

Indonesia Darurat!!!

Meletup Zine vol. 01
Dalam Gelap, Aku Meledak
Ukuran: 12 x 17 cm
Cetakan: September, 2024
Penulis: Prabowo, Windy, Pandu
Fotografer: Zaidan
Komik mini: Sefira Nurzain
Koordinator Produksi:
Jemi Batin Tikal
Ilustrasi cover & isi:
Imarafsah Mutianingtyas
Editor: Windy Shelia Azhar
Layouter & Perancang
Sampul: Fahrul Rozi
Terbitan: ketiketik.com
Boleh dicetak & disebarluaskan tanpa tujuan komersial
Link file ada di akhir halaman

Basa-Basi Redaksi 8
Kisah Seniman Joko
yang ‘Apatis Kritis’ 10
Cacat Berpikir Sesat di Jalan 15
Kembali Sakral: Lagu dan Hantu-Hantu 19
Biodata 25




Basa-Basi Redaksi
Zine ini terpantik dari percik kondisi “Indonesia
Darurat”. Para pencetus ide zine ini ialah para pekerja (buruh) yang tak bisa ikut selalu turun ke jalan berdemonstrasi. Oleh karena hal tersebut, Jemi, Windy, Ima, Oji terpikir untuk memilih jalan lain berdemonstrasi. Keempat orang itu merupakan bagian dari tim redaksi media online kecilkecilan ketiketik.com. Kesemuanya sepakat untuk membuat zine, yang kemudian dinamai Meletup
Zine dengan tagline Dalam Gelap Aku Meledak. Ilustrasi sampul garapan Imarafsah pada volume 1 ini merupakan sekaligus logo zine.
Meletup Zine dicita-citakan untuk terbit tiap tiga bulan sekali, berarti dalam setahun terdiri dari empat edisi. Zine ini dimaksudkan untuk merespons isu-isu politik, sosial, budaya, & fafifuweswos semacamnya.
Ikuti akun Instagram @ketiketik.media & @meletupzine untuk mengikuti perkembangan kami. Bantu sebarkan gagasan kecil kami, gratis seperti udara. Kasih paham, meledak!

Kisah Seniman Joko
yang ‘Apatis Kritis’
Di negeri Martabak, seorang kepala suku pada akhir masa jabatannya, bikin ulah dua kali agar anaknya bisa jadi kepala suku selanjutnya.
Padahal negeri ini menganut sistem demokrasi, artinya seseorang yang diinginkan oleh orang banyaklah yang harusnya jadi kepala suku. Pada ulah pertama, ia berhasil mengutak-atik peraturan, demi mengantar anak sulung jadi wakil kepala suku, mendampingi jenderal gendut-pengecut yang puluhan tahun lalu menembaki pelajar dan menculik seniman.
Karena berhasil, ia ingin mencoba hal yang sama pada putra kedua. Putra kedua, rencananya akan dipersiapkan jadi kepala suku
di wilayah ibukota. Namun terdapat masalah, menurut undang-undang, seorang calon pemimpin mestinya berusia sekurang-kurangnya 30 tahun. Untuk menyiasati hal tersebut, kepala suku mencoba mengintervensi lembaga terkait lewat kuasa dan kekuasaannya. Mendapati hal yang sudah keterlaluan tersebut, warga gerah dan menyerukan, “Martabak Darurat”.
Kondisi yang riuh demikian menghasilkan demonstrasi di mana-mana, dari berbagai kalangan. Di satu obrolan warung kopi, Joko mengutarakan pendapat tentang demonstrasi terkini.
Ia mengawali dengan melempar pertanyaan, berlagak kritis nan pintar,
“Apakah demo di kampung kita bisa menambah uang di rumah? bisa menambah butiran beras di rumah?”
Pertanyaan itu tidak apple to apple. Penyandingan yang dipaksakan antara aktivitas aktivisme yang cenderung idealis dengan aktivitas yang pragmatis. Tolol! kok kebangetan gitu sih?
Mulyono yang merupakan kawan baiknya, diam sembari mengunyah pisang goreng.
