Saya Bersepeda Maka Saya…BIKE-BIKE
Pameran “Saya Bersepeda Maka Saya..Bike-Bike” merupakan pameran yang diadakan secara berkala oleh Gowesr di Orbital Dago, sejak pertama diselenggaran pada tahun 2023 lalu . Edisi pameran kedua ini diikuti tidak hanya oleh para alumni seni rupa ITB , tetapi juga seniman non lulusan Fsrd-ITB. Mereka adalah seniman dari Yogya, Jakarta, Bali hingga Mojokerto selain Bandung. Sedari awal pameran “ Saya Bersepeda Maka Saya..” bertujuan untuk menunjukan bagaimana bersepeda bisa dimaknai beragam oleh para seniman maupun masyarakat. Bisa sebagai hobi, profesi/ atlit, maupun sebagai identitas atau gaya hidup dan sebagai gagasan berkarya. Bersepeda salah satu solusi bertransportasi yang ramah bagi lingkungan, solusi untuk mengurangi emisi gas buang yang saat ini menjadi isu utama perubahan cuaca global bahkan keadilan sosial.
Judul “ Saya Bersepeda Maka Saya…” , meminjam frase filsuf René Descartes; “ Saya berpikir maka saya ada” yang menandai eksistensi individu manusia dalam zaman modern. Sepeda, kendaraan hasil penemuan manusia modern seperti mewakili perspektif atau bagaimana manusia modern memandang dunia. Salah satunya nilai kebebasan individu dalam mengendalikan arah tujuan yang mengendarainya atau menentukan kehidupan.
“Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” . - Albert Einstein.
Kutipan abadi dari Einstein ini mengingatkan kita bahwa keseimbangan dalam hidup membutuhkan gerakan maju. Dalam bersepeda, seperti dalam hidup, diam terlalu lama dapat menyebabkan ketidakstabilan. Bagi pesepeda, ini berarti bukan hanya keseimbangan fisik tetapi juga ketahanan mental untuk terus mengayuh melewati tantangan. Baik saat Anda menghadapi tanjakan curam atau hari yang sulit, kutipan ini mendorong ketekunan dan kemampuan beradaptasi. Tambahan kata “Bike-Bike” ( bike - dari bahasa inggris sepeda atau bisa juga motor roda dua) merupakan pelesetan atau candaan dari “ baik-baik” yang sering diungkapkan atau dituliskan para pesepeda atau pengendara motor di media sosial dalam beberapa waktu terakhir.
“ Baik-baik” sering muncul sebagai suatu frase dari situasi : baik secara individu maupun kondisi masyarakat kepada sesuatu pada saat tertentu. Pada akhir-akhir ini sering tersebar frase “ tidak baik-baik” dalam bentuk hashtag, caption maupun teks body feed postingan sosmed yang terkait kondisi sosial – ekonomi di Indonesia. Pameran “ Saya Bersepeda Maka Saya..Bike-Bike” bisa juga mewakili aktifitas bersepeda tetap berjalan ditengah merosot tajam pasar penjualan sepeda yang dahulu sempat melonjak , terutama di era-pandemi, serta semakin sedikit orang yang bersepeda karena berbagai alasan seperti kesibukan pekerjaan, jalanan ramai/macet atau beralih ke olah-raga lain.
Mengutip berita dari Kontan.id : Bersepeda sempat menjadi tren aktivitas yang digandrungi oleh masyarakat ketika awal pandemi Covid-19 lalu. Namun, tren ini mulai memudar hingga membuat
kinerja pasar sepeda di Indonesia lesu dalam beberapa tahun terakhir. Ketua Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo Utomo mengatakan, penjualan sepeda nasional turun drastis sejak 2020 sampai 2024, terutama hingga momen Pemilu, yakni sekitar 60%-70%. Beberapa toko sepeda di Bandung harus gulung tikar sejak akhir tahun lalu.
Tetapi bagaimanapun bagi sedikit orang, bersepeda masih punya tempat dan tetap berjalan, bahkan berbagai event berkala seperti Salasa Kahiji di Bandung, atau event yang lebih nasional seperti Audax dibeberapa kota di Jawa, Bentang Jawa, Bromo Kom di Jawa Timur masih mendapat antusias para pesepeda. Belum lagi kelompok-kelompok kecil seperti komunitas-komunitas dan individu yang masih senang menantang diri atau hanya untuk berekreasi.
