Politik Afirmasi Kultural: Strategi Intelektual Organik dalam Gerakan Feminisme Islam Melawan Hegemoni Patriarki dalam Budaya Islam Nita Tri Astutik Abstrak Gerakan Feminisme Islam di Indonesia telah banyak menyedot perhatian dunia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia dinilai cukup terbuka dengan wacana Feminisme. Padahal Islam dan Feminisme mengandung banyak pertentangan paham. Perkembangan Feminisme yang gemilang tidak lepas dari peran intelektual organik dalam gerakan Feminisme Islam yang berjasa dalam menyebarluaskan wacana dan memotori gerakan Feminisme dengan menggunakan strategi-strategi yang digunakan dalam menyebarluaskan “virus gender� dalam budaya Islam. Rangkaian strategi tersebut kemudian dibingkai dalam sebuah konsep sebagai penamaan penemuan, yakni Politik Afirmasi Kultural. Artikel ini merupakan hasil penelitian deskriptif kualitatif yang memposisikan Farha Ciciek, seorang feminis muslim sekaligus intelektual organik dalam gerakan Feminisme Islam, sebagai subyek penelitian. Data penelitian bersumber dari wawancara mendalam dilengkapi dengan penelusuran hasil kajian pustaka yang berkaitan dengan gerakan Feminisme Islam. Penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah khazanah pengetahuan yang relatif baru kaitannya dengan perkembangan gerakan Feminisme Islam dalam perspektif Ilmu Politik. Kata-kata Kunci: Feminisme Islam, Intelektual Organik, Budaya Islam, Farha Ciciek
Pendahuluan Perubahan zaman rupanya membawa tantangan yang berbeda bagi aktivis perempuan Islam, dikarenakan permasalahan perempuan menjadi lebih kompleks. Upaya aktivis terdahulu dalam meraih kesetaraan dalam bidang pendidikan telah tercapai, kini para perempuan telah dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya sama halnya dengan laki-laki. Akan tetapi rupanya hal ini belum cukup efektif bagi kesetaraan dan keadilan dalam bidang lainnya, misalnya saja peran perempuan di ruang publik. Perempuan masih diposisikan subordinan, meskipun diberi kesempatan untuk sama-sama bersaing di ranah publik. Perempuan tidak diberi akses, atau aksesnya dibatasi. Posisi subordinan ini ditengarai bersumber dari tradisitradisi keagamaan yang masih memposisikan perempuan demikian rupa. Para intelektual muslim Indonesia yang menyadari akan permasalahan perempuan kaitannya dengan dinamika tekstual dan kontekstual keagamaan mulai bergerak dalam membongkar landasan teologis yang tidak pro kesetaraan gender dan juga mengurai benang merah permasalahan yakni tradisi keagamaan yang mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan di pesantren.