TABLOID INSTITUT EDISI 20

Page 1

!

S GRATI

Edisi XX/Juni 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

“Kado” untuk UIN

Hilangnya Retorika Kampus Kiky Achmad Rizqi

Kekerasan yang terjadi di kampus UIN Jakarta pada Januari lalu, saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Student Government (SG), ditambah dengan keributan saat pemilu bulan kemarin, menjadi sebuah peristiwa yang menghancurkan teori yang selama ini dipergunakan untuk menciptakan perdamaian. Lembaga kampus telah gagal menciptakan bagaimana pendidikan membentuk sebuah karekter, terutama dalam komunikasi. Rentetan pertanyaan hadir menilik bagaimana komunikasi yang terjalin selama ini, dan sudahkah terbentuk dialog yang mempertemukan atau lebih tepatnya menyandingkan keduanya. Lantas kenapa masih terdapat konflik? Pakar Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto memaparkan, seharusnya ada proses memfasilitasi yang sejajar dan komunikasi produktif. Dengan arti, mahasiswa harus menghormati cara pandang rektorat bahwa konsep SG yang kemarin menimbulkan kegaduhan politik. Hal ini berakibat pada menurunnya atmosfer akademik.

“Bisa saja itu jadi bahan evaluasi bersama. Sebaiknya dimulai dengan tawaran tertulis dari masing-masing pihak, dengan tukar-menukar konsep, sehingga menimbulkan kesepahaman bersama. Dialog itu jangan mentah,” tambahnya. Sebagai mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Sabir Laluhu menyampaikan, rektorat sebagai pejabat kampus, dalam hal ini merasa bisa dan mempunyai hak untuk mengatur, sedangkan mahasiswa tidak mau diatur. Pilihannya adalah mahasiswa harus bisa menawarkan konsep, bukan hanya menuntut.

“Aturan itu bukan dibuat untuk mereka (rektorat), tapi untuk mahasiswa. Rektorat harus bisa melihat konteks mahasiswa sekarang, kalau memang konsep jaman dulu itu baik, tapi dalam konteks sekarang tidak. Jangan dipaksakan,” tambahnya, Senin (6/6). Tak hanya itu, Sabir pun memberikan beberapa saran kepada rektorat. Ada tiga pola yang harus diterapkan. Pertama, jangan saling menyalahkan. Kedua, ada aturan yang harus dijalankan dan jangan dipaksakan. Ketiga, aturan tersebut harus disesuaikan dengan konteks. Menyikapi beberapa pernyataan yang ditudingkan ke rektorat, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, Selasa (7/6), menyampaikan, selama ini pihaknya sudah terbuka dengan mahasiswa. (Bersambung ke hal.15 kol. 2)

Editorial Di balik 55 tahun

Di tengah euforia Milad ke-55 UIN Jakarta, ternyata masih ada permasalahan yang belum terselesaikan dan melulu berlarut-larut. Entah maksudnya apa, yang jelas kita tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut tanpa ada penyelesaian. Kita menginginkan stabilitas ruang akademik yang minimal mendekati sempurna dengan berpikir ideal. Seperti tersedianya ruang pembelajaran aktifproduktif, tidak pasif dan menjenuhkan. Perlu kesadaran dari semua elemen sivitas akademika kampus ini. Baru-baru ini, kita kembali tertidur dan lupa ingatan bahwa persoalan mahasiswa belum selesai. Pihak rektorat mencoba memberikan rasa nyaman kepada mahasiswa agar tertidur dan lupa bahwa sistem pemerintahan mahasiswa masih belum jelas. Ada upaya intervensi berlebihan agar mahasiswa tak perlu soksokan berpikir idealis, cukup duduk manis agar tak melakukan tindak anarkis. Memang, persoalan ini sangat menjemukan semua pihak, tapi jika belum selesai, apakah kita masih bisa tenang? Seandainya mahasiswa merasa sudah tenang dengan keadaan ini semua, berarti sifat apatisme sudah menjangkit, dan jangan heran jika nanti mahasiswa akan mudah didikte tanpa bisa mengkritisi. Hilang sudah generasi pembaharu karena sejak mahasiswa sudah ditanam mental-mental pengikut (baca: suruhan), tidak bisa berpikir out of the box dengan inovasinya. Jika semua elemen bersangkutan punya niat baik menyelasaikan persoalan pemerintahan mahasiswa, tak perlu ada tindakan merasa paling benar sendiri. Tiap-tiap elemen perlu menghilangkan ego masing-masing, tak ada yang kalah-menang di sini. Yang perlu adalah bagaimana pemerintahan mahasiswa mampu menopang kegiatan akademis yang aktif-produktif tanpa menghilangkan nilai kritis untuk kepentingan bersama. Seperti laboratorium, seyogyanya kampus ini tak cuma menjadi ruang eksperimen bagi mahasiswa ilmu eksak. Mahasiswa selain ilmu eksak juga diberi ruang untuk bereksperimen, asal dengan catatan perlu diawasi, tidak perlu didikte ke sana kemari. Bukankah kita sudah bukan siswa yang selalu menerima masukan dari guru? Tapi kita mahasiswa yang harusnya diberi ruang eksperimen dengan daya nalarnya sendiri. Supaya timbul kepercayaan diri, integritas pribadi, dan berani membuat inovasi. Bukankan itu salah satu tujuan pendidikan tinggi?

3 7 11

Mahasiswa:

Gerakan Bak Gincu

Laporan Utama RUU PT dalam Kacamata Mahasiswa

Laporan Khusus Agb2Roda

Untuk Silaturahmi Komunitas


2

LAPORAN UTAMA

Edisi XX/Juni 2012

Penyelesaian Masalah Lembaga Kemahasiswaan Berlarut-larut Aditia Purnomo Permasalahan lembaga kemahasiswaan tak kunjung usai. Ini disebabkan ketidaksamaan visi antara pihak rektorat sebagai pembina dan mahasiswa sebagai pelaksananya. Bersikukuhnya kedua pihak akan konsep lembaga kemahasiswaan turut memperlama proses penyelesaian permasalahan ini. Permasalahan dimulai dengan dibekukannya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) pada pertengahan 2010 lalu. Pembekuan tersebut melibatkan dua partai besar, yakni Partai Persatuan Mahasiswa (PPM) dengan Partai Reformasi Mahasiswa (PARMA). Saat itu, Parma melakukan penggelembungan suara di dua fakultas, Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF), dan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) program non reguler. Karena itu, Majelis Pemilihan Umum (MPU), lembaga yang menangani kekisruhan pemira saat itu, memutuskan PARMA kehilangan suara di dua fakultas tersebut. Atas keputusan yang ditetapkan MPU, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon presiden dari PPM, Syaiful Bahri, sebagai pemenang, dan Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) segera melantiknya beberapa hari kemudian. PARMA kala itu tidak puas atas keputusan tersebut. Menurut Wahyudin, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PARMA saat itu, keputusan MPU diambil secara sepihak tanpa melibatkan rektorat. PARMA pun meminta mediasi kepada Rektor UIN Jakarta untuk menengahi permasalahan ini. Langkah PARMA itu justru berakibat fatal pada lembaga kemahasiswaan. Berbekal surat permintaan mediasi dari PARMA, rektorat mengeluarkan keputusan untuk membekukan BEMU yang saat itu baru saja dilantik Sejak itu, drama politik kampus dimulai. Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) dan KMU menggantikan peran BEMU sebagai penguasa eksekutif. Kedua lembaga ini dihadapkan pada masalah reorganisasi lembaga kemahasiswaan melalui Surat Keputusan DirjenPendis No. Dj.I/253/ 2007. SK tersebut memuat regulasi mengenai organisasi kemahasiswaan yang berlandaskan pada sistem Senat Mahasiswa. Hal ini langsung mendapat respon dari partai kampus, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan beberapa BEM Fakultas. Bagi mereka, SK tersebut masih kalah kekuatan hukumnya dari SK Mendikbud No. 155/U/1998, yang

menjelaskan bahwa organisasi kemahasiswaan diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Banyaknya pandangan yang berbeda terhadap format pemerintahan mahasiswa saat itu menjadi alasan diselenggarakannya workshop lembaga kemahasiswaan. Workshop tersebut dilaksanakan guna menyerap aspirasi berbagai pihak terhadap format pemerintahan mahasiswa, terutama rektorat dan aktivis kampus. Sebelum diadakan workshop, terlebih dulu diadakan diskusi serial dengan mengundang pihak yang memiliki kredibilitas, seperti pengamat politik yang sebagian pembicaranya alumni UIN Jakarta. Mereka memberi masukan kepada tim perumus dari kalangan mahasiswa, untuk mencari format ideal pemerintahan mahasiswa. Harapan mahasiswa untuk mempertahankan Student Government (SG) melalui langkah workshop ini pupus. Lantaran, keinginan mahasiswa agar rektorat mengeluarkan SK yang berisi pengesahan draf Undangundang Dasar Keluarga Besar Mahasiswa (UUD KBM) UIN hasil workshop, tidak dipenuhi. Dalihnya, rektorat tidak memiliki kewenangan untuk menentang kekuatan hukum SK Dirjen. “Ini adalah soal hukum,” tegas Sudarnoto Abdul Hakim, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan ketika menanggapi masalah ini (7/6). Menurutnya, hasil workshop itu hanya berisi saran untuk pembuat kebijakan, yakni Dirjen. Apa yang dihasilkan pun bukan produk hukum. Jika rektorat memenuhi keinginan mahasiswa, katanya, maka UIN melakukan tindakan inkonstitusional. Karena kecewa akan hasil workshop, mahasiswa melakukan demonstrasi di gedung rektorat untuk menuntut rektor segera mengesahkan UUD KBM UIN. Namun sekali lagi, melalui dalih SK Dirjen, rektorat tak dapat memenuhi keinginan mahasiswa, meski terjadi bentrok yang mengakibatkan beberapa korban luka dari pihak mahasiswa. Pantden Muhammad Noor, Ketua KMU kala itu, dengan tegas menyatakan, jika melihat

ADIT/INSTITUT

Seorang mahasiswa tengah asyik bersama laptopnya di ruang BEMU. Kini ruang tersebut tak terurus karena tidak memiliki penghuni akibat dibekukannya BEMU pada 2010.

hasil yang seperti ini, ia merasa penyelenggaraan workshop yang telah dilakukan menjadi tidak berguna. “Cuma buang-buang uang,” tegasnya. Ia pun heran keadaan pasca workshop tak juga menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini. Berlarut-larutnya penyelesaian kisruh lembaga kemahasiswaan ini, kata Sudarnoto, karena tidak ada titik temu antara mahasiswa dan rektorat. “Jika mahasiswa menolak SK Dirjen, lakukan penolakan itu kepada Dirjen, bukan ke UIN. Karena penolakan ke UIN tidak akan berpengaruh apa-apa. Kalau pun mahasiswa demo di UIN, tidak akan membuat SK Dirjen dicabut,” ujarnya. Sudarnoto pun membantah jika pelaksanaan workshop tidak menghasilkan sesuatu. “UUD KBM UIN adalah hasil dari workshop lembaga kemahasiswaan,” ungkapnya. Ia mengungkapkan, jika mahasiswa tetap menolak SK Dirjen, maka mahasiswa harus mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bagi Pantden, berlarutlarutnya ini akibat dari ego, baik mahasiswa maupun rektorat. Ia menambahkan, dalam hal ini rektorat juga mengulur-ulur waktu membuat penyelesaian masalah semakin lama dengan tujuan mahasiswa lupa terhadap

kasus ini.

Langkah penyelesaian

Lambatnya pengangkatan ketua BEM Fakultas terpilih, menjadi alasan belum ditindaklanjutinya masalah ketiadaan konstitusi lembaga kemahasiswaan dan mekanisme pemilihan BEMU. Setelah semua ketua itu dilantik, mereka akan diundang untuk membicarakan soal tersebut. “Karena itu, masa transisi ini menjadi agak panjang,” ujar Sudarnoto. Bagi Sudarnoto, meski belum ada konstitusi yang menaungi pemerintahan mahasiswa yang baru, saat ini yang menjadi perhatian utama adalah tetap berjalannya kegiatan mahasiswa. Pelaksanaan pemilihan BEM Fakultas kemarin pun, ia mengakui, belum berjalan sempurna. Meski target awal penyelesaian soal ini tidak tercapai pada Juni 2012, rektorat tetap berusaha menyelesaikan masalah lembaga kemahasiswaan ini. Karenanya, jika sampai beberapa waktu ke depan pihak fakultas masih lambat melakukan pelantikan ketua terpilih, Sudarnoto menegaskan akan segera melangsungkan pembicaraan terkait masalah yang menimpa lembaga kemahasiswaan selama ini.

Salam Redaksi Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk pembaca yang budiman, semoga selalu diberi rahmat oleh Allah Swt. Pada tabloid edisi XX bulan Juni ini, kami menyajikan beberapa berita tentang permasalahan kampus yang belum selesai dan berlarutlarut di tengah-tengah euforia Milad ke-55 UIN Jakarta. Beberapa kado spesial kami berikan untuk mengingatkan kembali persoalanpersoalan kampus yang cukup lama kita biarkan. Pada Headline dan Laporan Utama, kami memuat beberapa persoalan kampus yang menurut kami layak diangkat untuk dijadikan sentakan bagi para stakeholder kampus ini. Agar lebih mengupayakan pembenahan terhadap persoalan yang berlarut dan belum diselesaikan. Mulai dari Hilangnya Retorika Kampus, sampai Semrawutnya Perparkiran. Alasan kami mengangkat itu semua, tak lain adalah bentuk kritik kami kepada semua elemen yang bersangkutan agar lebih cepat menyelesaikannya. Dan di dalam Laporan Khusus, kami angkat mengenai SNMPTN yang diadakan UIN sebagai bentuk eksistensi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar lebih prestisius. Dengan begitu, kampus UIN menjadi lebih dianggap, tapi siapa yang tahu itu malah menyimpan sisi negatif. Untuk lebih lanjut, tinggal dibaca secara seksama. Kemudian di Laporan Khusus selanjutnya, dimuat hasil diskusi kami dengan organisasi ekstra tentang RUU PTN yang sebentar lagi diketuk palunya. Kami mencoba mengambil perspektif mahasiswa dalam memandang RUU PTN tersebut yang banyak orang bilang menyerupai RUU BHP. Diskusi ini merupakan terobosan baru dari kami, yang dimaksudkan untuk lebih menginginkan kampus ini aktif-produktif dalam mengkritisi kebijakan yang dirasa merugikan banyak orang. Akhir kata, tulisan kami tak berarti tanpa masukan dari para pembaca. Kritikan dalam bentuk apapun akan kami terima, karena hal itu bagi kami merupakan apresiasi terhadap karya jurnalistik. Dan tak lupa, kami ucapkan selamat menikmati sajian tabloid kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Ibnu Affan | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur Online: Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rahman | Redaktur Foto : Jaffry Prabu | Redaktur Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi | Ilustrator : Trisna Wulandari | Desain Grafis: Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar & Rahayu O | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina Dwi Fitriyani & Fajar I | Pemimpin Litbang: Abdul Charis | Riset: Egie FA & Aditya Putri | Pendidikan: Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumentasi: Aam Mariyamah.

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No.23 Th. 1984 Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Koordinatur Liputan: Muhammad Umar Reporter: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi, Editor: Oby, Umar, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Ibnu, Dika, Iswahyudi Ilustrator: Omen, Ulan. Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.