“Bicycles may change, but cycling is timeless.” – Zapata Espinoza
Bersepeda adalah tradisi yang melampaui generasi. Dari rangka besi baja yang antik hingga sepeda serat karbon, kegiatan bersepeda tetap menjadi kesenangan yang tak lekang oleh waktu. Kutipan (Zap) Espinoza yang merupakan seorang editor majalah Mountain Bike Action and Road Bike Action dari California, mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi terus berkembang, inti dari bersepeda – kebebasan, petualangan, dan keterhubungan – tetap tidak berubah. Keabadian ini membuat bersepeda menjadi gairah bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Pameran “ Saya Bersepeda Maka Saya..Bike-Bike” bertujuan memberikan makna lebih kultural kepada dunia bersepeda, melalui bentuk dan gagasan karya seni maupun berbagai bentuk gubahan artistik menyangkut sepeda maupun elemen-elemennya. Baik secara simbolik maupun menjadi permainan tanda-tanda.
Rifky “Goro” Effendy, Kurator
Karya - Karya
Andreas Camelia To be Different #1
Bicycle Frame , Cutting Sticker 2025
To be Different
Andreas Camelia
#1
Bicycle Frame , Cutting Sticker 2025
Awan Simaptupang
Budi Adi Nugroho
Genosida:Bart
10” Video looping
Dewi Aditia
MY JOURNEY WITHOUT GPS MIX MEDIA, CAT AKRILIK DIATAS KANVAS
Diptych @60 X 60 CM
2025
“My Journey Without GPS” is an invitation to let go of the usual, predictable path. Through this work, I invite everyone to experience the world without guided routes. These days, with help of tech — it tells us where to go, but in doing so, it takes away something vital: our own sense ofdirection, our natural instinct to explore, to read the signs of the land, to get lost and truly see. This painting is about wandering, taking wrong turns, discovering places you never meant to find — and loving every moment of it. It’s about reconnecting with our own inner compass and with the environment around us, allowing ourselves to be surprised. My lines in this piece are both literal and metaphorical — flowing, searching, and alive. They trace a journey of curiosity and reflection, showing how stepping away from tech can sometimes bring us closer to what really matters”.
Eddi Prabandono Green Green Green Go Ahead #2
Bicycle and Car’s Doors
Gabriel Aries Setiadi POOYA
46 x 26 x 31 cm
Grey Marble, Stainless Steel 2025
Handiwirman Saputra
“Kemudaan jika berhenti, ketuaan kalau bertingkah”
Resin fiber, cat acrylic, baju, tanah
2d : Ukuran d 30 cm.
3d. : Ukuran t. 30 cm d 25 cm 2025
2021 - 2024
Iwan Effendi
Wake
125 X 120 cm
Charcal, Softpastel, Washi
On Paper
Joko Avianto
1,
“When Nature Said: Nah, You’re Not Riding Today” 2025
P 41 x L 20 x T 24cm Bambu, resin, logam
Joko Avianto
2. “My Carbon Footprint is Wrapped in Bamboo” 2025
P 42 x L 62 x 103cm
Installation, resin, bamboo, metal.
Joni Ramlan “Brown Constructs”. 200 X 200 cm
Acrylic on Canvas 2023
Suasana Pameran
Rudi Hermawan
Work Life Pedal Balance
70 x100 cm
screenprint on paper 300 gsm 2025
Karya ini merepresentasikan gaya hidup kaum muda masa kini yang dinamis, fleksibel, dan sadar akan pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kesehatan. Di tengah perkembangan teknologi yang memungkinkan orang bekerja dari mana saja—kafe, co-working space, taman kota, bahkan dari di gunung, sepeda sebagai simbol mobilitas baru: alat transportasi yang sederhana, ramah lingkungan, sekaligus menjadi sarana olahraga disela pekerjaan dan penunjang produktivitas. Work Life Pedal Balance adalah pernyataan visual dan naratif bahwa generasi muda hari ini tidak hanya bekerja untuk hidup, tetapi juga hidup dengan sadar dan sehat. Mereka menjadikan sepeda bukan sekadar alat untuk berpindah tempat, melainkan bagian dari identitas, rutinitas, dan pilihan hidup aktif di tengah kota yang serba cepat.
