Dari Mencicipi Makanan, Musik, Komik, Hingga Menjadi Warga Negara yang Baik - Meletup Zine vol. 2

Page 1


Ukuran: 12 x 17 cm

Cetakan: September, 2024

Penulis: Windy, Pandu, Jemi, Habib

Fotografer: Zaidan & Wijaya

Komik mini: Kamal Mustofa

Koordinator Produksi:

Jemi Batin Tikal

Ilustrasi cover & isi: Imarafsah Mutianingtyas

Editor: Windy Shelia Azhar

Layouter & Perancang

Sampul: Fahrul Rozi

Terbitan: ketiketik.com

Boleh dicetak & disebarluaskan tanpa tujuan komersial

Link file ada di akhir halaman

Daftar Isi

Komik: Dipandang

Sebelah Mata, Berjalan Pincang

9

Panduan Menjadi Warga Negara

Indonesia yang Baik

15

‘Gastronurban’:

Romantisisasi Kuliner Lokal di Kota Pangkalpinang

21

Pangkalpinang: Apakah di Kota ini, Kreativitas akan Kita

Menangkan?

27

Biodata 44

Publik pembaca komik di Indonesia

belum terbiasa (red- membaca komik lokal), dan lebih akrab dengan produk komik dari Asia Timur.

- Jemi Batin Tikal

Komik: Dipandang Sebelah Mata, Berjalan Pincang

Hal yang menggembirakan bagi saya saat ini adalah saat komik yang kerap dianggap bacaan hiburan dan “mainan anak dan remaja” itu dapat dibicarakan secara serius dalam forum ilmiah. Komikkomik dibicarakan dalam sudut pandang sejarah, sosiologi, budaya, pendidikan bahkan psikologi. (Beng Rahadian)

Setelah pulang dari membeli papan tik di Sleman, sembari menuju pulang, kau sempatkan mampir ke acara Comic Paradise (Comipara) edisi ketiga. Acara ini merupakan kegiatan kreatif yang rutin diadakan dua kali setahun di Yogyakarta, yang berfokus pada—tetapi tidak terbatas pada komik— webtoon, dan berbagai produk turunan komik lainnya. Digagas oleh komikus untuk komikus, Comipara menjadi ruang kreatif dengan segudang aktivitas seru yang membawa angin segar bagi penikmat komik dan budaya pop di penjuru Indonesia.

Kau mampir pada minggu, 22 Desember 2024. Di Jogja Expo Center, Bima Hall A, kau berbincang dengan Anis, yang saat itu menunggui

lapak Makhsara Comics.

Makhsara berasal dari

Jakarta. Menurut tuturan

Anis, selama ini yang ia lihat, iklim komik di Jakarta dan Bandung ‘terasa’ lebih ramai daripada Jogja. “Rasanya

sedikit kurang antusias jika dibandingkan dengan dua kota tadi”. Industri komik

Indonesia yang belum mapan memunculkan rasa kurang percaya diri atau keyakinan orang-orang menjadi komikus, menerbitkan karya, maupun membacanya.

Publik pembaca komik di Indonesia belum terbiasa (red- membaca komik lokal), dan lebih akrab dengan produk komik dari Asia

Timur. Komik produksi dari

Indonesia atau Asia Tenggara belum karib diterima publik pembaca, walaupun dari sisi cerita sama menariknya.

“Cerita lisan kita seperti mitos, legenda, harusnya

bisa jadi daya tarik besar untuk dikembangkan,”

lanjutnya. Makhsara Comics fokus pada komik cetak, meskipun memiliki kelemahan pada soalan distribusi yang membutuhkan waktu dan sebaran yang tidak merata.

Komik digital memang lebih

mudah dijangkau dan dibaca, tetapi Makhsara ingin tetap mempertahankan identitas cetak sebagai bagian dari nostalgia dan pembeda.

Karena tak hanya fokus pada komik belaka, kau merasa jika

Comipara agak membuatmu kurang puas. “Jika ingin lebih fokus komik lokal itu pada acara Pesta Komik yang dilaksanakan pertengahan tahun depan (red-2025),”

jawab Sefira Nurzain menanggapi curhatanmu.

Menurut komikus asal

Bangka Belitung itu, kotakota dengan iklim komik yang cukup baik meliputi

Jabodetabek, Bandung, dan Jogja. Iklim komik yang baik itu dikarenakan fasilitas, pendidikan seni, kemajuan industri kreatif, serta demografi yang lebih besar.

Komikus atau siapa saja yang terlibat dalam industri ini perlu memperluas khalayak agar karya komik tersebut menjangkau dan diketahui oleh masyarakat awam.

Bahkan di kota yang terlihat terdapat kultur komik lokal pun, sering kali tidak sampai dan menyentuh masyarakat akar rumput.

Terbitan komik yang dijual di acara semacam Comic

Con biasa cetak mandiri (self publishing) dengan oplah tidak sampai 200 eksemplar.

Komikus perlu mengerjakan tema dan kisah yang lebih relatable. Rata-rata komik lokal yang laku di Indonesia mengusung tema umpama slice of life, comedy, romance, hingga horror. Relatable ini maksudnya dekat dengan budaya lokal atau isu yang sedang ramai dibicarakan.

Aseftier, nama penanya sebagai komikus mengamati jika 2015 ke belakang, komikus sering menerbitkan jalur penerbit mayor, tetapi kini tidak terlalu berminat lagi. Selain mencetak dan menjual

langsung secara mandiri, adanya platform digital juga berpengaruh. “Namun, jika

memilih jalur digital biasanya bergantung lewat pembelian koin, nah orang Indonesia tuh gak familiar dengan sistem pembayaran koin,” ujarnya.

