cara yang lebih terbatas. Ketika kita mempelajari tentang letak dan lokasi yang disebutkan dalam Alkitab, kita akan memperoleh pencerahan tentang banyak bagian di dalamnya.
Sebagai contoh, di Amos 1:3–2:16 sang nabi mengucapkan kecaman atas Damsyik, Gaza, Tirus, Edom, Amon, Moab, Yehuda, dan Israel. Sekilas mungkin terlihat Amos menyebut segala kota dan bangsa tersebut secara acak, tetapi penelusuran lebih jauh membuktikan tidaklah demikian. Tiga tempat pertama adalah ibukota dari bangsa-bangsa yang tidak berkaitan dengan Israel. Tiga berikutnya adalah kerabat dari Israel. Yehuda, yang ketujuh, adalah saudara sebangsa Israel yang terletak di selatan. Akhirnya, Israel sendirilah yang disebut.
Dampaknya atas mereka yang mendengarkan Amos tentulah sangat mencengangkan.
Bangsa Israel tentu bersorak gembira mendengar kecaman Amos atas bangsa-bangsa penyembah berhala. Namun ketika perkataannya semakin mengarah pada bangsa-bangsa yang berhubungan dengan mereka—Amon, Moab, Yehuda—mereka mulai berkeringat dingin.
Dengan perkataan “Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku” (2:6), mereka pun terhisap dalam pusaran kecaman yang disampaikan Amos.
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk memahami geografis Alkitab. Banyak Alkitab melampirkan peta di dalamnya. Sebuah atlas atau kamus Alkitab yang baik juga dapat menyediakan keterangan berharga mengenai berbagai tempat yang asing di telinga kita.
Membaca dengan Cermat
Bayangkan Anda melangkah ke dalam mesin waktu dan telah berhasil melintasi rintangan waktu, bahasa, budaya, dan geografis.
Anda berada di kota Korintus pada abad pertama. Anda berpakaian ala orang Yunani kebanyakan. Anda fasih berbicara dalam bahasa Yunani dan memahami budaya serta keadaan sekitar Anda. Bahkan, Anda rajin beribadah di gereja Korintus dan mengenal dengan baik orang-orang maupun persoalan di tengah jemaat.
Ketika Anda berkumpul untuk beribadah di rumah salah seorang jemaat, seorang pembawa pesan tiba dengan sepucuk surat dari Paulus, yakni surat yang kita kenal sebagai kitab 1 Korintus. Anda membuka gulungan surat itu dan mulai membacanya (dalam bahasa Yunani, tentu saja!). Apakah karena Anda telah berhasil melintasi rintangan waktu, bahasa, budaya, dan geografis, maka Anda serta merta sanggup memahami maksud perkataan Paulus kepada jemaat di Korintus? Belum tentu. Petrus adalah salah seorang rekan sezaman Paulus, tetapi ia masih juga mendapati beberapa hal dalam surat-surat Paulus yang “sukar difahami” (2 petrus 3:16). Tentu saja kesulitan Petrus bisa jadi dikarenakan maksud Paulus memang kurang jelas di dalam suratnya. Namun, sekalipun Paulus menulis dengan jelas, keberhasilan kita dalam memahami maksud tulisannya (atau maksud penulis mana pun) akan bergantung pada kemahiran kita dalam membaca tulisannya.
Karena itulah, salah satu aspek dari mempelajari cara mendalami Alkitab adalah memiliki keahlian membaca— suatu keahlian yang akan membantu kita, baik untuk membaca Alkitab, sebuah novel, ataupun majalah.

Ketika membaca Alkitab, tujuan pertama kita haruslah untuk menjawab satu pertanyaan utama: Apakah maksud yang ingin disampaikan penulis kepada para pembaca aslinya? (Pertanyaan mengenai maksud dari perikop itu bagi kita di masa kini akan dibahas kemudian.)

dari mempelajari cara mendalami Alkitab adalah memiliki keahlian membaca.
Anda bisa mengungkap maksud penulis dengan mengikuti lima panduan berikut:
1Kenali
jenis bacaan yang Anda pelajari. Seorang pakar sekte sesat sedang berceramah di sebuah gereja pada suatu sore. Beberapa anggota sekte sesat itu mengetahui tentang ceramah tersebut dan memutuskan untuk hadir. Ketika ceramah itu berlangsung separuh jalan, salah satu dari mereka berdiri dan menyatakan pandangannya bahwa Allah Bapa memiliki tubuh fisik seperti manusia. Ia berusaha “membuktikan” pandangannya itu dengan mengutip ayat-ayat yang menyebut adanya “tangan kanan”, “lengan”, “mata” Allah, dan seterusnya. Si penceramah memintanya membaca dengan suara keras Mazmur 17:8, “Sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu.”
“Namun itu hanya sekadar kiasan,” protes pria itu. “Tepat sekali!” jawab si penceramah.
Para penulis Alkitab berkomunikasi dengan beragam cara— melalui berbagai kisah, surat, syair, amsal, perumpamaan, kiasan, dan lambang. Setiap jenis bacaan memiliki unsur khas. Kita harus mengenali jenis bacaan dan gaya bahasa yang digunakan seorang penulis agar dapat menafsirkan maksud tulisannya dengan tepat. Ketika kita menduga bahwa ia berbicara secara harfiah, padahal sesungguhnya ia berbicara dalam bahasa kiasan, maka usaha kita akan sia-sia.