640 x 360 pixels
GIF - 12 Frames 2025
Satrio YUDHO “TURUNAN”
Sebagai pesepeda baru, saya sudah menghabiskan 294 hari bersepeda, mengeluarkan 29.786 kcal energi yang bila dikonversi setara dengan 413 butir telur. Karya ini mengundang publik untuk mengembalikan energi ini kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai asupan energi dan gizi.
Sari Asih
Renewable Energy
Mix media: fake eggs, basket, wall painting 2025
Tita Larasati
Unclejoy
Journey Through Reverie | Kayuh Lamunan
Frame, lamp, mixed media
Variable Dimension 2025

Dalam kesibukan hidup yang serba cepat, kegiatan bersepeda hadir sebagai ruang jeda—sebuah momen perlahan untuk kembali merasakan hubungan antara tubuh, pikiran, dan lingkungan sekitar. Kayuh Lamunan merekam pengalaman ini, bukan sekadar sebagai aktivitas fisik, tetapi sebagai perjalanan meditatif dan reflektif. Setiap kayuhan menjadi ritme yang menenangkan, membuka ruang bagi pikiran untuk mengembara bebas. Di sepanjang jalan—gang sempit, tembok penuh coretan, warung tua yang nyaris tak terlihat—tersimpan hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Fragmen-fragmen inilah yang kemudian menjadi sumber gagasan, inspirasi visual, atau sekadar pengingat bahwa keindahan sering tersembunyi di balik keseharian. Karya ini lahir dari kebiasaan mengayuh tanpa target, tanpa tergesa. Bersepeda menjadi cara untuk mendengarkan isi kepala sendiri, menyerap suasana, dan menangkap potongan realitas yang bersifat sementara namun penuh makna. Proses ini menyerupai meditasi dalam gerak—sunyi, tapi penuh isi. Kayuh Lamunan bukan tentang tempat yang dituju, melainkan tentang apa yang ditemukan di sepanjang perjalanan. Sebuah penghormatan terhadap aktivitas sederhana yang membuka ruang imajinasi, rasa ingin tahu, dan kedekatan dengan hal-hal kecil di sekitar kita.

Wilman Hermana
Standing trace
Resin 2025
Patung ini menggambarkan sosok manusia dalam bentuk siluet yang berdiri diam, dengan kontur tubuh menyerupai jejak lintasan sepeda. Terbuat dari resin berwarna biru dan berukuran 50 cm, karya ini mengeksplorasi konsep perjalanan, transisi, dan gerakan yang tidak selalu terlihat. Meskipun figur tidak digambarkan sedang bergerak, bentuknya menyimpan jejak-jejak perjalanan yang pernah dilalui. Kontur yang membentuk tubuh menjadi simbol perubahan dan pengalaman yang dialami sosok tersebut. Warna biru memberikan kesan tenang dan mengajak penonton untuk berhenti sejenak dan menyadari bahwa meski diam, tubuh tetap menyimpan cerita.
Resin, readymade object & acrylic paint
5 x 27 x 20 cm
2024
Wiyoga Muhardanto “Makan”
Variable Dimension
2013
Yuli Prayitno It Is Only a Way To Have Fun Bike and Stand Bike
Suasana Pameran
“Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” . Albert Einstein.
Kutipan abadi dari Einstein ini mengingatkan kita bahwa keseimbangan dalam hidup membutuhkan gerakan maju. Dalam bersepeda, seperti dalam hidup, diam terlalu lama dapat menyebabkan ketidakstabilan. Bagi pesepeda, ini berarti bukan hanya keseimbangan fisik tetapi juga ketahanan mental untuk terus mengayuh melewati tantangan. Baik saat Anda menghadapi tanjakan curam atau hari yang sulit, kutipan ini mendorong ketekunan dan kemampuan beradaptasi.