Selain faktor banyaknya platform digital, persoalan royalti dan distribusi juga memengaruhi minat komikus menerbitkan lewat jalur penerbit. Sering kali di toko buku, komik berada di rak paling bawah, paling ujung, koleksinya tidak lengkap, atau berakhir di bazar diskonan. Royalti yang diterima komikus kurang lebih mirip dengan skema royalti yang diterima penulis buku lainnya. Komik juga sering dibuat kompilasi dalam satu jilid terbitan yang terdiri dari beberapa komikus, sehingga royalti yang tak seberapa itu tadi dibagi-bagi lagi.

Sejak tahun 1930-an, komik di Indonesia telah muncul dalam format strip pada surat kabar. Komik kemudian berkembang dan populer dalam format

buku hingga permulaan 1980an. Tahun ini ialah puncak sekaligus ambang batas produktivitas komik buku. Dari kampus, komik di Indonesia hadir dalam ide baru yang menawarkan kemerdekaan berekspresi. Ekspresi ini lahir di pertengahan 1990-an.

Karya kompilasi komik Core Comic dari Jogja dan Molotov indie komik dari Bandung diproduksi lewat fotokopian tahun 1996, muncul di Pasar Seni Institut Teknologi Bandung, yang kemudian menyebar ke kampuskampus lain. Gerakan ini kemudian dinamai dengan bermacam nama seperti komik alternatif, komik underground, komik gerilya, hingga komik independen. Penamaan ini dikarenakan mereka mengesampingkan bahkan tidak mengedepankan keuntungan finansial, melainkan sebagai sarana penyebaran wacana.

Meletupnya reformasi politik 1998 turut memantik percik sebuah zine yang menamai diri mereka sebagai Komikaze.

Komikaze lahir dari rahim

kota pendidikan Yogyakarta, yang terbit dalam bentuk

cetak fotokopian dan di keramaian demonstrasi

mahasiswa, mereka ambil posisi disebarkan terbatas dari mahasiswa ke mahasiswa, kampus ke kampus, kosan ke kosan.

Komik indie dan zine tumbuh beriringan pada era ini. Zine yang memuat komik di dalamnya lazim disebut comiczine. Meskipun

Komikaze bukanlah yang pertama, tetapi mereka adalah pelopor zine komik di Indonesia yang di kemudian hari memantik gerakan serupa di kota-kota lain. Tiga tahun sebelum reformasi meletup, komik-komik yang dicetak fotokopi mulai akrab dijumpai di beberapa kota seperti

Jogja, Jakarta, dan Bandung

Beriringan dengan masuknya internet ke Indonesia, komik mulai menemukan wadah baru untuk unjuk diri, semisal di kanal website hingga media sosial. Dalam bukunya Komik

Media yang Terus Bergerak

(2021, Jejak Pustaka), Bambang Tri Rahadian atau yang akrab dikenal sebagai Beng menyoroti pentingnya manajemen hak kekayaan intelektual. Dari sana, komik bisa diturunkan menjadi berbagai produk seperti animasi, film, cosplay, dan hal lainnya. Meskipun komik lokal masih belum mampu meruntuhkan dominasi komik Asia Timur atau Barat, menimbang kekayaan sekaligus kekuatan konten lokal, lintasan sejarah yang telah dilaluinya, gerakan komunitas hingga wacana yang dibawa, komik sejatinya bukanlah perkara sambil lalu dan sepele.

Referensi

Bonneff, Marcel. 1998.

Komik Indonesia (terjemahan Rahayu S. Hidayat). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis (terjemahan Hartono Hadikusumo).

Yogyakarta: Bentang Budaya.

McCloud, Scott. 2001. Memahami Komik (terjemahan S Kinanti). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gumira, Seno Ajidarma, 2021. Ngobrolin Komik. Yogyakarta: Pabrik Tulisan.

Tri, Bambang Rahadian, 2021. Komik Media yang Terus Bergerak. Yogyakarta: Jejak Pustaka.

Jemi Batin Tikal belajar menulis puisi, cerita pendek, & esai. Kumpulan puisi Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara Tentang Cinta terbit Oktober 2023 adalah buku puisi pertamanya. Ia tergabung dalam komunitas sastra Jejak Imaji & KebunKata. Mengelola website ketiketik. com. Ia sedang mengerjakan buku puisi kedua. Penulis bisa dihubungi via media sosial Instagram/Facebook: @ jemibatintikal & surel batintikalj@gmail.com

Panduan Menjadi Warga Negara Indonesia yang Baik

Syahdan, seorang begundal ibukota bernama Bowok

kepalanya dihantam palu

oleh musuh bebuyutannya perihal perebutan wilayah. Ia

tidak mati, melainkan koma berminggu-minggu sebab otaknya gegar dan kehilangan banyak darah. Saat bangun

dari komanya, ia tidak mampu mengingat apa-apa. Bahkan namanya luput dari ingatan. Tidak ada sanak saudara yang menyambut kesembuhannya.

Hanya seorang dokter lanjut usia yang menjenguknya sambil terbatuk-batuk. Ia masuk sembari membenarkan letak tanda pengenal

bertuliskan ‘Dodo’. Di ruang

rawat inap yang pengap dan bercat lusuh tersebut, Dokter Dodo memeriksa tanda-tanda

vital Bowok dengan gerak yang amat lambat. Usianya yang lapuk seolah menolak takdir bahwa ia harus pensiun dan memberikan tahta dokter jaga utama kepada yang lebih muda.

“Biasanya, pasien lain sudah mati di tempat bila otaknya dihantam palu begini.

