

Kerawuhan: Fragmen-fragmen Zeta
Bre Redana
Tahun 1290an
NAMA saya Zeta. Saya pembuat karya-karya rupa. Hari ini, November 1293, dengan mata kepala saya menyaksikan penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit, kerajaan yang didirikannya usai kemenangan menumpas Kediri. Amanat Singasari, almarhum Raja Kertanegara yang tidak lain adalah mertua Raden Wijaya, lunas sudah dengan terbunuhnya raja Kediri, Jayakatwang.
Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam. Seluruh rakyat pesta pora. Makan minum tiada habis-habisnya. Tiap malam selama tujuh hari kami dihibur pagelaran dari cerita Panji. Cerita kekuasaan dan asmara tak bisa dipisahkan. Bersama seluruh rakyat, saya terbuai. Dalam penglihatan saya, dongeng Panji, terutama perjalanan cinta Inu Kertapati dan Candrakirana, bakal jadi cerita abadi.
Beberapa hari berikutnya, dilangsungkan lagi pesta tak kalah meriah, yang saya yakini juga akan dikenang oleh rakyat sepanjang hayat, yakni pernikahan Raden Wijaya dengan Gayatri. Sebelum Singasari jatuh, Raden Wijaya telah menikahi Tribhuwana, putri sulung Raja Kertanegara. Gayatri adalah putri bungsu Raja Kertanegara. Dengan demikian, Tribhuwana dan Gayatri kakak adik. Tidak masalah. Demi kepentingan politik, agar garis Singasari tak jatuh ke tangan lain, Raden Wijaya menikahi semua puteri almarhum Raja Kertanegara.
Di antara empat putri Raja Kertanegara, yang paling disayang dan kemudian diangkat sebagai permaisuri adalah Gayatri. Raja tidak salah pilih. Gayatri inilah yang sangat banyak memberi inspirasi raja mengenai kekuasaan. Ketika raja meninggal—agak mendadak dan mengejutkan siapa saja—Gayatri, meski di belakang layar, diam-diam menjadi penentu bukan hanya kebijakan politik kala itu, tapi juga Majapahit pada masa selanjutnya.
Tahun 1300an
NAMA saya Zeta. Saya pembuat karya-karya rupa. Sepeninggal Raden Wijaya, Kala Gemet naik tahta, bergelar Prabu Jayanagara. Dia adalah putra Raden Wijaya dari selir yang berasal dari tanah Melayu, dan satu-satunya anak laki-laki dari anak-anak Raden Wijaya. Dalam kekuasaan Kala Gemet, Majapahit amburadul. Gayatri masygul melihat keadaan negeri. Beberapa kali pemberontakan pecah. Salah satu tokoh Dharmaputra bernama Ra Kuti angkat senjata. Di situ perhatian Gayatri tertuju pada pimpinan Bhayangkara yang berhasil menyelamatkan raja dan membunuh Ra Kuti. Siapa dia? Tidak lain adalah Gajah Mada.
Bersama Gajah Mada kemudian Gayatri membangun hubungan baik—kalau tidak mau disebut persekongkolan—untuk menyingkirkan Kala Gemet. Singkat kata gerakan bawah tanah tersebut berhasil. Kala Gemet tewas. Gayatri menobatkan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi sebagai penguasa Majapahit yang baru menggantikan Kala Gemet. Didukung Gayatri sebagai ibu suri yang punya visi luas dan mahapatih Gajah Mada yang menjadi pelaksana tugas gagasan-gagasan besar Gayatri, Majapahit mencapai puncak kejayaan. Muncul kembali gagasan mengenai Nusantara yang pernah dipikirkan oleh mendiang ayahanda Gayatri, Raja Kertanegara pada zaman Singasari dulu.
Tahun 1400an
NAMA saya Zeta. Saya pembuat karya-karya rupa. Benar, dihitung-hitung hampir 200 tahun sejak berdirinya Majapahit. Negeri kali ini dipimpin oleh Suhita. Saya melihat kemunduran kerajaan besar tersebut. Pertikaian antarsaudara tak habis-habis. Yang paling menguras energi kerajaan adalah Perang Paregreg.
Dari sini lahir dongeng yang menggambarkan kisah perebutan kekuasaan, dibalut dengan kisah cinta sangat romantik. Siapa tidak pernah dengar dongeng Damarwulan? Pemuda tampan yang berhasil menyelamatkan Majapahit dari gangguan Minak Jingga dari Blambangan. Setelah berhasil mengalahkan Blambangan dan memenggal kepala Minak Jingga, Damarwulan menikahi penguasa Majapahit, Ratu Ayu Kencanawungu. Ahh….
Tahun 2000an
NAMA saya Zeta. Saya lahir di Surabaya, 18 September 2003. Saya perupa. Nama-nama perempuan pada era Majapahit, Gayatri, Tribhuwana Tunggadewi, dan Suhita, telah memantik imajinasi saya dengan suatu pengandaian: bagaimana seandainya saya melihat Majapahit kala itu. Dengan menengok ke belakang tadi, tiba-tiba saya tersadar, bagaimana masa lalu senantiasa aktual. Termasuk untuk keadaan negeri ini pada masa kini.