“Aku memilih apatis-kritis. Mending aku berkarya. Berkarya atau lapar!” Joko menutup omong kosongnya dengan pekik heroik. Beh ajib sekali!
Mulyono, yang sedari tadi menyimak lantas menyeruput kopinya. Ingatannya mengawang ke waktu silam. Mulyono dan Joko, adalah dua kawan satu kampung, yang dulu merantau bersama ke pulau jauh. Mereka kuliah di kampus ternama, Mulyono di jurusan kehutanan, sementara Joko di jurusan seni rupa.
Dalam diamnya, Mulyono berkesimpulan bahwa pendapat yang diutarakan si Joko cacat logika. Diksi ‘apatis’ bermakna tidak peduli. Menyandingkan diksi ‘apatis’ dengan diksi ‘kritis’, ibarat menikahkan Brad Pitt dengan batang pisang. Jaka sembung bawa golok, bosss. Penyandingan yang tolol itu menghasilkan frasa lucu. Kalau apatis, ya apatis aja, bosss. Gak apa-apa kok gak terlihat keren dan sok pinter. Mulyono jadi terkenang, ketika kuliah si Joko senang membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Duluuu, Joko sering heroik melantangkan quote, “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Ahh rasa-rasanya Joko sudah lupa intisari novel tebal Pram. Ia juga barangkali sudah lupa semboyan yang dulu sering diucapkannya.
Menurut Mulyono, Joko baiknya membaca ulang lagi karya Pram dan tak hanya sebatas hapalan di ujung lidah.
Namun, Mulyono sesungguhnya bisa memahami, alasan si Joko sekarang jadi begini. Selepas lulus, Joko pulang ke kampung halamannya. Di kampung halamannya, ia jadi (konon) seniman, punya studio seni pribadi. Ia juga punya studio melukis kulit. Karena hal demikian, kawan-kawan Joko pun bukan orang sembarangan. Kawankawan Joko adalah orang berada yang mengendarai motor gede. Singkatnya, lingkungan pergaulan Joko adalah pergaulan cukup elite. Barangkali hal demikian menjadikan Joko, “tidak lagi memijak daratan”, ia tak lagi memahami kesusahan & penderitaan rakyat bawah, ia tak lagi memahami persoalan akar rumput, karena ia sudah berada di atas pohon.
Joko lupa, bahwa ia adalah seorang sarjana seni dari kampus ternama. Joko lupa, bahwa kebanyakan penduduk negeri Martabak tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Joko lupa, bahwa
biaya pendidikan sangat mahal dan kebanyakan penduduk tidak mampu menjangkau hal itu. Garagara mengingat masa lalu
Joko, Mulyono terkenang
kata-kata bijak dari novela
Pesta di Sarang Kelinci karya pengarang Meksiko, Juan Pablo Villalobos, yang berbunyi, “bahwa orangorang berpendidikan tahu banyak hal soal buku, tapi tidak tahu sama sekali soal kehidupan.”
Untuk menelisik kelakuan si Joko, tim jurnalis zine kami pun berangkat ke kampung Mulyono untuk menanyai beragam hal. Namun, ternyata jurnalis kami tidak tertarik menuliskan Joko. Ia akhirnya melakukan tanya-jawab mengenai kondisi terkini negeri
Martabak. Jurnalis kami yang bertugas bernama
Prabowo Widodo. Tim zine punya panggilan akrab untuknya, yaitu Prabowi.
Prabowi: “Pak Mul, bagaimana kondisi terkini si Joko, kawan anda?”
Pak Mul: “Cukup parah, pak. Biasanya jam segini dia mondar mandir berlagak seniman.”
Prabowi: “Pak Mul dulunya kan aktivis, gimana pandangan bapak soal demonstrasi, apakah masih relevan?”
Pak Mul: “Dalam sejarah negeri Martabak, ada dua demonstrasi besar, pertama menggulingkan kepala suku pertama. Rakyat menamai aksi ini sebagai revolusi. Kemudian terjadi lagi demonstrasi besar untuk menggulingkan kepala suku kedua yang otoriter nan korup. Rakyat menamai ini sebagai reformasi. Dua kali demonstrasi itu berhasil. Meski harus dibayar dengan kekerasan dan pelanggaran HAM berat.”