Beruntung kau masih diberi kesempatan untuk hidup lebih panjang.” Dokter Dodo mencatat. Bowok manggutmanggut saja.

Setelah memeriksa keadaan

Bowok secara keseluruhan, Dokter Dodo menyodorkan sebuah buku bersampul biru telur asin berjudul Panduan

Menjadi Warga Negara

Indonesia yang Baik kepada Bowok. Tampaknya ia tahu riwayat pasiennya tak lebih dari sampah masyarakat yang meresahkan. Sehingga ketika Bowok mengalami amnesia, ini adalah kesempatan yang tepat bagi Dokter Dodo yang bijak mengubah begundal tersebut menjadi warga negara yang baik.

“bacalah dan ikuti panduannya. Itu adalah cara orang kebanyakan hidup damai sentosa.”

Bowok yang lupa ingatan sepenuhnya sungguh senang menerima buku tersebut. Ia menganggapnya bagaikan panduan hidup sehingga ia tak perlu bersusah payah mengembalikan ingatannya

yang hilang perkara menjalani hidup.

Di dalam buku tersebut, terdapat dua puluh butir tata cara menjadi warga negara

Indonesia yang baik, kurang lebih rangkumannya adalah sebagai berikut:

1. Pilihlah satu Tuhan untuk diyakini. Terdapat enam agama resmi di Indonesia, yaitu: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Tips: pilihlah yang jumlah penganutnya paling banyak agar kamu tidak mengalami diskriminasi sebagai minoritas.

2. Jadilah manusia yang adil! Setelah hakmu, keluargamu, sukumu, organisasimu terpenuhi, berikan hak orang lain dengan adil.

3. Jadilah manusia yang beradab! Jalani kewajibanmu dengan tutur kata sopan dan senyum merekah. Mengata-ngatai pemerintah dan keadaan saat ini adalah tindakan kurang beradab!

4. Junjung persatuan antar suku, ras, kelas sosial, gender, dan golongan. Jika kamu terlahir sebagai laki-laki, tinggal di ibukota negara, kelas sosial menengah ke atas, dan tergolong muda, maka terselamatkanlah hidupmu di Indonesia! Jika salah satunya tak ada, pandaipandailah menjilat orangorang dengan kategori tersebut agar hidupmu selamat.

5. Segala permasalahan di Indonesia diselesaikan dalam musyawarah hingga tercapai mufakat. Bila kau tak punya cukup kuasa jangan lontarkan ide dan argumen, cukup ikuti suara terbesar. Jika kau ingin melontarkan ide dan argumen, pastikan kau punya cukup uang untuk menjamu orang-orang hingga mereka senang kepadamu.

6. Jika kau ingin memperoleh keadilan sosial, kau harus ikut apapun perintah pemerintah.

7. Kau harus berbalas budi kepada pemerintah yang sudah membiarkanmu hidup di Indonesia. Bayar pajak untuk membantu mereka mendapatkan kehidupan yang sejahtera.

8. Nikmati sajian gosip dan skandal selebriti. Itu lebih seru untuk diikuti daripada berburuk sangka pada pemerintah.

9. Kau harus berwelas asih dan menyadari tidak ada manusia yang luput dari salah. Percayakan hukum kepada pemerintah dan maafkan para penjahat tersebut, terutama koruptor.

10. Jangan sekali-kali memegang palu dan arit secara bersamaan.

11. Hati-hati dalam bertutur kata dan menyebarkan informasi. UU ITE bisa menjeratmu yang tidak menjaga tata bicaranya dan menyebarkan informasi yang menyalahkan mayoritas dan pemerintah.

12. Jangan terlalu berisik saat musim pemilu. Cukup pilih kandidat yang didukung pemerintah saat ini.

13. Masuk atau dukunglah partai yang tergabung ke koalisi pemerintah agar hidupmu terjamin.

14. Lebih baik mengurusi hal lain daripada berdiri di depan istana setiap kamis.

15. Pilih profesi yang pro pemerintah, seperti: tentara, polisi, pegawai negeri sipil, atau buzzer.

16. Jika tidak memilih profesi di atas, jadilah pebisnis dan dekati pemerintah agar urusanmu lancar.

17. Kau bisa membeli rumah. Percayalah program tabungan perumahan rakyat akan membantumu!

18. Janganlah iri jika jalanan di tempat tinggalmu tak semulus di Pulau Jawa. Iri dengki adalah sikap kurang terpuji.

19. Jangan percaya omongan orang-orang seperti, Rocky Gerung dan Najwa Shihab.

20. Jika kau ingin melakukan

aksi kriminal, pastikan kau

dekat dengan pemerintah

atau orang-orang yang dekat dengan pemerintah

agar terlindungi.

Setelah membaca buku

tersebut, Bowok bertanya kepada Dokter Dodo yang kebetulan masuk ke ruangannya untuk memeriksa keadaannya.

“Kalau saya tak mengikuti panduan ini, apa yang akan terjadi, Dok?”

Dokter Dodo menatapnya tajam beberapa saat dan kemudian tersenyum aneh.

“Maka kau akan ku suntik dengan ini agar kau beristirahat dengan tenang.” Ia menunjukkan sebuah suntikan berisi cairan kebirubiruan. Bowok menelan ludah.

Windy Shelia Azhar merupakan penulis lepas berdarah Melayu Bangka yang saat ini menjalankan hobi menghayati kehidupan sebagai seorang eksistensialis di Bali pinggiran. Tulisannya berupa esai dan cerita pendek telah diterbitkan di berbagai medium. Sedang belajar menulis di Komunitas KebunKata dan mengedit tulisan di ketiketik.com. Jalin korespondensi dengannya melalui pos-el: tuliswindy@gmail.com atau Instagram: @sisigelaprembulan.