LAPORAN UTAMA

Edisi XX/Juni 2012

Mahasiswa: Gerakan Bak Gincu

3

Aprilia Hariani dan Aam Mariyamah Siapa yang tak mengenal benda penghias bibir, gincu atau biasa dikenal lipstik. Rupanya merah mengilat, terhirup wangi nan menghias belaka, kemudian sehelai tisu dengan mudah menghapusnya seketika. Begitu pun gerakan mahasiswa yang mengalami perumpamaan serupa, seperti penilaian aktivis kajian era 2005, Okky Tirto. Okky yang tercatat sebagai alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta 2011 menambahkan, mahasiswa mengalami degradasi kritisisme akibat egosentris yang tertanam dalam tiap-tiap organisasi. Meski gerakan mahasiswa tetap ada, namun roh perjuangannya terasa nihil. “Semua berjuang di belakang benderanya masing-masing, padahal sebenarnya kita semua memiliki tujuan satu, di bawah pemerintahan UIN. Tapi mereka seolah-olah nyaman akan hal itu,” tutur pria yang saat ini berprofesi sebagai pekerja budaya dan jurnalis. Sedikit menjamah sepenggal pendahuluan yang tercantum pada Garis Besar Haluan Organisasi Keluarga Besar Mahasiswa UIN Jakarta, Student Government (SG) hadir sebagai variabel institusional yang apabila dijalankan secara selaras akan mendorong mahasiswa menunaikan tanggung jawabnya sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control). Menanggapi hal tersebut, Okky menjelaskan, faktor utama dari fenomena gerakan mahasiswa yang tidak dapat mengontrol kebijakan rektorat dikarenakan sistem penerimaan masuk UIN Jakarta yang berbeda saat UIN masih bernama IAIN. “Saya menganalisis dari segi sosial budaya di UIN yang rata-rata mahasiswanya dari kalangan Sekolah Menengah Umum (SMU) karena kebanyakan dari mereka masuk melalui jalur SNMPTN, didukung pula dengan berdirinya fakultas-fakultas umum, sehingga

rata-rata mahasiswanya dari kelas sosial menengah ke atas yang fokus pada akademik,” ujarnya. Menurut ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (BEM FKIK) Muhammad Fahad, apatisme yang terjadi lantaran kesalahan kaderisasi organisasi internal kampus terhadap mahasiswa baru. “Kurangnya proses pendidikan kader berkelanjutan, mahasiswa baru kemudian dilepaskan begitu saja setelah propesa, tidak ada pendidikan seperti advokasi konflik, mengenal hak dan kewajiban sebagai mahasiswa secara mendalam. Ya pola pikir mereka jadi tidak terbangun untuk peduli akan permasalahan yang terjadi di kampus,” tutur mahasiswa semester enam ini. Lanjutnya, ia mengutarakan dampak dari putusnya kaderisasi juga meningkatkan paradigma yang terus mengejar akademik. “Sistem pula yang mengantarkan mahasiswa terjerumus ke dalam study oriented, jadi apatisme mahasiswa sekarang adalah sebuah kewajaran,” tambahnya.

Mencederai demokrasi

Sebuah modul berjudul Konsepsi Demokrasi, karangan Danniel Sparringa dan Ignas Kleden, memaparkan hambatan demokrasi transisi, lantaran ketidakpercayaan berujung apatisme disebabkan elit modern gagal membangun hubungan partisipatoris. Kembali pada tataran demokrasi internal kampus, Ke tua BEMFA Ekonomi dan Bisnis, Lukmanul Hakim mengatakan, demokrasi akan berjalan jika

RIZQI/INSTITUT

Salah satu contoh aksi yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta menolak komersialisasi pendidikan. Saat ini aktivis kajian era 2005 (Okky Tirto) menilai aksi-aksi mahasiswa mengalami degradasi gerakan.

antar elemen saling menguatkan dan menjalankan tugasnya. “Rektorat bisa dikatakan mencederai demokrasi yang sudah disepakati bersama, kebijakan mengalami ketimpangan. Pada akhirnya, konsep demokrasi berubah menjadi dari rektorat, untuk rektorat, dan oleh rektorat,” paparnya. Hal serupa diutarakan Ketua Bidang I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Herman Saputra, demokrasi kampus saat ini sudah dihantui oleh kontruksi pemikiran yang mengikis semangat demokrasi, hingga sikap kritis itu sebagai suatu yang membahayakan. “Wajar saja keadaan ini dapat dikatakan menjamur. Aktivis yang awalnya sangat idealis, ketika dibenturkan dengan sistem, akan menggugurkan idealisme-

nya itu,” katanya. Kemudian paparnya, kelemahan mahasiswa adalah tekanan (power pressure) yang dibuat rektorat, namun mahasiswa tidak dapat mengorganisir dirinya. Sehingga, itu yang menjadi senjata rektorat seakan menjajah melalui sistem. Sementara itu, Ketua Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Faris Bimantara menuturkan, pengambilan keputusan butuh komunikasi antara mahasiswa dan rektorat. “Rektorat tidak mewakili mahasiswa, seakan kita didoktrin akademis. Padahal, UKM khususnya juga dapat menjadi wadah belajar. Belajar tidak diartikan selalu di kelas,” ujarnya yang juga menjabat sebagai ketua UKM RIAK. Menanggapi fenomena di

atas, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, mahasiswa harus belajar dari pengalaman, mekanisme demokrasi itu berkembang di mana UIN harus menjadi lembaga besar. Menurutnya, hal itu dapat terwujud melalui jalur akademik, bukan politik. “Kecenderungan mahasiswa itu institusioanalis, ibaratnya yang penting saya punya lembaga atau organisasi. Mahasiswa boleh tidak suka dengan saya dan saya tidak terlalu terpengaruh. Terpenting, setiap kebijakan yang saya buat adalah untuk mewujudkan visi dan misi UIN dan mejadikan UIN lembaga yang besar dengan membangun subtansi kecerdasan,” jelasnya.

Berita Foto JAFFRY/INSTITUT

(Dari kiri ke kanan): Muhammad Assad, Dian Pelangi, Poppy Savitri saat konferensi pers seusai talkshow yang diadakan UIN Fashion Fair (UFF). Talkshow yang mengusung tema “Fashion, World, and Religion” bertempat di Pusat TIK Nasional, Kampus II, Jumat (1/6). kegiatan ini merupakan serangkaian acara yang digelar UFF menuju acara puncak Fashion Fair yang akan diadakan 15 September mendatang.

APRIL/INSTITUT

Sejumlah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) tengah sibuk menata hiasan tumpeng dalam perlombaan menghias tumpeng pada acara perayaan Milad ke-10 FEB, Senin (21/5). Acara ini diselenggarakan selama seminggu dan dipadati oleh beberapa rangkaian perlombaan, antara lain lomba debat, fotografi, futsal, dan menyanyi.


4

LAPORAN UTAMA

Edisi XX/Juni 2012

Kritikan Rektorat untuk Perbaikan UKM Aditya Putri dan Rahayu Oktaviani Rektorat menggangap kinerja yang belum optimal menjadi salah satu penyebab belum terlihatnya posisi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di tingkat universitas. Namun, pihak UKM menilai label itu belum pantas diberikan. Rektorat hanya melihat dari pandangannya sendiri dan tak mau mengenal keberadaan UKM lebih jauh. hasiswaannya. Sering berkeliaran dengan celana pendek di sekitar SC. Noto menambahkan, tak hanya keislaman yang menjadi patokan visi dan misi. Akademis dan kebangsaan juga harus diterapkan dalam setiap kegiatan. UIN tak hanya dimiliki orang yang beragama Islam, tapi juga milik bangsa. “Sayangnya, UKM tidak mengerti posisi ini. Akibatnya, semakin kecil kepercayaan masyarakat terhadap posisi UIN”. Ia menganggap belum adanya orientasi masa depan menjadi salah satu kendala belum optimalnya kinerja UKM. Untuk mengapai tujuan yang besar memang diperlukan waktu yang lama. “Meski masa jabatan tiap periode hanya setahun, namun planning jangka panjang harus tetap dipikirkan.” Pengurus hanya peduli pada masa jabatannya saja. Tak pernah menyusun strategi program kerja jangka panjang, misalnya program kerja untuk 15 tahun ke depan. “Sedangkan rancangan program setahun hanya berisi kumpulan kegiatan yang berulang.” Faris Bimantara, ketua UKM Komunits Musik Mahasiswa (KMM) RIAK sekaligus ketua Pelaksana tugas (Plt) Forum UKM tidak setuju dengan komentar Sudarnoto. Baginya, permasalahan utama yang dihadapi ketika membuat program kerja jangka panjang adalah pola pikir, pandangan, dan tujuan berbeda dari tiap pergantian masa kepengurusan. Ia mengatakan, sudut pandang yang kurang pas dari pihak rek-

DOKUMEN INSTITUT

Kegiatan buka puasa bersama yang dilakukan Forum UKM beserta anak-anak panti asuhan pada bulan Ramadhan tahun lalu di lapangan Student Center, (13/8/11). torat diakibatkan pemikiran yang melulu tentang akademik. Ketika ada penjustifikasian, harus melihat lebih dalam faktor-faktor yang mau dijustifikasi, dalam hal ini UKM. Saat disinggung UKM yang tak sesuai dengan visi dan misi UIN, vokalis Treble Tonic ini berani berpendapat, “Saya rasa rektorat sendiri belum bisa menjalankan visi dan misi UIN,” tandasnya. Pernyataan celana pendek tidak islami pun dibantahnya, “Emang status Islam dilihat dari pendeknya celana!” Selintas dengan Faris, Ucup menilai transparansi setiap kegiatan UKM kurang terkoordinasi dengan rektorat, padahal jika ter-

jalin komunikasi yang baik antara rektorat dengan UKM, semua pasti bisa diselesaikan dengan mudah, “Entah pihak rektorat kurang apresiasi atau gimana,” ungkapnya bingung. Ucup juga merasa UKM telah banyak memberikan kontribusi kepada UIN. Dengan adanya kegiatan di luar UIN secara tak langsung nama baik UIN ikut diusung, “Jadi salah besar kalau dibilang kinerja kita tidak optimal.” Sementara Kelompok Pecinta Alam (KPA) Arkadia melalui ketuanya, Muchsin Sapto Adi selalu berusaha memaksimalkan segala program kerja yang telah disusun bersama-sama. Tak hanya seminar dan diskusi yang mereka

Jadi salah besar kalau dibilang kinerja kita tidak optimal.

Belum optimalnya kinerja UKM, diperjelas dengan pernyataan bahwa fasilitas UKM tidak dipergunakan dengan semestinya, “Sekretariat itu kan kantor, bukan tempat untuk nginap!” ungkap Purek III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, Selasa (5/6). Pihaknya kecewa terhadap kondisi gedung Student Center (SC) yang dinilai jorok. Selain karena sampah yang berserakan, SC juga dipenuhi barang-barang yang tercecer sembarangan. Penggunaan air yang boros untuk keperluan mencuci dan mandi anggota UKM, memperkuat cap ‘SC jorok’ di mata rektorat. “Ujung-ujungnya beban listrik jadi meningkat,” tandasnya di depan para ketua UKM, Jumat (27/4). Yusuf Muarif, ketua UKM Teater Syahid memberi pledoi berbeda terkait kebersihan. Pada dasarnya ini berkenaan dengan kesadaran seluruh sivitas UIN, “Tapi karena kita satu gedung, UKM deh yang kena imbasnya,” ujar pria yang disapa Ucup. Selain itu, Sudarnoto juga menganggap kegiatan yang dilakukan UKM selama ini belum mendukung visi misi keislaman UIN selain akademis dan kebangsaan. “Sehingga jangan sampai ada UKM yang tidak mencerminkan sikap keislaman,” lanjutnya. Sesuai dengan nama kampus UIN yang bernuansa Islam maka perilaku, tutur kata, dan cara berpakaian pun dijadikan citra keislaman yang harus ditunjukkan ke khalayak. Dirinya heran melihat adanya mahasiswa UKM yang tak mencerminkan sikap kema-

coba berikan kepada mahasiswa, namun kegiatan luar seperti fun rafting dan jelajah budaya pun ditawarkan. “Kita kan berjalan karena adanya dana dari mahasiswa,” ujar pria yang sering disapa Gendon. Gendon yakin UKM tidak akan lupa pada kulitnya, yang menilai masalah keoptimalan bukan UKMnya sendiri, tapi mereka selalu mencoba berbenah diri. Faris pun percaya tiap-tiap UKM punya cara sendiri dalam memperbaiki kinerja. “Kami akan mengambil sisi positif dari kritikan rektorat untuk perbaikan,” ujarnya mawas diri.


LAPORAN UTAMA

Edisi XX/Juni 2012

5

Parkir Semrawut, Kesadaran Mahasiswa Dipertanyakan Makhruzi Rahman dan Ema Fitriyani kapkan, hal yang perlu dibenahi adalah pemanfaatan lahan kosong. Pihaknya juga sudah membuat portal agar memanfaatkan parkir atas dahulu. “Tapi masih saja ada yang bisa melewati portal, terus parkir di bawah,” ungkapnya. Di samping itu, menurut Sutrisno Sugiyono, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Imu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), di samping UIN Parking sebagai pengelola harus membereskan parkir yang belum rapi tersebut, kesadaran mahasiswa juga harus terbentuk. Hal serupa disampaikan Syifa Ainul Taqin, mahasiswa Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Antara mahasiswa dan petugas parkir harus ada kerjasama. “Mahasiswa Jangan me ngandalkan tukang parkir saja. Kalau kehilangan, tukang parkirnya yang disalahkan,” tuturnya. Rahmat menyatakan, tujuan dari parkir yang tertib adalah agar sivitas akademika dapat memarkirkan kendaraan dengan nyaman serta memudahkan akses untuk keluar masuk. “Kasihan yang perempuannya, kalo mau ngeluarin motor tapi di belakanganya ada motor lain kan susah,” ujarnya.

Bisakah dengan pembatasan?

Dalam kunjungan LPM INSTITUT ke Property management Uni-

DOKUMENTASI INSTITUT

Kondisi parkiran Student Center dipadati sepeda motor.

versitas Tarumanegara, Albertus Arifin mengatakan, lahan parkir harus disesuaikan dengan jumlah kendaraan yang masuk. “Jadi kebijakan di sini itu, motor didata kemudian diserahkan kepada pengelola parkir,” katanya. Dalam penerapannya, prosedur parkir di sana menurut Arifin yaitu dengan mendaftarkan kendaraan mahasiswa. “Yang boleh didaftarkan hanya dua kendaraan saja, untuk motor pertama misalnya, boleh dibawa pada hari Selasa, dan motor kedua dibawa pada hari Senin. Ketika motor pertama dibawa pada hari Senin maka akan dikenakan biaya lebih,” ungkapnya. Terkait pembatasan kendaraan, Rahmat mengungkapkan, “Bisa dengan shift-shiftan, berarti kerja sama dengan akademik untuk mendata mahasiswa yang membawa motor,” ucapnya. Namun menurutnya, pembatasan tersebut akan sulit dilakukan karena akan melanggar hak dan akan menjadi gejolak kemudian.

Akan tetapi, Sutrisno tidak setuju dengan diterapkannya pembatasan kendaraan. Menurutnya kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. “Apalagi yang rumahnya jauh,” katanya. Hal senada juga disampaikan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Leni Santri, “Soalnya kita butuh motor, ada yang dari jauh misalkan Serpong, terus kalau pagi juga butuh motor,” ungkapnya. Sementara itu, Somad menanggapi pembatasan kendaraan hal tersebut tidak bisa dipaksakan, “Kalau naik angkot pasti macet, dan lebih terlambat,” katanya. Malah ia menilai secara keseluruhan sistem transportasi yang sudah salah. Pemerintah mengeluarkan izin kendaraan bermotor secara terbuka dan dinas perhubungan belum membuat tranportasi massal yang baik, “Biaya juga masih mahal, maka yang paling murah bagi rakyat Indonesia adalah motor,” paparnya.

Mahasiswa Jangan mengandalkan tukang parkir saja. Kalau kehilangan, tukang parkirnya yang disalahkan

Jumlah motor terus bertambah tidak dibarengi dengan pembangunan gedung parkir sebab dana yang kurang memadai. Selain itu, penyebab semrawutnya parkir di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu kurangnya kesadaran mahasiswa. Terkait masalah itu, Rahmat Hidayat, koordinator lapangan UIN Parking mengatakan bahwa lahan parkir masih tersedia di parkir atas. Menurutnya, masih banyak mahasiswa yang sekedar fotokopi saja membawa motor kemudian parkir di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). ”Jadi parkirnya numpuk di situ,” tambahnya (8/6). Rahmat mengaku, pihak UIN Parking sudah mengarahkan ke parkir atas, namun mahasiswa seenaknya saja. “Untuk sementara ini, kita sedang mendorong petugas parkir dan satpam untuk menghimbau agar jangan parkir sampai 2 lapis. Nanti pada nggak bisa muter,” ujar rahmat. Menurut Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian, Abdul Somad, mengatakan, sekarang ini pihaknya mengupayakan jika parkir sudah penuh, maka satpam harus melarangnya. “Kita terus terang aja, kalau boleh, saya nangis,” katanya. Menurutnya pihaknya sudah berusaha melayani karyawan dan mahasiswa dengan baik. Selanjutnya, Somad, mengung-

Rahman/INSTITUT

Pengguna sepeda motor melanggar tanda larangan parkir di depan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (8/6).