Bio Data Peserta
Andreas Camelia lahir tahun 1958 di Bandung . Ia bekerja dan tinggal di Bandung. Andreas Camelia adalah perupa yang memulai kegiatan berkeseniannya dengan belajar secara otodidak. Ia bergabung dengan studio Rangga Gempol pada 1980 dan semenjak saat itu terus berkarya dengan media lukis dan drawing dengan teknik pointilis.Andreas Camelia termasuk seniman langka. Sejak lebih dari 35 tahun ia konsisten menggambar dengan teknik pointil, yang membentuk obyek dengan jutaan titik. Efek tebal tipis titik menciptakan komposisi yang membentuk obyek gambar. Mengikuti beberapa pameran seperti : 2019 Pameran Bergilir Seni Rupa Jawa Barat Jilid 3 dan Workshop Drawing pada bulan Maret, Pameran “Aesthetic Defence Mechanism” di galeri teras, Nuart Sculpture Park, Bandung. Pameran “Pada Mulanya Adalah Seni” di galeri teras, Nuart Sculpture Park, Bandung. Pameran “Art Jakarta” 4 – 6 Oktober 2024, Booth E2 Grey Art Gallery di Jiexpo Kemayoran, Jakarta. 2025 Pameran “Art Garden” 22 – 27 April 2025, Booth A2 di Artserpong Gallery, Jakarta.
Awan Simatupang, lahir di Jakarta 24 Oktober 1967. Pematung Indonesia yang banyak menggunakan bahan besi sebagai bahan dasar karya seninya. Belajar seni di Studio Patung Institut Kesenian Jakarta pada 1991, dilanjutkannya dengan menambah ilmu dengan mengikuti workshop di La Sale colloger, Goethe Institute Singapore, dan desain poster di Antonio Ratti Fondazione. Untuk mewujudkan karyanya, Awan menggunakan dua konsep R, yaitu Re-use dan Recycle, memanfaatkan barang bekas yang sudah tak dipakai lagi untuk membuat karya seni bernilai tinggi.
Budi Adi Nugroho Lahir di Pare-Pare, Indonesia. Menyelesaikan pendidikan Sarjana (2005) dan Magister (2009) di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Sejak tahun 2015, melanjutkan pendidikan Doktor di Institut yang sama dan menjadi dosen tetap sejak tahun 2012. Berawal dari seorang seniman yang gemar menggunakan ikon-ikon populer seperti superhero, komik, dan benda-benda kehidupan sehari-hari untuk ditransformasikan ke dalam bahasa visual yang memiliki makna baru bagi masa kini. Proteknya antra lain: Site-specific project di kawasan Dago Pakar (Bandung, 2007), serangkaian karya seni semionaut di Galeri Soemardja (Bandung, 2011) dan Galeri Ambiente (Jakarta, 2011), dan instalasi site-specific 24/7 di Galeri Platform3 (Bandung, 2017) merupakan beberapa pameran tunggalnya. Budi pernah terlibat dalam beberapa proyek residensi seperti ZK/U (Berlin, 2014), Galeri Ashiya/Barehands Project (Fukuoka, 2016), MIA/Barehands Project (Kuala Lumpur 2017) dan Ichihanari Art Project (Okinawa, 2017). Ia juga pernah dinominasikan dalam kompetisi seni rupa Indonesia seperti Anugerah Seni Rupa Indonesia (2008 & 2013), Bandung Contemporary Art Award (2011 & 2015), dan juara 3 Kompetisi Salihara Trimatra (2014).
Dewi Aditia, yang biasa disapa Ade, merupakan seniman perempuan yang namanya sudah lama dikenal di blantika seni rupa Indonesia. Ia aktif berpameran pada awal tahun 2000-an dan menjadi salah satu finalis Philip Morris Art Award tahun 2003. Ade yang lahir di Bandung, 22 Februari 1978, merupakan lulusan Studio Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain tahun 2003, Institut Teknologi Bandung. Setelah vakum cukup lama dari ke-
giatan melukis, yang berakhir sekitar tahun 2006, Ade kembali dengan pameran tunggal pada pertengahan tahun 2022 di Bandung. Sejak itu ia aktif berpameran , baik tunggal dan kelompok di beberapa kota di Indonesia.