Adakah aforisme Perang Paregreg yang kemudian menjadi dongeng Damarwulan-Minak Jingga merupakan gambaran sifat kekuasaan yang penuh kepalsuan, keculasan, manipulasi, di mana kemudian menimbulkan kekecewaan, pembangkangan, pemberontakan?
SAYA Bre Redana, diminta untuk memberi catatan untuk pameran Zeta di Bandung pada bulan November ini. Bertepatan dengan bulan terwujudnya Majapahit, sekitar 700 tahun lalu. Pada era Modern, sebagai kelanjutan era Renaisans, meninggalkan zaman klasik, karya seni tak ketinggalan seni rupa, dipercaya sebagai produk historis, resonansi dari berbagai karya serta pemikiran yang telah ada sebelumnya. Seniman berkarya tidak lagi dikarenakan wangsit, bisikan langit, melainkan karena krida teknik, pergulatan pemikiran, visi, sikap, respons terhadap dunia di mana dia hidup, dan lain-lain. Pertanyaannya kemudian, apakah tiada lagi segi-segi transendetal yang mempengaruhi seorang seniman dalam melahirkan karya? Jawabannya bisa sangat relatif.
Dalam beberapa hal, kreativitas tetap saja menyimpan segi-segi yang kadang sulit untuk diterangkan. Sama sulitnya saya membabar karya-karya Zeta, di mana saya melihat bagaimana Majapahit muncul menjadi fragmen-fragmen dalam karya-karya yang ia pamerkan kali ini. Dalam kosa kata Jawa ada kata kerawuhan. Kerawuhan artinya kurang lebih keterhubungan seseorang dengan unsur-unsur transendental, termasuk dengan tokoh-tokoh yang lama telah tiada. Tidak mampu sepenuhnya menerangkan teka-teki dan misteri kreativitas, untuk sementara saya menggunakan kata kerawuhan untuk karyakarya Zeta.
Bagaimana proses kerawuhan itu?
Kurang lebih seperti fragmen-fragmen naratif seperti saya paparkan di atas. Selamat menikmati.***
10 November 2025
*Bre Redana, cerpenis, novelis, esais.
“Recall History; Foresee Destiny”
Pameran Tunggal Zeta Ranniry Abidin
Pernyataan Seniman :
Saat saya berkarya, prosesnya sering saya awali dengan hal-hal terdekat yang saya temui, dan dari situ biasanya ide akan berkembang menjadi lebih luas. Melukis adalah cara termudah bagi saya untuk memproses apa yang saya pikirkan pada saat itu, termasuk harapan, kekhawatiran, kebingungan, rasa penasaran. Setiap karya terwujud dari kesadaran akan potensi dan kemampuan diri, termasuk kekurangan juga. Namun, sebaiknya bisa lebih fokus pada apa yang bisa dilakukan dan tidak terlalu mencemaskan apa yang tidak bisa dilakukan agar terus menumbuhkan semangat untuk terus mencari dan belajar.
Rasa ingin tahu yang sama, yang dimulai dari memperhatikan hal-hal kecil dan merenungkannya, kemudian saya bawa ke penelitian Sejarah. Saya menelusuri bagaimana kisah-kisah lama membentuk identitas bangsa, khususnya masa kejayaan Majapahit. Sejak tugas akhir kuliah, saya menelusuri candi, artefak, hingga museum untuk memahami warisan peradaban ini. Dari perjalanan tersebut lahirlah embrio bagi pameran “Recall History; Foresee Destiny” , sebuah upaya membaca ulang sejarah dan menafsirkannya melalui bahasa visual yang lebih kontemporer, agar tetap relevan dan bisa dinikmati generasi muda. Saya percaya bahwa jika kisah-kisah seperti Majapahit tidak diceritakan kembali dengan cara yang segar dan visual, banyak dari kita mungkin akan lupa pada tokoh-tokoh yang dulu membangun peradaban ini. Melalui pameran ini, saya mencoba menghadirkan kembali tiga sosok perempuan luar biasa Majapahit dalam wujud karya seni modern. Tujuannya agar sejarah tidak hanya dikenang, tetapi juga dapat dirasakan secara visual, emosional, dan relevan bagi masa kini.
Bagian pertama, Recall History, menampilkan tiga lukisan utama yang merepresentasikan tiga ratu Majapahit sebagai simbol perjalanan peradaban:
• GAYATRI RAJAPATNI — Wisdom Consciousness. Acrylic on canvas, 150×200 cm
Melambangkan kebijaksanaan dan kesadaran awal. Gayatri adalah salah satu sosok pendiri dan penuntun arah pemerintahan Majapahit, seorang perempuan bijak yang menanamkan nilai-nilai tata kelola dan keseimbangan. Ia divisualkan melalui simbol rusa, lambang keanggunan, kecerdasan, dan ketenangan dalam mengatur kehidupan.
• TRIBHUWANA TUNGGADEWI — Grit Possibilities. Acrylic on canvas, 150×200 cm
Menggambarkan keberanian dan daya juang dalam memperluas cakrawala kekuasaan. Tribhuwana adalah ratu pemimpin yang membawa Majapahit pada masa ekspansi besar- besaran, sosok yang penuh tekad dan visi. Simbol gajah merepresentasikan kekuatan, keberanian, dan langkah besar yang menggerakkan bangsa.