6

WAWANCARA

Edisi XX/Juni 2012

SG Masih Relevan Jaffry Prabu Prakoso Dunia politik kampus merupakan representasi perpolitikan sebuah negara. Jika praktek dalam kampus baik, maka penerapan di negara pun akan baik. Lalu, bagaimanakah demokrasi politik di UIN Jakarta? Berikut petikan wawancara dengan pakar komunikasi UIN Jakarta Gun Gun Heryanto di ruangannya, Kamis (7/6).

JAFFRY/INSTITUT

Sistem demokrasi mahasiswa di UIN Jakarta seperti apa? Saya melihat demokratisasi di UIN itu dari sudut political performance, artinya penampilan politik demokrasinya sampai sekarang bagi saya lumayan bagus. Maksudnya dalam fase lebih bagus dibanding universitas lain di swasta. Mereka kelompok apolitisnya jauh lebih besar persentasenya. Kalau di UIN Jakarta pada saat pemilu raya misalnya, antusiasmenya masih ada. Itu artinya indikator masih ada concern.

Gun Gun Heryanto

Masih ada keinginan untuk kemudian berpartisipasi. Kalau political performance itu harus dilihat dari proses legitimasi. Misalnya, pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mulai dari universitas sampai ke fakultas apakah dipilihnya melalui legitimate atau tidak. Makanya konsep Student Goverment (SG) masih relevan di UIN Jakarta. Lalu, salah satu partisipasi politik kan media massa. Kalau kita taruh UIN Jakarta ini negara, kita perhatikan media massa masih bisa tumbuh subur. Saya mengajar di Paramadina dan gairah untuk membicarakan politik cenderung rendah. Kalau di UIN Jakarta, di fakultas apa saja, semangat politiknya tinggi. Apakah SG itu baik? Eksistensi SG sendiri untuk pembelajaran mahasiswa, kemudian nanti tahu persis prototipe negara. SG itu punya nilai plus. Plusnya adalah proses demokratisasi. Itu prototipe dari institusi negara. Mungkin yang perlu diperbaiki ada beberapa hal. Seperti ekspresi simbolik pada saat kampanye, sehingga kampanye menjadi lebih transformatif dan akademis. Contohnya saat pemilihan, jangan pasang poster atau baliho. Jadi, nggak usah lagi karena itu prototipe generasi kedua dalam komunikasi politik. Generasi ketiga itu sudah mulai pendekatan-pendekatan modern. Misalnya, melakukan pendekatan ke komunitas atu organisasi ter-

tentu di UIN Jakarta. Kemudian debat ilmiah. Kemarin yang menjadi pertimbangan untuk ditinjau ulang, karena ekspresi politik yang cenderung antagonistik. Salah satu dipicu karena konflik pemilu. Salah satu konflik pemilu karena konflik kampanye. Relasi antagonistiknya seperti konflik partai dengan partai di negara. Inilah yang mesti diperbaiki. Siapa yang mesti dipersalahkan dengan sistem SG yang mengacu dengan sistem perpolitikan di Indonesia? Harusnya ada reformulasi yang dimulai dari kampus. Karena kampus ini prototipe masyarakat akademik. Jadi bukan lagi pada baliho. Ini yang disebut dengan pendekatan public relation politic and sporadic. Itu ditandai dengan pendekatan yang spontan dan instan. Jadi dilakukan jauh-jauh hari kalau ingin menjadi ketua. Harus dibangun intelektual, organisasional, sehingga layak untuk berkompetisi. Setelah layak berkompetisi, lalu difasilitasi dengan dialog-dialog publik melalui debat-debat. Bagi saya, sistem SG itu baik, hanya saja diekspresi simboliknya itu yang harus ditata. Jangan sampai ekspresi simbolik itu melahirkan kekerasan. Menurut Anda, universitas mana yang memiliki sistem demokrasi yang baik? Sebenarnya prototipe di setiap universitas itu berbeda-beda.

Masing-masing universitas memiliki keunggulan tersendiri. Seperti di UI, memiliki desentralisasi kekuatan yang bagus di fakultasfakultas. Jadi, ada proses empowerment di BEM di berbagai fakultas. Secara keseluruhan BEM ini representasi dari masyarakat menengah (dari segi intelektual) terdidik. Kampus ini kan pemasok calon intelektual, profesional dan lain-lain ke depan, sehingga tradisi di negara jangan diikuti. Corak tradisional itu menurut saya ada tiga. Yaitu feodal, oligarkis, dan tradisional. Dan tradisi ini jangan sampai ada di mahasiswa. Apa bentuk komunikasi yang dilakukan mahasiswa dengan rektorat untuk mencapai demokrasi? Seharusnya ada proses memfasilitasi yang sejajar dan komunikasi produktif. Dengan arti, kita harus menghormati cara pandang rektorat bahwa konsep SG yang kemarin menimbulkan kegaduhan politik. Itu menimbulkan kegaduhan politik yang berakibat pada menurunnya atmosfer akademik. Bisa saja itu jadi bahan evaluasi bersama. Sebaiknya dimulai dengan tawaran tertulis dari masing-masing pihak dengan tukar menukar konsep, sehingga menimbulkan kesepahaman bersama. Dialog itu jangan mentah.

Survei

LK Tidak Puas dengan Kebijakan Rektorat Sistematika pemilu raya yang berubah menjadi nonpartai, sistem budgeting tanpa melalui kongres mahasiswa, dan penerapan jam malam merupakan sedikit dari sekian banyak kebijakan yang dibuat rektorat demi kepentingan mahasiswa, khususnya untuk Lembaga Kemahasiswaan (LK). Namun, kebijakan tersebut mendapat banyak pertentangan karena pembuatannya dirasa masih sepihak oleh rektorat dan tanpa melibatan mahasiswa dalam penyusunannya. Dalam survei yang dilakukan Litbang LPM INSTITUT, dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswa yang aktif di LK seperti BEM dan UKM tidak setuju terhadap hasil kebijakan. Total sebanyak 260 sampel diambil dari 26 LK yang terdiri dari sebelas BEM dari tiap fakultas

dan 15 UKM. Pada pertanyaan pertama tentang tingkat kepuasan mahasiswa terhadap hasil kebijakan rektorat sebesar 79% sampel menyatakan tidak puas, 8% puas, 12% mengaku tidak tahu, dan 1% memilih abstain. Sedangkan kebijakan mengenai budgeting menjadi pokok ketidak setujuan mahasiswa, sebanyak 35% responden menyatakan alokasi budgeting untuk LK menjadi timpang karena tidak adanya sistem kongres yang mengatur pelbagia budget. Kebijakan selanjutnya adalah sistem Student Goverment (SG) yang berubah menjadi Senat Mahasiswa mendapat penolakan sebesar 24%. Walaupun pemilu raya sudah dilaksanakan dan perwailan dari semua BEM fakultas maupun jurusan sudah terpilih, kebijakan

ini belum bisa diterima sepenuhnya oleh mahasiswa. Dan sebanyak 20% menentang jam malam sebagai kebijakan yang membatasi ruang waktu kreativitas. 17% responden berpendapat semua kebijakan tersebut memberatkan dan 4% memilih abstain. Kebijakan yang memberatkan itu semakin tidak adil karena dilakukan sepihak oleh rektorat, 67% mahasiswa merasa mereka belum dilibatkan dalam upaya pengambilan kebijakan. Sebaliknya, sekitar 8% mahasiswa merasa selama ini sudah dilibatkan. Dan 25% mengaku tidak tahu. Mereka yang menginginkan adanya musyawarah sebelum keputusan diturunkan berkisar 94% responden. Sedangkan hanya 3% responden yang berpikir tidak perlu diadakan musyawarah, sisanya

sekitar 3% tidak tahu. Setelah kebijakan diturunkan pun diharap tidak lepas tanggung jawab begitu saja, namun tetap ada pengevaluasian kebijakan, sebanyak 92% responden setuju terhadap pengevaluasian. Adapun jangka waktu dalam pengevaluasian juga menentukan tingkat keefektivitasan penerapan kebijakan. Sejumlah 44% mahasiswa setuju pengevaluasian ini dilakukan dalam periode satu semester,

34% dari mereka menghendaki setiap bulan dilakukan evaluasi, 9% selama tiga bulan, 12% selama satu tahun dan 1% menyatakan abstain. Alasan dinginkannya musyawarah bersama adalah sebagai kunci untuk menjaga komunikasi antara rektorat dengan mahasiswa, karena seyogyanya mahasiswa sebagai subjek yang menjalankan kebijakan lebih berperan aktif untuk memajukan almamater tercinta.

Metode Survei: Survei ini dilakukan Litbang INSTITUT pada tanggal 1-5 Juni 2012. Sebanyak 260 responden dari 26 lembaga kemahasiswaan yang terdiri dari 15 UKM dan 11 BEM dipilih secara acak dengan metode Convenience Sampling. Hasil survey ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh mahasiswa UIN Jakarta.

*Sumber: Litbang INSTITUT


LAPORAN KHUSUS

Edisi XX/Juni 2012

7

RUU PT dalam Kacamata Mahasiswa Ema Fitriyani Sejak dimunculkannya wacana Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) di paruh akhir 2011 lalu, berbagai pro dan kontra terus bergulir. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut menuai polemik. Kebijakan pemerintah dirasa seperti mencekik kehidupan pendidikan di Indonesia. Kegelisahan-kegelisahan terhadap RUU PT membuat banyak pihak jelas mengeluarkan pendapatnya tentang bagaimana seharusnya bersikap. Sudah barang tentu, para praktisi pendidikan baik yang pro maupun kontra berkicau lewat media cetak ataupun elektronik. Diskusi-diskusi dalam kampus pun banyak terlihat, di antaranya mahasiswa—yang peduli akan sistem dan iklim pendidikan di kampusnya. Salah satu diskusi yang membahas polemik RUU PT ini diprakarsai oleh UKM LPM INSTITUT bersama kawan-kawan organisasi, baik dalam atau luar kampus, pada Selasa (5/6) malam di kesekretariatan UKM FORSA yang dimoderatori oleh Aditia Purnomo dari Divisi Kajian LPM INSTITUT. Dalam diskusi terbatas tersebut, ada beberapa poin yang diangkat. Abdul Charis, Pimpinan Litbang LPM INSTITUT mengatakan, poin kritik yang utama RUU PT ini adalah liberalisasi dalam pendidikan. Sedianya, pasal 77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori , yakni otonom, semiotonom, dan otonom terbatas, bisa membuat universitas menjadi

ULAN/INSTITUT

Diskusi terbatas LPM INSTITUT dengan beberapa organ intra dan ekstra kampus membahas RUU PT dalam konteks UIN, Selasa (5/6). mandiri dalam memperoleh dan mengelola keuangan. “Liberalisasi berkaitan dengan modal asing,” tambah Charis. Baginya, pasal 77 akan menimbulkan diskriminasi karena menyalahi konstitusi. Menurut Umar Mukhtar, Redaktur Pelaksana LPM INSTITUT mengatakan, pemerintah hanya beralasan. Dana alokasi yang ada untuk pendidikan habis dipakai untuk belanja pegawai. “Okezone melansir 70% digunakan untuk itu (belanja pegawai),” ucapnya. Dipakainya dana pendidikan 20% untuk belanja pegawai, menurut K. Achdan Mubarok, perwakilan Lembaga Studi-Aksi

Demokrasi Indonesia (LS-ADI) yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Universitas (FKMU), menduga perguruan tinggi itu bukan lagi dibiayai APBN, tapi oleh usaha asing. “Terbukti dari diambilnya dana mahasiswa yang digunakan untuk membayar hutang dari pembangunan gedung kampus, misalnya pada Islamic Development Bank (IDB),” ujarnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapakan Dika Irawan, Pimpinan Umum LPM INSTITUT yang mengemukakan, kebijakan-kebijakan di Indonesia ada semacam “titipan” asing. “Karena kita sudah disetir, “ ungkapnya.

Achdan yang juga aktif dalam UKM Teater Syahid pun menanyakan ke mana peran pemerintah. Perempuan satu-satunya dalam diskusi ini, Suci Fitriah dari Komite Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK) mengatakan, intervensi pemerintah sangat dibutuhkan dalam soal pendidikan dan kebudayaan. RUU PT dianggap akan membuat pemerintah seolah-olah lepas tangan (dalam tanggung jawab). “Jika RUU PT disahkan, fokus PT akan pecah,” ujar M. Choirul Anam yang juga dari LS-ADI/FKMU. Akan tetapi, Sulaiman Rasyid, salah satu perwakilan UKM Lembaga Dakwah Kampus

(LDK) mengatakan, RUU PT justru membuat universitas mandiri. “Komersialisasi ini adalah jalan agar pemerintah fokus dalam pendidikan,” katanya. Diskusi semakin menarik ketika Sulaiman mengatakan keuangan UIN akan terbantu dengan adanya Badan Layanan Umum (BLU) sebagai salah satu sumber pendapatan UIN selain dari pemerintah dan SPP mahasiswa, mahasiswa seharusnya akan lebih sejahtera. Tetapi Charis punya pandangan lain. Lepas tangannya pemerintah dalam urusan pendidikan menurutnya akan membuat universitas yang mengalami kekurangan modal akan mendirikan ataupun mengembangkan usaha. Efek lain, universitas berpotensi menaikkan SPP mahasiswa. Pendidikan jadi mahal, “Dan akses sekolah jadi sulit bagi si miskin.” Jika dibenturkan dengan kondisi di UIN Jakarta, lebih jauh Charis berkata, badan usaha yang dimiliki UIN Jakarta saat ini, seperti di antarnya Rumah Sakit Syarif Hidayatullah, Madrasah Pembangunan, dan Syahida Inn bersifat komersil. “Secara halus rektorat menyebutnya nirlaba,” katanya. Diskusi yang ikuti sekitar 13 orang yang terdiri dari 5 organisasi dengan sebelumnya mengundang 20 organisasi. Kelima oragnisasi yang datang yakni: Komite Aksi Mahasiswa Jakarta (KAMJAK), LS-ADI, FKMU, UKM LDK, dan UKM LPM INSTITUT, berharap setiap kebijakan harus dikritisi dengan menggulirkan opini agar mahasiswa melek terhadap situasi yang ada.