“Apakah masih relevan? Sangat relevan karena pada era digital ini demonstrasi langsung, dalam artian turun ke jalan masih perlu dilakukan. Kita semua harus berterima kasih dengan kemajuan teknologi, sehingga
informasi bisa menyebar luas dan cepat. Isu bisa dibangun dari internet, media sosial, dan semacamnya. Namun, isu di media sosial hanya ibarat penyeru, kita perlu turun ke jalan, untuk mewujudkan seruan tersebut jadi gerakan nyata serta menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki nyali, bukan seperti oknumoknum pengecut yang berlindung di balik akun anonim bernama buzzer.”
Prabowi: “Itu dari sisi aktivisme. Apakah pemerintah sebenarnya diuntungkan dari demonstrasi?”
Pak Mul: “Sebenarnya demonstrasi juga dijadikan “cek ombak” oleh pemerintah agar lebih berhati-hati dalam merumuskan hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bayangkan, jika ulah kedua kepala suku untuk mencalonkan anak keduanya jadi pemimpin di ibukota, hanya berupa seruan di media sosial saja. Maka tentu, pihak yang berkuasa lebih berani dan sewenang-wenang
menggunakan kekuasaannya.
Dalam pikiran pemerintah pasti begini, “halah, cuma protes di media sosial aja.
Rakyat sudah kehilangan nyali turun ke jalan.”
“Demonstrasi juga jadi
‘penggertak kekuasaan’, buktinya dengan banyaknya aksi protes di penjuru negeri, membuat DPR negeri Martabak urung seenak jidat mengutakatik peraturan maupun undang-undang. Karena apa? Karena pemerintah sudah melihat gelombang ‘cek ombak’ tadi dari deretan demonstrasi. Jika mereka mengesahkan undang-undang sembarangan, rakyat bisa jadi
makin marah dan keadaan makin tak terkendali. Tentu ada ketakutan dari sisi pemerintah bahwa reformasi jilid dua, bisa meledak sewaktu-waktu.
Prabowi: “Baik, terima kasih, pak Mul, atas waktunya.”
Pak Mul: “Nah, baru aja diomongin tadi. Itu si Joko barusan lewat. Lihat lagaknya kayak seniman yang kritis. Padahal dia cuma peduli perutnya aja. Heuheuheu.”
Reporter: Prabowo Widodo
Kameramen: Gibran Pangarep
Transportasi: Erina Ananda
Cacat Berpikir Sesat di Jalan

Demokrasi bagaikan buah terlarang yang dijaga begitu ketat di taman tirani.
Sementara, putra-putri bangsa ini bagaikan Adam dan Hawa yang tersihir mantra Lilith yang menjelma ide-ide abstraksi tentang kebebasan membisik begitu meyakinkan. Ketika pada akhirnya Adam dan Hawa mampu memetik dan memakan buah demokrasi, apakah mereka serta-merta hidup bebas dalam keabadian? Sebaliknya, Tuhan menghukum mereka dengan samsara berupa perjuangan tiada akhir di bumi pertiwi.
Sedetik ketika hak kebebasan berbicara didapatkan, hal pertama yang menjadi kewajiban bangsa ini adalah memastikan segenap tumpah darahnya mampu dalam berpikir secara ilmiah. Sebab, sebermulanya kemampuan bicara adalah kemampuan berpikir yang sistematis dan kritis. Situasi dalam sistem demokrasi jelas berbeda dengan monarki tiran yang hanya perlu mencerdaskan satu keluarga kerajaan sebagai pemegang tampuk kekuasaan nan sakral tersebut. Tampuk kekuasaan yang telah bergulir ke tangan rakyat, memerlukan kualitas rakyat yang cukup bernas pula.