2Dapatkan
ikhtisar atas keseluruhan kitab. Ikhtisar membantu kita menyingkap maksud bacaan itu dalam dua cara. Pertama, kita dimampukan untuk menemukan pokok pemikiran dari suatu kitab ketika kita menjumpai adanya gagasan yang berulang. Kedua, kita dibantu untuk mengetahui kerangka dari suatu kitab, yakni bagaimana bagian-bagian dari suatu kitab terjalin untuk membangun keseluruhan tema.
Sebuah ikhtisar adalah seperti melihat melalui lensa pembesar. Mulailah melihat keseluruhan kitab dengan membaca
kitab itu secara cepat, dan temukan gagasan atau kata-kata berulang yang menyatukan isi kitab itu. Apabila tidak mungkin membaca keseluruhan kitab, telusuri isinya secara sekilas dengan memperhatikan secara saksama pembagian pasal atau paragraf. Kemudian, perhatikan dengan lebih cermat pemilahan atau pembagian utama dalam kitab itu. Setiap bagian akan membahas satu tema tertentu. Ketika Anda telah menemukan tema itu, cobalah menyimpulkannya dengan memberi judul singkat untuk bagian itu. Sekarang Anda siap untuk memusatkan perhatian pada rincian dari bagian itu—setiap paragraf, kalimat, dan kata yang ada.

3 Pelajari bagian demi bagian dari kitab itu. Ketika Anda telah memperoleh ikhtisar dari tema dan kerangka sebuah kitab, mulailah mempelajari bagian demi bagian di dalamnya. Dalam Alkitab kita sekarang, bagian itu bisa berupa sebuah paragraf, sekelompok paragraf, atau sebuah pasal. Meski demikian, sadarilah bahwa Alkitab pada awalnya tidak terbagi atas pasal, paragraf, atau ayat (atau bahkan tanda baca!). Semua pembagian itu adalah tambahan yang bermanfaat pada Alkitab kita, tetapi kita tidak perlu terikat oleh semua itu.
4 Peka terhadap jiwa dari kitab atau bagian tertentu. Alkitab lebih dari sekadar kumpulan gagasan. Para penulis dan tokoh Alkitab adalah orang-orang seperti kita yang memiliki kehendak dan

awalnya tidak terbagi atas pasal, paragraf atau ayat (atau bahkan tanda baca!). Semua pembagian itu adalah tambahan yang bermanfaat pada Alkitab kita, tetapi kita tidak perlu terikat oleh semua itu.
perasaan. Duka dan kesengsaraan menjadi pengalaman Yesus di Getsemani. Surat kepada jemaat di Galatia memancarkan kemarahan Paulus terhadap para pengikut Yudaisme dan kebingungannya atas sikap jemaat di Galatia. Mazmur 148 penuh dengan luapan puji-pujian.
Meski ini merupakan aspek dari pendalaman Alkitab yang cenderung subjektif, kita bisa memperoleh pemahaman yang kaya tentang perasaan dan motivasi dari para penulis atau tokoh Alkitab. Alhasil, pemahaman kita mengenai apa yang mereka sampaikan akan menjadi semakin kuat.
5 Bandingkan penafsiran Anda dengan membaca
satu atau dua buku tafsiran. Ketika Anda merasa telah memahami pokok pikiran dari bagian tertentu dan maksud yang disampaikan penulis, bandingkanlah penafsiran Anda dengan membaca satu atau dua buku tafsiran Alkitab yang baik. Buku-buku itu bisa memberi Anda pencerahan lebih lanjut, bahkan dapat meluruskan tafsiran Anda yang mungkin keliru terhadap apa yang disampaikan penulis. Namun demikian, usahakanlah sebaik mungkin untuk memahami sendiri bagian Alkitab itu sebelum membandingkannya dengan tafsiran lain.
Kembali ke Masa Depan
Sekarang kita siap melangkah kembali ke dalam mesin waktu dan pulang ke abad ke-21. Ketika mengarungi perjalanan dari dunia Alkitab ke dunia kita sendiri, kita harus melintasi kembali rintangan waktu, budaya, bahasa, dan geografis. Dalam arti luas, inilah yang dimaksud dengan penerapan. Kita berusaha menerapkan apa yang kita pelajari di Yerusalem, Efesus, atau Korintus dalam kebutuhan kita sehari-hari di Jakarta, London, atau Hong Kong. Kita mengambil pesan yang aslinya tertulis dalam bahasa Ibrani, Yunani, dan Aram dan menyampaikannya dengan jelas dalam bahasa kita sendiri. Kita membawa kebenaran yang sejatinya disampaikan di waktu dan budaya yang berbeda dan menerapkannya dalam kebutuhan kita
yang tidak jauh berbeda di dunia dan budaya kita masa kini. Satu langkah penting dalam mempersiapkan perjalanan pulang ini adalah dengan membalik prosesnya. Setelah berusaha melihat Allah dalam setiap hal yang terperinci, sekarang kita perlu menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari peraturan dan tuntutan tertentu dalam Kitab Suci.