Tetap Setuju, Walau Kuota SNMPTN Besar Muji Hastuti Sama seperti tahun sebelumnya, di tahun ini, UIN Jakarta membuka kuota jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) lebih besar dari jalur lainnya. Namun, apakah besarnya kuota pada jalur ini memiliki efek positif ? Dan akankah besarnya kuota mempengaruhi pemahaman Islam pada mahasiswa UIN Jakarta saat ini?. Menghadapi tahun ajaran baru, kampus-kampus sedang sibuk menyiapkan ujian seleksi untuk mencari calon mahasiswa yang terpilih. Tak terkecuali UIN Jakarta yang membuka jalur masuk mahasiswa baru melalui empat tahap. Di jalur SNMPTN UIN menyediakan kuota 60% , sedangkan sisanya sebesar 40%, diberikan untuk jalur Seleksi Perguruan Mahasiswa Bersama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (SPMBPTAIN), Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), dan Ujian Mandiri (UM). Pembantu Rektorat (Purek) II Bidang Akademik, Moh. Matsna menjelaskan, besarnya kuota pada jalur SNMPTN disebabkan karena adanya kerjasama yang bisa menguntungkan pihak UIN Jakarta. Keuntungan yang bisa diambil salah satunya, UIN Jakarta bisa bergabung dan setara dengan Per-

guruan Tingkat Negeri lain seperti positif. Ia mengatakan, bagus sekolah umum lalu masuk fakultas Universitas Indonesia (UI), Uni- tidaknya besar kuota SNMPTN agama, dengan pembinaan yang versitas Negeri Jakarta (UNJ), dan kembali kepada pembinaan UIN. baik mahasiswa tersebut mendauniversitas tinggi negeri lainnya. “Jika pembinaannya bagus, maka patkan peringkat pertama. WalauSelain itu, alasan yang me- akan menghasilkan akademis pun demikian ia tetap menyadari nyebabkan jalur SNMPTN lebih yang bagus, jika pembinaannya pendalaman ilmu agama antara besar dari jalur lain juga disebab- kurang bagus, maka akademisnya Sekolah Menengah Atas (SMA) kan karena adanya kebijakan pun akan kurang bagus,” katanya dan Madrasah Aliah (MA) tetap khusus masalah tes agama. Di sambil tersenyum, Rabu, (6/6). berbeda dari output yang dihasilmana masalah tersebut berupa Zainun mencontohkan maha- kan. tes bahsa arab yang cukup sulit, siswanya yang berlatar belakang Willy Oktaviano, Sekretaris Jusehingga pihak rusan Dirasat IsUIN mengamlamiah, mengabil kuota pada takan, awalnya jalur agama ia tidak setuju seperti SPMB dengan kuota PTAIN lebih SNMPTN lebih sedikit dibandbesar dari jalur ingkan dengan lain, namun kakuota pada jalur rena SNMPTN SNMPTN. cakupannya naMenangsional, akhirnya gapi besarnya ia pun setuju. kuota pada jalur Baginya, kuota SNMPTN yang SNMPTN lebih tidak sebandbesar tidak tering dengan jalur lalu berpengaruh lain, Dekan kepada prodi Fakultas Ushuagama, “Jalur luddin, Zainun SNMPTN kan Kamal menytidak hanya ambut baik siswa SMA karena dengan ULAN/INSTITUT saja yang bisa begitu UIN bisa Para calon mahasiswa sedang menggunakan komputer Akademik pusat mendaftar masuk, siswa diwarnai den- ujian jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri. lulusan MAN gan hal yang dan Pesantren

pun bisa mengikutinya,” ucapnya, Rabu, (6/6). Ia menambahkan, tidaklah benar jalur SNMPTN hanya memengaruhi banyaknya kuantitas fakultas umum. Bila diperhatikan fakultas agama dari masa IAIN sampai berganti UIN tidaklah berkurang. “Fakultas agama sekarang ini sudah bertambah, walaupun tidak sebanyak fakultas umum. Tapi intinya tetap bertambah,” imbuh Willy. Zainun tak hanya melihat pengaruh besarnya kuota SNMPTN, ia pun mengamati masalah pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa UIN Jakarta saat ini. Menurutnya, pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa, telah berkurang dan tak sama seperti dahulu. Hal itu terlihat dari kurikulum yang diberikan, berbeda dari tiap fakultas. Berbeda dengan Zainun, Matsna menjelaskan, pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa UIN Jakarta saat ini tidaklah jauh berbeda dengan mahasiswa UIN Jakarta yang dahulu. Walaupun saat ini UIN banyak diisi oleh mahasiswa lulusan SMA, ia menjamin pemahaman Islam yang dimiliki mahasiswa lulusan MA dan SMA tidak jauh berbeda.


8

KOLOM

Edisi XX/Juni 2012

Penegakan Kode Etik Mahasiswa Oleh Panjang Jiwa* Kampanye penegakan kode etik mahasiswa kini sedang gencar digalakan penguasa kampus, dalam hal ini rektorat di tingkat universitas dan dekanat di tingkatan fakultas. Sebenarya peraturan ini sudah lama diterapkan tapi hasilnya kerobohan. Maka saatnya sekarang untuk menegakannya. Kode etik mahasiswa tertulis di buku pedoman akademik. Maaf, saya sendiri tak hafal isinya, intinya membahas soal tata cara mulai dari berbusana sampai sikap mahasiwa di kampus, dan sanksi bagi yang melanggarnya. Kampanye ini terlihat dari banyaknya peringatan tentang berbusana yang rapi. Baik di kantor maupun di fakultas. Ketika saya masuk di fakultas pencetak calon guru, dengan jelas terpampang papan informasi tentang bagaimana berbuasana yang baik. Lengkap dengan contoh model seorang pria dan perempuan yang mengenakan busana yang sesuai dengan kode etik. Tak hanya itu, terdapat larangan berambut gondrong, memakai sandal jepit, dan merokok. Bahkan ada fakultas yang begitu tegas menegakan kode etik, tak segan-segan satpam dan dosen menggunting paksa rambut mahasiswanya yang gondrong, dan mengusir jika kedapatan merokok. Ada yang melawan tapi sedikit,

pada akhirnya tunduk. Mungkin ini dilakukan agar mahasiswa jera, tak main-main dengan pihak kampus. Ada pula beberapa fakultas yang kurang begitu menegakan kode etik. Membebaskan mahasiswanya berambut gondrong, memakai sandal jepit, celana sobek, dan merokok. Artinya melanggar kode etik mahasiswa. Inilah yang disukai mahasiswa, dengan jiwa mudanya mereka bebas mengekspresikan penampilannya. Penguasa kampus berpendapat, penerapan kode etik dilakukan agar terbiasa dengan kerapihan. Dengan kata lain mencerminkan sikap islami. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari penampilannya. Lalu, ketika nanti berada di tempat kerja yang menuntut rapi sudah terbiasa. Saya ingin mengklasifikasikan mahasiswa menjadi dua kubu, dengan cara pandang yang berbeda; pemberontak dan penurut. Mereka yang pemberontak diisi para aktivis, yang terkadang kritis. Umunya, tak sepakat dengan kebijakan tersebut, berani tidak mengindahkan himbauan tentang kode etik, dengan terus mempertahankan gayanya. Pernah seorang teman berkata “Yang kuliah itu otak bukan pakaian atau rambut gondrong, lihat saja Einstein ram-

butnya acak-acakan. Adakah pengaruh rambut gondrong itu terhadap kejeniusan otak?”. Sedangkan bagi si penurut, mengikuti kampanye penegakan kode etik mahasiswa. Mereka nyaman dengan kerapihannya. Toh mereka menurut saja dengan peraturan yang ada untuk berada di zona aman. Jika disuruh untuk berpakaian rapi, memakai kemeja dengan celana bahan, rambut pendek, jangan memkai sandal jepit, jawabnya, “Iya pak”. Esok harinya tak ada masalah mereka menuruti perintah. Sebab tugas mereka hanyalah kuliah, menghindari segala persoalan yang dianggap mengganggu kuliahnya. Di balik kampanye penegakan kode etik muncul pesan yang ingin disampaikan penguasa kampus. Pertama, penguasa terutama rektorat dan dekanat ingin ‘menjinakan’ mahasiswanya. Pasalnya, jejak rekam menunjukan, rektorat dan kolega selalu mengalah dengan mahasiswa, seperti dalam sistem Student Government (SG) yang berperan dominan adalah mahasiswa. Kemudian, tak jarang menuruti kehendak mahasiswa yang melakukan aksi. Tapi untuk SG sudah diatasi dengan terbentuknya Senat Mahasiswa. Selanjutnya, bidikannya lebih adalah kode etik mahasiswa.

Nah, kode etik mahasiswa sendiri menyangkut tata cara mahasiswa ketika berada di kampus. Di mana isi dari peraturan ini menurut saya, dibuat sepenuhnya oleh rektorat dengan cara pandanganya sendiri tanpa menyertakan mahasiswa sebagai pengguna dari kebijakan ini. Artinya, jika penegakan kode etik berhasil dilakukan, maka sukseslah rektorat menyetir mahasiswa. Kedua, adanya usaha rektorat sebagai sentral kekuasaan untuk menyeragamkan mahasiswa. Seluruh fakultas diharuskan mengikuti kebijakan ini. Cara penyergaman ini serupa tradisi militer, yang serba menyergamkan sesuatu, dengan alasan disiplin taat dengan peraturan atasan. Soeharto di masa Orde Baru, menggunakan metode penyeragaman ala militer ini, dalam mengendalikan kekuasannya. Semua pihak harus mengikuti, dan mendukung apa yang keluar dari pusat. Jika ada yang tak sesuai dengan program pembangunan, dianggap sebagai musuh yang harus dibasmi. Pinta penguasa kampus, semua elemen yang ada di kampus harus mendukung visi dan misi keislaman UIN. Salah satunya penegakan kode etik mahasiswa, agar berpakaian dan berperilaku islami sehingga citra baik yang dimun-

culkan dari kampus ini. Andaikan ada mahasiswa yang melanggar kode etik maka dikegorikan tak islami, maka harus segera ditindak. Demi terciptanya iklim kampus yang kondusif, nyaman, dan tenram. Tanpa adanya grasak-grusuk dari mahasiswa. Semestinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan terutama yang terkait langsung dengan mahasiswa, elegannya didiskusikan bersama. Memang susah menjembatani orang tua dengan anak muda. Orang tua bersikukuh dengan pengalamannya, dan ingin dihormati. Sedangkan yang muda, dengan jiwanya yang berapi-api tak ingin dirinya dikuasai, sebab ia ingin mencari jati dirinya sendiri tanpa perlu dibimbing. Jika yang terjadi pemaksaan persepsi, itu pun kurang baik. Sebab di alam kampus permasalahan biasa diselesaikan dengan diskusi, tanpa memunculkan siapa pemenang. Tapi semua pihak merasa puas tanpa ada yang dirugikan. Termasuk dalam menyuruh berpakaian rapi, perlu dijelaskan kenapa haru seperti itu, tentunya dengan penjelasan yang logis. * Pegiat sejarah dan bahasa di UIN Jakarta

Hak Jawab Nota Keberatan Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca laporan Tabloid Institut edisi XIX/Mei 2012 secara seksama tertera di halaman 2 dengan judul “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” kami sampaikan bahwa: Pertama, Saudara telah tidak menyampaikan berita yang sebenarnya akan tetapi lebih cenderung memberikan tafsir yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi pengembangan UIN dan justru menimbulkan image negatif di kalangan pembaca dan masyarakat. Judul yang saudara buat “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” dan kalimat pertama “… Ati karep tenaga cupet” adalah contoh yang sangat jelas bahwa saudara telah dengan sekehendak hati menghukumi secara negatif terhadap Ma’had. Kedua, Kutipan ungkapan saudara Ardhy yang tertulis “… Jadi kita bebas saja mau pulang jam 2 pagi juga,” juga ungkapan yang tidak terhormat karena telah mengesankan bahwa Ma’had UIN Jakarta tidak diurus dengan serius. Begitu juga ungkapan saudara Ardhy yang saudara kutip “…program pembinaan yang belum jelas tujuannya” juga tidak berdasar. Ketiga, Dengan menggunakan ungkapan sdr Ardhy, saudara sekali lagi, telah memperburuk citra Ma’had. Saudara tidak berhasil menangkap makna dan spirit program pembinaan yang dilakukan UIN Jakarta antara lain karena cenderung menafsirkan ketimbang menggali secara akurat dan jujur info pengembangan mahasiswa di Ma’had melalui

berbagai sumber (antara lain dokumen resmi yang tidak saudara pelajari). Di samping itu saudara tidak menangkap dengan baik isi wawancara dengan saya. Sehubung dengan itu, kami tegaskan kepada saudara: Pertama, Kami sangat keberatan terhadap laporan saudara yang tendensius Kedua, kami minta saudara meralat itu semua. Saudara semestinya memilih dan memanfaatkan sumber secara “adil” dan “jujur” Ketiga, Kami minta LPM INSTITUT ke depan mengembangkan pers yang mendidik dan yang benar-benar memahami/mengerti Visi dan Misi UIN. Demikian surat ini kami sampaikan semoga saudara bisa menerima kritik dan permintaan kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim. Jawaban Assalamualaikum Wr.Wb Setelah membaca Nota Keberatan No. Un.01/R/ HM.00.6/961/2012 yang diberikan kepada Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT dan Pemimpin Redaksi Tabloid INSTITUT secara seksama, kami sampaikan bahwa: Pertama, dalam prosedur kami, tidak diperkenankan sedikitpun memberikan tafsiran dalam menuliskan laporan. Jika memang laporan kami menurut bapak “…memberikan tafsiran yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi pengembangan

UIN justru menimbulkan imej negatif di kalangan pembaca dan masyarakat”, kami minta maaf. Sedangkan judul “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” dan kalimat pertama “...Ati karep tenaga cupet” sebenarnya bisa kami ganti dengan kalimat lain seandainya memang menurut bapak “...sekehendak hati menghukumi secara negatif terhadap Ma’had”. Akan tetapi, kami merasa bahwa prosedur kami sudah sesuai dengan metode jurnalistik, di mana kami mewawancarai semua narasumber yang bersangkutan atau dalam istilah jurnalistik cover bothside. Salah satunya, kami juga menulis komentar bapak “Karena ini bukan sulapan, jadi jangan komplain”, yang mengindikasikan agar pembaca tidak melihatnya semata-mata negatif tentang Ma’had UIN, tapi semuanya masih melalui proses. Kedua, komentar saudara Ardhy “...Jadi kita bebas saja mau pulang jam 2 pagi juga,” yang menurut bapak “ungkapan yang tidak terhormat karena mengesankan bahwa Ma’had UIN Jakarta tidak diurus dengan serius”, adalah sebuah bentuk nyata di lapangan bagaimana kondisi Ma’had UIN, paling tidak ini adalah bentuk upaya kami untuk “jujur” dalam menuliskan laporan, tidak ada yang disembunyikan. Begitu pun ungkapan saudara Ardhy “... program pembinaan yang belum jelas tujuannya” yang menurut bapak “tidak mendasar”, adalah kejadian yang ada di lapangan yang sangat tidak bisa kami tutupi. Ketiga, dengan ungkapan saudara Ardhy justru kami mencoba menggali informasi secara

akurat, pertimbangannya karena saudara Ardhy adalah salah satu santri Ma’had UIN Jakarta yang merasakan dengan seluruh indranya tentang program pembinaan yang dilakukan UIN Jakarta. Dan tentang “menggali secara akurat dan jujur info pengembangan mahasiswa di Ma’had melalui berbagai sumber (antara lain dokumen resmi yang tidak saudara pelajari)”, kami merasa sudah mewawancarai semua narasumber terkait. Jika memang dokumen resmi yang tidak kami pelajari membuat laporannya terasa “tidak berhasil menangkap makna spirit program pembinaan Ma’had UIN Jakarta antara lain karena cenderung menafsirkan ketimbang menggali secara akurat....”, kami minta maaf. Karena memang, seandainya narasumber terkait memberikan dokumen resmi tentang Ma’had UIN Jakarta, barangkali kami dapat memelajarinya dan meminimalisir “imej negatif di kalangan pembaca dan masyarakat”. Sehubung dengan itu, kami bermaksud kepada bapak: Pertama, Berterima kasih dan minta maaf jika memang Bapak “...keberatan terhadap laporan saudara (kami) yang tendensius”. Kami menganggapnya sebagai sebuah apresiasi terhadap karya jurnalistik. Laporan tersebut menurut kami adalah sebuah upaya untuk mempublikasikan apapun terkait UIN Jakarta secara apa adanya kepada sivitas akademika, karena mereka harus tahu apa saja yang perlu dibenahi di kampus tercinta ini, demi mewujudkan visi/misi UIN Jakarta. Kedua, Untuk “meralat itu se-

mua”, kami akan mempublikasikan surat Nota Keberatan bapak terhadap khalayak ramai beserta Jawaban Nota Keberatan kami, agar para pembaca tahu di mana letak kesalahan kami di dalam menuliskan laporan “Pembinaan Ma’had UIN Tidak Jelas” yang sudah dipublikasikan di Tabloid INSTITUT Edisi XIX/Mei 2012. Dan tentang “…semestinya memilih dan memanfaatkan sumber secara “adil” dan “jujur”, kami sebenarnya sudah berupaya memilih dan memanfaatkan sumber di antaranya mewawancarai HD Hidayat Pimpinan Asrama (Kyai Ma’had), Ardhy Dinata Sitepu Mahasantri di Ma’had UIN Jakarta, dan Sudarnoto Abd Hakim Purek Kemahasiswaan, serta sebagai perbandingan Isroqunnajah Direktur Ma’had UIN Malang. Dari itu semua, kami bermaksud menyampaikan laporan apa adanya. Ketiga, Permintaan “... LPM INSTITUT ke depan mengembangkan pers yang mendidik dan yang benar memahami/mengerti visi dan misi UIN” tentu akan kami pegang sebagai bahan evaluasi kami. Sekali lagi kami berterima kasih atas masukan bapak. Demikian surat ini kami sampaikan semoga Bapak dapat mengerti maksud kami dan dapat pula menerima kritikan yang ada di dalam laporan kami sebagai masukan untuk membangun bersama UIN Jakarta ini. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarifhidayatullah Jakarta


