Zine Spray Your Folklore 2023
Copyright @Kampung Budaya Piji Wetan
Diterbitkan oleh
KBPW Media
Piji Wetan, Lau, Kec. Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59353
+62 857-4247-3766
www.kbpw.or.id
Penulis | Tim Kurator Spray Your Folklore 2023
Rhy Husaini, Elang Ade Iswara, Hasyim Asnawi, Rizki Caesario, Dinda Galuh
Artist
Mbutzgambutz
Ichiko
Soxlam
Dose
Ribe
Ocim
Shopeng
Inonk Yapot
Danangsu
Pe3
Robz
Cheer Shall
Lupafont
Desain Sampul & Layout
Rhy Husaini, Baidlowie
Dokumentasi Foto
Azka Zemix
Omen
Dicetak di Kudus, Indonesia
Kampung
Budaya
Piji Wetan
Pengantar
Spray Your Folklore
Budaya
mural, sebenarnya sudah ada di zaman prasejarah, biasa yang disebut rock art atau gambar cadas yang sudah ada sejak empat puluhan ribu tahun yang lalu. Dalam kajian arkeologi, rock art merupakan data yang sangat penting untuk mengungkap peradaban manusia pada masa lampau. Perilaku mural yang kini kita jumpai, sebenarnya budaya yang sudah sangat purba. Bukan berarti perilaku para kreator atau
seniman muralnya mempraktikkan
budaya purba. Maksudnya, tradisi dan budaya mural sebenarnya sudah
berkembang sejak manusia bermukim di gua-gua prasejarah: sebuah ekspresi jiwa, ungkapan batiniah makhluk manusia sejak puluhan ribu tahun yang lalu.
Mural sebagai budaya
kontemporer atau budaya pop, saat ini tampaknya juga sudah menjadi tradisi.
Artinya semakin hari semakin hidup dan
menjadi kebiasaan yang terus berlanjut. Sebenarnya antara mural dan seni gambar cadas (rock art) adalah budaya yang sama pada zaman yang berbeda. Keduanya sama-sama mengekspresikan tentang kehidupan yang dialami. Jika di masa prasejarah, ada gambar cadas yang menggambarkan ritual dan doa. Pada mural kita bisa menemukan teks-teks yang berisi tentang harapan perbaikan kualitas hidup.
Mengingat salah satu agenda besar Kampung Budaya Piji Wetan selama dua tahun terakhir adalah mengamplifikasi kekayaan budaya
dan peradaban Muria, sepertinya
Mural bisa jadi sesuatu yang penting
dan mendesak untuk menguatkan agenda tersebut. Maka dari itu, SPRAY YOUR FOLKLORE ini hadir. Lantas kenapa folklore? Jelas seperti kerja
-kerja yang sudah kami lakukan sebelumnya, dengan Folklore kami bisa
merekonstruksi masa lalu dan akibatnya hari ini. Ada kemurnian cita-cita dari
nenek moyang yang bisa kami olah dan
lanjutkan lewat eksplorasi Folklore. Dan kenapa pilihan menggunakan kesenian
Mural sebagai salah satu media untuk distribusi informasi bukannya tanpa
alasan. Tentu saja akan ada debat teoritik sendiri nantinya mengapa bahasa
artistik yang dipilih Kampung Budaya
Piji Wetan seperti ini. Yang jelas seluruh
orientasinya akan pada proses, bukan
artefak seni dan hasil akhir di tembok.
Bagi kami karya adalah keseluruhan
rangkaian kegiatan itu sendiri. Secara praktik, periset dan seniman yang terlibat di SPRAY YOUR FOLKLORE
nantinya memang diarahkan untuk
menanggapi pengetahuan lokal yang
ada di kampung dan juga membawanya ke tingkat abstraktif sehingga apa yang
terjadi di Piji Wetan dan di lereng Muria
bisa menjadi kaca benggala untuk kampung-kampung yang mungkin
memiliki tipologi sama.
Kira-kira ada sekitar 20 seniman
mural yang akan kami ajak dalam
helatan ini. Masing-masing seniman
diminta untuk merespons sejarah
lokal Muria yang sudah dikumpulkan
oleh tim riset: ada 1 tembok situs, 1 tembok kota, 2 ruang publik kampung, 1 tembok ikon. Pada praktiknya nanti, harapannya tidak hanya isu folklore yang menjadi perhatian tetapi kompleksitas kisah tembok itu sendiri yang kesemuanya berhubungan satu sama lain dengan kampung/kota. Secara umum, persiapan kuratorialnya sudah
memperkuat konten dengan riset cerita rakyat tentang lokasi terkait dan kondisi keseharian warga. Selain riset sejarah lisan, diskusi panelis tentang isu-isu terkait juga sudah kami lakukan.
Kalau ditanya, apakah agenda kesenian ini memberikan solusi? Tentu saja buat kami hal ini bukan tujuan utama karena hal semacam itu seringkali membuat proses kekaryaan menjadi beban yang teramat. Tidak jarang kita mendengar keluhan mengenai bertahan dan berkarya saja susah alih - alih memajukan kebudayaan. Tapi mengatakan bahwa karya seni tidak memberikan apa -apa juga tak kalah menyesatkan dan menyepelekan upaya. Amatan berkecimpung dalam problem kampung yang kami hadapi kerap bertemu kasus masyarakat kita yang miskin imajinasi. Tak heran dalam musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat RT hingga kota, pembangunan hanya berkisar pada perbaikan fasilitas umum dan pelatihan-pelatihan yang tidak mengerti situasi lokal. Seni memberikan jeda pada realitas yang mengalir terus-menerus untuk memikirkan ulang fenomena keseharian yang mekanis. Perayaan dalam Spray Your Folklore ini hendak memberi sudut pandang lain dalam membaca kampung tidak hanya melalui cerita rakyat tetapi juga pengetahuan keseharian yang dianggap biasa saja.