Warisan makanan memberikan pengetahuan paling awal tentang lokalitas

- Habib Safillah Akbariski
‘Gastronurban’: Romantisisasi
Kuliner Lokal di Kota Pangkalpinang

Keberadaan tempat makan di ruang perkotaan cenderung

berkelompok daripada

tersebar. Tren ini juga terjadi di Pangkalpinang, misalnya

pusat kuliner di Taman

Merdeka. Tak jauh dari

Taman Merdeka, Anda dapat melihat hamparan penjual thew fu sui di sepanjang

Jalan Kapten Munzir. Sesekali pedagang-pedagang thew fu sui itu disusupi oleh

pedagang kuliner lain seperti

sate taichan atau croffle. Beberapa pedagang lain menjajakan menu-menu musiman bergantung tren makanan di media sosial.

Jika dilihat dari aspek yang bernuansa lokalitas dalam konteks kebudayaan Bangka

dan kebudayaan lain, pusat

kuliner di Kota Pangkalpinang terbagi atas 2 lokasi umum, yaitu: (1) Jalan Kapten Munzir yang menjual thew fu sui sebagai satu bentuk identitas

lokal budaya Bangka; dan (2) Jalan A. Yani sepanjang

Tan Kasteel menuju Museum

Timah menjamur angkringan sebagai representasi budaya

Jawa khususnya Yogyakarta

dan Jawa Tengah, meski sebenarnya menu yang disajikan dan tentu persoalan harganya ‘nggak Yogja Yogja banget!’ Tak hanya di Jalan

A. Yani, angkringan di Kota

Pangkalpinang tersebar di lebih banyak titik daripada

kuliner lokal seperti thew fu sui. Dalam konteks ini, thew fu sui telah berkembang

maknanya tidak lagi sebatas hanya minuman saja, tetapi menjadi sebuah tempat berkumpul dalam suatu interaksi sosial. Pada posisi ini, thew fu sui sebagai tempat hakikatnya sama dengan keberadaan angkringan.

Akan tetapi, tren angkringan jauh lebih pesat ketimbang thew fu sui. Padahal, perihal harga seringkali menu yang ditawarkan di angkringan jauh lebih mahal daripada di thew fu sui.

Alasan mengapa angkringan jauh lebih dipilih ketimbang thew fu sui setidaknya dilihat dalam 3 aspek: (1) romantisisasi Yogya; (2) menu yang lebih beragam; dan (3) fasilitas yang lebih lengkap. Pertama, banyak

pelajar asal Pulau Bangka yang melanjutkan studi ke kota pelajar, Yogyakarta (dan sekitarnya). Hal tersebut membuat para mahasiswa asal Bangka tidak lagi asing dengan keberadaan angkringan. Di Yogya, angkringan bukan sekadar tempat untuk makan, tapi lebih dari itu, angkringan menjelma sebagai simbol keberagaman dan kebersamaan. Selain faktor mahasiswa Bangka yang kuliah di Yogya, keberadaan angkringan di Kota Pangkalpinang tidak bisa lepas dari banyaknya jumlah masyarakat asal Yogyakarta dan sekitarnya yang berkegiatan di kota ini. Hal tersebut membuat bisnis kuliner asal Jawa itu jadi menggiurkan dan terbukti menjamur di Kota Pangkalpinang.

Kedua, menu makanan di angkringan cenderung lebih variatif daripada thew fu sui. Angkringan menyediakan menu camilan hingga lauk-pauk. Ada gorengan dan bebakaran yang lebih

beragam. Bahkan, ada angkringan yang melengkapi menunya dengan bakso, pecel, ketoprak, hingga seblak. Minuman yang disajikan pun tak kalengkaleng, dari mulai es teh hingga minuman warnawarni kekinian. Meski, tentu saja belum pernah penulis temukan angkringan yang menjual otak-otak atau pempek.

Ketiga, beberapa angkringan di Kota Pangkalpinang menyediakan fasilitas yang lebih lengkap seperti tempat parkir yang luas dan toilet gratis sehingga pengunjung yang kebelet buang jahat tidak perlu bersusah payah mencari toilet (meski ada banyak juga angkringan yang buka di pinggir jalan tanpa fasilitas seperti yang disebutkan). Sementara itu, belum ditemukan adanya tempat thew fu sui dengan fasilitas selengkap itu selain thew fu sui yang buka di pinggir-pinggir jalan.

Selain masalah angkringan dan thew fu sui, eksistensi mi ayam Bangka (mi Bangka

atau bakmi Bangka) pun patut

kita renungkan. Coba tanya ke orang-orang di sekitar

Anda seberapa banyak yang tahu bahwa Bangka ada mi ayam tersendiri? bagaimana

cara memakannya? di mana tempat menjualnya? dan apa yang membedakannya dengan mi ayam umumnya? Di Kota Pangkalpinang, keberadaan mi ayam magelang jauh

lebih menjamur daripada mi ayam Bangka. Padahal, ada sisi historis yang begitu kuat dari keberadaan mi Bangka ini. Ada sisi filosofis dari perpaduan budaya Tionghoa, Belanda, dan Melayu.

Makanan yang merupakan

dasar bagi keberadaan manusia selalu menjadi

bagian integral dari kehidupan perkotaan dan praktik sosial. Apa, bagaimana, dan di mana kita mengonsumsi makanan telah berevolusi seiring dengan perubahan gaya hidup dan morfologi perkotaan. Di tengah rangkaian perubahan ini, banyak warisan kuliner tradisional yang bertahan dalam perjalanan melintasi waktu dan ruang.