OPINI

Edisi XX/Juni 2012

Mengidentifikasi Negara Gagal

9

Oleh Shodiq Adi Winarko*

M

elihat fenomena pada 10 dekade terakhir di Indonesia, layak jika kita memosisikan Indonesia dalam daftar negara gagal. Walau tidak seburuk Afrika dengan kasus kemiskinannya, tetap saja Indonesia memiliki banyak cacat. Arbi Sanit membagi ciri negara gagal menjadi dua. Kegagalan secara fungsional, dan eksistensial. Secara fungsional, Indonesia telah mengalami banyak fashil. Hal itu dapat ditengarai dari ketidaksanggupan pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan. Banyaknya bencana alam di Indonesia menjadi faktor penentu kelengahan pemerintah menjalankan wewenangnya. Mulai dari bencana tsunami di Aceh. Agaknya pemerintah kewalahan untuk memberikan bantuan karena banyaknya korban dan kerugian finansial yang diderita. Belum lagi meletusnya gunung berapi di kota Magelang yang merenggut ratusan nyawa. Atau pun malapetaka lumpur Lapindo yang hingga kini para korbannya belum juga mendapatkan bantuan hidup secara penuh. Mereka terpaksa bermukim di lokasi kumuh, disebabkan rumah tinggal mereka terendam lumpur panas. Belum selesai dengan berbagai permasalahan di atas, akhir-akhir ini pemerintah disibukkan kembali dengan jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Dengan adanya kecelakaan tersebut, pemerintah dituntut untuk mampu memberikan bantuan terhadap para korban. Di sisi lain, ternyata pemerintah

juga kewalahan menghadapi konstelasi politik di negerinya sendiri, Indonesia. Kolotnya partai-partai politik mengharuskan pemerintah untuk selalu bersikap tegas, berbelok haluan dengan sikapnya sekarang yang kerap defensif. Sejak mencuatnya kasus BBM misalnya, beberapa partai yang secara kontitusional masih termasuk barisan koalisi pemerintah, justru membelot dari kebijakan pemerintah. Belum lagi model partaipartai catch-all yang kerap mencari peluang untuk menduduki kursi yang masih tersisa. Sungguh posisi pemerintah yang dilematis. Di satu sisi, pemerintah tetap harus menjaga elektabilitas partainya, mengingat jabatannya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Biru. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus bisa memobilisasi aspirasi-aspirasi koalisinya, sebagai konsekuensi mengikuti sistem politik multi-partai. Selain itu, jika ditilik dari segi eksistensial, agaknya pemerintah belum maksimal menjalankan peran dan fungsinya. Pemerintah belum mampu menampilkan otoritas dan legitimasi kekuasaannya di hadapan berbagai kekuatan ‘gelap’ seperti jaringan penyelundupan (barang, manusia), perjudian, penjualan manusia, pelacuran, pencurian kayu dan hasil laut, korupsi, hingga terorisme. Termasuk kasus Gayus, terdakwa kasus korupsi pajak. Status terdakwa itu ternyata belum juga bisa membuatnya jera, bahkan dirinya masih bisa bebas melakukan pariwisata hingga Kota Bali. Atau pun para tahanan kasus koruptor

lainnya yang mendapatkan fasilitas apik di hotel penjara suci. Bahkan, di intra-parlemen sendiri, masih banyak aktor-aktor demokrasi elit yang menjadi penggerak tindak ketidakadilan. Namun, pemerintah masih saja bersikap defensif karena terjebak oleh sistem koalisi partai, atau bahkan tetap berkutat dalam tatanan pencitraan yang berkelanjutan. L a n tas, bagaimana jalan alternatifnya? Solusi awal Cikal bakal dari kegagalan sebuah negara dapat ditemukan pada titik partainya. Partai seperti penjelasan Mark Hagopian adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan atau kebijakan pemerintah. Sehingga pantas jika dikatakan baik buruknya pemimpin juga

dipengaruhi oleh partai asalnya. Sebab, partai juga merupakan Kawah Condrodimuka segenap kader-kadernya. Ideologi partai juga sangat memengaruhi eksistensi seseorang dalam mengemban amanah rakyat. Terlebih, basis semua ideologi partai meminjam penuturan Ichlasul Amal, Sosiolog UGM, adalah usaha memperoleh kekuasaan. Sayangnya, pendidikan dan kaderisasi partai di Indonesia belum berjalan maksimal. Faktanya, para kandidat partai hanya dipilih berdasarkan banyaknya nominal uang yang ia miliki, bukan kapabilitas dan integritasnya. Padahal, seorang kaya belum tentu mampu mengemban amanat rakyatnya secara teguh, tanpa kualitas diri yang mumpuni. Alih-alih ingin menegakkan keadilan, ia justru menjadi aktor perusak keadilan itu sendiri. Arbi Sanit menjelaskan bahwa politisi partai itu mudah terjebak oleh manipulasi politik secara vulgar, kebohongan politik, penyalahgunaan kekuasaan, argumen dangkal, menyesatkan, dan disakuntabel. Jika hal ini terus diberdayakan, sampai kapan Republik ini akan terus dicap sebagai negara gagal? Padahal, dengan adanya pendi-dikan politik, warga sipil justru akan lebih menyadari adanya konstelasi politik yang sedang berlangsung. Lambat laun mereka pun akan menyadari peran dan fungsinya sebagai pengontrol, check and balance. Model masyarakat seperti itulah yang berpotensi menjadikan bangsa ini

Bang Peka...

adil dan beradab. Selain itu, dengan adanya pendidikan politik dan kaderisasi partai yang sempurna, solidaritas rakyat juga akan mudah terbentuk. Sebab, mereka telah menyadari peran dan fungsinya masing-masing. Namun, tidak mudah rasanya untuk menciptakan masyarakat politisi. Sebab kenyataannya, masyarakat Indonesia sangat apolitis. Mereka bahkan enggan untuk ikut terjun dalam dunia politik, karena asumsi awal yang mereka miliki, bahwa politik adalah kejahatan. Padahal, seyogyanya politik adalah kebaikan. Sebuah jalan untuk mendapatkan kekuasaan dengan baik. Berbeda dengan kelompok kepentingan dan penekan yang lebih memilih cara persuasi dan propaganda dalam usahanya untuk berkuasa. Ini menjadi PR kita bersama untuk memperjuangkan masyarakat yang politisi, sekaligus membina parpol yang sadar akan pendidikan politik dan kaderisasi. Dengan begitu Indonesia dapat keluar dari zona keterpurukan. Karena pada dasarnya, Indonesia yang namanya pernah berjaya di tengah negara-negara anggota PBB kala Soekarno, sangat berpotensi menjadi negara impian semua orang. Tinggal bagaimana aplikasinya di lapangan. *Penulis adalah Mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Redaksi LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno, dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: lpm.institut@yahoo.com Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085718363281. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

Surat Pembaca Bentuk Komersialisasi Pendidikan Pertama kali datang ke Jakarta, saya heran dengan konsep “serba membayar parkir”. Masuk toko bayar parkir, masuk kantor bayar parkir, mampir ke ATM juga kena parkir. Taksi masuk hanya untuk drop off penumpang sekalipun tetap harus bayar parkir. Pendek kata, setiap melewati portal sebuah bangunan, harus bayar uang parkir. Lalu, bagaimana dengan kampus kita?

Ternyata, kampus UIN juga sama. Sekali masuk bayar gopek (Rp500) .Itu untuk motor. Kalau mobil harganya seceng (Rp1000). Memang sih, uang segitu tidak terlihat mahal untuk orang-orang yang berduit, tapi untuk yang tak berpunya, cepek pun berharga. Mungkin semua ini karena perusahaan-perusahaan parkir yang bermodal portal saja. Dan tidak hanya itu, “Ideologi parkir” juga ideologinya pemilik lahan. Hasil uang parkir dipakai untuk operasional dan keuntungan perusahan, lalu selebihnya untuk pemilik area parkir tersebut. Kabar buruknya, kewajiban bayar parkir nyatanya hanya diperuntukkan untuk mahasiswa dan tamu. Pejabat kampus tidak diharuskan bayar parkir. Pegawai, dosen, dan pengelola parkir juga tidak. Sekali

lagi, hanya mahasiswa yang harus bayar parkir. Mungkin, curhat soal parkir ini bukan tentang angkanya, tapi filosofinya. Jika komersialisasi pendidikan diterapkan di kampus, apa kata para founding father bangsa ini. Jika semua kalangan, termasuk kalangan pendidikan sudah mengkomersialkan sesuatu yang mestinya menjadi bagian dari pelayanan, pasti ada yang sudah bergeser dari cara pandang kita sebagai makhluk ekonomi. Cara pandang seperti ini menggejala hampir di semua lapisan masyarakat dan segala sendi kehidupan. Cara pandang “kalau bisa mendatangkan duit, kenapa harus gratis” membuat kita tak lagi menghargai nilai-nilai pelayanan kepada masyarakat.

Padahal, tidak semua mahasiswa UIN dari keluarga mampu, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan atau miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang membiayai kuliahnya sendiri. Dengan keluarnya berbagai kebijakan yang memberatkan mahasiswa, menunjukan bahwa pihak Rektorat menutup mata terhadap kondisi obyektif mahasiswanya. Mereka hanya menuntut mahasiswa untuk membayar biaya kuliah yang semakin besar, tetapi melalaikan kewajibannya terhadap mahasiswa. Bagaimana seharusnya sikap mahasiswa dan pihak kampus tentang semua ini. (Khotman Achdan Mubarok)


10 KAMPUSIANA

Edisi XX/Juni 2012

Mengenal Prancis dalam “Un Jour En France” Trisna Wulandari UIN Jakarta, INSTITUT- Menyambut kan guru-guru profesional dari Indonesia pembukan cabang Institute Francais-In- dan Prancis. Menurut David, mengingat program donesia (IFI) baru di Pusat Bahasa UIN Jakarta, IFI menggelar acara bertajuk S1 di perguruan tinggi Prancis umumUn Jour En France (Sehari di Prancis) nya mensyaratkan mahasiswanya untuk di Auditorium Harun Nasution, Rabu memiliki sertifikat internasional bahasa (30/5). Acara yang juga dihadiri Bertrand Prancis DELF B2 (Diplome d’Etudes en Lortholary, Duta Besar Prancis untuk In- Langue de Francaise), kelas kursus IFI donesia ini dibuka dengan penandatanga- akan mempermudah persiapan mahanan nota kesepakatan antara IFI dan UIN siswa untuk mengikuti program pertuJakarta terkait kerja sama dalam bidang karan mahasiswa dan dosen ke Prancis yang akan segera dilaksanakan. pendidikan, ilmiah, dan budaya. Malamnya, acara Un Jour En France Rangkaian acara dilanjutkan dengan presentasi mengenai studi di Prancis oleh ditutup dengan pertunjukan music jazz Campus France dan para alumninya di- oleh Trio Cedric Hanriot. Konser bertema sertai kelas pengenalan bahasa Prancis. French Stories ini diisi oleh Cedric HanriSelain itu, disediakan pula konsultasi in- ot (piano, programming, laptop), Bertrand dividual oleh para agen Campus France. Beruard (bass), dan Jean Baptiste Pinet Dalam presentasi tersebut dijelaskan, ma- (drum) yang berasal dari Prancis. Cedric mengaku bersemangat datang ke hasiswa yang belajar di universitas-universitas Prancis sudah diprogramkan untuk Indonesia lagi setelah dua turnya di Yoglulus dalam 3 tahun untuk program Strata yakarta, Ambon, Surabaya, dan Jakarta 1 (S1 atau License di Prancis) dan 2 tahun pada 2011 lalu. Baginya, menyenangkan sekali bisa melihat para penonton di UIN untuk program S2. Selain itu, mahasiswa Indonesia yang Jakarta yang terbuka pada genre musik belajar di Prancis tak perlu takut ke- baru, khususnya jenis musik yang mereka habisan uang, karena mahasiswa dari usung. “Prancis-Indonesia merupakan luar Prancis dikantongi izin untuk bekerja perjalanan yang jauh, namun semuanya paruh waktu. Toko-toko di sana juga ba- terasa mengasyikkan,” ujarnya. Titi Hardianti, salah satu peserta Un nyak menyediakan potongan harga 10-40 % bahkan gratis, bagi yang mengantongi Jour en France dari Jurusan Bimbingan kartu mahasiswa Prancis. Perihal isu pela- dan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas rangan pengenaan jilbab bagi muslimah, Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi agen Campus France menjelaskan, pera- (FIDIKOM) mengaku puas terhadap turan tersebut hanya berlaku bagi yang rangkaian acara yang digelar dari pukul sebelas siang tersebut. Menurutnya, acara berumur 18 tahun ke bawah. Thalita Fauziah Khairunisa, salah satu ini mengemas budaya Prancis dengan mealumni Campus France dari Indonesia narik, terutama karena menghadirkan trio menjelaskan, pengajuan beasiswa ke jazz yang sudah ia tunggu-tunggu. “Gue nikmatin banget suguhan musikPrancis tak sulit dilakukan. Langkah yang perlu dilakukan calon penerima beasiswa nya. Meskipun sempat terpisah dari tehanya menyiapkan lamaran beasiswa lalu man pas mau nonton (pertunjukan musik mengajukannya ke universitas. Selan- jazz), yang penting gue bisa dengerin trio jutnya, pihak universitas akan mengurus ini,” ujarnya senang. pengajuan tersebut untuk dapat diterima di tahun berikutnya. Di sela pengenalan studi, agen IFI juga mengadakan pemutaran dan diskusi film Prancis Les femmes du 6eme etage (The Women on 6th Floor). Tak hanya itu, perhelatan IFI ini juga mendemonstrasikan kuliner ala Prancis di depan auditorium. Direktur IFI Jakarta, David Tursz berpendapat, hadirnya IFI di UIN Jakarta NIDA/INSTITUT akan membantu para mahasiswa untuk mengenal budaya Prancis lebih jauh. Penandatanganan MoU kerjasama oleh pihak Selain itu, IFI juga menyediakan kursus UIN Jakarta dan Institute Francais-Indonesia, bahasa Prancis berbayar yang mendatang- (30/5).