Kehadiran karya mural di berbagai situs dan lokasi strategis nanti ingin memberi sedikit disrupsi pada
realitas. Kelak bisa kita saksikan, situs belik dan tembok perempatan akan jadi galeri dan orang yang berbondong datang ke kampung akan melihat ulang
dirinya sebagai sesuatu yang punya nilai dan istimewa. Di samping itu Spray Your Folklore ini juga ingin menyingkap ketegangan, mengamini Pierre Bourdieu yang membawa teori modalitas tidak hanya ekonomi tetapi juga kultural, sosial, dan simbolik. Sejatinya event seperti ini bisa memperkaya gagasan siapapun. Bagi kami jauh lebih penting lagi bukan event ini sendiri melainkan apakah seluruh proses ini bisa mengayakan para aktor yang terlibat untuk memaksimalkan potensi mereka sehingga kapasitas yang berkembang bisa digunakan untuk mengadvokasi dirinya. Dalam konteks kampung, akhirnya warga mampu menggemakan
dirinya sebagai bagian dari kota Kudus yang turut berkontribusi terciptanya kota yang berkelanjutan. Tentu ada resiko seni hanya menjadi alat, tapi justru ketegangan antara menjadi alat dan mencari hasrat estetika inilah diskursus yang tidak bisa diabaikan yang barangkali bisa mengayakan banyak pihak.
Moralitas Mural dan Suguhan Segar di Sudut Desa
Seniman : Inonk Yapot
Kurator : Hasyim Asnawi
Coretan
mural di tembok-tembok
jalan hingga sudut-sudut kota
menunjukkan bahwa eksistensi mural
masih ada sampai sekarang. Kini, mural dengan berbagai sentuhan dan perkembangan zaman menyuguhkan warna baru di sudut desa.
Mural, sebagaimana yang kita
tahu sudah menjadi salah satu media
atau wadah untuk menyampaikan
ekspresi dan gagasan kepada siapa saja yang melihatnya. Mural menjadikan tembok sebagai media penyampai pesan, sebagaimana sejarah munculnya kata mural itu sendiri dari bahasa latin "murus" yang berarti dinding.
Seiring berjalannya waktu, eksistensi mural kian kompleks.
Para penggambar mural yang makin menghiasi seni melukis tembok ini
makin beragam karakter dan tujuannya terjun di dunia mural. Vandalisme mural tak terbantahkan terjadi pada kalangan anak-anak muda. Mereka salah memaknai mural sebagai media kritik atau penyampai pesan, hingga hanya menjadikan mural sebagai bentuk ekspresi diri dan saling menonjolkan eksistensi.
Tentu, tak semua berlaku demikian. Ada yang menekuni hobi yang oleh orang-orang awam dianggap semprot menyemprot, corat coret tembok, merusak pemandangan itu sebagai kepuasan hati. Bagi seorang penggambar mural, menyuguhkan mural kepada masyarakat adalah satu kepuasan hati tersendiri.
Moralitas Mural
Mural yang bermoral, belakangan ini menjadi hal yang perlu dilirik bagi para pelaku mural. Keberadaan mural yang dianggap perusak tembok dan biang onar sekelompok pihak justru menimbulkan keresahan bagi pada pelaku mural itu sendiri. Entah itu masalah perijinan, pemilik tembok yang tak rela temboknya digambari, hingga persaingan antar kelompok mural sendiri yang tak ingin tersaingi karena masih menganggap mural sebagai ajang eksistensi diri.
Agaknya, hal itu yang perlu dilirik ulang. Bagaimana menciptakan ekosistem mural yang bermoral serta mewadahi seluruh penggiat mural
dalam satu lingkaran yang menyatukan. Mural dengan berbagai bentuk, jenis, karakter, teknik, pewarnaan hingga pesan-pesan moral yang disampaikan, harus bisa mewakili suara-suara masyarakat, kelompok kecil, hingga keresahan para pelaku mural itu sendiri.
Menggambar satu obyek mural di media tembok tentu membutuhkan effort yang cukup banyak. Biaya cat, spray, waktu, tenaga dan daya kreativitas penggambar. Tentu mereka ingin karyakarya muralnya bisa disuguhkan dan dinikmati masyarakat. Terlebih jika masyarakat mengapresiasi dan mampu menerima pesan dari gambar itu, dialektika ruang dan media pun terjadi.
Bagaimana dengan Kudus?
Spray your Folklore, sebuah event yang diadakan Kampung Budaya Piji Wetan untuk mempromosikan folklor lokal dengan menggaet para pegiat mural dari berbagai daerah. Ekosistem mural di Kudus, tentu tak seramai dan bergeliat di kota-kota besar. Kudus, sepertinya terlihat masih berkubukubu, saling mengelompok dan belum terjalin satu wadah yang bisa menjaring semua penggambar di Kudus.