Aher dan Deshpande dalam penelitiannya tentang

Identitas Gastronomi dan Urbanisasi menyatakan bahwa makanan adalah aspek intrinsik dan penentu identitas kota: baunya, teksturnya, dan rasanya menunjukkan warisan budaya kota dengan mendefinisikan kebiasaan sosial dan membawa vitalitas dan kegembiraan. Dalam kasus mi ayam Bangka, misalnya, barangkali kita perlu mengkaji lebih jauh dari sisi historis dan filosofis tentang mengapa ada saran khusus dalam mengonsumsinya dengan memisahkan kuahnya.

Atau barangkali mi Koba yang memiliki kuah khas dengan campuran ikan yang menunjukkan sisi kekayaan maritim Pulau Bangka dari segi perikanan.

Hakikat sejati warisan kuliner kota terletak pada makanan rumahan dan makanan jalanan. Ada keragaman yang kaya dalam metode menyiapkan makanan, peralatan yang digunakan, cara makanan dikonsumsi,

dan cara membuangnya. Namun, praktik kuliner tradisional tunduk pada efek gabungan globalisasi dan urbanisasi yang memunculkan budaya makanan yang pluralistik. Meskipun hal tersebut membantu pertumbuhan kota-kota kosmopolitan menjadi lebih inklusif. Hal tersebut juga mengubah dan menyebabkan kepunahan budaya dan tradisi makanan asli yang secara progresif menjadi homogen. Dalam konteks ini misalnya, tentang cara memakan otak-otak yang mengalami pergeseran ketika menu tersebut masuk ke dalam budaya urban. Cara memakan otak-otak ialah dengan mencelupkannya ke cuka/ tauco. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya

budaya sendok dan garpu dan masuknya otak-otak sebagai menu urban mengubah cara makan otak-otak dengan menggunakan sendok dan garpu. Sejatinya, cuka dan tauco hanya sesekali dihirup langsung dari mangkok kecilnya, bukan pada setiap

suapan otak-otak. Barangkali kita bisa sepakat bahwa cara makan pempek yang awalnya hanya dicocol saja ialah sebagai upaya menjaga keseimbangan cita rasa otakotak itu sendiri.

Makanan di ruang perkotaan tradisional seperti jalanan, pasar, pertokoan, dan restoran lokal masih jarang dieksplorasi. Hidangan lokal secara bertahap mulai dibatasi ruang yang lebih privat. Studi tentang warisan makanan dan desain spasial menjadi topik yang terus diperbincangkan terutama ketika warisan makanan jauh lebih kompleks daripada resep yang Anda temukan di restoran. Warisan makanan memberikan pengetahuan paling awal tentang lokalitas, interkonektivitas, dan keberlanjutan. Perlahan, kafekafe di Kota Pangkalpinang mulai menyajikan menumenu lokal. Perkembangan pesat kafe sebagai tempat kongkow atau nugas menjadi sangat penting dalam menyajikan menu-menu lokal sebagai upaya menjaga

lokalitas, interkonektivitas, dan keberlanjutan warisan makanan. Menu seperti pempek, bakwan kampung, dan tekwan mulai rajin

ditemui sebagai salah satu hidangan di beberapa kafe atau warung kopi. Bahkan, acapkali menu-menu tersebut menjadi menu andalan yang laris. Ini menjadi peluang mengonektivitaskan kuliner lokal terhadap kebiasaan urban masyarakat perkotaan sehingga menu-menu lokal tersebut tidak punah perlahan-lahan.

Biodata Penulis

Habib Safillah Akbariski lahir di Bandung, menyelesaikan studi sekolah menengah pertama di Kota Pangkalpinang, melanjutkan SMA di Desa Pemali, pindah untuk S-1 ke Kota Solo, baru merampungkan studi S-2 di Kota Malang. Suka makan dan jalan-jalan. Penikmat tekwan dan bakwan di Kopi Es. Sedang sering memesan es teh apalagi es teh Solo.

2024 Februari lalu, pemilu usai. Negeri ini sekarang punya pemimpin baru. Mari kita buka paragraf tulisan ini sekaligus mengiringi sumpah pelantikan dan meriahnya pesta potong kue oligarki dengan penggalan bait rap dari Morgue Vanguard berjudul “Tentakel” yang rilis tepat tahun ini

//Adalah bagaimana kontol menyebut nama tuhannya//.

“Tentakel” sendiri dirakit oleh Morgue Vanguard atau yang akrab disapa

Ucok dan Mardial menjadi semacam jenis peledak yang diletuskan tepat tahun ini.

Dalam kolaborasi mereka isu genosida dan politik menjadi mesiu utama dalam penggarapan single “Tentakel”.

Kita lewati satu dekade rezim sebelumnya dengan megap-megap dan terkatungkatung. Kita menyaksikan perampasan ruang hidup dan penyingkiran masyarakat, proyek strategis nasional, Undang-undang Cipta Kerja,

hilirisasi nikel, food estate yang merugikan, kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi dalam berbagai demonstrasi sipil, politik impunitas, dwifungsi ABRI, dan kejahatan kemanusiaan. Nampak sekali bahwa negara ini tidak pernah kehabisan akal dan cara dalam membuat kita patah hati. Peradaban berjalan mundur, sementara rezim berganti. Apakah sejarah kelam terulang?

Beberapa waktu yang lalu via pesan Instagram, seorang kawan mengirimi saya sebuah postingan dari akun @ bbcindonesia menyangkut aksi pembakaran buku karya seorang jurnalis perempuan serta beberapa komentar yang mengandung ujaran kebencian terhadap jurnalis tersebut. Pesan itu diiringi dengan komentar sentilan “Rezim kekerasan sudah dimulai”. Seorang menteri Pertahanan dan mantan jenderal militer, tokoh otoriter dari masa diktatorial negeri ini, berhasil menggenggam pisau di tangannya dan pada

pisau itulah bergantung ke mana kue-kue oligarki akan dipotong dan dibagikan.