Integrasi Keilmuan UIN, No Questions! Rahmat Kamaruddin UIN Jakarta, INSTITUT- Pada seminar “Pesantren Studies vs Islamic Studies: Mempertanyakan Kembali Integrasi Keilmuan di UIN” yang berlangsung di Aula Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Lantai II, Sudarnoto Abdul Hakim, Purek III Bidang Akademik, dalam sambutannya mengatakan, saat ini UIN masih dalam tahap penyandingan ilmu, belum pada tahap integrasi keilmuan, Kamis (7/6). Menurutnya, proyek integrasi keilmuan di UIN bukan hal mudah. Dibutuhkan proses dan waktu yang lama. Namun, UIN, katanya, saat ini tetap berkomitmen menghilangkan dikotomi ilmu. “Belum integrasi! Masih perlu perjalanan panjang. Jadi, kalau dipertanyakan (integrasi keilmuan), ya, no questions,” katanya. Dalam sambutannya pula, Abuddin Nata, Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, mengatakan latar belakang konversi IAIN ke UIN adalah paradigma Studi Islam. Pendalaman Studi Islam tersebut perlu agar Islam dapat masuk ke ‘bumi’. “Studi Islam adalah bagaimana Islam bisa masuk dan tidak ekslusif,” katanya. Studi Islam, menurutnya, merupakan sebuah paradigma baru yang melihat Islam sebagai sebuah kajian yang memiliki interdependensi dengan bidang-bidang kajian sains, ilmu sosial, antropologi, serta responsif terhadap isu-isu kontemporer. Ia mengatakan salah satu alasan kenapa terjadi konversi guna merespon pergeseran paradigma madrasah aliah yang semula adalah sekolah agama, kini bergeser menjadi sekolah umum berciri Islam. “Ciri mahasiswa IAIN itu harus bisa baca kitab. Kalau nggak dikonversi, sudah nggak ada lagi mahasiswa di UIN ini,” katanya. Tampil sebagai pembicara pertama, Fuad Jabali, pengajar program pascasarjana UIN, mengatakan konsep Integrasi Keilmuan, berdasarkan sudut pandang historis, kurang tepat. Seharusnya menggunakan istilah Reintegrasi Keilmuan. Karena, menurutnya, konsep Integrasi Keilmuan sudah pernah ada di jaman keemasan Islam di abad pertengahan. Agar maju, menurut Fuad, umat Islam harus mempelajari ilmu dari Barat. “Dulu,” katanya, “Barat banyak belajar dari Timur. Oleh karena itu, kalau kita menolak peradaban Barat, itu berarti menolak sebagian peradaban Islam, karena apa yang ada di Barat itu adalah dulu punya Islam,” tandasnya. Ia menghimbau umat Islam meruntuhkan mitos integrasi keilmuan yang seringkali diasosiasikan berdasarkan tinjauan demografis kepada wilayah Timur Tengah. Padahal, menurutnya, asosiasi Islam dengan TimurTengah itu hanya sebentar. ”Pusat peradaban Islam berpindah-pindah tidak hanya dengan di Timur-Tengah,” katanya. “Kita harus ber-

ABDUL JALIL/KALACITRA

Ahmad Baso (tengah), Intelektual NU mengemukakan, UIN Jakarta harus mengkaji literatur klasik keilmuan nusantara pada seminar Integrasi Keilmuan di Aula Fakultas Dirasat Islamiyah, Kamis (7/6).

sikap seperti umat Islam jaman dulu yang tidak takut dengan dengan peradaban apapun.” Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta, Mulyadi Kartanegara, dalam presentasinya mengatakan integrasi keilmuan harus menyinergikan potensi indera, akal dan hati dalam mempelajari segala yang ada di alam semesta ini sebagai ayat Allah. Menurutnya, tidak ada dikotomi dalam ilmu, seperti yang dilakukan oleh Barat yang bercorak eksperimental-empiris. “Integrasi bukan melebur, integrasi berhadapan dengan persoalan dikotomi,” katanya. Menurutnya, UIN perlu mengadakan curriculum reform dengan memperbanyak referensi dari Islam jangan hanya dari Barat, mengadakan proyek karya-karya ilmiah dan membuat pengantar buku-buku pengantar Islam. “Kalau tidak, wacana integrasi keilmuan itu , ya, hanya wacana saja,” katanya. Pembicara terakhir, Ahmad Baso, Intelektual NU, berpendapat pentingnya karakter berkebangsaan dalam integrasi keilmuan. Berdasarkan kitab Serat Centini hasil karya orang pesantren di Indonesia, ia mengatakan kontribusi orang pesantren dalam khazanah keilmuan sangatlah kaya. Bahkan, dulu, akibat kemajuan di bidang keilmuan tersebut membuat penjajah saat kewalahan menghadapi kaum pesantren. “Pesantren tidak membenci ilmu Barat, tapi kolonialisme, kapitalisme.” Ia menghimbau UIN agar juga mempelajari teks-teks peninggalan nusantara, khususnya pesantren, yang banyak menyimpan khazanah keilmuan, tidak hanya mengutip karya-karya luar nusantara. Hal tersebut, menurutnya, akan bermanfaat untuk memperkuat karakter kebangsaan mahasiswa, “UIN kalau kalau mau ngomong integrasi, harus mempunyai karakter kebangsaan. Kalau tidak, yang ada cuma kutip mengutip dari luar,” katanya. Seminar tersebut terselenggara atas kerjasama berbagai pihak, yaitu Komunitas Saung, LPM INSTITUT, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora, Badan Eksekutif Mahasiswa FDI dan HMJ Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin.

Wisata Kuliner...

Olahan Rempah dalam Mie Noor Rahma Julia Hujan terus mengguyur Ciputat sejak pagi hingga petang (05/06). Rasa lapar pun seketika tercipta, “Makanan pedas, enak nih kayanya,” ujar Intan Nisa mahasiswi kos-kosan. Nisa pun berinisiatif untuk makan Mie Aceh yang bumbunya dikenal cukup pedas, “Makanan, tepat saat hujan datang,” ujarnya.

Berbicara soal Mie Aceh, makanan khas yang satu ini memang sangat terkenal akan kelezatannya. Untuk menikmatinya, Anda tidak perlu repotrepot datang ke Aceh. Karena, di sekitar Ciputat kini banyak tersedia rumah makan yang khusus menyediakan kudapan Mie Aceh. Salah satunya adalah rumah makan Putra Mulya. Sudah hampir satu tahun, Fitri, pemilik rumah makan ini, menjalankan usaha Mie Acehnya. Banyak pesaing, tidak membuat ia surut. Alih-alih pesimis, Ia justru selalu yakin bahwa tempatnya memiliki ciri khas yang membuat pelanggan kembali datang,”Semua bumbu Mie Aceh emang sama, tapi setiap orang lidahnya beda-beda, ada saja yang

suka dengan Mie Aceh tempat saya,” ujarnya selepas shalat magrib. Satu hal yang juga menarik dari Rumah makan Putra mulya adalah sajian makanan kecil nya. Tentunya, penganan ini juga merupakan makanan ciri khas tanah rencong. Seperti Bulu Bakar, sejenis ketan yang dibungkus daun pisang, lalu dibakar, “Bulu Bakar ini sangat cocok sekali kalau dimakan dengan tape.” Di samping itu, ada juga Timpan, kue kara (sarang burung), dan roti jala,”Makanannya sengaja dihidangkan biar ketika pembeli menunggu, mereka bisa ngemil dulu. Dalam pengolahannya, Mie Aceh Putra Mulya juga sudah

pasti sehat. Karena Fitri mengolah mienya sendiri, tanpa membeli di pasar. Para kokinya pun sangat piawai dalam membuat racikan bumbu , sehingga rasa nya sudah pasti “Super Sekali”. Tidak sekadar mencari profit, perempuan keturunan AcehIndia ini sangat ingin mengenalkan makanan khas daerahnya ke khalayak banyak, di luar provinsinya, “Agar semua orang lebih mengenal seperti apa makanan ciri khas Aceh ini .” “Saya memang hobi makan, apalagi di rumah anak-anak pada

suka makan Mie Aceh. Bumbu nya juga hampir sama dengan makanan India, jadi saya tidak kesulitan,” ujarnya Provinsi Aceh juga memiliki ciri khas kuliner lain, yaitu kopi Aceh. Kopi ini sangat sulit diperoleh dipasar-pasar biasa, karena penjualannya sangat terbatas. Namun tidak usah hawatir, karena Putra Mulya pun menyediakan kopi Aceh siap saji yang hanya tinggal diseruput. “Rasanya cukup tajam dibanding dengan kopi jenis lainnya, hanya saja kopi ini langsung diolah dari bijinya.” Fitri sendiri mengambil stok kopi Aceh dari daerah Pasar Baru, karena di sana tersedia banyak kopi Aceh yang asli, tanpa campuran. Bahkan, apabila di sana tidak tersedia, maka ia rela memesan kopi langsung dari Aceh, “Kalau saya tidak pulang ke Aceh, kadang saya titip ke orang buat beliin kopi,” ujarnya antusias.


SOSOK

Edisi XX/Juni 2012

11

Gilang: Masyarakat Indonesia, Sadarlah! Rahmat Kamaruddin

“Kita mau ganja ini kembali kepada statusnya seperti dulu lagi,” tutur Gilang. Sembari bercerita, Gilang senantiasa tersenyum tipis, sesekali ia melayangkan pandang ke depan. Tenang. “Kita ingin masyarakat Indonesia mampu melihat secara objektif keberadaan ganja di negeri ini,” lanjutnya.

DOK. PRIBADI

Bergabung dan menjabat sebagai Humas di Komunitas Ganja’sMART, pria pecinta musik reggae ini telah berkali-kali melakukan sosialisasi legalitas tumbuhan yang akrab disebut hemp itu, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dalam aksi kampanye legalisasi ganja, Gilang merangkul berbagai elemen masyarakat menghimpun suara dengan cara mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hampir semua komponen yang ada pada tumbuhan ganja itu bermanfaat. Mulai dari kesehatan, arsitektur bangunan, kerajinan tangan, tali-temali, hingga konservasi hutan di Indonesia. “Jika dipakai dengan kadar berlebih, ganja memang memabukkan. Jika

berlebihan, ya, berbahaya, apapun itu,” tutur pria berzodiak Taurus yang juga anggota Lingkar Ganja Nusatara (LGN) tersebut. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah Filsafat ini, selain aktif menyosialisakan ganja, ia juga banyak aktif mengedukasi penyandang Orang Dengan HIV Aids (ODHA) dan pecandu narkotika. “Mereka sama dengan kita, tak perlu dijauhi,” katanya. “Gue banyak belajar dari semangat dan optimis mereka untuk hidup”. Dalam upayanya menanggulangi ODHA dan pecandu narkotika, Gilang menggunakan tumbuhan ganja untuk mengobati mereka. “Teman gue, ODHA, saat pengobatan medis konvensional nggak bisa lagi ngobatin, sampai sekarang masih hidup meski di dalam otaknya infeksi karena tumbuh banyak bisul, ganja memperkuat sistem imun tubuh manusia, ia punya kadungan zat neoru protection,” katanya. “Reggae Jalan Hidupku” Tidak hanya berkutat di kancah akademis, aktivis dan sosial. Pria kelahiran 6 Mei 1989 tersebut juga aktif di bidang musik. Ia seorang pecinta musik reggae. Baginya, reggae banyak menginspirasi setiap alur kehidupannya. “Reggae menebar kasih, setiap baitnya mengandung pesan

mendalam tentang perdamaian,” katanya. Menurut vokalis band Chain Lova RR tersebut, aliran musik reggae mempunyai sisi historis yang panjang dan berbeda dengan ragam musik lainnya. Reggae mengandung unsur filosofi yang dalam. Dalam perjalanannya, menurutnya, di beberapa negara di Afrika, reggae membawa misi perdamaian, pembebasan, dan kemerdekaan terhadap situasi sosial penduduk setempat. Ia tampak bersemangat ketika berkisah tentang reggae terutama sejarah Rastafarian. Dia mengatakan dirinya adalah penganut agama Islam Rastafarian. Ia melihat adanya persamaan pada dua ajaran tersebut. “Ajaran Rasta itu adalah kasih sayang, sama seperti dalam konsep Islam, rahmatan lil ‘alamin,” katanya. “Ayat-ayat reggae penuh unsur kemanusiaan, transaksi cinta, dan getaran perdamaian.” Saat ditanya tentang harapan dan cita-citanya, ia mengatakan ingin bangsa ini pintar, membangun kesadaran serta melakukan segalanya bukan dasar paksaan. Dia juga mempunyai impian tidak ada lagi terjadi tindak kekerasan terjadi di Indonesia dan masyarakat dapat hidup bersama dalam perbedaan. “Cita-cita gue, di negeri ini nggak ada lagi orang menderita. Kita semua hidup dalam kasih sayang meski berbeda-beda. Seperti pelangi,” ujarnya sembari tersenyum.

Gilang Kreasi Galang Logika

Komunitas

Agb2Roda untuk Silaturahmi Jaffry Prabu Prakoso Berawal dari kegiatan bulanan Car Free Day (CFD), Alan Dwikora bersama kawan satu kuliahnya berkumpul menikmati jalanan Jakarta tanpa kendaraan bermotor. Seringnya mengikuti acara tersebut, akhirnya Alan bersama teman sepermainannya membuat komunitas sepeda yang dinamakan Agb2Roda. Perkumpulan ini diawali dari kumpul biasa. Namun, untuk mempererat kebersamaan dan silaturahmi dengan yang lain, terutama di Jurusan

ALAN/Agb2Roda

Komunitas Agb2Roda saat perjalanan menuju Pulau Untungjawa 2011 silam.

Agribisnis, terbentuklah Agb2Roda. Hal ini dilakukan untuk melanjutkan tradisi yang telah ada, yaitu Jurusan Agribisnis yang terkenal dengan keakrabannya ke seluruh angkatan, meskipun seniornya sudah lulus. Kegiatan Agb2Roda tidak hanya CFD. Sejak 2010, komunitas ini melakukan perjalanan ke Pulau Untungjawa di Kepulauan Seribu. Tahun yang lalu pun, pulau ini kembali dijamah komunitas ini. Akan tetapi, di tahun ini keinginan untuk menyambangi pulau serupa tak diinjak kembali. “Mungkin tahun ini kita akan ke Mekar Sari,” tutur Alan sembari tersenyum. Selain perjalanan menyebrang pulau, Agb2Roda turut serta dengan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan, karena sebagian besar anggota yang aktif berkecimpung dengan dunia pertanian, di Fakultas Sains dan Tekhnologi, Jurusan Agribisnis. Di Tugu UIN, ditemani sebotol minuman serta kicauan burung

gereja, Alan meceritakan di mana ia bisa kenal dengan komunitas sepeda dari universitas lain. Kendati belum memiliki anggota yang banyak, itu tidak membuat Alan rendah diri dengan komunitas sepeda lain yang sudah banyak anggotanya. “Yang penting (komunitas sepeda UIN) ada dulu,” paparnya. Setiap anggota pun tidak diharuskan memiliki sepeda wajib. Bagi mereka yang ingin berpartisipasi di Agb2Roda, bisa saja mendekatkan emosionalnya dengan teman-teman yang sebelumnya telah ada. Asalkan mereka berkeinginan untuk bergabung, Agb2roda membukakan pintu selebar-lebarnya bagi yang ingin berpartisipasi. Meski membawa nama jurusan, Agb2Roda tak menghidari bagi kawan-kawan lain yang ingin bergabung dengan komunitas ini. “Pengen punya banyak teman di sepeda,” ujar Alan yang sedang sibuk menyelesaikan tugas skripsinya. Agb2Roda pun tak berkutat dengan anggotanya saja. Ketika bersepeda di jalan dan bertemu dengan komunitas lain, mereka ikut bergabung agar lebih ramai. Semakin banyak komunitas yang berkumpul, semakin seru pula

perjalanan yang mereka lakukan. Tujuan Agb2Roda untuk mempererat persaudaraan antara Jurusan Agribisnis tak sesuai dengan harapan. Menurut Alan, ketertarikan mahasiswa akan sepeda sangat jarang, sehingga orang yang memiliki sepeda pun tak sebanding dengan pengguna motor. Karena motor lebih mudah dikendarai dan tidak melelahkan. Bagi Alan, bersepeda itu sehat. Sungguh disayangkan baginya kalau orang malas bersepeda karena mudah berkeringat. Alan pun menyadari, di UIN Jakarta fasilitas untuk membersihkan diri karena keringatan masih sangat minim, jika dilihat dengan kondisi kamar mandi yang jauh dari baik. Tapi itu tak mengurangi niatnya dan kawan-kawannya yang lain untuk bersepeda. Saat ini masih belum ada yang meneruskan Agb2Roda. Yang aktif dalam kegiatan itu masih diisi oleh orang-orang lama. Pendekatan ke adik kelas pun dilakukan. Selain menghidupkan kembali komunitas sepeda, Alan juga ingin bersilaturahmi dengan adiknya di jurusan yang belum ia kenal. Karena sesuai dengan tujuan awal, Agb2Roda untuk silaturahmi.


12 SASTRA

Puisi...

Edisi XX/Juni 2012

Cerpen...

Oleh Syafira Ulfa

Oleh Rahardyan Afrian

Metropolitan Setiap malam, aku membaringkan gedung-gedung batu yang berhimpitan dengan lelah. Yang menjadi basah oleh curah rasa sepanas kawah. Aku pun menyulapnya menjadi lahan berpetak laksana sawah. Lalu kutebar benih-benih kasih yang tumbuh jadi serigala setiap pagi. Setiap pagi, aku membangunkan gedung-gedung batu yang berhimpitan dengan pedih. Yang menjadi kuburan besar juga luas dan kuukir nama orang tercinta lalu berubah menjadi iblis setiap malam.