Menemukan Prinsip Umum
Ketika sebuah keluarga besar berkumpul mengelilingi
meja makan untuk bersantap, setiap anggota keluarga mendapat giliran berdoa. Namun demikian, setiap orang cemas ketika tiba giliran si anak bungsu. Doanya terasa bagaikan penderitaan yang tak berujung karena satu persatu hal diucapkannya dengan rinci. Si bungsu mulai berdoa dengan menyebutkan isi piringnya sendiri lalu kemudian isi piring setiap orang di seputar meja itu: “Ya Tuhan, terima kasih untuk telur saya, telur Ibu, telur Ayah, telur Stephen, dan telur Lucy. Terima kasih untuk daging saya, daging Ibu, daging Ayah, daging Stephen, dan daging Lucy. Lalu ia biasa menutup doanya yang panjang dengan menyebutkan apa saja yang terdapat di atas meja: “Terima kasih untuk garam, terima kasih untuk lada, terima kasih untuk mentega dan terima kasih untuk selai. Dalam nama Yesus, Amin.” Pada saat itu semua orang menghembuskan napas lega dan baru bisa menyantap hidangan yang sudah dingin.
Suatu pagi si bungsu mengejutkan semua orang. Seperti biasa, saat berdoa yang menggelisahkan itu pun tiba. Anggota keluarga yang lain menundukkan kepala, melipat tangan, dan mulai merasa cemas. Mereka semua tahu, setidaknya lima hingga sepuluh menit kemudian baru mereka bisa mencicipi daging asap panggang dan panekuk berwarna keemasan atau minum jus jeruk dan kopi yang tadinya panas. Anak bungsu itu mulai seperti biasanya, tetapi kali ini semua orang ternganga mendengarnya berujar, “Ya Tuhan, terima kasih untuk makanan kami. Dalam nama Yesus, Amin.” Si bungsu telah belajar untuk membuat rangkuman!
Meski Alkitab ditulis bagi orang-orang tertentu untuk keadaan-keadaan tertentu, berita di dalamnya ditujukan bagi semua orang di segala zaman. Sejak zaman Yesus, para pengikut-Nya selalu merindukan untuk tahu bagaimana mereka dapat menjalani hidup yang selayaknya setelah menerima anugerah, kasih, dan keselamatan yang diberikan Allah melalui Yesus Kristus. Bagaimana kita bisa menunjukkan rasa syukur kepada Allah yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita? Seperti apa wujud kasih terhadap Allah dan sesama di tengah hiruk-pikuk hidup sehari-hari? Syukurlah, Allah telah menunjukkan kepada anak-anak-Nya arti dari hidup dalam hubungan pribadi dengan-Nya. Namun terkadang panduan itu begitu spesifik sehingga terlihat tidak berkaitan sama sekali dengan para pembaca masa kini.
Belajar untuk melakukan generalisasi adalah salah satu langkah terpenting dalam menerapkan Alkitab. Ketika pada permukaannya sebuah perikop terlihat tidak terlalu relevan untuk diterapkan pada keadaan kita di masa kini, kita perlu menggali di bawah permukaan tersebut untuk menemukan sebuah prinsip umum.
Hukum yang Terutama
Gagasan tentang menemukan prinsip umum di balik pengajaran yang khusus dalam Kitab Suci bukanlah penemuan baru. Yesus sendiri mengajar kita untuk melakukan hal tersebut.
Seorang ahli Taurat pernah mendatangi Yesus untuk menguji pengetahuan-Nya mengenai Kitab Suci. “Guru,” ia bertanya, “hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Dengan menanyakan itu, sang ahli Taurat sedang meminta pendapat Yesus mengenai salah satu persoalan terpenting pada masa itu.
Para rabi Yahudi menghitung ada 613 hukum atau perintah terpisah dalam hukum Taurat, mulai dari hukum yang mengatur kain bertanda kusta hingga korban pada Hari Pendamaian. Mereka berusaha membedakan antara hukum yang “berat” (atau “lebih utama”) dengan yang “ringan” (atau “kurang utama”).
Para rabi tidak bermaksud mengabaikan hukum yang kurang utama demi hukum yang lebih utama. Sebaliknya, mereka justru menduga-duga apakah memang ada hukum-hukum yang lebih utama, yang jika ditaati oleh seseorang, ia serta-merta telah menaati hukum-hukum yang kurang utama.
Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Perhatikan baikbaik yang dikatakan Yesus selanjutnya: “ Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi ” (matius 22:36-40, penekanan oleh penulis)
Dengan kata lain, kedua hukum itu meringkas hukumhukum lainnya. Menurut Yesus, kedua hukum itu menangkap maksud dan semangat dari setiap perintah, peraturan, dan hukum dalam Alkitab dan menerangkan berita yang disampaikan para nabi seperti Yesaya, Yehezkiel, dan Yeremia. Sifat kedua hukum itu begitu umum sehingga bisa diterapkan dalam berbagai keadaan yang berbeda. Bahkan, hukum-hukum terutama itu bisa diterapkan dalam keadaan apa pun. Kedua hukum itu mengungkapkan maksud dasar dan sasaran utama dari setiap perintah yang diberikan Allah.
Kasih kepada Allah dan sesama bukanlah satu-satunya makna
dari Kitab Suci. Alkitab juga berbicara panjang lebar mengenai
kasih Allah kepada kita, suatu kasih yang tidak tercakup dalam dua hukum yang terutama tadi. Kemudian Yesus menambahkan hukum yang ketiga: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (YOHANES 15:12). Sasaran baru dari kasih itu adalah saudara-saudari kita dalam Kristus.