Hadirnya event ini akankah berdampak bagi ekosistem mural di Kudus? Tentu kita tidak bisa menerka jawabannya untuk saat ini. Setidaknya, kemunculan event ini cukup menarik minat para pegiat mural di luar daerah. Artinya mural di Kudus belum mati. Bisa jadi pula, event ini akan memantik para pegiat mural di Kudus untuk bergelora,
meramaikan kembali ekosistem mural, mengembangkan kreativitas dengan objek, gambar, dan kualitas baru yang tentu lebih oke.
Hal itu tentu tampak lebih asyik. Apalagi dengan adanya sinergitas membentuk sebuah wadah yang ternaung menjadi satu. Mengadakan event tahunan, membangun gagasan dan wacana intelektual sebagai bentuk kritik sosial dan ekspresi penggambar, atau merepresentasikan sebuah pesan dari keresahan-keresahan yang ada di masyarakat.
Suguhan Segar di Muria
Event mural di Kampung Budaya Piji Wetan ini baru yang pertama, melibatkan para pelaku mural dari Kudus maupun luar daerah. Artinya, ini menjadi suguhan baru bagi masyarakat muria, bahwa mural juga dapat memasuki sudut-sudut desa.
Menarik bukan? Menyampaikan pesan-pesan lokal, moralitas, falsafah Sunan Muria, hingga ajakan pelestarian budaya melalui sebuah mural atau media tembok. Masyarakat yang melihatnya dapat langsung menangkap, folklor dapat terbaca lewat temboktembok jalan, hingga mural di dindingdinding sendang.
Sebagaimana visinya menyuarakan semboyan “asah, asih, asuh”, festival mural ini dapat menjadi bagian dari ketiganya. Festival mural mengajak semua yang terlibat untuk mengasah kepekaan, kepedulian, dan
kekompakan dalam merawat foklor di Muria.
Asih dan asuh menjadi simbol bagi masyarakat Muria untuk tetap saling mengasihi, baik antar sesama maupun kepada para pendatang yang berkunjung ke Muria. Mengasuh, menjadi bagian daripada KBPW yang selama ini mengasuh anak dan masyarakat sekitar, dalam melestarikan budaya, memberdayakan masyarakat, dan merangkul semua elemen untuk kompak nguri-nguri peninggalan Sunan Muria.
Gunung Muria dan beragam potensi di dalamnya, menjadi salah satu mural yang tergambar dalam event SYF Kampung Budaya Piji Wetan. Hal ini menunjukkan bahwa lokalitas, budaya dan potensi lokal dapat dialihmediakan menjadi mural di dinding. Lalu, bagaimana mengemas itu supaya kelihatan menarik?
Lagi-lagi, jawabannya bergantung bagaimana cara kita memandang mural itu sendiri. Adanya mural sudah
menjadi
Blukutuk dan Intervensi Ingatan
Seniman : Ichiko, Dose, Ribe, Soxlam
Kurator : Rhy Husaini
“Apakah seni dalam sejarahnya, seni mampu memiliki power untuk mengintervensi ingatan?”
Kita
semua tahu, bahwa sejarah yang terbentang di atas permukaan zaman selalu memiliki khasanah yang berbeda-beda, bahwa setiap pelaku sejarah pastinya memiliki kognisi, tendensi, dan kepentingannya sendiri untuk memaknai dan menghikayatkan sejarahnya. Alhasil, dalam laju perkembangannya, banyak versi yang muncul dan yang berhasil menjadi iman sejarah dari publik adalah kisah mana yang berhasil dikodifikasi paling strategis. Salah satunya adalah dengan kesenian. Tidak bisa dipungkiri dari waktu ke waktu seniman terus tumbuh, lahir ke khalayak, membersamai zaman dan melahirkan karya yang sedikit banyak terpengaruh atau memengaruhi peristiwa pada era tersebut. Tidak hanya sebagai karya ekspresif yang bersifat personal, terkadang seniman pun menggunakan karya mereka sebagai bahasa untuk menyampaikan kerasahan masal.
Dalam sejarahnya, mural adalah satu medan kesenian yang cukup strategis untuk digunakan sebagai propaganda. Karena mungkin sifatnya yang publik dan gigantik sekaligus hadir di tengah kesibukan masyarakat.
Namun tidak sedikit, banyak karya yang
akhirnya menjadi kontroversi karena mengandung makna yang seringkali
"dianggap" kabur. Seperti halnya dalam
peristiwa Jokowi 404: Not Found.
Atau karya tertuduh Antisemit Taring
Padi saat perhelatan pameran akbar
Documenta 15 di Kassel Jerman. Maka
untuk mengantisipasi tersebut, banyak
tindakan yang akhirnya dilakukan tanpa kompromi, seperti penghapusan, penangkapan karya atau lebih parahnya kekerasan terhadap senimannya sesuai hati dan kehendak pikiran orang-orang tertentu. Fenomena ini mengakibatkan pembatasan berpikir dan berpendapat. Beberapa karya akhirnya kehilangan makna dan suaranya sebab aksebilitasnya untuk menjadi media perantara terhalang. Hal seperti itu adalah hal-hal ihwal yang tidak bisa dihindari dalam suatu era sejarah.