Lalu, bagaimana kewajiban ini dapat benar-benar
dipenuhi jika pada April
lalu pemerintah hampir
mengesahkan kebijakan
kenaikan uang kuliah tunggal
bagi mahasiswa? Bagaimana
guru-guru yang seyogyanya
dihormati sebagai pahlawan
yang mendidik generasi muda justru dibebankan dengan seperangkat tetek-bengek administrasi yang tidak ada hubungannya dengan proses belajar mengajar?
Subsidi pendidikan bersifat ala kadarnya dan pendidikan masih menjadi barang mahal.
Kegagalan memberikan hak pendidikan ini berimplikasi kepada kualitas generasi
muda yang katanya akan
mengurusi negara ini suatu saat nanti. Penelitian PISA 2022 menunjukkan rerata kualitas berpikir generasi muda usia sekolah terbatas
pada memahami makna harfiah saja dan sulit dalam memahami informasi
eksplisit dan membutuhkan kemampuan logika berpikir yang lebih tinggi. Tak
heran, jika penulis jumpai beberapa pemilih pemula yang memilih paslon nomor tertentu dengan alasan viralnya joget ‘gemoy’ salah satu calon presiden tersebut atau beberapa pemuda yang memilih sikap abstain dengan alasan politik tidak memengaruhi hajat hidupnya.
Penulis memiliki asumsi yang demikian skeptis, bahwa bisa jadi fenomena kegagalan berpikir ilmiah itu sengaja dirancang dan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya terbatas sebagai frasa estetis nan semu di undang-undang. Pembuat kebijakan tak pernah benar-benar serius ingin memberi kenikmatan buah pengetahuan kepada rakyatnya. Oleh karena itu, akademisi dan negarawan sejati tak pernah memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin negeri. Mereka dipasung di dalam buku-buku perpustakaan yang semakin berdebu.
Situasi di negeri—yang katanya menjunjung— demokrasi ini sangat aneh.
Suara yang terdengar justru gaungan bising mereka yang cacat dalam berpikir dan suara mereka yang sehat dalam berpikir justru dibisukan. Rocky Gerung dalam suatu tayangan televisi swasta diteriaki sebagai ‘bangsat’, ‘pembohong’, ‘pemfitnah’, serta dipertanyakan kegunaan kemampuannya sebagai akademisi bagi rakyat oleh simpatisan petahana yang cacat dalam berpikir sekaligus gagal dalam mengelolah emosi. Kecacatan berpikir tersebut dinilai dari sikap simpatisan yang menolak usaha Rocky Gerung menjelaskan ‘parsimoni’ sebagai konsep berpikir paling sederhana lalu menyerang status pernikahan Rocky Gerung yang tak ada hubungannya dengan topik pembicaraan. Bayangkan orang-orang yang cacat berpikir seperti ini tersebar di penjuru negeri, memegang kekuasaan, dan memiliki peran dalam menentukan arah keberlangsungan negara. Jalan apa yang akan mereka
ambil dengan rakyat yang mengekori di belakang?
Dalam pendekatan holistik, berpikir kritis bukan perkara beradu siapa yang paling pintar atau paling benar. Kesehatan dalam berpikir membentuk kemampuan individu dalam memahami sesuatu yang kemudian diintegrasikan dengan kemampuan lisan serta pengambilan tindakan yang terbaik. Karina Supelli dalam kuliah umumnya, menjabarkan bahwa proses berpikir melibatkan akal budi, ingatan, pertimbangan moral, dan berbagai pertimbangan lintas masa. Seberapa dalam proses berpikir ‘yang berkuasa’ saat mereka sekonyong-konyongnya membuat kebijakan iuran Tapera, mengadili Toni Tamsil –terdakwah korupsi timah
300T—dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda lima ribu rupiah, atau mengangkangi kehormatan MK di depan mata umum?
Bangsa ini sedang terseokseok dalam gelombang
post-modernitas, kelabakan dan begitu tak siap menghidangkan demokrasi ke meja makan negeri madani. Hidangan lezat tersebut tak pernah sampai ke perut rakyat jelata dan hanya sampai ke perut gendut rakyat elite kelas atas yang malas berpikir. Bangsa ini begitu membutuhkan rakyat yang sehat pikirannya agar mampu menentukan arah dan jalan yang benar sebab bangsa ini umurnya masih demikian panjang. Jika hak-hak pendidikan dikerdilkan dan hak-hak menunjang lainnya dicekik, maka satu tindakan yang perlu diambil rakyat yang sehat akal pikirannya: “Lawan!”