Standar baru dari kasih adalah kasih Yesus yang rela berkorban bagi
kita seperti yang ditunjukkan-Nya di atas kayu salib.
Jika demikian, mengapa dibutuhkan begitu banyak hukum? Semua itu menggambarkan makna dari mengasihi Allah dan sesama di tengah situasi-situasi khusus dalam kehidupan sehari-hari untuk beragam orang pada berbagai keadaan yang menjadi penerima pertama dari hukum-hukum itu. Sebagai contoh, bagaimana bentuk mengasihi sesama dalam kegiatan usaha? “Jangan menipu orang lain dengan memakai ukuran, timbangan atau takaran palsu” (imamat 19:35 bis). Apa artinya mengasihi orang yang lapar dan berkekurangan? “Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. . . . Semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing” (19:9-10).
Di satu sisi, menemukan prinsip umum di balik perintah khusus dalam Kitab Suci itu tidaklah sulit. Apa pun hukumnya, apapun keadaannya, kita tahu bahwa semuanya itu adalah wujud kasih kepada Allah dan sesama. Dari kitab Kejadian hingga Wahyu, Kitab Suci menekankan bahwa yang terutama dalam mengikut Kristus adalah hubungan kita dengan Allah dan sesama—sebuah hubungan yang diawali dengan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus (filipi 2:5-11)
Namun lama-kelamaan akan cukup membosankan apabila itu menjadi satu-satunya prinsip umum yang bisa kita temukan. Bayangkan apabila setiap khotbah, setiap buku
Kristen, dan setiap pendalaman Alkitab hanya berbicara tentang kasih sebagai satu-satunya tema! Syukurlah tidak demikian adanya. Meski tema utama dari Alkitab begitu sederhana sehingga seorang bocah pun sanggup memahaminya, Kitab Suci masih mengandung kekayaan dan nuansa yang lebih besar daripada apa yang bisa kita bayangkan.
Tingkat Penerapan
Alkitab memuat banyak tingkat penerapan. Tingkatan itu berbentuk seperti piramida, dengan hanya dua hukum (kasih kepada Allah dan sesama) pada puncaknya dan semua perintah dan tuntutan lainnya ada di antara puncak dan dasar piramida.
Hukum-hukum yang terdekat dengan puncak piramida berjumlah lebih sedikit karena bersifat lebih umum dan abstrak.
Hukum-hukum yang terletak dekat dengan dasar piramida (misalnya seperti “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik”) berjumlah lebih banyak karena bersifat lebih khusus, rinci, dan konkret.
Perintah atau hukum yang dekat dengan dasar piramida terkadang terlihat tak bermakna atau tidak jelas sebelum kita bergerak naik ke tingkatan lebih tinggi pada piramida itu dan menemukan prinsip atau alasan di baliknya. Sebaliknya, prinsip yang terletak di dekat puncak piramida sering terlihat samarsamar dan abstrak sebelum diperjelas oleh prinsip yang lebih konkret di dekat dasar piramida.
Mari perhatikan sebuah pasal yang menggambarkan beragam tingkat penerapan.
Perintah Paulus mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Di 1 Korintus 8, Paulus memberikan perintah mengenai sebuah topik yang rasanya tidak berkaitan dengan banyak budaya di masa kini, yakni tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Meski demikian, ketika menelusuri lebih jauh pasal itu, kita menemukan bahwa persoalan makanan hanyalah salah satu dari tingkat penerapan, yaitu terletak pada dasar piramida. Ada dua tingkat penerapan
lainnya pada piramida tersebut, dan masing-masing tingkat itu bisa diterapkan untuk masa kini.
Sebelum mencari prinsip-prinsip umum tersebut, kita harus pertama-tama memahami masalah yang dihadapi para pembaca Paulus dan bagaimana pasal itu diterapkan atas mereka. Mengapa mereka mencemaskan makanan yang dipersembahkan kepada berhala? Sebuah keterangan dari buku The Handbook of Life in Bible Times (Panduan tentang Kehidupan di Zaman Alkitab) dapat membantu kita melintasi rintangan budaya ini:
Bahkan tugas rumah tangga yang biasa dilakukan seperti membeli daging dari tukang daging atau pergi makan bersama sahabat juga dipenuhi masalah. Ada tukang daging yang memborong daging yang akan mereka jual dari kuilkuil penyembahan berhala tempat hewan itu dipotong untuk tujuan ritual atau dipersembahkan sebagian sebagai korban kepada berhala. Orang Kristen di Korintus tidak yakin apakah mereka diperbolehkan membeli daging semacam itu, atau untuk menyantapnya apabila dihidangkan di hadapan mereka. [J. A. Thompson, Handbook of Life in Bible Times (Downers Grove, IL.: InterVarsity Press, 1986)]
Paulus hendak membantu jemaat di Korintus melihat persoalan itu dari sudut pandang Kristen. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa di satu sisi, ia tidak mementingkan persoalan tentang boleh menyantap makanan yang dipersembahkan kepada berhala atau tidak. Mengapa demikian? Pertama, ia mengetahui bahwa sesungguhnya hanya ada satu Allah: “Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: ‘tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.’ Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ‘allah’, baik di sorga, maupun di bumi—dan memang benar ada banyak ‘allah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian—namun bagi kita hanya ada satu Allah saja” (1 korintus 8:4-6). Kedua, Paulus menyadari bahwa makanan bersifat netral secara rohani: “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (ay.8).