Maka dari itu, sensitivitas pada sejarah kemudian menjadi begitu penting. Bahwa riset, diskusi dan dialog panjang sangat diperlukan dalam membangun kesadaran untuk mempertanyakannya originalitas sejarah dan kompleksitas yang ada di dalamnya. Sejauh mana sejarah berhasil terverifikasi? Apakah sejarah ini kuat ataukah lemah secara data? Apakah ditulis berdasarkan kepentingan? Rentetan pertanyaan untuk mempertentangkan sejarah tidak melulu karena sentimen dan kepentingan, namun sebagai alternatif berpikir dan upaya keberlanjutan relevansinya di masa kini. Barangkali, ada missing link, ada potongan ingatan yang hilang dan memberikan dampak yang begitu besar terhadap periode waktu masa kini.
Intervensi Ingatan
Dalam upaya perayaan khasanah sejarah dan misi penyelamatan folklore, Blukutuk (nama grup
mereka) membawa kembali apa-apa yang tercerabut dari posisi dan peran sejarah semestinya. Karya mural dari Blukutuk ini berlokasi di salah satu situs spesifik yang ada di Muria tepatnya di Sendang Kamulyan, Pranak, Lau, Dawe, Kabupaten Kudus. Dengan judul “Pelestarian Keistimewaan” karya ini kemudian didedikasikan untuk mengamplifikasi sejarah dan cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di situs tersebut namun sudah banyak warga sekitar yang tidak tahu.
Pada mulanya, Blukutuk mencoba membuka keterbukaan dan membangun dialog dengan pakem sejarah konvensional untuk lebih memahami keterkaitan sendang dan permasalahannya hari ini secara faktual. Lewat teks, film dokumenter, dan jurnal riset terkait, mereka beradu hadap dengan problematika situs dalam kampung. Hingga akhirnya muncullah karya “Pelestarian Keistimewaan”. Bagi mereka, ada bagian yang hilang, masyarakat hanya tau sejarah fungsi dari sendang, ingatan mereka hanya terbatas pada kegunaan sendang itu dari tahun ke tahun. Jauh sebelum itu, bagaimana sendang ini bisa muncul, ada ingatan yang samar yang masih belum banyak diimani terlebih anak-anak muda era milenia. Dan karya Pelestarian Keistimewaan ini akhirnya menjadi begitu penting untuk propaganda dalam mengintervensi ingatan tentang cerita rakyat asal usul sendang tersebut.
Secara visual karya Pelestarian
Keistimewaan ini tidak begitu rumit, sederhana, mudah tangkap namun memiliki kompleksitas pemaknaan yang bertingkat. Bidangnya tiga blok, dua blok ilustrasi, satu blok font penanda. Di sana Muncul dua karakter hasil proyeksi imajinasi dari Blukutuk untuk merepresentasikan kisah asal usul tersebut. Meskipun dalam perjalanan kesenirupaannya mereka memiliki ciri karakter sebagai brand identity, namun kali ini mereka tidak semerta-merta mengaplikasikannya ke dalam karya Pelestarian Keistimewaan ini. Pilihan yang cukup tepat untuk menanggulangi distorsi imajinasi warga.
Namun, di luar daripada itu, bagaimana bentuk hasilnya tidak menjadi soal, yang menjadi fokus memang kognisinya, proses mentalnya, proses cara berpikir. Karena di sini yang jadi highlight-nya adalah produksi pengetahuannya. Dan Blukutuk berhasil memasok kesadaran itu, mereka mampu melihat kebutuhan, kapasitas, tingkat negosiasi dan kuasa seni rupanya. Mereka punya bahasa artistik sendiri untuk mengintervensi ingatan warga dan itu yang bisa ditawarkan sebenarnya.
Sebuah Visual Tentang Kisah yang Panjang
Seniman : Danang, Robi, Ojan
Kurator : Rizki Caesario
Spray Your Folklore menjadi agenda yang barangkali menyebabkan setiap
pengendara yang menuju atau pulang dari Gunung Muria harus sedikit
mengurangi kecepatan dan melirik ke arah timur, karena penasaran dengan pemandangan yang ada di samping mereka.
Lingkungan, sosial, dan
budaya adalah faktor penting dalam
terbentuknya identitas dan karakter.
Hal serupa juga terlihat dari mural
karya Roby, Ojan, serta Danang yang
terpampang di sebelah timur jalan
menanjak yang merupakan akses
menuju Kampung Budaya Piji Wetan.
Dari sudut utara akan terlihat karya Roby, grafiti dengan warna dominan biru tosca dengan variasi kuning, ungu, dan putih yang bertuliskan 'Kampung Budaya'. Sedikit ke selatan ada grafiti karya Ojan yang
bertuliskan 'Piji Wetan' dengan warna yang berbeda pada setiap hurufnya: biru tosca, ungu, oranye, hijau, dan merah.
Sampai di sini mari membuka
buku "Bilang Begini Maksudnya Begitu"
karya Sapardi Djoko Damono. Di buku, Sapardi mengutip sajak karya pelukis
Jeihan yang berjudul "Indonesia" begini sajaknya.
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
VVVVVVVVVVVVVVVVV
lingkungan tempat ia menyemprot cat, -suatu kampung yang berbasis budaya. Dan Ojan melengkapinya dengan warna beragam, dan tak berlebihan bila dikatakan sebagai simbol keragaman individu, yang menggerakkan Kampung Budaya Piji Wetan. Bukan sekadar unity in diversity melainkan, unity is diversity.