Eddi Prabandono dilahirkan di Pati, Jawa Tengah, pada 8 Juli 1964. Ia menamatkan pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 1992. Dua tahun kemudian ia menggelar pameran tunggal pertamanya Graphic Way di kampusnya. Selanjutnya sejumlah pameran tunggal, termasuk yang terkini adalah Konstelasi Benda-Benda di Semarang Gallery, 2022; dan After Party #3: Living the High Life di Gandaria City, Jakarta, 2020. Adapun pameran bersama yang pernah ia ikuti, antara lain, adalah After Duchamp: Bicycle Wheel di Ark Galerie, Jakarta, 2010; Strategic Presentation: Sculpture Luz, and Illusion di SIGIarts, Jakarta, 2009; Asoka di Rougheryet Gallery, Jepang, 2005; dan Watashi Wo Mite Kudasai di Maejima Art Center, Jepang, 2002.
Gabriel Aries Setiadi (lahir 1984) menyelesaikan studinya di Jurusan Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia kemudian menyelesaikan gelar magisternya juga di Program Studi Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung. Gabriel berfokus pada eksplorasi penggunaan material baru dalam praktik seninya yang sebelumnya terpusat pada seni ukir batu. Penggunaan lembaran poliresin dan akrilik memungkinkannya untuk membahas kontradiksi dan pertentangan, serta kemungkinan untuk membangun keseimbangan dan harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan. Gabriel telah berpartisipasi dalam beberapa pameran nasional dan internasional. Ia juga telah berpartisipasi dalam program residensi seniman di Sungai Segget Public Art Programs, Johor Bahru, Malaysia (2017). Pada tahun 2018 Gabriel melakukan dua pameran tunggal berturut-turut, KONTRAS MATERI (Orbital Dago, Bandung), dan SELA SAWALA (CG Art Space, Jakarta). Ia juga menyelesaikan Commission Work untuk Site-Specific Installation di Salihara International Performing Arts Festival pada tahun yang sama (2018).
Handiwirman Saputra dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Januari 1975. Ia adalah salah satu pendiri Kelompok Seni Rupa Jendela, kelompok seniman asal Minangkabau yang merantau dan berkarya di Yogyakarta. Ia belajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dan lulus pada 1996, dan pernah mengikuti program seniman mukiman di Singapore Tyler Print Institute, Singapura, pada 2011. Karya-karyanya mencakup lukisan sekaligus karya trimatra yang diciptakan berdasarkan versi lukisan tersebut. Ia memanfaatkan—atau mengambil bentuk dari—beragam benda temuan (seperti benang, kawat, plastik, potongan kertas, hingga batang kayu) dalam menghadirkan karyanya yang notabene berukuran besar, bahkan raksasa. Pameran tunggalnya adalah Saat Bentuk Menjadi Kelakuan (2015) di Tolot/Heuristic, Tokyo, Jepang dan Tak Berakar, Tak Berpucuk/No Roots, No Shoots, a Special Presentation di Hong Kong Art Fair, 2012. Keduanya dikelola oleh Nadi Gallery. Sementara, selain pameran bersama yang melibatkan komunitas seni dari Sumatra Barat, Handiwirman juga berpartisipasi dalam pameran-pameran bersama lainnya, misalnya di Art Jakarta Garden, Nadi Gallery, Ja-
karta, 2023; Arts in Common di ARTJOG, Jogja National Museum, 2019; May You Live In Interesting Times di Venice Biennale, Italia, 2019; dan masih banyak lagi.