Namun Paulus menyadari bahwa “bukan semua orang yang mempunyai pengetahuan itu” (ay.7). Sebagian orang Kristen yang pernah terikat dalam penyembahan berhala bisa saja salah paham apabila Paulus dan saudara seiman lainnya menyantap makanan yang dipersembahkan kepada berhala:
Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai “pengetahuan”, sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala? Dengan jalan demikian orang yang lemah, yaitu saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati, menjadi binasa karena “pengetahuan”mu.
Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudarasaudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus (ay.10-12)
Ketimbang mengambil risiko itu, Paulus menyimpulkan: “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku” (ay.13).
Meski kesimpulan Paulus untuk tidak menyantap daging persembahan berhala tidak terlalu relevan untuk diterapkan dalam banyak budaya masa kini, alasan yang diberikannya tetaplah berlaku. Di ayat 8-9, ia menyatakan bahwa persoalan sesungguhnya bukanlah daging persembahan berhala, melainkan “supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” Dengan kata lain, ada prinsip yang lebih penting yang dipertaruhkan di sini: Paulus tidak menghendaki kita melakukan apa pun yang dapat menyebabkan saudara seiman kita berdosa karena hati nurani mereka ternodai (ay.7,10). Sikap tersebut akan “melukai” atau “membinasakan” saudara seiman kita, padahal Paulus justru menghendaki kita membangun mereka dalam kasih (ay.1). Prinsip itu bisa diterapkan dalam berbagai bidang di masa kini.
Kita telah bergerak dari perintah yang sangat khusus dan mungkin tidak relevan bagi kita mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala menuju prinsip yang lebih
umum dan lebih dapat diterapkan tentang menjaga sikap agar kebebasan kita tidak menyebabkan orang lain berdosa. Paulus bahkan menyebutkan salah satu dari dua prinsip umum di balik perintah itu dan setiap hukum dalam Kitab Suci, yakni membangun saudara-saudari seiman kita dalam kasih (ay.1).
Oleh karena itu, piramida kita di perikop tersebut memiliki tiga tingkat penerapan:
Tingkat 1 (yang paling khusus): Jemaat di Korintus tidak patut menyantap makanan yang dipersembahkan kepada berhala apabila hal itu menyebabkan orang yang lemah hati nuraninya mencontoh perbuatan mereka.
Tingkat 2 (lebih umum): Jemaat di Korintus tidak patut membiarkan kebebasan mereka (dalam hal apa pun) menjadi batu sandungan bagi yang lainnya.
Tingkat 3 (yang paling umum): Jemaat di Korintus sepatutnya hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membangun orang lain dalam kasih.
Ketika kita menyadari bahwa setiap perikop Kitab Suci merupakan bagian dari sebuah piramida alkitabiah yang lebih besar dengan beragam tingkatnya, maka menerapkan Alkitab menjadi lebih mudah. Jika sebuah perikop tampak terlalu khusus untuk dapat diterapkan dalam keadaan kita saat ini, kita cukup bergerak naik setingkat untuk mencari sebuah prinsip umum yang bisa kita terapkan.
Menemukan Prinsip Umum
Menemukan prinsip umum dalam sebuah bagian Alkitab merupakan buah dari usaha kita ketika mengajukan pertanyaanpertanyaan yang tepat. Ada tiga pertanyaan penting yang harus diajukan, terutama jika bagian tersebut tidak langsung bisa diterapkan pada masa kini:
Pertanyaan 1: Apakah penulis menyatakan sebuah prinsip umum? Perikop 1 Korintus pasal 8 menjadi contoh dari cara yang pertama dan termudah untuk menemukan sebuah prinsip umum: cukup dengan membaca apakah penulis menyatakan prinsip tersebut, seperti yang ditulis Paulus di ayat 9. Para penulis
Perjanjian Baru sering kali menyatakan sebuah prinsip umum dan kemudian memberikan beberapa contoh dari penerapan prinsip itu dalam keadaan-keadaan tertentu. Tidak semua keadaan khusus itu relevan bagi kita di masa kini, tetapi prinsipprinsip umum itu hampir selalu bisa kita terapkan karena semua itu mencerminkan karakter Allah.
Pertanyaan 2: Mengapa perintah khusus itu diberikan? Entah penulis menuliskan sebuah prinsip umum atau tidak, sering kita bisa menemukan prinsip umumnya dengan menyelidiki perintah itu sendiri dan alasan di balik keberadaannya. Perintah di Alkitab tidak pernah diberikan secara sembarangan, melainkan selalu merupakan pernyataan dari tingkat penerapan yang lebih tinggi. Ketika kita menemukan alasan dari pemberian sebuah hukum, kita bisa bergerak satu tingkat atau beberapa tingkat lebih tinggi di piramida penerapan itu menuju pada prinsip yang bisa diterapkan di masa kini.