Belakangan, di tengah era digital yang berkembang secara masif, isu tentang krisis identitas menjadi permasalahan yang nyata terlebih di kalangan Millenial dan Gen z. Hingga muncul fenomena banyak orang mempelajari Filsafat Stoikisme, Eksistensialisme, dan tetek bengek lainnya hingga berakhir pada obrolan tengah malam yang ngalor-ngidul di kedai kopi. Tetapi demikianlah proses, contoh puncaknya adalah karya Roby dan Ojan yang telah menemukan identitas dan karakternya sendiri, yang mana secara tidak langsung dengan mengenali diri sendiri, ia juga mengenali lingkungannya.
Akar kokoh Piji Wetan
VIVA PANCASILA!
Tentang sajak itu, Sapardi
mengatakan, “Sajak itu tidak
memerlukan penjelasan.” Kiranya bisa
disepakati bahwa perkataan Sapardi juga
layak dilekatkan pada karya Roby dan
Ojan. Roby dengan jelas dan sederhana
mengatakan identitas apa yang di
Sedikit bergeser ke selatan ada gambar yang berbeda. Setelah grafiti
Roby dan Ojan, ada mural karakter karya Danang. Terlihat karakter yang
menyerupai perempuan, seperti penari
Jawa dengan selendang yang sedang
menggenggam butiran-butiran tasbih, bermahkota dan berhias tumbuhtumbuhan, serta corak macan di
V
samping kiri dan kanan dengan
penggunaan warna yang kompleks.
Dengan adanya mural karya
Danang ini seolah melengkapi kisah
yang telah diceritakan oleh Roby dan
Ojan. Sebuah cerita tentang Kampung
Budaya Piji Wetan yang memiliki akar
panjang dan kokoh. Pada dasarnya letak
Kampung Budaya Piji Wetan adalah
tanjakan pertama yang juga menjadi
penanda memasuki lereng Gunung
Muria. Siapapun yang melewati
jembatan dan sampai di tanjakan
pertama tersebut, akan merasakan
perbedaan suhu.
Artinya Piji Wetan adalah wilayah
yang berakar dari kebudayaan Gunung
Muria. Danang mengilustrasikan hal
ini dengan ciamik. Karakter perempuan
yang ia buat semacam sosok ibu, ia
menggunakan metafora bahwa Piji
Wetan hidup di bawah naungan dan
pengayoman Gunung Muria lengkap
dengan ajaran spiritual dan laku
kehidupan yang mana selaras dengan
slogan Kampung Budaya Piji Wetan:
Asah, Asih, Asuh.
Mahkota dan hiasan berupa
tumbuhan dan ilustrasi hewan Macan
menandakan bahwa alam Gunung
Muria merupakan alam yang beragam, ia tak kalah ajaib dengan seluruh kenampakan alam lain di muka bumi.
Sebut saja Parijotho, Kopi Muria, atau
Macan Tutul Jawa yang juga berhabitat
di Gunung Muria.
Lalu sentuhan berubah tangan yang menggenggam tasbih adalah simbol konkrit Piji Wetan yang menggunakan ajaran laku “Pager
Mangkok” Sunan Muria. Ajaran yang mengajak manusia senantiasa menjaga diri dengan bersedekah, berbagi, dan bertaqwa kepada Tuhan, seperti doa yang tak putus. Pada akhirnya karya
Roby, Ojan, juga Danang menjadi satu kesatuan, satu kisah yang runtut dan masih sangat panjang ceritanya. Tabik!
Tafsir Kacamata Seputar Muria
Seniman : Lupafont, Cheers Sall
Kurator : Dinda Galih
Pada karya mural kolaborasi dua semian, Lupafont dan Cheers
Shall ingin menyampaikan tanggapan mereka terkait kebudayaan, sosial, dan folklore terkait Sunan Muria. Dengan menghadirkan pengalaman yang berbeda menghasilkan dua visualisasi yang berbeda namun disatukan dengan warna-warna yang beragam yang nyentrik.
Tidak hanya memiliki peran penting pada penyebaran spiritual
Agama Islam, sosok Sunan Muria juga berperan penting pada pembentukan
tatanan kehidupan sosial, kebudayaan sekitar Muria. Salah satunya melalui tradisi Pager Mangkok yang merupakan ajaran dan peninggalan Sunan Muria. Pager Mangkok mengajarkan untuk saling berbagi, memberi, dan menjaga.
Melalui karyanya Lupafont menuliskan pesan tersurat melalui tulisan mural “
Karena Berbagi Tidak Membuatmu
Rugi” yang merepresentasikan ajaran
Sunan Muria pada tradisi Pager Mangkok.
Disisi lain dengan konseptual yang sama Cheers Shall menggambarkan tradisi Pager Mangkok secara tersirat melalui karakter perempuan yang
membawa makanan khas sekitar Muria. Disekitar mural karakter perempuan juga digambarkan komoditas buah khas muria berupa buah parijoto, dan jambu air. Dengan karakter yang serupa Cheer Shall juga menggambarkan sosok
Sunan Muria dengan buku-buku yang tertumpuk dan beragam warna. Dalam segi ini ia ingin merepresentasikan
Sunan Muria sebagai penyebar ilmu pengetahuan di sekitar wilayah muria.