Iwan Effendi (lahir 1979, Yogyakarta, Indonesia) belajar di Jurusan Seni Rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia dari tahun 2002 hingga 2004. Pada bulan April 2006, Efendi dan istrinya, Ria Tri Sulistyani, mendirikan Papermoon Puppet Theatre, dan pada tahun 2020, ia mendirikan Ing Printmaking Studio. Pameran tunggalnya hingga saat ini meliputi DRAWING pullinging (2020) dan Face to Face (2019) di Mizuma Gallery, Singapura; Lunang di Lir Space, Yogyakarta, Indonesia (2013); Eye of the Messenger di Yavuz Gallery, Singapura (2011); dan Two Shoes for Dancing di Valentine Willie Fine Art (Project Room), Kuala Lumpur, Malaysia (2009). Ia juga telah berpartisipasi dalam pameran kelompok di Bulgaria, Singapura, Australia, Belanda, Filipina, Prancis, Jepang, AS, dan Meksiko. Ia pernah menjalani program residensi di Museum of Art di Kōchi, Jepang (2015); Federation Square, Melbourne, Australia (2014); dan Asian Cultural Council di New York, AS (2009-10) untuk meneliti tentang seni boneka, seni visual, dan seni pertunjukan. Efendi tinggal dan bekerja di Yogyakarta, Indonesia.
Joko Dwi Avianto lahir di Cimahi, Jawa Barat, pada tahun 1976. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1996 sebelum melanjutkan studinya di Program Magister di perguruan tinggi yang sama. Kini ia mengajar seni patung di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (ISBI) Bandung. Joko dikenal luas lewat karya instalasi bambu yang membentuk jalinan bambu. Sebagai seniman, ia mulai mengolah material bambu sebagai seni patung nonkonvensi pada tahun 2003, untuk karyanya dalam pameran bertajuk (/’bæmbuw/,) di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Di sanalah ia kemudian menemukan teknik baru yang disebutnya modul bambu patah, di mana ia dapat membuat objek berbentuk bambu apa pun tanpa harus membelahnya secara utuh. Lewat bambu, Joko juga mengajak kita sejenak untuk melihat kembali bagaimana menipisnya vegetasi hutan bambu saat ini telah mengakibatkan perubahan dalam kehidupan sosial di sekitarnya; punahnya budaya bambu, hilangnya kreativitas dan lahan garap pengrajin bambu, serta beralihnya profesi pengrajin menjadi pekerja industri manufaktur. Bagi Joko, bambu merupakan simbol kegelisahannya atas tema musnahnya kekayaan keragaman budaya Indonesia oleh proses industrialisasi yang menjadi tulang punggung kehidupan modern saat ini.
Joni Ramlan lahir di Sidoarjo 21 Juni 1970, adalah perupa autodidak yang berdomisili di Mojokerto, Jawa Timur. Karya- Karyanya dikenal dengan penggunaan garis ekspresif yang dinamis, warna yang bersirkulasi, terkadang monokromatik dan tekstur yang kuat serta menciptakan dimensi yang dalam dan bermakna. Tema pembahasannya meliputi kota tua, eksplorasi sepeda, gitar, peta, lalu figur dan objek alam yang di abstraksi. Selain itu, ia terus mengeksplorasi berbagai tema kehidupan masyarakat. Ia telah menerima berbagai penghargaan termasuk East Java Most Outstanding Artist pasa 2012 dan Menjadi Finalis Seni Indonesia tahun 2008. Pameran tunggalnya meliputi “Menggantung Masa Lalu.” di Orasis Art Gallery pada 2009 dan “Subsiden Memories.” Di Puri Art Gallery Jakarta Art District Grand Indonesia pada tahun 2010. Ia juga aktif dalam Art Fair Asia seperti Art Taipei 2016 di Taiwan. KIAF di Korea pada 2014 dan Pameran Beijing International Art Biennale tahun 2017, dan salah satu karyanya menjadi koleksi di National Museum of China Beijing. Adapun keikutsertaannya dalam pameran nasional, salah satunya adalah “sin City.” Pameran Seni Berkelanjutan 2011 yang diselenggarakan oleh Art Project Indonesia (API) dalam merespon isu lingkungan.
Rudi Hermawan, Lahir tahun 1983, di Lampung, Indonesia. Kini tinggal dan bekerja Yogyakarta. Pendidikan 2002-2009: Jurusan Seni Cetak (S1), Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Indonesia. Kolektif Seniman: Krack! Studio. Pameran Tunggal: 2015, Hidup dalam Gelembung, Lir Space, Yogyakarta. 2013, Gajah Tak Pernah Lupa, Krack Studio, Yogyakarta
Satrio Yudho, (b. 1990) adalah seniman digital asal Indonesia yang dikenal dengan gaya “dirty pixels” — pixel art hitam-putih yang kasar dan simbolis. Karyanya mengeksplorasi hubungan antara teknologi, spiritualitas, dan kemanusiaan, dan telah dipamerkan & dilelang di Sotheby’s New York dan juga dipamerkan di berbagai kota dunia seperti Paris, Lisbon, dan Seoul.