Mutiara di antara Kerikil-Kerikil Mutiara, sosoknya banyak bicara bercahaya menari-nari, penuh setangkup gaya. Seniscaya surya yang penuh dengan daya. Seumpama bandit yang menentang bahaya. Terkadang, dia tajam menghujam kejam. Mematutkan diri di balik cermin sendiri. Riang berseri di antara kerikil-kerikil yang bernyanyi. Yang sempat merasakan sunyi, walau mereka berani berbunyi. Apakah dunia memuja rupa tanpa rasa??? Tidak!!! Apakah hidup melukiskan luka tanpa suka??? Tidak!!! Kerikil lalu terdiam merasakan kehidupan pun tiada adil baginya. Keburukan seakan adalah racun jiwa yang tiada henti merampok mimpi. Kemudian kerikil-kerikil berkata : Tuhan, kami ingin jadi mutiara yang indahnya tiada terkira. Seandainya aku adalah Tuhan, aku pasti tertawa seraya langsung berkata : Tahukah kalian tentang mutiara???

Tong Sampah itu?

“Guys, ke kantin yuk!” “Kaga punya duit gue Sin, atm gue di blokir.” “Ah,lo ada aja alesannya, ya udah gue traktir deh.” “Nah itu baru gue mau, setuju ga guys?” “Setujuuu,thanks Sinta,”jawab tiga cewe menor itu kompak.

Tuti hanya bisa membisu mendengar dalam sana ada seorang anak peremucapan ibunya. Tak berapa lama orang puan kecil sedang tidur. Menyadari tua Thomas juga mengetahui kematian kehadiran Sinta, gadis itu terbangun anaknya. Merekapun marah besar pada lalu tersenyum.Sinta pun heran. Tuti dan merampas anaknya sebagai “Kamu ngapain disini? Rumah kamu ganti atas kepergian Thomas. Kesedidimana?”tanya Sinta. han itu semakin bertambah saat Tuti Anak kecil itu tak menjawab hanya kembali kehilangan ibu tercintanya. mengangguk-ngangguk kegirangan. Hingga membuat Tuti menjadi tidak Kemudian seperti mencari sesuatu. waras. Diapun memberikannya pada Sinta. Setibanya di kantin, seperti biasa Benda itu secarik kertas kumal. Tetes Sinta selalu membuat gaduh. Dia san#### demi tetes air mata Sinta berjatuhan gat disegani seluruh isi sekolah, karena “Oma…!!!” sapa Sinta seraya mensaat membacanya. dia adalah cucu semata wayang dari cium pipi neneknya. Teruntuk anakku tercinta, Mr.Kursbendlood jutawan berkebang“Eh Sinta udah pulang,”jawab sang Siapapun namamu, aku ibumu nak, saan yang terkenal. Hidup mewah nenek membalas kecupannya. Tuti Purnangsih. Hidup ibu sangat sudah menjadi santapan hariannya. “Gimana kondisi opa? Apa udah menderita nak ibu harus kehilangan Tapi dia masih merasa sedih, karena membaik?” ayahmu dan kamu. Tapi ibu yakin kau dia menyandang status yatim piatu. “Belum ada kabar dari dokter, Saysekarang hidup bahagia bersama nenek ang. Kita doakan saja yah.” kakekmu. Pasti sekarang kau menjadi #### “Iya Oma..” gadis yang cantik kan? Ibu sungguh Satu minggu sudah, tapi gadis Oma Sinta selalu berada di rumah ingin melihatmu. Jika kau sudah menkecil lusuh itu masih bertahan disana. sakit untuk menjaga sang suami yang emukan gadis kecil yang tuli dan bisu Mengais sisa makanan yang sudah sedang sakit keras. Walaupun kecil keitu ,ajaklah ia berbahagia bersamamu. dihinggapi lalat. Setiap warga sekitar mungkinan untuk bisa bertahan hidup, Kasihan adikmu nak, ibu mohon agar yang membuang sampah, merasa iba namun Sinta dan omanya percaya kau bersedia menjaga dan mencintainpadanya dan sering kali menawari opanya bisa sehat seperti semula. ya. Ibu mencintai kalian berdua. untuk tinggal di rumah mereka. Tapi si gadis hanya diam dan menggeleng. #### Sinta lalu memeluk adiknya, dia Dia lebih memilih bersembunyi di balik tidak perduli bajunya kotor dia kembali tong sampah besar itu seraya menatap Keadaan Tuti semakin parah, menangis. sebuah jendela di rumah itu. untungnya ada seorang pria baik hati yang menolong dan bersedia menjadi“De, kakak janji akan selalu menDuapuluh tahun yang lalu, kannya istri. Pria itu dengan telaten jagamu. Maafin kakak yah?”tutur Sinta merawat Tuti hingga berangsur-angsur lembut. “Tuti aku mencintai ia kembali normal. Selang beberapa Sinta mengajak adiknya untuk tingkamu,menikahlah denganku,”kata tahun pernikahan, suami Tuti berubah gal bersama. Oma yang tadinya tidak lelaki bule itu. menjadi pria kasar yang sering menyikmenyukai kehadiran gadis itu lantas “Aku tidak bisa Thomas, kita berbeda sa dirinya bahkan saat sedang hamil. merasa iba dan menyayanginya seperti bangsa. Ibuku takkan setuju!!!” Lantas dengan tega suaminya pergi yang di lakukannya pada Sinta. Be“Aku tidak peduli, aku tau bangsaku dengan wanita lain, meninggalkan Tuti berapa tahun setelah bimbingan privat, sudah menjajah bangsamu. Tapi aku dan anak yang di kandungnya. Bahkan adik Sintapun sedikit demi sedikit dapat tidak begitu. Maafkanlah ayahku, aku hingga anak itu lahir dan tumbuh besar berbicara. mohon.” suaminya tak pernah kembali. #### “Mungkin aku bisa memaafkannya, “Susi, nanti kalo kamu mau betapi kurasa ibuku tidak,” jawab Tuti #### rangkat ke jakarta. Mbak nitip Lisa dengan derai air mata. “Nggak,,gue nggak percaya opa yah,tolong anterin ke alamat ini,”kata Cinta mereka terlalu kuat, hingga meninggal. Gue pasti mimpi buruk, opa Tuti pada tetangganya yang akan ke Tuti memilih pergi dengan Thomas pasti masih ada di kamar,” batin Sinta. Arab sebagai tkw. dan meninggalkan ibunya. Tiga tahun “Opa,bangun opa udah pagi,”seraya “Lisa anakku, temui kakakmu berlalu, Tuti mengandung seorang anak membuka pintu kamar kakeknya. yah. Dia punya tanda lahir di leher perempuan. Sunguh malang nasib Tuti Sintapun menangis sesegukan melikirinya. Ini untukmu dan ini untuk dan anaknya. Suaminya tewas di bunuh hat kenyataan ini kemudian kembali kakakmu,ibu mencintaimu nak!!”ucap seorang anak pejuang Indonesia yang ke kamarnya. Dia bersandar di jendela Tuti terbata-bata seraya memberi dua dendam pada ayah Thomas. Tutipun menghirup udara segar untuk mecincin pada Lisa. kembali ke rumah sang ibu dengan nenangkan hatinya. Satu pemandangan Itu adalah cincin yang di berikan membawa serta bayinya. yang tak disukainya yaitu tong sampah Thomas saat pertama mereka bertemu, “Seumur hidup Ibu takkan pernah besar yang persis menghadap kamarnternyata Thomas juga memilikinya. menganggapnya cucu, anak dari Beya. Tapi kali ini dia menatap tong itu Tuti mendapatkannya dari saksi mata landa biadab yang ayahnya telah memlekat-lekat, ada seseorang disana yang saat Thomas terbunuh. Tutipun mengbunuh ayahmu. Apa kau tak merasakan pernah di lihatnya tiga bulan lalu. Rasa hembuskan nafas terakhirnya karena perihnya hati ibu nak??” ucap sang ibu penasaran menghinggapinya hingga sudah tak kuat menahan TBC akut dengan muka merah padam menahan ia memutuskan keluar dan mendekati yang di deritanya. amarah. tong sampah itu. Ternyata benar di

Kunjungi...


RESENSI

Edisi XX/Juni 2012

Buku

13

Memelajari Tarekat di ‘Sekolah’ Spiritual Aam Mariyamah

D

ewasa ini manusia semakin di sibukkan dengan urusan duniawi. Hingga seringkali manusia melupakan urusan yang bersifat spiritual (rohani). Secara psikologis, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Atas dasar pemenuhan kebutuhan spiritual tersebut, maka dibutuhkan tempat yang sesuai

Judul Penulis Penerbit Isi Terbit ISBN

: Suluk : Bambang Mulyantono (Bamton) : Trans Pustaka : xvii + 411 halaman; 14,8 x 21 cm : Mei 2012 : 978-979-3907-18-5

untuk mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai pusat spiritual. Bambang Mulyanto (Bamton), mantan wakil pimpinan redaksi Majalah Poultry Indonesia, membuat novel yang berjudul Suluk. Dalam novel ini, ia menceritakan tentang sebuah tempat yang menurutnya sesuai bagi para pemburu rohani. Tepatnya di sebuah surau bernama Baitul Amin. Kegiatan utama yang dilakukan adalah mengingat sang pencipta atau berdzikir, dengan metode Tarekatullah Ahlusunnah wal Jamaah, mereka menamakan diri Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Melalui proses dialektika yang dilakukan para tokoh dalam novelnya, Bamton ingin menyampaikan gagasan tentang masalah spiritual mendasar yang seharusnya tertanam dalam diri setiap manusia. Karena kini, manusia memang terkesan menjauh dari Tuhan. Maka, selain berguna bagi kalangan sivitas akademika, novel ini juga berguna bagi masyarakat untuk mengetahui peta besar spiritual seorang muslim. Dalam buku ini, Bamton menggunakan tokoh pemuda bernama Rahina yang terlahir dan dibesarkan dari lingkungan Muslim

Kejawen. Ia ingin mencari jalan terang melalui tuntunan ajaran Islam yang kaffah, Islam yang utuh. Pertemanannya dengan pemeluk agama lain menambah keyakinannya bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Islam memberi ruang penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) seperti salat, zakat, puasa, naik haji, sekaligus ruang penghayatan keagamaan esoterik (batini) seperti halnya bertapa atau meditasi. Rahina berkeyakinan bahwa beragama layaknya bersekolah. Ia masuk dalam ‘lembaga pendidikan rohani’ yakni lembaga tarekat. Di ‘sekolah’, ia harus menjadi ‘murid’ yang patuh, mengikuti pelajaran dan kegiatan lain hingga akhirnya menunggu pengumuman kelulusan. Setelah lulus dari tingkat dasar, siswa harus melanjutkan ke tingkat selanjutnya yang lebih tinggi. Suluk dalam lembaga tarekat dapat diumpakan sebagai ujian kenaikan kelas, sedangkan kelulusan adalah saat kita meninggalkan dunia ini. Sebagai murid tarekat, penting untuk mengetahui silsilah guruguru tarekat hingga bertautan langsung dengan Rasulullah Saw.

Ini bertujuan, agar mengenal sejarah Islam dari prespektif yang berbeda dengan pelajaran sejarah selama ini, yang lebih merujuk pada sumber-sumber Barat. Bamton juga menguraikan perihal sejarah tasawuf dan tarekat, juga silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah, dengan tambahan catatan-catatan sejarah lainnya, seperti sejarah masuknya Islam ke nusantara, sejarah penyaliban Yesus, kisah perwayangan Baratayudha, sejarah Jalan Daendles yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Pantai Utara (Pantura), dan kisah-kisah sejarah lainnya. Buku ini memberikan rujukan literatur yang membantu pembaca untuk menelusur informasi lebih jauh tentang pengetahuan-pengetahuan yang dipaparkan dalam isi novel ini. Namun sayangnya, penulis nampak kurang detail menceritakan pergulatan pikiran yang biasanya terjadi pada seseorang pada proses pencarian jati diri. Selain itu, masih banyak kesalahan dalam tanda baca dan penulisan kata-kata yang terkadang membingungkan pembaca.

Film

Perjuangan Sang Uskup Muhammad Umar “Kemanusian itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan bangsa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar,” Ini merupakan goresan pena seorang uskup di atas kertas pada tahun 1940, yang menjadi permulaan film berjudul Soegija. Film ini bertutur tentang seorang uskup Katolik pertama di Indonesia. Ia dilantik menjadi uskup dengan nama Mgr Soegijapranata Sj (Nirwan Dewanto) pada jaman penjajahan belanda, ketika banyak masyarakat Indonesia ditindas oleh Belanda. Dalam perjuangan kemerdekaan, Soegija memang tidak ikut berperang degan senjata. Namun, saat penduduk membutuhkan tempat berlindung karena terjadi perang, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Memberikan cinta kasih dan keadilan dianggapnya tidak cukup, ia berpikir perlu juga melakukan pertempuran dengan lembut untuk kemerdekaan. Ia melakukan dakwah, mencerahkan masyarakat Indonesia yang saat itu resah karena situasi perang. Berkat keuletannya dalam perjuangan kemerdekaan, ia mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno. Selain itu, ia juga berperan atas pengakuan kemerdekaan yang

diberikan oleh Vatikan untuk Indonesia. Berkat suratnya, Vatikan mengutus perwakilan untuk menyampaikan pengakuan kemerdekaan untuk Indonesia, saat itu perwakilan Vatikan disambut baik oleh Soekarno yang saat itu menjadi Presiden dan Uskup Soegija. Film yang digarap oleh Garin Nugroho itu tidak hanya menceritakan tentang sosok uskup pribumi saja, film ini juga bercerita tentang seorang fotografer

bernama Hendrik (Wouter Braaf). Ia yang berjasa dalam mendokumentasikan aktivitas Soegija mulai dari pelantikannya menjadi uskup sampai wafat. Film ini juga menceritakan tentang Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang dan kembali bertemu dalam keadaan berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang anak Tionghoa juga terpisah dari ibunya (Olga Lydia) kembali bertemu dengan ibunya dalam

sebuah acara di gereja. Di akhir cerita film ini, Hendrik memberikan foto mengenai kegiatan yang dilakukan Soegija kepada Mariyem sebagai kenangkenangan. Hendrik yang merupakan orang Belanda menyukai Mariyem yang berasal dari Indonesia. Namun, mereka tak bisa bersatu karena negara mereka berperang . Terdapat pesan yang disampaikan Soegija yang bisa menjadi bahan kontemplasi dalam film ini.

Sumber: boleh.com

Judul: Soegija Sutradara: Garin Nugroho Dirilis: 7 Juni 2012 Pemain: Nirwan Dewanto, Wouter Braaf, Suzuki, Wouter Zweers, Olga Lydia, Andrea Reva, Abe, dan Annisa Hertami

“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara.” Meski Film ini berlatar belakang tentang seorang uskup Katolik, namun kisah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah lebih mendominasi isi film ini. Di mulai dari perang melawan penjajah Belanda, Jepang sampai perang mempertahankan kemerdekaan. Unsur kemanusiaan sangat terasa, hal ini terlihat dari Nobuzuki (Suzuki) yang tak tega membunuh Ling Ling karena teringat anaknya di rumah. Selain itu, Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat yang mudah membunuh, tiba-tiba luluh ketika menemukan bayi di medan perang. Selain unsur kemanusiaan, terdapat adegan jenaka yang membuat tawa dalam film ini, itu ditunjukan pada seorang pemuda yang hanya bisa mengeja huruf yang bertuliskan merdeka, tetapi tidak bisa mengeja huruf lain. Film ini menjadi unik di saat jarangnya film Indonesia yang mengangkat tema tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia.