• DYAH SUHITA — Resilience Enlightenment. Acrylic on canvas, 150×200 cm
Menjadi simbol keteguhan hati dan pencerahan di masa krisis. Suhita memerintah ditengah gejolak
internal dan berhasil menyatukan kembali Majapahit. Simbol kuda melambangkan ketahanan dan semangat untuk terus melaju meski peradaban berada diambang perubahan.
Dalam ketiga karya ini, elemen blok putih hadir sebagai lapisan visual yang menutupi sekaligus mengungkap isi lukisan, berfungsi sebagai portal waktu yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Ia berfungsi sebagai ruang interpretasi di mana gagasan baru berdialog dengan sejarah, memperlihatkan bagaimana seniman masa kini meneruskan tradisi lama dalam cara yang berbeda. Jika pada masa Majapahit pesan-pesan disampaikan melalui pahatan relief di batu, maka blok putih ini menjadi kanvas bagi perenungan dan pencatatan ulang—cara modern untuk menyampaikan pesan lintas waktu dengan bahasa visual yang lebih kontekstual dan terbuka.
Masih dalam babak Recall History, dua karya berjudul The Story of Panji #1 & #2 (mixed media, 100×200 cm, variable dimension) menelusuri kembali kisah Panji yang banyak ditemukan pada relief di Candi Penataran. Garis horizontal yang membujur di tengah bidang menandai alur waktu, membagi ruang antara masa lampau dan masa kini, antara mitos dan realitas. Cerita Panji dibaca ulang sebagai jembatan naratif yang menghubungkan peradaban kuno dengan konteks modern, menggambarkan bagaimana pesan-pesan moral, politik, dan sosial terus bereinkarnasi dari zaman ke zaman, dari propaganda visual kerajaan hingga wacana publik masa kini.
Babak terakhir, Foresee Destiny (mixed media, 100×200 cm, variable dimension), menghadirkan sisi profetik dari perjalanan ini. Karya ini bersifat interaktif: penonton diajak menuliskan harapan dan ramalan mereka tentang masa depan Indonesia. Dalam bagian ini, saya merujuk pada tradisi ramalan Nusantara, seperti Ramalan Jayabaya dari masa Kediri, yang telah lama menjadi simbol harapan dan peringatan bagi perjalanan bangsa. Melalui semangat serupa, Foresee Destiny menafsirkan kembali fungsi seni sebagai wahana membaca tanda-tanda zaman, menyentuh dimensi spiritual, sosial, dan politik yang selalu hadir dalam sejarah Indonesia.
Melalui “Recall History; Foresee Destiny”, saya berupaya merangkai kembali fragmen masa lalu sebagai refleksi terhadap masa depan. Karena bagi saya, mengingat sejarah bukanlah nostalgia, melainkan kesadaran bahwa untuk menatap jauh ke depan, kita perlu terlebih dahulu memahami dari mana kita berasal. (Zeta Ranniry Abidin)
Lulus dari pendidikan seni rupa di Universitas Kristen Maranatha tahun 2025, Zeta Ranniry Abidin (lahir di Surabaya, 2003) merupakan seniman yang mulai menaruh perhatiannya pada seni lukis sejak duduk di bangku sekolah. Semenjak mendapatkan penghargaan sebagai juara melukis nasional dan beberapa kompetisi serupa tingkat SMA, Zeta mulai menekuni dunia melukis secara serius dan profesional. Salah satu capaian lainnya adalah memperoleh Bronze Award 13th UOB Painting of The Year Competition 2023 untuk kategori Emerging Artist.
Zeta aktif terlibat dalam penyelenggaraan pameran. Pameran tunggalnya, meliputi The Miracle Of Selftalk, Miracle Aesthetic Clinic (2022), Re:Play, Unicorn Creative Space (2022), dan Milestone-17, Vasa Hotel Surabaya (2017). Sementara beberapa pameran kelompok, antara lain 1st Grey Annual Award, Grey Art Gallery (2024), Motif: Lamaran ArtJog, Jogja National Museum (2023), Art Moment 3 Jakarta, bersama 2Madison Gallery, Art:1 Museum (2022), dan Asia International Friendship Exhibition 2022, Tokyo (2022)



Wisdom Consciousness
Acrylic on canvas, 150 x 200 cm 2025
GAYATRI RAJAPATNI

Grit Possibilities
Acrylic on canvas
150 x 200 cm
2025
TRIBHUWANA TUNGGADEWI

Resilience Enlightenment
Acrylic on canvas
150 x 200 cm
2025
DYAH SUHITA


Variable Dimension 2025
Story of Panji #1
Acrylic on canvas



Variable Dimension 2025
Story of Panji #2 Acrylic on canvas



Recall History; Foresee Destiny
Mixed media on canvas
Variable Dimension
2025


@ Drawing on A4 Watercolour paper 2025