Si pemegang pisau yang diberhentikan secara tidak hormat pada tahun 1998 karena keterlibatannya dalam penculikan para penentang politik dari mantan diktator Soeharto, berhasil meraup 58% suara. Bersama pasangan wakil, yaitu putra sulung pemegang pisau sebelumnya yang kepada sosoknya, mengingatkan saya pada sabda seorang guru spiritual yang menyatakan bahwa ada tindakan yang lebih kejam daripada membakar buku, yaitu dengan tidak membacanya. Kemenangan mereka menimbulkan kecurigaan luas adanya manipulasi terkait praktik politik kotor, terutama setelah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang menurunkan batas usia pencalonan. Lewat sudah satu dekade reformasi dan kita masih saja dijejali agar menelan mentah-mentah menu kerakusan, kekuasaan,

manipulasi, serta korupsi. Dalam bukunya “The Writer’s Voice”, A. Alvarez menyatakan di tengah lautan yang dipenuhi gelombang korupsi dan kebohongan, mereka yang bergulat dengan kreativitas agar terus menghidupkan sikap pembangkangannya.

Mari kita beralih ke skena hardcore punk yang menjadi budaya pinggiran dan tandingan di kota Pangkalpinang. Kota Pangkalpinang sendiri semakin urban. Kota kecil yang merupakan ibukota dari Bangka Belitung ini menjadi semacam pecahan dari desa-desa kecil di wilayah kepulauan ini maupun desa-desa dari kepulauan besar lainnya. Orang-orang datang, mencari pekerjaan di pabrik-pabrik dan tambangtambang timah. Budaya urban menjelma semacam kampung besar yang terdiri dari banyak pecahan kampung lainnya. Di tengah dunia urban yang sigap demi menyita kesadaran agar menjadi milik orang

lain, menjadi milik pengawas, milik pabrik, milik tempat kerja. Ada segerombolan anak muda yang dianggap tidak patuh namun penuh karya dan menemukan oasis berupa identifikasi lewat musikmusik berisik yang mereka teriakkan dan mainkan demi mengumpat dan mendamprat kemapanan. Mereka yang terus memaksa kaki untuk melangkah melawan arus konservatisme. Lewat label musik yang mereka dirikan secara mandiri, mereka merangkul kawan-kawan

lainnya yang hendak berteriak sebab mereka tahu bahwa indra pendengaran orangorang yang rakus tidak berfungsi lagi dengan baik sebagaimana mestinya. “baiknya diteriaki saja, mau dengar atau tidak yang penting congeknya keluar” tukas Dedes selaku salah satu penggerak dari label tersebut.

September 2024 di Pangkalpinang, udara jelas panas nan ganas. Matahari tampak seperti kilat putih yang menyala di atas atapatap rumah. Bayangan pohon

kelapa genjah bertelautelau. Di luar sana, aspal mengkilap tampak gersang dan menjemukkan. Kali ini saya berkesempatan mewawancarai Imam Fahlevi selaku pendiri dari sebuah label rekaman mandiri “Shauto Record”.

Wawancara berlangsung di kediamannya, tepatnya di kota Pangkalpinang –persis di halaman samping rumahnya yang juga menjadi titik kumpul kawan-kawan yang menamai diri mereka dengan sebutan ‘Speed Punk’. Sekelompok anak muda yang gandrung menjajal kota dengan sepeda yang mereka rakit sendiri. Sepeda yang sudah dirakit mejeng dengan bandel di tengah seabrek bagian-bagian sepeda yang belum dirakit. “Asyik. Gak nyumbang polusi dan nyumbang buat polisi. Mau sepedaan sambil angkatangkat roda depan sekalipun di depan mereka ga bakal ditilang”, kata Imam Fahlevi menanggapi kegandrungan kawan-kawan dari Speed Punk dalam bersepeda.

Imam sendiri tengah

mengenakan kaus Disease, band hardcore pertama yang

dirilis oleh Shauto Record, sekilas menegaskan gaya

bergajul kasual sebagai

tongkrongan kesehariannya.

“Shauto bermula dari

kegandrungan mengoleksi

rilisan fisik dari bandband yang saya senangi.

Kemudian beberapa kawan

ternyata tertarik dengan beberapa koleksi tersebut dan Shauto menjelma

menjadi semacam media saya untuk ‘make rilisan

fisik great again’. Setelah bergabungnya Aji dan Dedes, Shauto berkembang menjadi

sebuah label rekaman mandiri guna menjelma

selongsong bagi kawan-kawan di ‘Pvnkalpinang’ untuk melesatkan proyektil dari amunisi-amunisi yang sudah mereka siapkan ”

Tepat di belakang kami ada kaca legam dari sebuah

jendela yang merupakan bagian dari sebuah bangunan bekas gudang yang mereka sulap menjadi garasi @shautorecords,

@speedpunk_, dan @ madeIncrime. @madeincrime sendiri adalah sebuah ikhtiar demi memperpanjang kemandirian anak-anak yang terlibat dalam skena ini. Mereka mengolah bahan kayu daur ulang yang berhasil mereka dapatkan dari perabot kayu yang sudah berumur puluhan sampai ratusan tahun dan dari papan-papan skate yang mereka dapatkan dari skateboarder lokal menjadi pin kayu enamel dan pelbagai merch lainnya. Di atas lapis legam kaca tersebut tertempel di antaranya potongan-potongan stiker dari beberapa band dan label dari dalam negeri maupun dari berbagai sudut dunia yang mereka gandrungi. “Kalau beli merch atau rilisan fisik kan biasanya dapat bonus stiker. Biar jendelanya sekalian jadi mading pemantik semangat.