14 SENI BUDAYA

Edisi XX/Juni 2012

Kisah Cinta dalam Dapur Istana Muhammad Umar Jean pulang dengan kesal sambil membawa sepatu tuan bangsawan. Ia gusar bukan karena harus membersihkan sepatunya, melainkan melihat tingkah laku Nona Julie yang sedang menari begitu ceria bersama masyarakat biasa pada malam pesta musim panas. Menurutnya, itu tidak sesuai dengan norma kebangsawanan. Mengetahui kondisi Jean, Kristin -juru masak istana yang juga kekasih Jean- mengajak Jean bersenang-senang dengan meminum anggur di dalam dapur istana. Ketika mereka sedang bersenang-senang, Julie masuk ke dapur untuk mengajak Jean berdansa. Jean pun menolak karena tak ingin digunjing oleh orang di luar istana. Namun, Julie bersikeras. Malam pun semakin larut, Kristin pun tidur dan tinggallah mereka berdua dalam satu ruangan. “Nona, jangan nona, aku bukan lelaki terhormat,” ucap Jean. “Ayolah Jean,” balasnya. Akhirnya, Jean terbawa nafsu dan timbul keinginannya untuk mencium Julie. Namun sayangnya, Julie hanya bermain-main. Ia justru menolak dan mendorong Jean. Berduaan dalam satu ruangan dengan majikannya membuat Jean semakin takut. Terlebih ketika ia mendengar lamat-lamat

UMAR/INSTITUT

Miss julie dikelilingi penari pada saat pembukaan pertunjukan Teater Luwes di Salihara, Rabu (31,5).

sajak kotor dari luar istana, “Orang-orang disana sedang membicarakan kita, Nona. Lalu mereka membuat sajak kotor untuk aku dan Nona,” ucap Jean. Julie tak percaya akan kondisinya saat itu. Ia semakin resah sehingga mengiyakan ajakan Jean untuk bersembunyi di kamarnya. Diam-diam, Julie menyesali apa yang telah ia perbuat bersama Jean. Sebaliknya, saat keluar dari kamar, Jean justru berjalan dengan mengangkat dagunya. Dalam kesombongannya, Jean menceritakan tentang impiannya untuk menjadi orang besar. Ia

tak ingin menjadi rakyat jelata selamanya. Ia mengatakan ingin berada di pohon paling atas agar bisa memandang ke bawah. Pada saat itu, terlihatlah sikap Julie yang rapuh dengan menenggak bergelas-gelas anggur sampai mabuk. Saat mabuk, Julie bercerita tentang masa lalunya. Sampai terjadilah pertengkaran hebat di antara keduanya. Akibat skandal tersebut, Jean dan Julie merasa ketakutan, hingga bersepakat untuk pergi dari istana untuk menghilangkan jejak. Julie pun pergi ke kamarnya untuk berkemas. Karena hari mulai pagi, Kristin bangun dan

menemukan Jean sedang menulis. Ia juga melihat Julie yang sudah berkemas. Kristin heran dengan apa yang terjadi. Setelah mereka menceritakan kejadian di kamar Jean, mereka mengajak Kristin untuk ikut pergi, tetapi Kristin menolak karena kecewa atas perbuatan Julie dan Jean. Hari pun mulai terang, tetapi Jean dan Julie belum juga pergi hingga sebuah bel berbunyi yang menandakan tuan bangsawan akan datang untuk mengambil sepatunya. Julie yang semakin panik akhirnya bunuh diri. Begitulah kisah Miss Julie yang

dipentaskan oleh Teater Luwes di gedung Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Teater yang diselenggarakan pada Kamis, (31/5) lalu diadaptasi dari lakon Fröken Julie karya dramawan asal Swedia Johan August Strindberg dan diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar. Sepanjang pertunjukan, dialog hanya terjadi di antara tiga pemain, yaitu Ine Febriyani (Nona Julie), Arswendy Nasution (Jean), dan Renny Adhitama (Kristin). Setting peristiwanya pun hanya terjadi dalam dapur istana dari awal cerita sampai akhir. Sedangkan setting waktunya terjadi sangat singkat, hanya terjadi pada malam pesta musim panas Dalam pertunjukan yang disutradarai Frans Joseph Gintings itu, lingkungan kebangsawanan Nona Julie tidak ditampilkan secara utuh, tetapi ditandai dengan dinding megah dengan dua pilar yang besar serta sebuah tangga istana. Selain itu, terdapat sebuah jendela yang menggambarkan sebuah kamar yang mewah. Salah seorang penonton, Winarno mengatakan, pertunjukan ini merupakan pertunjukan teater realis terbaik tahun ini. “Makanya saya betah di sini karena menyaksikan teater realis, seni akting yang beneran, sesuatu yang sangat langka,” tuturnya, Kamis (31/5).

Foto Pilihan Tema:

“Sepeda”

Dian Sari Pertiwi - “Pesepeda Bagai Koloni Lebah”

Tema Foto Selanjutnya

“Idul Fitri” Kirim foto Anda ke lpm.institut@yahoo.com untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya.

Nur Taufik Zamari - “Share The Road”

Alan Dwikora - “Menuju Pulau Untungjawa”


TEKNO

Edisi XX/Juni 2012

Kata Ahli...

Menyatukan Realita dan Objek Maya

Konsultasi Kecantikan Dokter Wiwit Andhika Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel

Dokter, apakah penggunaan

pelembab dengan kandungan SPF 20 bisa diaplikasikan dengan Sunblock SPF 33? Mana yang harus didahulukan, pelembab atau sunblock? Dan apa resikonya jika kita menggunakan kandungan SPF dalam setiap kosmetik, misalnya sebelum make up kita memakai sunblock, pelembab, foundation, dan juga bedak yang semuanya memiliki kandungan SPF? Akankah kulit kita benar-benar terjaga dari terik matahari atau justru malah beresiko dan menimbulkan komplikasi negatif ? Terima kasih atas jawabannya. Hormat saya, Jessi. Jawab : Dear Jessi, Tabir surya atau sunblock bertugas melindungi kulit dari pengaruh negatif sinar matahari terutama UV A dan UV B, yang dapat mengakibatkan berbagai kerusakan sel-sel kulit. Adapun jenis tabir surya memang ditandai dengan istilah SPF (Sun Protection Factor) dengan kekuatan tertentu sesuai keadaan dan kondisi lingkungan. Untuk negara tropis seperti Indonesia memang harus menggunakan tabir surya dengan kekuatan minimal SPF 20, karena tingginya paparan sinar matahari. Angka pada SPF menggambarkan kekuatan dan lamanya tabir surya tersebut melindungi kulit kita dari paparan sinar matahari. Sebagai contoh, bila kita berada di daerah yang sangat tinggi paparan sinar mataharinya (pantai atau di gurun), kita harus menggunakan tabir surya di atas SPF 30, seperti SPF 50 atau SPF 80, dan harus diulang-ulang penggunaannya setiap beberapa jam untuk efektivitas perlindungan. Untuk penggunaannya memang dapat diaplikasikan sendiri atau bersama produk perawatan lain seperti pelembab, foundation, atau bedak. Selama penggunaannya tidak mengakibatkan iritasi dan sensitivitas/alergi pada kulit, sunblock termasuk kategori produk yang aman. Demikian juga untuk pemakaian ber-

15

tumpuk seperti yang ditanyakan, tidak masalah, selama pengguna juga merasa nyaman. Dokter Wiwit, apakah penggunaan masker madu tiap hari bisa merusak kelembaban kulit (mengingat madu yang sifatnya agak panas)? Dan apakah mitos tentang treatment kecantikan dengan lintah dapat membantu mempercantik kulit? Terima Kasih, Intan. Jawab : Hello Intan, Madu adalah salah satu bahan herbal yang sangat banyak memiliki khasiat untuk kesehatan pada umumnya, tak terkecuali untuk kesehatan kulit. Karena di dalamnya banyak terdapat karbohidrat, protein, asam amino, vitamin mineral dan senyawa lain yang bersifat seperti antioksidan dan antibiotika. Penggunaan madu sebagai masker pun sangat baik untuk kesehatan kulit, dengan syarat kulit bisa menerimanya dengan baik (tidak ada reaksi sensitivitas, walaupun sangat jarang terjadi). Tetapi, apapun jika dilakukan secara berlebihan tentu akan mengakibatkan hal yang tidak baik. Penggunaannya sebagai masker sebaiknya dilakukan 1-2 kali seminggu, tidak setiap hari. Untuk terapi lintah yang dapat membuat kulit wajah menjadi lebih cantik masih banyak diperdebatkan. Hanya lintah jenis tertentu yang dugunakan untuk pengobatan (jenis Hirudo medicinallis atau Hirudo mannilencis). Di dalam air liur lintah, terkandung zat hirudin yang bersifat sebagai antikoagulan (anti pembekuan darah) dan oleh beberapa penelitian dikatakan dapat bersifat seperti antibiotika. Untuk mekanisme bagaimana terapi lintah dapat menghasilkan kulit yang cantik masih perlu penelitian lebih lanjut, terutama untuk efektivitas dan resiko terapinya pada manusia.

Ade Rifaldi* Augmented Reality, mungkin sebagian para pembaca sering mendengar kata tersebut, atau mungkin ada yang baru mendengarnya. Bagi Anda yang baru mendengarnya, pernahkah Anda menonton acara ramalan cuaca di televisi? Saat itu presenter memperkirakan ramalan cuaca, ia berdiri di depan layar hijau dan biru, kemudian layar tersebut berubah menjadi gambar animasi tentang cuaca, sehingga seolaholah presenter itu masuk ke dalam animasi tersebut? Jika belum pernah mengalaminya, lihat gambar 1. Di gambar ini, objek maya boneka samurai Jepang dapat terlihat nyata secara 3 dimensi, di depan seorang wanita dengan kaca mata kamera terpasang di wajahnya. Itu semua adalah salah satu hasil dari teknologi augmented reality. Gambar 1

VR merupakan penggabungan objek dunia nyata ke dunia digital, AR adalah kebalikannya, yaitu pengintegrasian elemen-elemen digital yang ditambahkan ke dalam dunia nyata secara realtime dan mengikuti keadaan lingkungan yang ada di dunia nyata. Arsitektur AR cukup sederhana, yaitu input, kamera, aplikasi AR, dan output, dengan cara kerja sebagai berikut: Input yang bisa berupa apa saja, marker seperti pada contoh di Gambar 1, objek 2 dimensi, objek 3 dimensi, maupun yang lain harus dikenalkan pada aplikasi AR terlebih dahulu. Kemudian, aplikasi dibuat sedemikian rupa dengan teknologi AR agar dapat mengenali input. Ketika aplikasi selesai dan dijalankan, dibutuhkan sebuah kamera untuk membaca input agar objek maya seperti terlihat di dunia nyata. Lalu, aplikasi memproses input tersebut untuk kemudian memproyeksikan objek maya 3 dimensi pada output device, seperti monitor, layar smartphone, TV, LCD, dan proyektor. Konsep mengenai teknologi AR ditemukan oleh seorang sinematografer pada tahun 1950-an, Morton Heilig. Tapi, teknologi ini baru berkembang beberapa tahun belakangan. Mobilitas AR kini tidak kenal kompromi, AR telah lantang menunjukkan reputasinya dan membuat banyak orang tertarik untuk mengaplikasikan dan mengembangkannya. Pada dunia kedokteran, AR

digunakan untuk simulasi operasi, simulasi pembuatan vaksin virus, dan lainnya. Dalam latihan militer pun, AR digunakan untuk simulasi perang. Di dunia industri, banyak perusahaanperusahaan yang menggunakan teknologi ini dalam mempromosikan produk mereka, Adidas contohnya. Perusahaan produk aksesoris olahraga itu menampilkan gambar objek maya, seperti pada gambar 2, yang membentuk sebuah kota ketika kamera diarahkan ke produk sepatunya tersebut. Seperti ekspresi yang ditunjukan oleh model iklan Adidas tersebut. AR memang dapat membuat kita terpukau ketika melihatnya. Kita tidak hanya bisa melihat objek maya 3 dimensi yang diproyeksikan, tapi kita juga bisa berinteraksi langsung dengan objek tersebut. Demikian sekilas tentang AR. Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang keindahan teknologi yang satu ini, silakan kunjungi situs video sharing nomor 1 di dunia, Youtube, lalu ketik “Live Augmented Reality-National Geographic” pada kolom search. *Mahasiswa Teknik Informatika

Rubrik Tekno bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika (HIMTI) UIN Jakarta

Gambar 2 Secara singkat, Augmented Reality (AR) adalah sebuah teknologi untuk menampilkan objek maya tiga dimensi ke dalam dunia nyata yang dapat dilihat dengan sebuah kamera. Jadi, dengan mengarahkan kamera ke sebuah input berupa objek, yang telah dikenali pada aplikasi AR, maka akan muncul objek maya pada layar monitor atau output device lain, sehingga seolah-olah objek maya 3 dimensi itu hadir di depan mata kita. Berbeda dengan Virtual Reality (VR) yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, di mana

RALAT Kami mohon maaf atas kesalahan yang meniadakan nama penulis tulisan di rubrik Tekno pada Tabloid INSTITUT bulan Mei lalu. Seharusnya di rubrik tersebut tertulis nama penulis yang bernama Azka Faridy, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika.

Sambungan.... Hilangnya Retorika Kampus “Pihak rektorat sendiri sudah mengundang kedua belah pihak, tapi seringkali tidak ketemu jalan pikirannya,” ujarnya. Apa yang dipaparkan Sudarnoto ternyata dibantah Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) Pantden Mohammad Noor. Dalam penyampaiannya, rektorat selama ini cenderung memaksakan kehendaknya tanpa mendengar pendapat dari mahasiswa khususnya, dan beberapa elemen lain pada umumnya. “Memang selama ini rektorat terbuka untuk mahasiswa, tapi sebenarnya pihak rektorat lebih tepat dikatakan mengintruksi mahasiswa. Mereka tak mendengar pendapat mahasiswa, apalagi me-

nampung aspirasi mahasiswa,” tegasnya, Jumat (8/6). Ia pun berharap, rektorat harus lebih responsif dan mahasiswa juga harus lebih solid agar lebih didengar oleh rektorat. Atas kejadian tersebut, sekiranya bisa dijadikan renungan bagaimana peran lembaga yang notabene merupakan tempat para intelektual. Sedangkan kampus yang telah melahirkan orangorang yang ahli dalam berbicara tentang kedamaian, nilai-nilai humanis ternyata masih perlu dipertanyakan realitasnya. Impian Laboratorium Demokrasi Di tahun 2002, saat Azyumardi Azra masih menjabat sebagai rek-

tor, ia mempunyai ide menjadikan IAIN (sekarang UIN) sebagai Laboratoriun for Democracy (Laboratorium Demokrasi). Azra menyampaikan, untuk sementara ini, di dalam koridor yang mungkin kita kembangkan dan dalam batasbatas maksimal bergerak, kita berikan ruang untuk demokrasi. Meskipun dalam pengertiannya, Laboratoriun for Democracy tersebut tidak seperti lembaga-lembaga politik di negara kita, yaitu DPR/ MPR beserta sistem dan kelembagaannya yang identik. Namun, secara prinsipil sama, yaitu mengandung unsur representatif dan beberapa fungsi lainnya. Pihak rektorat maupun dekanat, jika setingkat negara, dalam hal ini me-

rupakan eksekutif pada pelaksanaan program pendidikan nasional secara keseluruhan (Majalah INSTITUT, No. 36 Th. XVIII, 2002). Terkait laboratorium demokrasi itu sendiri, Sudarnoto tidak begitu mengetahui apa yang diinginkan Azra. “Saya tidak tahu tentang laboratorium demokrasi. Akan tetapi, kalau membaca teorinya, demokrasi itu sebagai mekanisme politik dan demokrasi sebagai nilai,” paparnya. Ia pun menambahkan, jika menjadikan demokrasi sebagai nilai tentu bagus, namun bila menjadikan demokrasi sebagai eksperimen politik praktis, apalagi partai politik praktis, tidak boleh. Sementara itu, Gun Gun me-

nyampaikan, penampilan politik demokrasi di UIN Jakarta sampai sekarang cukup bagus. Maksudnya, dalam fase lebih bagus dibanding universitas swasta. Di sana, kelompok apolitisnya jauh lebih banyak. Gun Gun pun menjelaskan bahwa SG masih layak di UIN. “Kalau di UIN, misalnya pada saat pemilu raya, antusiasmenya masih ada. Itu mengindikasikan bahwa mahasiswa masih concern (fokus), masih ada keinginan untuk berpartisipasi. Makanya, konsep SG masih relevan di UIN Jakarta,” tegasnya.


16 IKLAN

Edisi XX/Juni 2012

Masang iklan? Siapa takut!!! Hub. 085781157788


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.