Melalui kesenian Sunan Muria menyampaikan dan menyebarkan
Agama disekitar Muria, salah satunya
menggunakan tembang Sinom dan Kinanti .
“Ayo podo golek ilmu
Ilmu kuwi nomer siji
Ing donyo benora rekoso
Ojo lalimarang gusti
Ben dikei kemudahan
Lan dikei dalanapik”
Penggalan syair tembang Kinanti tersebut menjadi inspirasi seniman Lupafont pada penggarapan karya kali ini. Pada hakekatnya pendidikan dapat di cari secara formal maupun non-formal. Melalui penghayatannya, seniman akhirnya merepresentasikan sosok ibu sebagai sumber ilmu nonformal. Satu quote “Ratu yang tak Bermahkota Namun Bertelapak Surga” yang disematkan seniman pada potret ibu bukan tanpa alasan. Seniman ingin menyampaikan pesan betapa besar kasih sayang ibu terhadap anakanak mereka. Sepatutnya seorang anak harus berbakti kepada ibu. Dan tentunya hal tersebut tidak jauh dengan tembang tembang Kinanti yang diciptakan sunan muria.
Membangun Ingatan Kolektif
Muria melalui Mural
Seniman : Ocim, Sopeng
Kurator : Elang Ade Iswara
“Muria adalah hijau adalah kuning adalah merah adalah warna-warna kehidupan itu sendiri.”
Dalam kehidupan, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan simbol. Di sekeliling kita simbol-simbol diberdayakan sebagai media komunikasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Termasuk membangun ingatan kolektif sebuah kota.
Hadirnya street art atau seni jalanan baik dalam bentuk mural atau graffiti terdengar akrab bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya tulisan atau gambar di dinding jalanan ini menjadi saksi para pejuang menyerukan kemerdekaan.
Dinding menjadi media untuk
mengutarakan kritik dan protes dengan coretan-coretan pesan kemerdakaan— mengingat terbatasnya media ditambah belum adanya televisi pada masa itu.
Betapa pentingnya temboktembok itu sebagai media komunikasi dan ekspresi: ruang publik yang patut dijaga dan diaktivasi eksistensinya untuk hal-hal baik. Sebab hari ini, ruang publik dijejali slogan-slogan kampanye dengan wajah-wajah tak asing yang saling bersaing menggaet perhatian khalayak lewat baliho-baliho atau
poster yang justru bikin sumpek dan sama sekali tak sedap dipandang mata. Dinding-dinding kota atau desa yang mestinya bisa menggambarkan identitas kota, perlahan-lahan menjadi kabur. Untungnya para senima mural tak pernah padam dan terus bermunculan mewarnai dan menjaga dindingdinding itu sebagai ruang milik publik, dan bukan hanya milik elite politik.
Seperti yang baru-baru ini dilakukan Ocim dan Sopeng (stage name), yang turut serta ambil bagian
(baca: agenda Kampung Budaya Piji
Wetan: Spray Your Foklore) untuk
menegaskan kembali identitas kota melalui kesenangan dan kreativitas, yakni dengan mural. Kecintaan terhadap
mural membuat anak muda berusia 21 tahun ini bertahan di jalan terjal seni
jalanan yang kerap dicap buruk oleh sebagian masyarakat sekaligus aparat.
Mulai menggambar di jalanan pada tahun 2018, saat masih sekolah, Ocim merasa mural menjadi wadah yang tepat untuk mengekspresikan diri di tengah kejenuhan hidup, atau kerjaan yang menumpuk. Ia merasa senang bila gambar itu “selesai” dan dapat dinikmati baik dirinya maupun orang lain.
Lebih awal setahun dibanding Ocim, Sopeng menekuni dunia gambar sejak tahun 2017 saat ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Tetapi ia baru menemukan keberanian dan ketertarikannya menggambar di jalanan pada tahun 2020, sementara Ocim di tahun itu juga ia turun ke jalan. Bagi Sopeng, mural merupakan tempat yang pas untuk alter ego-nya, untuk menyampaika keresahan-keresahan.
Dengan semangatnya yang memadai mereka berdua berhasil menyelesaikan muralnya di tembok berukuran 1300 x 300 yang berlokasi di Gg. 4 Alun-Alun Simpang Tujuh Kudus dalam waktu beberapa hari saja.
Pada gambarnya kali ini, mereka coba mendefinisikan Muria dengan simbol-simbol yang dekat dengan pikiran dan dunia mereka, seperti Kopi, Getuk, Rokok dan bentangan alam yang bikin orang berlama-lama di Muria. Ocim menyampaikan, bahwa apa yang ia gambar di tembok besar itu bersama Sopeng menceritakan halhal yang berdekatan dengan mereka
dan anak-anak muda seusianya. “Jadi, yang biasanya ada di pikiran kita kalau dengar Muria itu emang kopi, rokok, getuk dan keindahan alamnya. Seperti di belakang sana (ia menunjuk mural yang baru diselesaikannya bersama Sopeng), itu ada proses-proses pengolahan ubi, pemetikan kopi, juga pengolahan tembakau sampai jadi rokok,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Ocim, penggunaan warna-warna dasar yang cenderung cerah seperti kuning, hijau, dan merah memberi kesan bahwa Muria itu sejuk, itu kenapa ia beri warna hijau. Sementara warna kuning melambangkan keceriaan dan kehangatan warga-warga yang ada di Muria dan sekitarnya. Sementara merah, itu simbol kopi dan warna dari karakter Ocim sendiri.