Pertanyaan 3: Apakah latar belakang yang lebih luas mengungkapkan sebuah prinsip umum? Ketika kita mencari prinsip-prinsip umum, penting juga untuk mempertimbangkan baik konteks dekat maupun konteks jauh yang melatarbelakangi bagian Alkitab tertentu. Sebagai contoh, tidak terlalu sulit untuk menemukan prinsip umum yang dikemukakan Paulus dalam 1 Korintus 8 karena ia menyatakannya dalam konteks dekat, yakni dalam pasal itu sendiri (ay.9). Meski demikian, pada bagian-bagian lain, kita mungkin perlu menelusuri konteks jauhnya, yakni paragraf-paragraf atau pasal-pasal yang tertulis sebelum dan setelah perikop itu. Pada akhirnya, seluruh Alkitab menyediakan latar belakang dan prinsip utama yang memandu setiap bagian di dalamnya.
Mencari prinsip-prinsip umum dalam Kitab Suci tidaklah sama seperti mencari ayat untuk membuktikan pandangan kita. Itu juga bukan upaya untuk membungkus kebenarankebenaran Kitab Suci menjadi dalil-dalil sederhana yang tersusun rapi. Sebaliknya, kita memandang bagian-bagian Kitab Suci melampaui berbagai hukum, teladan, dan janji khusus di dalamnya dengan maksud untuk mengenali isi hati dan
pemikiran Allah itu sendiri. Kita hendak menghayati bukan hanya apa yang difirmankan Allah (meski ini sangatlah penting) tetapi juga mengapa Dia berfirman demikian. Kita rindu dapat membangun dalam diri kita suatu pola pikir yang saleh, yaitu sebuah pandangan hidup yang dibentuk oleh Tema Tunggal yang Akbar dari Kitab Suci.
Latar belakang Alkitab merupakan Tema Tunggal yang Akbar yang disebutkan di bagian pengantar buku ini. Seluruh ajaran dan perintah dalam Alkitab mengarah pada penggenapan rencana Allah dalam membentuk satu komunitas yang saling mengasihi antara Dia dengan umat-Nya.
Dengan mencari prinsip-prinsip umum, kita sedang berusaha menjiwai maksud Allah di setiap ayat, paragraf, pasal, dan kitab dalam Kitab Suci. Lewat pertolongan Roh Kudus, tidak ada hal lain yang kita rindukan selain dapat memahami pikiran Allah.
Sudah Dekat, Tetapi Belum Sampai
Beberapa tahun silam, sejumlah mahasiswa sekolah Alkitab diminta untuk berkhotbah mengenai perumpamaan orang Samaria yang murah hati. Akan tetapi, setiap mahasiswa secara sengaja dihambat sedemikian rupa hingga detik-detik terakhir sebelum tiba waktunya mereka berkhotbah. Pada saat setiap mahasiswa bergegas-gegas melintasi kampus dengan naskah khotbah di tangan, mereka dihadang oleh seseorang yang menyamar sebagai orang yang sedang berada dalam kesulitan. Ironisnya, tidak seorang pun berhenti untuk menolong orang itu—karena mereka harus menyampaikan khotbah dengan satu tema yang penting tentang menolong sesama!
Sepanjang bab ini berusaha menyajikan suatu kerangka berpikir mengenai prinsip umum dan suatu metode sederhana untuk menemukan prinsip-prinsip tersebut. Agar sebuah prinsip umum tidak menjadi semboyan rohani belaka, kita perlu mengambil satu langkah penting lainnya: kita harus berusaha menerapkan prinsip itu ke dalam situasi-situasi yang kita hadapi pada masa kini.


langkah ketiga
Menerapkan Prinsip Umum pada Masa Kini
Di film The Gods Must Be Crazy, sebuah botol CocaCola dilempar dari pesawat dan mendarat di tengah komunitas kecil yang terpencil di Afrika. Karena terjatuh dari langit, botol itu disangka sebagai pemberian dari para dewa.
Pada awalnya, suku terasing itu dibuat terheran-heran oleh penampakan botol yang aneh. Mereka tidak pernah melihat kaca sebelumnya, apalagi botol. Apa gunanya benda itu? Namun setelah beberapa lama, mereka mulai menemukan beragam manfaat dari botol itu. Karena padat dan keras, botol itu dapat menjadi palu yang baik untuk menghancurkan akar-akaran. Karena berbentuk tabung, botol itu bisa digunakan sebagai alat penggiling. Mereka mendapati botol itu bahkan bisa berguna sebagai alat musik ketika lubang tutupnya ditiup. Semakin mereka berpikir, semakin banyak kegunaan yang mereka temukan dari botol itu.
Di satu sisi, sebuah prinsip Alkitab mirip dengan botol CocaCola itu. Kita tahu prinsip itu adalah pemberian Allah—tidak seperti botol Coca-Cola tadi. Namun pada awalnya kita belum sungguh-sungguh memahami manfaatnya bagi kita. Faedahnya baru menjadi nyata sewaktu kita berpikir tentang pengaruhnya atas hidup kita.
Namun justru di titik itulah, banyak orang gagal. Sebagian orang sama sekali tidak meluangkan waktu untuk merenungkan bagaimana prinsip itu bisa diterapkan dalam keadaan yang mereka hadapi. Ada juga yang sama kelirunya dengan menerapkan prinsip itu dalam keadaan yang tidak sesuai dengan maksud prinsip itu diberikan. Mereka salah memanfaatkan prinsip alkitabiah sama seperti suku terasing di Afrika tersebut menggunakan botol Coca-Cola untuk alat penggiling!