Penulis: Windy Shelia Azhar merupakan penulis lepas berdarah Melayu Bangka yang saat ini menjalankan hobi menghayati kehidupan sebagai seorang eksistensialis di Bali pinggiran. Tulisannya berupa esai dan cerita pendek telah diterbitkan di berbagai medium, seperti cerpen Yai (Harian Kompas) dan fiksi kilat In Tala’s Womb (Porch LitMag). Sedang belajar menulis dan mengedit tulisan di ketiketik.com. Jalin korespondensi dengannya melalui pos-el: tuliswindy@gmail.com.
Kembali Sakral: Lagu dan Hantu-Hantu
“Setan Tidaklah Nyata, Setan Meledak Di Angkasa”
- Enka Komariah
Salah satu kegemaran saya yang cukup unik adalah saya sangat senang mendengarkan siapapun yang saya temui mendongeng atau sekadar menceritakan pengalaman masa kecil mereka. Dari kisah-kisah tersebut, apapun bentuknya, saya mampu merasakan perannya dalam mengubah cakrawala dunia pribadi saya yang mulamula sempit menjadi sebuah dunia yang luas, asyik, mengagumkan, mempesona, sekaligus menyihir. Dunia saya jadi sarat warna.
Mengutip tokoh Profesor dalam film Stalker karya Andrei Tarkovski yang diperankan oleh Aleksandr Kaydanovskiy, “Astaga! dunia ini benar-benar membosankan, dan karena itulah tidak ada telepati, juga hantu, atau piring terbang,...”
Kutipan tersebut menggambarkan perasaan Profesor tentang betapa membosankannya dunia yang dia alami dan pandangan
pribadinya tentang ketiadaan fenomena paranormal seperti telepati dan hantu.
Sementara itu, kegemaran saya terhadap cerita-cerita
semacam itu membuat saya gandrung mendengarkan unit Horror Punk asal ibukota yaitu, Kelelawar Malam.
Tema-tema horor dan intimidatif bernuansa ‘gelap’ yang berhubungan dengan manusia, alam, dan Tuhan pada track-track mereka
secara terang-terangan memantik saya untuk
menyadari bahwasanya tanah tempat saya dilahirkan sangat kaya akan stok cerita-cerita, dongeng, legenda, mitos, dan fabel (berikutnya saya sebut sastra lisan) yang tidak kalah menyihir & mencekamnya dengan cerita-cerita dari belahan dunia manapun.
Dengan begitu, Kembali Sakral lahir dengan semangat ikut menggarap kekayaan sastra lisan yang ada, khususnya di Bangka dan Belitung.
“Sastra lisan sendiri adalah sekelompok teks yang disebarkan secara turun
temurun secara lisan, yang secara intristik mengandung sarana-sarana kesusastraan & memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu” (Studi Sastra Lisan, Yoseph Yopi Taum)
Budaya & Lingkungan
Hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan tempat manusia tersebut tinggal tergambarkan dengan sarat warna dalam sastra lisan. Tak hanya menjadi corak masyarakat yang berbudaya, sastra lisan juga menjadi artikulasi sebuah komunitas masyarakat dalam mewariskan nilai-nilai dalam menjaga lingkungan. Lihat saja kedalaman cerita legenda Akek Antak berikut situssitus terkait, seperti: Batu Pare, Batu Sabak, dan Batu Gendang yang begitu dijaga kearifannya oleh masyarakat sekitar. Keterhubungan sebuah komunitas masyarakat dengan sastra lisan serta keberadaan situs-situs terkait telah mendorong masyarakat
untuk senantiasa menjaga wilayah geosite, laut, hutan, serta perairan mereka.