Harapannya kalau liat logologo dan karya visual bandband itu kan anak-anak jadi semangat untuk menggarap ide-ide yang nempel di kepala mereka “

Disease, Commune, Creed

adalah sederet nama yang

sudah dirilis oleh Shauto

Record. Kebengalan mereka dalam memilih bahasa, simbol, dan nilai-nilai

dasar seperti perlawanan, kemandirian, dan ekspresi bebas, bisa kita temui

secara gamblang dari proses para bergajul ini menamai

kelompok musik dan tracktrack mereka. Lihat saja

Commune dengan Commune

Rage-nya, Do You Hate

Cops?, Toxic Institutions, ZIONIS SHIT!, Violent State, dan beberapa track lainnya yang tergabung dalam album bertajuk “Negative

Consequences” yang rilis

secara fisik dan digital pada 28 Juni 2024 silam.

Pemilihan kata dalam menamai kelompok musik, track, dsb cukup untuk memantik saya secara sadar dalam melakukan penelusuran lebih lanjut terhadap literatur-literatur terkait peristiwa-peristiwa atau cabang-cabang pemikiran progresif terkait kepingan-kepingan dunia

yang diimpikan—di mana kapitalisme hangus dan habis terbakar oleh obor-obor yang digembalakan para pemberontak dan hirarki ditimbun hidup-hidup jauh di bawah tanah menuju neraka paling dekat.

Nama band yang terdiri dari satu suku kata dan lirik-lirik yang hemat kata ternyata dapat lebih bijak jika dibandingkan undangundang dan bahasa hukum di negeri ini yang sengaja dibuat cerewet dan bertele-tele demi membatasi dan merampas hak-hak banyak orang serta melindungi kepentingan segelintir orang-orang maruk. John E. Joseph dalam bukunya Language and Politics (2006) menyatakan bahwa bahasa mengandung dimensi politis, mulai dari elemen terkecil hingga struktur paling lapang dan kompleksnya sekalipun. Ia menjelaskan bagaimana bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga mekanisme kekuasaan yang digunakan dalam membentuk, mempengaruhi, dan mempertahankan hubungan

sosial-politik. Dalam konteks ini, bahasa melalui pilihan

kata dalam menamai

kelompok musik dan tracktrack dapat kita lihat sebagai

cerminan kawan-kawan

dari “Pvnkalpinang” sebagai proses terhadap merespons realitas, sadar atau tidak, aktif atau pasif, optimistis atau pesimistis selalu dapat kita temukan dalam fragmenfragmen karya mereka.

“Penting untuk dicamkan bahwa mempelajari suatu

Bahasa bukan sematamata mempelajari sarana komunikasi linguistik. Melainkan juga mempelajari

cara berpikir dan cara merasa dari suatu kelompok manusia yang bicara dan menulis dengan bahasa yang berbeda dengan kita”

(Benedict Anderson, Hidup

Di Luar Tempurung, h.193).

Begitu pula dengan menyimak

Bahasa kesenian sebuah kelompok kesenian di dalam pandangan dunia urban yang kompleks dan berlapis-lapis mestinya membutuhkan pembacaan-pembacaan yang tidak biasa, sedikit bandel,

dan tembus pandang, agar tidak terjebak sikap sinis

dan menjadi hambatan atas kemungkinan lain dalam melihat mereka sebagai

salah satu fenomena sebuah kelompok yang tengah dan akan terus subur dalam proses kemandiriannya.

Oleh karena itu, sudah mestinya untuk ikut memantik semangat kawan-kawan dari subaltern lain dan menjadi bagian dari peta kebudayaan urban yang sungguh macam corak dan rupanya.

Apa siasat dari Shauto dalam mempersenjatai kawankawan demi memiliki daya tahan di tengah lautan industri?

Sebelumnya, saya mau cerita sedikit tentang aktivitas kami berkunjung ke Majelis Ilmu setiap senin sore. Kalau kata guru ngaji di majelis, istilah nya kami mesti konsisten menjalani syariat di dalam label dan selalu mensyiarkan meskipun kami masih dan tetaplah hanya sekelompok bergajul hahaha.

Sejauh mana makna kata “kebebasan” menurut kawankawan?

Kebebasan adalah rahmat yang diberikan tuhan yang

tidak boleh tidak mesti ada demi mewujudkan kreativitas. Cuman ya sebagian dari kita

cukup maruk dan senantiasa gemar membatasi hak-hak banyak orang demi dirinya sendiri.

Bagaimana kalian memandang musik baik dari bentuk rilisan fisik dan proses kreatif yang berjalan?

Proses kreatif kurang lebih saya umpamakan seperti

percintaan manusia pertama antara Adam dan Hawa yang kemudian diberkahi

keturunan dan berikutnya mesti dididik dengan perhatian, kasih yang tepat, dan upaya terbaik. Begitu juga dengan rilisan fisik, mesti ada perhatian yang tepat untuknya.

