Merawat Harmoni dalam Keragaman di Indonesia1 Oleh Rumadi Ahmad2
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dunia dengan total luas wilayah 1.919.404 km2. Kepulauan Indonesia terhampar di garis 60 Lintang Utara hingga 110 Lintang Selatan, dan 950 hingga 1410 Bujur Timur, Jumlah pulau sebanyak 19.108 (berdasar data satelit oleh Institute Penerbangan dan Antariksa pada 2003). Negara ini juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. Posisi ini menempatkan Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung dengan sepuluh negara di kawasan. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Religiusitas itu ditunjukkan dalam konstitusi UUD 1945, yang meletakkan “Ketuhanan” sebagai aspek dasar dari negara. Pasal 29 ayat (1) disebutkan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari ayat tersebut bisa dipahami, negara harus dikelola dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hubungan kuat agama dan negara itu juga terlihat di Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan, “… Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh….”. Demikian juga dengan Pasal 31 ayat (3) yang menjelaskan mengenai pendidikan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”. Kata “keimanan dan ketakwaan” merupakan terminologi yang menunjukkan pentingnya agama dan religiusitas dalam pengelolaan Negara. Dengan berpegang pada prinsip “Negara Ketuhanan” itu, umumnya pandangan menilai jika konstitusi negara tidak memberi kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Salah satu wujud relasi unik agama-negara ini adalah berdirinya Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Dengan konteks keunikan itupun negara tidak punya beban untuk mengakomodasi hukum agama dalam hukum positif seperti yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara, khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam”. Sebagian besar hukum agama itu juga sudah ada sejak masa kolonial. Akomodasi terhadap hukum agama (baca, Islam) tersebut di
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Relasi Islam, Negara dan Pancasila” di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 5 November 2018 2 Penulis adalah Dosen Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2020. 1
1