Daftar iZine
Daftar iZine - 4
Membaca Koran - 5
Kopiah Para Pejabat - 9
Ikut Ibu ke Arisan
Ibu-Ibu Kompleks - 14
Ibu lebih sering asyik bersihbersih rumah, memasak, mencuci pakaian, atau kegiatan rumah lainnya, atau menggoda kucing kami. Meski ibu tidak selalu menjawab, tetapi ia yang paling berjasa atas perkenalanku dengan huruf dan angka, juga warna-warna, juga hal-hal kecil lainnya.
Di rumah, hari Minggu, bapak dan ibu kompak membaca koran
atau menonton acara tinju di TV. Aku pernah mencoba membaca koran, tetapi mataku capai. Tulisan di koran sangat kecil-kecil dan warnanya hanya hitam-putih. Aku suka koran edisi hari minggu karena di sana ada rubrik cerpen, tokoh inspirasi, resensi buku, gaya penampilan masa kini, tips-tips hidup sehat, ramalan zodiak, dan tulisan tentang kebudayaan yang halamannya dicetak berwarna. Aku bisa melihat foto dan ilustrasi yang lebih menarik berkat edisi khusus itu.
Pernah suatu hari saat membaca koran minggu, aku menantikan sekali catatan budaya tentang “arisan.” Aku sangat ingin tahu siapa yang punya ide arisan dan apakah memang orang-orang yang terlibat dalam ruang arisan selalu banyak bercerita satu sama lain?
“Akhirnya, cita-cita-nya menjadi presiden tercapai,” kata bapak sambil menyimak televisi.
“Dulu bapak punya cita-cita jadi presiden, tidak?” Tanyaku.
“Tidak.” Jawab bapak singkat.
“Memangnya cita-cita bapak waktu kecil dulu apa?” Tanyaku lagi.
“Punya bapak seorang presiden, terus bapak jadi wakil presiden termuda.”
Aku tidak berminat menanggapi atau bertanya lagi karena cita-cita bapak sangat aneh. Apakah untuk jadi wakil presiden termuda harus punya bapak seorang presiden?
Mataku ikut mengamati gerakgerik banyak sekali manusia yang tampak dari layar kaca. Agenda
pelantikan itu seperti ajang peragaan busana bagiku. Orangorang yang disebut pejabat itu mengenakan jas formal bagi lakilaki, dan kebaya bagi perempuan.
Mengapa yang laki-laki tidak pakai lurik saja, ya, biar serasi dengan kebaya? Kalau laki-laki pakai jas, kenapa yang perempuan tidak pakai gaun saja?
Kata bapak, “Jas itu sudah ada dari zaman kolonial. Pakaian yang satu itu sebagai tanda dia kaum elit dan terpelajar.”
“Kalau pakai kopiah?” Tanyaku.
“Kalau kopiah itu, yang bapak tahu, itu gaya berpakaian Bung Karno.” Jawab bapak.
“Kenapa Bung Karno pakai kopiah?” Tanyaku lagi.
“Yang bapak tahu, kopiah itu atribut yang paling banyak dikenakan rakyat Indonesia pada saat itu. Saat kuliah, Bung Karno pakai jas sebagai simbol kaum terpelajar dan kopiah sebagai simbol bahwa ia berpihak pada rakyat Indonesia.”
Aku menyimak dan mengangguk mengerti. Bapak juga bilang kalau gaya busana itu terus dikenakan Bung Karno hingga ia menjabat sebagai presiden. Mendengar itu, aku berpikir kalau Bung Karno, selain sebagai Presiden Pertama Indonesia, ia juga ahli tata busana sehingga gaya berpakaiannya masih beken sampai sekarang.
“Bapak, kalau makna kopiah itu keberpihakan pejabat negara pada rakyat, kenapa pejabat sekarang banyak yang nggak berpihak ke rakyat?”
Orang yang dapat arisan, artinya rumahnya akan jadi tuan tumah untuk arisan berikutnya. Maka jika ibu dapat arisan, sebagian uang yang sudah dibagi untuk tambahan beli TV baru akan dibagi; pertama, untuk membeli sate dan gulai sebagai bentuk syukur kecil-kecilan di rumah, dan sisanya yang lebih banyak untuk biaya acara arisan. Ibu biasanya membeli molen, tahu pletok, kue kamir, nasi grombyang atau lontong dekem, atau apapun untuk menjamu tamu arisan.
Aku pernah ikut ibu pergi ke arisan. Walau hanya sebelas orang, tetapi di rumah kompleks yang ruang tamunya hanya ukuran 3x3 meter rasanya seperti ada banyak sekali orang. Selain karena sempit juga karena semua ibu-ibu bicara. Antara ibu kanan dan kiri mengobrol, kemudian sebelahsebelahnya menyambung, dan jadi riuh.
Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari sinetron, PR anakanaknya, harga sembako, bahkan membuat dunia sendiri tentang harga sembako dalam sinetron!
Ibuku lebih banyak menyimak ketika bahasan sinetron, itu karena ibu tidak suka sinetron. Kata ibu, alur cerita sinetron terlalu mengadaada dan akting pemainnya tidak natural. Aku belum tahu juga “akting natural” seperti apa, belum kutanyakan pada ibu. Yang aku tanyakan pada ibu adalah tentang hal yang ia suka. “Membaca koran,” katanya.
Bahan obrolan ibu-ibu arisan sangat banyak. Apa lagi ada yang membicarakan suaminya sambil tertawa-tawa, atau membicarakan nilai ulangan harian salah seorang anak yang tidak sesempurna anak lainnya. Aduh, lelah sekali
mendengar itu semua. Aku heran pada ibu kenapa ia tidak banyak menceritkan tentang anak atau
Selain harga sembako, ibu juga membicarakan tentang tanaman cabainya yang tumbuh subur di halaman rumah, ada cabai keriting, cabai rawit hijau, dan cabai rawit setan. Ibu pun mempersilakan ibuibu lain jika ingin memetiknya saat kehabisan cabai di rumah. Halaman rumahku terbuka karena tidak ada pintu gerbangnya.
Arisan hari ini, aku turut mendoakan apa yang ibu harapkan karena aku juga sudah ingin punya
TV baru. TV lama kami memang sudah saatnya istirahat karena sudah ada sejak zaman bapak kuliah, katanya. TV yang ada di rumah kami adalah sebuah tabung hitam dengan kaca cembung dan mengeluarkan banyak sekali semut meski antena sudah dipasang sedemikian baik. Jika antena geser sedikit, semut makin banyak. Jadi, memang sudah saatnya…
Hari ini aku ikut ibu arisan lagi meski sudah tahu akan pusing. Tapi yang kali ini, kata ibu, ada jajan kue pukis. Aku suka kue pukis. Jadi tidak apa-apa pusing sedikit, asalkan ada kue pukis.