Dalam konteks ‘kemandirian’ apa yang menurut kalian agak ‘mandul’ di Pangkalpinang jika dibandingkan pulau-

pulau besar lainnya dan musti disiasati demi suburnya hal tersebut? Salah satunya adalah halaqoh (pergaulan). Di mana hal tersebut begitu memengaruhi semangat dan pola dalam berpikir tiap orang terhadap suatu hal. Yang kami pikir agak mandul di sini adalah minimnya semangat dalam membangun koneksi dan hubungan emosional sesama musisi dan pelaku industri yang ada di luar sana. Hal itu sendiri barangkali terjadi sebab tidak adanya kemauan dalam mengolah dengan tepat instrumen-instrumen lokalitas dan kemudian meniupkannya ke dalam nafas kemandirian demi berpeluh dengan proses-proses kreatif. Pvnkalpinang sendiri harusnya punya tempat untuk terdengar dengan nyaring dan lantang di luar sana, meskipun tergolong dalam skena yang kecil sekalipun. Siasatnya adalah dengan menyisipkan berbagai pertanyaan di dalam kepala kita, salah satunya:

mengapa role model kita

bisa mencapai kesuksesan

dalam proses kreatif dan

kemandirian yang sebetulnya

juga sama kita inginkan?

Kemudian menanamkan

semangat yang mesti sama

seperti semangat dan upaya

kita dalam mencontoh

akhlakul karimah junjungan

kita Nabi Muhammad S.A.W yang sudah dijamin surga-Nya Allah.

Disease - intro

Kalau kata masyarakat Bangka musik e “ngulon-ngulon” hahaha. Seperti ketika kita hendak memutuskan untuk

memulai suatu pekerjaan

atau aktivitas dan harus kena intro dulu biar semangat.

Begitulah Hardcore hahaha. (https://open.spotify. ist/7H5z54BNtthsej6qoaOIQj)

Kembali Sakral - Suku Siluman

Nama yang menakutkan. Musik yang menurut kami cukup memberi ilmu dan pengingat kita tentang keberadaan makhluk lain

#KosakMusik (Rekomendasi

musik untuk pembaca

dari Imam Fahlevi selaku

narasumber untuk Shauto Records)

Mi’raj

Mi’raj, dari nama dan berikut aransemen musiknya, menurut saya begitu menegaskan perjalanan spiritual tiap personilnya. (https://mirajtheband. bandcamp.com/album/miraj)

selain kita. Karena atas izin Allah, Jin dan Setan membuat tipu daya dan fitnahnya. Sebab sematamata hanya Allah-lah yang berkuasa di seluruh penjuru alam semesta. (https://open.spotify.com/ rtist/280wCn9j9ALtqsZqSVlhtR)

Circle War - Demo 2024 Bangga sekali Pvnkalpinang punya band Crossover Thrash berdarah muda semua. Tracknya yahud, tapi hanya ada

satu track yang tersedia di platform digital bandcamp. Kalau kepincut dan kemudian pengen mendengar semua track berarti harus beli kasetnya dulu atau beli format digital di bandcamp hahaha. (https://threatofdestruction. bandcamp.com/album/demo)

Commune - Do You Hate Cops?

Track-nya unik. Hanya berisi bunyi “ngiiiiiiiiiikk” yang sekejap lesap. Judul tracknya menjelma pertanyaan retoris untuk kita semua. (https://communehatecops. bandcamp.com/)

Pandu S. Bimantara, Tergabung dalam grup musik Kembali Sakral & Sikumeja. Belajar menulis di komunitas sastra KebunKata. Bisa dihubungi via IG: @aku.mayat

Foto by: Zaidan Hibatullah
Foto by: Zaidan Hibatullah

Foto by:
Foto by: Dwi Wijayanto

Biodata

Imarafsah Mutianingtyas, bukunya yang telah terbit, yaitu buku cerita berjudul

“Rumah Baru dan HalHal Baru Lainnya” pada

September 2023 (Penerbit

Jejak Pustaka). Ia sedang mengerjakan buku cerita kedua. Bisa dihubungi via Instagram: @ ccokelaaaaat & email: imarafsahmutian@ gmail.com

Kamal Mustofa, laki-laki reguler kelahiran 05 mei

1998 yang bertempat tinggal di kabupaten sleman, menggunakan gambar sebagai media bersenangsenang. saat ini sedang menempuh pendidika di yogyakarta, berkerja sebagai karyawan swasta dan penggiat konservasi alam. Bisa dihubungi via instagram : @aidunoo & email : kamalmandi2x@gmail.com

Dwi Wijayanto atau yang akrab disapa Wijaya sehari hari bekerja sebagai karyawan di resto fast food. Saya mulai belajar fotografi khususnya street dari tahun 2021 sebagai respon atas situasi pandemi yang melanda kala itu. Saya memilih genre street dalam fotografi karena satu satunya sub-dokumenter yang meskipun tetap memiliki kaidah kaidahnya, tetapi di satu sisi juga memiliki sisi kebebasan dalam eksplorasinya dan hal itu sejalan dengan minat visual saya.

Zaidan Hibatullah, lahir pada 13 Agustus 2000, dan tinggal di Seyegan, Margokaton, Seyegan, Yogyakarta, Indonesia. Saat ini saya adalah mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan dan telah menggeluti street photography selama hampir 4 tahun sebagai medium ekspresi seni dan terapi pribadi.

Fahrul Rozi sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Mengisi waktu kosong dengan belajar desain grafis dan tipografi. Bisa dihubungi melalui Instagram: @Ojiy__ atau melalui email: fahrulroziwork@gmail.com

Catatan

Versi cetak Meletup Zine Vol. 2 bisa kawan-kawan cetak secara mandiri, unduh file sampul+layout di link berikut: https://drive.google.com/dri ve/folders/19X41qmfjw4BQr EGCEHK4u-s17JZjkU1m?usp=

sharing

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Dari Mencicipi Makanan, Musik, Komik, Hingga Menjadi Warga Negara yang Baik - Meletup Zine vol. 2 by meletupzine - Issuu