“Jikalau kamu mengasihi Aku”
Sebelumnya, kita membaca bahwa bahwa Yesus mengajarkan bahwa kasih kepada Allah dan sesama meringkas “seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (matius 22:36-40). Di tengah budaya yang begitu memperhatikan seluk-beluk Kitab Suci, Yesus mendorong “ahli Taurat” itu untuk melihat gambaran besarnya, yakni prinsip-prinsip utama di balik hukum Taurat. Dengan kata lain, Dia mendorong sang ahli Taurat untuk mengalihkan pandangannya dari dasar piramida ke puncak piramida.
Meski demikian, adalah keliru jika kita menduga bahwa Yesus tidak peduli terhadap hal-hal terperinci dalam Kitab Suci. Sesaat sebelum disalibkan, Dia berkata kepada murid-murid-Nya: “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu” (yohanes 14:15). Kemudian, masih dari pasal yang sama, Dia mengatakannya dengan cara berbeda: “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (ay.21)
Dengan kata lain, seperti halnya Yesus menyuruh sang ahli Taurat untuk mengalihkan pandangannya dari dasar piramida ke puncak piramida, Dia juga mendorong para murid-Nya untuk mengarahkan perhatian mereka dari puncak piramida ke dasar piramida. Kita tidak cukup hanya mengasihi Allah
dan sesama secara abstrak. Rasa syukur kita atas apa yang telah Allah lakukan bagi kita melalui Yesus harus diwujudkan dalam langkah-langkah yang spesifik dan nyata. Sama halnya seperti kasih Allah ada di balik setiap hukum di Kitab Suci, kebalikannya juga demikian: Setiap perintah, peraturan, atau hukum di Kitab Suci adalah cara khusus untuk mewujudkan kasih kita kepada Allah dan/atau sesama.
Kasih Allah ada di balik setiap kata dalam Kitab Suci dan kasihNya kepada kita terungkap paling jelas melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus.
Sesungguhnya, prinsip-prinsip umum yang kita temukan dalam Kitab Suci tidak mungkin terpisahkan dari perintahperintah khusus. Sebagai contoh, adalah mustahil untuk membuktikan bahwa kita mengasihi seseorang tanpa kasih itu diwujudkan melalui sikap sabar, perbuatan baik, kemurahan hati. dan seterusnya. Demikian juga mustahil kita bermurah hati (atau bersikap sabar atau berbuat baik) terhadap seseorang tanpa mewujudkannya dalam tindakan-tindakan yang spesifik, seperti dengan memberikan makanan, uang, pakaian, atau hal lain yang dibutuhkannya. Kasih dan kemurahan hati kita tidak pernah benar-benar terungkap apabila kita belum mewujudkannya melalui tindakan yang nyata.
Oleh karena itu, setelah kita menemukan sebuah prinsip umum dalam Kitab Suci dengan bergerak naik satu tingkat atau beberapa tingkat pada piramida penerapan, kita harus turun kembali—hingga mencapai dasar piramida! Dengan kata lain, setelah menemukan prinsip di balik keadaan yang dihadapi para tokoh Alkitab, kita sekarang harus menerapkannya dalam keadaan-keadaan yang dihadapi pada masa kini.
Menerapkan Prinsip Umum
Dalam usaha menerapkan sebuah prinsip umum dalam hidup ini, kita dihadapkan pada dua pilihan: (1) Kita bisa menerapkan
prinsip itu dalam keadaan yang persis sama seperti yang dihadapi oleh para tokoh di bagian Alkitab itu; (2) Kita bisa menerapkannya dalam situasi yang mirip.
Menerapkan sebuah prinsip dalam keadaan yang persis sama. Ketika kita membaca Alkitab, ada saatnya ketika keadaan yang dihadapi para pembaca asli itu persis sama dengan keadaan kita. Sebagai contoh, di Efesus 6 Paulus menasehati para pembacanya untuk “[mengenakan] seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan . . . penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (ay.11-12). Meski perkataan Paulus disampaikan dengan gaya bahasa di abad pertama (menggunakan gambaran pakaian tempur prajurit Romawi), perkataannya tetaplah penting pada masa kini seperti pada zaman itu. Mengapa demikian? Karena sifat utama dari peperangan kita tidak pernah berubah selama 2.000 tahun ini. Kita masih berjuang melawan kekuatan roh-roh jahat, dan satusatunya pertahanan kita adalah kuasa Allah.
Demikian juga ketika penulis kitab Ibrani menasehati para pembacanya, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu” (13:5), kita mengetahui bahwa perkataannya tidak dibatasi waktu. Dari dahulu hingga kini, uang selalu menjadi benda yang memikat dan didambakan orang. Tidak heran, orang dari abad ke abad selalu berkata, “Rasanya tak pernah cukup. Aku butuh lebih banyak uang!”
Karena keadaan kita persis sama seperti yang dihadapi oleh para pembaca asli dari kedua ayat itu, maka firman Allah bagi kita sama seperti firman Allah bagi mereka.