Sari Asih adalah seorang seniman kuliner yang berasal dari Bandung. Ia dikenal karena pendekatan kreatifnya dalam memasak, yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan seni rupanya. Sari Asih memandang makanan sebagai bentuk ekspresi diri dan dialog antara juru masak dan penikmat, dengan setiap hidangan sebagai cerminan identitas dan pengalaman pribadi.
Tita Larasati lahir di Jakarta dan menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung . Ia meraih gelar master dari Akademi Desain Eindhoven dan gelar doktor dari Universitas Teknologi Delft pada tahun 2007. Ia mulai menggambar pada tahun 1995 saat menjalani magang desain di Jerman agar tetap bisa berhubungan dengan keluarganya. Setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan Curhat Anak Bangsa bersama Rony Amandi pada tahun 2008, yang menerbitkan komik harian grafis oleh dirinya sendiri dan perempuan lain seperti Sheila Rooswitha Putri dan Azisa Noor . Empat karya harian grafis Larasati diterbitkan oleh CAB: Curhat Tita , Transition , Back in Bandung , dan Kidstuff . Back in Bandung adalah komik Indonesia pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain, diterbitkan dalam bahasa Prancis sebagai Retour à Bandung pada tahun 2016 oleh Editions çà et là. Ia telah disebut sebagai seniman komik perempuan Indonesia utama yang tidak terpengaruh oleh manga Jepang .
Uncle Joy atau Yoyo lahir tahun 1972 di Papua, lalu tinggal di Yogyakarta dan kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) tahun 1990-97 di Bandung. Tapi minat utama ke dunia seni dan desain lebih besar, maka kemudian ia melanjutkan kuliah di Akademi Desain Visi Yogyakarta (ADVY) , di Yogya 1998-99. Ia sempat kerja praktek dibidang animasi, dan ketika lulus sempat bekerja di periklanan di Bandung dan Jakarta. Kemudian pada tahun 2001 bekerja di Bali hingga 2003 di industri pakaian surfing. Sempat kembali ke Jakarta tahun 2004 dan melibatkan diri dengan berbagai kegiatan pameran komunitas street art terutama kelompok Tembok Bomber; mengeksplorasi berbagai medium seperti stiker termasuk ikut membuat toys dan sneakers. Setelah menikah tahun 2008, Uncle Joy kembali bekerja didunia industri surfing di Bali hingga 2013 dan mulai menjadi seniman lepas hingga sekarang. Karya-karya Uncel Joy mencerminkan suatu perkembangan bagaimana praktek seni rupa kontemporer di Indonesia bisa menemukan bentuk-bentuk baru yang bersentuhan dengan nilai – nilai seni dan budaya tradisional. Menjadi suatu nilai potensial bagi para seniman dalam mengekplorasi dan membentuk nilai-nilai keberbedaan dan kekhasan dalam khazanah seni rupa global.
Wilman Hermana (lahir di Bandung, 1 Februari), yang biasa dipanggil @osmenoswer, adalah seniman sekaligus pendidik yang aktif berkarya dan tinggal di Bandung. Selama kurang lebih 15 tahun, ia aktif berkarya dengan berbagai material dengan fokus media pada karya tiga dimensi. Ia menyelesaikan pendidikan
sarjana di Sanggar Seni Patung, Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tahun 2007. Setelah lulus, Wilman mendampingi Nyoman Nuarta, seniman patung senior di Bandung, selama kurang lebih dua tahun. Selain aktif berkarya, Wilman juga peduli dengan isu pendidikan seni bagi anak-anak di jenjang formal yang menurutnya kurang ideal di Indonesia. Ia kemudian membuka ruang edukasi bernama Galeri SemAta yang berfokus pada pengajaran seni interaktif yang mengenalkan seni secara luas kepada anak-anak dan remaja. Wilman melanjutkan pendidikan magisternya di jurusan yang sama di Sekolah Pascasarjana ITB pada tahun 2015. Setelah lulus magister, ia kembali aktif sebagai seniman, pendidik di jenjang formal dan informal, serta penyelenggara pameran hingga saat ini. Selama berkarier, Wilman pernah mengerjakan sejumlah komisi patung publik, seperti Patung Sepeda di Cimahi, Patung Sisingaan, dan Patung Nanas di Subang.