Namun sejak kegiatan yang eksploitatif mulai memasuki wilayah-wilayah tempat sastra lisan tersebut berkembang, terdapat transisi yang memungkinkan kesukaran masyarakat sekitar dalam melanjutkan hubungan mereka yang harmonis dengan alam dan merawat kebudayaan itu sendiri.
Kebijakan yang tersentralisasi seperti kerajaan atau negara hadir dan memberikan kerusakan lingkungan.
Kepentingan demi lingkungan hidup selalu dipaksa untuk angkat kaki.
Keputusan-keputusan yang tersentralisasi biasanya selalu berada di bawah pengaruh para penguasa industri atau pemilik modal. Pemerintah dan bos-bos tambang tidak seharusnya punya kuasa dalam menentukan kepentingan untuk merawat keberlangsungan tempat dimana mereka sendiri tidak terkena dampak langsung dari aktivitas pertambangan,
selain keuntungan yang menjadi tujuan utama mereka. Seharusnya masyarakat melalui majelis warga diberi hak penuh dalam menentukan dan mengambil keputusan, karena merekalah yang berpotensi tinggi terdampak langsung dengan kondisi lingkungan di tempat mereka tinggal.
Sastra lisan seperti urban legend, folklore, legenda, mitos, dan sebagainya telah membawa nyala api demi mendorong masyarakat untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan. Kembali Sakral Lewat musiknya ingin ikut membawa ‘api’ tersebut dan hendak melemparkan ‘obor’ ke tiap sudut-sudut kota, ke tiap gedung-gedung parlemen, dan ke tiap pintupintu pabrik demi membakar habis para bajingan yang serakah.
Mitos
Sejak kecil, masing-masing dari kita diperkenalkan dengan cerita-cerita, dongeng, legenda, mitos,
dan fabel. Ketika saya masih duduk di bangku pendidikan dasar, fabel seperti “Si Kancil”
Ikut hadir dalam soal-soal ujian pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Dari pelbagai pertanyaan bertopik fabel tersebut, saya ingat betul bahwa tidak pernah hadir pertanyaan semacam, “Berdasarkan fabel di atas, berikan pendapat kalian tentang seberapa nyata atau fiksi fabel tersebut?”
Hantu, setan, jin dalam kisah-kisah berada di area abu-abu. Sementara, Kembali Sakral berada di antara ilmu pengetahuan dan agama.
Manusia selalu dirundung rasa takut dengan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Mitos sendiri adalah upaya manusia dalam menjawab berbagai fenomena alam dan peristiwa yang tidak mereka mengerti. Baru pada abad ke-6, jawaban-jawaban tersebut digantikan dengan pendekatan yang sama sekali rasional. Logos menggantikan mythos, kemudian filsafat dan ilmu pun dilahirkan.
Mitologi sendiri adalah sebuah persiapan menyambut kelahiran filsafat. Dan filsafat menyebabkan kelahiran ilmuilmu positif seperti sains dan teknologi.
Sialnya dewasa ini, masyarakat modern dengan cerobohnya telah tumbuh menjadi kaumkaum positivistik. Mereka menggugat apa-apa yang mereka anggap takhayul, klenik, gaib, dan sebagainya. Seolah cerita-cerita tersebut tidak pantas untuk eksis dalam kehidupan. Padahal cerita-cerita yang pralogis, yang tidak sesuai dengan logika umum, mempunyai logika sendiri dan telah hadir jauh sejak zaman nabi sekalipun.
Mereka melabeli sekelompok masyarakat yang mensakralkan situs-situs atau cerita-cerita terkait legenda, cerita rakyat, dan mitos sebagai kelompok terbelakang dan syirik. Lalu dengan pongah, mereka membanggakan sembah sujud terhadap rasionalitas.
Puthut EA dalam Essai nya yang terbit di Mojok. co, 23 Maret 2022 dengan judul “Pawang Hujan
Dan Kecerobohan Kaum
Positivistik”, menerangkan bahwa beliau pernah melakukan penelitian di daerah Tulungagung dan
Magetan, dan menjelaskan pengalaman mengerikan tentang sebuah paham betulbetul terjadi di masyarakat. Dalam penelusurannya, Puthut EA menemukan ada banyak mata air yang mulai hilang sampai tahun
1980-an. Hal ini terjadi karena belik atau tuk (sumber mata air), yang dulu dianggap ‘sakral’ kehilangan kesakralannya karena ‘sikap ilmiah’ tadi.