Menerapkan sebuah prinsip dalam keadaan yang mirip. Sering keadaan kita tidak persis sama seperti yang dihadapi para pembaca asli. Jika demikian, kita harus naik satu tingkat pada piramida penerapan untuk mencari sebuah
prinsip umum yang bisa diterapkan dalam keadaan yang mirip. Keadaan kita haruslah benar-benar mirip dengan keadaan aslinya supaya prinsip itu bisa diterapkan. Sebagai contoh, prinsip di balik perintah Paulus mengenai hal menyantap makanan yang dipersembahkan kepada berhala adalah kita harus menjaga “supaya kebebasan [kita] ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah” (1 korintus 8:9). Sayangnya, bagian itu dan bagian serupa di Roma 14 telah diterapkan dalam cara-cara yang tidak pernah dimaksudkan oleh Paulus.
Beberapa tahun silam, banyak gereja menyatakan bahwa penggunaan alat musik drum dan gitar di gereja sebagai hal yang berdosa karena itu menjadi “batu sandungan” bagi generasi yang lebih tua. Hanya saja mereka berupaya menerapkan perkataan Paulus dalam keadaan yang sama sekali berbeda dengan keadaan di Korintus ataupun Roma. Bagi Paulus, batu sandungan adalah sesuatu yang “menyebabkan saudara saya berdosa” (ay.13 bis). Dalam kasus alat musik drum dan gitar, “batu sandungan” bagi generasi yang lebih tua itu merupakan sesuatu yang menyinggung atau tidak bisa mereka terima. Demikian juga, bagi Paulus “orang yang lemah” adalah seseorang yang tergoda untuk mencontoh kelakuan mereka yang menyantap daging persembahan berhala. Namun saya ragu bahwa generasi yang lebih tua itu tergoda untuk membeli sebuah gitar atau seperangkat drum.
Namun di sisi lain, mungkin tidak salah untuk menerapkan prinsip “batu sandungan” itu dalam hal menikmati minuman beralkohol. Apabila “kebebasan” saya untuk menikmati minuman beralkohol itu dapat menggoda mantan pecandu untuk kembali melakukan kebiasaan minum yang tidak bisa dikendalikannya, saya harus melepaskan kebebasan itu. Persoalan itu mirip dengan persoalan menyantap makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala.
Ada yang Hilang
Adakalanya, memahami dan menerapkan Alkitab mungkin terlihat sebagai proses yang mekanis dan tidak rohani. Lagipula,
di mana peran Allah di sepanjang proses tersebut? Apakah
Dia hanya mewariskan sejumlah prinsip untuk kita temukan
dan kita taati, sementara Dia meninggalkan kita begitu saja?
Dan sekalipun kita berhasil menemukan dalam Kitab Suci semua prinsip untuk hidup bagi Allah, pantaskah kita berpikir bahwa kita dapat hidup sesuai dengan segala prinsip itu?
Apakah kita menerima kasih karunia Allah dan Anak-Nya yang dianugerahkan-Nya itu hanya untuk berakhir dalam kegagalan untuk hidup sesuai dengan kasih karunia itu?
Sebelumnya dalam bagian ini, saya mengutip pernyataan
Kristus: “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (yohanes 14:21). Kelanjutan dari ayat itu melengkapi apa yang hilang dari pembahasan ini. Yesus kemudian berkata: “Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” Kasih adalah kekuatan yang menjiwai hubungan kita dengan Yesus Kristus. Meski demikian, seperti dalam hubungan mana pun, kasih itu harus diungkapkan.
Yesus menghendaki kita mengungkapkan kasih kita kepada-Nya dengan cara menaati perintah-Nya, yakni mengikuti teladanNya dalam mengasihi Allah dan sesama. Jika kita melakukannya, Dia berjanji untuk senantiasa menunjukkan kasih-Nya kepada kita dengan jalan menyatakan diri-Nya. Memahami dan menerapkan firman Allah membuat kita semakin mengenal diriNya, sehingga kita akan semakin mengasihi dan menaati-Nya. Itulah siklus indah dari kasih yang timbal balik.
Dengan adanya Teori Tunggal yang Akbar dari Alkitab mengenai komunitas umat Allah yang saling mengasihi, maka tanggapan kita atas apa yang dipelajari dalam Kitab Suci— tentang siapa Allah, perbuatan-Nya bagi kita, dan harapan-Nya atas kita—tidak sepatutnya gersang atau hampa. Sebaliknya, sudah sepatutnya kita memberikan tanggapan yang penuh semangat, gairah, bahkan menyala-nyala untuk menunjukkan kepada Kristus betapa berartinya Dia bagi kita.

TERAPKAN FIRMAN ALlAH
DALAM HIDUP ANDA sEHARI-HARI!
Banyak orang membaca Alkitab, tetapi banyak juga di antara mereka yang menemui kesulitan untuk memahami dan menerapkan pemikiran serta pesan Alkitab dalam hidup mereka sehari-hari. Dalam nukilan dari bukunya, Applying the Bible (Menerapkan Alkitab), Jack Kuhatschek memberikan panduan dalam membaca Kitab Suci dan memahami kebenarannya. Dengan mencermati sejumlah kesulitan yang umum dijumpai, ia menyediakan sarana yang menolong Anda mengatasi kendala-kendala yang menghalangi Anda untuk memahami firman Allah dan relevansinya bagi Anda di zaman sekarang.
Jack Kuhatschek menjabat sebagai wakil presiden eksekutif dan penerbit dari Baker Publishing Group di Grand Rapids, Michigan. Selain telah menghasilkan sejumlah buku panduan pemahaman Alkitab, ia juga menulis buku Applying the Bible dan The Superman Syndrome.