Wiyoga Muhardanto (lahir di Jakarta, 1984; tinggal dan bekerja di Bandung, Indonesia) terutama adalah seorang pematung yang karyanya menggabungkan metode imitasi, simulasi, dan penjajaran objek sehari-hari untuk mengeksplorasi minatnya pada perilaku masyarakat perkotaan. Selama empat tahun terakhir, karyanya difokuskan pada eksplorasi isu-isu seputar mobilitas sosial. Muhardanto belajar di Institut Teknologi Bandung dengan jurusan seni rupa – studio patung, 2002 – 2007 (BFA). Ia telah memamerkan karyanya di seluruh Asia Tenggara dengan pameran tunggalnya yang terbaru adalah 3-in-1, ROH Projects, Jakarta dan What If, Art Basel Hong Kong dengan pameran kelompok terbarunya di Taipei Dangdai Young Galleries Sector, Taiwan. Liber Primus, Galeri Seni Kontemporer Semarang, Jawa Tengah, Indonesia pada tahun 2019 dan Shared coordinates, The Arts House, Singapura, Art Jakarta 2018, Ritzs Carlton Ballroom, OPEN P.O, Omnispace, Bandung pada tahun 2018. Ia merupakan salah satu pendiri organisasi seni, Area Olah Karya dan merupakan Direktur PLATFORM3, Bandung, Indonesia. Karyanya ada dalam koleksi Singapore Art Museum.
Yuli Prayitno (lahir Bandung, 1974; tinggal dan berkarya di Yogyakarta) adalah seorang pematung dengan rasa ingin tahu yang besar terhadap material, objek, dan segala sesuatu di sekitarnya. Kunjungan ke studionya akan membuat Anda merasa seperti pergi ke toko barang antik atau museum kehidupan sehari-hari. Matanya berbinar ketika kami bertanya kepadanya tentang salah satu objek di studionya, baik itu karya yang masih dalam proses, karya yang sudah jadi, atau objek bekas yang ditemukannya di toko barang antik lain. Praktik seni Yuli berpusat pada nilai, rasa hormat, bukan ekonomi dan anggapan. Karya-karyanya telah dipamerkan di Cemeti Institute for Arts and Society, Yogyakarta; Equator Arts Project, Singapura; ART JOG; Jogja National Museum; Art Stage Singapore; Macro Testaccio, Roma; Art Basel Hong Kong; Galerie Christian Hosp, Berlin; Hong Kong Convention Centre and Exhibition; Primo Marella Gallery, Milan; Melbourne Art Fair; Biennale Jogja; Nadi Gallery, Jakarta; Galeri Nasional Indonesia; dan CP Biennale.


“Bicycles may change, but cycling is timeless.” – Zapata Espinoza Bersepeda adalah tradisi yang melampaui generasi. Dari rangka besi baja yang antik hingga sepeda serat karbon, kegiatan bersepeda tetap menjadi kesenangan yang tak lekang oleh waktu. Kutipan (Zap) Espinoza yang merupakan seorang editor majalah Mountain Bike Action and Road Bike Action dari California, mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi terus berkembang, inti dari bersepeda – kebebasan, petualangan, dan keterhubungan – tetap tidak berubah. Keabadian ini membuat bersepeda menjadi gairah bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Pameran “ Saya Bersepeda Maka Saya..BikeBike” bertujuan memberikan makna lebih kultural kepada dunia bersepeda, melalui bentuk dan gagasan karya seni maupun berbagai bentuk gubahan artistik menyangkut sepeda maupun elemen-elemennya. Baik secara simbolik maupun menjadi permainan tanda-tanda. - Rifky “Goro” Effendy, Kurator Pameran
Suasana Pameran