Ocim dan Sopeng merupakan sebagian kecil generasi muda potensial di Kudus, yang menekuni mural. Masih banyak lagi anak-anak muda seperti mereka yang tersebar secara sporadis di pinggiran kota, atau di desa-desa lereng Muria. Karya-karya mereka lah yang terkadang justru menjadi pembangun ingatan kolektif sekaligus penanda identitas sebuah daerah yang relate dengan keresahan generasi hari ini.
II
Beberapa tahun silam saat pandemi, terjadi polemik yang
menyebalkan bagi para seniman mural di Indonesia. Banyak mural-mural yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah dihapus keberadaannya oleh aparat dengan beragam alasan. Hal itu menguatkan bukti bahwa ruang publik tak luput dari represi aparat terhadap hak demokrasi masyarakatnya. Padahal, ruang publik idealnya mampu mendorong orang untuk berdialog dan ramah terhadap semua kalangan. Ruang publik seperti inilah yang digadanggadang sebagai pondasi demokrasi (Toloudi, 2016). Namun pada kenyataannya, ruang tidaklah netral melainkan sarat kepentingan (Dhona, 2018).
Oleh karenanya sangat masuk akal, apabila mural menjadi upaya kecil-kecilan masyarakat untuk kembali mendapatkan haknya atas ruang publik yang disediakan memang untuk publik. Bukan hanya sebagai pemulus agenda politik yang mencekik pemandangan setiap mata. Bayangkan betapa mengerikannya, apabila hak berekspresi setiap individu direnggut atau dibatasi, bisa jadi hal-hal urgensi yang menyangkut kemanusiaan dan kepentingan masyarakat luas seperti berpendapat juga turut dibungkam.
III
Mural sebagai simbol atau media berekspresi dan komunikasi, tentu saja memiliki dampak sekecil apa pun
jua. Sebagi epitome sederhana, apa yang digarap oleh Ocim dan Sopeng, membuat anak-anak yang bermain sepeda pada saat proses pembuatan
mural penasaran dan bertanya-tanya, dengan percakapan-percakapan kecil itu anak-anak jadi tahu bahwa di Muria ada kopi dan getuk yang nikmat berikut cara-cara pengolahannya. Hal ini membangun ingatan kolektif yang baik buat anak-anak tersebut
ketimbang mereka melihat baliho atau poster wajah-wajah politisi yang sibuk
menebar janji dan dengan senyum yang dibuat-buat dan bikin mual-mual sepanjang tahun.
Dalam ingatan kolektif yang
lebih dalam dan luas, sebuah mural
berukuran —3,5 m x 7,8 m— berwarna
hitam, putih dan abu-abu bertajuk
Guernica (1937) yang menggambarkan
Perang Saudara di Spanyol (17 Juli 19361 April 1939) karya Pablo Picasso itu, berhasil membangun tekad masyarakat mendatang untuk tak mengulangi kengerian di masa lalu, bahkan simbolsimbol dalam mural itu berhasil menggali nilai-nilai kemanusiaan
paling dalam dan menumpahkan air mata seorang perempuan tua berusia
80 tahun, sebab dengan melihat
mural karya Picasso tersebut seorang
perempuan tua kembali teringat suami
dan anaknya yang mendiang akibat
bom-bom yang berjatuhan dari pesawat perang Nazi Jerman di langit-langit kota
Gernika.
Betapa pentingnya ingatan koletif sebuah daerah. Sebab dengan ingatan kolektif yang memadai, anak-anak generasi mendatang akan lebih merasa akrab akan tempat kelahirannya, merasa lebih memiliki satu sama lain, merasa perlu menjaga dengan segenap hati, dan merasa menjadi pewaris budaya-budaya yang ada di sana. Dengan ingatan koletif, mereka tak perlu kerepotan membentuk identitas kota yang tak terjangkau.
Saya percaya, anak-anak yang bertanya kepada Ocim dan Sopeng saat sedang menggambar itu, akan selalu mengingat bahwa Muria adalah hijau adalah kuning adalah merah adalah warna-warni hidupan itu sendiri.
Pun(K)okawan Junjung Mangkok
Seniman : Mbutzgambutz
Kurator : Rhy Husaini
Pembahasan mengenai ruang
bukanlah topik baru. Para pemikir seperti Habermas, Giddens, Lefebvre, Harvey, serta Michael Foucault sebenarnya sudah pernah membahasnya secara ketat nan komperhensif. Mulai dari pemahaman ruang sebagai informasi atas keterangan tempat hingga implikasi dan telaah konsep dari ruang itu sendiri. Pembahasan mengenai tubuh individu di dalam ruang menjadi begitu penting karena tubuh menyimpan berjuta pengalaman yang berkolerasi dalam merespon ruang tersebut. Seperti penyataan di atas bahwa ruang merupakan konstruksi sosial, maka sangat tidak mungkin jika tidak merujuk pada manusia sebagai subjek utama dalam sebuah ruang.