“Ikan-ikan di sana mulanya tidak boleh diambil, lalu diambil dengan cara yang eksploitatif. Pohonpohon yang dulu dianggap ada ‘penunggunya’, karena terbukti tidak ada penunggunya maka akhirnya ditebangi. Apa yang kemudian terjadi? Banyak sumber mata air yang mati. Kehilangan
kesakralan suatu tempat, ternyata punya implikasi
terhadap kerusakan ekologis yang serius.”
Proses Kreatif
Setelah kurang dari setahun terbentuk pada 2023 silam, sebagai grup musik Kembali
Sakral merilis track pertama yang berjudul “Suku Siluman” melalui beberapa platform dengar pada awal tahun 2024.
“Sampai saat ini siapa pun yang mengaku bumiputra
Pulau Bangka pasti menyakini keberadaan bubung tujuh, yakni pemukiman gaib di bangka utara, yang penghuninya berwujud manusia seperti kita.” (Hantu & Revolusi, Linda Christianty)
//Kelabang Hitam//Di gelap malam//Melata suram//Di atas makam//
Dalam bait penutup pada track “Suku Siluman”, terdapat makna bahwasanya apa-apa yang tidak terlihat, bukan berarti tidak ada. Kembali
Sakral sedang mempersiapkan EP yang rencana nya akan berisi 4 track, yang tentunya
akan berupaya menggali dan memperkenalkan tokohtokoh, cerita, dan kisah-kisah klenik dari wilayah Kembali
Sakral berasal –Bangka Belitung.
Penulis: Pandu S. Bimantara, Tergabung dalam grup musik Kembali Sakral dan Sikumeja. Belajar menulis di komunitas sastra Kebun Kata. Bisa dihubungi via IG: @aku.mayat
Biodata
Imarafsah Mutianingtyas, bukunya yang telah terbit, yaitu buku cerita berjudul “Rumah Baru dan HalHal Baru Lainnya” pada September 2023 (Penerbit Jejak Pustaka). Ia sedang mengerjakan buku cerita kedua. Bisa dihubungi via Instagram: @ ccokelaaaaat & email: imarafsahmutian@ gmail.com
Zaidan Hibatullah, lahir pada 13 Agustus 2000, dan tinggal di Seyegan, Margokaton, Seyegan, Yogyakarta, Indonesia. Saat ini saya adalah mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan dan telah menggeluti street photography selama hampir 4 tahun sebagai medium ekspresi seni dan terapi pribadi.
Aseftier (Sefira Nurzain) ialah seorang ilustrator yang sejak 2014 sudah debut mempublikasikan komik ke skena komik lokal. Sejak lulus tahun 2020 memutuskan menjadi full freelancer dan bidang yang dikerjakan semakin luas dari lineartist komik, desain cover buku, album musik, hingga ilustrasi editorial. Twitter: @Aseftier | IG: @Aseftier
Website: www.aseftier.carrd. co | email: aseftier.contact@ gmail.com
Fahrul Rozi sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Mengisi waktu kosong dengan belajar desain grafis dan tipografi. Bisa dihubungi melalui Instagram: @Ojiy__ atau melalui email: fahrulroziwork@gmail.com

Spesifikasi
Sampul: Artpaper/Ivory/Carton/HVS Kertas Isi: Bookpaper/HVS
Jilidi: Steples
Perkiraan Biaya Cetak Tidak Warna: 8.500/eks
Perkiraan Biaya Cetak Warna: 10.000/eks
Catatan
Versi cetak Meletup Zine Vol. 1 bisa kawan-kawan cetak secara mandiri, unduh
file sampul+layout di link berikut atau link di deskripsi Issuu.com:
https://drive.google.com/drive/folders/1JkN013KcjdCkJJMOYhYXfvJUJrCQfPT9?usp=sharing
