CERPEN
Jarak
virus, silahkan saja. Tapi, virus ini menular. Jangan seenaknya bersikap di tempat umum,”
Langit berjelaga begitu indah seperti biasanya. Senja perlahan menghilang. Bergantikan mega malam dengan ribuan bintang. Sang dewi malam nampak muncul samar dari balik awan hitam. Di sebuah halte, nampak beberapa orang pemuda tengah menunggu bus datang.
“Lo juga jangan seenaknya mengkritik orang lain dong!” Bentak Asmita dengan nada bicara naik satu tempo. Membuat empat orang yang ada di halte terkejut bersamaan. Tak menduga sama sekali bahwa ada perempuan senekad dirinya.
“Permisi, sebelumnya mohon maaf,” salah seorang lelaki membuka suara. Membuat seluruh pandang mata tertuju padanya. Ia menghela nafas panjang. Menetralisir kegugupannya lantaran orang orang tersebut menatapnya terlalu intens.
“Loh, mbak. Mbak ini dikasih tahu. Mas nya juga sudah bilang permisi. Lantas, apa hak mbak dalam membantah ucapannya? Semua yang dia katakan benar kok,” salah seorang pemuda akhirnya ikut berbicara.
“A-ah, itu ... kita sedang pandemi karena virus Covid-19. Bukankah, baiknya saling menjaga jarak? Cuaca tidak sedang hujan, kan?” Ujarnya kemudian. Derana namanya. Lelaki lugu nan pemalu yang seringkali dikenal karena ketegasannya dalam menegur seseorang.
“Gue juga ada hak buat berbicara kali,” jawab Asmita masih saja ngotot. Derana berdehem pelan. Dalam hati, ia terkekeh karena menghadapi seseorang yang keras kepalanya melebihi batu giok.
“Lah, terus kenapa? Toh, kita semua pakai masker. Gue juga bawa hand sanitizier kok. Apa masalahnya sama gue?” Tukas Asmita. Derana lagi lagi menghela nafas sebelum melanjutkan berbicara.
“Lucu deh, siapa namamu?” Tanya Derana sambil tergelak. “Oalah, modus ternyata,” cibir Asmita seraya pergi menjauh. Derana tertawa lagi. Beberapa orang yang ada di sebelahnya pun ikut menertawakan sikap tak mau salah Asmita.
“Iya, saya mengerti. Apa salahnya kamu menjaga jarak dengan satu sama lain? Kalau saja kamu seorang yang bisa merasakan terdampak
28