Tubuh dan ruang saling bersinggungan dan masing-masing menyimpan oposisi biner seperti yang privat dan yang publik; natural dan kultural, yang muka dan yang belakang. Pada masa ambang itulah tubuh membentuk ruang. Oleh karena itu, setiap tubuh menghadirkan ruangnya masing-masing dan tubuh lain turut serta menghadirkan ruang lainnya.
Seperti posisi mural yang dikerjakan oleh Mbutzgambutz ini, yang berlokasi di ruang publik kampung, di tengah perempatan gang di Piji Wetan. Ruang publik
sejenis ini adalah jalan pintas untuk memahami masyarakat setempat. Dia
jadi semacam sampel; miniatur tentang cara masyarakat hidup, cara masyarakat beroperasi. Seperti alun-alun kalau di kota. Maka dari itu, respon karya yang disampaikan Mbutzgambutz juga tidak jauh dari pemaknaan terhadap kebudayaan masyarakat di Piji Wetan, terutama atas apa yang terjadi di lokasi. Secara kebiasaan, perempatan tersebut selalu digunakan sebagai acara-acara besar seperti malam tirakatan, lebaran kupat, atau sekadar ruang kumpul bersama masyarakat lainnya; Ibu-ibu yang mendulang anaknya sore hari, anak-anak yang bermain sepedaan dan bapak-bapak yang nongkrong
menikmati sore. Di sana terdapat pula pos kamling, hampir saban hari remaja berkumpul di sana saat malam, bergiliran menjaga stabilitas keamanan kampung. Namun bukan penjagaan intinya, tapi berkumpul dan berbagi. Tidak ada komoditas di sana; obrolan dan jamuan adalah milik bersama dan dari masyarakat bersama pula.
Semiotika Punokawan Modern Sedang Menjunjung Mangkok
Mengambil judul Punknokawan
Junjung Mangkok, Mbutzgambutz
mengawinkan kisah kaum proletar
jawa yakni Punokawan dalam babad
pewayangan dan ajaran Sunan Muria yakni Pager Mangkok. Secara visual, tampak empat entitas Punokawan yang sedang berdesakan bergotong royong riang saling berebut menjunjung
mangkok. Dan bisa dilihat, ada
semiotika yang coba ditawarkan oleh
Mbutzgambutz, tampak wujud artistik dari si Punokawan ini adalah manusia modern; memakai anting, memakai gelang. Ia seolah sedang bicara bahwa mereka adalah kita hari ini sebagai masyarakat akar rumput yang sedang berlomba-lomba melaju dengan zaman. Namun apa yang sedang dilakukannya adalah sebuah kebudayaan; memagang mangkok. Bagi saya ini adalah
pernyataan sikap yang kuat dan keras dari Mbutzgambutz. Bahwa ledakan
zaman yang tidak bisa kita bendung ini sebenarnya sah-sah saja kita ikuti
namun ajaran dasar yang sudah
ditanamkan oleh nenek moyang kita tidak boleh kita tinggalkan. Terlebih
dengan riang kita harus menjaga apa yang seharusnya kita jaga.
Selain merekonstruksi cita-cita
lewat kebudayaan, Mbutzgambutz juga hendak menamatkan stigma
terhadap publik penikmat lewat karya; menyamakan ingatan. Bila gambar
tersebut adalah cerminan dari ruang publik tersebut, bahwa warga yang
berkumpul dan hidup di sana adalah
wajah-wajah itu. Upaya menunjukkan
muatan budaya yang ideal ini menurut saya punya potensi untuk mencetakulang pandangan generasi penerus. Yang kelak bisa jadi tidak lagi tahu dan paham ajaran nenek moyangnya. Dan gambar yang setiap hari mereka lewati
ini bisa menyelamatkan zaman dengan ingatan bersama.
Menurut saya, adanya karya di lokasi tersebut akhirnya menjadi tawaran menarik untuk mengonstruksi ruang yang sudah termaknai menjadi makna-makna baru. Sehingga dari situ munculah kemungkinan-kemungkinan lain seperti kesadaran bahwa ruang tidak hanya dihidupi, tetapi dikelola, dipantau, dikendalikan dan dikonstruksi. Memang sudah sebuah keharusan bahwa ruang perlu dikelola, tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jika ada integrasi yang seimbang antara pengelola atau pemilik ruang dan pegiat seni, maka bisa saja karya seni bisa benar-benar memberikan kesadaran pada tubuh-tubuh (masyakarat) tentang apa yang sedang dicita-citakan bersama.
Bedanya dengan gambar-gambar konvensional, karya Mbutzgambutz ini tidak berniat untuk melap-lap keindahan formal. Visual kompleksitasnya jauh dari kesan eksotik; tidak ada niatan untuk dianggap grande oleh penikmat seni mural dan grafitti. Seperti pos kamling dan perempatan, yang diinginkan Mbutzgambutz adalah percakapan yang jujur dan kasual. Bukan euforia semata, tapi Pun(k)okawan Junjung Mangkok adalah wajah Piji Wetan yang bergerak dan berdialog untuk mengingat dan membentuk ulang budayanya.
Karya- Karya
Spray Your Folklore
Seniman Kudus X Kampung Budaya Piji Wetan
Karya : Danang, Robi, Ojan, Inonk Yapot
Karya : Lupafont, Cheers Shall
Karya : Ichiko, Dose, Ribe, Soxlam
Karya : Ocim, Sopeng
Karya : Mbutzgambutz